• Tidak ada hasil yang ditemukan

Percobaan Toleransi Garam

A. Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan Semai R. stylosa Umur 3 Bulan Hasil pengamatan dan pengukuran respon pertumbuhan semai R. stylosa umur 3 bulan pada salinitas yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Pengaruh salinitas terhadap respon pertumbuhan tinggi rata-rata (A), diameter rata-rata (B) dan jumlah daun rata-rata (C) Rhizophora stylosa umur 3 bulan pada berbagai salinitas. Data merupakan rata-rata ± SE (n = 5 – 24). Tanda (*) menunjukkan beda nyata signifikan secara statistik dari kontrol pada P < 0.05 dengan menggunakan Uji Dunnet.

Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran dapat dilihat bahwa pertumbuhan tinggi semai paling besar adalah pada salinitas dengan konsentrasi garam 0.5%, sedangkan berdasarkan uji Dunnet yang dilakukan dapat diketahui bahwa perlakuan dengan salinitas 0.5%, 2% dan 3% adalah berbeda nyata secara signifikan dibandingkan dengan kontrol pada P < 0.05 (Gambar 1A). Berdasarkan

Gambar 1B dapat dilihat bahwa pertumbuhan diameter paling besar adalah pada salinitas 0.5% dan 1.5% akan tetapi berdasarkan uji dunnet dapat diketahui bahwa diameter rata-rata tidak berbeda signifikan dengan kontrol. Jumlah daun rata-rata dapat dilihat pada Gambar 1C dimana jumlah daun rata-rata pada salinitas 2% dan 3% berbeda signifikan terhadap kontrol.

Vegetasi mangrove telah mengembangkan pola adaptasi secara morfologi dan fisiologi untuk hidup pada daerah pasang surut. Pola adaptasi yang dikembangkan oleh vegetasi mangrove terhadap lingkungan pasang surut, yang mudah dikenali adalah sistem akar udara. Fungsi utamanya adalah untuk pertukaran gas, memperkokoh tegaknya batang pada daerah lumpur dan penyerapan unsur hara. Seperti yang dikatakan pada literatur Hutching dan Saenger (1987) bahwa R. stylosa merupakan salah satu flora mangrove yang beradaptasi pada lingkungan bergaram dengan menyerap air tetapi mencegah masuknya garam, melalui saringan yang terdapat pada akar. Proses adaptasi ini dilakukan dalam rangka bertahan hidup. Berdasarkan Gambar 1A dapat dilihat bahwa pertumbuhan tinggi rata-rata yang paling besar adalah pada salinitas 0.5%, demikian juga halnya dengan pertambahan diameter dan juga jumlah daun (Gambar 1B dan 1C). Sesuai dengan studi Syah (2011) bahwa tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10-30 ppt. Salinitas yang sangat tinggi (hypersalinity) misalnya ketika salinitas air permukaan melebihi salinitas yang umum di laut (±35 ppt) dapat berpengaruh buruk pada vegetasi mangrove, karena dampak dari tekanan osmotik yang negatif.

Sejumlah studi melaporkan bahwa semai mangrove menunjukkan dorongan pertumbuhan pada salinitas rendah (25% air laut atau 0.5% konsentrasi garam)

dan pada salinitas sedang (50 % air laut atau 1.5% konsentrasi garam) dan kemudian mengalami penurunan pertumbuhan pada peningkatan salinitas selanjutnya (Clough, 1984). Pertumbuhan yang berbeda sesuai dengan tingkatan salinitas pada umur 3 bulan dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa secara morfologi terdapat perbedaan pertumbuhan R. stylosa

pada berbagai salinitas, dimana pertumbuhan yang paling rendah terdapat pada salinitas 3% berdasarkan parameter tinggi, diameter maupun jumlah daun (Gambar 2E).

Gambar 2. Rizhophora stylosa umur 3 bulan pada berbagai salinitas, yaitu 0% (A), 0.5%(B), 1.5% (C), 2% (D) dan 3% (E).

B. Pertumbuhan Semai R. stylosa setelah Adaptasi Air Tawar

Hasil pengamatan dan pengukuran parameter pertumbuhan semai R. stylosa

setelah adaptasi air tawar disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Respon pertumbuhan tinggi rata-rata (A), diameter rata-rata (B), jumlah daun rata-rata (C) dan luas daun rata-rata (D) semai R. stylosa setelah adaptasi air tawar pada berbagai salinitas. Data merupakan rata-rata ± SE (n = 8 – 24). Tanda (*) menunjukkan beda nyata signifikan secara statistik dari kontrol pada P < 0.05 dengan menggunakan Uji Dunnet.

Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa tinggi rata-rata pada salinitas 0.5%, 0.5%-0, 2% dan 3%-0 berbeda nyata secara signifikan dibandingkan dengan tinggi rata-rata kontrol pada uji Dunnet dengan P < 0.05. Tinggi rata-rata setelah adaptasi selalu lebih tinggi dari tinggi rata-rata pada salinitas tetap (Gambar 3A). Diameter rata – rata pada salinitas 0.5%, 1.5%, 1.5%-0, 2%-0 terlihat berbeda nyata dengan diameter rata-rata kontrol dan diameter rata-rata setelah adaptasi lebih tinggi dibandingkan dengan diameter rata-rata dengan perlakuan salinitas (Gambar 3B). Jumlah daun rata-rata pada salinitas 0.5%,

0.5%-0, 1.5%, 1.5%-0 dan 2% berbeda signifikan terhadap jumlah daun rata-rata kontrol dan berdasarkan data dapat dilihat bahwa jumlah daun setelah adaptasi air tawar lebih banyak daripada jumlah daun pada salinitas (Gambar 3C). Luas daun paling tinggi adalah luas daun pada kontrol dan berdasarkan uji Dunnet dapat diketahui bahwa luas daun pada salinitas 1.5%, 2% dan 3%-0 berbeda nyata terhadap jumlah daun kontrol. Jumlah daun mengalami peningkatan setelah adaptasi air tawar pada salinitas 1.5% dan 2% (Gambar 3D).

Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui bahwa rataan tinggi R. stylosa setelah adaptasi air tawar lebih besar daripada rataan tinggi dengan perlakuan salinitas. Hal ini menunjukkan bahwa salinitas berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi R. stylosa. Pertumbuhan tinggi yang paling besar adalah pada salinitas 0.5% dan 0.5%-0. Semakin meningkatnya salinitas maka pertumbuhan tinggi semakin menurun. Demikian juga halnya dengan rataan diameter (dapat dilihat pada Gambar 3B), dimana rataan diameter setelah adaptasi lebih besar daripada rataan diameter dengan salinitas tetap. Hal ini menunjukkan bahwa R. stylosa mampu beradaptasi pada kondisi air tawar.

Pengukuran pertumbuhan semai dilakukan dengan mengukur pertambahan tinggi atau panjang plumula, jumlah daun yang mekar, jumlah pasangan daun dan luas daun. Berdasarkan parameter yang digunakan sebagai parameter pertumbuhan R. stylosa setelah adaptasi air tawar maka dapat diketahui bahwa setelah adaptasi air tawar terdapat peningkatan pertumbuhan, baik dari tinggi, diameter, jumlah daun maupun luas daun. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan R. stylosa sangat dipengaruhi oleh salinitas, dimana pertumbuhannya akan menurun seiring dengan peningkatan salinitas.

Berdasarkan uji Dunnet, dimana parameter pertumbuhan R. stylosa pada berbagai salinitas maupun adaptasi air tawar jika dibandingkan dengan pertumbuhan kontrol, dapat diketahui bahwa pemberian salinitas yang berbeda berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan R. stylosa dimana dari ketiga parameter (tinggi, diameter dan jumlah daun) dapat dilihat bahwa pemberian salinitas 0.5% berbeda nyata dengan kontrol. Berbeda halnya dengan luas daun, luas daun pada kontrol lebih besar daripada sampel lainnya.

C. Biomassa dan Rasio Tajuk Akar

Hasil analisis pengukuran biomassa dan rasio tajuk akar disajikan pada Gambar 4. Gambar 4A menunjukkan perbandingan berat basah daun, batang dan akar semai R. stylosa pada berbagai salinitas setelah adaptasi air tawar.

Gambar 4. Perbandingan berat basah (A) dan berat kering (B) daun, batang dan akar (A) semai R. stylosa pada berbagai salinitas serta rasio tajuk akar (C). Data

merupakan rata-rata ± SE (n = 8 – 24). Tanda (*) menunjukkan beda nyata signifikan secara statistik dari kontrol pada P < 0.05 dengan menggunakan Uji Dunnet.

Berdasarkan Gambar 4A dapat dilihat bahwa berat basah daun paling tinggi terdapat pada salinitas 0.5%-0, berat basah batang paling tinggi terdapat pada salinitas 1.5% dan 1.5%-0, sedangkan berat basah akar paling tinggi terdapat pada salinitas 2%-0. Berat basah semai R. stylosa lebih tinggi setelah adaptasi air tawar. Berdasarkan uji Dunnet dapat diketahui bahwa berat basah daun pada salinitas 2% dan 3%-0 berbeda nyata dengan berat basah kontrol.

Berdasarkan Gambar 4B dapat dilihat bahwa berat kering daun, batang dan akar paling besar adalah pada salinitas 0.5%-0. Berdasarkan uji Dunnet dapat diketahui bahwa berat kering daun pada salinitas 2% dan 3%-0 berbeda nyata dengan kontrol seperti halnya pada berat basah. Berat kering daun, batang dan akar pada semai R. stylosa setelah adaptasi lebih besar daripada berat kering daun, batang dan akar dengan salinitas. Rasio tajuk akar yang disajikan pada Gambar 4C menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada semai dengan adaptasi air tawar dibandingkan dengan semai pada salinitas tetap.

Berdasarkan Gambar 4A dapat dilihat bahwa berat basah setelah adaptasi air tawar lebih besar daripada berat basah dengan salinitas tetap. Berdasarkan penghitungan berat kering semai R. stylosa diketahui bahwa berat kering setelah adaptasi air tawar lebih besar daripada berat kering dengan perlakuan salinitas. Hal ini menunjukkan bahwa proses adaptasi air tawar berpengaruh nyata terhadap berat basah maupun berat kering semai R. stylosa. Berat basah daun dan berat kering daun terbesar terdapat pada salinitas 0.5%-0 sedangkan berat basah akar yang terbesar terdapat pada salinitas 2%-0 dan berat kering akar terbesar terdapat pada salinitas 0.5%-0. Sama halnya dengan rasio tajuk akar dimana rasio tajuk akar yang paling besar adalah pada salinitas 0.5%-0.

Komposisi Isoprenoid R. stylosa pada Adaptasi Air Tawar

R. stylosa setelah adaptasi air tawar diekstrak untuk mendapatkan ekstraksi senyawa lipid yang kemudian diidentifikasi untuk memperoleh komposisi rata-rata Fitosterol dan Triterpenoid, baik pada daun maupun pada akar. Komposisi rata-rata senyawa isoprenoid disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa kandungan triterpenoid pada daun maupun pada akar R. stylosa

lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan fitosterol.

Tabel 1. Komposisi Rata-rata Senyawa Isoprenoid pada R. stylosa

Salinitas Komposisi Rata-rata (μg/g)

Daun Akar

Fitosterol Triterpenoid Fitosterol Triterpenoid

0% 16.56 75.95 83.73 159.13

0.5%-0 18 48.6 127.66 176.70

1.5%-0 29.69 21.87 105.69 167.91

2%-0 30.09 48.84 20.22 30.20

3%-0 82.77 199.26 84.52 124.94

Perbandingan antara triterpenoid dan fitosterol pada daun maupun akar dapat dilihat pada Gambar 5. Kandungan triterpenoid pada daun (Gambar 5A) menurun sampai pada salinitas 1.5%-0 tapi kemudian meningkat pada salinitas 2%-0 dan 3%-0. Kondisi ini berbeda dengan komposisi rata-rata triterpenoid akar (Gambar 5A), dimana komposisinya menurun pada salinitas 1.5%-0 tapi kemudian meningkat pada salinitas 2%-0 dan 3%-0 seperti halnya pada daun. Kandungan Phytosterol pada akar maupun daun menurun sampai pada 2%-0 tapi kemudian mengalami peningkatan pada salinitas 3%-0 (Gambar 5B).

Gambar 5. Perbandingan komposisi rata-rata Triterpenoid (A) dan Phytosterol (B)

Proporsi relatif kandungan isoprenoid pada daun maupun akar dapat dilihat pada Gambar 6. Proporsi relatif Isoprenoid pada daun dan akar hampir sama. Triterpenoid mengalami penurunan sampai pada salinitas 1.5%-0 dan seterusnya mengalami peningkatan. Berbeda dengan phytosterol dimana proporsi relatifnya menurun seiring dengan meningkatnya salinitas setelah pada salinitas 1.5%-0 di daun (Gambar 6B) dan terus mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya salinitas pada akar (Gambar 6B).

Gambar 6. Proporsi relatif Triterpenoid (A) dan Phytosterol (B) pada akar dan daun

Onrizal (2005) melaporkan bahwa oleh karena kawasan hutan mangrove secara rutin digenangi oleh pasang air laut, maka lingkungan (tanah dan air) hutan mangrove bersifat salin yang akhirnya menyebabkan bentuk cekaman pada tumbuhan, yaitu cekaman osmotik. Berbagai kondisi lingkungan ekstrim tersebut

menyebabkan terganggunya metabolisme tumbuhan dan pada akhirnya akan menyebabkan rendahnya produktivitas atau laju pertumbuhan tumbuhan. Cekaman garam yang dialami oleh mangrove menyebabkan metabolisme mengalami perubahan. Seperti yang telah diketahui bahwa terdapat dua proses metabolisme dalam tubuh tumbuhan, yaitu proses metabolisme primer dan metabolisme sekunder. Senyawa-senyawa yang dihasilkan dari proses tersebut dinamakan metabolit. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya diketahui bahwa senyawa metabolit yang dihasilkan oleh tumbuhan hanya ditemukan pada organism spesifik dan hanya diproduksi pada kondisi-kondisi tertentu. Pada tumbuhan mangrove terdapat senyawa triterpenoid dan phytosterol dan diduga sebagai hasil metabolisme sekunder untuk pertahanan mangrove dalam menghadapi cekaman garam.

Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa kandungan triterpenoid lebih besar daripada kandungan phytosterol. Kandungan triterpenoid pada daun (Gambar 5A) menurun sampai pada salinitas 0.5%-0 tapi kemudian meningkat pada salinitas 2%-0 dan 3%-0. Perubahan-perubahan ini menunjukkan bahwa terdapat adaptasi fisiologi R. stylosa terhadap salinitas yang berbeda melalui perubahan komposisi triterpenoid (Basyuni, at al., 2012). Gambar 5B juga menunjukkan bahwa kandungan isoprenoid pada akar lebih banyak daripada kandungan isoprenoid pada daun. Hutcing dan Saenger (1983) melaporkan bahwa

R.stylosa merupakan mangrove yang beradaptasi dengan dengan cara mencegah masuknya garam (salt exclusion) melalui saringan yang terdapat pada akar. Mekanisme ini diduga menyebabkan perubahan metabolisme pada R. stylosa.

Dokumen terkait