• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Pati merupakan salah satu dari 35 Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis wilayah Kabupaten Pati terletak pada koordinat 6° 25’ 41” LS - 7° 24’ 35” LS dan 110° 48’ 41” BT - 111° 15’ 03” BT. Kabupaten Pati memiliki batas wilayah administratif sebagai berikut :

Sebelah Utara : Laut Jawa dan Kabupaten Jepara

Sebelah Timur : Laut Jawa dan Kabupaten Rembang

Sebelah Selatan : Kabupaten Blora dan Kabupaten Grobogan

Sebalah Barat : Kabupaten Kudus dan Kabupaten Jepara

Secara administratif, Kabupaten Pati terdiri dari 21 kecamatan, 401 desa dan lima kelurahan. Dari 21 kecamatan tersebut, tujuh kecamatan diantaranya merupakan bagian dari wilayah pesisir yang memiliki batas langsung dengan Laut Jawa. Total luas wilayah kecamatan yang berada di wilayah pesisir adalah seluas 37.943 ha atau sebesar 25,23% dari luas wilayah total Kabupaten Pati. Adapun dua dari tujuh kecamatan pesisir merupakan sentra perikanan tangkap skala kecil rajungan, yaitu Kecamatan Dukuhseti (Desa Alasdowo dan Banyutowo) dan Kecamatan Tayu (Desa Keboromo dan Sambiroto). Kecamatan Dukuhseti merupakan kecamatan pesisir terluas di Kabupaten Pati yaitu sebesar 8.159 Ha, sedangkan Kecamatan Tayu memiliki luas 4.511 Ha. Gambaran persentase luas wilayah kecamatan pesisir di Kabupaten Pati sebagaimana disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Persentase luas wilayah antar kecamatan pesisir di Kabupaten Pati (Kabupaten Pati dalam Angka dan Analisis 2014)

Menurut hasil sensus penduduk yang telah dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah seluruh penduduk Kabupaten Pati pada tahun 2012 adalah 1.207.399 jiwa, yang mana 443.524 jiwa adalah penduduk di tujuh kecamatan pesisir (Gambar 13). Jumlah penduduk di Kecamatan Dukuhseti sebanyak 56.689 jiwa (28.185 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 28.504 jiwa berjenis kelamin perempuan) dan Kecamatan Tayu sebanyak 65.022 jiwa (32.178 berjenis kelamin laki-laki dan 32.844 berjenis kelamin perempuan). Mata pencaharian dominan masyarakat kecamatan pesisir adalah nelayan dan pedagang/pengolah ikan.

Gambar 13 Persentase jumlah penduduk kecamatan pesisir Kabupaten Pati Tahun 2012 (Kabupaten Pati dalam Angka dan Analisis 2014)

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Perikanan merupakan potensi unggulan Kabupaten Pati, terutama di tujuh kecamatan pesisir. Potensi yang dimiliki adalah perikanan tangkap dan perikanan hasil tambak. Produksi dan nilai produksi perikanan tangkap Kabupaten Pati secara keseluruhan meningkat pada tahun 2010 s.d. 2012, namun terjadi penurunan mulai tahun 2012 s.d. 2014. Adapun produksi rajungan tercatat mulai tahun 2013 mengalami peningkatan yaitu 1,9 ton menjadi 2,7 ton pada tahun 2014. Gambaran tentang produksi dan nilai produksi perikanan tangkap mulai tahun 2010 s.d. 2014 seperti pada Tabel 6.

Tabel 6 Produksi dan nilai produksi perikanan tangkap di Kabupaten Pati Tahun perikanan Produksi

(ton) Nilai produksi perikanan (Rp x 1000) Produksi rajungan (ton) Nilai Produksi Rajungan (Rp,00) 2010 34.846,24 177.797.924,77 - -2011 39.638,31 210.492.181,50 - -2012 47.576,40 236.946.730,00 - -2013 32.170,80 195.197.248,20 1,9 80.536.800 2014 20.096,80 107.607.280,70 2,7 196.852.700

Keterangan : - tidak tercatat;

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pati (2014)

Jumlah Nelayan di Kabupaten Pati sekitar 6.248 orang yang tersebar di tujuh kecamatan pesisir. Berdasarkan data tersebut, sekitar 50 % nelayan kecil ada di Kecamatan Dukuhseti dan Tayu, yang hampir 75% melakukan penangkapan rajungan dan menjadikan rajungan sebagai komoditas utama target penangkapan (DKP KabupatenPati 2014).

Karakteristik masyarakat perikanan rajungan yang menjadi responden terdiri dari rumah tangga perikanan (nelayan, pengumpul/bakul, pemasok) dan kelembagaan baik pemerintah maupun non pemerintah. Responden kelembagaan

meliputi pihak Bappeda, Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Pati, Pemerintah Desa, Satker PSDKP Juwana, Kelompok KUB Nelayan, Forum Nelayan Kecil, Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI), dan tokoh masyarakat. Responden rumah tangga perikanan pada penelitian ini terdiri dari 45 responden yang terdiri dari 36 responden nelayan dan sembilan orang pengumpul/pemasok rajungan. Responden tersebut tersebar di tiga desa yaitu Alasdowo, Banyutowo, Keboromo, dan Sambiroto. Sebanyak 100% responden merupakan nelayan utama rajungan yang mata pencaharian utamanya nelayan selama minimal 10 tahun. Sebaran umur responden dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Sebaran umur responden rumah tangga perikanan (rajungan) di Kecamatan Dukuhseti dan Tayu

Umur responden rumah tangga perikanan berkisar antara 31 s.d. 59 tahun, yang rata-rata berumur 38 tahun. Komposisi latar belakang pendidikan 45 orang responden yaitu sebesar 4,4% tidak sekolah; 46,7% lulus SD; 35,6% lulus SMP dan 13,3% lulus SMA (Gambar 15).

Perikanan Rajungan di Kabupaten Pati

Luas wilayah perairan laut dibawah pengelolaan Kabupaten Pati adalah seluas ± 355,73 km2 (Bappeda 2014). Pemanfaatan perairan laut Kabupaten Pati didominasi untuk aktivitas penangkapan ikan dan tidak ditemui adanya aktivitas budidaya laut di sepanjang perairan laut Kabupaten Pati. Jenis alat penangkapan ikan yang beroperasi di perairan laut Kabupaten Pati antara lain adalah jenis gill net, trammel net, payang, bubu lipat, pancing dan lain sebagainya. Sentra fishing base nelayan di Kabupaten Pati sebanyak tujuh unit tersebar di beberapa lokasi, tiga diantaranya ada di Desa Alasdowo (TPI Alasdowo) dan Desa Banyutowo (TPI Banyutowo), Kecamatan Dukuhseti, serta Desa Margomulyo (TPI Tayu), Kecamatan Tayu.

Produksi rajungan yang tercatat di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pati dalam dua tahun terakhir seperti digambarkan pada Gambar 16. Volume rajungan yang tercatat tersebut merupakan volume rajungan yang didaratkan di TPI yang ada di Kabupaten Pati. Data produksi rajungan tahun 2013 mulai tercatat pada Bulan Juni dengan jumlah produksi sebesar 1,7 ton. Produksi tertinggi pada tahun 2013 terjadi pada Bulan Juli sebesar 354 kg dan terendah pada Bulan Desember (125 kg). Produksi rajungan pada tahun 2014 cenderung meningkat dibandingkan tahun 2013, dengan jumlah produksi sebesar 2,5 ton. Produksi tertinggi pada tahun 2014 terjadi pada Bulan Mei sebesar 344 kg dan terendah pada Bulan Oktober (52 kg). Namun demikian, data produksi rajungan di Kabupaten Pati tersebut belum menggambarkan seluruh produksi rajungan di Kabupaten Pati, karena tidak semua rajungan yang tertangkap oleh nelayan didaratkan di TPI melainkan ada yang langsung diambil oleh pengepul (bakul), pengolah, maupun pemasok.

Gambar 16 Produksi rajungan yang didaratkan di TPI Kecamatan Dukuhseti dan Tayu, Kabupaten Pati Tahun 2013 dan 2014 (Sumber : DKP

Jenis kapal penangkapan yang dipakai oleh nelayan rajungan adalah berupa perahu kayu yang rata-rata berukuran panjang tujuh meter (5 GT) dengan menggunakan mesin tempel (outboard) yang berkekuatan berkisar antara 10-20 PK. Secara umum nelayan menangkap rajungan di perairan lebih dalam atau zona 2 (babangan 4 hari) secara berkelompok (2–3 orang per perahu), sedangkan nelayan harian yang menangkap rajungan di kedalaman yang lebih rendah atau zona 1 secara perorangan. Nelayan harian (one day fishing) rata-rata menangkap rajungan satu sampai dua kali setting bubu dalam sehari, sedangkan nelayan babangan (zona 2) umumnya bisa melakukan setting bubu lipat sebanyak lima sampai enam kali per trip. Setiap kali melakukan trip penangkapan, nelayan rata mengoperasikan bubu sebanyak 400 s.d. 800 unit bubu lipat, yang jarak rata-rata antar pasangan bubu adalah 12 meter. Alasan responden nelayan jika tidak pergi melaut adalah karena memperbaiki mesin kapal, istirahat, hari besar, undangan, Hari Jum’at, dan cuaca buruk. Pada musim paceklik, produksi rajungan relatif kecil disebabkan tiupan angin yang kencang dan gelombang yang besar sehingga kegiatan penangkapan ikan di laut mengalami penurunan mengingat armada penangkapan yang digunakan merupakan perahu motor tempel (5 GT) dengan waktu operasi penangkapan 1-4 hari per trip. Hasil tangkapan rata-rata responden nelayan rajungan dengan alat tangkap bubu lipat seperti pada Tabel 7.

Tabel 7 Hasil tangkapan rajungan rata-rata dengan bubu lipat oleh responden

Zona penangkapan

Musim penangkapan

Puncak sedang paceklik

Hasil

(kg/trip/perahu) Σ trip

(trip/bulan) (kg/trip/perahu) Hasil Σ trip

(trip/bulan) (kg/trip/perahu) Hasil Σ trip (trip/bulan) Zona 1

(pinggir) 19,71 20 8,82 20 3,65 20 Zona 2

(lepas pantai) 263,16 5 155,10 4 65,26 2

Hasil tangkapan per trip per unit perahu yang tertinggi berada di zona 2 adalah pada musim puncak (Desember s.d. Februari) dengan rata-rata hasil tangkapan sebesar 263,16 kg/trip/unit perahu, sedangkan rata-rata hasil tangkapan di zona 1 pada musim tersebut sebesar 19,71 kg/trip/unit perahu atau lebih sedikit daripada zona 2. Begitu pula yang terjadi pada musim sedang (Maret-April dan September-Nopember) dan paceklik (Mei-Agustus) menunjukkan tren yang sama, yaitu hasil tangkapan per trip per unit perahu pada zona 2 rata-rata sebesar 155,10 kg/trip/unit perahu (musim sedang) dan 65,26 kg/trip/unit perahu (musim paceklik) atau lebih tinggi dibanding zona 1 sebesar 8,82 kg/trip/unit perahu (musim sedang) dan 3,65 kg/trip/unit perahu (musim paceklik). Hal ini menunjukkan kelimpahan sumberdaya rajungan di zona 1 lebih rendah dibanding zona 2. Kondisi tersebut diduga karena tingginya intensitas penangkapan rajungan di perairan zona 1 dibandingkan zona 2, sehingga mendorong kematian rajungan akibat penangkapan di zona 1 lebih tinggi dibanding zona 2. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Ernawati et al. (2014), laju kematian total di zona 1 sangat tinggi, yang menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan atau kematian akibat tekanan penangkapan di zona 1 lebih besar dibanding zona 2. Perbandingan antara hasil tangkapan dengan intensitas penangkapan dapat ditunjukkan dengan grafik

frekuensi setting bubu lipat per trip seperti pada Gambar 17. Hasil tangkapan rataan pada zona 1 dengan intensitas penangkapan sekitar 20 trip atau 40 kali setting per bulan pada ketiga musim penangkapan memberikan hasil lebih kecil dibandingkan dengan hasil tangkapan pada zona 2 dengan intensitas penangkapan sekitar 5 trip atau 30 kali setting per bulan pada musim puncak, 4 trip atau 24 kali setting per bulan pada musim sedang, dan 2 trip atau 10 kali setting per bulan pada musim paceklik.

Gambar 17 Perbandingan hasil tangkapan rajungan antara zona 1 dan 2 per musim penangkapan

Sebaran titik koordinat penangkapan rajungan di perairan Pati berdasarkan hasil tangkapan pada musim puncak, sedang, dan paceklik dapat dilihat pada peta spasial seperti yang tersaji pada Gambar 18. Berdasarkan analisis data hasil wawancara diketahui bahwa hasil tangkapan di titik penangkapan jauh dari pinggir pantai dengan kedalaman > 35 meter lebih besar daripada hasil tangkapan di titik penangkapan yang lebih dangkal. Hal ini menunjukkan bahwa semakin jauh dari pantai dan dalam, ukuran tubuh dan bobot rajungan semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan siklus hidup rajungan yang mengalami perkembangan di beberapa tempat. Pada fase juvenil sampai dewasa, rajungan berada pada daerah muara dan estuari, dan pada fase pemijahan rajungan berada di laut terbuka (Adam et al. 2006).

Gambar 18 Peta sebaran rataan berat hasil tangkapan rajungan pada musim penangkapan : (a) puncak; (b) sedang; dan (c) paceklik

Gambar 18 Peta sebaran rataan berat hasil tangkapan rajungan pada musim penangkapan : (a) puncak; (b) sedang; dan (c) paceklik (lanjutan) Sebaran jumlah individu dan biomassa rajungan hasil tangkapan

Rata-rata jumlah individu (kelimpahan) berbeda nyata menurut zona penangkapan dan jenis kelamin (p<0,05). Jumlah individu dari total sampling rajungan hasil tangkapan pada zona 1 dan zona 2 sebanyak 272 ekor dan 567 ekor. Jumlah individu rajungan betina pada zona 1 dan 2 masing-masing sebanyak 160 ekor dan 347 ekor, sedangkan rajungan jantan masing-masing sebanyak 112 ekor dan 220 ekor. Rajungan betina lebih banyak tertangkap dibanding jantan baik di zona 1 maupun zona 2 dengan rata-rata proporsi masing-masing sebesar 58,8% dan 61,2% (Tabel 8). Pada bulan Desember (musim barat), jumlah jantan lebih sedikit dibandingkan betina. Nisbah kelamin dalam suatu populasi dipengaruhi oleh kondisi musim, migrasi dan perubahan cuaca (Smith and Sumpton 1989 dalam Hosseini et al. 2012).

Tabel 8 Jumlah individu dan biomassa rajungan yang tertangkap per jenis kelamin pada lokasi sampling

Jenis kelamin Zona 1 Zona 2

Jumlah ind. (ekor) Biomassa (kg) Jumlah ind.(ekor) Biomassa (kg)

Jantan 112 (58,8%) (40,7%) 14,202 (38,8%) 220 (40,6%) 42,444 Betina 160 (41,2%) (59,3%) 20,656 (61,2%) 347 (59,4%) 62,129 Total 272 (100%) 34,858 (100%) 567 (100%) 104,574 (100%) Rata-rata ± sd 14±10 40±11

Kelimpahan rata-rata rajungan jantan tertinggi pada kedalaman ≤ 35 m atau zona 1 yaitu sebanyak 15 individu (titik ke-22) dan terendah 0 individu (titik ke-8, 9, 10, 11, 12, 13), sementara itu kelimpahan rata-rata rajungan betina tertinggi sebanyak 21 individu (titik ke-6) dan terendah sebanyak 0 individu (titik ke-8, 9, 10, 11, 12,13). Pada kedalaman > 35 m atau zona 2 menunjukkan bahwa kelimpahan rata-rata rajungan jantan tertinggi sebesar 29 individu (titik ke-21) dan terendah 8 individu (titik ke-27, 28, 29), sementara itu kelimpahan rata-rata rajungan betina tertinggi sebesar 43 individu (titik ke-22) dan terendah 10 individu (titik 28), seperti ditunjukkan pada Gambar 19.

Rata-rata bobot individu berbeda nyata antara zona 1 dengan zona 2 (p<0,05). Nilai rata-rata bobot individu rajungan yang tertangkap di zona 1 adalah 125,0 ± 27,0 g, sedangkan di zona 2 adalah 184,7 ± 27,6 g. Rata-rata bobot individu rajungan betina yang tertangkap di zona 1 dan zona 2 masing-masing adalah 123,8 ± 23,3 g dan 184,0 ± 25,8 g, sedangkan rajungan jantan di zona 1 dan zona 2 masing-masing adalah 126,7 ± 36,3 g dan 184,3 ± 38,5 g (Tabel 9).

Tabel 9 Nilai kisaran dan rata-rata (±sd) bobot individu rajungan jantan-betina tertangkap pada lokasi sampling

Zona penangkapan Zona 1 Zona 2

jantan betina jantan betina Rata-rata bobot/individu (g) 126,7 123,8 184,3 184,0

± sd 36,3 23,3 38,5 25,8

Bobot min (g) 33,3 69,3 66,7 81,3

Bobot max (g) 209,3 214,6 341,3 357,7

Biomassa rata-rata rajungan jantan tertinggi pada kedalaman ≤ 35 m (zona 1) yaitu sebesar 1,71 kg (titik ke-17) dan terendah sebesar 0 kg (titik ke-8, 9, 10, 11, 12, 13), sementara itu biomassa rata-rata rajungan betina tertinggi sebesar 3,29 kg (titik ke-6) dan terendah sebesar 0 kg (titik ke-8, 9, 10, 11, 12, 13). Pada kedalaman > 35 m (zona 2) menunjukkan bahwa biomassa rata-rata rajungan jantan tertinggi sebesar 5,87 kg (titik ke-32) dan terendah 1,10 kg (titik ke-27), sementara itu biomassa rata-rata rajungan betina tertinggi sebesar 6,33 kg (titik ke-22) dan terendah 2,08 kg (titik ke-28), seperti ditunjukkan pada Gambar 20. Rata-rata jumlah individu, bobot individu, dan biomassa rajungan hasil tangkapan berbeda nyata antara zona 1 dengan zona 2 (P<0,05).

Gambar 20 Peta sebaran biomassa hasil tangkapan pada lokasi sampling di perairan Pati dan sekitarnya : (a) total ; (b) betina dan (c) jantan

Gambar 20 Peta sebaran biomassa hasil tangkapan pada lokasi sampling di perairan Pati dan sekitarnya : (a) total ; (b) betina dan (c) jantan

Daer ah Penangka pan dan Ekosistem Rajungan

Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem penting yang ada di wilayah pesisir sebagai habitat ikan dan hewan lainnya, serta sebagai perlindungan alami pantai dari abrasi/erosi pantai. Luasan eksisting ekosistem mangrove di Kabupaten Pati adalah sebesar 163,75 Ha dan luasan potensi lahan untuk ekosistem mangrove adalah sebesar 10.321,97 Ha. Luasan eksisting ekosistem mangrove di Kecamatan Dukuhseti dan Tayu berturut-turut adalah 22,14 Ha dan 21,8 Ha. Adapun potensi lahan untuk ekosistem mangrove terbesar di Kabupaten Pati berada di Kecamatan Dukuhseti yaitu seluas 2.509,19 Ha, sedangkan untuk Kecamatan Tayu seluas 1.442,69 Ha (Kementerian Kehutanan 2013).

Hasil tangkapan rajungan yang didaratkan di TPI Alasdowo, Banyutowo, dan Tayu berasal dari perairan Kabupaten Pati dan sekitarnya dengan kedalaman 5-59 meter dan bersubstrat dasar perairan lumpur berpasir. Sebaran titik sampling lokasi penangkapan rajungan dengan bubu lipat oleh nelayan Kabupaten Pati disajikan pada Lampiran 6. Pada setiap titik sampling daerah penangkapan didukung oleh parameter kedalaman, suhu, dan salinitas. Menurut Nontji (2007), rajungan melakukan pergerakan atau migrasi ke perairan yang lebih dalam sesuai umurnya untuk menyesuaikan diri pada suhu dan salinitas perairan. Kedalaman juga merupakan faktor yang berpengaruh pada hasil tangkapan dengan

menggunakan alat tangkap bubu (Primadjati et al. 2014).

Rataan suhu permukaan laut perairan Pati dan sekitarnya berkisar antara

29,0-32,0 °C dan tidak menunjukkan variasi yang signifikan. Rataan suhu pada

zona 1 dan 2 masing-masing adalah 30,6±0,5 °C dan 29,1±0,2 °C, adapun rataan

salinitas pada zona 1 dan 2 adalah 30,1±0,2 ‰ dan 31,4±0,5 ‰ (Gambar 21).

Menurut Ernawati et al. (2014), bahwa suhu dasar perairan Pati rata-rata

pada zona pinggir dan tengah masing-masing adalah 30,2±1,49 ºC dan 28,3±0,08 ºC, sedangkan salinitas rata-rata pada zona pinggir dan tengah adalah

34,8±0,63 ‰ dan 32,3±1,27 ‰ . Hasil penelitian mengenai suhu dan salinitas

optimum untuk perkembangan rajungan di Sub-kontinen Samudera India adalah suhu berkisar antara 28-30 ºC dan salinitas berkisar antara 30–35 ‰ (Ravi and

Manisseri 2012). Menurut Ikhwanuddin et al. (2012) suhu dan salinitas optimum

untuk pertumbuhan dan perkembangan larva P. pelagicus dalam skala lab adalah

30 ºC dan 30 ‰, demikian pula menurut Juwana (1998) bahwa suhu optimum untuk pemeliharaan larva rajungan adalah suhu tetap 30 ºC dengan kisaran suhu antara 27-32 ºC. Potter and de Lestang (2000) juga telah menemukan bahwa densitas rajungan yang terbesar terdapat di bagian barat daya yang mana salinitas dan suhu perairan relatif tinggi sedangkan densitas rendah terjadi pada daerah

dengan salinitas dan suhu yang lebih rendah hingga 25 ‰ dan 10 °C. Menurut

Anand and Soundarapandian (2011) kisaran suhu dan salinitas optimum untuk

pertumbuhan dan perkembangan rajungan untuk skala sea ranching adalah

28-31 °C dan 33-35 ppt. Dengan demikian kisaran suhu dan salinitas di perairan

Pati dan sekitarnya masih termasuk dalam kisaran optimum untuk hidup rajungan.

Rajungan jenis P. pelagicus tersebar pada area yang sangat luas mulai dari

habitat beralga, sekitar lamun, dan substrat berpasir hingga berlumpur. Rajungan tersebar dari zona intertidal (pasang surut) hingga ke zona dengan kedalaman lebih dari 50 meter (Edgar 1990). Pada perairan pantai, rajungan muda banyak

ditemukan di perairan dangkal sementara rajungan dewasa banyak ditemukan di perairan yang lebih dalam (Smith 1982). Disamping faktor kedalaman, parameter lingkungan yang juga berperan dalam siklus hidup rajungan adalah suhu dan salinitas. Suhu air merupakan faktor lingkungan utama yang mempengaruhi

reproduksi P. pelagicus (Potter and De Lestang 2000; De Lestang et al. 2003).

Adapun persentase rajungan betina matang gonad yang tinggi pada musim kemarau, menunjukkan bahwa suhu dan salinitas mempunyai peran penting dalam

siklus reproduksi rajungan (Kamrani et al. 2010).

Gambar 21 Peta sebaran : (a) suhu dan (b) salinitas - lokasi sampling daerah penangkapan rajungan di perairan Kabupaten Pati dan sekitarnya

Penilaian Per ikanan Rajungan di Kabupaten Pati Menggunakan Indikator EAFM

Domain Sumber Daya Ikan (SDI)

Domain SDI terdiri dari empat indikator, yaitu kemampuan tangkap (catchability), tren ukuran lebar karapas rajungan, tingkat pemanfaatan sumberdaya rajungan, dan komposisi spesies hasil tangkapan. Indikator kemampuan tangkap dalam domain SDI memiliki bobot terbesar dibandingkan indikator lainnya sebesar 45%, disusul selanjutnya indikator tren ukuran lebar karapas (25%), tingkat pemanfaatan sumberdaya rajungan (18%), dan komposisi spesies hasil tangkapan (12%). Kemampuan tangkap dapat dijadikan sebagai alat

pengukur interaksi antara kelimpahan (abundance) dan upaya penangkapan

(effort). Kemampuan tangkap tidak pernah konstan dan banyak variabel yang mempengaruhinya, tergantung pada eksploitasi populasinya (Sanchez 1996).

Hasil analisis komposit domain SDI pada zona 1 sebesar yaitu 472,47 (Tabel 10). Indikator yang status atau kondisinya baik pada zona 1 adalah komposisi spesies hasil tangkapan, sedangkan indikator yang status/kondisinya kurang baik/buruk adalah kemampuan tangkap, tren ukuran lebar karapas, dan tingkat pemanfaatan sumberdaya rajungan.

Tabel 10 Analisis komposit domain SDI di zona 1 Indikator Kondisi Skor Bobot

(%) Rangking Skor Densitas Nilai Kemampuan tangkap Kemampuan tangkap bubu lipat untuk rajungan di zona 1 < 0,065 ekor/bubu ; atau 9,5 g/bubu/setting. 1,00 45 1 20 2,25 Tren ukuran lebar karapas

Tren ukuran rata-rata rajungan yang ditangkap semakin kecil 1,00 25 2 19 1,32 Tingkat pemanfaatan sumberdaya rajungan

Laju eksploitasi lebih tangkap (E > 0,5)

1,00 18 3 20 0,90

Komposisi spesies hasil tangkapan

Proporsi target lebih banyak (> 31 % dari total volume)

3,00 12 4 13 468,00

Rerata/Jumlah total = 1,50 100 472,47

Nilai komposit pada zona 2 sebesar 3218,90 (Tabel 11). Indikator yang status atau kondisinya baik pada zona 2 adalah komposisi spesies hasil tangkapan dan kondisi sedang ada di indikator kemampuan tangkap bubu untuk rajungan dan tren ukuran lebar karapas. Adapun indikator yang status/kondisinya kurang baik/buruk pada zona 2 adalah tingkat pemanfaatan sumberdaya rajungan.

Tabel 11 Analisis komposit domain SDI di zona 2 Indikator Kondisi Skor Bobot

(%) Rangking Skor Densitas Nilai Kemampuan tangkap Kemampuan tangkap bubu lipat untuk rajungan di zona 2 rata-rata = 0,089 ekor/ bubu; atau 16,6 g/ bubu/setting.

2,00 45 1 20 1.800,00

Tren ukuran lebar karapas

Tren ukuran rata-rata rajungan yang ditangkap relatif tetap. 2,00 25 2 19 950,00 Tingkat pemanfaatan sumberdaya rajungan

Laju eksploitasi lebih tangkap (E > 0,5).

1,00 18 3 20 0,90

Komposisi spesies hasil tangkapan

Proporsi target lebih banyak (> 31 % dari total volume).

3,00 12 4 13 468,00

Rerata/Jumlah total = 2,25 100 3218,90

Hasil perhitungan proporsi antara kelimpahan dengan jumlah bubu yang disetting per satuan waktu menunjukkan bahwa kemampuan tangkap bubu lipat di

perairan Pati berkisar antara 0,04-0,10 ekor/bubu/setting atau 4,2-15,2 g/

bubu/setting pada zona 1, serta 0,08-0,12 ekor/bubu/setting atau 13,1-22,8 g/

bubu/setting. Rerata kemampuan tangkap bubu lipat untuk rajungan di zona 1 dan

2 perairan Kabupaten Pati berturut-turut mencapai 0,065 dan 0,089 ekor/

bubu/setting atau 8,3 dan 16,6 gram/bubu/setting. Nilai tersebut relatif kecil dan

mengindikasikan bahwa peluang tertangkapnya rajungan di perairan sudah sangat kecil. Kecilnya angka tersebut diduga karena kelimpahan rajungan yang rendah dan jumlah upaya tangkapan (jumlah bubu) yang berlebih. Rata-rata nelayan Pati membawa dan memasang bubu lipatnya sebanyak 450 unit, dan hasil wawancara dengan nelayan menunjukkan bahwa jumlah perahu serta unit bubu per perahu semakin bertambah setiap tahunnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa untuk mencapai jumlah tangkapan yang menguntungkan, nelayan melakukan penambahan upaya penangkapannya. Menurut Sanchez (1996), kemampuan tangkap dipengaruhi oleh interaksi antara kelimpahan, perilaku ikan, biologi populasi termasuk dinamika, kualitas, jumlah usaha penangkapan, strategi penangkapan serta kondisi lingkungan. Kelimpahan dan biomassa sangat variatif secara spasio-temporal, seperti kelimpahan di perairan Lampung Timur tertinggi terjadi pada bulan Desember-Mei (musim barat/penghujan), sedangkan biomassa tertinggi pada bulan Maret (Zairion 2015). Hal tersebut yang akhirnya mendasari

penetapan kemampuan tangkap (catchability) sebagai indikator EAFM rajungan

menggantikan indikator tren CPUE yang data series (min. 5 tahun) belum tersedia. Penurunan produktivitas tangkapan per trip (jumlah total hasil tangkapan terhadap jumlah trip penangkapan) diduga sebagai refleksi dari penurunan stok dan mempengaruhi struktur, kelimpahan dan biomass (jumlah dan bobot total individu dalam stok) akibat penangkapan yang intensif pada hampir seluruh

habitatnya (Booth 2000 in Zairion 2015). Intensitas ekploitasi yang tinggi dan interaksinya dengan kondisi habitat akan mempengaruhi sifat daur hidup dan

dinamika populasi (de Lestang et al. 2003). Struktur stok secara spasial dan

temporal dapat tergambar pula dari kelimpahan dan biomassanya (Kangas 2000). Hubungan antara kelimpahan dengan kemampuan tangkap bubu lipat di perairan Pati dan sekitarnya dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 22.

Gambar 22 Hubungan antara kelimpahan dan biomassa rajungan dengan kemampuan tangkap bubu lipat untuk rajungan di perairan Pati dan sekitarnya 0.020 0.040 0.060 0.080 0.100 0.120 0.140 0 10 20 30 40 50 60 kema mp ua n tan gkap (e k o r/b ubu/ sett in g )

kelimpahan/setting(ekor)

zona 1 zona 2 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 - 2,000.0 4,000.0 6,000.0 8,000.0 10,000.0 12,000.0 k ema mp uan tan g ka p (g/b ubu / setti n g )

biomassa/setting (gram)

zona 1 zona 2

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa rata-rata ukuran lebar karapas rajungan yang tertangkap lima tahun yang lalu mencapai 100 s.d. 200 mm, hal serupa juga diperoleh dari hasil kajian Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI) dalam lima tahun terakhir ini bahwa volume ekspor

rajungan cenderung menurun yang diikuti oleh menurunnya ukuran (size) individu

Dokumen terkait