PENGARUH SUBSTITUSI JAGUNG DENGAN SORGUM
DAN MENIR SEBAGAI SUMBER PATI TERHADAP
KUALITAS FISIK PELET PAKAN
BROILER FINISHER
SKRIPSI DWI NOPRIANI
PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
DWI NOPRIANI. D24101014. 2006. Pengaruh Substitusi Jagung dengan Sorgum dan Menir sebagai Sumber Pati terhadap Kualitas Fisik Pelet Pakan
Broiler Finisher. Skripsi. Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Yuli Retnani, M. Sc.
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Heri Ahmad Sukria, M.Sc.
Pakan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan suatu usaha peternakan. Ransum bentuk pelet adalah bentuk ransum yang banyak diproduksi di pabrik makanan ternak. Kendala penggunaan ransum bentuk pelet adalah mudah rapuh dan patah selama produksi, pengangkutan, dan penyimpanan. Cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan bahan perekat dalam ransum. Contoh bahan perekat alami yang dapat digunakan dalam ransum adalah pati. Pati banyak terdapat pada bahan-bahan sumber karbohidrat seperti jagung, sorgum dan menir.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan April 2005, di Laboratorium Industri Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan beberapa sumber pati terhadap kulitas fisik pelet broiler finisher ditinjau dari kadar air, ukuran partikel, ketahanan pelet terhadap benturan dan kekerasan pelet pada proses produksi berkesinambungan.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan terdiri dari 3 macam, yaitu: 1) ransum mengandung 45% jagung (P1), 2) ransum mengandung 35% jagung + 10% sorgum (P2), dan 3) ransum mengandung 35% jagung + 10% menir (P3). Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji kontras ortogonal (Steel & Torrie, 1993).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan beberapa sumber pati yang berbeda (jagung, sorgum, dan menir) dalam ransum broiler finisher bentuk pelet tidak mempengaruhi ukuran partikel pelet (6,50 mm ± 0,20 − 6,69 mm ± 0,04) ketahanan pelet terhadap benturan (84,73% ± 1,91 − 89,38% ± 2,81), dan kekerasan pelet (95,33% ± 1,15 − 97,67% ± 1,14), tetapi berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap kadar air pelet (9,93% ± 0,30 − 12,26% ± 0,30).
ABSTRACT
Effect of Substitution of Maize with Sorghum and Broken Rice as Starch Source on Physical Pellet Quality of
Broiler Finisher Ration
D. Nopriani, Y. Retnani, and H. A. Sukria
The objectiv es of this research was to evaluate different starch source in broiler ration on the physical pellet quality in continous process. This research was designed by a Completely Randomized Design with three treatments and three replicates. The treatments were P1: ration with 45% corn, P2 : ration with 35% corn + 10% shorgum, P3 : ration with 35% corn + 10% broken rice. The data were analyzed using ANOVA and significance results were analyzed by orthogonal contrast test. The parameters observed : moisture conte nt, particle size, pellet durability, and shatter test. The result showed that different starch source did not influence the particle size showed variation 6.50 mm to 6.69 mm, pellet durability showed variation 84.73% to 89.38%, shatter test showed variation 95.33% to 97.67%, but the treatments gave a very significant effect (p<0.01) on moisture content with variation 9.93% to 12.26%.
PENGARUH SUBSTITUSI JAGUNG DENGAN SORGUM
DAN MENIR SEBAGAI SUMBER PATI TERHADAP
KUALITAS FISIK PELET PAKAN
BROILER FINISHER
DWI NOPRIANI D24101014
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
PENGARUH SUBSTITUSI JAGUNG DENGAN SORGUM
DAN MENIR SEBAGAI SUMBER PATI TERHADAP
KUALITAS FISIK PELET PAKAN
BROILER FINISHER
Oleh : DWI NOPRIANI
D24101014
Skripsi ini telah disetujui dan telah disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 27 Januari 2006
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Yuli Retnani, M. Sc. Dr. Ir. Heri Ahmad Sukria, M.Sc. NIP. 131 878 943 NIP. 131 964 510
Mengetahui,
Dekan Fakultas Peternakan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 5 November 1983 di Muara Bungo, Jambi.
Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dalam keluarga Bapak Nurdin
Hamid dan Ibu Siti Hajir. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan di SDN 298
Muara Bungo pada tahun 1995. Penulis lulus dari SLTPN 3 Muara Bungo pada
tahun 1998, kemudian mulai menempuh pendidikan SMU di SMUN 2 Muara Bungo
dan lulus pada tahun 2001.
Tahun 2001 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor
pada Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan melalui jalur
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdullillah, puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala nikmat dan rahmatNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi yang berjudul “Pengaruh Substitus i Jagung dengan Sorgum dan Menir
sebagai Sumber Pati terhadap Kualitas Fisik Pelet Pakan Broiler Finisher.” ditulis
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Penulis dari bulan Februari sampai
dengan April 2005 di Laboratorium Industri Makanan Ternak, Program Studi Nutrisi
dan Makanan ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pakan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan
usaha peternakan. Bentuk pakan secara fisik terdiri dari tiga macam yaitu mash,
pellet dan crumble. Ransum bentuk pelet umumnya diberikan pada ternak usia
dewasa. Penggunaan pakan bentuk pelet dapat menghemat waktu makan dan
meningkatkan konsumsi, sehingga pertumbuhan ternak lebih cepat. Masalah yang
sering terjadi pada pakan bentuk pelet adalah kerusakan bentuk fisik atau hancur
selama produksi dan pengangkutan. Masalah ini dapat diatasi dengan penggunaan
bahan perekat. Contoh bahan perekat alami yang dapat digunakan dalam ransum
adalah pati. Pati banyak terdapat pada bahan-bahan sumber karbohidrat seperti
jagung, sorgum dan menir.
Skripsi ini ditulis untuk mengetahui pengaruh substitusi 10% jagung dengan
sorgum dan menir sebagai sumber pati terhadap kualitas fisik pelet pakan broiler.
Proses pembuatan skripsi ini dilaksanakan melalui dua tahap penelitian yaitu tahap
pembuatan pelet (proses produksi) dan tahap analisis terhadap peubah yang diamati.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan. Penulis juga
menyampaikan terima kasih atas saran dan masukan dari berbagai pihak sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan.
Alhamdulillahirobbil’alamiin
Bogor, Januari 2006
Prosedur Penelitian
Pembuatan Formulasi Ransum ……… 19
Pembuatan Pelet ……… 20
Pengukuran Sifat Fisik ……… 22
HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 24
KESIMPULAN DAN SARAN ……… 31
UCAPAN TERIMAKASIH ……… 32
DAFTAR PUSTAKA ……… 33
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Standarisasi Ransum Broiler Finisher ………. 4
2. Kandungan nutrisi Jagung, Sorgum dan Beras……… 13
3. Formulasi Ransum Broiler Finisher ………. 19
4. Kandungan Zat Makanan Ransum Broiler Finisher Berdasarkan Perhitungan ……….………. 19
5. Hasil Analisa Pati Pelet Penelitian ………. 25
6. Kualitas Fisik Pelet Komersil ………. 25
7. Kadar Air Pelet Penelitian ……….. 26
8. Ukuran Partikel Pelet Penelitian ……….. 27
9. Ketahanan Benturan Pelet Penelitian ……….. 28
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Skema Pengolahan Padi Menjadi Beras ……… 12
2. Skema Proses Pembuatan Pelet dengan Sistem
Produksi Berkesinambungan ... 20
3. Rangkaian Mesin Pelet pada Sistem Produksi Berkesinambungan ... 21
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Sidik Ragam Kadar Air ... 37
2. Uji Kontras Ortogonal Kadar Air ... 37
3. Sidik Ragam Ukuran Partikel ... 37
4. Sidik Ragam Ketahanan Benturan ... 38
5. Sidik Ragam Kekerasan ... 38
6. Grafik Gelatinisasi Pelet I (45% Jagung) ………. 38
7. Grafik Gelatinisasi Pelet II (35% Jagung + 10% Sorgum) …………... 39
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usaha peternakan ayam broiler merupakan salah satu upaya untuk memenuhi
kebutuhan pangan, khususnya daging. Penyediaan pakan yang bermutu tinggi
merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan suatu usaha peternakan
secara intensif. Besarnya biaya pakan dari total produksi menyebabkan kualitas
pakan harus dijaga dan dipertahankan baik dari segi nutrisi dan bentuk fisik.
Bentuk pakan terdiri dari mash (tepung), pellet (pelet) dan crumble (butiran).
Pakan bentuk pelet merupakan bentuk pakan yang dipadatkan, dikompakkan melalui
proses mekanik. Pembuatan pelet dapat meningkatkan palatabilitas dan
menyebabkan kenaikan konsumsi pakan ternak, disamping itu juga memudahkan
penanganan dan penyimpanan, mengurangi debu dan sisa pakan.
Parameter yang digunakan untuk mengetahui kualitas pelet adalah durability
(ketahanan pelet terhadap benturan) dan hardness (kekerasan pelet) (Thomas dan van
der Poel, 1996). Pelet yang berkua litas baik adalah pelet yang memiliki ketahanan
benturan dan kekerasan yang baik pula. Menurut Dozier (2001), standar ketahanan
benturan untuk ransum ayam broiler adalah minimal 80%.
Faktor yang mempengaruhi kualitas pelet antara lain proses produksi, alat
produksi dan bahan baku yang digunakan. Proses produksi pelet terdiri dari proses
produksi berkesinambungan (continuous) dan proses produksi terputus (intermitten).
Proses produksi berkesinambungan memungkinkan menghasilkan kualitas pelet yang
lebih baik dibanding proses produksi terputus. Hal ini disebabkan oleh alur produksi
yang berlangsung secara terus -menerus atau berkesinambungan sehingga
menghindari resiko pelet rusak atau hancur pada saat pemindahan dari satu proses ke
proses berikutnya seperti pa da proses produksi terputus.
Bahan perekat diperlukan untuk mengikat komponen-komponen bahan pakan
agar mempunyai struktur yang kompak sehingga tidak mudah hancur dan mudah
dibentuk selama proses pembuatannya. Oleh karena itu, penggunaan bahan perekat
untuk mempertahankan kualitas pakan secara fisik perlu mendapat perhatian. Salah
Pati selain sebagai sumber energi juga dapat berfungsi untuk mengikat
komponen-komponen bahan agar mempunyai struktur yang kompak sehingga tidak
mudah hancur. Pati terdapat pada bahan-bahan sumber karbohidrat seperti jagung,
sorgum dan beras. Penggunaan bahan sumber karbohidrat dalam pakan berfungsi
sebagai perekat yang dapat memperkuat ikatan partik el penyusun pelet serta dapat
menurunkan harga pakan yang dijual, selain itu sekaligus sebagai sumber energi
dalam pakan.
Kualitas dan kuantitas pakan sangat penting untuk mencapai efisiensi
ekonomi dalam memproduksi ayam pedaging. Salah satu cara untuk meningkatkan
efisiensi tersebut adalah dengan memperhitungkan dan menggunakan bentuk fisik
pakan yang sesuai. Bentuk fisik pakan sangat mempengaruhi pertumbuhan ternak
disamping unsur gizi yang terkandung dalam pakan. Pengetahuan tentang sifat fisik
pakan dapat dimanfaatkan untuk menentukan keefisienan proses penanganan,
pengolahan dan penyimpanan.
Perumusan Masalah
Jagung, sorgum dan menir merupakan bahan-bahan sumber karbohidrat
dalam ransum. Selain sebagai sumber karbohidrat, bahan-bahan tersebut juga sebagai
sumber pati yang berfungsi sebagai perekat dalam pakan. Pakan bentuk pelet sering
mengalami kerusakan bentuk fisik atau hancur selama proses pembuatan dan
pengangkutan, sehingga dengan penggunaan sumber pati dalam ransum diharapkan
dapat memperbaiki kualitas fisik pelet yang dihasilkan. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian mengenai pengaruh penggunaan beberapa sumber pati terhadap
kualitas fisik pelet.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas fisik pelet pakan broiler
finisher yang mengandung jagung sebagai sumber pati dan setelah substitusi 10%
jagung dengan bahan sumber pati lain yaitu sorgum dan menir. Peubah kualitas fisik
yang diukur adalah kadar air, ukuran partikel, ketahanan pelet terhadap benturan dan
TINJAUAN PUSTAKA
Ransum Ayam Broiler
Komponen bahan makanan yang dapat dimakan, dicerna, diserap serta dapat
bermanfaat bagi tubuh disebut zat makanan. Zat makanan tersebut terdiri dari air,
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral, ya ng dapat memelihara
proses-proses metabolik tubuh (Amrullah, 2003). Ensminger et al. (1990), menyatakan
bahwa ransum adalah campuran jenis pakan yang diberikan pada ternak untuk sehari
semalam selama umur hidupnya untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. Menurut Wahyu
(1997), ransum ayam broiler harus mengandung energi yang cukup untuk membantu
reaksi-reaksi metabolik, menyokong pertumbuhan dan mempertahankan suhu tubuh.
Selain itu ayam membutuhkan protein yang seimbang, posfor, kalsium, dan mineral
serta vitamin yang sangat penting artinya selama tahap permulaan hidupnya.
Kebutuhan nutrisi broiler dapat dibedakan berdasarkan periode pertumbuhan.
Ransum broiler starter hendaknya mengandung energi metabolis sebesar 2800-3300
kkal/kg ransum dan protein kasar sebesar 19,5-22,7% dan untuk ransum broiler
finisher mengandung energi metabolis sebesar 2900-3400 kkal/kg ransum dan
protein kasar sebesar 18,1-21,2% (Scott et al., 1982).
Amrullah (2003), menyatakan bahwa bentuk fisik ransum ada tiga macam,
yaitu :
1. Tepung. Bentuk tepung dapat diberikan pada anak ayam umur 0-2 minggu.
Bentuk ransum ini sederhana, paling mudah dan murah.
2. Pelet. Bentuk ransum ini diberikan pada anak ayam umur 2 atau 3 minggu
dan pada umur 4 minggu broiler dapat diberi ransum dengan ukuran pelet
yang lebih besar.
3. Crumble (remahan). Bentuk ini butirannya lebih kecil dan halus.
Persyaratan mutu ransum broiler finisher berdasarkan SNI No. 01-3931-1995
(Direktorat Bina Produksi, 1997) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Standarisasi Ransum Broiler Finisher
Zat Makanan Kandungan
Aflatoksin (maksimum) 60 pbb
Lysine (Minimum) 0,9 %
Methionine (Minimum) 0,1 %
Sumber: Direktorat Bina Produksi (1997)
Pelet
Cara untuk meningkatkan nutrisi suatu bahan pakan ternak adalah
mengurangi ukuran partikel bahan tersebut dengan memotong, menggiling dan
memadatkan. Kombinasi dari ketiga cara tersebut adalah membentuk produk yang
disebut pelet. Pelet merupakan pakan yang dipadatkan, dikompakkan melalui proses
mekanik. Pelet dapat dicetak dalam bentuk gumpalan dan silinder kecil yang berbeda
diameter, panjang dan tingkat kekuatannya (Ensminger et al., 1990).
Beberapa keuntungan pelet yaitu meningkatkan kapasitas konsumsi sebagai
akibat peningkatan kerapatan bahan ransum yang dibuat pelet maka ternak yang
mempunyai volume saluran pencernaan terbatas seperti unggas dapat mengkonsumsi
ransum lebih banyak sehingga ada jaminan lebih banyak makanan yang masuk;
mengurangi waktu makan sehingga menghemat energi dan energi yang dihemat ini
mengurangi bagian yang terbuang dibandingkan bentuk mash; dari segi ekonomisnya
mengurangi biaya produksi, mengurangi aktivitas ayam untuk memilih-milih
makanan. Kerugiannya antara lain meningkatkan konsumsi air minum, kotoran
unggas menjadi basah, merusak zat nutrisi yang terdapat dalam jumlah sedikit pada
ransum dan meningkatkan peristiwa kanibalisme diantara unggas (Patrick dan
Schaible,1980).
Balagopalan et al. (1988) menyatakan bahwa faktor–faktor yang
mempengaruhi kualitas pelet antara lain:
1. Pati, bila dipanaskan dengan air akan mengalami gelatinisasi dan ini berfungsi
sebagai perekat, sehingga mempengaruhi kekuatan pelet.
2. Serat, berfungsi sebagai kerangka pelet.
3. Lemak berfungsi sebagai pelicin selama proses pembentukan pelet dalam mesin
pelet sehingga mempermudah pembentukan pelet.
4. Kadar air bahan baku
5. Ukuran partikel dan suhu sebelum penekanan.
Komposisi bahan baku pakan yang digunakan dalam proses pembuatan pelet
juga mempengaruhi kualitas fisik pelet yang dihasilkan, seperti adanya penambahan
zat perekat (Angulo et al., 1995).
Sistem variabel yang menentukan kualitas pelet yang dihasilkan salah satunya
adalah konsumsi energi pada saat pembuatan pelet, sedangkan perubahan fungsi
pakan yang terjadi pada saat pembentukan pelet adalah terjadinya gelatinisasi pati,
denaturasi protein dan solubilisasi serat. Kualitas pelet yang dihasilkan dapat dilihat
dari kualitas nutrisi seperti kandungan energi dan protein, kualitas higienis yaitu
jumlah bakteri yang ada, da n kualitas fisik seperti kekerasan dan durabilitas pelet
(Thomas et al., 1997).
Proses Produksi Berkesinambungan
Assauri (1980) menyatakan bahwa proses produksi dapat diartikan sebagai
cara, metode dan teknik untuk menciptakan atau menambah kegunaan suatu barang
atau jasa dengan menggunakan sumber-sumber (tenaga kerja, mesin, bahan-bahan
dilakukan melalui sistem proses produksi terputus-putus (intermitent process) atau
sistem proses pr oduksi terus-menerus (Continuous process). Menurut Assauri (1980),
sistem proses produksi terputus-putus (intermitent process) adalah suatu proses yang
memproduksi produk secara terputus-putus melalui setiap satu jenis mesin
processing (Batch Machine) sepe rti penggunaan mixer atau pelleter saja untuk
menghasilkan produk. Sistem proses produksi terus-menerus (Continuous process)
adalah proses produksi terus -menerus dimulai dari bahan datang sampai
menghasilkan produk melalui satu rangkaian mesin processing.
Menurut Asauri (1980), kelebihan dari proses produksi continuous adalah
tingkat biaya produksi perunit rendah karena produk yang dihasilkan dalam volume
atau jumlah besar, biaya tenaga kerja rendah dan biaya pemindahan bahan dalam
pabrik rendah karena jarak antar mesin yang satu dengan mesin yang lain lebih
pendek. Kekurangan dari proses produksi continuous adalah terdapat kesukaran
untuk menghadapi perubahan produk yang diminta oleh konsumen karena salah satu
sifat dari proses continuous adalah variasi produk yang dihasilkan kecil, dan jika
terjadi kemacetan pada salah satu tingkat proses, maka seluruh proses produksi akan
terhenti.
Proses Pembuatan Pelet
Proses pembuatan pakan, pemilihan dan pengolahan bahan baku merupakan
tahap yang sangat penting karena akan menentukan kualitas pakan yang dihasilkan.
Oleh karena itu, pemilihan bahan baku harus dilakukan dengan baik dan pengolahan
harus tepat. Mc Ellhiney (1994) menyatakan bahwa proses pembuatan pelet
merupakan proses pengolahan bahan baku pakan secara mekanik yang didukung oleh
faktor kadar air, panas, dan tekanan. Proses pembuatan pakan ditempuh dalam
berbagai tahap, yaitu penggilingan atau penepungan, pencampuran, pencetakan dan
pendinginan (cooling).
Penggilingan
Penggilingan bahan merupakan proses pe ngecilan ukuran dari bahan padat
atau butiran dengan gaya mekanis menjadi berukuran yang lebih kecil. Dengan
memperkecil ukuran ini, bahan dapat dipisahkan atas keperluannya dan
Penggilingan atau penepungan juga akan mempermudah proses berikutnya
yaitu pencampuran dan pencetakan. Penggilingan bertujuan untuk: (i) meningkatkan
kecernaan pakan; (ii) meningkatkan palatabilitas dan efisiensi penggunaan pakan;
(iii) menyeragamkan bentuk dan ukuran partikel bahan baku; (iv) memudahkan
proses pencampuran, pelleting, pengangkutan, dan penyimpanan; dan (v)
meningkatkan penampilan produk (Pfost, 1976).
Pencampuran
Proses pencampuran bertujuan untuk menghasilkan pakan dengan distribusi
zat makanan dan obat-obatan yang merata. Pencampuran bahan-bahan dilakukan
secara merata dan homogen agar seluruh bagian pakan yang dihasilkan mempunyai
komposisi zat gizi yang merata dan sesuai dengan formulasi. Pencampuran
bahan-bahan secara mekanis dimulai dari bahan-bahan yang volumenya paling besar hingga
bahan yang volumenya paling kecil.
Bahan baku dalam jumlah kecil pencampurannya dilakukan pada wadah dan
pengadukannya dilakukan dengan tangan atau alat seperti centong nasi.
Pencampuran bahan baku dalam jumlah besar biasanya menggunakan alat bantu
berupa mesin pencampur (mixer) (Pfost, 1976).
Conditioning
Proses conditioning dalam pembuatan pakan khususnya pelet dapat
meningkatkan kualitas fisik dan nutrisi pakan yang diproduksi (Thomas et al., 1997).
Pembuatan pelet dengan penambahan air, panas dan tekanan dalam jangka waktu
tertentu dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pakan yang akan
dihasilkan. Jumlah air atau uap panas yang ditambahkan saat proses pembuatan pelet
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pelet yang dihasilkan
(Khalil dan Suryahadi, 1997).
Penyemprotan atau penambahan air dalam suatu bahan tidak akan merubah
suatu komposisi nutrisi bahan pakan (Thomas et al., 1997). Air juga berperan dalam
pembentukan gelatin pada proses pengolahan yang didukung oleh adanya panas
(Dewi, 2001). Hasil penelitian Hasanah (2002) memperlihatkan bahwa pembuatan
pelet dengan penambahan air sebanyak 5 % melalui proses penyemprotan dapat
pemadatan tumpukan pelet sebesar 570 kg/m3 serta sudut tumpukan pelet sebesar
34,50.
Keberadaan air dalam suatu bahan bisa menjadi pelicin dalam sutu proses
produksi. Penambahan air melalui penyemprotan dalam proses pembuatan pelet akan
meningkatkan kandungan air bahan sehingga bahan menjadi lunak. Permukaan
bahan yang lunak atau basah akan menyebabkan faktor gesekan menurun sehingga
proses penekanan dan pengeluaran bahan bisa lebih cepat. Penambahan air yang
terlalu banyak atau berlebihan dapat menurunkan kualitas pelet (Thomas et al.,
1997).
Proses gelatinisasi pati pada proses pembuatan pelet sangat tergantung dengan
adanya air, panas dan tekanan. Adanya pemanasan dan penambahan air pada proses
pembuatan pelet menyebabkan amilosa mulai tersebar keluar dari granula dan pati
tersebut tidak dapat kembali pada kondisi semula sehingga dihasilkan gel
(Wirakartakusumah et al., 1992).
Pencetakan
Pfost (1976) menyatakan bahwa pelleting adalah pengelompokan individu
atau campuran bahan baku dengan cara memadatka n dan menekan bahan baku
melalui lubang silinder. Beberapa variabel yang berpengaruh pada saat proses
pelleting adalah: (i) karakteritik bahan baku meliputi formula, keseragaman, ukuran
partikel, dan kadar air (moisture); (ii) kehalusan hasil penggilingan berbagai bahan
baku; dan (iii) proses conditioning.
Pendinginan
Pendinginan (cooling) diperlukan untuk menurunkan kadar air dan panas
laten pelet setelah pencetakan. Pada umumnya pelet keluar dari die pada temperatur
yang berkisar antara 60-950C dengan kandungan air sebanyak 120-175 g/kg. Air
bebas yang terkandung didalam pakan akan menurun dengan adanya proses
pendinginan, sehingga memungkinkan untuk disimpan dan dijual dalam waktu yang
relatif tidak singkat (Thomas et al., 1997).
Pfost (1976) menyata kan bahwa pelet harus didinginkan dan dikeringkan
penanganan pelet selama penyimpanan. Pelet yang panas diletakkan didalam bin atau
peralatan penanganan yang memiliki temperatur rendah sehingga mengalami
kodensasi. Daya tahan pelet secara normal meningkat dengan pendinginan dan
pengeringan.
Pati
Pati merupakan cadangan makanan yang terdapat di dalam biji atau umbi
tumbuh-tumbuhan. Pati juga terdapat pada bagian tumbuhan yang berwarna hijau.
Pati terdapat dalam sel tanaman dalam bentuk partikel-partikel yang tidak larut yang
disebut granula. Ukuran dan bentuk granula pati ini berbeda-beda antara satu
tanaman dengan tanaman lain (Lineback dan Inglet, 1982). Granula pati merupakan
suatu sistem heterogen yang terdiri dari dua komponen yang berlainan yaitu amilosa
dan amilopektin. Karakteristik normal dari pati biji-bijian terdiri dari kira-kira 30%
amilosa dan 70% amilopektin. Perbandingan antara jumlah amilosa dan amilopektin
didalam granula mempengaruhi tingkat kekentalan gel. Pati yang mengandung
amilosa tinggi memiliki gel yang lebih kaku daripada gel yang dihasilkan dari pati
dengan amilosa rendah. Pati dalam bentuk granular alamiah mempunyai kerapatan
yang tinggi, karena itu pati dapat bertahan terhadap kerja mekanik dan praktis tidak
larut dalam air dingin. Jika suhu dinaikkan, granula akan menyerap air dan
mengembang. Bila pati dipanaskan dalam air, pati tersebut tidak akan mengalami
perubahan yang nyata sampai pada saat mencapai suhu gelatinisasi (Kulp, 1975).
Pada suhu gelatinisasi butir-butir pati akan mengembang. Bila pemanasan diteruskan
pengembangan akan mencapai titik maksimum dan granula pati akan pecah sehingga
kekentalan dari suspensi pati akan naik (Winarno, 1980). Semakin banyak jumlah
pemanasan dan air, amilosa mulai tersebar keluar dari granula dan pati tersebut tidak
dapat kembali pada kondisi semula dan dari proses tersebut dihasilkan gel (Harper,
1979). Proses pembentukan gel dari suspensi pati disebut gelatinisasi. Dalam proses
pembuatan pelet, pati merupakan bahan pembentuk zat perekat (gel). Akibat adanya
proses pemanasan dan tekanan pada saat proses pelleting, pati akan membentuk gel
yang sangat membantu dalam proses pembuatan pakan agar menjadi lebih padat,
keras dan tidak mudah pecah (Rasidi, 1997). Pati terdapat dalam bahan-bahan
sumber karbohidrat. Beberapa bahan sumber karbohidrat yang biasa digunakan
Jagung
Jagung ( Zea mays L. ) adalah tanaman yang berasal dari daerah tropis, tetapi
dapat tumbuh dan hidup baik diberbagai macam iklim. Jagung relatif kurang
membutuhkan pemeliharaan dan dapat tumbuh tanpa banyak persyaratan sehingga
dapat ditanam pada hampir semua jenis tanah. Jagung merupakan salah satu
komoditas tanaman palawija di Indonesia yang kegunaannya relatif luas terutama
untuk kebutuhan bahan baku pakan ternak dan konsumsi manusia. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik, produksi jagung tahun 2005 diperkirakan sebesar 12,01 juta
ton pipilan kering atau meningkat sebanyak 788 ribu ton (7,02 persen) dibandingkan
dengan produksi tahun 2004. Jagung merupakan bahan pakan sumber energi dalam
komponen penyusun ransum ternak. Jagung termasuk sumber energi yang sukar
larut, dan jika dikonsumsi dalam keadaan mentah, sekitar 40% pati jagung lolos
degradasi. Bagian yang dikonsumsi dari jagung adalah bijinya. Biji jagung memiliki
kandungan gizi yang cukup tinggi. Biji jagung terdiri atas empat komponen utama,
yaitu kulit luar, lembaga, endosperma dan pangkal biji. Tiap komponen biji jagung
mempunyai komposisi kimia yang berbeda -beda. Pati umumnya sebagian besar
terdapat pada bagian endospermanya, sedangkan lemak, protein dan gula terdapat
pada bagian lembaganya. Menurut Winarno (1988) komposisi kimia jagung terdiri
dari air (12-14%), pati (60-61.5%), protein (5.3-8.5%), lemak (4.4-4.5%), pati
merupakan komponen terbesar yang terdapat dalam biji jagung yang terdiri atas
amilosa 27% dan amilopektin 73%. Jagung dengan komposisi kimianya yang cukup
baik telah memberi sumbangan yang besar dalam menu masyarakat pada
daerah-daerah tertentu di Indonesia. Menurut Jugenheimer (1976), komposisi kimia jagung
bervariasi tergantung pada varietas, cara penanaman, iklim dan tingkat kematangan.
Komposisi kimia jagung berubah selama pertumbuhan (Somaatmadja, 1968), jagung
muda misalnya, mengandung kadar pati, lemak dan protein yang lebih rendah
dibanding jagung tua.
Sorgum
Sorgum (Sorghum bicolor L.) adalah tanaman serealia yang potensial untuk
dibudidayakan dan dike mbangkan, khususnya pada daerah-daerah marginal dan
kering di Indonesia. Keunggulan sorgum terletak pada daya adaptasi agroekologi
lebih tahan terhadap hama dan penyakit dibanding tanaman pangan lain. Selain itu,
tanaman sorgum memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, sehingga sangat baik
digunakan sebagai sumber bahan pangan maupun pakan ternak alternatif. Tanaman
sorgum termasuk dalam kelas Monocotyledon keluarga Gramineae dengan
bermacam-macam jenis (Mudjisihono, 1990). Tanaman sorgum berasal dari Afrika.
Sorgum merupakan tanaman biji-bijian yang dianggap penting dan bernilai ekonomis
dibeberapa negara, terutama negara yang beriklim kering. Beberapa negara
memanfaatkan biji sorgum sebagai pangan, sedangkan di Amerika Serikat sorgum
digunakan sebagai pakan ruminansia dan unggas. Sorgum lebih tahan lama dan lebih
tahan kekeringan dibanding jagung, untuk itu sorgum dapat dijadikan pengganti biji
jagung dalam pakan (Mc Donald et al., 1995). Sorgum secara umum dapat
dikelompokkan berdasarkan warna yaitu sorgum kuning, putih, coklat serta warna
campuran. Komposisi kimia biji sorgum setara dengan jagung, umumnya terdiri dari
lebih besar protein dan sedikit minyak dibanding jagung serta tidak berpigmen
xantofyl (Mc Donald et al., 1995). Sorgum mengandung pati sebesar 70-75% yang
terdiri dari 20-30% amilosa dan 70-80% amilopektin (Mudjisihono, 1990). Kendala
penggunaan sorgum sebagai pakan yaitu adanya tanin yang merupakan zat
antinutrisi. Kandungan tanin sorgum bervariasi mulai dari 0.1-4.7% tergantung pada
varietasnya. Kandungan tanin yang tinggi pada sorgum terdapat dibagian kulit ari
biji. Cara untuk mengurangi kandungan tanin pada sorgum adalah dengan melakukan
perebusan (Gunawa n dan Zainudin, 1995). Secara umum kualitas biji sorgum tidak
berbeda jauh dengan jagung, sehingga pengembangan sorgum dalam bidang
peternakan ditujukan untuk menggantikan sebagian atau seluruh peranan jagung
dalam ransum ternak.
Menir
Beras juga merupakan bahan ransum yang baik untuk unggas meskipun lebih
dikenal sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia. Kandungan energi
metabolisme beras sekitar 3100 kkal/kg (Sudaro dan Siriwa, 1999). Unsur terbesar
dari zat penyusun butir beras adalah karbohidrat/pa ti lalu diikuti oleh protein. Zat
pati terutama terdapat pada bagian endosperm dari butir beras. Pada bagian luar
endosperm masih terdapat bagian-bagian yang bukan pati seperti protein dan lipid.
sehingga pati merupakan bagian terbesar. Pati merupakan polimer glukosa yang
dicirikan dari warna granula yang putih, mengkilap, tidak berbau dan tidak
mempunyai rasa. Pati beras mempunyai fraksi linear (amilosa) dan fraksi bercabang
(amilopektin) (Hubeis, 1984). Pati beras terdiri dari 18-22% amilosa dan 78-82%
amilopektin. Kandungan amilopektin yang tinggi pada beras akan menyebabkan
kepulenan. Karena itu, beras ketan lebih pulen dibandingkan beras biasa bila ditanak.
Peternak biasanya bukan memberikan beras utuh pada unggas, melainkan beras
menir (beras pecah). Menir biasanya tidak dimakan oleh manusia sehingga dapat
digunakan untuk ternak. Menir merupakan hasil dari proses pengolahan padi menjadi
beras seperti halnya beras patah, tetapi menir berukuran lebih kecil dibandingkan
beras patah. Menir adalah beras patah yang ukurannya lebih kecil dari 0,2 bagian
beras utuh atau butir beras patah yang lolos ayakan dengan ukuran 1,7 mm
(Kadarisman, 1986). Menir mengandung pati sebesar 85-87,8 % (Kriangsak et al.,
1990).
Padi (1000 gram)
Sekam (200 gram) Beras Coklat (800 gram)
Beras Putih (700 gram) Dedak(100 gram)
Beras Kepala Beras Pecah/Menir Slip Bekatul (480 gram) (220 gram) (30 gram) (70 gram)
Gambar 1. Skema Pengolahan Padi menjadi Beras (Kadarisman, 1986)
Tabel 2. Kandungan Nutrisi Jagung, Sorgum dan Beras
Jagung Sorgum Beras
Sumber: Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1992)
Sifat Fisik Pakan
Kualitas dan kuantitas ransum berperan penting dalam mencapai efisiensi
ekonomi dalam memproduksi ayam pedaging. Salah satu cara untuk mencapai dan
meningkatkan efisiensi tersebut adalah dengan menggunakan bentuk fisik ransum
yang sesuai. Disamping unsur gizi yang terkandung dalam ransum, ternyata bentuk
fisik ransum sangat mempengaruhi pertumbuhan. Menurut Muchtadi dan Sugiyono
(1989), pemahaman tentang sifat-sifat bahan dan perubahan yang terjadi pada pakan
dapat digunakan untuk menilai dan menetapkan mutu pakan. Disamping itu,
pengetahuan tentang sifat fisik digunakan juga untuk menentukan keefisienan proses
penanganan, pengolahan dan penyimpanan.
Sifat fisik bahan pakan sangat dipengaruhi oleh kadar air dan ukuran partikel
bahan, juga dipengaruhi oleh distribusi ukuran partikel, bentuk dan karakteristik
permukaan partikel bahan. Kandungan air suatu bahan tidak konstan. Hal ini
dipengaruhi oleh jenis bahan, suhu dan kelembaban udara sekitarnya. Menurut
Kolatac (1996), manfaat mengetahui sifat fisik dari bahan pakan yaitu membantu
dalam perancangan pengembangan design alat pengolahan (procesing) dan
pemindahan (conveying) dalam rangka mengurangi resiko kerusakan bahan pakan.
dalam organ pencernaan, proses absorbsi dan deteksi kadar nutrien semuanya terkait
erat dengan sifat fisik bahan pakan (Sutardi, 1997).
Kadar Air
Kadar air merupakan salah satu komponen penting dalam bahan pangan
maupun pakan yang sangat berpengaruh terhadap mutu dan kualitas bahan pangan
dan pakan. Kadar air bahan adalah jumlah air total yang terkandung dalam bahan
pangan atau pakan tanpa memperlihatkan kondisi atau derajat keterikatan air (Syarief
dan Halid, 1993).
Kandungan air suatu bahan tidak konstan, dipengaruhi oleh jenis bahan, suhu
dan kelembaban udara sekitarnya (Bala, 1997). Kadar air juga dapat dinyatakan
sebagai persentase kandungan air suatu bahan berdasarkan berat basah (wet basis)
dan berat kering (dry basis). Berdasarka n SNI 01-3931-1995, kadar air maksimum
untuk ransum unggas adalah 14% (Direktorat Bina Produksi, 1997).
Kadar air pada permukaan bahan dipengaruhi oleh kelembaban nisbi (RH)
udara sekitarnya, bila kadar air bahan rendah atau suhu bahan tinggi sedangkan RH
disekitarnya tinggi maka akan terjadi penyerapan uap air dari udara sehingga bahan
menjadi lembab atau kadar air bahan menjadi tinggi. Suhu bahan yang lebih rendah
(dingin) daripada RH disekitarnya akan menyebabkan kondensasi uap air udara pada
permukaan bahan, dan hal ini dapat menyebabkan penurunan kualitas bahan atau
pakan akibat tumbuhnya jamur atau perkembangan bakteri (Winarno et al., 1980).
Ukuran Partikel
Ukuran partikel merupakan faktor yang sangat penting dalam karakteristik
pencampuran bahan paka n dan kemampuan pelleting. Ukuran partikel juga menjadi
faktor penentu penumpukan bahan pakan/pakan dalam bin dan berperan dalam
menentukan konversi pakan (Fogo, 1994). Pengukuran ukuran partikel adalah proses
penentuan rata-rata ukuran partikel dalam sampel pakan atau bahan pakan. Ukuran
partikel pelet ayam broiler yang biasa digunakan dalam industri pakan adalah 4-5
mm (Pfost, 1976).
Sebagian besar bahan yang digunakan dalam produksi pakan mengalami
pengurangan ukuran partikel baik dalam proses produksi maupun sebelum diterima
Alasan pengurangan ukuran partikel dalam proses produksi pakan adalah
sebagai berikut:
1. Meningkatkan luas permukaan
2. Memudahkan penanganan beberapa bahan pakan
3. Mempermudah pencampuran bahan pakan
4. Meningkatkan efisiensi pelleting dan kualitas pelet
Ketahanan Pelet terhadap Benturan
Ketahanan pelet terhadap benturan dapat diuji dengan melakukan cochrane
test, yaitu dengan memasukkan pelet yang telah diketahui beratnya kedalam sebuah
drum lo gam yang kemudian diputar dengan kecepatan tetap selama satuan waktu
(Balagopalan et al., 1988). Menurut Fairfield (1994) ketahanan pelet terhadap
benturan atau durabilitas pelet dapat diketahui dengan cara memasukkan pelet
kedalam sebuah kotak yang berputar selama 10 menit dengan kecepatan putaran 50
rpm. Menurut Thomas dan van der Poel (1998) durabilitas pelet adalah ketahanan
pelet terhadap benturan yang dirumuskan sebagai persentase banyaknya pelet utuh
setelah melalui perlakuan fisik dalam durability pellet tester terhadap jumlah pelet
semula sebelum dimasukkan ke dalam alat.
Menurut Angulo et al. (1995) durabilitas pelet dipengaruhi oleh kandungan
dan jumlah bahan yang digunakan, ukuran partikel, penggunaan perekat,
pendinginan (cooling), dan jarak antara roller dan die. Thomas et al. (1997)
menyatakan bahwa kandungan bahan yang mempengaruhi durabilitas pelet adalah
pati, gula, protein, serat dan lemak. Adanya panas dan air pada saat pencetakan pelet
menyebabkan terjadinya gelatinisasi pati dan membantu terjadinya perekatan
partikel. Penambahan lemak lebih dari 5% dalam bahan menyebabkan pelet yang
dihasilkan mudah hancur (Cheeke, 1991). Menurut Thomas et al. (1997) adanya
kandungan serat yang tinggi dalam bahan dapat menyebabkan pelet yang dihasilkan
mudah patah. Faktor lain yang mempengaruhi durabilitas pelet adalah diameter pelet.
Pelet yang memiliki diameter 3 mm lebih mudah patah dibandingkan dengan pelet
berdiameter 6 mm (Thomas dan van der Poel, 1998).
Kekerasan Pelet
Kekerasan pelet dapat diuji dengan melakukan shatter test, yaitu dengan cara
(Balagopalan et al., 1988). Kekerasan pelet dapat dirumuskan sebagai persentase
banyaknya pelet yang utuh setelah dijatuhkan keata s sebuah lempeng besi terhadap
jumlah pelet semula sebelun dijatuhkan. Kekerasan pelet dipengaruhi oleh dua faktor
utama, yaitu komponen penyusun bahan baku dan kondisi bahan (Balagopalan et al.,
1988).
Komponen bahan baku yang mempengaruhi kekerasan pelet adalah pati,
serat, lemak dan kotoran. Bahan-bahan yang mengandung pati akan mengalami
gelatinisasi dan berfungsi sebagai perekat untuk menghasilkan pelet yang kuat.
Lemak berfungsi sebagai bahan pelicin (pelumas), sehingga pencetakan pelet
menjadi lebih mudah. Serat yang ada dalam bahan baku sulit untuk dicetak, tetapi
dalam jumlah yang cukup, serat dapat menjadi bahan penguat pelet. Adanya kotoran
seperti pasir dan grit akan mengurangi kualitas fisik pelet dan akan mempengaruhi
die dan roller pada mesin pelet (Balagopalan et al., 1988).
Kondisi bahan yang mempengaruhi kekerasan pelet adalah kandungan air,
ukuran partikel dan suhu. Kandungan air yang ada dalam bahan membantu terjadinya
gelatinisasi pati menjadi bahan perekat pelet selama proses pencetakan berlangsung.
Pelet akan memiliki kualitas fisik yang baik apabila bahan yang akan dipelet
merupakan campuran bahan yang mempunyai ukuran partikel halus dan sedang
(Balagopalan et al., 1988).
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksana kan pada bulan Februari sampai dengan April 2005,
bertempat di Laboratorium Industri Makanan Ternak, Departemen Nutrisi dan
Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Materi Bahan
Bahan penelitian yang digunakan dalam pembuatan ransum broiler finisher
adalah jagung, sorgum, menir, pollard, CGM, dedak padi, CPO, tepung ikan, bungkil
kelapa, CaCO3, premix dan posphat.
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Grinder (mesin giling) jenis FFC 37
b. Alat Proses produksi continuous
1. Bucket elevator
2. Mixer ( mesin pencampur) horizontal kapasitas 100 kg
3. Screw Conveyor
4. Pelleter (mesin pelet) jenis Farm Feed Pelleter merk Philco
5. Bin cooler
c. Alat untuk analisa
1. Infra-Red Model F-IA Kett
2. Vibrator Ball Mill
3. Durability Pellet Tester
4. Timbangan digital merk Nagata
5. Timbangan kapasitas 1 kg merk Nagata
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan terdiri dari:
R1 : Ransum dengan 45% jagung
R2 : Ransum dengan 35% jagung + 10% Sorgum
R3 : Ransum dengan 35% jagung + 10% Menir
Metode analisi ini menggunakan model matematika sebagai berikut:
Yij = µ + ái + åij
Keterangan:
Yij = Perlakuan ke-i ulangan ke-j
µ = Rataan umum
á i = Pengaruh perlakuan ke-i
åij = Galat perlakuan ke -i ulangan ke-j
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan jika berbeda nyata
dilanjutkan dengan uji kontras ortogonal (Steel dan Torie, 1993). Peubah yang
diamati pada penelitian ini adalah: kadar air, ukuran partikel, ketahanan benturan dan
Prosedur Pembuatan Formulasi Ransum
Pembuatan formulasi ransum broiler finisher disusun berdasarkan NRC 1994
dengan kebutuhan PK 20% dan kebutuhan energi metabolis (EM) 3200 kkal/kg.
Formulasi ransum dibuat dengan menggunakan metode trial and error (coba -coba).
Formulasi ransum broiler finisher dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Formulasi Ransum Broiler Finisher
Penggunaan (%)
Tabel 4. Kandungan Zat Makanan Ransum Broiler Finisher
Pembuatan Pelet
Proses pembuatan pelet diawali dengan menggiling bahan yang masih dalam
bentuk bijian seperti jagung, sorgum dan menir, sementara bahan-bahan yang sudah
dalam bentuk tepung tidak perlu digiling lagi. Selanjutnya bahan dimasukkan satu
persatu kedalam hopper sesuai dengan formulasi, dimulai dari bahan yang memiliki
persentase besar (makro ingredient) sampai bahan yang memiliki persentase kecil
(mikro ingredient) seperti premix, posphat dan CaCO3 . Bahan dengan persentase
kecil langsung dimasukkan ke dalam mixer, begitu juga dengan CPO langsung
dimasukkan kedalam mixer tetapi terlebih dahulu dicampur dengan jagung.
Bahan-bahan yang telah dimasukkan ke dalam hopper akan diangkut oleh
bucket elevator menuju mixer. Pencampuran bahan dilakukan di dalam mixer selama
10 menit. Ransum yang telah homogen dialirkan ke dalam bin yang kemudian akan
diangkut oleh conveyor menuju pelleter. Selanjutnya ransum akan dicetak menjadi
pelet. Setelah keluar dalam bentuk pelet selanjutnya pelet akan dialirkan melalui
bucket elevator ke cooler. Dari cooler, pelet dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam
karung-karung yang telah disiapkan kemudian ditimbang beratnya.
Bahan baku
Grinding (Penggilingan)
Mixing (Pencampuran)
Pelleting (Pencetakan)
Cooling (Pendinginan)
Ransum Broiler Finisher
Gambar 3. Rangkaian Mesin Pelet pada Sistem Produksi Berkesinambungan ( Dokumentasi Laboratorium Industri Makanan Ternak )
Keterangan :
1. Bucket elevator 2. Mixer horizontal 3. Screw conveyor 4. Pelleter
Pengukuran Sifat Fisik Kadar Air (Nielsen,1998)
Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan infra red moisture
meter. Batu timbangan dengan berat 5 gram diletakkan pada salah satu piringan,
piringan lainnya diisi bahan seberat batu timbangan. Jarum skala diatur pada posisi
nol dan balance. Lampu infra red digeser sehingga tepat berada diatas baha n.
Tombol lampu dinyalakan, penyinaran dilakukan selama 15 menit. Setelah 15 menit,
lampu dimatikan kemudian jarum balance digeser pada posisi nol. Penyinaran
dilakukan kembali selama 15 menit sampai jarum tidak bergeser lagi (balance).
Kadar air bahan dit unjukkan oleh jarum pada skala dengan satuan persen (%).
Perhitungan kadar air menggunakan rumus:
KA = Berat awal – Berat akhir x 100%
Berat awal
Ukuran Partikel (Tyler, 1959 dalam Henderson dan Perry, 1981)
Ukuran partikel pelet diukur dengan menggunakan vibrator ball mill. Bahan
ditimbang sebanyak 100 gram, diletakkan pada bagian atas sieve vibrator ball mill,
kemudian dilakukan penyaringan. Bahan yang tertinggal pada tiap saringan
ditimbang untuk mendapatkan kadar kehalusan (kk). Ukuran partikel pelet dihitung
dengan rumus:
Ukuran Partikel (mm) = 0,0041 x 2kk x 2,54 x 10 mm
Ketahanan Benturan (Thomas dan van der Poel, 1998)
Ketahanan Benturan diukur dengan menggunakan Durability Pellet Tester.
Sampel sebanyak 500 gram (berat awal) dimasukkan ke dalam Durability Pellet
Tester, pengujian dilakukan secara duplo dan berlangsung selama 10 menit. Setelah
10 menit, pellet dikeluarkan lalu disaring dengan menggunakan mesh 8 dan
ditimbang (berat akhir). Pellet Durability Index dihitung dengan rumus:
% Durability = Berat akhir x 100%
Kekerasan Pelet (Balagopalan et al., 1988)
Kekerasan pelet diukur dengan cara pelet dijatuhkan dari ketinggian 1 meter
pada lempengan besi setebal 2 mm. Pelet dijatuhkan secara bersamaan dengan berat
500 gram, lalu dilakukan penyaringan dengan menggunakan vibrator ball mill mesh
8 dan dilakukan penimbangan. Kekerasan pelet diukur dengan rumus:
% Kekerasan Pelet = Berat pelet utuh setelah dijatuhkan x 100%
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Pelet Penelitian
Pelet hasil penelitian menunjukkan bahwa P2 (35% jagung + 10% sorgum)
dan P3 (35% jagung + 10% menir) memiliki penampakan warna yang lebih cerah
dibandingkan P1 (45% jagung), P2 dan P3 memiliki warna yang hampir sama
(berwarna coklat muda). Hal ini dipengaruhi oleh warna dasar bahan-bahan yang
digunakan. Jagung memiliki warna kuning tua (oranye), sedangkan sorgum berwarna
krem dan menir berwarna putih sehingga penggantian 10% jagung dengan sorgum
dan menir memberikan warna yang lebih cerah pada pelet yang dihasilkan.
Tekstur pelet hasil penelitian secara keseluruhan relatif sama yaitu memiliki
tekstur yang keras, kuat dan kompak. Permukaan pelet terlihat licin dan mengkilat.
Hal ini disebabkan karena pati yang terkandung dalam ransum. Kualitas fisik pelet
secara keseluruhan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil penelitian yang
tidak berbeda nyata menunjukkan bahwa substitusi 10% jagung dengan sorgum dan
menir tidak berpengaruh terhadap kadar air, ukuran partikel, ketahanan benturan dan
kekerasan pelet penelitian.
Tabel 5. Hasil Analisa Pati Pelet Penelitian
Kandungan P1 P2 P3
Pati (%) *) 35,52 35,73 38,51
Keterangan: P1 = Ransum dengan 45% Jagung
P2 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Sorgum P3 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Menir
Sumber: *). Hasil Analisa Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian (2005)
Hasil analisa pati menunjukkan kandungan pati pelet penelitian berturut-turut
adalah 35,52% (P1); 35,73% (P2) dan 38,51% (P3). Kandungan pati P3 paling tinggi
dibandingkan P1 dan P2. Hal ini disebabkan karena tingginya kandungan pati menir
(85 – 87 %) dibandingkan kandungan pati jagung (60 – 61 %) dan kandungan pati
sorgum (70 – 75 %).
Sebagai pembanding dengan pelet hasil penelitian, maka dilakukan pengujian
kualitas fisik terhadap pelet komersil. Kualitas fisik pelet komersil dapat dilihat pada
Tabel 6.
Tabel 6. Kualitas Fisik Pelet Komersil
Peubah Nilai
Kadar Air (%) 13,2
Ukuran Partikel (mm) 6,44
Ketahanan Benturan (%) 89
Kekerasan (%) 93,5
Kadar air
Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam suatu bahan
terhadap berat bahan tersebut. Kada r air dipengaruhi oleh jenis bahan, suhu dan
kelembaban udara sekitarnya (Syarief dan Halid, 1993). Kadar air mempengaruhi
bahan selama penyimpanan. Kadar air yang rendah memungkinkan bahan dapat
disimpan lama. Kandungan air yang tinggi akan mempengaruhi proses penyimpanan
bahan di ruang penyimpanan dan memberikan peluang bagi aktivitas organisme serta
bahwa kualitas bahan menurun akibat tumbuhnya jamur atau perkembangan bakter i
yang dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban udara.
Tabel 7. Kadar Air Pelet Penelitian
Perlakuan
Keterangan : superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata
(P<0,01)
P1 = Ransum dengan 45% Jagung
P2 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Sorgum
P3 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Menir
Kadar air pelet penelitian berkisar antara 9,93% sampai dengan 12,26% dan
setelah dianalisis statistik memiliki perbedaan yang sangat nyata antara P1 dan P2
dengan P3. Sedangkan antara P1 dan P2 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
Kadar air tertinggi terdapat pada P3 (35% jagung + 10% menir). Perbedaan kadar air
antara P1 dan P2 dengan P3 ini diduga disebabkan karena perbedaan bahan baku
yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Syarief dan Halid (1993) bahwa
kadar air dipengaruhi oleh kadar air bahan-bahan penyusunnya serta akiba t kondisi
lingkungan selama proses pengukuran yang memungkinkan terjadinya penyerapan
air dari udara.
Kadar air pelet penelitian lebih rendah dibandingkan kadar air pelet komersil
(13,2%). Air merupakan komponen yang penting dalam proses pembuatan pelet
karena fungsinya sebagai pelarut bahan, selain itu air juga berfungsi sebagai
pembentuk gelatin (Dewi, 2001). Jika air yang diperlukan untuk gelatinisasi terbatas,
maka gelatinisasi sempurna baru terjadi pada suhu yang lebih tinggi diatas 100 0C
Berdasarkan Direktorat Bina Produksi (1997), kadar air maksimum untuk
ransum unggas adalah 14%. Dengan demikian kadar air pelet penelitian masih
memenuhi persyaratan mutu pakan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Ukuran Partikel
Pengukuran ukuran partikel adalah proses penentuan rata -rata ukuran partikel
dalam sampel pakan atau bahan pakan. Ukuran partikel juga menjadi faktor penentu
penumpukan bahan pakan/pakan dalam bin dan berperan dalam menentukan
konversi pakan (Fogo, 1994). Ukur an partikel dipengaruhi oleh ukuran partikel
bahan-bahan penyusun ransum dan penambahan perekat. Penggunaan perekat dalam
pembuatan ransum bentuk pelet akan menyebabkan pelet yang dihasilkan lebih
kompak, padat dan tidak mudah pecah (Rasidi, 1997).
Tabel 8. Ukuran Partikel Pelet Penelitian
Perlakuan
Keterangan : P1 = Ransum dengan 45% Jagung
P2 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Sorgum
P3 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Menir
Hasil analisa pengukuran ukuran partikel pelet menunjukkan bahwa substitusi
10% jagung dengan sorgum dan menir tidak berpengaruh nyata terhadap ukuran
partikel pelet. Nilai ukuran partikel pelet berkisar antara 6,50 mm sampai dengan
6,69 mm. Ukuran partikel pelet penelitian tidak berbeda jauh dibandingkan pelet
komersil (6,44 mm). Ukuran partikel pelet penelitian yang dihasilkan cukup tinggi.
Ukuran partikel pelet dipengaruhi oleh ukuran partikel bahan-bahan baku penyusun
ransum. Semakin halus ukuran partikel bahan penyusun pelet maka ukuran partikel
pelet yang dihasilkan semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena semakin luas
partikel penyusun pelet yang menyebabkan pelet tidak mudah hancur. Selain itu
ukuran partikel pelet juga dipengaruhi oleh perlakuan conditioning seperti
penambahan air atau uap panas. Hasil penelitian Harmiyanti (2002) menunjukkan
bahwa perlakuan pemanasan dan penambahan air memberikan pengaruh yang sangat
nyata terhadap ukuran partikel pelet. Pelet yang diberi perlakuan pemanasan dan
penambahan air mempunyai ukuran partikel yang lebih tinggi dibandingkan pelet
tanpa perlakuan. Pemberian perlakuan pemanasan atau penambahan air sangat
menunjang terjadinya proses gelatinisasi. Pada saat proses gelatinisasi berlangsung
akan terbentuk gel yang berfungsi sebagai perekat yang mengikat
komponen-komponen bahan pakan sehingga pelet menjadi kokoh dan tidak mudah hancur
sehingga dihasilkan ukuran partikel yang tinggi.
Ketahanan Pelet terhadap Benturan
Ketahanan pelet terhadap benturan adalah parameter yang digunakan untuk
menguji daya tahan pelet terhadap benturan (Balagopalan et al., 1988). Pengujian
ketahanan pelet terhadap benturan berguna dalam proses transportasi pakan baik
didalam maupun diluar pabrik pakan. Thomas et al. (1997) menyatakan bahwa
kandungan bahan yang mempengaruhi ketahanan benturan pelet adalah pati, gula,
protein, serat dan lemak.
Tabel 9. Ketahanan Benturan Pelet Penelitian
Perlakuan
Rataan 84,73±1,91 88,40±2,08 89,38±2,81
Keterangan : P1 = Ransum dengan 45% Jagung
P2 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Sorgum
P3 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Menir
Hasil uji sidik ragam ketahanan benturan pelet menunjukkan kisaran 84,73
tidak berbeda nyata. Nilai ketahanan benturan pelet penelitian tidak berbeda jauh
dengan nilai ketahanan benturan pelet komersil (89%). Standar nilai ketahanan
benturan yang baik untuk pelet broiler menurut Dozier (2001) yaitu lebih besar dari
80%. Nilai ketahanan benturan pelet hasil penelitian memenuhi standar nilai
ketahanan benturan yang baik. Pelet yang diuji termasuk kriteria pelet yang
mempunyai ketahanan yang baik. Hal ini disebabkan karena adanya pati yang
memperkuat ikatan partikel antar bahan dalam pelet tersebut sehingga pelet menjadi
kokoh dan tidak mudah hancur. Menurut Angulo et al. (1995) ketahanan benturan
pelet dipengaruhi oleh kandungan dan jumlah bahan yang digunakan, ukuran
partike l, penggunaan perekat, dan pendinginan (cooling).
Kekerasan Pelet
Kekerasan pelet adalah salah satu uji kualitas fisik pelet terhadap ketahanan
pelet setelah dijatuhkan dari ketinggian 1 meter pada lempengan besi setebal 2 mm
(Balagopalan et al., 1988). Pengujian kekerasan pelet ini bertujuan dalam hal
penyimpanan pakan di silo/gudang, misalnya untuk mengetahui berapa ketinggian
tumpukan dalam silo. Selain itu uji kekerasan pelet juga berguna untuk mengetahui
palatabilitas ternak yang akan mengkonsumsi pa kan tersebut.
Tabel 10. Kekerasan Pelet Penelitian
Perlakuan
Rataan 95,33±1,15 97,67±1,14 97,40±0,72
Keterangan : P1 = Ransum dengan 45% Jagung
P2 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Sorgum
Nilai rataan kekerasan pelet berkisar antara 95,33 sampai 97,67%. Hasil sidik
ragam menunjukkan bahwa nilai rataan kekerasan pelet antar perla kuan tidak
berbeda nyata. Nilai rataan kekerasan pelet tidak berbeda jauh dibandingkan dengan
nilai kekerasan pelet komersil (93,5%). Semakin tinggi nilai kekerasan pelet maka
pelet tersebut semakin kokoh atau tidak mudah hancur. Hasil pengukuran kekerasan
pelet memperoleh persentase pelet utuh yang tinggi. Hal ini disebabkan karena
adanya pati yang berfungsi sebagai perekat yang memperkuat ikatan partikel bahan
sehingga pelet setelah dijatuhkan hanya sedikit mengalami kerusakan.
Nilai rataan kekerasan pelet dalam penelitian ini cukup tinggi dan menunjukkan
bahwa pelet tidak mudah hancur. Kekerasan pelet dipengaruhi oleh kandungan pati,
air dan panas.
Hasil akhir pelet penelitian menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata antar
perlakuan terhadap kadar air, ukuran partikel, ketahanan benturan dan kekerasan
pelet. Hasil analisa gelatinisasi (Lampiran 6, 7 dan 8) menunjukkan bahwa tidak
terjadi gelatinisasi pada pelet penelitian. Gelatinisasi terjadi pada saat proses
conditioning, sementara mesin produksi yang digunakan untuk menghasilkan pelet
penelitian tidak dilengkapi dengan proses conditioning. Hal ini menyebabkan hasil
akhir yang tidak berbeda antar perlakuan. Namun, pelet penelitian termasuk kategori
pelet yang baik karena memenuhi persyaratan mutu kualitas pelet yaitu kadar air
kurang dari 14%, ukuran partikel pelet tinggi, ketahanan benturan lebih dari 80% dan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Substitusi 10% jagung dengan sorgum dan menir tidak menunjukkan
perbedaan terhadap kadar air, ukuran partikel, ketahanan benturan dan kekerasan
pelet penelitian. Penggunaan bahan sumber pati dalam ransum menghasilkan pelet
yang kokoh dan tidak mudah hancur.
Saran
Perlu peningkatan jumlah bahan sumber pati (sorgum dan menir) da lam
menggantikan jagung untuk melihat pengaruhnya terhadap kualitas fisik pelet. Selain
itu, penggunaan bahan sumber pati dalam proses pembuatan pelet sebaiknya
UCAPAN TERIMAKASIH
Bismillahirrohmanirrohim,
Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat,
nikmat dan karuniaNya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Berkat
bantuan dan dukungan dari banyak pihak akhirnya skripsi ini bisa diselesaikan.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Yuli Retnani, MSc sebagai
Dosen Pembimbing Utama dan Dr. Ir. Heri A. Sukria, MSc sebagai Dosen
Pembimbing Anggota atas segala bimbingan, kesabaran, dan pengarahan yang
diberikan selama penelitian hingga akhir penulisan skripsi. Kepada Dr. Ir. Toto
Toharmat, MSc selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan dan arahannya
selama penulis menuntut ilmu di IPB dan kepada seluruh staf pengajar Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Erika B. Laconi, MS
sebagai dosen penguji seminar, serta Ir. Widya Hermana Msi dan Dr. Ir. Iman
Rahayu HS. MS. Sebagai dosen penguji sidang atas masukan, kritik dan saran yang
telah diberikan.
Terimakasih yang tak terhingga penulis ucapkan untuk keluarga tercinta: Papa,
Mama, kak Derry, Dino dan Dini atas doa dan kasih sayang, kesabaran, serta
dukungan baik moril maupun materil.
Terimakasih kepada Ir. Lidy Herawati, MS, Mbak Anis, Pak Atip, Pak Ukad,
dan Pak Hadi atas bantuannya selama penelitian di Bagian Industri dan Makanan
ternak. Kepada teman-teman sepenelitian dan sahabat-sahabatku: Butet, Uyie, Nunik,
dan Niken atas persahabatan dan kebersamaannya selama kuliah di IPB serta kepada
semua pihak yang telah membantu Penulis da lam penyelesaian skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Januari 2006
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, I. 2003. Nutrisi Ayam Broiler. Penerbit: Lembaga Satu Gunung Budi, Bogor.
Angulo, E., J. Brufau and E. Estvee-Garcia. 1995. Effect of sepiolite on pellet durability in feeds differing in fat and fibre content. J. Anim Feeds Sci and Tech. 53: 233-241.
Assauri, S. 1980. Manajemen Produksi. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia, Jakarta.
Bala, B. K. 1997. Drying and Storage of Cereal Grains. Scince Publisher, Inc. Enfield (NH), USA Plymouth, UK.
Balagopalan, C., G. Padmaja., S. K. Nanda., S. N. Moorthy. 1988. Cassava in Food, Feed and Industry. IRC Press, Florida.
Cheeke, P. R. 1991. Applied Animal Nutrition. 2nd Edition. Department of Animal Science, Oregon State University, Prentice Hall, Inc. Florida.
Dewi, P. 2001. Uji sifat fisik ransum ikan bentuk pelet dengan penyemprotan air panas dan penambahan perekat tepung tapioka. Skripsi. Fakultas Peternakan Instit ut Pertanian Bogor, Bogor.
Direktorat Bina Produksi. 1997. Kumpulan SNI Ransum. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta.
Dozier, W.A. 2001. Kualitas Pelet Pakan Unggas Pedaging. Feed International, Amerika.
Ensminger, M. E., J. E. Olf ield and W. W. Hiennemann. 1990. Feed and Nutrition. 2n d Edition. The Ensminger Publishing Company. California.
Fairfield, D. 1994. Pelleting Cost Center. In: R. R. McEllhiney (Editor). Feed Manufacturing Industry. 4th Edition. American Feed Industry Assoc iation Inc. Arlington.
Fogo, W. 1994. Laboratory Testing. I n: R. R. McEllhiney (Editor). Feed Manufacturing Industry. 4th Edition. American Feed Industry Association Inc. Arlington.
Gunawan, dan D. Zainudin. 1995. Komposisi zat nutrisi dan antinutrisi beberapa jenis sorgum sebagai faktor utama dalam penyusunan ransum ternak. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Bogor.
Harmiyanti, Y. 2002. Uji sifat fisik ransum ayam broiler bentuk pelet dengan penambahan perekat lignosulfonat dan bentonit serta beberapa proses pengolahan. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hasanah, N. 2002. Uji sifat fisik ransum ayam broiler bentuk pelet yang ditambahkan perekat onggok melalui proses penyemprotan air. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Herman, T.J. 2000. Feed Quality Assurance. American Soybean Association, Singapore.
Henderson, S. M, dan R. L. Perry. 1981. Agricultural Process Engineering. 3rd Edition. The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut.
Hubeis, M. 1984. Pengantar Pengolahan Tepung Serealia dan Biji-bijian. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Jugenheimer, R. W. 1976. Corn Improvement Seed Production and Uses. A. Willey Interscience Publication. John Willey and Sons, Inc. , New York.
Kadarisman, K. 1986. Pengaruh kelembaban ruangan dan kadar air awal gabah varietas cisadane selama penyimpanan terhadap perubahan kadar air, rendemen beras giling, beras kepala, beras dan menir. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kolatac, R. P. 1996. Understanding Particulate Solids. In Chemical Procesing. Http://www.nanticom.net//www//Jhorst/Paper1html1 .
Khalil dan Suryahadi. 1997. Pengawasan Mutu dalam Indust ri Pakan Ternak. Majalah Poultry Indonesia Edisi 213 (November): 45-62
Kriangsak Sathanapari, Therdchai Vearasilp and Chanvit Vajrabukka. 1990. Digestibility of starch of cassava chips, ground paddy and broken rice in the digestive tract of dairy cows. Journal of Agriculture 6: 265-280.
Kulp, K. 1975. Enzymes in Food Processing. G. Reed, (Editor) Academic Press, New York.
Lineback, D. R. and Inglett, G. E. 1982. Food Carbohydrates. AVI Publ. Company Inc., Westport, Connecticut.
Mc Donald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh and C. A. Morgan. 1995. Animal Nutrition. 5th Edition. Longman. Singapore.
McEllhiney, R. R. 1994. Feed Manufacturing Industry 4th Edition. American Feed Industry assosiaction Inc. Arlington.
Muchtadi, R. T. dan Sugiyono. 1989. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Petunjuk Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mudjisihono, R. 1990. Struktur dan Karakter Biji Sorgum serta Pemanfaatannya untuk Bahan Makanan. Reflektor Vol. 3 No. 1-2.
Owens, J. M and M. Heimaan. 1994. Material Processing Cost Center. I n: R. R. McEllhiney (Editor). Feed Manufacturing Industry. 4th Edition. American Feed Industry Association Inc. Arlington.
Patrick, H. and P. J. Schaible. 1980. Poultry: Feed and Nutrition. 2nd Edition. The
Pfost, H. B. 1976. Feed Manufacturing Technology. American Feed Manufacturing Association. Inc. Arlington.
Rasya f, M. 2003. Beternak Ayam Pedaging. Cetakan ke-23. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.
Scott, M.L., M.C. Nesheim and R.J. Young. 1982. Nutrition of the Chicken. 3rd Edition. M.L. Scott and Associates, Ithaca. New York.
Somaatmadja, D. 1968. Pengolahan Jagung. Balai Penelitian Kimia, Bogor.
Steel, G. D. and J. H. Toorie. 1993. Prinsip Prosedur Statistika. Terjemahan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sutardi, T. 1997. Peluang dan Tantangan Pengembangan Ilmu-ilmu Nutrisi Ternak. Makalah Orasi Ilmiah sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Nutrisi Ternak pada Fakultas Peternakan IPB, disampaikan pada tanggal 4 Januari 1997. Bogor.
Syarief, R dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan, Jakarta.
Thomas, M., D. J. van Zuilichem and A. F. B. van der Poel. 1997. Physical quality of peleted animal feed 2. Contribution of process and its conditions. J. Anim Feed Sci and Tech. 64 (2): 173-192
Thomas, M and A. F. B. van der Poel. 1998. Physical quality of peleted animal feed 3. Criteria for peleted quality. J. Anim Feed Sci and Tech. 70 (3): 59-78.
Tyler, W.S. 1959. Tyler Sieves for Clasifying Ganular Materials. I n: S.M Henderson and R. L Perry. Agricultural Process Engineering. 3rd Edition. The Avi Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut.
Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Ternak Unggas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Winarno, F. G. 1980. Kimia Pangan. Pusat Pengembangan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Winarno, F. G. 1988. Teknologi Pengolahan Jagung. Dalam Subandi, M. Syam dan A. Widjono (Ed). Jagung. Balai Penelitian Pengembangan Tanaman, Pusat Penelitian Pengembangan Tanaman Pangan.
Lampiran 1. Sidik Ragam Kadar Air
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Perlakuan 2 8,35 4,17 15,15 * * 5,14 10,92
Eror 6 1,65 0,28
Total 8 10 1,25 Keterangan : ** = sangat nyata
Lampiran 2. Uji Kontras Ortogonal Kadar Air
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Perlakuan 2 8,35 4,17 15,15 * * 5,14 10,92
1 2 vs 3 1 7,22 7,22 26,20 * * 5,99 13,75
1 vs 2 1 1,13 1,13 4,09 tn 5,99 13,75
Eror 6 1,65 0,28
Total 8 10 1,25
Keterangan : ** = berbeda sangat nyata tn = tidak berbeda nyata
Lampiran 3. Sidik Ragam Ukuran Partikel
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Perlakuan 2 0,000623 0,000312 1,12 tn 5,14 10,92
Eror 6 0,001667 0,000278
Lampiran 4. Sidik Ragam Ketahanan Benturan
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Perlakuan 2 36,03 18,02 3,40 tn 5,14 10,92
Eror 6 31,78 5,30
Total 8 67,82 8,48
Keterangan : tn = tidak berbeda nyata
Lampiran 5. Sidik Ragam Kekerasan
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Perlakuan 2 9,79 4,89 4,67 tn 5,14 10,92
Eror 6 6,29 1,05
Total 8 16,08 2,01
Keterangan : tn = tidak berbeda nyata
Lampiran 7. Grafik Gelatinisasi Pelet II ( 35% Jagung + 10% Sorgum )