• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Penelitian

Penjaringan (screening) terhadap karyawan perusahaan merupakan tahapan awal pelaksanaan penelitian, untuk mencari sampel yang kemudian dijadikan sebagai responden. Karyawan yang dijaring berjumlah 780 orang karyawan yang keseluruhannya adalah wanita berasal dari divisi dan lokal kerja yang berbeda, mereka yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi kemudian ditetapkan sebagai responden dalam hal ini diperoleh 200 responden.

Pada tahap perencanaan dan pelaksanaan suplementasi, peneliti berusaha untuk menngkatkan validitas data, yakni dilakukan antara lain randomisasi sampel oleh petugas khusus independen yang tidak terlibat dalam penelitian, menetapkan persyaratan inklusi dan eksklusi, mengadakan pengarahan kepada responden sebelum suplementasi diberikan, memotivasi responden untuk mengkonsumsi suplemen, menyertakan izin pelaksanaan penelitian dari badan yang berwenang yakni dalam hal ini dari pihak perusahaan dan Etical Clearance (Lampiran 1) dari Badan Peneliti dan Pengembangan Kesehatan (Departemen Kesehatan RI) dan berusaha meyakinkan responden untuk bersedia mengikuti tiap tahapan penelitian secara konsisten yang dibekali dengan pernyataan Informed consent (Lampiran 2) yang diisi secara sukarela oleh responden. Disamping itu juga, dari segi teknis, alat ukur timbangan, tinggi badan, dan alat analisis darah yang digunakan telah dikalibrasi sebelum digunakan dan analisis sampel darah dilakukan oleh tenaga ahli di laboratorium Biokimia Puslitbang Gizi dan Makanan Depkes Bogor.

Titer Immunoglobuline G (IgG) merupakan salah satu kriteria yang dikenakan paling awal. Karyawan yang dapat terjaring yakni yang memiliki titer IgG positif (+), karyawan dengan titer IgG negatif (-) dinyatakan keluar dari kriteria responden. Selanjutnya karyawan melewati tahapan kriteria inklusi lainnya antara lain sehat, tidak menderita penyakit kronis, tidak sedang melakukan diet, tidak sedang mengandung, dapat berdiri tegak, tidak minum alkohol, tidak merokok, tidak sedang menstruasi pada saat pengambilan sampel darah, tidak sedang hamil dan tidak sedang menyusui.

Kriteria eksklusi berlaku pada saat setelah pelaksanaan penelitian dilakukan, yakni responden keluar sebagai sampel penelitian apabila melakukan kriteria ini, antara lain sedang mengkonsumsi obat yang mempengaruhi imunitas, minum obat cacing pada saat pelaksanaan suplementasi dan pada akhir penelitian mengkonsumsi kurang dari 80 persen dari suplemen yang diberikan.

Sebelum suplementasi diberikan, dilakukan pengambilan darah awal atau darah 0 (Baseline), responden dipuasakan selama delapan jam (sepanjang malam) kemudian darah diambil pada pagi harinya oleh petugas khusus terlatih dari Puslitbang Gizi sebanyak 6 ml dengan menggunakan winged infusion set 23Gx3/4”

(Terumo) dialirkan dari pembuluh darah vena yang berada di daerah lipaatan siku, yang kemudian ditampung pada tabung reasksi, kemudian darah disimpan pada boks es dan secepatnya dimobilisasi ke laboratorium yakni laboratorium biokimia Puslibang Gizi dan laboratorium Makmal terpadu FKUI Jakarta untuk segera di analisis. Analisis sel NK, sebanyak 2,5 ml darah ditampung pada tabung yang berisi tripotasium EDTA dan bebas metal (Becton Dickinson) dengan menggunakan alat flowcytometer. Analisis kadar serum vitamin A dan total limfosit dilakukan di laboratorium Biokimia Puslitbang Gizi Bogor, diambil 2 ml darah yang selanjutnya disentrifugasi untuk diambil serumnya, serum kemudian dianalisis dengan menggunakan alat High Performance Liquid Chromatography (HPLC), sedangkan untuk total limfosit digunakan 0,5 ml darah yang kemudian dianalisis dengan menggunakan alat Hematocytometer.

Obat cacing diberikan kepada semua responden pada minggu pertama sebelum suplementasi, perlakuan ini diberikan untuk menghindari faktor yang mengganggu hasil analisis serum di laboratorium karena cacing dalam tubuh dapat menyebabkan terganggunya penyerapan terhadap zat gizi yang dikonsumsi.

Suplementasi dilaksanakan selama sepuluh minggu, penelitian menggunakan empat perlakuan yakni plasebo, plasebo + TT, multivitamin mineral (MVM) dan multivitamin mineral + TT (MVM + TT), pada tahap awal masing-masing perlakuan berjumlah 50 responden. Kapsul diberikan 2 butir perhari kepada tiap respoden, dan untuk memastikan bahwa suplemen telah dikonsumsi, sebagian besar responden meminum suplemen didepan petugas dengan menggunakan air yang telah disiapkan.

Pengambilan darah selanjutnya dilakukan pada minggu keenam dan minggu kesepuluh suplementasi dengan cara yang sama seperti pada baseline. Vaksinasi Tetanus toxoid (TT) diberikan setelah pengambilan darah pada minggu keenam (intermediate) terhadap responden dari kelompok yang terpilih secara acak sebagai kelompok perlakuan vaksinasi. Imunisasi aktif dengan Tetanus toxoid terbukti efektif dan aman (Bleck 1991).

WHO merekomendasikan bayi yang baru lahir seharusnya dilindumgi secara pasif dengan perlakuan pemberian sedikitnya dua dosis Tetanus toxoid yang diberikan kepada ibu mereka pada saat mereka masih dalam kandungan dan anak-anak tersebut selanjutnya seharusnya mendapatkan setidaknya tiga dosis vaksin diphtheria-tetanus-pertusis (DPT) (Dietz et al. 1997). Vaksinasi tetanus toxoid juga telah banyak digunakan dalam beberapa studi dibeberapa negara dan terbukti aman (Christenson et al 1991; Passeti et al. 1997; Aboud et al. 2000).

Pola konsumsi makan digali dengan menggunakan metode FFQ (Lampiran 4). Metode ini merupakan metode yang umum dipakai untuk mengukur intik pangan dan gizi jangka panjang dan merupakan alat yang biasa digunakan untuk menentukan perkiraan konsumsi pangan individu termasuk kelompok dalam waktu lama (Spark 2007). Pengukuran status gizi antropometri dilakukan oleh petugas dan peneliti, penimbangan berat badan dilakukan dengan menggunakan timbingan digital dan pengukuran tinggi badan dilakukan dengan menggunakan alat microtois. Identitas responden digali dengan wawancara menggunkan kuesioner yang dilakukan oleh peneliti, meliputi nama, tempat tanggal lahir, pendidikan terakhir, merokok, minum alkohol, sedang berdiit, jumlah anggota keluarga status sosial ekonomi responden dan juga data-data morbiditas.pemeriksaan kesehatan klinis dilakukan oleh petugas khusus yang dilakukan oleh seorang dokter dari Puslitbang Gizi. Pemerikasaan kesehatan meliputi pemerikasaan fisik responden (Lampiran 4).

Keluhan yang di alami responden dicatat pada tiap harinya, baik karena keluhan minum kapsul, terlalu lelah karena beban kerja, maupun karena sakit ringan seperti pilek, batuk, mual, pegal-pegal dan demam. Selama penelitian tidak terdapat responden yang mengalami penyakit yang dapat membahayakan kesehatan seperti penyakit kronis.

Kepatuhan terhadap konsumsi kapsul merupakan faktor penting dalam validasi data, peneliti melakukan cross chek kepada responden dengan menanyakan sehari setelahnya apakah telah meminum kapsul atau belum (Lampiran 3), responden yang menyatakan tidak meminum kapsul kemudian dicatat oleh petugas, karena apabila responden tidak mengkonsumsi lebih dari duapuluh persen, maka responden dinyatakan keluar dari kriteria responden penelitian.

Pada penelitian ini drop-out terjadi karena bebrapa hal, antara lain, tidak mau mengkonsumsi kapsul, tidak di izinkan suami, tidak mau lagi diambil darah dan merasa kesehatannya menurun setelah mengkonsumsi kapsul. Angka drop- out paling tinggi terjadi pada kelompok plasebo, dengan jumlah responden keluar mencapai 44%, sedangkan kelompok plasebo + TT, MVM, MVM + TT masing- masing mencapai 40%. Sesuai dengan studi suplementasi pada wanita remaja yang dilakukan tanpa supervisi tingkat drop-out bisa mencapai 40-50% (Soekarjo et al. 2004; Ahmed et al. 2001). Meskipun demikian, jumlah ini masih memenuhi persyaratan minimum sampel berdasarkan rumus uji beda rata rata pada 2 kelompok independen dengan menggunakan rumus Lemeshow. Hasil perhitungn yang merujuk dari penelitian sebelumnya (Stephensen 2000) jumlah sampel minimum yang diperlukan yakni 14 orang.

Bias data berusaha diatasi peneliti dengan metode desain penelitian yang digunakan yakni dengan Double Blind sedangkan faktor lain yang dapat terjadi karena pengaruh penggunaan obat yang mempengaruhi imunitas pada penelitian ini kecil kemungkinan terjadi. Responden yang menyatakan dirinya kurang sehat melaporkan kepada peneliti atau memberikan keterangan ketika ditanya peneliti mengenai obat yang diminumya, konsumsi obat yang biasa untuk mengobati gangguan kesehatan ringan masih dapat ditolerir.

Karakteristik Responden

Sampel dalam penelitian ini yakni wanita dan telah menikah. Pemilihan wanita sebagai sampel berkaitan dengan status responden yang pernah mendapat vaksinasi Tetanus toxoid (TT) pada saat sebelum menikah dan akan hamil. Pemberian perlakuan vaksinasi TT dihubungkan dengan respon fungsi kekebalan pada responden. Karakteristik sampel terpilih yang kemungkinan sebagai faktor

yang mempengaruhi kadar vitamin A serum meliputi usia, status ekonomi, besar keluarga, tingkat pendidikan dan juga satus gizi responden, akan tetapi karakteristik ini merupakan gambaran secara umum responden dan tidak diteliti responnya terhadap peningkatan kadar vitamin A serum setelah perlakuan suplementasi.

Kategori Usia

Tabel 6 menunjukkan lebih dari setengah responden dari semua kelompok perlakuan termasuk kategori usia 30-39 tahun. Responden dengan kategori usia 20-29 tahun memiliki variasi antara 16,7%-35,7%, sedangkan proporsi kategori usia terendah terdapat pada kategori usia >40 tahun dengan persentase dibawah 13,3%. Menurut Papalia dan Olds (1981) sebagian besar usia responden tersebut tergolong ke dalam dewasa muda (20-40 tahun). Menurut Atmarita dan Fallah, (2004) usia responden tersebut termasuk dalam kisaran usia produktif yakni abtara usia 15-64 tahun.

Tabel 6 Sebaran responden pada tiap kelompok menurut kategori usia

Kelompok Kategori usia n % p

Plasebo 20 - 29 Tahun 10 35,7 0,277 30 - 39 Tahun 17 60,7 > 40 Tahun 1 3,6 Plasebo + TT 20 - 29 Tahun 5 16,7 30 - 39 Tahun 21 70 > 40 Tahun 4 13,3 MV M 20 - 29 Tahun 8 26,7 30 - 39 Tahun 20 66,7 > 40 Tahun 2 6,7 MVM + TT 20 - 29 Tahun 10 16,7 30 - 39 Tahun 17 70 > 40 Tahun 3 13,3

Pengkategorian usia responden mengacu pada Saidin et al. (2003). Rata-rata usia responden lebih dari 30 tahun dimana usia terendah terdapat pada kelompok plasebo meskipun tidak berbeda nyata (p>0,05).

Status Ekonomi

Salah satu gambaran yang menentukan status ekonomi keluarga responden adalah pendapatan atau pengeluaran untuk pangan dan gizi (Suhardjo & Khumaidi

1997). Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Kurangnya pendapatan akan berakibat buruk pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli untuk dikonsumsi pangan keluarga yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan status gizi (Berg 1986).

Melihat kesamaan posisi pekerjaan, pembagian jam kerja dan juga dalam hal penerimaan gaji yang relatif sama disamping pendapatan lain, berdasarakan World bank, pengkategorian status ekonomi responden, lebih dari setengah responden pada kelompok plasebo dan plasebo + TT termasuk ke dalam status ekonomi miskin, begitu juga pada kelompok multivitamin dan kelompok multivitamin + TT hampir sebagian besar responden termasuk ke dalam kategori miskin (Tabel 7).

Berdasarkan batas kemiskinan kabupaten Bogor menurut BPS (2007) sebesar Rp. 183.067,00,-/kapita/bulan, data pendapatan responden dikategorikan menjadi sejahtera dan tidak sejahtera. Seluruh kelompok perlakuan pada penelitian ini dikategorikan status ekonomi sejahtera. Hanya 3.3% responden pada kelompok MVM tergolong kategori tidak sejahtera (Tabel 1). Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam pemerolehan pendapatan anta kelompok perlakuan (P>0,05).

Tabel 7 Sebaran responden pada tiap kelompok menurut status ekonomi

Perlakuan Kategori pendapatan n % p Plasebo Tidak sejahtera 0 0.0 0.426 Sejahtera 28 100.0 Plasebo + TT Tidak sejahtera 0 0.0 Sejahtera 30 100.0 MVM Tidak sejahtera 1 3.33 Sejahtera 28 96.7 MVM + TT Tidak sejahtera 0 0.0 Sejahtera 30 100.0

Total pendapatan rata-rata responden sebagian besar berasal dari gaji sebagai karyawan (sudah termasuk upah lembur) ditambah dengan pendapatan

dari anggota keluarga lainnya. Apabila dikaitkan dengan standar pendapatan menurut batas kemiskinan World Bank bagi negara berkembang sebesar 2 dolar (kurs Rp. 9300,00,-/dolar), status ekonomi lebih dari setengah kelompok kontrol dan sebagian besar kelompok perlakuan suplementasi pada penelitian ini dikategorikan tidak sejahtera.

Pendapatan keluarga akan mempengaruhi daya beli keluarga untuk pangan dan memenuhi kebutuhan pangan keluarga (Sajogyo 1983). Pendapatan seseorang sangat menentukan pemilihan pangan yang akan dikonsumsi, dengan pendapatan tinggi maka kemampuan untuk membeli bahan pangan akan semakin beragam, sebaliknya dengan pendapatan yang rendah menyebabkan daya beli yang rendah, maka kemampuan untuk membeli pangan yang beragam akan terbatas, sehingga keluarga tidak mampu memenuhi kecukupan konsumsi pangan yang akhirnya berakibat buruk terhadap status gizi (Widyastuti 2004).

Besar Keluarga

Besar keluarga menurut BKKBN (1998) di bagi menjadi keluarga kecil jika anggota keluarga ≤ 4 orang, keluarga sedang jika 5-6 orang, dan keluarga besar jika ≥ 7 orang.

Jumlah anggota keluarga juga akan mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang tersedia dalam keluarga. Terdapat hubungan yang sangat nyata antara jumlah anggota keluarga dengan status gizi, khususnya pada keluarga yang berpenghasilan rendah. Pemenuhan makanan akan lebih mudah jika jumlah anggota keluarganya sedikit. Pada taraf yang sama, keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan sulit memenuhi jika dibandingkan dengan keluarga yang memiliki jumlah anak banyak (Suhardjo 1989)

Menurut Sediaoetama (1989) pengaturan pengeluaran untuk pangan sehari- hari akan lebih sulit jika jumlah anggota keluarga banyak. Hal ini menyebabkan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi anggota keluarga tidak mencukupi kebutuhan.

Berdasarkan Tabel 8, diketahui bahwa sebagian besar responden merupakan keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga kurang dari atau berjumlah 4 orang, dengan persentase terbesar berada pada kelompok MVM. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga responden memiliki jumlah anak 2

orang, berkaitan dengan umur responden yang lebih dari setengah berada pada kategori dewasa muda, dan juga jika dilihat dari status pernikahan responden, hanya 5% dari total responden yang hidup tanpa kepala kelurga (janda).

Tabel 8 Sebaran responden pada tiap kelompok menurut Jumlah anggota keluarga

Kelompok Kategori n % p Placebo < 4 Orang 25 89,3 0,294 5 - 7 Orang 3 10,7 Placebo + TT < 4 Orang 27 90,0 5 - 7 Orang 3 10,0 MVM + TT < 4 Orang 24 80,0 5 - 7 Orang 6 16,7 MVM < 4 Orang 27 90,0 5 - 7 Orang 2 6,7 > 7 Orang 1 3,3

Dalam hubungannya dengan pengeluaran rumah tangga, Sanjur (1982) menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga yaitu banyaknya anggota suatu keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga terutama pengeluaran untuk makanan yang berpengaruh terhadap asupan zat gizi anggota keluarga termasuk responden.

Tingkat pendidikan responden

Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap asupan makanan termasuk pola konsumsi pangan dan status gizi. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang murah tetapi kandungan gizinya tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik (Suhardjo 1996).

Tabel 9 menunjukkan tingkat pendidikan kelompok perlakuan plasebo lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok lainnya dengan proporsi terbesar tingkat pendidikan SLTA sebesar 39,3 persen, akan tetapi secara keseluruhan tingkat pendidikan responden masih rendah karena setengah dari responden pada kelompok plasebo berpendidikan SD dengan proporsi persentasi sebesar 50 persen dan lebih dari setengah responden (56,7 persen) pada kelompok MVM + TT tamat SLTP, hanya 3,3% dari seluruh kelompok yakni kelompok MVM yang berpendidikan akademi/dipoloma/PT.

Tabel 9 Sebaran responden pada tiap kelompok menurut tingkat pendidikan

Perlakuan Kategori Tk. Pendidikan n % p

Plasebo Tamat SD 4 14,29 0,478 Tamat SLTA 11 39,29 Tamat SLTP 12 42,86 Tidak Tamat 1 3,57 Plasebo + TT Tidak Tamat 1 3,33 Tamat SD 15 50 Tamat SLTA 5 16,67 Tamat SLTP 9 30 MVM Tamat SD 12 40 Tamat SLTA 6 20 Tamat SLTP 11 36,67 Tamat D3 1 3,33 MVM + TT Tamat SD 7 23,33 Tamat SLTA 6 20 Tamat SLTP 17 56,67

Status Gizi Responden

Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan yang dapat dinilai dengan berbagai cara, salah satunya dengan antropometri. Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. (Jellife 1966).

Indeks masa tubuh merupakan salah satu ukuran antropometri yang digunakan untuk mengukur status gizi, yakni dengan membagi berat badan dengan tinggi badan, kemudian dikategorikan menjadi beberapa kriteria.

Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain : berat badan dan tinggi badan (Supariasa et al. 2001). Berat badan digunakan dalam pengukuran karena merupakan satu-satunya ukuran tunggal yang ekonomis dan paling peka digunakan apabila dibandingkan dengan tinggi badan (Riyadi 2001).

Berdasarkan Tabel 10, setengah dari kelompok plasebo dan lebih dari setengah pada kelompok perlakuan plasebo + TT, MVM dan MVM + TT memiliki status gizi baik. Akan tetapi pada kelompok plasebo + TT dan pada

kedua kelompok perlakuan multivitamin dan mikromineral masih terdapat responden dengan status gizi buruk dan kurang dengan proporsi dibawah 7 %.

Tabel 10 Sebaran status gizi responden pada tiap kelompok menurut IMT (Kg/M2)

Kelompok Kategori IMT n % p

Plasebo

Gizi kurang (17.0-18.4) 1 3,57

0,887

Gizi baik (18.5-24.9) 14 50

Gizi lebih (overweight) (25.0-

27.0) 7 25 Obesitas (>27.0) 6 21,43 Plasebo + TT Gizi kurang (17.0-18.4) 1 3,33 Gizi baik (18.5-24.9) 20 66,67

Gizi lebih (overweight) (25.0-

27.0) 4 13,33

Obesitas (>27.0) 5 16,67

MVM

Gizi buruk (< 17.0) 1 3,33

Gizi baik (18.5-24.9) 21 70

Gizi lebih (overweight) (25.0-

27.0) 4 13,33 Obesitas (>27.0) 4 13,33 MVM + TT Gizi buruk (< 17.0) 2 6,67 Gizi kurang (17.0-18.4) 1 3,33 Gizi baik (18.5-24.9) 17 56,67

Gizi lebih (overweight) (25.0-

27.0) 4 13,33

Obesitas (>27.0) 6 20

Rata-rata status gizi responden seluruh kelompok perlakuan termasuk kedalam kategori gizi baik dengan rata-rata tertinggi IMT terdapat pada kelompok MVM meskipun tidak berbeda nyata dengan kelompok lainnya (p>0.05).

Frekuensi konsumsi Responden Frekuensi Konsumsi Sumber Karbohidrat

Seluruh responden pada tiap kelompok perlakuan mengkonsumsi makanan pokok sumber karbohidrat tunggal (nasi) minimal satu kali sehari, dengan proporsi persentase sumber karbohidrat lain pada hampir seluruh perlakuan berupa mie, roti, jagung, biskuit pada kategori jarang, yakni satu sampai dua kali seminggu, sedangkan pada kelompok MVM untuk frekuensi konsumsi biskuit

proporsi konsumsi berada pada kategori sering dengan persentase terbesar (40%), pada kelompok pangan ubi jalar proporsi persentase terbesar untuk semua kelompok perlakuan berada pada kategori sangat jarang (Tabel 11). Proporsi persentase secara lengkap untuk tiap kategori frekuensi konsumsi responden tertera pada Lampiran 5.

Tabel 11 Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi pangan sumber Karbohidrat per minggu

kelompok pangan frekuensi Perlakuan Plasebo (n=28) Plasebo + TT (n=30) MVM (n=30) MVM + TT (n=30) n % n % n % n %

Nasi setiap hari (>7) 28 100.0 30 100.0 30 100.0 30 100.0 Mie jarang (1-2x /minggu) 16 57.1 17 56.7 13 43.3 13 43.3 Roti jarang (1-2x /minggu) 13 46.4 12 40.0 12 40.0 11 36.7 Jagung jarang (1-2x /minggu) 11 39.3 11 36.7 13 43.3 10 33.3 Biskuit sering (3-5x /minggu) 3 10.7 2 6.7 12 40.0 4 13.3 jarang (1-2x /minggu) 10 35.7 12 40.0 9 30.0 11 36.7 Ubi Jalar sangat jarang (1-

3x /bln) 13 46.5 10 33.4 12 40 12 40

Karbohidrat menyumbang sekitar setengah dari total intik kalori, dan merupakan sumber energi utama pada rata-rata diet manusia (Groff & Gropper,1999). Energi yang diperoleh dari konsumsi pangan dibutuhkan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, pemeliharaan, pertumbuhan tubuh dan juga tenaga untuk metabolisme normal zat gizi lain dalam jaringan.

Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Protein

Pentingnya protein dalam gizi dan kesehatan tidak diragukan lagi. Protein esensial secara gizi karena terdiri dari asam amino yang beberapa harus disintesa sendiri oleh tubuh untuk dapat berjalannya metabolisme normal tubuh (Groff & Gropper 1999). Asam-asam amino tersebut dapat berasal dari tumbuhan maupun hewan (Piliang & Al haj 2006).

Berdasarkan Tabel 12, Konsumsi pangan sumber protein nabati cukup baik pada tiap kelompok. Tempe dan tahu memiliki proporsi terbesar dengan kategori sering, yakni mengkonsumsi tiga sampai lima kali seminggu. Pangan nabati

penting karena salah satu sumber zat gizi protein yang diperlukan tubuh untuk proses regenerasi sel (Almatsier 2002).

Tabel 12 Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi pangan sumber protein nabati per minggu

Kelompok pangan Frekuensi Perlakuan Plasebo (n=28) Plasebo + TT (n=30) MVM (n=30) MVM + TT (n=30) n % n % n % n %

Tempe sering (3-5x /minggu) 13 46.4 13 43.3 17 56.7 15 50.0 Tahu sering (3-5x /minggu) 13 46.4 10 33.3 18 60.0 17 56.7 Oncom sangat jarang (1-3x /bln 7 15 11 26.7 10 33.3 10 33.4 tidak pernah 11 39.3 6 20.0 9 30.0 10 33.3

Bahan makanan asal hewani merupakan bahan makanan yang sangat esensial bagi manusia karena sebagai salah satu sumber protein pangan dengan nilai biologi yang lebih tinggi dari pada pangan nabati, karena protein yang berasal dari tanaman tergolong protein yang tidak lengkap yang mengandung beberapa asam amino esensial dalam jumlah rendah (Piliang & Al haj 2006).

Dari Tabel 13 terlihat frekuensi konsumsi pangan sumber protein hewani untuk kelompok pangan telur memiliki proporsi persentase terbesar pada tiap kelompok dengan frekuensi konsumsi sering (tiga sampai lima kali seminggu) dengan kelompok MVM + TT memiliki persentase terbesar (60%). Sedangkan pada kelompok pangan hewani sumber protein lainnya seperti ayam, daging sapi, hati sapi, hati ayam, ikan segar dan susu bubuk memiliki frekuensi jarang dan sangat jarang, bahkan pada kelompok pangan keju hampir seluruh responden pada tiap kelompok tidak pernah mengkonsumsinya.

Tabel 13 Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi pangan sumber protein hewani per minggu

kelompok pangan frekuensi Perlakuan Plasebo (n=28) Plasebo + TT (n=30) MVM (n=30) MVM + TT (n=30) n % n % n % n %

Telur sering (3-5x /minggu) 13 46.4 13 43.3 16 53.3 18 60.0 Ayam jarang (1-2x /minggu) 15 53.6 20 66.7 15 50.0 21 70.0 Daging

sapi

sangat jarang (1-3x /bln 10 34.8 15 50 7 23.3 14 46.7 tidak pernah 16 57.1 13 43.3 23 76.7 13 43.3 Hati sapi tidak pernah 20 71.4 22 73.3 26 86.7 20 66.7 hati ayam jarang (1-2x /minggu) 11 39.3 14 46.7 6 20.0 11 36.7

sangat jarang (1-3x /bln 10 35.7 9 30 10 33.3 11 36.6 Ikan segar jarang (1-2x /minggu) 16 57.1 16 53.3 12 40.0 17 56.7 Susu

Bubuk tidak pernah 22 78.6 21 70.0 23 76.7 21 70.0 Keju tidak pernah 30 100.0 28 93.3 30 100.0 28 93.3

Frekuensi Konsumsi Buah-buahan

Buah merupakan sumber vitamin dan mineral yang baik bagi tubuh (Almatsier 2002). Buah mengandung satu atau lebih provitamin dan vitamin yang beberapa vitamin berfungsi sebagai koenzim atau merupakan gugus prostetik dari enzim yang bertanggung jawab terhadap reaksi-reaksi kimia yang esensial, vitamin juga sering disebut sebagai faktor pelengkap makanan, karena vitamin pada kenyataannya tidak mensuplai kalori dan juga tidak mempengaruhi massa tubuh secara nyata (Piliang & Al haj 2006).

Berdasarkan Tabel 14, dapat diketahui bahwa buah jambu biji dikonsumsi dengan proporsi persentase terbesar pada kategori sering di tiap kelompok, kecuali kelompok perlakuan plasebo dengan frekuensi konsumsi terbesar pada kategori jarang (46.4%). Hampir setengah dari respoden pada tiap kelompok perlakuan memiliki tingkat konsumsi buah pepaya dan jeruk pada frekuensi jarang, hanya kelompok MVM + TT yang hampir setengahnya mengkonsumsi jeruk pada frekuensi sering.

Tabel 14 Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi buah-buahan per minggu kelompok pangan frekuensi Perlakuan Plasebo (n=28) Plasebo + TT (n=30) MVM (n=30) MVM + TT (n=30) n % n % n % n % Jambu biji sering (3-5x /minggu) 5 17.9 11 36.7 6 20.0 10 33.3 jarang (1-2x /minggu) 13 46.4 6 20.0 6 20.0 9 30.0 Pepaya jarang (1-2x /minggu) 14 50.0 11 36.7 11 36.7 12 40.0 Jeruk sering (3-5x /minggu) 11 39.3 9 30.0 7 23.3 14 46.7 jarang (1-2x /minggu) 12 42.9 13 43.3 15 50.0 10 33.3

Frekuensi Konsumsi Sayuran

Sayuran merupakan komoditas pangan yang banyak mengandung vitamin dan mineral, dan unsur-unsur tersebut penting untuk kesehatan manusia, sayuran merupakan salah satu sumber provitamin A, vitamin C, Ca, Fe serta menyumbang sedikit kalori dan sejumlah elemen mikro. Selain itu, sayuran juga merupakan sumber serat pangan (dietary fiber) serta sejumlah antioksidan yang telah terbukti mempunyai peranan penting untuk menjaga kesehatan tubuh (Muchtadi 2000).

Hampir setengah responden dari tiap kelompok perlakuan memiliki konsumsi sayuran yang kurang. Pada kelompok pangan sayuran bayam, kangkung, daun singkong, kacang panjang dan sawi, proporsi persentase terbesar responden memiliki frekuensi konsumsi jarang, bahkan sebagian besar responden pada tiap perlakuan tidak pernah mengkonsumsi daun katuk pada menu makanan mereka (Tabel 15).

Tabel 15 Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi sayuran per minggu kelompok pangan frekuensi Perlakuan Plasebo Plasebo + TT MVM MVM + TT (n=28) (n=30) (n=30) (n=30) n % n % n % n % Bayam jarang (1-2x

Dokumen terkait