5.1. Curah Hujan
Hasil pengamatan di lapang dari tanggal 18 Februari - 30 Juni 2006 pada
setiap blok tercatat 60 kejadian hujan. Curah hujan bervariasi antara 0.30 – 99.0
mm/hari dengan curah hujan total pada masing – masing blok berkisar antara
731.18 – 841.47 mm dengan total lama hujan 286 jam. Data pengukuran curah
hujan bulanan di setiap blok yaitu Blok 1 (perlakuan teras gulud), Blok 2 (tanpa
perlakuan), dan Blok 3 (perlakuan rorak) disajikan pada Tabel 2, sedangkan hasil
pengukuran curah hujan harian dengan Penakar Tipe Observatorium secara
lengkap termuat pada Tabel Lampiran 3.
Berdasarkan kriteria Schmidt and Ferguson (1975, dalam Handoko, 1993)
bulan basah ditandai dengan rata-rata curah hujan > 100 mm, sedangkan bulan
kering rata-rata curah hujannya < 60 mm. Berarti pada saat penelitian terdapat
satu bulan kering yaitu pada bulan Juni 2006, sedangkan bulan basah antara bulan
Februari – Mei 2006 dengan puncaknya pada bulan April 2006.
Tabel 2. Jumlah curah hujan periode 18 Februari – 30 Juni 2006 (mm)
Bulan Blok 1 Blok 2 Blok 3
Maret 246.46 214.36 228.42
April 271.69 225.96 233.01
Mei 85.60 76.64 76.63
Juni 57.71 54.05 54.95
Jumlah 841.47 731.18 751.67
Curah hujan bulanan yang turun pada areal penelitian menunjukkan
adanya keragaman pada masing- masing blok, total curah hujan total terbesar yang
terukur selama periode pengamatan terdapat pada Blok 1 (perlakuan teras gulud)
yaitu sebesar 841.47 mm, kemudian pada Blok 3 (perlakuan rorak) sebesar 751.67
mm dan curah hujan yang turun pada Blok 2 (tanpa perlakuan) lebih kecil
dibandingkan blok lainnya yaitu hanya sebesar 731.18 mm. Curah hujan bulanan
terbesar yang turun pada masing- masing blok terjadi pada bulan April, sedangkan
curah hujan bulanan terkecil terjadi pada bulan Juni. Pola curah hujan terbesar dan
terkecil bulanan yang turun pada masing- masing blok sama seperti pola curah
hujan total. Curah hujan bulanan terbesar terjadi pada Blok 1 (perlakuan teras
gulud ) sebesar 271.69 mm, Blok 3 (perlakuan rorak) sebesar 233.01 mm dan Blok
2 (tanpa perlakuan) sebesar 225.96 mm yang semuanya terjadi pada bulan April.
Sedangkan curah hujan bulanan terkecil terjadi pada Blok 1 (perlakuan teras
gulud) sebesar 57.71 mm, Blok 3 (perlakuan rorak) sebesar 54.95 mm dan Blok 2
(tanpa perlakuan) sebesar 54.05 mm yang semuanya terjadi pada bulan Juni.
Jumlah curah hujan mingguan pada setiap blok dapat dilihat pada Tabel 3.
Curah hujan mingguan maksimum terjadi pada minggu ke-2 pada Blok 1
(perlakuan teras gulud), Blok 2 (tanpa perlakuan) dan Blok 3 (perlakuan rorak)
masing- masing sebesar 167.74 mm, 162.67 mm dan 151.63 mm. Sementara itu
minggu ke-13 yaitu sebesar 2.77 mm, Blok 2 (tanpa perlakuan) pada minggu
ke-12 sebesar 2.52 mm dan Blok 3 (perlakuan rorak) pada minggu ke-13 sebesar
3.06 mm. Pada minggu ke-19 tidak terjadi hujan. Dengan membandingkan curah
hujan mingguan dan bulanan di setiap blok terlihat bahwa curah hujan pada
Blok 2 dan Blok 3 relatif homogen dibandingkan curah hujan pada Blok 1.
Keragaman distribusi curah hujan disebabkan perbedaan iklim mikro pada
masing- masing blok. Perbedaan suhu, kelembaban atmosfer, angin dan kadar air
tanah akan mempengaruhi iklim mikro setempat dan menyebabkan keragaman
distribusi hujan.
Tabel 3. Jumlah hujan mingguan periode 18 Februari – 30 Juni 2006 (mm)
Bulan Minggu Blok 1 Blok 2 Blok 3
Februari 1 59.22 47.79 49.84 2 167.74 162.67 151.63 Maret 3 44.22 33.86 26.06 4 71.58 65.14 58.93 5 49.05 39.27 55.44 6 34.64 25.81 45.07 April 7 48.65 45.22 62.31 8 87.95 75.83 66.77 9 38.34 31.65 21.44 10 80.52 61.8 69.54 Mei 11 28.64 23.44 24.53 12 2.77 2.52 3.06 13 2.62 2.89 2.74 14 32.42 28.75 32.83 Juni 15 35.39 30.5 26.52 16 33.23 27.71 27.46 17 20.84 23 24.11 18 3.64 3.34 3.38 19 0 0 0 Jumlah 841.47 731.18 751.67
Karakteristik dan distribusi curah hujan pada areal penelitian dapat dilihat
pada Gambar 6. Secara umum terdapat pola bahwa peluang terjadinya hujan lebih
tinggi pada bulan Februari dan mendekati bulan Juli peluang kejadian hujan lebih
rendah. Hal ini disebabkan oleh pengaruh Zona Tekanan Rendah Intertropis
( ITCZ = Inter Tropical Convergence Zone ) yang tepat berada di atas Pulau Jawa
dan Sumatera pada bulan Desember dan Januari (Handoko, 1993). Cuaca pada
bulan tersebut selalu berawan (BMG, 2006) dan hujan yang terjadi biasanya
terjadi dalam waktu yang singkat. Kejadian hujan selama penelitian menunjukkan
bahwa frekuensi hujan terbanyak terjadi pada bulan Maret sebanyak 20 kali
kejadian hujan, bulan April 14 kali, bulan Mei 12 kali sedangkan frekuensi hujan
paling sedikit terjadi pada bulan Juni sebanyak 6 kali. Dengan memperhatikan
distribusi hujan menurut waktu dan deret ukur hari kering akan nyata terjadi mulai
bulan Juli dan berdasarkan data tahun-tahun sebelumnya bulan kering akan
berlangsung hingga bulan Oktober bahkan sampai bulan November.
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
FEB MARET APRIL MEI JUNI
Minggu
mm
Blok 1 Blok 2 Blok 3
5.2. Intersepsi
Hasil pengukuran intersepsi mingguan dari masing - masing blok
ditampilkan pada Tabel 4, sedangkan nilai intersepsi harian disajikan pada Tabel
Lampiran 4. Berdasarkan hasil pengukuran, curah hujan yang = 3 mm tidak terjadi
aliran batang dan lolosan tajuk, berarti seluruh curah hujan terintersepsi di tajuk
tanaman tanpa ada yang jatuh ke permukaan tanah, sedangkan pada curah hujan
yang tinggi ditentukan intersepsi maksimumnya. Selain itu dari data pengukuran
pada masing – masing blok dibuat suatu persamaan hubungan regresi linear
sederhana antara curah hujan dengan intersepsi3 sebagai berikut :
Blok 1 : INTCP = 0.2010 * CH + 0.4264, dengan INCTP maks pada CH = 27 mm
Blok 2 : INTCP = 0.2120 * CH – 0.0268, dengan INCTP maks pada CH = 29 mm
Blok 3 : INTCP = 0.2063 * CH – 0.3844, dengan INCTP maks pada CH = 27 mm
Tabel 4. Persentase intersepsi hujan mingguan setiap blok
Bulan Minggu
Blok 1 Blok 2 Blok 3
CH Intersepsi CH Intersepsi CH Intersepsi
mm Mm % mm mm % mm mm % Februari 1 59 19 33 48 12 25 50 14 28 2 168 17 10 163 18 11 152 18 12 Maret 3 44 11 24 34 7 22 26 7 27 4 72 14 19 65 15 24 59 16 28 5 49 10 20 39 11 27 55 13 23 6 35 9 25 26 7 27 45 13 29 April 7 49 11 23 45 13 28 62 15 24 8 88 18 20 76 13 17 67 16 24 9 38 8 21 32 5 17 21 3 16 10 81 6 7 62 6 10 70 6 9 Mei 11 29 7 26 23 4 16 25 7 28 12 3 3 100 3 3 100 3 3 100
3 Purba, F. P. 2007. Intersepsi Hujan pada Tanaman Kelapa Sawit (Studi Kasus di UU Rejosari PTPN VII Lampung. Draft Skripsi. Fakultas Pertanian. Insttut Pertanian Bogor.
13 3 3 100 3 3 100 3 3 100 14 32 9 29 29 9 33 33 10 31 Juni 15 35 7 19 30 7 21 27 6 23 16 33 8 23 28 8 29 27 10 36 17 21 5 24 23 4 16 24 3 14 18 4 3 75 3 3 100 3 3 100 19 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Jumlah 841 164 19 731 144 20 752 164 22
Keterangan : CH = Curah hujan
Nilai intersepsi kumulatif antar blok sangat bervariasi yaitu antara
6 – 100 %. Pada Blok 1 intersepsi antara 6 – 100 %, Blok 2 antara 7 – 100 % dan
pada Blok 3 antara 8 – 100 %. Nilai intersepsi rataan tertinggi pada Blok 3 (22 %)
diikuti oleh Blok 2 (20 %) dan yang terkecil Blok 1 (19 %). Hasil pengukuran
yang bervaria si tersebut menggambarkan bahwa besarnya intersepsi dipengaruhi
oleh jumlah dan intensitas hujan, disamping juga dipengaruhi oleh keadaan tajuk
tanaman. Secara visual keadaan tajuk tanaman yang lebih rapat dan tebal pada
Blok 3 menyebabkan kemampuan jumlah curah hujan yang diintersepsi lebih
besar dibandingkan Blok 1 dan Blok 2, berarti curah hujan bersih yang sampai ke
dalam tanah pada Blok 3 akan lebih sedikit jika dibandingkan Blok 1 dan Blok 2.
Sedangkan nilai intersepsi yang kecil menunjukkan bahwa jumlah hujan yang
jatuh langsung ke permukaan tanah lebih banyak, jika laju infiltrasi lebih kecil
dari intensitas hujan maka aliran permukaan akan terjadi. Dengan adanya
perlakuan teknik konservasi tanah dan air diharapkan sebagian air yang jatuh ke
permukaan tanah akan diserap ke dalam tanah sebagai air bawah permukaan tanah
dan air perkolasi, sehingga dapat mengurangi aliran permukaan serta mengisi
Penelitian Nuriman (1999) menunjukkan bahwa pada tanaman kelapa
sawit umur 21 tahun kisaran persentase intersepsi hujan antara 43.19 % - 100 %
dengan rata-rata sebesar 74.4 %, umur 6 tahun antara 21.42 % - 100 % dengan
rata-rata 64.61 % serta umur 4 tahun antara 8.55 % - 100 % dengan rata-rata
51.53 %. Semakin tua umur tanaman kelapa sawit, nilai intersepsinya semakin
besar. Hal ini disebabkan perkembangan dari luas penutupan tajuk yang lebih luas
dan rapat pada tanaman yang lebih tua sehingga semakin banyak hujan yang dapat
ditahan sementara di tajuk tanaman untuk kemudian diuapkan kembali.
Perbedaaan kisaran persentase nilai intersepsi yang lebih besar pada percobaan
disebabkan karena nilai curah hujan yang turun lebih tinggi dibandingkan dengan
curah hujan pada penelitian Nuriman. Intersepsi meningkat dengan meningkatnya
curah hujan yang turun, akan tetapi peningkatan intersepsi hujan akan menjadi
konstan ketika kapasitas daya tampung tajuk dan batang sudah jenuh, pada curah
hujan tertentu nilai intersepsi akan mencapai maksimum. Sehingga dengan kapasitas
daya tampung yang telah lewat jenuh (konstan) seiring meningkatnya curah hujan
akan mengakibatkan persentase curah hujan yang terintersepsi akan semakin kecil.
Menurut Seyhan (1990) perbedaan intersepsi beragam dengan komposisi spesies,
umur tanama n, kerapatan tegakan, musim dalam setahun dengan keragama n
dalam intensitas presipitasi. Pola intersepsi rata-rata mingguan pada Gambar 7, 8
dan 9 menunjukkan bahwa fluktuasi intersepsi sangat kecil jika dibandingkan
dengan curah hujan.
20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00 160,00 180,00 mm Curah Hujan Intersepsi
Gambar 7. Grafik curah hujan dan intersepsi Blok 1.
Gambar 8. Grafik curah hujan dan intersepsi Blok 2.
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00 160,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Februari Maret April Mei Juni
mm Curah Hujan Intersepsi 0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00 160,00 180,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Februari Maret April Mei Juni
mm
Curah Hujan Intersepsi
Gambar 9. Grafik curah hujan dan intersepsi Blok 3.
Curah hujan yang relatif tinggi telah menyebabkan kapasitas tampung tajuk sudah
lewat jenuh sehingga curah hujan yang jatuh tidak tertampung lagi oleh tajuk,
namun langsung menjadi lolosan tajuk (throughfall) dan aliran batang (stemflow)
dan akhirnya akan langsung dialirkan ke permukaan tanah.
5.3. Evapotranspirasi
Nilai pengukuran evaporasi mingguan dengan Panci Kelas A
menunjukkan nilai yang selalu kurang dari 20 mm dan relatif tidak berbeda nyata
antar bulan (Tabel 5), nilai akhir evaporasi pada Tabel 5 tersebut adalah nilai
evaporasi hasil pengukuran dikalikan faktor koreksi yaitu sebesar 0.80.
Sedangkan data evapotranspirasi potensial harian yang mewakili seluruh blok
areal penelitian disajikan pada Tabel Lampiran 5.
Tabel 5. Jumlah evaporasi dan evapotranspirasi mingguan di areal penelitian (mm)
Bulan Minggu Evaporasi Evapotranspirasi
Februari 1 16 20 2 13 16 Maret 3 16 19 4 18 21 5 16 19 6 17 20 April 7 18 22 8 16 19 9 17 21 10 15 18 Mei 11 20 24 12 14 17 13 16 20
14 14 17 Juni 15 15 18 16 17 20 17 17 21 18 14 17 19 16 20 Jumlah 305 369
Dengan mempertimbangkan nilai faktor tanaman (nilai kc) sebesar 1.2,
maka evapotranspirasi mingguan kelapa sawit menjadi sekitar 19 mm/minggu.
Nilai tersebut relatif lebih rendah dari pustaka. Pusat Penelitian kelapa Sawit
menggunakan nilai evapotranspirasi sebesar 120 - 150 mm/bulan atau sekitar
30 – 35 mm/minggu untuk menghitung kebutuhan air (consumptive use) dalam
menyusun neraca air (Tim Faperta IPB – PPKS Medan, 2006). Perbedaan ini bisa
disebabkan karena faktor iklim, jenis alat dan umur tanaman yang berbeda. Hal ini
sebabkan perbedaan lokasi akan membutuhkan metode pengukuran maupun
pendugaan evapotranspirasi sesuai dengan kondisi setempat.
Fluktuasi evapotranspirasi potensial (ETP) mingguan di lapang dapat
dilihat pada Gambar 10. Dari grafik tersebut terlihat bahwa tidak terjadi
perbedaan ETP mingguan secara nyata baik pada musim hujan maupun pada awal
musim kemarau, dimana rata-rata evapotranspirasi berkisar antara 16 - 24 mm.
ETP maksimum terjadi pada minggu ke-11 sebesar 24 mm dan ETP minimum
0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Februari Maret April Mei Juni
mm Evapotranspirasi
Gambar 10. Evapotranspirasi potensial mingguan.
Nilai rataan ETP bulan Februari – April 2006 relatif lebih tinggi
dibandingkan bulan Mei – Juni 2006, hal ini disebabkan radiasi matahari yang
tinggi pada bulan tersebut. Selain radiasi matahari ETP juga dipengaruhi oleh
suhu, kecepatan angin dan kelembaban udara. Laju ETP akan meningkat seiring
meningkatnya radiasi matahari, suhu, kelembaban udara dan kecepatan angin
(Asdak, 2004).
5.4. Aliran Permukaan
Nilai debit atau total runoff, aliran permukaan (overlandflow), dan aliran
bawah permukaan (interflow) ditambah aliran air bawah tanah (baseflow) harian
secara lengkap ditampilkan pada Tabel Lampiran 6. Nilai aliran bawah permukaan
(interflow) ditambah aliran air bawah tanah (baseflow) digabung menjadi satu
karena pada daerah penelitian memiliki solum yang dangkal dengan lapisan
padas pada kedalaman 1-1.5 meter. Komponen hidrograf mingguan pada setiap
Keragaman distribusi aliran permukaan baik yang berasal dari
overlandflow, interflow dan baseflow terjadi pada masing- masing blok. Aliran
permukaan yang lebih dulu terhenti baik yang berasal dari baseflow ditambah
interflow adalah Blok 2 (tanpa perlakuan), aliran telah terhenti sekitar minggu
ke-13, Blok 1 (perlakuan teras gulud) yaitu sekitar minggu ke-19, sedangkan pada
Blok 3 (perlakuan rorak) sampai akhir Juni atau minggu ke-19, aliran melalui
Fluktuasi aliran permukaan mingguan terhadap curah hujan dapat dilihat
pada Gambar 11, 12 dan 13. Ketiga gambar menunjukkan bahwa pada Blok 3
(perlakuan rorak) menunjukkan fluktuasi aliran permukaan yang relatif stabil
terhadap hujan jika dibandingkan dengan Blok 1 (perlakuan teras gulud) atau
Blok 2 (tanpa perlakuan). Dari masing- masing grafik terlihat bahwa pada musim
hujan yang besar (Februari - April) pada Blok 3 (perlakuan rorak) memiliki nilai
total runoff yang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan Blok 1 (perlakuan
teras gulud) dan Blok 2 (tanpa perlakuan). Sedangkan pada awal musim kemarau
(Mei - Juni) Blok 3 (perlakuan rorak) memiliki total runoff yang lebih besar
dibandingkan Blok 2 (perlakuan teras gulud) dan Blok 2 (tanpa perlakuan). Hal
ini dikarenakan total runoff pada akhir musim kemarau hanya berasal dari
dibandingkan Blok 1 (perlakuan teras gulud) dan Blok 2 (tanpa perlakuan).
Fenomena ini menunjukkan bahwa cadangan air dalam tanah pada Blok 3
(perlakuan rorak) lebih besar dibandingkan Blok 1 (perlakuan teras gulud) dan
Blok 2 (tanpa perlakuan).
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00 160,00 180,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Februari Maret April Mei Juni
mm
Curah Hujan Total Run Off
Base Flow + Inter FLow Overland Flow
Gambar 11. Grafik curah hujan, total runoff, baseflow + interflow dan overland flow di Blok 1.
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00 160,00 180,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Februari Maret April Mei Juni
mm
Curah Hujan Total Run Off Base Flow + Inter Flow Overland Flow
Gambar 12. Grafik curah hujan, total runoff, baseflow + interflow dan overland flow di Blok 2.
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00 160,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Februari Maret April Mei Juni
mm
Curah Hujan Total Run Off Base Flow + Inter Flow Overland FLow
Gambar 13. Grafik curah hujan, total runoff, baseflow + interflow dan overland flow di Blok 3.
Total runoff periode 18 Februari – 30 Juni 2006 pada masing- masing
blok disajikan pada Tabel 7. Total runoff pada Blok 2 (tanpa perlakuan) selalu
lebih besar dibandingkan pada Blok 1 (perlakuan guludan) dan Blok 3 (perlakuan
rorak). Hal tersebut menunjukkan bahwa tindakan konservasi tanah dan air yaitu
rorak dan teras gulud dapat meningkatkan simpanan permukaan (depression
storage) sehingga air hujan mempunyai kesempatan lebih lama terinfiltrasi ke
dalam tanah dan menekan aliran permukaan yang terjadi dibandingkan tanpa
perlakuan.
Proporsi hujan yang menjadi total runoff, overlandflow, dan baseflow
ditambah interflow terbesar terdapat pada Blok 2 (tanpa perlakuan). Hal ini
disebabkan air hujan yang jatuh tidak mempunyai kesempatan lebih lama untuk
yang telah mengisi cekungan – cekungan pada permukaan tanah kemudian
mengalir di atas permukaan tanah dengan bebas, sedangkan pada Blok 1
(perlakuan teras gulud) mampu menekan overlandflow hingga 8.7 % dari total
curah hujan dan pada Blok 3 (perlakuan rorak) mampu menekan overlandflow
hingga 0.4 % dari total curah hujan yang berarti aliran permukaan yang keluar
dari sistem sangat kecil.
Tabel 7. Persentase curah hujan terhadap komponen hidrograf.
Abstraksi hidrologi Blok 1 Blok 2 Blok 3
Curah Hujan (mm) 841,49 719,03 751,67
Total Run Off (mm) 493,77 540,32 188,95
Base Flow + Inter Flow (mm) 420,63 431,72 186,16
Overland Flow (mm) 73,08 109,13 2,70
proporsi total ro dengan hujan (%) 58,7 75,1 25,1
proporsi OLF dengan hujan (%) 8,7 15,2 0,4
proporsi BF dan IF dengan hujan (%) 50,0 60,0 24,8
Penurunan aliran permukaan yang terjadi dengan adanya perlakuan guludan
dan rorak dipengaruhi oleh simpanan depresi yang memiliki bidang resapan lebih
luas, dalam hal ini dimensi gulud dan rorak mampu menghambat dan menampung
aliran permukaan lebih banyak yang kemudian meresapkannya kedalam tanah
melalui dinding-dinding saluran simpanan depresi seperti yang dilaporkan oleh
Lestari (2005). Penambahan mulsa vertikal dan lubang resapan lebih
mempercepat masuknya air ke dalam tanah karena bertambahnya bidang resapan
yang terlindung dari penyumbatan pori, porositas tanah yang lebih baik dan
kemungkinan terciptanya biopore oleh aktivitas binatang tanah. (Subekhi, 2006 ;
0,00 100,00 200,00 300,00 400,00 500,00 600,00 700,00 800,00 900,00
Blok 1 Blok 2 Blok 3
mm
Curah Hujan Total Run Off
Base Flow + Inter Flow Over Land Flow
Gambar 14. Proporsi curah hujan terhadap aliran permukaan pada areal penelitian
Proporsi curah hujan yang menjadi total runoff, overlandflow, dan
baseflow ditambah interflow ditunjukkan pada Gambar 14. Tindakan konservasi
tanah dan air menunjukkan bahwa Blok 3 (perlakuan rorak) memiliki kemampuan
menekan aliran permukaan yang lebih baik dibandingkan Blok 1 (perlakuan
guludan). Hasil penelitian Noeralam, Arsyad, Iswandi (2003) menunjukkan
bahwa teknik rorak + gulud + mulsa vertikal mampu menekan aliran permukaan
hingga 85.87 % bila dibandingkan dengan aliran permukaan pada lahan terbuka.
Sebenarnya perlakuan rorak dan guludan sama efektifnya dalam menekan aliran
permukaan, tetapi karena perbedaan karakteristik iklim dan DAS setempat
menyebabkan kemampuan Blok 3 (perlakuan rorak) menjadi lebih baik
dibandingkan dengan Blok 1 (perlakuan guludan).
5.5. Neraca Air
Perubahan cadangan air dalam tanah (storage) mingguan pada
tanah (storage) harian dapat dilihat pada Tabel Lampiran 7. Perubahan cadangan
air dalam tanah dipengaruhi oleh jumlah curah hujan, intersepsi, evapotranspirasi
dan total runoff. Jika input yang masuk ke sistem lebih besar dibandingkan
dengan output yang keluar dari sistem maka akan terjadi penambahan cadangan
air dalam tanah, sedangkan jika input yang masuk ke sistem lebih kecil
dibandingkan dengan output yang keluar dari sistem maka akan terjadi penurunan
cadangan air dalam tanah. Jika terjadi penambahan cadangan air dalam tanah
maka perubahan cadangan air di dalam tanah dinotasikan dengan tanda positif (+),
sedangkan jika terjadi penurunan cadangan air di dalam tanah dinotasikan dengan
tanda negatif (-). Perubahan yang terjadi baik penambahan maupun penurunan
cadangan air di dalam tanah merupakan perubahan cadangan air di dalam tanah
baik pada zona jenuh (hasil perkolasi) maupun zona tidak jenuh.
Hasil pengukuran selama periode pengamatan 18 Februari – 30 Juni 2006
menunjukkan bahwa perlakuan teknik konservasi tanah dan air menyebabkan
perubahan cadangan air dalam tanah menjadi lebih baik dibandingkan dengan
tanpa adanya perlakuan. Blok 3 (perlakuan rorak) memiliki perubahan
(penurunan) cadangan air dalam tanah lebih baik dibandingkan Blok 1 (perlakuan
teras) dan Blok 2 (tanpa perlakuan) masing- masing – 79.91 mm, - 169.56 mm dan
– 308.31 mm. Perubahan cadangan air dalam tanah mingguan pada
masing-masing blok sangat bervariasi antara - 65 mm sampai + 81.72 mm.
Perubahan (penambahan) cadangan air dalam tanah mingguan tertinggi
terdapat pada Blok 3 (perlakuan rorak) pada minggu ke-2 sebesar + 81.72 mm
yang disebabkan terjadinya hujan besar pada minggu tersebut, sedangkan
pada Blok 2 (tanpa perlakuan) pada minggu ke-3 sebesar – 65 mm. Walaupun
curah hujan yang turun tidak terlalu besar tetapi aliran permukaan yang keluar
dari sistem pada minggu tersebut cuk up besar. Hal ini terjadi karena pasokan air
tanah dari hujan yang turun pada minggu sebelumnya cukup besar.
Perubahan cadangan air dalam tanah pada Blok 3 (perlakuan rorak) > Blok
2 (tanpa perlakuan) > Blok 1 (perlakuan teras gulud) yaitu masing- masing sebesar
– 32.88 sampai + 81.72 mm, – 65 sampai + 12.35 mm, dan – 47.16 mm sampai
+19.07 mm. Sementara itu penambahan cadangan air dalam tanah Blok 3
(perlakuan rorak) > Blok 1 (perlakuan teras gulud) > Blok 2 (tanpa perlakuan)
yaitu masing- masing sebesar + 118.89 mm, + 46.00 mm dan + 30.18 mm.
Sebaliknya penurunan cadangan air dalam tanah pada Blok 2 (tanpa perlakuan) >
Blok 1 (perlakuan teras gulud) > Blok 3 (perlakuan rorak) masing- masing -338.49
mm, - 215.56 mm dan – 198.80 mm.
5.5.1. Kemampuan Teknik Konservasi Tanah dan Air dalam Menunda Kekeringan
Untuk menghitung seberapa besar pengaruh tindakan konservasi tanah dan
air terhadap perubahan storage maka diperlukan data perubahan cadangan air
dalam tanah pada tahun sebelumnya, karena belum adanya data cadangan air
dalam tanah pada tahun sebelumnya maka dengan cara memperhitungkan curah
hujan yang turun saat mulai musim hujan yaitu tangga l 10 Januari – 17 Februari
2006 maka akan diduga seberapa besar pengaruh teknik konservasi tanah dan air
dalam meningkatkan cadangan air dalam tanah dan menunda kekeringan. Sisa
cadangan air dalam tanah (storage) sampai akhir Juni 2006 dapat dilihat pada
Tabel 9. Cadangan air dalam tanah (> 30 Juni 2006)
Data Blok 1 Blok 2 Blok 3
? S (18 Februari – 30 Juni 2006) -169,56 -308,31 -79,91
Curah hujan 10 Januari - 17 Februari 2006 372,00 356,00 347,00
Sisa storage sampai akhir 30 Juni 2006 202,44 47,69 267,09
Pada musim kemarau kehilangan air dari sistem terjadi akibat proses
evapotranspirasi. Nilai evapotranspirasi selama Bulan Juli - Oktober 2006
masing-masing sebesar 100.2 mm, 139.1 mm, 121.06 mm, dan 122.71 mm. Dengan
cadangan air dalam tanah pada akhir pengamatan di Blok 3 (perlakuan rorak)
267.09 mm, Blok 1 (perlakuan guludan) 202.44 mm dan Blok 2 (tanpa perlakuan)
47.69 mm, maka untuk menduga seberapa lama cadangan air dapat bertahan
akibat evapotranspirasi yaitu ketika mulai terhentinya aliran baseflow pada
masing- masing blok. Pada Blok 2 (perlakuan teras gulud) aliran baseflow terhenti
pada minggu ke-13 bulan Mei, sehingga dengan cadangan air dalam tanah yang
ada pada Blok 2 (tanpa perlakuan) yaitu sebesar 47.69 mm akan habis
terevapotranspirasi pada pertengahan bulan Juli. Pada Blok 1 (perlakuan teras
gulud) aliran baseflow terhenti pada minggu ke-19 bulan Mei, sehingga dengan
cadangan air dalam tanah yang ada pada Blok 1 (perlakuan teras gulud) yaitu
sebesar 202.44 mm akan habis terevapotranspirasi pada pertengahan bulan
Agustus. Sedangkan pada Blok 3 (perlakuan rorak) aliran baseflow terhenti
setelah minggu ke-19 bulan Mei, sehingga dengan cadangan air dalam tanah pada
Blok 3 (perlakuan teras gulud) yaitu sebesar 267.09 mm akan habis
terevapotranspirasi pada awal bulan September.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya perlakuan teknik konservasi
adanya perlakuan. Pada perlakuan rorak mampu menunda kekeringan hingga 2.33
bulan (± 70 hari) berikutnya, perlakuan teras gulud 1.66 bulan (± 50 ha ri)
berikutnya dan tanpa perlakuan yang hanya kurang dari 0.5 bulan (± 15 hari)
berikutnya.
Curah hujan yang turun akan tertampung di dalam perlakuan rorak dan teras
gulud kemudian akan terjadi aliran lateral (seepage) dan infiltrasi yang tertunda
sehingga ketersediaan air di dalam tanah akan bertahan lebih lama (Noeralam et
al.,2003).
5.5.2. Pengaruh Teknik Konservasi Tanah dan Air terhadap Perubahan Cadangan Air dalam Tanah
Perlakuan teknik konservasi tanah dan air menyebabkan perubahan
(penambahan) storage di Blok 3 (perlakuan rorak) dan Blok 1 (perlakuan teras
gulud) lebih besar masing- masing 460 % dan 320 % dibandingkan dengan Blok 2
(tanpa perlakuan), sedangkan perbedaan hasil perubahan (penambahan) storage
antar teknik konservasi tanah dan air yang dilakukan di Blok 3 (perlakuan rorak)
lebih besar 32 % dibandingkan dengan Blok 1 (perlakuan teras gulud). Nilai
tersebut menunjukkan bahwa kemampuan perlakuan teknik konservasi tanah dan
air (rorak dan guludan) yang diteliti di perkebunan kelapa sawit lebih tinggi dalam
meningkatkan cadangan air dalam tanah dibandingkan dari hasil penelitian Irianto
(2003) yang menggunakan dam parit bertingkat pada perkebunan gula di
Lampung yang hanya mampu meningkatkan cadangan air dalam tanah sebesar
3-13 %. Hasil penelitian di Rejosari tersebut juga masih lebih tinggi dibandingkan
Sawiyo (2005) yang menggunakan dam parit pada DAS Cibogo Ciliwung Bogor
Perlakuan teknik konservasi tanah dan air menyebabkan kemampuan
menghambat aliran permukaan serta menampung volume air hujan yang jatuh
lebih besar karena bidang resapan lebih luas yang terlindung dari penyumbatan
pori menyebabkan air meresap lebih banyak, lebih cepat dan lebih dalam sehingga
meningkatkan cadangan air dalam tanah dibandingkan tanpa adanya perlakuan