• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedelai (Glycine max (L) Merill).

Kedelai merupakan tanaman semusim. Kedelai termasuk kedalam klas Dicotyledonae, ordo Polypetales, family Leguminoceae (Agrios 1978). Tanaman kedelai memiliki rizobium yang merupakan bakteri yang dapat mengikat nitrogen dari alam secara langsung. Salah satu faktor untuk penekanan hama dan penyakit adalah pemilihan varietas yang resisten. Setiap varietas atau kultivar dari kedelai memiliki keunggulan tersendiri. Seperti kedelai varietas Anjasmoro yang dilepas pada 22 Oktober tahun 2001, melalui SK Menteri Pertanian No. 537/Kpts/TP.240/10/2001. Daya hasil varietas Anjasmoro mencapai 2,03 – 2,25 ton/ha. Ukuran biji termasuk kategori besar, berat 100 bijinya mencapai 14,8 – 15,3 gram. Salah satu keunggulan varietas Anjasmoro adalah ketahanannya pada penyakit rebah, serta moderat pada penyakit karat daun. Selain itu, varietas ini memiliki sifat polong yang tidak mudah pecah (Deptan 2008).

Varietas Anjasmoro merupakan varietas unggul kedelai berbiji besar yang cocok digunakan sebagai bahan baku tempe. Varietas inilah yang banyak dibudidayakan di lapangan. Varietas Gepak Kuning juga memiliki kemampuan tahan terhadap penyakit busuk pangkal batang.

Mulsa

Mulsa adalah semua atau setiap bahan yang digunakan menutup tanah, Pemulsaan tanah dapat mempertahankan kelembapan dan suhu tanah, sehingga dapat memperbaiki pengambilan zat hara oleh akar tanaman (Kartasapoetra et al. 1985). Peningkatan pori-pori mikro sebagai akibat kegiatan jasad mikro akan meningkatkan ketersediaan air bagi tanaman (Khonke 1968).

Mulsa tanah yang dibuat dengan pengolahan ringan, menunjukkan kegunaan pada tanaman kedelai yang tumbuh dalam musim kemarau yang kering, yakni menekan penguapan air sehingga mengawetkan persediaan air tanah, serta mengekang gulma yang sudah mulai tumbuh (Paada 1993). Mulsa jerami dapat

menekan serangan lalat bibit pada pertanaman kedelai (Soekarno dan Hartono 1985). Adisarwanto (1983) melaporkan, hasil percobaan pada tahun 1980 dan 1981 di Jawa Timur menunjukkan kenaikan hasil kedelai 30% akibat menggunakan mulsa jerami. Menurut Kramer (1963) fungsi air adalah sebagai komponen protoplasma, pelarut bahan-bahan organik dan anorganik yang akan didistribusikan pada bagian tanaman yang memerlukan, pereaksi dalam proses fotosintesis dan hidrolitik seperti perombakan pati menjadi gula, pemantapan turgor sel-sel untuk kelangsungan pembelahan sel, dan pemantap suhu tanah dan tanaman. Defisit air pada tanaman akan mempengaruhi semua sistem metabolik dalam tanaman sehingga akan menghambat pertumbuhan dan produksi. Untuk itulah penggunaan mulsa dilatarbelakangi untuk mengurangi kekurangan air pada tanaman kedelai tersebut.

Sclerotium rolfsii Sacc.

Klasifikasi Sclerotium rolfsii

Penyakit busuk pangkal batang merupakan penyakit tanaman yang disebabkan oleh cendawan Sclerotium rolfsii. Serangan cendawan ini menjadi masalah serius karena menyerang hampir berbagai jenis tanaman kacang- kacangan, khususnya kedelai dengan kerusakan hampir mencapai 100% (Gonsalves dan Ferreira 1993). Serangan penyakit akibat cendawan tersebut ditandai adanya lapisan coklat gelap pada batang atau dibagian bawah batang dekat dengan permukaan tanah (Gonsalves dan Ferreira 1993). Pada pangkal batang tanaman yang terserang layu akan terdapat benang-benang berwarna putih seperti bulu, yang kemudian membentuk butir-butir bulat atau jorong, mula-mula berwarna putih kemudian akhirnya berwarna coklat (Semangun 1991). Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi cendawan Sclerotium rolfsii penyebab penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kedelai adalah sebagai berikut :

Kerajaan : Mycetae

Divisi : Amastigomycota Sub divisi : Deuteromycotina Klas : Deuteromycetes Sub Klas : Deuteromycetidae Ordo : Agronomycetales Bangsa : Agronomycetaceae Marga : Sclerotium

Jenis : Sclerotium rolfsii Sacc.

Gejala penyakit Sclerotium rolfsii pada kedelai

Tanaman yang terserang penyakit akan menjadi layu dan menguning secara perlahan. Pada pangkal batang dan permukaan tanah di dekatnya terdapat miselium cendawan berwarna putih dan tumbuh sangat agresif pada jaringan tanaman yang diserang (Semangun 1991). Pangkal batang pada tanaman yang terserang penyakit akan membusuk, sehingga penyakit ini sering juga disebut penyakit busuk pangkal batang. S. rolfsii dapat menyerang kecambah atau semai. Dalam keadaan yang sangat lembab cendawan juga dapat menyerang daun, tangkai dan polong (Semangun 2004).

Morfologi Sclerotium rolfsii

S. rolfsii mempunyai miselium yang terdiri dari benang-benang berwarna

putih, tersusun seperti bulu atau kapas. Di sini cendawan tidak membentuk spora. Untuk pemencaran dan untuk mempertahankan diri cendawan membentuk sejumlah sklerotium yang semula berwarna putih, kemudian menjadi coklat dengan garis tengah kurang lebih 1mm. Butir-butir ini mudah sekali lepas dan tersangkut air (Semangun 2004). Sklerotium mempunyai kulit yang kuat sehingga tahan terhadap suhu tinggi dan kekeringan. Di dalam tanah sklerotium dapat bertahan sampai 6 - 7 tahun. Dalam cuaca yang kering sklerotium dapat mengeriput, tetapi ini justru akan berkecambah dengan cepat jika kembali berada di lingkungan yang lembab (Semangun 1993). Kelembaban tinggi diperlukan untuk pertumbuhan sklerotia secara optimal. Sklerotia gagal berkecambah ketika

kelembaban relatif jauh di bawah saturasi. Namun, ada beberapa penelitian yang menegaskan bahwa sklerotia berkecambah secara maksimal pada suhu 25 - 35% (Agrios 1978).

Kerugian yang disebabkan Sclerotium rolfsii

Kerugian hasil pada tanaman kedelai yang ditimbulkan oleh patogen mencapai 50% di Amerika Serikat (Diamonde dan Beute 1975 dalam Supriati 2005). Di Indonesia, kerugian akibat penyakit rebah semai pada tanaman kedelai bervariasi. Pada tahun 1991 di kebun percobaan Muneng (Jatim) serangan patogen busuk pangkal batang, menyebabkan hampir seluruh tanaman mati (Hardaningsih 1993). Di Nusa Tenggara Barat intensitas penyakit busuk pangkal batang khusus pada komoditas kedelai mencapai 35%, patogen penyebabnya adalah Sclerotium

rolfsii, Fusarium solani dan Phythium sp. (Sudantha 1997).

Faktor yang mempengaruhi daya hidup Sclerotium rolfsii

Faktor yang mempengaruhi daya hidup S. rolfsii antara lain suhu, cahaya, kelembaban tanah, aerasi tanah, kandungan oksigen dan karbondioksida, pH tanah dan struktur propagul. Suhu optimal yang dibutuhkan untuk pertumbuhan

S.rolfsii adalah 25 - 35°C, dengan suhu minimum 8°C dan suhu maksimum 32°C

(Domsch et al. 1980). Semangun (2004) menambahkan bahwa penyakit dapat berkembang lebih cepat pada cuaca yang lembab, cendawan dapat menginfeksi baik melalui luka maupun tanpa melalui luka.

Pengendalian penyakit busuk pangkal batang Sclerotium rolfsii

Menurut Semangun (2004), pengendalian layu dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain :

a) Pemilihan dan penggunaan benih yang tahan terhadap penyakit ini. b) Pemusnahan tanaman yang terserang.

c) Pengendalian dengan menggunakan agen hayati.

Tetapi pada umumnya mengendalikan penyakit dilakukan petani dengan menggunakan fungisida (bahan kimia) dan pengendalian dengan menggunakan agen hayati (pengendalian hayati). Pengendalian hayati dengan menggunakan

mikroba yang bersifat antagonis merupakan salah satu alternatif pengendalian patogen tular tanah selain menggunakan fungisida (Rahaju 2007).

Dampak negatif penggunaan fungisida

Petani sebagai pelaku utama kegiatan pertanian sering menggunakan fungisida sintetis secara berlebihan sehingga menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan. Penggunaan fungisida yang kurang bijaksana seringkali menimbulkan masalah kesehatan, pencemaran lingkungan dan gangguan keseimbangan ekologis. Semangun (1993) menambahkan tentang dampak negatif yang disebabkan oleh penggunaan fungisida sintesis, yaitu penyakit yang berkembang menjadi semakin resisten, resurgensi, terbunuhnya makhluk bukan sasaran dan gangguan kesehatan pada manusia.

Plant Grwoth Promoting Rhizobacteria (PGPR)

Perkembangan bakteri sebagai pengendalian hayati

Pengendalian hayati terhadap patogen tanaman adalah pemanfaatan satu atau lebih organisme untuk mengurangi kepadatan inokulum, aktifitas patogen atau parasit dalam keadaan aktif atau dorman dengan cara mengintroduksi satu atau lebih antagonis pada lingkungan atau inang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Aspek dari pengendalian hayati adalah manipulasi mikroorganisme yang kompetitif atau yang bersifat antagonis terhadap patogen tanaman yang interaksinya di alam dapat menurunkan atau mencegah terjadinya penyakit tanaman (Cook dan Baker 1996).

Untuk mencari pengendalian hayati, telah dilakukan isolasi dari rizosfer rumput pangola (Digitaria decumbens) dan ternyata mempunyai potensi antibiotik yang besar terhadap bakteri E.coli, S. aureus, cendawan C. albicans dan T.

mentagrophytes (Rahayu 2009). Rizosfer tanaman merupakan habitat berbagai

spesies bakteri yang secara umum dikenal sebagai rizobakteri. Isolat rizobakteri dapat berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan tanaman atau plant growth

promoting rhizobacteria (PGPR) dan sebagai agens antagonis terhadap patogen

PGPR dapat memberi keuntungan bagi pertumbuhan tanaman dengan menggunakan kemampuannya dalam memproduksi hormon pertumbuhan, seperti asam indol asetat, asam giberelin, sitokinin dan etilen. Selain itu beberapa rizobakteria juga memiliki kemampuan dalam menambat N

2, menekan

pertumbuhan mikroorganisme fitopatogen dengan cara memproduksi siderofor, β- 1-3-glukanase, kitinase, antibiotik dan sianida serta kemampuannya dalam melarutkan fosfat. Kemampuan tersebut bermanfaat bagi tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan ketersediaan fosfat, sedangkan siderofor yang diproduksi oleh rizobakteria dapat memacu pertumbuhan tanaman dengan cara mengikat besi (Fe3+) yang jumlahnya terbatas di daerah rizosfer dalam rangka berkompetisi dengan mikrob fitopatogen (Cook dan Baker 1996).

Potensi Plant Grwoth Promoting Rhizobacteria (PGPR)

Plant Grwoth Promoting Rhizobacteria (PGPR) berpotensi meningkatkan

produktivitas dan pertumbuhan tanaman. Terdapat berbagai mekanisme PGPR dalam menstimulasi pertumbuhan tanaman. Mekanisme ini dikelompokkan menjadi dua yaitu secara langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung, rizobakteria terkait dengan produksi metabolit seperti antibiotik dan siderofor, yang dapat berfungsi menurunkan pertumbuhan fitopatogen. Secara langsung PGPR mampu memproduksi zat pengatur tumbuh dan meningkatkan pengambilan nutrisi oleh tumbuhan (Kloepper 1999). Menurut Klopper juga menjelaskan bahwa antagonisme antara rizobakteri dengan cendawan patogen dapat terjadi melalui mekanisme antibiosis, kompetisi, parasitisme/predatorisme, produksi enzim ekstraseluler, atau induksi resistensi.

Pseudomonas fluorescens

Pseudomonas fluorescens adalah bakteri gram negatif yang berbentuk

bulat panjang atau batang, hampir semuanya motil dengan flagella monotrikus, politrikus dan lofotrikus (Buchanan & Gibbons 1974 dalam Dianawati 1996). Schaad (2001) menerangkan bahwa ciri genus Pseudomonas terdiri atas satu sel berbentuk batang dengan ukuran 0,5-1,0 x 1,5-4,0 µm dan merupakan bakteri gram negatif. Ciri khusus bakteri ini adalah kemampuan yang dimilikinya dalam

membebaskan pigmen yang berfluorescence Kuning sampai hijau dibawah sinar ultraviolet bila ditumbuhkan di media yang mengandung besi rendah seperti

King’s B (King et al. dalam Schaad 2001). Proses metabolisme bakteri ini sangat sederhana sehingga langsung menuju substrat yang dikeluarkan tanaman, sangat singkat dalam regenerasi dan mobilitasnya tinggi (Schippers et al. 1987). Bakteri genus ini telah digunakan sebagai agens pengendali penyakit antara lain

Pseudomonas sp. PT3, Pseudomonas fluorescens ES32 (Rustam 2005) dan

Pseudomonas fluorescens RH4003 (Nawangsih dkk 2005). Karakter morfologi

koloni Pseudomonas fluorescens RH4003 pada media King’s B agar adalah koloni berwarna putih, tumbuh dengan cepat, dan berfluorescensi dengan warna hijau kebiruan dibawah sinar ultraviolet (Aditya 2006).

Bacillus spp.

Secara umum genus Bacillus adalah bakteri berbentuk batang, bersifat aerobik dan membentuk endospora atau sel berbentuk spora. Endospora bakteri ini bersifat lebih resisten terhadap panas, kekeringan, desinfektan, bahan-bahan kimia dan bahan yang bersifat merusak lainnya. Endospora Bacillus berbentuk bundar, oval, silindris (Gordon 1989). Keunggulan Bacillus dibandingkan dengan bakteri lain adalah kemampuannya menghasilkan endospora yang tahan panas dan dingin, juga terhadap pH yang ekstrim, pestisida, pupuk dan waktu penyimpanan (Gordon 1989). Bacillus yang menjadi agens pengendali penyakit adalah Bacillus subtilis AB89 dan Bacillus cereus L32 (Nawangsih dkk 2005), B. pumilus SE34,

Bacillus cereus UW85 (Osburn et al. 1995). Karakter morfologi Bacillus subtilis

AB89 pada media TSA adalah berwarna putih, tekstur kering, pinggiran tidak rata, dan tumbuh lambat (Aditya 2006).

Bakteri Rizosfer

Potensi bakteri rizosfer

Bakteri rizosfer memang berpotensi sebagai agens pengendalian hayati dengan cara antagonis terhadap penyakit tanaman yang menyerang. Mikroorganisme juga mengekresikan enzim hidrolase untuk merusak dinding sel

cendawan. Kitinase yang diproduksi dan laminarinase yang disintesis oleh bakteri yangberfungsi menghancurkan dan melisis miselia (Chompant et al. 2005).

Rizosfer merupakan bagian tanah yang berada disekitar perakaran tanaman dan berperan sebagai pertahanan luar bagi tanaman terhadap serangan patogen akar. Berdasarkan bibiliografinya, rizosfer dicirikan dengan aktivitas biologinya yang paling tinggi pada tanah (Patkowska 2002). Rizosfer merupakan zona atau areal disekitar perakaran yang terpengaruh oleh substrat yang dikeluarkan akar, yang berpengaruh terhadap aktivitas mikroba. Mikroba yang mengkolonisasi rizoplen dan atau endofit diketahui sebagai pengkolonisasi akar. Di dalam rizosfer, sekresi senyawa organik yang dikeluarkan oleh tumbuhan dapat mengaktifkan populasi mikroba. Berbagai macam mikroorganisme yang terdapat di dalam rizosfer dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Secara umum jumlah bakteri lebih banyak dalam tanah dari pada jumlah cendawan, untuk itulah potensi bakteri yang bersifat antagonis terhadap cendawan patogen sangat besar (Patkowska 2002).

Mekanisme antagonisme

Mikroorganisme dalam tanah dilingkungan alami mengadakan interaksi dengan mikroorganisme lainnya untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Baker dan Cook (1974) membedakan interaksi antagonisme menjadi beberapa tipe yaitu hiperparasit, kompetisi, antibiosis, dan lisis. Kompetisi dapat terjadi dalam hal makanan, air, udara dan ruangan. Kompetisi akan terjadi jika lebih dari satu macam organisme memenuhi kebutuhannya dari satu sumber yang sama dan terbatas (Singh & Faul 1986). Sedangkan parasitisme merupakan simbiosis antagonistik antara satu organisme dengan organisme lainnya. Seperti yang terjadi pada parasitisme Trichoderma memasuki hifa R. solani atau S. rolfsii dengan menembus dindingnya, membuat lubang penetrasi pada hifa inang.

Antagonisme merupakan kondisi suatu organisme mengeluarkan satu atau lebih metabolit yang berpengaruh negatif terhadap organisme lain (Jackson 1970). Mekanisme antibiosis inilah yang banyak di miliki oleh beberapa bakteri yang bersifat antagonis terhadap patogen penyebab penyakit pada tanaman.

Kriteria yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi efek antagonis suatu mikroorganisme terhadap patogen penyebab penyakit, antara lain (Johnson et al. 1960) :

1. Terbentuknya zona penghambatan antara pertemuan kedua koloni dalam suatu cawan petri prcobaan. Jika pertumbuhan kedua koloni tersebut terhenti. Hal ini menunjukkan penghambatan pertumbuhan yang mutualistik.

2. Setelah kedua koloni bertemu dalam suat cawan petri percobaan, hifa patogen mengalami penghancuran, sedangkan antagonis terus tumbuh ke atas koloni patogen.

3. Terjadinya parasitisisme yang sebenarnya oleh hifa antagonis terhadap hifa patogen.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor serta di Laboratorium Bakteriologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung antara bulan Oktober 2010 – Maret 2011.

Bahan dan alat

Bahan yang digunakan yaitu benih kedelai dengan dua varietas (Anjasmoro dan Gepak Kuning), biakan PGPR (strain Bacillus subtilis AB 89 dan

Pseudomonas fluorescens RH4003), pupuk NPK, Furadan, serta beberapa isolat

bakteri yang diisolasi dari perakaran oleh Tita Widjayanti, Mahasiswa Fitopatologi Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (hasil belum dipublikasi). Alat yang digunakan adalah alat budidaya kedelai, serta alat isolasi bakteri.

Pelakuan penelitian

Kombinasi perlakuan yang dilakukan pada penelitian ini ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kombinasi perlakuan yang dilakukan di lapangan

Kombinasi Kode

Varietas Anjasmoro + Mulsa + PGPR IAc

Varietas Anjasmoro + Tanpa Mulsa + PGPR IBc

Varietas Anjasmoro + Mulsa + Tanpa PGPR IAd

Varietas Anjasmoro + Tanpa Mulsa + Tanpa PGPR IBd

Varietas Gepak Kuning + Mulsa + PGPR IIAc

Varietas Gepak Kuning + Tanpa Mulsa + PGPR IIBc Varietas Gepak Kuning + Mulsa + Tanpa PGPR IIAd Varietas Gepak Kuning + Tanpa Mulsa + Tanpa PGPR IIBd

Persiapan lahan dan penanaman kedelai

Lahan petani di Desa Ciburuy, Kab. Bogor seluas 1344m2 diolah menjadi 24 petakan. Masing - masing petak percobaan berukuran 7m x 8m. Dalam satu petak dibuat 7 guludan dengan ukuran 0,7m x 8m dan jarak antar guludan 0,3m. Disetiap guludan dibuat dua baris tanaman dengan jarak 40cm. Kedelai yang ditanam terdiri dari dua varietas yaitu Anjasmoro dan Gepak Kuning. Benih ditanam dengan cara ditugal dan jarak antar tanaman 20cm. Setiap lubang diisi dua butir benih dengan varietas yang sama. Disamping guludan dibuat parit kecil untuk alur pupuk NPK dengan komposisi 1:1:1.

Aplikasi mulsa dan PGPR

Perlakuan penggunaan mulsa jerami diberikan pada 12 petak percobaan. Jerami diletakkan diatas guludan hingga guludan tertutupi secara keseluruhan. Pemberian mulsa jerami dilakukan sebelum penanaman benih. Aplikasi PGPR dilakukan pada 12 petakan dengan cara menyiramkan 50ml suspensi PGPR (konsentrasi 107-108 cfu/ml) pada perakaran tanaman kedelai. Suspensi PGPR dibuat dengan cara menumbuhkan bakteri PGPR B. subtilis dan P. fluorescens

RH4003 pada media King’s B agar. Setelah diinkubasi selama 24 – 48 jam, sebanyak satu lup jarum ose penuh disuspensikan dalam 10 ml aquades steril yang akan menghasilkan biakan 108 – 109 cfu/ml. Dari suspensi tersebut diambil 10ml untuk diencerkan menjadi 100ml dengan jumlah bakteri 107- 108 cfu/ml. Penyiraman dilakukan satu kali pada saat tanaman berumur 7 hari.

Pengamatan pengaruh aplikasi mulsa dilakukan dengan menghitung tanaman yang terserang penyakit busuk pangkal batang. Pengamatan dilakukan dengan mengamati gejala penyakit yaitu daun sedikit demi sedikit layu, menguning dan terdapat hifa putih pada pangkal batang tanaman tersebut. Pengamatan dilakukan pada seluruh tanaman yang tumbuh pada lahan penelitian ditiap perlakuannya. Dari keseluruhan dilihat keparahan akibat cendawan

Sclerotium rolfsii di lahan percobaan dengan menggunakan metode perhitungan

persentase penyakit yang dilakukan pada tiap perlakuan yang diamati tiap minggunya:

P = Persentase insidensi penyakit (%)

Data insidensi penyakit kemudian dibuat dalam bentuk grafik perkembangan penyakit. Total luas area yang ada di bawah kurva perkembangan penyakit (Area Under Diseases Progress Curve/AUDPC) dihitung dengan menggunakan rumus Van der Plank (1963) dalam Cook et al. (2006) yaitu :

Y i+1 = Data pengamataan ke-i+1 t i+1 = Waktu pengamatan ke-i+1 Yi = Data pengamatan ke-1 ti = Waktu pengamatan ke-1 AUDPC = Area Under Diseases Progress Curve (% hari)

Isolasi bakteri rizosfer

Isolasi bakteri rizosfer dilakukan dengan mensuspensikan 10gram tanah kedalam 100ml air steril dalam erlenmeyer kemudian dikocok menggunakan

shaker dengan kecepatan 300rpm selama 5menit atau hingga tercampur sempurna

(homogen). Setelah itu dilakukan pengenceran secara berseri dengan mengambil 1ml suspensi lalu dicampurkan ke dalam tabung reaksi berisi 90ml aquadest steril hingga didapatkan pengenceran 10-10. Sebanyak 0,1ml (100µl) suspensi dari pengenceran berseri dengan konsentrasi 10-4, 10-6, 10-8, 10-10 untuk setiap contoh rizosfer kemudian disebar (plating) dengan menggunakan glass beads pada media

Kitin, King’s B dan TSA dalam cawan petri. Masing-masing perlakuan diulang 2 kali (duplo). Setelah diinkubasi selama 24 – 48 jam pada suhu kamar, koloni yang tumbuh diamati karakter morfologinya dan dimurnikan untuk uji antagonisme. Masing-masing isolat yang sudah murni selanjutnya disimpan untuk jangka panjang (± 1-2 tahun) dalam gliserol 10% pada suhu -200C.

Isolasi cendawan patogen Sclerotium rolfsii

Cendawan yang digunakan adalah cendawan yang menyerang tanaman kedelai di lahan pengamatan. Pengamatan insidensi penyakit dilihat dari keseluruhan tanaman yang ada disetiap petakan perlakuan. Batang kedelai yang terserang ditandai dengan adanya hifa putih atau sklerotia berwarna coklat pada pangkal batang. Tanaman dengan gejala tersebut dicabut untuk bahan isolasi. Batang kedelai tersebut dipotong 5cm dan dibasuh dengan desinfektan untuk membersihkan dari tanah dan mikroba yang lainnya. Potongan batang tersebut ditaruh di dalam cawan petri yang telah diberi tisu lembab, inkubasi selama 2 – 3 hari sampai hifa-hifa dari cendawan tersebut tumbuh dan memenuhi cawan petri atau terbentuk sklerotia. Kemudian dilakukan isolasi dengan menggunakan media PDA (Potato Dextrose Agar). Miselium cendawan diambil dengan jarum isolasi dan diletakkan pada permukaan medium PDA dalam cawan petri, kemudian diinkubasi selama 3 – 4 hari dalam suhu kamar sampai miselium cendawan memenuhi cawan petri. Cendawan dalam media inilah yang nantinya akan digunakan sebagai cendawan uji dalam uji antagonisme.

Uji antagonisme pada cawan petri

Patogen S. rolfsii dan isolat bakteri rizosfer ditumbuhkan bersama - sama pada media PDA. Miselium cendawan diletakkan pada permukaan medium dengan jarak 3cm dari tepi kanan cawan petri, sedangkan bakteri hasil isolasi digoreskan menggunakan jarum ose dengan jarak 3cm dari tepi sebelah kiri cawan petri. Jarak antara cendawan dengan bakteri adalah 3cm. Cawan petri diinkubasi dalam suhu ruangan selama 2 hari.

Pengamatan dilakukan terhadap jari-jari koloni cendawan S. rolfsii. Persentase daya hambat bakteri terhadap S. rolfsii dihitung dengan rumus Fokkema (1976) dalam Rahaju (2007) sebagai berikut :

I = Persentase daya hambat (%)

R1 = Jari-jari koloni S. rolfsii yang arahnya berlawanan dengan bakteri rizosfer

R2 = Jari-jari koloni S. rolfsii yang arahnya menuju pusat bakteri

Gambar 1 Cara pengukuran koloni S. rolfsii untuk menghitung persentase hambatan oleh mikroorganisme antagonis;

R1. Jari-jari koloni cendawan yang tumbuh berlawanan kearah bakteri R2. Jari-jari koloni S.rolfsii yang tumbuh kearah bakteri.

A. Inokulum bakteri rizosfer B. Inokulum S. rolfsii

Analisis Data

Data hasil percobaan di lapangan diolah menggunakan metode statistik Rancangan Faktorial dalam Rancangan Acak Kelompok dengan 3 faktor. Faktor pertama adalah jenis varietas dengan dua taraf, yaitu Anjasmoro dan Gepak Kuning. Faktor kedua adalah mulsa dengan dua taraf yaitu penggunaan mulsa dan tanpa penggunaan mulsa. Faktor yang ketiga adalah PGPR dengan dua taraf, yaitu menggunakan PGPR dan tidak menggunakan PGPR. Keseluruhan percobaan diulang sebanyak tiga kali secara kelompok.

Percobaan yang dilakukan di laboratorium dianalisis menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan berdasarkan jenis bakteri (jenis fluorescence, non-fluorescence, tahan panas, serta jenis kitin) dengan tiga kali ulangan dan satu kontrol di setiap perlakuannya. Kemudian kedua metode tersebut dianalisis dengan menggunakan Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1.3. Perlakuan yang berbeda nyata diuji lanjut dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

4 cm

4 A

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan bagian dari suatu rangkaian penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor yaitu Pengembangan Sistem Hama Terpadu Biointensif untuk Mendukung Ketahanan dan Kedaulatan Pangan, yang dibiayai oleh Program I-MHERE B2c IPB. Pemilihan taraf faktor perlakuan dalam penelitian ditentukan berdasarkan parameter pengamatan dari bagian penelitian lain yang masih menjadi rangkaian penelitian tersebut.

Pengaruh kombinasi perlakuan terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang dan tinggi tanaman kedelai

Analisis ragam terhadap insidensi penyakit dari keseluruhan kombinasi varietas, penggunaan mulsa dan aplikasi PGPR menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Pada usia tanaman ke 42 – 70 HST menunjukkan hasil insidensi penyakit busuk pangkal batang yang tidak berbeda nyata pada interaksi dari ketiga faktor perlakuan (Tabel 2). Perbedaan yang nyata terlihat pada hasil analisis dari setiap faktor varietas, mulsa, dan PGPR (hayati) secara tersendiri (Tabel 2) pada umur tanaman 42 – 70 HST. Nilai AUDPC dari insidensi

Dokumen terkait