• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Pelet Penelitian

Pelet hasil penelitian menunjukkan bahwa P2 (35% jagung + 10% sorgum) dan P3 (35% jagung + 10% menir) memiliki penampakan warna yang lebih cerah dibandingkan P1 (45% jagung), P2 dan P3 memiliki warna yang hampir sama (berwarna coklat muda). Hal ini dipengaruhi oleh warna dasar bahan-bahan yang digunakan. Jagung memiliki warna kuning tua (oranye), sedangkan sorgum berwarna krem dan menir berwarna putih sehingga penggantian 10% jagung dengan sorgum dan menir memberikan warna yang lebih cerah pada pelet yang dihasilkan.

Tekstur pelet hasil penelitian secara keseluruhan relatif sama yaitu memiliki tekstur yang keras, kuat dan kompak. Permukaan pelet terlihat licin dan mengkilat. Hal ini disebabkan karena pati yang terkandung dalam ransum. Kualitas fisik pelet secara keseluruhan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil penelitian yang tidak berbeda nyata menunjukkan bahwa substitusi 10% jagung dengan sorgum dan menir tidak berpengaruh terhadap kadar air, ukuran partikel, ketahanan benturan dan kekerasan pelet penelitian.

Tabel 5. Hasil Analisa Pati Pelet Penelitian

Kandungan P1 P2 P3

Pati (%) *) 35,52 35,73 38,51 Keterangan: P1 = Ransum dengan 45% Jagung

P2 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Sorgum P3 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Menir

Sumber: *). Hasil Analisa Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian (2005)

Hasil analisa pati menunjukkan kandungan pati pelet penelitian berturut-turut adalah 35,52% (P1); 35,73% (P2) dan 38,51% (P3). Kandungan pati P3 paling tinggi dibandingkan P1 dan P2. Hal ini disebabkan karena tingginya kandungan pati menir (85 – 87 %) dibandingkan kandungan pati jagung (60 – 61 %) dan kandungan pati sorgum (70 – 75 %).

Sebagai pembanding dengan pelet hasil penelitian, maka dilakukan pengujian kualitas fisik terhadap pelet komersil. Kualitas fisik pelet komersil dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kualitas Fisik Pelet Komersil

Peubah Nilai Kadar Air (%) 13,2 Ukuran Partikel (mm) 6,44 Ketahanan Benturan (%) 89 Kekerasan (%) 93,5 Kadar air

Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam suatu bahan terhadap berat bahan tersebut. Kada r air dipengaruhi oleh jenis bahan, suhu dan kelembaban udara sekitarnya (Syarief dan Halid, 1993). Kadar air mempengaruhi bahan selama penyimpanan. Kadar air yang rendah memungkinkan bahan dapat disimpan lama. Kandungan air yang tinggi akan mempengaruhi proses penyimpanan bahan di ruang penyimpanan dan memberikan peluang bagi aktivitas organisme serta tumbuhnya jamur, hal ini sesuai dengan pendapat Winarno et al. (1980) menyatakan

bahwa kualitas bahan menurun akibat tumbuhnya jamur atau perkembangan bakter i yang dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban udara.

Tabel 7. Kadar Air Pelet Penelitian

Perlakuan Ulangan P1 P2 P3 ……… (%) ...…...……… 1 10,2 10,8 12 2 9,6 10 12,2 3 10 11,6 12,6 Rataan 9,93 ± 0,30B 10,80 ± 0,80B 12,26 ± 0,30A Keterangan : superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata

(P<0,01)

P1 = Ransum dengan 45% Jagung

P2 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Sorgum P3 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Menir

Kadar air pelet penelitian berkisar antara 9,93% sampai dengan 12,26% dan setelah dianalisis statistik memiliki perbedaan yang sangat nyata antara P1 dan P2 dengan P3. Sedangkan antara P1 dan P2 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Kadar air tertinggi terdapat pada P3 (35% jagung + 10% menir). Perbedaan kadar air antara P1 dan P2 dengan P3 ini diduga disebabkan karena perbedaan bahan baku yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Syarief dan Halid (1993) bahwa kadar air dipengaruhi oleh kadar air bahan-bahan penyusunnya serta akiba t kondisi lingkungan selama proses pengukuran yang memungkinkan terjadinya penyerapan air dari udara.

Kadar air pelet penelitian lebih rendah dibandingkan kadar air pelet komersil (13,2%). Air merupakan komponen yang penting dalam proses pembuatan pelet karena fungsinya sebagai pelarut bahan, selain itu air juga berfungsi sebagai pembentuk gelatin (Dewi, 2001). Jika air yang diperlukan untuk gelatinisasi terbatas, maka gelatinisasi sempurna baru terjadi pada suhu yang lebih tinggi diatas 100 0C (Khalil dan Suryahadi, 1997).

Berdasarkan Direktorat Bina Produksi (1997), kadar air maksimum untuk ransum unggas adalah 14%. Dengan demikian kadar air pelet penelitian masih memenuhi persyaratan mutu pakan Standar Nasional Indonesia (SNI).

Ukuran Partikel

Pengukuran ukuran partikel adalah proses penentuan rata -rata ukuran partikel dalam sampel pakan atau bahan pakan. Ukuran partikel juga menjadi faktor penentu penumpukan bahan pakan/pakan dalam bin dan berperan dalam menentukan konversi pakan (Fogo, 1994). Ukur an partikel dipengaruhi oleh ukuran partikel bahan-bahan penyusun ransum dan penambahan perekat. Penggunaan perekat dalam pembuatan ransum bentuk pelet akan menyebabkan pelet yang dihasilkan lebih kompak, padat dan tidak mudah pecah (Rasidi, 1997).

Tabel 8. Ukuran Partikel Pelet Penelitian

Perlakuan Ulangan P1 P2 P3 …..……….. (mm) ……..……… 1 6,57 6,68 6,30 2 6,90 6,68 6,51 3 6,54 6,74 6,71 Rataan 6,67 ± 0,19 6,69 ± 0,04 6,50 ± 0,20 Keterangan : P1 = Ransum dengan 45% Jagung

P2 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Sorgum P3 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Menir

Hasil analisa pengukuran ukuran partikel pelet menunjukkan bahwa substitusi 10% jagung dengan sorgum dan menir tidak berpengaruh nyata terhadap ukuran partikel pelet. Nilai ukuran partikel pelet berkisar antara 6,50 mm sampai dengan 6,69 mm. Ukuran partikel pelet penelitian tidak berbeda jauh dibandingkan pelet komersil (6,44 mm). Ukuran partikel pelet penelitian yang dihasilkan cukup tinggi. Ukuran partikel pelet dipengaruhi oleh ukuran partikel bahan-bahan baku penyusun ransum. Semakin halus ukuran partikel bahan penyusun pelet maka ukuran partikel pelet yang dihasilkan semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena semakin luas permukaan kontak antar partikel di dalam pelet, sehingga semakin kuat ikatan antar

partikel penyusun pelet yang menyebabkan pelet tidak mudah hancur. Selain itu ukuran partikel pelet juga dipengaruhi oleh perlakuan conditioning seperti penambahan air atau uap panas. Hasil penelitian Harmiyanti (2002) menunjukkan bahwa perlakuan pemanasan dan penambahan air memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap ukuran partikel pelet. Pelet yang diberi perlakuan pemanasan dan penambahan air mempunyai ukuran partikel yang lebih tinggi dibandingkan pelet tanpa perlakuan. Pemberian perlakuan pemanasan atau penambahan air sangat menunjang terjadinya proses gelatinisasi. Pada saat proses gelatinisasi berlangsung akan terbentuk gel yang berfungsi sebagai perekat yang mengikat komponen-komponen bahan pakan sehingga pelet menjadi kokoh dan tidak mudah hancur sehingga dihasilkan ukuran partikel yang tinggi.

Ketahanan Pelet terhadap Benturan

Ketahanan pelet terhadap benturan adalah parameter yang digunakan untuk menguji daya tahan pelet terhadap benturan (Balagopalan et al., 1988). Pengujian ketahanan pelet terhadap benturan berguna dalam proses transportasi pakan baik didalam maupun diluar pabrik pakan. Thomas et al. (1997) menyatakan bahwa kandungan bahan yang mempengaruhi ketahanan benturan pelet adalah pati, gula, protein, serat dan lemak.

Tabel 9. Ketahanan Benturan Pelet Penelitian Perlakuan Ulangan P1 P2 P3 ………... (%) ………..………….. 1 86,5 87,05 87,05 2 85 87,35 88,6 3 82,7 90,8 92,5 Rataan 84,73±1,91 88,40±2,08 89,38±2,81 Keterangan : P1 = Ransum dengan 45% Jagung

P2 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Sorgum P3 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Menir

Hasil uji sidik ragam ketahanan benturan pelet menunjukkan kisaran 84,73 sampai 89,38%. Rataan ketahanan benturan antar perlakuan menunjukkan hasil yang

tidak berbeda nyata. Nilai ketahanan benturan pelet penelitian tidak berbeda jauh dengan nilai ketahanan benturan pelet komersil (89%). Standar nilai ketahanan benturan yang baik untuk pelet broiler menurut Dozier (2001) yaitu lebih besar dari 80%. Nilai ketahanan benturan pelet hasil penelitian memenuhi standar nilai ketahanan benturan yang baik. Pelet yang diuji termasuk kriteria pelet yang mempunyai ketahanan yang baik. Hal ini disebabkan karena adanya pati yang memperkuat ikatan partikel antar bahan dalam pelet tersebut sehingga pelet menjadi kokoh dan tidak mudah hancur. Menurut Angulo et al. (1995) ketahanan benturan pelet dipengaruhi oleh kandungan dan jumlah bahan yang digunakan, ukuran partike l, penggunaan perekat, dan pendinginan (cooling).

Kekerasan Pelet

Kekerasan pelet adalah salah satu uji kualitas fisik pelet terhadap ketahanan pelet setelah dijatuhkan dari ketinggian 1 meter pada lempengan besi setebal 2 mm (Balagopalan et al., 1988). Pengujian kekerasan pelet ini bertujuan dalam hal penyimpanan pakan di silo/gudang, misalnya untuk mengetahui berapa ketinggian tumpukan dalam silo. Selain itu uji kekerasan pelet juga berguna untuk mengetahui palatabilitas ternak yang akan mengkonsumsi pa kan tersebut.

Tabel 10. Kekerasan Pelet Penelitian

Perlakuan Ulangan P1 P2 P3 ………. (%) ……….………. 1 94 96,4 96,8 2 96 98 97,2 3 96 98,6 98,2 Rataan 95,33±1,15 97,67±1,14 97,40±0,72 Keterangan : P1 = Ransum dengan 45% Jagung

P2 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Sorgum P3 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Menir

Nilai rataan kekerasan pelet berkisar antara 95,33 sampai 97,67%. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa nilai rataan kekerasan pelet antar perla kuan tidak berbeda nyata. Nilai rataan kekerasan pelet tidak berbeda jauh dibandingkan dengan nilai kekerasan pelet komersil (93,5%). Semakin tinggi nilai kekerasan pelet maka pelet tersebut semakin kokoh atau tidak mudah hancur. Hasil pengukuran kekerasan pelet memperoleh persentase pelet utuh yang tinggi. Hal ini disebabkan karena adanya pati yang berfungsi sebagai perekat yang memperkuat ikatan partikel bahan sehingga pelet setelah dijatuhkan hanya sedikit mengalami kerusakan.

Nilai rataan kekerasan pelet dalam penelitian ini cukup tinggi dan menunjukkan bahwa pelet tidak mudah hancur. Kekerasan pelet dipengaruhi oleh kandungan pati, air dan panas.

Hasil akhir pelet penelitian menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata antar perlakuan terhadap kadar air, ukuran partikel, ketahanan benturan dan kekerasan pelet. Hasil analisa gelatinisasi (Lampiran 6, 7 dan 8) menunjukkan bahwa tidak terjadi gelatinisasi pada pelet penelitian. Gelatinisasi terjadi pada saat proses conditioning, sementara mesin produksi yang digunakan untuk menghasilkan pelet penelitian tidak dilengkapi dengan proses conditioning. Hal ini menyebabkan hasil akhir yang tidak berbeda antar perlakuan. Namun, pelet penelitian termasuk kategori pelet yang baik karena memenuhi persyaratan mutu kualitas pelet yaitu kadar air kurang dari 14%, ukuran partikel pelet tinggi, ketahanan benturan lebih dari 80% dan nilai kekerasan yang cukup tingg

Dokumen terkait