• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini merupakan bagian dari suatu rangkaian penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor yaitu Pengembangan Sistem Hama Terpadu Biointensif untuk Mendukung Ketahanan dan Kedaulatan Pangan, yang dibiayai oleh Program I-MHERE B2c IPB. Pemilihan taraf faktor perlakuan dalam penelitian ditentukan berdasarkan parameter pengamatan dari bagian penelitian lain yang masih menjadi rangkaian penelitian tersebut.

Pengaruh kombinasi perlakuan terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang dan tinggi tanaman kedelai

Analisis ragam terhadap insidensi penyakit dari keseluruhan kombinasi varietas, penggunaan mulsa dan aplikasi PGPR menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Pada usia tanaman ke 42 – 70 HST menunjukkan hasil insidensi penyakit busuk pangkal batang yang tidak berbeda nyata pada interaksi dari ketiga faktor perlakuan (Tabel 2). Perbedaan yang nyata terlihat pada hasil analisis dari setiap faktor varietas, mulsa, dan PGPR (hayati) secara tersendiri (Tabel 2) pada umur tanaman 42 – 70 HST. Nilai AUDPC dari insidensi penyakit busuk pangkal batang di lapangan menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada faktor varietas, mulsa, PGPR (hayati) serta interaksi antara varietas dengan mulsa.

Kombinasi dari setiap faktor perlakuan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata (Tabel 3). Insidensi penyakit busuk pangkal batang di lapangan terus meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Insidensi penyakit di hari ke-70 setelah tanam mencapai 22,9% pada kombinasi varietas Gepak Kuning dengan perlakuan tanpa mulsa dan tanpa PGPR serta 33,7% pada varietas Anjasmoro dengan kombinasi yang sama.

Tabel 2 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang dan nilai AUDPC

Perlakuan Db1 Insidensi Penyakit (%) AUDPC3 (% hari) Umur tanaman (HST)2 42 49 56 63 70 Kel 2 TN5 TN TN TN TN TN Var 1 TN TN TN TN TN TN Mul 1 N6 N N N N N Hayati 1 N N N N N N Var*Mul4 1 TN N TN TN TN N Var*Hayati 1 TN TN TN TN TN TN Mulsa*Hayati 1 TN TN TN TN TN TN Var*Mul*Hayati 1 TN TN TN TN TN TN 1 Db (derajat bebas) 2

HST (hari setelah tanam)

3

AUDPC (Area Under Diseases Progress Curve) 4 * (interaksi) 5 TN (tidak nyata) 6 N (nyata)

Pada akhir pengamatan tingkat insidensi penyakit mencapai 45,4% (pada perlakuan IAd) (Tabel 3). Menurut Semangun (1993), tanaman kedelai yang berumur 2 - 3 minggu sangat rentan terhadap S. rolfsii. Kedelai yang terserang penyakit layu sklerotium pada stadium perkecambahan akan menunjukkan gejala

damping off atau rebah semai.

Gejala damping off adalah busuknya tanaman pada pangkal batang dan rebah semai. Pada pangkal batang dan permukaan tanah di dekat tanaman sakit terdapat benang-benang miselium cendawan yang berwarna putih. Gejala inilah yang timbul pada umur tanaman 6 - 10 MST. Meskipun sampai saat ini data mengenai gangguan penyakit ini masih sulit diperoleh, tetapi pada setiap musim tanam tanaman kedelai selalu terdapat laporan adanya gangguan penyakit ini.

Tabel 3 Pengaruh varietas, penggunaan mulsa dan aplikasi PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang dan nilaiAUDPC

Perlakuan Insidensi Penyakit (%) AUDPC2 (% hari) Umur tanaman (HST)1 42 49 56 63 70

IAc3 8.8a4 15.7a 21.0a 23.3a 25.0a 601.6b IAd 13.5a 25.9a 33.8a 40.4a 45.4a 1002.9a IBc 3.8a 8.8a 11.2a 12.6a 13.3a 316.2b IBd 7.8a 17.8a 23.0a 29.7a 33.7a 694.8b IIAc 9.5a 17.2a 22.6a 23.5a 24.0a 628.9b IIAd 14.5a 28.1a 39.5a 43.2a 45.0a 1086.3a IIBc 3.8a 7.0a 11.9a 12.8a 13.3a 310.3b IIBd 6.4a 13.7a 17.3a 21.2a 22.9a 514.4b

1

HST (hari setelah tanam)

2

AUDPC (Area Under Diseases Progress Curve) 3

I = varietas Anjasmoro, II = varietas Gepak Kuning , A = menggunakan mulsa B = tanpa mulsa, c = menggunakan PGPR, d = tanpa PGPR

4

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%)

Menurut Semangun (1989) pengendalian yang memberikan harapan yang baik adalah menaikkan suhu tanah dengan menggunakan plastik atau mulsa yang sering disebut solarisasi tanah. Mulsa ini akan membantu mengurangi penyebaran patogen terbawa tanah (soil borne). Mulsa jerami yang digunakan dalam penelitian mendukung berkembagnya patogen S. rolfsii lebih cepat. Hal ini kemungkinan karena faktor jerami yang mudah lapuk sehingga membuat kondisi tanah menjadi lembab dan bahkan menjadi inang berkembangnya inokulum patogen. Mulsa jerami yang masih lembab tidak dapat menekan populasi patogen, hal ini disebabkan kondisi yang lembab akan semakin memperkuat kondisi patogen-patogen untuk hidup dan menjadikan mulsa tersebut sebagai inangnya. Cendawan S. rolfsii memiliki sifat saprofit juga mampu mengkolonisasi dan hidup secara efektif pada berbagai bahan organik termasuk mulsa organik (Punja 1989). Nilai AUDPC pada petak yang ditanami varietas Anjasmoro maupun Gepak Kuning dan diberi mulsa jerami ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak diberi mulsa jerami. Penggunaan mulsa jerami pada lahan pertanaman kedelai yang dilakukan dalam penelitian menghasilkan insidensi penyakit busuk pangkal batang yang lebih tinggi (Tabel 3). Semakin rendah nilai persentase AUDPC dari kombinasi faktor perlakuan menunjukkan insidensi penyakit tersebut lebih rendah dari perlakuan yang lain. AUDPC kontrol varietas Gepak Kuning

lebih luas dibandingkan dengan kontrol varietas Anjasmoro (Tabel 3). Nilai AUDPC kombinasi perlakuan varietas Anjasmoro dengan mulsa dan tanpa aplikasi PGPR (IAd) memiliki nilai AUDPC sebesar 1002.9% hari. Nilai AUDPC pada perlakuan kombinasi varietas Gepak Kuning dengan mulsa dan tanpa aplikasi PGPR (IIAd) mencapai 1086,3% hari. Nilai tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan kombinasi perlakuan lain. Kedua kombinasi perlakuan tersebut memiliki hasil yang berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5% jika dibandingkan dengan kombinasi perlakuan yang lain (Tabel 3).

Tabel 4 Pengaruh interaksi antara varietas kedelai dengan mulsa terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang

Perlakuan Insidensi Penyakit (%) AUDPC2 (% hari) Umur tanaman (HST)1 42 49 56 63 70

IA3 11.1a4 20.8a 27.4a 31.8a 35.2a 802.2a

IB 5.8b 13.3b 17.1b 21.1b 23.5b 505.5b

IIA 12.0a 22.6a 31.1a 33.4a 34.5a 857.6a

IIB 5.1b 10.4b 14.6b 17.0b 18.1b 412.39b

1

HST (hari setelah tanam)

2

AUDPC (Area Under Diseases Progress Curve)

3 IA = varietas Anjasmoro dengan mulsa, IIA = varietas Gepak Kuning dengan mulsa,

IB = varietas Anjasmoro tanpa mulsa, IIB = varietas Gepak Kuning tanpa mulsa

4

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%)

Dari analisis statistik Tabel 4 menunjukkan adanya interaksi antara varietas dengan mulsa dalam perlakuan yang diujikan. Interaksi tersebut berpengaruh terhadap penekanan insidensi penyakit busuk pangkal batang di lapangan. Perbedaan varietas serta perbedaan aplikasi mulsa menunjukkan hasil insidensi penyakit yang beragam. Hal ini menunjukkan kemampuan varietas dalam menekan penyakit busuk pangkal pangkal batang terlihat jelas dengan didukung oleh pengaruh aplikasi mulsa pada pertanaman kedelai di lapangan.

Nilai hasil perhitungan AUDPC pada interaksi faktor varietas dengan aplikasi mulsa menghasilkan perbedaan yang nyata. Dengan menggunakan uji lanjut Duncan dengan taraf nyata 5% terlihat bahwa perbedaan varietas tidak menghasilkan perbedaan yang nyata terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang di lapangan (Tabel 4). Kedua varietas yang diujikan dengan aplikasi mulsa

menghasilkan nilai AUDPC yang lebih tinggi dibandingkan dengan kombinasi kedua varietas tanpa aplikasi mulsa. Terlihat bahwa cendawan S. rolfsii berkembang lebih cepat pada perlakuan dengan menggunakan mulsa.

Interaksi yang nyata juga terlihat dari faktor perbedaan varietas dengan aplikasi PGPR (Tabel 5). Potensi ketahanan terhadap penyakit busuk pangkal batang yang dimiliki tiap varietas didukung dengan potensi yang dimiliki oleh PGPR menghasilkan persentase insidensi penyakit yang berbeda nyata. Kombinasi varietas Anjasmoro dan Gepak Kuning dengan aplikasi PGPR menghasilkan nilai insidensi penyakit yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan perbedaan varietas tanpa aplikasi PGPR (Tabel 5).

Nilai AUDPC pada petak dengan perlakuan varietas Anjasmoro maupun Gepak Kuning yang diberi PGPR nyata lebih rendah dibandingkan dengan nilai AUDPC pada petak tanpa PGPR (Tabel 5).

Tabel 5 Pengaruh varietas kedelai dengan aplikasi PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang

Perlakuan Insidensi penyakit (%) AUDPC2 (% hari) Umur tanaman (HST)1 42 49 56 63 70 Ic3 6.3b4 12.6b 16.1b 18.0b 19.2b 458.9b

Id 10.7b 21.8a 28.4a 35.0a 39.5a 848.9a

IIc 6.7b 12.1b 17.3b 18.2b 18.7b 469.6b

IId 10.4b 20.9a 28.4a 32.2a 33.9a 800.3a

1HST (hari setelah tanam)

2AUDPC (Area Under Diseases Progress Curve)

3 Ic = varietas Anjasmoro dengan PGPR, IIc = varietas Gepak Kuning dengan PGPR,

Id = varietas Anjasmoro tanpa PGPR, IId = varietas Gepak Kuning tanpa PGPR,

4Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang

tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%)

Penggunaan mulsa serta apliksi PGPR menghasilkan interaksi yang berbeda nyata terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kedelai (Tabel 6). Pada tabel tersebut terlihat bahwa perlakuan dengan menggunakan mulsa dan tanpa aplikasi PGPR menghasilkan nilai AUDPC yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain.

Tabel 6 Pengaruh interaksi antara mulsa dengan PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang

Perlakuan Insidensi penyakit (%) AUDPC2 (% hari) Umur tanaman (HST)1 42 49 56 63 70

Ac3 9.1a4 16.4a 21.8a 23.4a 24.5a 615.2b

Ad 14.0a 27.0a 36.7a 41.8a 45.2a 1044.6a

Bc 3.8b 7.9b 11.5b 12.7b 13.3b 313.3b

Bd 7.1a 15.7a 20.1a 25.5a 28.3a 604.6b

1

HST (hari setelah tanam)

2

AUDPC (Area Under Diseases Progress Curve)

3 Ac = mulsa dengan PGPR, Ad = mulsa tanpa PGPR, Bc = tanpa mulsa dengan PGPR,

Bd = tanpa mulsa tanpa PGPR,

4

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%)

Tinggi tanaman merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk melihat pertumbuhan tanaman. Pada Tabel 7 terlihat bahwa jenis varietas, penggunaan mulsa dan PGPR secara bersama-sama tidak mempengaruhi tinggi tanaman kedelai secara langsung. Keseluruhan perlakuan tidak berbeda nyata setelah diuji dengan selang berganda Duncan dengan taraf nyata 5% (Tabel 7). Namun begitu, perlakuan yang diujikan tidak memberikan efek negatif terhadap tinggi tanaman kedelai. Hal ini ditandai dengan bertambah tingginya tanaman disetiap pengamatan.

Dari Tabel 8 terlihat bahwa tinggi tanaman kedelai varietas Anjasmoro dengan aplikasi mulsa lebih tinggi dibadingkan dengan perlakuan lain. Pada minggu pertama setelah tanam seluruh perlakuan menghasilkan nilai tinggi tanaman yang sama. Namun setelah usia tanaman 14 – 98 HST, perlakuan varietas Anjasmoro dengan mulsa menunjukkan perubahan tinggi tanaman yang konstan meningkat dengan nilai diatas perlakuan yang lain. Dari hasil tersebut dapat diartikan bahwa varietas Anjasmoro memiliki kemampuan untuk tumbuh lebih cepat dibadingkan dengan varietas Gepak Kuning. Selain itu pemberian mulsa dapat mendorong peningkatkan pertumbuhan tanaman yang semakin cepat.

Aplikasi PGPR belum memberikan dampak yang nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman kedelai. Hal ini terlihat pada Tabel 9 yang menunjukkan hasil uji ragam dari pengaruh interaksi antara varietas kedelai dengan aplikas PGPR terhadap rata-rata tinggi tanaman. Frekuensi aplikasi PGPR

kemungkinan masih kurang, sehingga bakteri tersebut bekerja kurang optimal. Waktu aplikasi juga menentukan kerja bakteri PGPR untuk memacu pertumbuhan tanaman. Menurut Kloepper et al. (1999), bakteri antagonis khususnya rizobakteria dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, rizobakteria dapat menyediakan nutrisi bagi tanaman, sedangkan secara tidak langsung rizobakteria terlebih dahulu menekan pertumbuhan patogen dan mikroorganisme yang mengganggu melalui mekanisme kompetisi, predasi langsung, dan antibiotik yang dihasilkannya.

25

Tabel 7 Rata-rata tinggi tanaman kedelai pada berbagai kombinasi perlakuan

Perlakuan

Tinggi Tanaman (cm) Umur Tanaman (HST)1

7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 91 98

IAc2 29,6a3 32,6a 34,4a 36,8a 39,2a 41,0a 42,5a 44,3a 45,8a 46,8a 47,4a 47,7a 48,0a 48,3a IAd 29,9a 32,9a 34,7a 37,1a 39,5a 41,3a 42,8a 44,6a 46,1a 47,2a 47,8a 48,1a 48,4a 48,7a IIAc 26,4a 29,4a 31,2a 33,6a 36,0a 37,8a 39,3a 41,1a 42,6a 43,6a 44,2a 44,5a 44,8a 45,1a IIAd 22,3a 25,3a 27,1a 29,5a 31,9a 33,7a 35,2a 37,0a 38,5a 39,5a 40,1a 40,4a 40,7a 41,0a IBc 19,7a 22,7a 24,5a 26,9a 29,3a 31,1a 32,6a 34,4a 35,9a 36,9a 37,5a 37,8a 38,1a 38,4a IBd 24,0a 27,0a 28,8a 31,2a 33,6a 35,4a 36,9a 38,7a 40,2a 41,2a 41,8a 42,1a 42,4a 42,7a IIBc 17,3a 20,3a 22,1a 24,5a 26,9a 28,7a 30,2a 32,0a 33,5a 34,5a 35,1a 35,4a 35,7a 36,0a IIBd 20,3a 23,3a 25,1a 27,5a 29,9a 31,7a 33,2a 35,0a 36,5a 37,5a 38,1a 38,4a 38,7a 39,0a 1

HST (hari setelah tanam)

2 IAc = varietas Anjasmoro dengan aplikasi mulsa dan PGPR, IIAc = varietas Gepak Kuning dengan aplikasi mulsa dan PGPR,

IBc = varietas Anjasmoro dengan aplikasi PGPR dan tanpa aplikasi mulsa, IIBc = varietas Gepak Kuning dengan aplikasi PGPR dan tanpa aplikasi mulsa IAd = varietas Anjasmoro dengan aplikasi mulsa dan tanpa aplikasi PGPR, IIAd = varietas Gepak Kuning denga aplikasi mulsa dan tanpa aplikasi PGPR IBc = varietas Anjasmoro dengan tanpa aplikasi mulsa dan PGPR, IIBd = varietas Gepak Kuning dengan tanpa aplikasi mulsa da PGPR

26

Tabel 8 Pengaruh interaksi antara varietas kedelai dengan penggunaan mulsa terhadap rata-rata tinggi tanaman kedelai Perla

Kuan

Rata-rata tinggi tanama (cm) Umur tanaman (HST)1

7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 91 98

IA2 1.0a3 6.52a 9.24a 9.84a 10.64a 11.44a 12.04a 12.54a 13.14a 13.64a 13.98a 14.18a 14.28a 14.38a IB 1.0a 6.00a 7.00a 8,90a 9,60a 10.45a 11.06a 12.44a 12.95a 12.45a 12.30a 13.00a 13.67a 13.90a IIA 1.0a 6,22a 8.35a 8,60a 9.50a 10.32a 11.00a 11.45a 11.90a 12.99a 12.80a 13.55a 13.77a 13.88a IIB 1.0a 7.98a 7.85a 8.45a 9.25a 10.05a 10.65a 11.15a 11.75a 12.25a 12.59a 12.79a 12.89a 12.99a 1 HST (hari setelah tanam)

2 IA = varietas Anjasmoro dengan aplikasi mulsa, IIA = varietas Gepak Kuning dengan aplikasi mulsa, IB = varietas Anjasmoro dengan tanpa

aplikasi mulsa, IIB = varietas Gepak Kuning dengan tanpa aplikasi mulsa

3Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%) Tabel 9 Pengaruh interaksi antara varietas kedelai dengan aplikasi PGPR terhadap rata-rata tinggi tanaman kedelai

Perla Kuan

Rata-rata tinggi tanama (cm) Umur tanaman (HST)1

7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 91 98

Ic2 1,0a3 5.66a 9.47a 10.0a 10.87a 11.67a 12.27a 12.77a 13.37a 13.87a 14.21a 14.41a 14.51a 14.61a Id 1.0a 7.39a 9.01a 9.61a 10.41a 11.21a 11.81a 12.31a 12.91a 13.41a 13.75a 13.95a 14.05a 14.15a IIc 1.0a 6.33a 8.03a 8.63a 9.43a 10.23a 10.83a 11.33a 11.93a 12.43a 12.77a 12.97a 13.07a 13.17a IId 1.0a 9.62a 7.62a 8.28a 9.08a 9.88a 10.48a 10.98a 11.58a 12.08a 12.42a 12.62a 12.72a 12.82a 1 HST (hari setelah tanam)

2 Ic = varietas Anjasmoro dengan aplikasi PGPR, IIc = varietas Gepak Kuning dengan aplikasi PGPR,

Id = varietas Anjasmoro dengan tanpa aplikasi PGPR, IId = varietas Gepak Kuning denga tanpa aplikasi PGPR

Pengaruh perbedaan varietas kedelai terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang

Insidensi penyakit pada varietas Anjasmoro dengan varietas Gepak Kuning pada umur tanaman 49 HST sampai dengan 70 HST tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%. Persentase insidensi penyakit busuk pangkal batang ini berbanding lurus dengan umur tanaman, semakin bertambahnya umur tanaman persentase insidensi penyakit terus meningkat. Insidensi penyakit pada umur tanaman 70 HST mencapai 18.9% pada varietas Anjasmoro dan 36.7% pada varietas Gepak Kuning (Tabel 10).

Tabel 10 Pengaruh varietas kedelai terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang Perlakuan Insidensi Penyakit (%) AUDPC2 (% hari) Umur tanaman (HST) 1 42 49 56 63 70

Anjasmoro 6.5a3 12.2a 16.7a 18.1a 18.9a 653.9a

Gepak Kuning 10.6a 21.3a 28.4a 33.6a 36.7a 635.0a

1HST (hari setelah tanam)

2AUDPC (Area Under Diseases Progress Curve) 3

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%)

Nilai insidensi penyakit busuk pangkal batang pada umur tanaman 42 HST

– 70 HST tidak berbeda nyata antara Anjasmoro dengan Gepak Kuning. Hal ini didukung dengan nilai AUDPC pada kedua varietas tersebut yang hampir sama dan tidak berbeda nyata pada uji statistik Duncan dengan taraf nyata 5%. Hal ini menunjukkan bahwa kedua varietas ini memiliki tingkat ketahanan atau kerentanan terhadap penyakit busuk pangkal batang yang sama.

Pengaruh perlakuan mulsa terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kedelai

Pemberian mulsa berpengaruh nyata terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang pada taraf nyata 5%. Persentase insidensi penyakit pada perlakuan dengan meggunakan mulsa mencapai 34.9% di hari ke-70 setelah tanam (Tabel 11). Hasil perhitungan statistik menunjukkan bahwa insidensi penyakit pada perlakuan dengan menggunakan mulsa lebih tinggi dibandingkan dengan hasil perlakuan tanpa mulsa. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit busuk pangkal

batang lebih banyak menyebar pada tanaman kedelai dengan aplikasi mulsa. Nilai perhitungan AUDPC pun menguatkan hal tersebut dengan nilai mencapai 829.9% hari yang lebih tinggi dari AUDPC perlakuan tanpa mulsa (Tabel 11).

Tabel 11 Pengaruh mulsa terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang Perlakuan Insidensi Penyakit (%) AUDPC2 (% hari ) Umur tanaman (HST) 1 42 49 56 63 70

Menggunakan mulsa 11.6b3 21.7a 29.2a 32.6a 34.9a 829.9a

Tanpa mulsa 5.5b 11.8b 15.8b 19.1b 20.8b 458.9b

1HST (hari setelah tanam)

2AUDPC (Area Under Diseases Progress Curve) 3

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%)

Pengaruh perlakuan PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kedelai

Pengaruh PGPR menghasilkan perbedaan yang nyata terhadap penekanan insidensi penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kedelai (Tabel 12). PGPR ini memberikan respon yang baik jika dianalisis dari faktor PGPR itu sendiri. PGPR yang diaplikasikan memberikan hasil yang nyata dalam penekanan insidensi penyakit sebesar 18.9% (Tabel 12).

Kesulitan mendapatkan hasil yang maksimal pada penggunaan agens biokontrol seperti PGPR di lingkungan adalah dari kemampuan agens biokontrol tersebut dalam beradaptasi dengan lingkungan. Hal ini disebabkan oleh bakteri pemacu tumbuh tidak dapat secara langsung beradapatasi dengan lingkungan yang baru sehingga pertumbuhan patogen tidak terganggu dan setelah ada inang patogen akan dapat menginfeksi lebih cepat (Backman & Kabana 1975). Backman dan Kabaa (1975) juga menjelaskan bahwa agens antagonis atau bakteri yang dapat membantu pertumbuhan yang diintroduksi kedalam tanah memerlukan bahan sebagai makanan dasar agar dapat beradaptasi dengan ekosistem yang baru dan dapat mengatasi resistensi dari mikroflora tanah dan membantu tumbuh lebih cepat.

Hasil penelitian Aditya (2006) menunjukkan PGPR (strain Bacillus

R. solanacearum paling besar secara in vitro ternyata kurang mampu menekan keparahan penyakit pada tanaman dirumah kaca (in vivo). Hal ini menandakan diduga adanya pengaruh beberapa faktor dalam aplikasi agens biokontrol tersebut. Faktor-faktor tersebut diduga seperti kemampuan adaptasi bakteri pada lingkungan pertanaman, kesesuaian inang, dan kemampuan inang menghasilkan eksudat yang dibutuhkan oleh agens biokontrol. Hal ini dijelaskan pula oleh Fravel (1988) bahwa isolat antagonis terpilih secara in vitro tidak secara langsung merefleksikan kemampuannya secara in vivo.

Tabel 12 Pengaruh PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang

Perlakuan Insidensi Penyakit (%) AUDPC2 (% hari) Umur tanaman (HST)1 42 49 56 63 70 Menggunakan PGPR 6.5b3 12.2b 16.7b 18.1b 18.9b 464.30b Tanpa PGPR 10.6b 21.3a 28.4a 33.6a 36.7a 824.65a

1HST (hari setelah tanam)

2AUDPC (Area Under Diseases Progress Curve) 3

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%)

Luas AUDPC pada perlakuan tanpa PGPR lebih luas jika dibandingkan dengan perlakuan aplikasi PGPR. Nilai AUDPC pada perlakuan PGPR yang lebih rendah menunjukkan persentase insidensi penyakit yang rendah. Secara langsung PGPR mampu memproduksi zat pengatur tumbuh dan meningkatkan pengambilan nutrisi oleh tumbuhan (Kloepper 1985) sehingga dapat memperkuat benteng pertahanan pada tubuh tumbuhan yang terserang sehingga menghasilkan insidensi penyakit yang lebih kecil. Menurut Johnson et al. (1960) antagonisme antara rizobakteri dengan cendawan patogen dapat terjadi melalui beberapa mekanisme yang membantu memperkuat pertahanan tersebut. Hal ini membuktikan secara nyata bahwa aplikasi PGPR memberikan pengaruh positif yang nyata untuk menekan insidensi penyakit busuk pangkal batang.

Penghambatan bakteri rizosfer kedelai terhadap koloni cendawan S. rolfsii

Dari hasil perhitungan daya hambat bakteri rizosfer kedelai disajikan pada Tabel 13, Tabel 14, Tabel 15 dan Tabel 16. Seluruh isolat bakteri menunjukkan

hambatan yang tidak berbeda nyata. Nilai persentase daya hambat tiap isolat digunakan untuk melihat kemampuan bakteri rizosfer kedelai yang berhasil diisolasi sebagai kadidat agens pengendali penyakit busuk pangkal batang. Isolat T32 menghasilkan persentase daya hambat tertinggi dengan persentase penghambatan mencapai 95.6% (Tabel 12).

Tabel 13 Persentase penghambatan bakteri rizosfer kelompok tahan panas terhadap koloni S. rolfsii in vitro

1Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang

tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%)

Isolat bakteri K10 memiliki kemampuan membentuk penghambatan dengan persentase tertinggi (Tabel 14). Pertumbuhan miselium cendawan S.rolfsii tidak optimal ke bagian kiri menuju koloni bakteri K10.

Isolat Bakteri Daya Hambat (%) Isolat Bakteri Daya Hambat (%) Isolat Bakteri Daya Hambat (%) Isolat Bakteri Daya Hambat (%) T1 63.4ab1 T15 50.4ab T29 70.5ab T43 35.4ab

T2 60.4ab T16 30,5ab T30 45.4ab T44 25.5b

T3 75.5ab T17 46.6ab T31 45.4ab T45 80.7ab

T4 66.2ab T18 55.0ab T32 95.6a T46 75.0ab

T5 76.6ab T19 90.3ab T33 60.0ab T47 75.0ab T6 60.0ab T20 65.9ab T34 85.0ab T48 80.7ab T7 75.0ab T21 80.0ab T35 85.0ab T49 80.0ab T8 66.5ab T22 65.3ab T36 65.0ab T50 30.5ab T9 25.5ab T23 45.5ab T37 85.0ab T51 80.0ab

T10 45.3ab T24 40.5ab T38 40.0ab T52 85.0ab

T11 35.9ab T25 60.6ab T39 75.0ab T53 80.0ab

T12 55.3ab T26 75.0ab T40 80.0ab T54 85.6ab

T13 40.5ab T27 75.0ab T41 75.0ab Kontrol 0b

Tabel 14 Persentase penghambatan bakteri rizosfer kelompok non- fluorescence terhadap koloni S. rolfsii in vitro

1

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%)

Isolat KT4 menghasilkan hambatan tertinggi diatas kontrol (Tabel 15). Nilai ini menunjukkan bahwa isolat tersebut memiliki kemampuan penghambatan yang dapat menekan perkembangan cendawan S.rolfsii. Isolat bakteri KT4 menghasilkan zona bening pada medium kitin dan PDA. Zona bening yang dihasilkan oleh isolat KT4 membuat media tidak dapat ditumbuhi oleh miselia cendawan, sehingga perkembangan miselium cendawan tersebut terhambat sampai hari ke-2 pengamatan.

Tabel 15 Persentase penghambatan bakteri rizosfer kelompok kitinolitik terhadap koloni S. rolfsii in vitro

1Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang

tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%)

Uji antagonis bakteri kelompok fluorescence menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar isolat. Namun demikian, isolat F8 memiliki perbedaan

Isolat Bakteri Daya Hambat (%) Isolat Bakteri Daya Hambat (%) Isolat Bakteri Daya Hambat (%)

K1 60.0ab1 K8 45.0ab K15 60.3ab

K2 30.0ab K9 75.5ab K16 75.4ab

K3 60.0ab K10 85.8a K17 40.3ab

K4 30.0ab K11 80.5ab K18 35.5ab

K5 26.6ab K12 75.0ab K19 60.5ab

K6 40.4ab K13 25.9ab K20 25.7ab

K7 65.4ab K14 35.0ab Kontrol 0b

Isolat Bakteri Daya Hambat (%) Isolat Bakteri Daya Hambat (%) Isolat Bakteri Daya Hambat (%) KT1 50.4b1 KT8 50.0ab KT15 80.0ab

KT2 60.0ab KT9 51.0ab KT16 50.0ab

KT3 55.3ab KT10 50.5ab KT17 33.2ab

KT4 80.5a KT11 34.0ab KT18 30.9ab

KT5 60.3ab KT12 31.5ab KT19 40.1ab

KT6 55.5ab KT13 31.21b KT20 70.0ab

KT7 60.6ab KT14 32,3ab KT21 31.4ab

yang besar bila dilihat dari nilai persentase daya hambat yang dihasilkan dari isolat bakteri ini (Tabel 16). Jenis bakteri fluorescence yang menghasilkan sedikit bakteri yang terisolasi. Kemampuan antagonis dari bakteri ini baru terlihat pada hari ke-3 inkubasi. Gambar 2 menunjukkan daya hambat yang dilakukan oleh isolat F8.

Tabel 16 Persentase penghambatan bakteri rizosfer kelompok fluorescen terhadap koloni S. rolfsii in vitro

Isolat Bakteri Daya Hambat (%) Isolat Bakteri Daya Hambat (%) Isolat Bakteri Daya Hambat (%)

F1 28.5ab1 F5 41.0ab F9 18.0ab

F2 36.6ab F6 37.5ab F10 34.5ab

F3 37.5ab F7 34.7ab Kontrol 0b

F4 36.8ab F8 45.0a

1

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%)

Gambar 2 menunjukkan penghambatan yang terjadi atara T32, F8, Kt4, dan K10 dengan cendawan S.rolfsii. Setiap isolat bakteri yang diujikan memberikan hasil penghambatan yang berbeda-beda tiap isolatnya.

A B C

D E F

Gambar 2 Hasil uji penghambatan isolat bakteri rizosfer terhadap cendawan S. rolfsii. A. Isolat K10; B. Isolat T32; C. Isolat F8; D. Isolat Kt4; E. Kontrol; F. Isolat murni S. rolfsii

Semakin lebar daya hambat yang dihasilkan dari pengukuran uji antagonisme maka semakin besar potensi senyawa metabolit bakteri tersebut sebagai agens hayati patogen penyebab penyakit. Mekanisme penekanan penyakit dapat melalui kompetisi atau produksi metabolit bakteri seperti siderofor, HCN, antibiotik atau enzim ekstraseluler yang bersifat anatgonis terhadap patogen (Liu

et al.1995). Dari hasil penelitian Sutariati (2006) didapatkan bahwa bakteri

rizosfer memang berpotensi sebagai agens pengendalian hayati dengan cara antagonis terhadap penyakit tanaman yang menyerang. Rizosfer merupakan bagian tanah yang berada disekitar perakaran tanaman dan berperan sebagai pertahanan luar bagi tanaman terhadap serangan patogen akar.

Berdasarkan bibiliografinya, rizosfer dicirikan dengan aktivitas biologinya yang paling tinggi pada tanah (Patkowska 2002). Produksi HCN oleh bakteri rizosfer diketahui berhubungan dengan kemampuan bakteri rizosfer menghambat

Dokumen terkait