• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR TERHADAP PERUBAHAN CADANGAN AIR TANAH PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT. Oleh AWALUDDIN A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR TERHADAP PERUBAHAN CADANGAN AIR TANAH PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT. Oleh AWALUDDIN A"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR

TERHADAP PERUBAHAN CADANGAN AIR TANAH PADA

PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Oleh

AWALUDDIN

A24102092

PROGRAM STUDI ILMU TANAH

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

(2)

RINGKASAN

AWALUDDIN. Pengaruh Teknik Konservasi Tanah dan Air Terhadap Perubahan Cadangan Air Tanah pada Perkebunan Kelapa Sawit. (dibawah bimbingan

KUKUH MURTILAKSONO dan LATIEF M. RACHMAN)

Pengusahaan kelapa sawit memerlukan jangka waktu yang panjang sebelum mencapai produksi maksimum pada umur 10 - 15 tahun. Kelapa sawit tumbuh baik pada kawasan dengan curah hujan tahunan 2000 - 3000 mm tanpa adanya bulan kering yang jelas. Bulan kering yang panjang pada perkebunan kelapa sawit di Lampung mengakibatkan defisit air dan mengganggu produktivitas kelapa sawit. Untuk itu perlu diperlukan tindakan konservasi tanah dan air yang mampu memanen curah hujan pada musim hujan sehingga bisa dimanfaatkan pada musim kemarau.

Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan teknik konservasi tanah dan air yang mampu meresapkan air ke dalam tanah sehingga dapat digunakan sebagai cadangan air tanah pada musim kemarau. Penelitian dilakukan pada 3 (tiga)

microcatchment di Afdeling 3 Unit Usaha Rejosari PTPN VII Propinsi Lampung dari bulan Februari – bulan Juni 2006. Teknik konservasi tanah dan air yang dilakukan pada dua microcatchment adalah perlakuan teras gulud pada Blok 375 (Blok 1) dan perlakuan rorak pada Blok 414 (Blok 3), sedangkan microcatchment

ketiga sebagai kontrol (tanpa perlakuan) terletak pada Blok 415 (Blok 2). Perlakuan guludan dan rorak dilengkapi dengan lubang peresapan dan mulsa vertikal.

Hasil penelitian menunjukkan perlakuan teknik konservasi tanah dan air di Blok 3 (perlakuan rorak) dan Blok 1 (perlakuan teras gulud) menyebabkan perubahan cadangan air dalam tanah (storage) menjadi lebih baik masing- masing

(3)

sebesar -76.79 mm dan -169.69 mm dibandingkan Blok 2 (tanpa perlakuan) yang memiliki perubahan storage sebesar -309.03 mm. Dengan memperhitungkan curah hujan tanggal 10 Januari - 17 Februari 2006, pada Blok 1 (372.00 mm), Blok 2 (356.00 mm) dan Blok 3 (347.00 mm), maka perubahan storage pada semua blok bernilai positif dimana nilai terbesar terdapat di Blok 3 (perlakuan rorak) dan Blok 1 (perlakuan teras gulud) masing- masing sebesar 270.00 mm dan 202.44 mm serta terkecil Blok 2 (tanpa perlakuan) yang hanya 46.97 mm. Dengan nilai evapotranspirasi selama bulan Juli - Oktober 2006 masing- masing sebesar 100.2 mm, 139.1 mm, 121.0 mm dan 122.7 mm, maka perlakuan rorak mampu menunda kekeringan hingga 2.33 bulan (± 70 hari) berikutnya, perlakuan teras gulud 1.66 bulan (± 50 hari) berikutnya dan tanpa perlakuan yang hanya kurang dari 0.5 bulan (± 15 hari) berikutnya.

Perlakuan rorak dan guludan sama efektifnya dalam menunda kekeringan, tetapi karena perbedaan karakteristik iklim (curah hujan) dan DAS yang berbeda seperti tanah (kedalaman solum dan lapisan kedap), topografi (kemiringan lereng), bentuk DAS dan vegetasi menyebabkan perlakuan rorak mamp u meningkatkan cadangan air dalam tanah lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan guludan.

(4)

SUMMARY

AWALUDDIN. Effect of Soil and Water Conservation Techniques on Change of Soil Water Storage in Oil Palm Plantation. (Under Academic Supervision of

KUKUH MURTILAKSONO and LATIEF M, RACHMAN).

Cultivation of oil palm plantation requires long period of time to reach maximum production at the age of 10 – 15 years. Oil palm grows well in areas with annual rainfall of 2000 – 3000 mm, without long consecutive dry months. Long dry months in oil palm plantation in Lampung has produced water deficit and influenced the oil palm productivity. Therefore, there is a need for soil and water conservation measures which are able to harvest rainfall in the rainy season, so that the water could be utilized during the season.

The objective of this research was to obtain soil and water conservation technique that is able to infiltrate water into the soil, and it could be allocated as soil water storage in dry season. The research was conducted in 3 (three) microcatchment areas in Afdeling 3, Unit Usaha Rejosari PT Perkebunan Nusantara VII, Lampung, from February to June 2006. Soil and water conservation techniques that were implemented in two microcacthments, i.e bund terraces in Block 375 ( Block 1) and silt pits in Block 414 (Block 3). On the other hand, the third microcacthment was threated as control (without treatment), and located in Block 415 (Block 2). The treatment were completed with overlandflow stored holes and vertical mulch.

The research indicated that soil and water conservation techniques in Block 3 (silt pits treatment), and Block 1 (bund terraces treatment) gave better soil water storage change, namely – 76.79 mm and – 169.69 mm respectively, as

(5)

compared to that of Block 2 (without treatment; – 309.03 mm). By considering the amount of rainfall on 10 January – 17 February 2006 in Block 1 (372.00 mm), Block 2 (356.00 mm) and Block 3 (347.00 mm) soil water change in all blocks had positive values, whereas the highest values occurred in Block 3 (silt pits treatment) and Block 1 (bund terraces) with values of 270.00 mm and 202.44 mm respectively, and the lower value was in Block 2 (without treatment) that was only 46.97 mm. Calculating the evapotranspiration values during July – October 2006 that were 100.2 mm, 139.1 mm, 121.06 mm, and 122.71 mm, respectively, the silt pits treatment could supply water up to following 2.33 months (± 70 days), whereas that for bund terraces treatment was 1.66 months (± 50 days), and that for no treatment was only less than 0.5 months (± 15 days).

Treatment of silt pits and bund terraces had equal effectiveness in delaying water deficit. However, due to differences in terms of climate (rainfall) and cacthment characteristics (such as soil properties, solum depth, impervious layer depth, topography, slope, shape of watershed and vegetation) it appeared that silt pit treatment could higher increase soil water storage, as compared to that of bund terraces treatment.

(6)

PENGARUH TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR

TERHADAP PERUBAHAN CADANGAN AIR TANAH PADA

PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Oleh

AWALUDDIN

A24102092

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI ILMU TANAH

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

(7)

Judul Skripsi : Pengaruh Teknik Konservasi Tanah dan Air terhadap Perubahan Cadangan Air Tanah pada Perkebunan Kelapa Sawit

Nama Mahasiswa : Awaluddin

Nomor Pokok : A24102092

Menyetujui, Pembimbing I

Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS NIP. 131 861 468

Pembimbing II

Dr. Ir. Latief M. Rachman NIP. 131 474 033

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sungailiat Propinsi Bangka-Belitung tanggal 8 Januari 1982, sebagai anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan Bapak

Syamsul Bahri Nasution dan Ibu Nurhasanah Daulay.

Pada tahun 1994 penulis lulus dari Sekolah Dasar Negeri Tunggilis I di Bogor, tahun 1997 lulus Madrasah Tsanawiyah Ar-Rohmah di Bogor dan pada tahun 2000 lulus Sekolah Menengah Umum Negeri 2 Cibinong di Kabupaten Bogor.

Tahun 2002 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, Departemen Tanah melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor penulis aktif sebagai anggota Staf Biro Kewirausahaan Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (BEM TPB) periode 2002-2003, sebagai Kepala Biro Informasi dan Komunikasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) 2003-2004, sebagai Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Organisasi Badan Eksekutif Wilayah II (BEW II) Forum Komunikasi Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (FOKUSHIMITI) periode 2005-2006, Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) periode 2005-2006.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, hanya dengan rahmat dan berkah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dalam skripsi ini penulis melakukan penelitian di Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara ( PTPN ) VII Unit Usaha Rejosari Propinsi Lampung berjudul ”Pengaruh Teknik Konservasi Tanah dan Air Terhadap Perubahan Cadangan Air Tanah pada Perkebunan Kelapa Sawit”. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam kepada:

1. Direksi dan staf PPKS Medan yang telah mendanai penelitian ini.

2. Manager dan staf Unit Usaha Rejosari PTPN VII Lampung beserta sinder dan staf afdeling III.

3. Bapak Kukuh Murtilaksono dan Bapak Latief M. Rachman, pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan nasehat serta dukungan moril dan materil dalam penulisan karya ilmiah ini.

4. Bapak Sudarmo, Bapak Yayat Hidayat, Bapak D.P.T Baskoro, Bapak Ibnu Umar dan Bapak Wahyu Purwakusuma yang juga telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

5. Ibunda dan ayahanda serta saudaraku yang selalu membantu, mendoakan, memberikan semangat dan sebagai motivator sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikannya di IPB.

6. Mas Pedro, Pak Hasan, Mas Ratno dan Pak Lan, yang telah membantu penulis selama ini di lapang baik secara moril maupun fisiknya.

(10)

7. Weni, Indri, Ida, Mala, Elin, Ika serta Hendra dan Frans sahabat seperjuangan yang telah sangat membantu penulis di lapang maupun di kampus.

8. Sahabat sejati di kapayun (hendi, aris, vicky dan firman), rumah kuning (dhany, atur, dimas), holywood (dodo) alma (oka dan yusril) tepi barat (dadan, ardi dan alvane) thanks for all fren.

9. Teman - teman di jurusan tanah angkatan 39 (ANTILANTANIDA), 37, 38, 40 dan 41 yang telah memberikan semangatnya kepada penulis selama penelitian ini.

10.Teman-teman seperjuangan di HMIT yang telah memberikan begitu banyak pelajaran bagi penulis selama menempuh pendidikan di IPB.

11.Seluruh dosen baik dari departemen tanah maupun dari luar departemen yang telah mencurahkan ilmunya kepada penulis selama ini, semoga ilmu yang telah diajarkan menjadi amal ibadah dan ladang kebaikan.

12.Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam kelancaran penelitian dan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa karya ini jauh dari sempurna sehingga masukan sangat diharapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Mei 2007 Penulis

(11)

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... xi I. PENDAHULUAN ... 1 ... Latar Belakang ... 1 ... Tujuan Penelitian ... 3 ... Hipotesis ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA... 5

Siklus Hidrologi ... 5 Presipitasi ... 6 Intersepsi ... 7 Evapotranspirasi ... 8 Aliran Permukaan... 8 Neraca Air ... 9

Konservasi Tanah dan Air ... 10

Syarat Tumbuh Kelapa Sawit... 11

2.8.1. Faktor Cuaca dan Iklim ... 13

2.8.1.1 Suhu Udara ... 14

2.8.1.2 Curah Hujan ... 14

(12)

2.8.1.4 Radiasi Surya ... 14

2.8.2. Faktor Tanah ... 15

III. BAHAN DAN METODE ... 16

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian... 16

3.2. Bahan dan Alat Penelitian ... 16

3.3. Metodologi Penelitian ... 17

3.3.1. Perlakuan Konservasi Tanah dan Air... 18

3.3.2. Instalasi dan Tata Letak Peralatan... 18

3.3.3. Teknik Pengamatan dan Pengukuran di Lapang ... 21

3.3.3.1. Curah Hujan ... 21 3.3.3.2. Intersepsi ... 21 3.3.3.3. Evapotranspirasi ... 23 3.3.3.5. Aliran Permukaan... 24 3.3.3.6. Neraca Air ... 25 3.3.4. Analisa Data ... 26

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ... 27

4.1. Letak Geografis dan Topografi ... 27

4.2. Keadaan Tanah ... 27

4.3. Keadaan Geologi dan Geomorfologi... 29

4.4. Keadaan Iklim ... 30

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

(13)

5.2. Intersepsi ... 34

5.3. Evapotranspirasi ... 39

5.4. Aliran Permukaan... 41

5.5. Neraca Air ... 46

5.5.1. Kemampuan Teknik Konservasi Tanah dan Air dalam Menunda Kekeringan ... 50

5.5.2. Pengaruh Teknik Konservasi Tanah dan Air terhadap Perubahan Cadangan Air dalam Tanah... . 52

5.5.3. Hubungan Kadar Air Tanah dengan Cadangan Air dalam Tanah ... 53

5.5.4. Hubungan Total Runoff terhadap Perubahan Cadangan Air dalam Tanah ... 55

5.5.5. Hubungan Karakteristik DAS terhadap Perubahan Cadangan Air dalam Tanah ... 57

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

6.1. Kesimpulan... 59

6.2. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

1 Persyaratan iklim untuk perkebunan kelapa sawit………….. 12

2 Jumlah curah hujan bulanan periode 18 Februari – 30 Juni 2006 (mm)………... 31

3 Jumlah curah hujan mingguan periode 18 Februari – 30 Juni 2006 (mm)……….. 33

4 Persentase intersepsi hujan mingguan setiap blok …………. 35

5 Jumlah evaporasi dan evapotranspirasi mingguan di areal penelitian (mm)……….. 39

6 Komponen hidrograf di setiap blok (mm)... 42

7 Persentase curah hujan terhadap komponen hidrograf... 46

8 Perubahan cadangan air dalam tanah mingguan (mm)... 48

9 Cadangan air dalam tanah (> 30 Juni 2006)... 51

Lampiran 1 Sifat fisik tanah di lokasi penelitian... 65

2 Data iklim BMG Raden Inten II Lampung..………... 66

3 Curah hujan harian 18 Februari - 30 Juni 2006 (mm)... 69

4 Intersepsi harian 18 Februari - 30 Juni 2006 (mm)……….... 70

5 Evapotranspirasi potensial harian 18 Februari - 30 Juni 2006 (mm)………... 74

(15)

6 Aliran permukaan harian 18 Februari - 30 Juni 2006 (mm)... 76 7 Neraca air harian Blok 1 18 Februari - 30 Juni 2006

(mm)………... 82

8 Neraca air harian Blok 2 18 Februari - 30 Juni 2006

(mm)………... 86 9 Neraca air harian Blok 3 18 Februari - 30 Juni 2006

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

1 Guludan bersaluran (a) dan rorak (b) dilengkapi dengan

lubang peresapan dan mulsa vertikal ……….. 18

2 Alat penakar hujan otomatis (a) dan Panci Kelas A (b) ….... 19

3 Alat ukur lolosan tajuk bak besi (a), talang (b), botol dengan corong (c) dan alat ukur aliran batang (d) …………. 20

4 Automatic Water Level Recorder (AWLR) (a) dan Weir (b)……… 21

5 Topografi (DEM) ketiga microcatchment Blok 1 (a), Blok 2 (b) dan Blok 3 (c)... 28

6 Distribusi curah hujan mingguan selama penelitian... 34

7 Grafik curah hujan dan intersepsi Blok 1... 37

8 Grafik curah hujan dan intersepsi Blok 2……….. 38

9 Grafik curah hujan dan intersepsi Blok 3………... 38

10 Evapotranspirasi potensial mingguan……..…...……... 40

11 Grafik curah hujan, total runoff, baseflow + interflow dan overlandflow di Blok 1………. 44

12 Grafik curah hujan, total runoff, baseflow + interflow dan overlandflow di Blok 2……….. 44

13 Grafik curah hujan, total runoff, baseflow + interflow dan overlandflow di Blok 3………. 45 14 Proporsi curah hujan terhadap aliran permukaan pada areal

(17)

47 15 Perubahan cadangan air dalam tanah mingguan... 55 16 Hubungan aliran permukaan terhadap perubahan cadangan

air dalam tanah... 56

Lampiran

1 Peta Afdeling III Unit Usaha Rejosari PTPN

VII….………... 95

(18)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor perkebunan merupakan salah satu potensi sub sektor pertanian yang berharga dan digali oleh pemerintah untuk meningkatkan perekonomian rakyat dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Pada saat ini sektor perkebunan dapat menjadi lokomotif pembangunan nasional karena dengan dukungan sumber daya yang besar, berorientasi pada ekspor dan komponen impor yang kecil akan dapat mengembangkan devisa non migas dalam jumlah yang cukup besar.

Salah satu komoditi unggulan perkebunan Indonesia adalah kelapa sawit. Selama tiga dasawarsa terakhir, kelapa sawit menjadi komoditi unggulan dan semakin penting peranannya dalam perekonomian Indonesia. Pengembangan kelapa sawit akan memberikan tambahan sumber devisa. Total devisa ekspor produk berbasis minyak sawit mencapai 4,8 miliar dollar AS atau 8 persen dari total ekspor nonmigas Indonesia tahun 2004. Proyek ini pun memberikan 200.000 tambahan lapangan kerja di perkebunan inti dan enam juta orang untuk keluarga petani plasma dan industri penunjang dengan penghasilan rata-rata Rp 2 juta per bulan (Chandra, 2005).

Melihat luas dan potensi wilayah Indonesia sebenarnya kelapa sawit memiliki peluang cukup besar untuk menguasai pasar kelapa sawit dunia dan untuk itu hingga saat ini Indonesia terus berusaha mengembangkan perkebunan

(19)

baru. Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia menunjukkan kecenderungan terus meningkat dalam beberapa terakhir ini dengan laju pertumbuhan rata-rata sekitar 10.9 % per tahun (CIC, 2001). Terbukti dalam 20 tahun terakhir (1985-2005), pertambahan kebun kelapa sawit meningkat 837 % atau dengan luas lahan ± 5.067.058 ha (Ditjenbun, 2006).

Lubis (1992) menyatakan bahwa lahan yang sesuai untuk pertanaman kelapa sawit telah berkurang sehingga pengembangan perkebunan kelapa sawit diarahkan pada lahan- lahan marjinal yang kurang sesuai untuk pertanaman kelapa sawit, seperti di Sumatera bagian selatan (Lampung, Jambi dan Palembang), Sumatera bagian timur (Riau), Kalimantan (Kalimantan Timur) dan Jawa Barat (Banten). Lahan tersebut dikategorikan sebagai lahan marjinal dikarenakan sering mengalami bulan kering yang panjang dan curah hujan yang rendah.

Pengusahaan kelapa sawit memerlukan jangka waktu yang panjang sebelum mencapai produksi maksimum pada umur 10 - 15 tahun dan produksinya peka terhadap perubahan-perubahan faktor lingkungan yang salah satunya adalah lama bulan kering. Faktor-faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tandan kelapa sawit. Darmosarkoro, Harahap dan Syamsudin (2001) menyatakan bahwa kekeringan berpengaruh terhadap proses fisiologis tanaman, pertumbuhan vegetatif, produksi, populasi hama dan penyakit serta gulma pada lahan kelapa sawit.

Menurut Siregar (1998) yang menggunakan simulasi terhadap produksi kelapa sawit di Lampung dengan menggunakan karakteristik kekeringan menunjukkan bahwa akibat kekeringan yang terjadi Lampung produksi minyak menurun 8 - 10 % setiap penurunan curah hujan sebesar 100 mm/tahun,

(20)

Darmosarkoro et al. (2001) menguatkan bahwa dengan defisit air 500 - 600 mm/tahun di perkebunan kelapa sawit di Lampung menurunkan produktivitas kelapa sawit 15 - 45 % tergantung terhadap umur tanaman. Siregar (2003) menyatakan bahwa kesesuaian iklim untuk perkebunan kelapa sawit berdasarkan parameter curah hujan, bulan kering, lama penyinaran matahari dan suhu udara di wilayah Rejosari (Lampung) tidak sesuai untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Produktivitas kelapa sawit pada daerah bertipe iklim A – B menurut Schmidt dan Ferguson atau Afa menurut Koppen (seperti di Sumatera Utara, 3.22 – 5.07 ton CPO ha/tahun) umumnya lebih tinggi dibandingkan daerah bertipe iklim B – C atau Ama (seperti di Lampung, 2.48 – 4.32 ton CPO ha/tahun) (Siregar, 2003).

Berdasarkan karakteristik kekeringan yang menyebabkan penurunan produktivitas pada perkebunan kelapa sawit di Lampung, maka diperlukan tindakan konservasi tanah dan air dalam bentuk teras gulud dan rorak yang dilengkapi lubang resapan serta mulsa vertikal agar air yang jatuh pada musim hujan dapat diresapkan secara maksimal ke dalam tanah melalui infiltrasi sehingga tersimpan menjadi cadangan air dalam tanah. Diharapkan dengan tindakan konservasi tanah dan air akan tersedia air yang cukup di bulan kemarau sehingga tidak mengganggu produktivitas kelapa sawit.

1.2. Tujuan

a. Meneliti perubahan neraca air akibat teknik konservasi tanah dan air yang diterapkan di perkebunan kelapa sawit.

b. Mendapatkan teknik konservasi tanah dan air yang mampu meningkatkan cadangan air tanah dan menunda kekeringan di perkebunan kelapa sawit.

(21)

1.3. Hipotesis

Perlakuan teknik konservasi tanah dan air mampu meningkatkan cadangan air dalam tanah (storage) sehingga mampu menunda kekeringan yang terjadi pada areal perkebunan kelapa sawit.

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Siklus Hidrologi

Pengertian dan pengukuran tentang rangkaian peristiwa yang terjadi dengan air saat jatuh di permukaan bumi hingga menguap ke udara dan kemudian jatuh kembali ke bumi sangat penting dalam hidrologi (Haridjaja et al., 1990). Menurut Seyhan (1990) daur hidrologi diberi batasan sebagai tahapan-tahapan yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer; evaporasi dari tanah atau laut maupun air pedalaman, kondensasi untuk membentuk awan, presipitasi, akumulasi didalam tanah maupun ditubuh air.

Arsyad (2000) menjelaskan secara terinci tentang siklus air, bahwa sebagian air yang jatuh (hujan) menguap sebelum tiba di permukaan bumi, yakni ketika sedang jatuh atau ditahan dan melekat pada tumbuh-tumbuhan. Bagian air hujan yang ditahan dan melekat di permukaan daun dan cabang disebut air intersepsi dan peristiwa penahanan air tersebut disebut peristiwa intersepsi. Air hujan yang sampai di permukaan tanah adalah air yang jatuh langsung, air hujan yang setelah tertahan oleh daun atau cabang pohon kemudian jatuh ke permukaan tanah disebut lolosan tajuk, dan air hujan jatuh di permukaan daun, cabang, batang kemudian mengalir melalui batang ke bawah disebut aliran batang. Bagian dari air tersebut yang sampai ke permukaan tanah disebut persediaan air permukaan akan mengalir di permukaan atau masuk kedalam tanah. Air yang mengalir di permukaan tanah disebut aliran permukaan. Peristiwa masuk nya air

(23)

kedalam tanah disebut infiltrasi. Aliran permukaan akan terkumpul didala m danau reservoir atau sungai dan kemudian mengalir ke laut. Dalam perjalanan air menuju laut sebagian ada yang diuapkan kembali ke udara. Sebagian air yang masuk ke dalam tana h akan segera keluar kembali ke sungai-sungai sebagai aliran intra (interflow), sedangkan sebagian besar lainnya akan tersimpan sebagai air tanah yang akan keluar sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama ke permukaan tanah di daerah-daerah yang rendah sebagai limpasan air tanah (Sosrodarsono dan Takeda, 1993).

2.2. Presipitasi

Presipitasi adalah proses jatuhnya air dari udara kedalam bentuk padat atau cair seperti hujan, salju, es, kabut atau embun ke permukaan bumi (Haridjaja et al., 1990). Menurut Viesmann et al. (1977) bentuk dan jumlah presipitasi dipengaruhi oleh faktor iklim antara lain seperti angin, suhu dan tekanan atmosfer. Di daerah tropis, presipitasi ditemui dalam bentuk hujan, maka presipitasi dalam konteks daerah tropis sama dengan hujan.

Sedangkan curah hujan menurut WMO (1971 dalam Japar, 2000) adalah air hujan yang jatuh pada permukaan tanah selama jangka waktu tertentu, diukur dalam satuan tinggi kolom di atas permukaan horisontal, apabila tidak terjadi penghilangan-penghilangan oleh proses penguapan, pengaliran dan peresapan ke dalam tanah. Satu hari hujan adalah periode 24 jam dimana terkumpul curah hujan setinggi 0,5 mm atau lebih dan curah hujan kurang dari ketentuan tersebut, hari hujannya dianggap nol.

Menurut para ahli ha nya ± 25 % dari seluruh presipitasi yang jatuh di daratan mengalir ke laut melalui permukaan dan aliran bawah tanah, sedangkan

(24)

sisanya ± 75 % kembali ke udara melalui proses evaporasi dari permukaan air, tanah, batu, dan benda-benda lain di permukaan bumi, serta melalui proses transpirasi. Namun demikian uap air hasil evapotranspirasi bukanlah sumber utama presipitasi di daratan yang bersangkutan, karena seringkali terserap oleh massa udara kering dan hanya sebagian kecil yang terpresipitasikan kembali pada tempat yang sama. Sumber presipitasi di daratan adalah uap air hasil evaporasi di permukaan laut yang terbawa ke daratan bersama massa udara yang bergerak sebagai angin laut (Haridjaja et al., 1990).

2.3. Intersepsi

Intersepsi adalah proses ketika air hujan jatuh pada permukaan vegetasi, di atas permukaan tanah, tertahan beberapa saat untuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfer atau diserap oleh vegetasi yang bersangkutan. Air hujan jatuh pada permukaan tajuk vegetasi akan mencapai permukaan lantai hutan melalui dua proses mekanis, yaitu lolosan tajuk (throughfall) dan aliran batang (stemflow). Air lolos jatuh langsung ke permukaan tanah melalui ruangan antar tajuk/daun atau menetes melalui daun, batang dan cabang, sedangkan aliran batang adalah air hujan yang dalam perjalanan mencapai permukaan tanah mengalir melalui batang vegetasi. Dengan demikian, intersepsi hujan adalah beda antara curah hujan total dan hasil pertambahan antara lolosan tajuk (throughfall) dan aliran batang (stemflow) (Asdak, 2004).

Faktor-faktor yang mempengaruhi intersepsi curah hujan pada suatu areal bervegetasi dipengaruhi oleh konposisi spesies, umur tanaman, kerapatan tegakan, musim dalam setahun dengan keragaman dalam intensitas presipitasi (Seyhan, 1990). Peranan intersepsi hujan oleh vegetasi hujan dalam neraca air

(25)

dari suatu daerah aliran sungai (DAS) adalah sangat besar, hal ini berkaitan dengan mekanisme berlangsungnya proses-proses evaporasi dan transpirasi yang terjadi dalam masyarakat vegetasi (Asdak, 2004).

2.4. Evapotranspirasi

Evaporasi adalah peristiwa perubahan air menjadi uap air dan bergerak dari permukaan tanah dan air ke udara/atmosfer, sedangkan transpirasi ialah peristiwa penguapan air dari tanaman. Kedua proses tersebut terjadi secara bersamaan disebut evapotranspirasi (Haridjaja et al., 1990).

Viessman et al. (1977) menyatakan bahwa evapotranspirasi dipengaruhi oleh faktor meteorologis dan geografis. Faktor meteorologis adalah radiasi, suhu, kelembaban dan angin. Faktor geografis meliputi kandungan lengas tana h, karakteristik kapilaritas tanah, kadar air tanah jenuh dan vegetasi.

Menurut Seyhan (1990) untuk mengetahui faktor- faktor yang berpengaruh terhadap evapotranspirasi, maka evapotranspirasi dapat dibagi menjadi dua yaitu evapotranspirasi potensial yang lebih berpengaruh terhadap iklim dan evapotranspirasi aktual yang lebih dipengaruhi oleh fisiologi tanaman dan unsur tanah.

Metode pengukuran maupun pendugaan evapotranspirasi secara umum tidak dapat digunakan pada semua kondisi sehingga harus dipilih pengukuran maupun pendugaan sesuai dengan kondisi setempat. Pendugaan evapotranspirasi didasarkan pada pengukuran dengan lisimeter, panci evaporasi dan estimasi dengan menggunakan rumus Penman, Thornwaite atau Blaney – Criddle.

(26)

Aliran permukaan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju sungai, danau dan lautan (Asdak, 2004). Arsyad (2000) menjelaskan aliran permukaan adalah air yang mengalir di atas permukaan tanah dan terjadi apabila intensitas hujan lebih besar dari laju infiltrasi. Aliran permukaan merupakan penyebab terjadinya erosi, karena berfungsi sebagai pengangkut bahan- bahan tanah.

Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1993) faktor-faktor yang mempengaruhi aliran permukaan dibagi menjadi dua kelompok yaitu faktor meteorologi yang diwakili oleh curah hujan dan faktor DAS berupa sifat-sifat fisik. Haridjaja et al. (1990) lebih dalam menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi aliran permukaan pada dasarnya dibagi menjadi dua hal yaitu pertama iklim yang meliputi tipe, intensitas, lama dan distribusi hujan, temperatur, angin dan kelembaban. Kedua kondisi dan sifat DAS yang meliputi kadar air tanah awal, ukuran bentuk, elevasi dan topografi DAS, vegetasi yang tumbuh di atas permukaan tanah serta geologi dan jenis tanah.

Volume limpasan dari suatu DAS dapat dianalisis melalui pemisahan hidrograf (hidrograf separation). Menurut Viessman et al. (1977) hidrograf dari suatu debit sungai terdiri dari curah hujan yang jatuh dari permukaan sungai, aliran bawah permukaan dan aliran bawah tanah. Ada dua teknik pemisahan hidrograf yaitu metode sederhana dan metode empirik. Metode sederhana memisahkan debit menjadi aliran dasar (baseflow) dan aliran permukaan. Metode empirik memisahkan komponen aliran sungai menjadi tiga bagian yaitu aliran permukaan (overlandflow), aliran bawah permukaan (interflow) dan aliran air bawah tanah (baseflow).

(27)

2.6. Neraca Air

Penafsiran kuantitatif daur hidrologi dapat dicapai dengan suatu persamaan umum yang disebut neraca air. Persamaan neraca air menggambarkan prinsip bahwa selang waktu tertentu, masukan air total pada selang tertentu sama dengan keluaran total ditambah perubahan bersih dalam cadangan (Seyhan, 1990)

Secara umum persamaan neraca air menurut Seyhan (1990), dirumuskan sebagai berikut : P – ( Q + I + T + E + Qs) = ? S dimana : P : presipitasi (mm) Q : aliran sungai (mm) I : intersepsi (mm) T : transpirasi (mm) E : evaporasi (mm)

Qs : infiltrasi/perembesan yang dalam (mm)

? S : perubahan penyimpanan kelengasan tanah (mm)

Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1993), persamaan neraca air adalah sebagai berikut : P = Q + E + G + M dimana : P : curah hujan (mm) Q : debit (mm) E : evapotranspirasi (mm)

G : penambahan (supply) air tanah (mm) M : penambahan kadar kelembaban tanah (mm)

(28)

Konservasi tanah dapat diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah dengan penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah, sedangkan konservasi air pada prinsipnya penggunaan air yang jatuh ke tanah untuk pertanian seefisien mungkin dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kema rau (Arsyad, 2000).

Metoda konservasi tanah dapat dibagi dalam tiga golongan utama, yaitu metoda vegetatif, metoda mekanik dan metoda kimia. Pada penelitian ini digunakan metoda mekanik dan metoda vegetatif, yaitu dengan membuat guludan bersaluran dan rorak yang dilengkapi lubang resapan dengan diberi serasah (mulsa vertikal).

Guludan adalah tumpukan tanah yang dibuat memanjang menurut arah garis kontur atau memotang arah lereng. Serupa halnya dengan guludan, rorak merupakan sejenis embung yang dibuat searah kontur. Didasar rorak dan guludan dibuat lubang resapan yang selanjutnya diisi dengan mulsa vertikal yang berfungsi mengefektifkan peresapan air ke dalam tanah. Jarak antar guludan dan antar rorak tergantung pada kecuraman lereng, kepekaan erosi tanah dan erosivitas hujan.

Mulsa mengurangi erosi dengan cara meredam energi hujan yang jatuh sehingga tidak merusak struktur tanah, mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan serta mengurangi daya gerus aliran permukaan (Arsyad, 2000).

2.8. Syarat Tumbuh Kelapa Sawit

Kelapa sawit adalah tanaman hutan yang dibudidayakan. Tanaman ini memiliki respon yang baik terhadap kondisi lingkungan hidup dan perlakuan yang

(29)

diberikan. Seperti tanaman budiddaya lainnya, maka kelapa sawit membutuhkan kondisi tumbuh yang baik agar potensi produksinya dapat dikeluarkan secara maksimal. Kondisi iklim dan tanah merupakan faktor utama disamping faktor lainnya seperti genetis, perlakuan yang diberikan dan lain- lain (Lubis, 1992).

2.8.1 Faktor Cuaca dan Iklim

Persyaratan iklim untuk tanaman perkebunan kelapa sawit yang dirangkum dari berbagai pustaka dari hasil penelitian dan observasi bertahun-tahun pada berbagai lokasi (Siregar, 2003) ditunjukkan pada Tabel 1. Tanaman kelapa sawit tumbuh baik pada iklim zone khatulistiwa dengan kelas iklim Af dan Am menurut klasifikasi Koppen. Tanaman ini dibudidayakan secara komersial pada kawasan-kawasan yang memiliki curah hujan yang lebih besar dibandingkan evapotranspirasi sekurang-kurangnya 9 bulan dalam setahun (Fewerda, 1977

dalam Siregar, 2003). Secara umum kondisi iklim yang cocok bagi pertumbuhan kelapa sawit terletak antara 150 Lintang Utara sampai 150 Lintang Selatan. Unsur-unsur iklim yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kelapa sawit antara lain : suhu udara, curah hujan, kelembaban udara dan radiasi surya.

2.8.1.1. Suhu Udara

Tanaman kelapa sawit tumbuh dan berkembang baik pada kawasan yang mempunyai suhu udara rata-rata 24 - 28 0C (Fewerda, 1977 dalam Siregar, 2003). Untuk produksi yang tinggi dibutuhkan suhu maksimum rata - rata pada kisaran 29 - 32 0C dan suhu minimum rata-rata pada kisaran 22 - 24 0C (Hartley, 1977). Fewerda (1977 dalam Siregar, 2003) menyatakan bahwa suhu udara dibawah 22 0C dapat menghambat pertumbuhan dan mengurangi hasil produksi. Penurunan hasil tersebut disebabkan meningkatnya keguguran bunga sebelum antesis pada

(30)

suhu yang relatif rendah. Hartley (1977) mengungkapkan bahwa pertumbuhan tanaman kelapa sawit terhenti pada suhu15 0C dan pertumbuhan maksimum pada suhu udara 28 0C.

Tabel 1. Persyaratan iklim untuk perkebunan kelapa sawit

Peneliti Tahun Lokasi

observasi Unsur iklim

Batas

bawah Optimum

Batas atas

Hartley 1988 Afrika Curah Hujan (mm/tahun) ± 2000

Malaysia Bulan kering (<60mm) < 3

Indonesia Penyinaran Matahari (jam /hari) ± 5 7

Suhu udara rata-rata tahunan (oC) 25-28

Suhu udara rata-rata maksimum(oC) 29-32

Suhu udara rata-rata minimum(oC) 22-24

Kelembaban udara (%) Kecepatan angin (km/jam)

Ferwerda 1977 Zaire-Afrika Curah Hujan (mm/tahun) 1100 1500-1600

Bulan kering (<60mm) Penyinaran Matahari (jam /hari)

Suhu udara rata-rata tahunan (oC) 24 25-27 33

Suhu udara rata-rata maksimum(oC) Suhu udara rata-rata minimum(oC)

Kelembaban udara (%) =75

Kecepatan angin (km/jam)

Abraham 1991 India Curah Hujan (mm/tahun) 1500-2000

Bulan kering (<60mm) 0-1 4

Penyinaran Matahari (jam /hari) ±5

Suhu udara rata-rata tahunan (oC)

Suhu udara rata-rata maksimum(oC) 29-33 33

Suhu udara rata-rata minimum(oC) 18 18-24

Kelembaban udara (%)

Kecepatan angin (km/jam) <10

Siregar et al., 1997 Indonesia Curah Hujan (mm/tahun) 1250 1700-3000 >3000

Adiwiganda 1999 Indonesia Bulan kering (<60mm) 0-1 3

Penyinaran Matahari (jam /hari) 4 >5

Suhu udara rata-rata tahunan (oC) Suhu udara rata-rata maksimum(oC) Suhu udara rata-rata minimum(oC) Kelembaban udara (%)

Kecepatan angin (km/jam)

(31)

2.8.1.2. Curah Hujan

Tanaman kelapa sawit tumbuh dengan baik pada kawasan dengan curah hujan tahunan 2000 - 3000 mm dan menyebar merata sepanjang tahun (Hartley, 1977). Penyebaran yang merata maksudnya adalah sebaran hujan yang tidak terdapat perbedaan mencolok dari satu bulan ke bulan berikutnya dan sebaiknya tidak terdapat curah hujan di bawah 60 mm.

2.8.1.3. Kelembaban Udara

Tanaman kelapa sawit tumbuh baik pada kawasan tropis dengan kelembaban udara berkisar 75 – 80 % (Ferwerda,1977 dalam Siregar, 2003). Keadaan pembukaan stomata mempengaruhi pertukaran gas antara jaringan daun dan atmosfer pada lingkungan tanaman. Pertukaran gas tersebut terutama CO2 yang dibutuhkan dalam proses fotosintesis merupakan sumber pembentukan biomassa dan energi untuk pertumbuhan tanaman. Udara yang kering pada kelembaban rendah menyebabkan kondukstan stomata menurun sehingga mengakibatkan pertukaran gas antara jaringan tanaman dan atmosfer terganggu.

2.8.1.4. Radiasi Surya

Penyinaran radiasi surya yang cukup adalah lebih dari 1600 jam/tahun dengan rata-rata 5 - 7 jam/hari (Ferwerda, 1977 dalam Siregar, 2003). Pengaruh penyinaran radiasi surya terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman ini telah diketahui dari berbagai pengamatan, tetapi kebutuhan intensitas maupun lama penyinaran optimum belum diketahui dengan pasti.

(32)

Menurut Lubis (1992) tanaman kelapa sawit dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah (Podsolik, Latosol, Hidromorfik kelabu, Regosol, Andosol, Organosol, atau Alluvial).

Sifat fisik ya ng baik untuk kelapa sawit adalah :

- Solum tebal 80 cm. Solum yang tebal merupakan media yang baik bagi perkembangan akar sehingga efisiensi penyerapan hara tanaman akan lebih baik. - Tekstur ringan, memiliki pasir 20 - 60 %, debu 10 – 40 %, liat 20 – 50 %.

- Perkembangan struktur baik, konsistensi gembur sampai agak teguh dan permeabilitas sedang.

- PH tanah sangat terkait pada ketersediaan hara yang dapat diserap oleh akar. Kelapa sawit dapat dapat tumbuh pada pH 4.0 - 6.5, namun yang terbaik 5.0 - 5.5. Tanah yang mempunyai pH rendah dapat dapat dinaikkan dengan pengapuran namun membutuhkan biaya yang lebih tinggi. Tanah pH rendah ini biasanya dijumpai pada daerah pasang surut terutama tanah gambut

- Kandungan unsur hara tinggi :

- C/N mendekati 10 dimana C 1 % dan N 0.1 %. - Daya tukar Mg = 0.4 – 1.0 me/100 gr.

- Daya tukar K = 0.15 – 0.20/100 gr

(33)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu Peneliian

Kegiatan penelitian dilakukan pada 3 (tiga) daerah tangkapan mikro (microcatchment) yang terletak dalam satu wilayah blok pengelolaan kebun kelapa sawit Afdeling III Blok 375, 414 dan 415 Unit Usaha Rejosari PTPN VII Kabupaten Lampung Selatan Propinsi Lampung. Luas microcatchment pada Blok 375, 414 dan 415 masing- masing adalah 11.8, 6.25 dan 14.2 ha. Waktu penelitian berlangsung dari Februari sampai dengan Juni 2006.

3.2. Bahan dan Alat Penelitian

Penelitian dilakukan pada tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) yang telah berumur 10 tahun. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Penakar hujan tipe observatorium untuk pengukuran curah hujan. b. Evaporimeter (Panci kelas A) untuk pengukuran evaporasi.

c. Alat ukur untuk lolosan tajuk (throughfall) dan aliran batang (stemflow). d. Automatic Water Level Recorder (AWLR) untuk pengamatan aliran

permukaan.

(34)

a. Data curah hujan harian bulan Februari – Juli 2006 dari ombrometer di wilayah Afdeling III Unit Usaha Rejosari.

b. Data evaporasi harian Bulan Februari – Juli 2006 dari Panci Kelas A di wilayah Afdeling III Unit Usaha Rejosari.

c. Data tinggi muka air harian Bulan Februari – Juli 2006 dari bangunan AWLR (Automatic Water Level Recorder) di wilayah Afdeling III Unit Usaha Rejosari.

d. Data Intersepsi Bulan Februari – Juli 2006 dari data curah hujan, lolosan tajuk dan aliran batang di wilayah Afdeling III Unit Usaha Rejosari.

3.3 Metodologi Penelitian

Metode pelaksanaan penelitian meliputi : persiapan (survey penetapan lokasi penelitian dan pemetaan topografi), pengambilan contoh tanah dan analisis tanah di laboratorium, perlakuan yang diuji, instalasi peralatan dan pengamatan serta analisa data. Untuk persiapan, pengambilan contoh tanah, ana lisis tanah dan instalasi peralatan telah dilakukan pada bulan Juni - Desember oleh tim Faperta IPB dan PPKS Medan (2006).

3.3.1 Perlakuan Konservasi Tanah dan Air

Teknik konservasi tanah dan air yang diterapkan, yaitu:

Blok 1 (Blok 375) : Microcatchment yang diberi teknik peresapan air berupa teras gulud bersaluran yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal.

(35)

Blok 2 (Blok 414) : Tanpa perlakuan, yaitu microcatchment yang tidak diberi perlakuan teknik peresapan air, yakni dibiarkan alami sebagaimana adanya.

Blok 3 (Blok 415) : Microcatchment yang diberi teknik peresapan air berupa rorak yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal.

Guludan dibangun sejajar kontur diantara tanaman pada setiap beda tinggi (vertikal interval) 80 cm. Guludan yang dibuat mempunyai ukuran tinggi, lebar dan dalam saluran masing- masing kurang lebih 30 cm. Lubang resapan dibuat di bagian tengah saluran dengan jarak antar lubang 2 m, diameter lubang 10 cm dan sedalam 50 cm. Sisa tanaman berupa pelepah sawit, dan daun semak belukar diberikan dengan cara memasukkan ke dalam lubang resapan dan saluran yang dibuat (Gambar 1a).

Rorak (panjang 300 cm, lebar 50 cm, dan dalam 50 cm) dibangun di antara tanaman kelapa sawit sejajar kontur dengan pola zig- zag antar garis kontur. Jarak antar rorak dalam satu garis kontur sejauh 2 meter. Pada setiap rorak dibuat 2 (dua) lubang resapan berjarak 2 m antara lubang yang satu dengan yang lain, dan dengan diameter serta kedalaman sama seperti yang dibuat pada saluran guludan. K e dalam rorak dan lubang resapan juga ditambahkan sisa-sisa tanaman dan semak belukar sebagai mulsa vertikal (Gambar 1b).

(36)

(a) (b)

Gambar 1. Guludan bersaluran (a) dan rorak (b) dilengkapi dengan lubang peresapan dan mulsa vertikal.

3.3.2. Instalasi dan Tata Letak Peralatan

Stasiun pengamatan yang dibangun ditujukan untuk mengamati dinamika air pada ketiga microcatchment. Untuk mengamati curah hujan dan dinamika air hujan, dipasang alat penakar hujan otomatis. Penakar hujan otomatis ini dibangun pada tempat terbuka dekat Blok 375 yang berada di halaman Kantor Afdeling III. Di samping alat penakar hujan otomatis yang berada di dekat Blok 375, pada Blok 414, dan Blok 415 dipasang pula alat penakar hujan tipe observatorium. Pemasangan tiga alat penakar hujan pada masing- masing blok ini ditujukan untuk mengamati curah hujan secara teliti dan sekaligus untuk mengantisipasi adanya kemungkinan variasi hujan pada ketiga blok tersebut. Untuk mengamati besarnya evaporasi potensial dipasang evaporimeter (Panci Kelas A) yang diletakkan berdekatan dengan alat penakar hujan otomatis. Penakar hujan otomatis dan Paci Kelas A yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 2.

(37)

( a ) ( b)

Gambar 2. Alat penakar hujan otomatis (a) dan Panci Kelas A (b).

Untuk mengamati dinamika komponen siklus hidrologi atau siklus air maka pada setiap microcatchment dibangun 9 (tiga) stasiun pengamat untuk lolosan tajuk (throughfall) dalam bentuk bak besi (3a), talang (3b) dan kombinasi botol dengan corong (3c), sedangkan untuk aliran batang (stemflow) (3d) dibangun 3 (tiga) stasiun pengamat pada setiap microcatchment. Dengan demikian terdapat 36 (tiga puluh enam) set stasiun pengamat diseluruh lokasi penelitian. Ke - 36 stasiun pengamat pada setiap microcatchment masing- masing mewakili lereng bagian atas, tengah dan bawah. Alat ukur lolosan tajuk dan aliran batang yang digunakan pada setiap stasiun pengamat dapat dilihat pada Gambar 3.

(38)

(c) (d)

Gambar 3. Alat ukur lolosan tajuk; bak besi (a), talang (b), botol dengan corong (c) dan alat ukur aliran batang (d).

Pengamatan aliran permukaan dilakukan dengan pembangunan weir yang dilengkapi dengan Automatic Water Level Recorder (AWLR). Karena panjang saluran pengaliran air pada Blok 375 dan Blok 415 cukup panjang hingga bagian hulu saluran pengaliran tersebut berada diluar blok, maka pada kedua blok tersebut masing- masing dibangun dua weir, bagian inlet dan outlet. Weir pada Blok 414 cukup satu buah, sehingga secara keseluruhan jumlah weir yang dibangun sebanyak 5 buah. Weir berikut AWLR yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

( a ) ( b )

Gambar 4. Automatic Water Level Recorder (AWLR) (a) dan Weir (b)

3.3.3. Teknik Pengamatan dan Pengukuran di Lapang

(39)

Pengukuran curah hujan dilakukan dengan sebuah penakar curah hujan tipe observatorium yang di letakkan pada tempat terbuka yaitu Blok 375. Untuk keperluan kalibrasi, air hujan yang tertampung dalam penakar hujan juga diukur secara manual setiap hari dengan mengukur air yang tertampung pada penakar hujan dengan menggunakan gelas ukur (dalam satuan milimeter). Hasil yang didapat merupakan curah hujan yang turun pada pertanaman kelapa sawit. Dua buah penakar hujan manual tipe observatorium dipasang pada blok lainnya lainnya yaitu pada Blok 414 dan Blok 415 untuk mengakomodasikan variabilitas hujan yang jatuh pada wilayah penelitian. Untuk analisis dibahas dalam periode mingguan agar keragaman curah hujan yang terjadi bisa interpretasi dengan lebih baik.

3.3.3.2. Intersepsi

Intersepsi di lapang tidak bisa diukur secara langsung. Pendugaan besarnya intersepsi dihitung berdasarkan selisih antara curah hujan yang sampai di puncak tajuk dengan curah hujan yang sampai ke permukaan tanah baik yang melalui tajuk (throughfall) maupun yang melalui aliran batang (stemflow), atau dengan persamaan sebagai berikut:

I = P – ( TF + Sf ) dimana :

I : intersepsi hujan (mm/hari) P : curah hujan (mm/hari) TF : lolosan tajuk (mm/hari) SF : aliran batang (mm/hari)

(40)

Stemflow diukur dengan menampung air hujan yang mengalir pada batang pohon kelapa sawit yang dialirkan dengan selang kemudian ditampung ke dalam drum. Pengukuran jumlah stemflow secara manual, dimana volume air (liter) yang tertampung dalam drum dikalikan dengan jumlah pohon dalam suatu blok, lalu diubah satuannya dalam ml, kemudian hasil tersebut dikalikan dengan luas lahan dalam blok sehingga didapat nilai stemflow dalam mm.

Throughfall dari kelapa sawit diukur dengan memasang bak penampung dengan luas tangkapan 1 m2 yang diletakkan pada beberapa tempat refresentatif. Pengukuran jumlah throughfall secara manual, dimana volume air (liter) yang tertampung dalam bak penampung dibagi dengan luas penampang sehingga didapat nilai throughfall dalam mm.

Dengan demikian setelah data curah hujan, aliran batang dan curahan tajuk diperoleh, maka besarnya nilai intersepsi hujan dapat dihitung. Hubungan antara intersepsi dengan curah hujan didekati dengan persamaan regresi linier2 yaitu sebagai berikut :

Blok 1 : INTCP = 0.2010* CH + 0.4264, dengan INCTP maks pada CH = 27 mm Blok 2 : INTCP = 0.2120* CH – 0.0268, dengan INCTP maks pada CH = 29 mm Blok 3 : INTCP = 0.2063* CH – 0.3844, dengan INCTP maks pada CH = 27 mm Pada curah hujan yang tinggi, intersepsi ditentukan nilai maksimumnya, sedangkan curah hujan yang lebih kecil atau sama dengan 3.0 mm seluruhnya diintersepsi oleh tajuk tanaman kelapa sawit.

3.3.3.3. Evapotranspirasi

2 Purba, F. P. 2007. Intersepsi Hujan pada Tanaman Kelapa Sawit (Studi Kasus di UU Rejosari PTPN VII Lampung. Draft Skripsi. Fakultas Pertanian. Insttut Pertanian Bogor.

(41)

Evaporasi aktual diukur dengan evaporimeter Panci Kelas A yang diletakkan pada lokasi representatif yaitu Blok 375. Penguapan air dari panci diukur setiap hari sekitar pukul 08.00. Evaporasi potensial dihitung dari data evaporasi Panci Kelas A yaitu :

EPt = kp.Ep dimana :

EPt : evaporasi potensial (mm) Kp : koefisien panci (0.8)

Ep : evaporasi panci kelas A (mm)

Pendekatan nilai evapotranspirasi belum mempertimbangkan nilai perkolasi. Hal ini disebabkan karena lokasi instalasi alat lisimeter yang belum tepat sehingga belum ada keteraturan nilai perkolasi. Oleh sebab itu evapotranspirasi potensial didapat dengan mengalikan evaporasi potensial dengan koefisien tanaman. Dalam hal ini koefisien tanaman kelapa sawit memiliki nilai faktor tanaman (Kc) sebesar 1.2. Sehingga rumus untuk pendugaan evapotranspirasi potensial adalah :

ETp = kc.Ep dimana :

ETP : evapotranspirasi potensial (mm) Kc : nilai faktor tanaman (1.2)

(42)

3.3.3.4. Aliran Permukaan.

Weir dan AWLR (automatic water level recorder) untuk mengukur tinggi muka air secara otomatis ditempatkan pada titik pembuangan microcatchment.

Weir dibuat agar aliran air yang keluar dari microcatchment melalui penampang yang beraturan dan mempunyai kecepatan yang relatif homogen sehingga penampang basah dapat ditetapkan dan kecepatan alirannya dapat diukur dengan menggunakan current meter. Dimensi weir yang dibangun disesuaikan dengan jumlah air yang keluar dari microcatchment. Kecepatan aliran air diukur pada berbagai tinggi muka air sehingga debit aliran air yang keluar dari

microcatchment pada berbagai ketinggian dapat diketahui. Berdasarkan korelasi tinggi muka air dan debit aliran yang terukur pada titik outlet dibuat kurva lengkung debit aliran (discharge rating curve). Rating curve tersebut selanjutnya digunakan untuk menghitung debit aliran yang dihasilkan dari berbagai kejadian hujan yang jatuh pada areal microcatchment.

Pengamatan terhadap aliran permukaan dilakukan dengan menganalisis hasil pencatatan AWLR. Untuk mendapatkan volume aliran permukaan pada setiap AWLR terlebih dahulu harus dilakukan pengukuran debit pada berbagai ketinggian air. Berdasarkan hasil pengukuran debit tersebut selanjutnya dibuat kurva lengkung (rating curve) debit aliran saluran yang bersangkutan. Kurva lengkung dan ketinggian air hasil pencatatan AWLR tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar penetapan volume aliran.

3.3.3.5. Neraca Air

Secara empiris persamaan neraca air di sekitar perakaran kelapa sawit dapat dirumuskan sebagai berikut (Tim Faperta IPB – PPKS Medan, 2006) :

(43)

∆S = P - INTP - ETP - RO

dimana :

∆S : cadangan air tanah (mm) P : curah hujan (mm)

INTP : intersepsi (mm)

ETP : evapotranspirasi potensial (mm) RO : aliran permukaan (mm)

Nilai debit atau total runoff merupakan gabungan dari aliran permukaan (overlandflow), dan aliran bawah permukaan (interflow) + aliran air bawah tanah (baseflow). Nilai aliran bawah permukaan (interflow) + aliran air bawah tanah (baseflow) digabung menjadi satu karena pada daerah penelitian memiliki solum yang dangkal, dimana terdapat lapisan padas sehingga nilai aliran bawah permukaan (interflow) yang terukur merupakan gabungan dengan nilai aliran air bawah tanah (baseflow). Kehilangan air melalui perkolasi belum dimasukkan ke dalam perhitungan karena belum ada keteraturan pola dari data perkolasi, sehingga cadangan air tanah ya ng terukur merupakan kadar air yang berada di zona jenuh (hasil perkolasi) maupun zona tidak jenuh.

3.3.4. Analisa Data

Untuk mengetahui pengaruh teknik peresapan air terhadap cadangan air dalam tanah akan dilakukan analisis dengan menggunakan perbandingan kuantitatif logis. Data yang diperoleh juga akan dikorelasikan satu dengan yang lain dalam bentuk grafik sehingga mudah dipahami. Teknik peresapan air yang mampu menekan aliran permukaan, meningkatkan cadangan air dalam tanah (storage) dan menunda kekeringan adalah teknik peresapan air yang terbaik.

(44)

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1. Letak Geografis dan Topografi

Secara administratif, lokasi penelitian termasuk ke dalam wilayah Desa Rejosari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung.

Lokasi penelitian terletak pada 105º 07’ 55.5” - 105º 08’ 21.6 ” BT dan 5 º 17’ 01.6” - 5 º 17’ 27.6” LS. Jarak Unit Usaha Rejosari dari Ibukota Propinsi

12 km, dari Kabupaten Lampung Selatan 70 km, dari Pelabuhan Panj ang 12 km, dan dari kantor direksi PTPN VII 12 km. Kondisi daerah penelitian ini terdiri dari dataran hingga perbukitan dengan ketinggian antara 75 sampai 200 m di atas pemukaan laut dengan kemiringan lereng berkisar antara 3 hingga 8 % (Moedjimoeljanto, 1997).

4.2. Keadaan Tanah

Macam tanah di lokasi penelitian menurut klasifikasi Dudal-Soepraptohardjo (dalam Hardjowigeno, 2003) adalah Podsolik Merah Kuning, sedangkan menurut klasifikasi USDA merupakan jenis Typic Kanhapludult untuk lereng atas dan tengah serta Fluventic Dystopept untuk lereng bawah. Berdasarkan hasil analisis laboratorium (Tim Faperta IPB-PPKS Medan, 2006), daerah

(45)

penelitian memiliki rataan kadar air kapasitas lapang antara 26 - 36 % dengan rataan kadar air titik layu permanen antara 18 - 26 %, dan didominasi oleh pori drainase sangat cepat (Tabel Lampiran 1).

Ciri-ciri tanah tersebut memiliki sistem drainase yang jelek dengan kedalaman solum yang dangkal, struktur tanah yang kurang baik (masif) karena terdapat akumulasi liat hingga tekstur relatif berat, sehingga sering terjadi penggenangan (terutama di daerah lembah) (Hardjowigeno, 2003). Selain ditemukan endapan liat, pada kondisi tanah di Rejosari juga ditemukan lapisan kedap berupa batu pasir. Batuan induk dari tanah ini adalah batuan endapan bersilika, napal, batu pasir, batu liat, batuan volkanik masam (komplek gunung api Rajabasa) dan berasal dari formasi Pulau Sebesi (Qvh) yang menghasilkan besi bertitan (Fe2O3,TiO2) (Moedjimoeljanto, 1997). Topografi pada setiap blok dapat dilihat pada Gambar 5 (Tim Faperta IPB – PPKS Medan, 2006).

(46)

(b) (c)

Gambar 5. Topografi (DEM) ketiga microcatchment Blok 1 (a), Blok 2 (b) dan Blok 3 (c).

Pada umumnya keadaan topografi di lapang beragam, yakni dari datar sampai bergelombang. Kemiringan lereng pada daerah penelitian berkisar 0 - 8 %, sedangkan kedalaman solum bervariasi antara 1 hingga 3 meter. Daerah pelembahan pada Blok 2 lebih luas (3.8 hektar) dibandingkan Blok 1 (1.4 hektar). Sedangkan Blok 3 memiliki daerah pelembahan yang paling kecil.

4.3. Keadaan Geologi dan Geomorfologi

Satuan geomorfologi daerah penelitian dibagi menjadi satuan geomorfologi dataran kompleks (peneplain) dan satuan geomorfologi perbukitan sisa (monadnock). Tahapan erosi sudah mencapai dewasa-tua (berumur tersier – quarter). Secara stratigrafi daerah penelitian dapat dibagi menjadi tujuh satuan, yang urutannya dari tua ke muda, yaitu satuan amfibolit, metakuarsit, marmer – berumur kapur awal, diorit kuarsa – kapur awal, granit – kapur tengah, riodasit – miosen tengah, dan tufa – Pleitosen.

Struktur geologi daerah penelitian dipengaruhi oleh Formasi Pulau Sebesi (Qvh) dan Formasi Gading (Tomg), Formasi Sekincau Volkanik (Qhvs), Formasi Lampung (QTI), Formasi Granodiorit Sulan (Kgdsn), dan Formasi Basal Sukadana (Qbs). Formasi- formasi tersebut membawa logam- logam seperti besi, emas, mangan, pasir besi, dan titan. Mineral- mineral non logam yang ditemukan

(47)

pada formasi- formasi tersebut antara lain andesit, feldspar, batu gamping, marmer, zeolit, dan sebagainya (DJGSM, 2002).

4.4. Keadaan Iklim

Curah hujan tahunan di daerah penelitian berkisar 1500 – 2100 mm/tahun. Jumlah hari hujan yang terjadi di daerah penelitian adalah 77 – 122 hari/tahun dengan jumlah bulan kering 3 – 4 bulan/tahun. Water deficit yang terjadi mencapai 10 – 400 mm/tahun (PTPN-VII, 2005). Tipe iklim menurut Schmidt dan Ferguson termasuk Tipe C, menurut Oldeman Tipe D3 dan menurut Koppen Tipe Ama (Siregar, 2003). Berdasarkan data Badan Meteorologi dan Geofisika Lampung (2006), rata-rata suhu udara maksimum bulanan di daerah penelitian berkisar antara 31 – 36 ºC, sedangkan rata-rata suhu udara minimum bulanan berkisar antara 21 – 23 ºC, kelembaban udara rata-rata berkisar antara 69 – 87 % (Tabel Lampiran 2).

(48)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Curah Hujan

Hasil pengamatan di lapang dari tanggal 18 Februari - 30 Juni 2006 pada setiap blok tercatat 60 kejadian hujan. Curah hujan bervariasi antara 0.30 – 99.0 mm/hari dengan curah hujan total pada masing – masing blok berkisar antara 731.18 – 841.47 mm dengan total lama hujan 286 jam. Data pengukuran curah hujan bulanan di setiap blok yaitu Blok 1 (perlakuan teras gulud), Blok 2 (tanpa perlakuan), dan Blok 3 (perlakuan rorak) disajikan pada Tabel 2, sedangkan hasil pengukuran curah hujan harian dengan Penakar Tipe Observatorium secara lengkap termuat pada Tabel Lampiran 3.

Berdasarkan kriteria Schmidt and Ferguson (1975, dalam Handoko, 1993) bulan basah ditandai dengan rata-rata curah hujan > 100 mm, sedangkan bulan kering rata-rata curah hujannya < 60 mm. Berarti pada saat penelitian terdapat satu bulan kering yaitu pada bulan Juni 2006, sedangkan bulan basah antara bulan Februari – Mei 2006 dengan puncaknya pada bulan April 2006.

Tabel 2. Jumlah curah hujan periode 18 Februari – 30 Juni 2006 (mm)

Bulan Blok 1 Blok 2 Blok 3

(49)

Maret 246.46 214.36 228.42

April 271.69 225.96 233.01

Mei 85.60 76.64 76.63

Juni 57.71 54.05 54.95

Jumlah 841.47 731.18 751.67

Curah hujan bulanan yang turun pada areal penelitian menunjukkan adanya keragaman pada masing- masing blok, total curah hujan total terbesar yang terukur selama periode pengamatan terdapat pada Blok 1 (perlakuan teras gulud) yaitu sebesar 841.47 mm, kemudian pada Blok 3 (perlakuan rorak) sebesar 751.67 mm dan curah hujan yang turun pada Blok 2 (tanpa perlakuan) lebih kecil dibandingkan blok lainnya yaitu hanya sebesar 731.18 mm. Curah hujan bulanan terbesar yang turun pada masing- masing blok terjadi pada bulan April, sedangkan curah hujan bulanan terkecil terjadi pada bulan Juni. Pola curah hujan terbesar dan terkecil bulanan yang turun pada masing- masing blok sama seperti pola curah hujan total. Curah hujan bulanan terbesar terjadi pada Blok 1 (perlakuan teras gulud ) sebesar 271.69 mm, Blok 3 (perlakuan rorak) sebesar 233.01 mm dan Blok 2 (tanpa perlakuan) sebesar 225.96 mm yang semuanya terjadi pada bulan April. Sedangkan curah hujan bulanan terkecil terjadi pada Blok 1 (perlakuan teras gulud) sebesar 57.71 mm, Blok 3 (perlakuan rorak) sebesar 54.95 mm dan Blok 2 (tanpa perlakuan) sebesar 54.05 mm yang semuanya terjadi pada bulan Juni.

Jumlah curah hujan mingguan pada setiap blok dapat dilihat pada Tabel 3. Curah hujan mingguan maksimum terjadi pada minggu ke-2 pada Blok 1 (perlakuan teras gulud), Blok 2 (tanpa perlakuan) dan Blok 3 (perlakuan rorak) masing- masing sebesar 167.74 mm, 162.67 mm dan 151.63 mm. Sementara itu curah hujan mingguan minimum pada Blok 1 (perlakuan teras gulud) terjadi pada

(50)

minggu ke-13 yaitu sebesar 2.77 mm, Blok 2 (tanpa perlakuan) pada minggu ke-12 sebesar 2.52 mm dan Blok 3 (perlakuan rorak) pada minggu ke-13 sebesar 3.06 mm. Pada minggu ke-19 tidak terjadi hujan. Dengan membandingkan curah hujan mingguan dan bulanan di setiap blok terlihat bahwa curah hujan pada Blok 2 dan Blok 3 relatif homogen dibandingkan curah hujan pada Blok 1. Keragaman distribusi curah hujan disebabkan perbedaan iklim mikro pada masing- masing blok. Perbedaan suhu, kelembaban atmosfer, angin dan kadar air tanah akan mempengaruhi iklim mikro setempat dan menyebabkan keragaman distribusi hujan.

Tabel 3. Jumlah hujan mingguan periode 18 Februari – 30 Juni 2006 (mm)

Bulan Minggu Blok 1 Blok 2 Blok 3

Februari 1 59.22 47.79 49.84 2 167.74 162.67 151.63 Maret 3 44.22 33.86 26.06 4 71.58 65.14 58.93 5 49.05 39.27 55.44 6 34.64 25.81 45.07 April 7 48.65 45.22 62.31 8 87.95 75.83 66.77 9 38.34 31.65 21.44 10 80.52 61.8 69.54 Mei 11 28.64 23.44 24.53 12 2.77 2.52 3.06 13 2.62 2.89 2.74 14 32.42 28.75 32.83 Juni 15 35.39 30.5 26.52 16 33.23 27.71 27.46 17 20.84 23 24.11 18 3.64 3.34 3.38 19 0 0 0 Jumlah 841.47 731.18 751.67

(51)

Karakteristik dan distribusi curah hujan pada areal penelitian dapat dilihat pada Gambar 6. Secara umum terdapat pola bahwa peluang terjadinya hujan lebih tinggi pada bulan Februari dan mendekati bulan Juli peluang kejadian hujan lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh pengaruh Zona Tekanan Rendah Intertropis ( ITCZ = Inter Tropical Convergence Zone ) yang tepat berada di atas Pulau Jawa dan Sumatera pada bulan Desember dan Januari (Handoko, 1993). Cuaca pada bulan tersebut selalu berawan (BMG, 2006) dan hujan yang terjadi biasanya terjadi dalam waktu yang singkat. Kejadian hujan selama penelitian menunjukkan bahwa frekuensi hujan terbanyak terjadi pada bulan Maret sebanyak 20 kali kejadian hujan, bulan April 14 kali, bulan Mei 12 kali sedangkan frekuensi hujan paling sedikit terjadi pada bulan Juni sebanyak 6 kali. Dengan memperhatikan distribusi hujan menurut waktu dan deret ukur hari kering akan nyata terjadi mulai bulan Juli dan berdasarkan data tahun-tahun sebelumnya bulan kering akan berlangsung hingga bulan Oktober bahkan sampai bulan November.

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

FEB MARET APRIL MEI JUNI

Minggu

mm

Blok 1 Blok 2 Blok 3

(52)

5.2. Intersepsi

Hasil pengukuran intersepsi mingguan dari masing - masing blok ditampilkan pada Tabel 4, sedangkan nilai intersepsi harian disajikan pada Tabel Lampiran 4. Berdasarkan hasil pengukuran, curah hujan yang = 3 mm tidak terjadi aliran batang dan lolosan tajuk, berarti seluruh curah hujan terintersepsi di tajuk tanaman tanpa ada yang jatuh ke permukaan tanah, sedangkan pada curah hujan yang tinggi ditentukan intersepsi maksimumnya. Selain itu dari data pengukuran pada masing – masing blok dibuat suatu persamaan hubungan regresi linear sederhana antara curah hujan dengan intersepsi3 sebagai berikut :

Blok 1 : INTCP = 0.2010 * CH + 0.4264, dengan INCTP maks pada CH = 27 mm Blok 2 : INTCP = 0.2120 * CH – 0.0268, dengan INCTP maks pada CH = 29 mm Blok 3 : INTCP = 0.2063 * CH – 0.3844, dengan INCTP maks pada CH = 27 mm

Tabel 4. Persentase intersepsi hujan mingguan setiap blok

Bulan Minggu

Blok 1 Blok 2 Blok 3

CH Intersepsi CH Intersepsi CH Intersepsi

mm Mm % mm mm % mm mm % Februari 1 59 19 33 48 12 25 50 14 28 2 168 17 10 163 18 11 152 18 12 Maret 3 44 11 24 34 7 22 26 7 27 4 72 14 19 65 15 24 59 16 28 5 49 10 20 39 11 27 55 13 23 6 35 9 25 26 7 27 45 13 29 April 7 49 11 23 45 13 28 62 15 24 8 88 18 20 76 13 17 67 16 24 9 38 8 21 32 5 17 21 3 16 10 81 6 7 62 6 10 70 6 9 Mei 11 29 7 26 23 4 16 25 7 28 12 3 3 100 3 3 100 3 3 100

3 Purba, F. P. 2007. Intersepsi Hujan pada Tanaman Kelapa Sawit (Studi Kasus di UU Rejosari PTPN VII Lampung. Draft Skripsi. Fakultas Pertanian. Insttut Pertanian Bogor.

(53)

13 3 3 100 3 3 100 3 3 100 14 32 9 29 29 9 33 33 10 31 Juni 15 35 7 19 30 7 21 27 6 23 16 33 8 23 28 8 29 27 10 36 17 21 5 24 23 4 16 24 3 14 18 4 3 75 3 3 100 3 3 100 19 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Jumlah 841 164 19 731 144 20 752 164 22

Keterangan : CH = Curah hujan

Nilai intersepsi kumulatif antar blok sangat bervariasi yaitu antara 6 – 100 %. Pada Blok 1 intersepsi antara 6 – 100 %, Blok 2 antara 7 – 100 % dan

pada Blok 3 antara 8 – 100 %. Nilai intersepsi rataan tertinggi pada Blok 3 (22 %) diikuti oleh Blok 2 (20 %) dan yang terkecil Blok 1 (19 %). Hasil pengukuran yang bervaria si tersebut menggambarkan bahwa besarnya intersepsi dipengaruhi oleh jumlah dan intensitas hujan, disamping juga dipengaruhi oleh keadaan tajuk tanaman. Secara visual keadaan tajuk tanaman yang lebih rapat dan tebal pada Blok 3 menyebabkan kemampuan jumlah curah hujan yang diintersepsi lebih besar dibandingkan Blok 1 dan Blok 2, berarti curah hujan bersih yang sampai ke dalam tanah pada Blok 3 akan lebih sedikit jika dibandingkan Blok 1 dan Blok 2. Sedangkan nilai intersepsi yang kecil menunjukkan bahwa jumlah hujan yang jatuh langsung ke permukaan tanah lebih banyak, jika laju infiltrasi lebih kecil dari intensitas hujan maka aliran permukaan akan terjadi. Dengan adanya perlakuan teknik konservasi tanah dan air diharapkan sebagian air yang jatuh ke permukaan tanah akan diserap ke dalam tanah sebagai air bawah permukaan tanah dan air perkolasi, sehingga dapat mengurangi aliran permukaan serta mengisi cadangan air dalam tanah sebagai persediaan air dimusim kemarau.

(54)

Penelitian Nuriman (1999) menunjukkan bahwa pada tanaman kelapa sawit umur 21 tahun kisaran persentase intersepsi hujan antara 43.19 % - 100 % dengan rata-rata sebesar 74.4 %, umur 6 tahun antara 21.42 % - 100 % dengan rata-rata 64.61 % serta umur 4 tahun antara 8.55 % - 100 % dengan rata-rata 51.53 %. Semakin tua umur tanaman kelapa sawit, nilai intersepsinya semakin besar. Hal ini disebabkan perkembangan dari luas penutupan tajuk yang lebih luas dan rapat pada tanaman yang lebih tua sehingga semakin banyak hujan yang dapat ditahan sementara di tajuk tanaman untuk kemudian diuapkan kembali. Perbedaaan kisaran persentase nilai intersepsi yang lebih besar pada percobaan disebabkan karena nilai curah hujan yang turun lebih tinggi dibandingkan dengan curah hujan pada penelitian Nuriman. Intersepsi meningkat dengan meningkatnya curah hujan yang turun, akan tetapi peningkatan intersepsi hujan akan menjadi konstan ketika kapasitas daya tampung tajuk dan batang sudah jenuh, pada curah hujan tertentu nilai intersepsi akan mencapai maksimum. Sehingga dengan kapasitas daya tampung yang telah lewat jenuh (konstan) seiring meningkatnya curah hujan akan mengakibatkan persentase curah hujan yang terintersepsi akan semakin kecil. Menurut Seyhan (1990) perbedaan intersepsi beragam dengan komposisi spesies, umur tanama n, kerapatan tegakan, musim dalam setahun dengan keragama n dalam intensitas presipitasi. Pola intersepsi rata-rata mingguan pada Gambar 7, 8 dan 9 menunjukkan bahwa fluktuasi intersepsi sangat kecil jika dibandingkan dengan curah hujan.

20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00 160,00 180,00 mm Curah Hujan Intersepsi

(55)

Gambar 7. Grafik curah hujan dan intersepsi Blok 1.

Gambar 8. Grafik curah hujan dan intersepsi Blok 2.

0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00 160,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Februari Maret April Mei Juni

mm Curah Hujan Intersepsi 0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00 160,00 180,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Februari Maret April Mei Juni

mm

Curah Hujan Intersepsi

(56)

Gambar 9. Grafik curah hujan dan intersepsi Blok 3.

Curah hujan yang relatif tinggi telah menyebabkan kapasitas tampung tajuk sudah lewat jenuh sehingga curah hujan yang jatuh tidak tertampung lagi oleh tajuk, namun langsung menjadi lolosan tajuk (throughfall) dan aliran batang (stemflow) dan akhirnya akan langsung dialirkan ke permukaan tanah.

5.3. Evapotranspirasi

Nilai pengukuran evaporasi mingguan dengan Panci Kelas A menunjukkan nilai yang selalu kurang dari 20 mm dan relatif tidak berbeda nyata antar bulan (Tabel 5), nilai akhir evaporasi pada Tabel 5 tersebut adalah nilai evaporasi hasil pengukuran dikalikan faktor koreksi yaitu sebesar 0.80. Sedangkan data evapotranspirasi potensial harian yang mewakili seluruh blok areal penelitian disajikan pada Tabel Lampiran 5.

Tabel 5. Jumlah evaporasi dan evapotranspirasi mingguan di areal penelitian (mm)

Bulan Minggu Evaporasi Evapotranspirasi

Februari 1 16 20 2 13 16 Maret 3 16 19 4 18 21 5 16 19 6 17 20 April 7 18 22 8 16 19 9 17 21 10 15 18 Mei 11 20 24 12 14 17 13 16 20

(57)

14 14 17 Juni 15 15 18 16 17 20 17 17 21 18 14 17 19 16 20 Jumlah 305 369

Dengan mempertimbangkan nilai faktor tanaman (nilai kc) sebesar 1.2, maka evapotranspirasi mingguan kelapa sawit menjadi sekitar 19 mm/minggu. Nilai tersebut relatif lebih rendah dari pustaka. Pusat Penelitian kelapa Sawit menggunakan nilai evapotranspirasi sebesar 120 - 150 mm/bulan atau sekitar 30 – 35 mm/minggu untuk menghitung kebutuhan air (consumptive use) dalam menyusun neraca air (Tim Faperta IPB – PPKS Medan, 2006). Perbedaan ini bisa disebabkan karena faktor iklim, jenis alat dan umur tanaman yang berbeda. Hal ini sebabkan perbedaan lokasi akan membutuhkan metode pengukuran maupun pendugaan evapotranspirasi sesuai dengan kondisi setempat.

Fluktuasi evapotranspirasi potensial (ETP) mingguan di lapang dapat dilihat pada Gambar 10. Dari grafik tersebut terlihat bahwa tidak terjadi perbedaan ETP mingguan secara nyata baik pada musim hujan maupun pada awal musim kemarau, dimana rata-rata evapotranspirasi berkisar antara 16 - 24 mm. ETP maksimum terjadi pada minggu ke-11 sebesar 24 mm dan ETP minimum terjadi pada minggu ke-2 sebesar 16 mm.

(58)

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Februari Maret April Mei Juni

mm Evapotranspirasi

Gambar 10. Evapotranspirasi potensial mingguan.

Nilai rataan ETP bulan Februari – April 2006 relatif lebih tinggi dibandingkan bulan Mei – Juni 2006, hal ini disebabkan radiasi matahari yang tinggi pada bulan tersebut. Selain radiasi matahari ETP juga dipengaruhi oleh suhu, kecepatan angin dan kelembaban udara. Laju ETP akan meningkat seiring meningkatnya radiasi matahari, suhu, kelembaban udara dan kecepatan angin (Asdak, 2004).

5.4. Aliran Permukaan

Nilai debit atau total runoff, aliran permukaan (overlandflow), dan aliran bawah permukaan (interflow) ditambah aliran air bawah tanah (baseflow) harian secara lengkap ditampilkan pada Tabel Lampiran 6. Nilai aliran bawah permukaan (interflow) ditambah aliran air bawah tanah (baseflow) digabung menjadi satu karena pada daerah penelitian memiliki solum yang dangkal dengan lapisan padas pada kedalaman 1-1.5 meter. Komponen hidrograf mingguan pada setiap

(59)

Keragaman distribusi aliran permukaan baik yang berasal dari

overlandflow, interflow dan baseflow terjadi pada masing- masing blok. Aliran permukaan yang lebih dulu terhenti baik yang berasal dari baseflow ditambah

interflow adalah Blok 2 (tanpa perlakuan), aliran telah terhenti sekitar minggu ke-13, Blok 1 (perlakuan teras gulud) yaitu sekitar minggu ke-19, sedangkan pada Blok 3 (perlakuan rorak) sampai akhir Juni atau minggu ke-19, aliran melalui

Gambar

Tabel 1. Persyaratan iklim untuk perkebunan kelapa sawit
Gambar 1. Guludan bersaluran (a) dan  rorak (b) dilengkapi dengan  lubang  peresapan dan  mulsa vertikal
Gambar 2. Alat penakar hujan otomatis (a) dan Panci Kelas A (b).
Gambar 3. Alat ukur lolosan tajuk; bak besi (a), talang (b), botol  dengan corong (c) dan alat ukur aliran batang (d)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Fasilitasi Penyelenggaraan Titian Muhibah Belanja Makanan dan Minuman Kegiatan JB: Barang/jasa JP: Jasa Lainnya. 150

Komentar 1) Mengubah tingkat persediaan Mengubah sumberdaya manusia secara bertahap atau tidak sama sekali; tidak ada perubahan produksi secara tiba-tiba. Biaya menahan

Alat ini dirangkai dengan memakai lomponen komponen elektronika, yaitu dengan menggunakan IC AT89C51 yang telah dimasukkan program untuk menampilkan angka angka pada seven

[r]

Menutupnya pintu secara otomatis pada suatu ruangan dari keadaan terbuka digerakan oleh motor penggerak, penentuan lamanya selang waktu merupakan proses dari kerja timer, pada

Data Dukung : 1) Adanya Mitra/ Tenant, 2) Dokumen MOU/ LOI untuk komersialisasi. • Kandidat telah memiliki calon mitra usaha. Terjadi proses alih teknologi dalam level ini.

Rangkaian downloader untuk IC mikrokontroler seri AT89xx merupakan salah satu device yang memungkinkan para pembuat device lain yang berbasiskan mikrokontroler untuk dapat

Tampilkan nama kota dan jumlahnya yang menjadi alamat lebih dari 2 mahasiswa..