PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus
Linnaeus, 1758) DENGAN PENDEKATAN EKOSISTEM
(STUDI KASUS: PERAIRAN KABUPATEN PATI,
PROVINSI JAWA TENGAH)
DYAH IKA NUGRAHENI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Perikanan
Rajungan (
Portunus pelagicus
Linnaeus, 1758) dengan Pendekatan Ekosistem
(Studi Kasus : Perairan Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah) adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Dyah Ika Nugraheni
RINGKASAN
DYAH IKA NUGRAHENI. Pengelolaan Perikanan Rajungan (Portunus pelagicus
Linnaeus, 1758) dengan Pendekatan Ekosistem (Studi Kasus : Perairan Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah). Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan
YONVITNER.
Rajungan termasuk kelompok kepiting (Portunidae), yang banyak diperdagangkan dan merupakan salah satu komponen perikanan skala kecil bernilai tinggi banyak negara di daerah tropis. Volume produksi rajungan tangkapan yang cenderung meningkat dalam 10 tahun terakhir, harga komoditi yang tinggi, dan pasar yang jelas tersebut mendorong terjadinya peningkatan eksploitasi rajungan dari alam (wild catch) di wilayah perairan Pantai Utara Jawa, termasuk perairan Kabupaten Pati, dengan melakukan kegiatan penangkapan secara terus-menerus tanpa memperhatikan kondisi sumberdaya dan lingkungan. Tingkat pengusahaan rajungan yang demikian dikhawatirkan tidak akan memberikan keberlanjutan baik sumberdaya maupun ekonomi nelayannya. Penelitian ini bertujuan mengkaji status pengelolaan perikanan rajungan dan merumuskan strategi pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan ekosistem di perairan Kabupaten Pati.
Penelitian dilakukan mulai Desember 2014 hingga Februari 2015. Daerah penelitian dibagi menjadi dua zona penangkapan dengan tempat pendaratan di Alasdowo dan Banyutowo (Kecamatan Dukuhseti) serta Keboromo dan Sambiroto
(Kecamatan Tayu). Analisis nilai rata-rata, standar deviasi, uji-t, dan analisis
komponen utama dilakukan terhadap variabel/indikator dari masing-masing daerah penangkapan rajungan. Performa status pengelolaan perikanan rajungan dinilai dan dianalisis menggunakan indikator
pengelolaan perikanan dengan pendekatan
ekosistem
(EAFM).Status pengelolaan perikanan rajungan di perairan Kabupaten Pati dan sekitarnya termasuk dalam kategori sedang (nilai = 41,03) pada zona 1 dan baik (nilai = 64,72) pada zona 2. Hasil identifikasi konektivitas (densitas) antar indikator EAFM baik dalam satu domain maupun antar domain berkisar antara 13 – 21 atau tergolong kategori tinggi hingga sangat tinggi. Strategi perbaikan pengelolaan diprioritaskan mulai dari strategi pengelolaan konservasi sampai dengan mempertahankan strategi pengelolaan yang sudah ada berdasarkan nilai reference point tiap indikator.
Langkah
taktis yang dirumuskan dibedakan menjadi : (1) langkah proteksi untuk indikator
yang nilainya tergolong kurang atau sedang, dan (2) langkah antisipasi untuk
indikator yang nilainya tergolong baik. Langkah proteksi yang dapat menjadi
alternatif antara lain
mengurangi jumlah trip atau jumlah bubu per trip, penerapan
ukuran minimum yang boleh ditangkap, melarang menangkap rajungan kondisi
hidup yang sedang bertelur, pengaturan daerah penangkapan terutama pada
musim paceklik, dan peningkatan kapasitas SDM dalam pengelolaan SD rajungan
berpendekatan ekosistem. Langkah antisipasinya, antara lain mempertahankan
penggunaan alat tangkap rajungan yang selektivitas tangkapannya tinggi,
menciptakan mata pencaharian alternatif bagi rumah tangga perikanan,
meningkatkan komunikasi dan kerjasama antar lembaga, serta peningkatan peran
asosiasi/forum rajungan dalam pengelolaan rajungan berpendekatan ekosistem di
Kabupaten Pati.
SUMMARY
DYAH IKA NUGRAHENI. Ecosystem Approach for Blue Swimming Crabs
(
Portunus pelagicus
Linnaeus, 1758) Management (Case Study in Pati Waters,
Center of Java). Supervised by ACHMAD FAHRUDIN and YONVITNER.
Blue swimming crab/BSC (family : Portunidae), which has been widely
traded and one of the components of the small-scale fisheries that have a high
value for some countries in the tropics. Volume production of small crab of the
catch tended to increase in the last 10 years, the price is high, and the market is
clear, drivers of increased exploitation of crab from natural (wild catch) in the
territorial waters of the North Coast of Java, including the waters of Pati Regency,
conducting capture of continuously regardless of resources and environmental
conditions. Exploitation crab as it is feared will not provide the economic
sustainability of both the resource and the fishermen.
The objectives of this
research are to assess the status of crab fishery management
and to arrange crab
fishery management strategies based on the ecosystem approach in Pati.
The research was conducted from December 2014 to February 2015. The
study area was divided into two zones fishing ground with the landing place in
Alasdowo and Banyutowo (subdistrict Dukuhseti) and Keboromo and Sambiroto
(subdistrict Tayu), Pati regency, Central Java. Analysis of the average value,
standard deviation, t-test, and Principle Component Analysis (PCA) performed on
the variables/indicators from the fishing areas. Performance on the status of BSC
management assessed and analyzed using indicators of the ecosystem approach to
fisheries management (EAFM).
Status of BSC management in Pati were moderate (grades = 41.03) at zone
1 and good (grades = 64.72) at zone 2. Identification of connectivity (density)
among EAFM indicators both in the domain and inter-domain ranges from 13 to
21 that categorized high to very high category. Several management strategies
designed by prioritize conservation management and maintaining existing
strategies, based on the respective reference point grades. Tactical decisions
classified into: (1) protection tactics for less or moderate, and (2) anticipatory
tactics for good. Tactics protection as an alternative, such as reduce the number of
trip or the number of traps per trip, implement minimum legal size of crab, ban on
catching of berried female crabs, regulate fishing areas especially in low seasons,
and capacity building of human resources in EAFM. Anticipatory tactics, such as
encourage the use of fishing gear selectivity for BSC, create alternative
livelihoods for the household fisheries, enhance communication and collaboration
among institutions, and increase the role of associations or forums of BSC -
EAFM in Pati.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus
Linnaeus, 1758) DENGAN PENDEKATAN EKOSISTEM
(STUDI KASUS : PERAIRAN KABUPATEN PATI,
PROVINSI JAWA TENGAH)
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2014 ini adalah
Pengelolaan Perikanan Rajungan (
Portunus pelagicus,
Linnaeus 1758) dengan
Pendekatan Ekosistem (Studi Kasus : Perairan Kabupaten Pati, Provinsi Jawa
Tengah).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi dan Dr
Yonvitner, SPi MSi selaku pembimbing, Dr Ir Mukhlis Kamal, MSc sebagai
penguji luar komisi dan Kaprodi SPL selaku penguji program studi, yang telah
banyak memberikan saran dan masukan demi menyempurnakan tesis ini.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada orang tua dan seluruh
keluarga besar tercinta, Nandika’s (Papa Nandar, Mas Lantang dan Adek Genta),
teman-teman SPL-IPB, serta rekan-rekan di Kementerian Kelautan dan Perikanan,
yang telah membantu selama proses penyelesaian karya ilmiah ini.
Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Keluarga Bapak Slamet
Riyadi, Keluarga Ibu Naning, para PPL Kecamatan Dukuhseti-Tayu, segenap
jajaran Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pati, serta pihak-pihak yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas bantuannya selama penulis
melakukan pengambilan data lapangan di Kabupaten Pati.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua, Aamiin.
Bogor, Februari 2016
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
1 PENDAHULUAN
1
Latar belakang
1
Perumusan masalah
2
Tujuan penelitian
3
Manfaat penelitian
3
Ruang lingkup penelitian
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
5
3 METODE
12
Waktu dan lokasi penelitian
12
Jenis dan sumber data
12
Teknik pengumpulan data
14
Alat dan bahan
16
4 ANALISIS DATA
16
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
25
6 SIMPULAN DAN SARAN
73
DAFTAR PUSTAKA
75
LAMPIRAN
80
DAFTAR TABEL
1
Indikator per domain, jenis, dan metode pengumpulan data
13
2
Alat dan bahan penelitian
16
3
Kriteria dan bobot indikator per domain EAFM rajungan
17
4
Visualisasi model bendera indikator EAFM
22
5 Daftar variabel yang dipergunakan dalam PCA
24
6 Produksi dan nilai produksi perikanan tangkap di Kabupaten Pati
26
7
Hasil tangkapan rajungan rata-rata dengan bubu lipat oleh responden
29
8
Jumlah individu dan biomassa rajungan yang tangkapan setiap jenis
kelamin pada lokasi sampling
32
9
Nilai kisaran dan ratarata (±sd) bobot individu rajungan jantan
-betina tertangkap pada lokasi sampling
34
10 Analisis komposit domain SDI di zona 1
38
11
Analisis komposit domain SDI di zona 2
39
12
Nilai kisaran dan rata-rata (±sd) ukuran lebar karapas dan bobot
tubuh rajungan jantan-betina yang tertangkap pada lokasi sampling
42
13
Analisis komposit domain habitat dan ekosistem di zona 1
46
14
Analisis komposit domain habitat dan ekosistem di zona 2
46
15
Analisis komposit domain teknologi penangkapan rajungan di zona 1
47
16
Analisis komposit domain teknologi penangkapan rajungan di zona 2
47
17
Analisis komposit domain sosial di zona 1
48
18
Analisis komposit domain sosial di zona 2
49
19
Analisis komposit domain ekonomi di zona 1
50
20
Analisis komposit domain ekonomi di zona 2
50
21
Analisis usaha penangkapan rajungan oleh nelayan rajungan
Kabupaten Pati di lokasi penangkapan zona 1 dan 2
52
22
Analisis komposit domain kelembagaan di zona 1
53
23
Analisis komposit domain kelembagaan di zona 2
54
24
Rata-rata nilai komposit atribut setiap domain dalam EAFM pada
perikanan rajungan di zona 1 dan zona 2
56
25
Korelasi antara
initial variables
dan
principal factors
58
26 Nilai kontribusi (faktor utama)
59
27
Langkah taktis pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan
ekosistem pada domain SDI di zona 1
65
28
Langkah taktis pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan
ekosistem pada domain SDI di zona 2
65
29
Langkah taktis pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan
ekosistem pada domain habitat dan ekosistem di zona 1
66
30
Langkah taktis pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan
ekosistem pada domain habitat dan ekosistem di zona 2
66
31
Langkah taktis pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan
ekosistem pada domain teknologi penangkapan ikan di zona 1
67
32
Langkah taktis pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan
ekosistem pada domain sosial ikan di zona 1
67
33
Langkah taktis pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan
34
Langkah taktis pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan
ekosistem pada domain ekonomi di zona 1
69
35
Langkah taktis pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan
ekosistem pada domain ekonomi di zona 2
69
36
Langkah taktis pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan
ekosistem pada domain kelembagaan di zona 1
70
37
Langkah taktis pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan
ekosistem pada domain kelembagaan di zona 2
71
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pendekatan penelitian
4
2 Rajungan (
Portunus pelagicus)
jantan dan betina
5
3 Bagian abdomen Rajungan (Portunus pelagicus) jantan, betina,
dan betina bertelur
6
4 Proses Implementasi EAFM
9
5 Peta lokasi penelitian
13
6 Skema pengambilan contoh responden nelayan dan sumberdaya
rajungan
15
7 Alur penilaian indikator EAFM pada perikanan rajungan
17
8 Skor penilaian status pemanfaatan sumberdaya perikanan
rajungan berpendekatan ekosistem
21
9 Diagram status pemanfaatan sumberdaya perikanan rajungan
berpendekatan ekosistem
22
10
Diagram rencana perbaikan pengelolaan perikanan
22
11
Strategi penghubung antara atribut/indikator dengan taktik
berdasar tekanan dan referensi terkait
24
12 Persentase luas wilayah antar kecamatan pesisir di Kabupaten
Pati
25
13
Persentase jumlah penduduk kecamatan pesisir Kabupaten Pati
Tahun 2012
26
14
Sebaran umur responden rumah tangga perikanan (rajungan) di
Kecamatan Dukuhseti dan Tayu
27
15
Komposisi tingkat pendidikan responden
27
16
Produksi rajungan yang didaratkan di TPI Kabupaten Pati Tahun
2013 dan 2014
28
17
Perbandingan hasil tangkapan rajungan antara zona 1 dan 2 per
musim penangkapan
30
18
Peta sebaran rataan berat hasil tangkapan rajungan pada musim
penangkapan : (a) puncak; (b) sedang; dan (c) paceklik
31
19
Peta sebaran jumlah individu rajungan tertangkap di perairan Pati
dan sekitarnya : (a) betina dan (b) jantan
33
20
Peta sebaran biomassa hasil tangkapan pada lokasi sampling di
perairan Pati dan sekitarnya : (a) total ; (b) betina dan (c) jantan
34
21
Peta sebaran : (a) suhu dan (b) salinitas - lokasi sampling daerah
22
Hubungan antara kelimpahan dan biomassa rajungan dengan
kemampuan tangkap bubu lipat untuk rajungan di perairan Pati
40
23
Kelas ukuran CW rajungan menurut zona penangkapan dan jenis
kelamin
41
24
Peta sebaran rataan ukuran lebar karapas rajungan : (a) jantan
dan (b) betina di perairan Kabupaten Pati dan sekitarnya
43
25
Diagram nilai komposit setiap domain di zona 1 dan zona 2
57
26 Kontribusi variabel pada sumbu 1 dan 2
58
27
Kontribusi variabel dan lokasi pada sumbu I dan II pada saat
musim barat dan timur
60
28
Rencana perbaikan pengelolaan perikanan
72
DAFTAR LAMPIRAN
1
Jenis rajungan yang ditemukan di perairan Kabupaten Pati dan
sekitarnya
80
2
Pengukuran parameter biologi dan kualitas perairan
81
3
Sarana penangkapan rajungan di perairan Kabupaten Pati
82
4
Aktivitas dan rajungan hasil tangkapan nelayan di perairan Pati
dan sekitarnya
83
5
Rata-rata ukuran lebar karapas, persentase lebar karapas yang
kurang dari
minimum legal size
, dan persentase lebar karapas
yang lebih kecil dari ukuran pertama kali matang gonad rajungan
yang tertangkap pada zona 1 dan zona 2
84
6 Data sampling sebaran rajungan (
P. pelagicus
) yang tertangkap
dan parameter lingkungan di daerah penangkapan perairan Pati
dan sekitarnya
85
7 Hasil analisis pengaruh perbedaan zona penangkapan terhadap
ukuran lebar karapas dan berat individu rajungan betina
86
8 Hasil analisis pengaruh perbedaan zona penangkapan terhadap
ukuran lebar karapas dan berat individu rajungan jantan
87
9 Hasil analisis perbandingan jumlah individu (n) rajungan per
jenis kelamin yang tertangkap di lokasi sampling (zona 1 dan
zona 2)
88
10 Hasil analisis perbandingan biomassa total rajungan per jenis
kelamin yang tertangkap di lokasi sampling (zona 1 dan zona 2)
89
11
Nilai parameter ekonomi nelayan rajungan Tahun 2014 di
Kabupaten Pati
90
12
Partisipasi
pemangku
kepentingan
dalam
pengelolaan
sumberdaya perikanan rajungan di Kab. Pati
90
13
Pelanggaran terhadap peraturan baik formal maupun informal di
perairan Kab. Pati
91
14
Daftar densitas/konektivitas antar indikator antar domain EAFM
92
15
Data isian penilaian indikator domain/aspek SDI di zona 1
93
16
Data isian penilaian indikator domain/aspek habitat dan
17
Data isian penilaian indikator domain/aspek teknologi
penangkapan ikan di zona 1
96
18
Data isian penilaian indikator domain/aspek sosial di zona 1
97
19
Data isian penilaian indikator domain/aspek ekonomi di zona 1
98
20 Data isian penilaian indikator domain/aspek kelembagaan di
zona 1
99
21
Data isian penilaian indikator domain/aspek SDI di zona 2
100
22
Data isian penilaian indikator domain/aspek habitat dan
ekosistem di zona 2
102
23
Data isian penilaian indikator domain/aspek teknologi
penangkapan ikan di zona 2
103
24
Data isian penilaian indikator domain/aspek sosial di zona 2
104
25
Data isian penilaian indikator domain/aspek ekonomi di zona 2
105
26 Data isian penilaian indikator domain/aspek kelembagaan di
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perikanan menjadi salah satu sektor penting bagi masyarakat Kabupaten Pati dan penggerak perekonomian dengan dominasi kelompok jenis ikan pelagis. Jenis krustasea pada perikanan tangkap skala kecil, rajungan menjadi target komoditas perikanan yang bernilai ekonomis penting. Hal ini karena tingginya permintaan dan merupakan komoditas ekspor dengan harga yang tinggi (Juwana 1997). Data menunjukkan bahwa jenis rajungan yang dominan tertangkap di perairan Kabupaten Pati adalah Portunus pelagicus (blue swimming crab) sebesar ± 60% pada musim Timur dan ± 90% pada musim Barat (Ernawati et al. 2014).
Volume produksi rajungan tangkapan dalam 10 tahun terakhir (tahun 2002 s.d. 2012) secara nasional cenderung meningkat rata-rata sebesar 9,79% per tahun, dengan nilai produksi meningkat rata-rata sebesar 13,37% (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2013). Pangsa pasar rajungan yang dominan adalah ekspor dalam bentuk daging yang dikalengkan. Ekspor rajungan pada tahun 2011 mencapai volume sekitar 42.410 ton, senilai ± Rp978 milyar rupiah (KKP 2012), dengan negara tujuan utama saat ini adalah Amerika Serikat. Faktor harga komoditi yang tinggi dan pasar yang jelas tersebut mendorong terjadinya peningkatan eksploitasi rajungan dari alam (wild catch) di wilayah perairan Pantai Utara Jawa, termasuk perairan Kabupaten Pati, yang melakukan kegiatan penangkapan secara terus-menerus tanpa memperhatikan kondisi sumberdaya dan lingkungan. Atas dorongan kebutuhan ekonomi, nelayan tidak menyadari bahwa penurunan produktivitas tangkapan dan ukuran rajungan semakin menurun, sehingga harus menangkap rajungan ke fishing ground yang semakin jauh dan menambah upaya tangkapannya. Penambahan jumlah upaya tangkapan akan memberikan tekanan terhadap sumberdaya rajungan dan ekosistemnya.
esensialnya di perairan Lampung Timur (Kurnia et al. 2014), di perairan Pati (Ernawati et al. 2014); pengelolaan berkelanjutan di perairan Lampung Timur (Zairion 2015); dan pengelolaan dengan pendekatan ekosistem di perairan Laut Jawa/WPPNRI 712 (Budiarto 2015).
Pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu : (1) dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri (Charles 2001). Penelitian yang berkenaan dengan perikanan rajungan di Indonesia, terutama di perairan Pati dan sekitanya, baru mencakup kajian bioekologi (stok, dinamika populasi, reproduksi), sedangkan kajian yang mencakup multi dimensi dengan pendekatan Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) belum dilakukan. Oleh karenanya sangat perlu dilakukan penelitian tentang pengelolaan sumberdaya perikanan rajungan (P. pelagicus) dengan pendekatan ekosistem, dengan harapan pemanfaatan sumberdaya perikanan rajungan di wilayah Kabupaten Pati dapat dilakukan secara optimal yang tetap menyeimbangkan antara kesehatan ekosistem dan tujuan ekonomi masyarakat.
Perumusan Masalah
Salah satu permasalahan perikanan rajungan di Kabupaten Pati adalah terbatasnya data dan informasi yang dapat dieksplorasi serta mengarah pada pengelolaan rajungan yang mengkaitkan antara aspek bioekologi dengan aspek sosial, ekonomi, dan tata kelola serta kelembagaan. Hal tersebut penting karena keberlanjutan suatu sumberdaya ikan harus didukung oleh keberlanjutan ekonominya. Volume dan nilai produksi rajungan di perairan Pati baru tercatat dalam data Statistik Perikanan Tahunan Kabupaten mulai Tahun 2014.
Di sisi lain, sumberdaya rajungan di perairan Kabupaten Pati dan sekitarnya telah dimanfaatkan cukup lama hampir lebih dari 20 tahun. Pemanfaatan sumberdaya umumnya dilakukan oleh perikanan skala kecil, yang mana kegiatan penangkapan dilakukan dengan perahu berukuran kurang dari 5 GT. Sampai saat ini kebijakan peraturan perikanan di Indonesia terkait dengan perikanan skala kecil masih sangat minim, sedangkan kegiatan penangkapan khususnya untuk rajungan dilakukan sepanjang hari dan sepanjang tahun. Hasil penelitian Ernawati et al. (2014) menunjukkan bahwa nilai laju eksploitasi (E) rajungan jantan dan betina sebesar 0,80 dan 0,81, begitu pula laju eksploitasi rajungan per zona penangkapan rata-rata telah melebihi 0,8. Nilai E > 0,5 tersebut menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan rajungan cenderung tangkap lebih/overfishing. Oleh karenanya pengelolaan perikanan rajungan di wilayah ini harus lebih hati-hati.
pendekatan ekosistem yang mengacu kepada FAO (2003); Garcia and Cochrane (2005); Zhang et al. (2009), dan Adrianto et al. (2014). Input inilah nanti yang akan menjadi dasar dalam merumuskan strategi pengelolaan sumberdaya rajungan berbasis ekosistem.
Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang ingin dijawab dalam
penelitian ini adalah bagaimana kondisi terkini pengelolaan perikanan rajungan (P. pelagicus) dari aktivitas penangkapan di perairan Kabupaten Pati dan
sekitarnya, serta strategi pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem seperti apa yang sesuai untuk keberlanjutan sumberdaya rajungan di Kabupaten Pati.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengkaji status pengelolaan perikanan rajungan di perairan Kabupaten Pati. 2. Merumuskan strategi pengelolaan perikanan rajungan untuk perencanaan
pengelolaan sumberdaya perikanan rajungan dengan pendekatan ekosistem di perairan Kabupaten Pati.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya metode kajian/penelitian mengenai pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) agar dapat menjaga keberlanjutan sumberdaya dan ekosistem rajungan di perairan Kabupaten Pati. Hasil studi ini diharapkan dapat bermanfaat untuk masyarakat Kabupaten Pati pada khususnya, dan juga untuk daerah lainnya di Indonesia, antara lain :
1. Dapat digunakan sebagai informasi atau sumbangan pikiran bagi pembangunan khususnya terkait sumberdaya perikanan rajungan di Kabupaten Pati sehingga tetap lestari.
2. Sebagai salah satu referensi dan pengetahuan tentang perkembangan pengelolaan sumberdaya perikanan rajungan di Kabupaten Pati.
Gambar 1 Kerangka pendekatan penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian dibatasi pada beberapa hal, yaitu :
1. Pengelolaan atas sumberdaya perikanan rajungan berbasis ekosistem yang dimaksud adalah sumberdaya rajungan atau blue swimming crab (Portunus pelagicus) dari aktivitas penangkapan.
2. Perikanan rajungan (P. pelagicus) di daerah penangkapan perairan Kabupaten Pati, bersifat tradisional (small scale fisheries), dan alat tangkap yang dominan digunakan adalah bubu lipat. Alat tangkap tersebut dioperasikan oleh perahu dengan ukuran kurang dari 5 GT.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Dinamika Populasi Sumberdaya Perikanan Rajungan
Rajungan termasuk kelompok kepiting (Portunidae) yang merupakan bagian Krustasea dari kelas Malacostraca dan ordo Decapoda. Decapoda telah banyak menjadi obyek penelitian dan merupakan komponen perikanan komersial terbesar di wilayah Indo-Pasific bagian Barat. Permintaan pasar atas produk tersebut, baik hasil tangkapan alam maupun akuakultur sangat kontinyu dan signifikan,yang mana terdapat lebih dari 1,5 juta ton didaratkan setiap tahunnya (Otto et al. 2001). Perikanan rajungan banyak didominasi oleh kelompok Portunidae, yang meliputi empat spesies mud crab (genus Scylla De Haan, 1833), blue swimming crab (Portunus pelagicus, Linnaeus 1758) dan the gazami crab (P. trituberculatus, Miers 1876) (Ng 1998; Lai et al. 2010).
Klasifikasi rajungan (Blue Crab Identification 2001) adalah sebagai berikut: Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea Sub kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Famili : Portunidae Genus : Portunus
Spesies : Portunus pelagicus (Linnaeus 1758) Nama lokal : Rajungan
Nama dagang : blue swimming crab, blue manna crab, sand crab, blue crab Keberadaan rajungan disuatu perairan dipengaruhi oleh sifat alami dari sumberdaya rajungan tersebut, baik berupa tingkah laku, habitat dan penyebarannya. Tingkah laku rajungan dipengaruhi oleh beberapa faktor alami, diantaranya adalah perkembangan hidup, feeding habit, pengaruh siklus bulan dan reproduksi (Kumar et al. 2003). Komposisi hasil tangkapan pada musim barat dan timur di Perairan Pati dan sekitarnya relatif sama, dengan didominasi oleh jenis P.pelagicus, walaupun ada penurunan jumlah pada musim barat.
Gambar 2 Rajungan (Portunus pelagicus) : a) jantan dan b) betina (Dokumentasi pribadi 2014)
Gambar 3 Bagian abdomen Rajungan (P. pelagicus) : a) jantan; b) betina; dan c) betina bertelur (Dokumentasi pribadi 2014)
Ukuran minimum dan maksimum P. pelagicus betina pertama kali ditemukan mencapai kematangan seksual di pesisir Leschenault – Australia Barat Daya yaitu pada lebar karapas dari 94 dan 122 mm, yang mana lebar karapas 50% (Lm50) dari rajungan betina pertama mencapai kematangan sekitar pada lebar karapas 97 mm, sedangkan Lm50 pada rajungan jantan adalah 84 mm (Potter and Lestang 2000). Adapun rata-rata rajungan yang tertangkap di sekitar perairan Pati telah melakukan pemijahan. Hal tersebut ditunjukkan dengan rata-rata ukuran lebar karapas pertama kali tertangkap (Lc) 108 mm yaitu lebih besar dibandingkan rata-rata ukuran lebar karapas pertama kali matang gonad (Lm) 107 mm (Ernawati et al. 2014).
King (1995) menyatakan bahwa faktor kondisi bulanan menggambarkan kondisi kelimpahan makanan dan rata-rata tingkat kematangan gonad. Faktor kondisi rajungan jantan dan betina di perairan Pati dalam setiap bulan relatif sama, kecuali betina di bulan Oktober, dimana sekitar bulan Oktober dan November diduga merupakan puncak musim pemijahan (Ernawati et al. 2014). Hal ini disebabkan karena pengaruh proses pematangan gonad pada betina. Betina yang sedang mengalami matang gonad umumnya adalah relatif lebih berat. Mohapatra et al. (2010), menyebutkan bahwa nilai faktor kondisi kepiting (Scylla serrata) tinggi identik dengan puncak musim pemijahan.
Sebaran rajungan (Portunus pelagicus) meliputi perairan pantai tropis di sepanjang Samudera Hindia bagian barat, Timur Samudera Pasifik dan Indo-Pasifik barat (Lai et al. 2010). Kelimpahan P. pelagicus baik jantan maupun betina sangat bervariasi dalam satu wilayah perairan, yang dapat disebabkan pengaruh stabilitas kualitas air dan komposisi sedimen (berpasir, lumpur berpasir, atau pasir berlumpur). Distribusi P. pelagicus di pesisir Teluk Persia, Iran ditemukan melimpah di dasar yang berpasir (Hosseini et al. 2012), demikian pula di Australia bagian selatan yang melimpah di wilayah sekitar habitat alga atau padang lamun dan pada dasar substrat yang berpasir atau berlumpur, mulai dari
a b
zona intertidal sampai dengan kedalaman sekitar 50 m (Potter et al. 1983 in Hosseini et al. 2012). Adapun hasil penelitian Ernawati et al. (2014) menunjukkan bahwa kondisi lingkungan perairan laut Pati pada musim timur dan musim barat cukup optimum untuk pertumbuhan rajungan, sehingga sebaran hasil tangkapan rajungan berdasarkan musim dan tipe substrat relatif sama.
Hasil tangkapan rajungan per satuan upaya (CPUE) didefinisikan sebagai laju tangkap perikanan per tahun yang diperoleh dengan menggunakan data time series. CPUE di perairan Pati dipengaruhi oleh siklus bulan. Pada fase bulan baru dan purnama, CPUE pada daerah penangkapan > 3 mil dan daerah penangkapan < 3 mil relatif lebih tinggi dibandingkan pada fase perbani, sedangkan CPUE musim barat di pinggiran pantai lebih tinggi dibandingkan pada musim timur (Ernawati et al. 2014).
Suhu dan salinitas juga mempengaruhi pertumbuhan rajungan dan daya tahan rajungan terutama pada fase larva. Pada umumnya rajungan menyukai perairan bersuhu hangat. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya pertumbuhan dan reproduksi terjadi pada saat kondisi perairan bersuhu hangat di daerah yang beriklim sub tropis (Dixon and Hooper 2010). Pantai dengan salinitas tidak terlalu tinggi adalah daerah yang optimum sebagai habitat pertumbuhan juvenil rajungan untuk tumbuh dan menjadi dewasa, sehingga rajungan-rajungan berukuran lebih besar yang umumnya telah matang kelamin bermigrasi ke perairan yang lebih dalam. Sukumaran and Neelakantan (1997) menjelaskan bahwa rendahnya salinitas di perairan pantai mendorong rajungan yang berukuran besar bermigrasi ke perairan yang lebih dalam dengan salinitas yang lebih tinggi. Menurut Juwana (1998) disimpulkan bahwa larva rajungan dapat hidup pada kisaran salinitas yang relatif lebar yaitu pada kisaran 20 sampai dengan 36 ‰ dan salinitas optimumnya pada kisaran 27 sampai dengan 30 ‰. Suhu optimum untuk pemeliharaan larva rajungan adalah suhu tetap 30 °C dengan kisaran suhu antara 27 sampai dengan 32 °C.
Konsep Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Ekosistem
pendekatan ekosistem merupakan pendekatan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan yang sudah ada. Interaksi antar komponen dan aspek-aspek EAFM tidak dapat diabaikan dan sangat mempengaruhi keberlanjutan perikanan (Adrianto et al.2005; 2014).
Mengacu pada definisi Ecosystem Approach to Fisheries (EAF) menurut FAO (2003), secara sederhana EAF dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan (kesejahteraan nelayan, keadilan pemanfaatan sumberdaya ikan, dll) dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam implementasi EAF antara lain adalah : (1) perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem; (2) interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan ekosistemnya harus dijaga; (3) perangkat pengelolaan sebaiknya kompatibel untuk semua distribusi sumberdaya ikan; (4) prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan; dan (5) tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia (FAO 2005).
Garcia and Cochrane (2005) mendefinisikan pengelolaan perikanan sebagai keterpaduan proses pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, pengambilan keputusan, alokasi sumber daya, perumusan dan penegakan peraturan perikanan dalam mengontrol perilaku sekarang dan masa depan dari pihak yang berkepentingan dalam perikanan. EAF juga merupakan perpaduan antara pengelolaan ekosistem untuk melestarikan komponen biofisik ekosistem dan pengelolaan perikanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan berfokus pada kegiatan penangkapan dan target sumber daya. Bagian integral dari EAF adalah keterlibatan pemangku kepentingan dalam proses pengelolaan dan pertimbangan berbagai tujuan (Preston 2009; Andrew et al. 2009; in Purcell et al. 2014).
Pentingnya Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan
Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) bukan hal yang baru, melainkan suatu pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan yang sudah ada sebelumnya (pengelolaan konvensional). Pengelolaan perikanan konvensional yang selama ini diterapkan hanya memfokuskan pada spesies target (komoditas atau komponen ekonomi) tanpa melihat interaksi atau hubungan antara suatu komponen dengan komponen lainnya dalam ekosistem. Beberapa hal yang mendorong terjadinya pergeseran paradigma pengelolaan perikanan antara lain meningkatnya pemahaman bahwa adanya interaksi yang kuat antar sumberdaya ikan serta interaksi antara sumberdaya ikan dengan lingkungannya, banyaknya jasa ekosistem bagi manusia yang perlu dijaga agar berkelanjutan, meningkatnya pemahaman akan fungsi ekosistem bagi manusia, dan kesadaran akan banyaknya faktor ketidakpastian (uncertainties) akan fungsi dan dinamika ekosistem.
dukung sumberdaya alam terhadap pola pemanfaatan perikanan yang ada. Guna meningkatkan daya dukung sumberdaya perikanan, praktik pemanfaatan perikanan yang lestari perlu dilakukan. Adrianto et al. (2014) menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan harus dilakukan secara komprehensif, melibatkan konektivitas antara ekosistem, hasil tangkapan, upaya penangkapan, dan permintaan konsumen. Keempat hal tersebut terkoneksi satu dengan yang lain sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan sangat penting guna menjaga keberlanjutan sistem perikanan.
Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan Rajungan
Skema pengelolaan perikanan terpadu dengan menggunakan pendekatan berbasis ekosistem (EAFM) menjadi salah satu wujud bagaimana pemerintah berperan dan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi demi kelangsungan dan kelestarian ekosistem pesisir yang menjadi sumber kehidupan. Secara alamiah, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu : a) dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya; b) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan c) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri (Charles 2001).
Penyesuaian implementasi EAFM di Indonesia dengan konteks global dilakukan melalui beberapa tahapan. Secara lengkap, tahapan proses implementasi EAFM disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Proses Implementasi EAFM (Modifikasi dari FAO 2003 in Adrianto et al. 2014)
Indikator Keberlanjutan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Rajungan
berkelanjutan tidak hanya dijaga dari tingkat eksploitasi agar tidak berlebih, namun keberlanjutan harus dilihat secara komprehensif sebagai suatu usaha memelihara dan memperkuat empat komponen utama yaitu keberlanjutan kemampuan indikator ekologi, sosial, ekonomi masyarakat dan kelembagaan.
Indikator biologi - ekologi
Jennings (2005) merekomendasikan bahwa indikator yang digunakan dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem harus mengarah pada pengelolaan kegiatan penangkapan ikan yang telah atau yang paling mungkin menyebabkan dampak terhadap keberlanjutan komponen atau atribut ekosistem. Pengelolaan perikanan berpendekatan ekosistem yang efektif harus meminimalkan dampak ekosistem yang terkait dengan penangkapan target spesies sehingga tercapai tujuan pengelolaan (FAO 2003).
Selain itu, indikator yang digunakan hendaknya mudah diukur dan memberikan pemahaman yang jelas akan proses kompleks yang terjadi dalam suatu ekosistem. Indikator tidak selalu bisa mendeteksi perubahan yang disebabkan oleh penangkapan ikan namun minimal harus yang sangat sensitif terhadap perubahan komunitas ikan. Penggunaan indikator untuk menganalisis ekosistem dengan pendekatan makro dan untuk mendapatkan gambaran ekosistem secara keseluruhan, faktor penyebab dan pendorong yang menyebabkan suatu perubahan ditekankan pada suatu analisis secara mikro dan dengan data yang lebih spesifik (Pennino et al. 2011).
Hasil tangkapan per unit usaha (Catch Per Unit Effort/CPUE) dapat menjadi salah satu indikator ukuran stok. Selain itu, nilai CPUE juga dapat menunjukkan produktivitas suatu alat tangkap (Arios et al. 2013). Adapun upaya penangkapan ikan itu sendiri diartikan jumlah waktu yang dihabiskan untuk menangkap ikan di wilayah perairan tertentu. CPUE juga dapat dijadikan sebagai indikator kelimpahan sumberdaya setelah memperhitungkan perubahan-perubahan komponen dalam upaya penangkapan dan respon terhadap regulasi pengelolaan (Ye et al. 2011). Tren CPUE yang cenderung menurun, dapat dijadikan sebagai indikasi dampak negatif terhadap stok ikan atau bahkan cenderung overfishing. Oleh karena itu nilai CPUE tertinggi adalah ketika hasil tangkapan tinggi namun tetap memberikan ruang ikan untuk bereproduksi dan berkembang untuk terus mendukung penangkapan yang lestari. Tren CPUE dapat digunakan untuk mengetahui tren perubahan stok sumberdaya perikanan dari waktu ke waktu.
Salah satu indikator dalam menentukan daerah penangkapan ikan yang potensial adalah berdasarkan kemampuan tangkap (catchability) dari suatu alat tangkap atau produktivitas penangkapan dari suatu alat tangkap. Koefisien kemampuan tangkap (catchability coefficient) adalah proporsi stok ikan yang dapat ditangkap oleh satu unit upaya (Nelwan et al. 2012). Kemampuan tangkap suatu alat tangkap menentukan perbedaan konstruksi dan metode pengoperasian yang mempunyai indeks perbedaan efisiensi penangkapan. Kemampuan tangkap sering didefinisikan sebagai ukuran interaksi antara kelimpahan sumberdaya dan upaya penangkapan (Sanchez 1996).
hubungannya dengan ukuran tubuh, diperlukan untuk pengelolaan pemanfaatan sumberdaya rajungan (Kurnia et al. 2014). Informasi tentang reproduksi rajungan sangat diperlukan dalam pengkajian populasi rajungan terkait untuk pengelolaan, seperti musim, daerah penangkapan dan penentuan ukuran minimal yang boleh ditangkap (Minimum Legal Size/MLS).
Data tren ukuran rajungan berupa ukuran lebar karapas rajungan sebagai data untuk analisis frekuensi lebar karapas yang selanjutnya akan dapat diduga laju eksploitasi dari suatu unit stok sumberdaya rajungan. Jika terjadi penurunan nilai ukuran rajungan secara temporal maka mengindikasikan terjadinya kecenderungan tangkap lebih (overfishing) pada perairan tersebut. Kedewasaan rajungan yang siap bertelur dapat ditentukan melalui ukuran ikan, oleh karena itu tren mengecilnya ukuran rajungan yang tertangkap menunjukkan terganggunya pola reproduksinya sehingga akan berdampak pada produktivitas hasil tangkapan diperairan tersebut ke depannya.
Sebaran hasil tangkapan rajungan dapat dikaitkan dengan kondisi habitat dan lingkungan yang menjadi informasi dasar untuk mengetahui gambaran kondisi lingkungan perairan secara umum. Pada umumnya rajungan menyukai perairan bersuhu hangat. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya pertumbuhan dan reproduksi terjadi pada saat kondisi perairan bersuhu hangat di daerah yang beriklim sub tropis (Dixon and Hooper 2010).
Indikator sosial, ekonomi dan kelembagaan
Tren peningkatan produksi rajungan yang berarti terjadinya peningkatan penangkapan oleh nelayan salah satunya dapat dikarenakan meningkatnya permintaan rajungan terutama untuk pasar ekspor. Permintaan pasar yang tinggi seiring harga yang menguntungkan, telah menyebabkan ekploitasi yang intensif terhadap sumber daya rajungan di Indonesia, karena produksi rajungan masih mengandalkan alam (wild catch). Pangsa pasar rajungan yang dominan adalah ekspor dalam bentuk daging yang dikalengkan (Kurnia et al. 2014).
Adrianto et al. (2005) mengkaji kesejahteraan sosial ekonomi jangka panjang yang berbasis indikator keberlanjutan sosial ekonomi yang digunakan secara bersama-sama. Kriteria dimodifikasi menjadi empat kriteria (ekologi, ekonomi, sosial dan kebijakan), yang dalam kriteria sosial dan ekonomi terdapat beberapa indikator volume dan nilai hasil tangkapan, pendapatan dari usaha penangkapan, kontribusi perikanan, jumlah pelaku utama sektor perikanan, jumlah populasi pelaku perikanan di area kajian, tingkat partisipasi pelaku perikanan muda dalam usaha penangkapan, rezim pengelolaan perikanan, total pendapatan rumah tangga perikanan, dan jumlah kecelakaan yang terjadi terkait dalam usaha penangkapan.
3
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di perairan laut Kabupaten Pati dalam wilayah administratif Kecamatan Dukuhseti dan Tayu dengan desa pesisir Desa Alasdowo, Banyutowo, Keboromo, dan Sambiroto (Gambar 5). Waktu pelaksanaan penelitian mulai Bulan Desember 2014 s.d. Februari 2015.
Penelitian dirancang untuk mencakup daerah penangkapan rajungan oleh nelayan Pati di perairan Pati dan sekitarnya, dengan koordinat acuan seperti pada Lampiran 6, yang dikelompokkan menurut stratifikasi kedalaman perairan (adaptasi Bryars and Havenhand 2004). Survei lokasi penangkapan nelayan rajungan dengan alat tangkap bubu lipat terdiri dari dua kelompok, yaitu : (a) zona 1, area nelayan mengoperasikan bubu di perairan pantai dengan kedalaman rata-rata ≤ 35 meter dan berjarak ≤ 8 mil dari garis pantai; serta (b) zona 2, area nelayan mengoperasikan bubu di perairan lepas pantai dengan kedalaman rata-rata > 35-60 meter dan berjarak > 8 mil dari garis pantai.
J enis dan Sumber Data
Jenis penelitian ini adalah studi kasus dengan metode penelitian survei. Data penelitian menggunakan data primer dan sekunder. Indikator per domain, jenis, dan metode pengumpulan data penelitian seperti termuat dalam Tabel 1.
Data primer diperoleh melalui survei/pengamatan dan pengukuran di lapangan dan wawancara mendalam (in-depth interview) dengan responden menggunakan daftar kuesioner terstruktur merujuk dari Adrianto et al. (2014). Data sekunder diperoleh dari beberapa literatur serta data dan informasi dari instansi terkait, baik di daerah maupun di tingkat pusat, antara lain Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bappeda Kabupaten Pati, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pati, Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati, dan Satker PSDKP.
1
30
2 3 4
5 6 7 8
9 10
11
12 13 14 15 16
17 18 19 20 21 22 23 24 25
26 27 28
29 31
32
33
34
P ETA PENELITIAN
J awa Tengah
Zona 1 Zona 2
Gambar 5 Peta lokasi penelitian
Tabel 1 Indikator per domain, jenis, dan metode pengumpulan data
Lingkup, Jenis dan Sumber Data Metode Pengumpulan
A.Domain Sumberdaya Ikan (Sdi) : 1. Kemampuan tangkap
(catchability) bubu lipat untuk
rajungan
Data Primer Wawancara dan pengamatan (sampling)
2. Tren ukuran lebar karapas rajungan yang tertangkap (dalam ± 5 thn terakhir)
Data Primer Wawancara dan pengamatan (sampling)
3. Tingkat pemanfaatannya 4. Komposisi hasil tangkapan (bubu
lipat)
DataSekunder Data Primer Data Sekunder
§Studi literatur (Ernawati et al. 2014) §Wawancara dan pengamatan §Studi literatur (Ernawati et al. 2014)
B.Domain Habitat dan Ekosistem Per airan 1. Faktor lingkungan perairan
(suhu dan salinitas)
2. Pengetahuan atas sebaran/siklus hidup rajungan di perairan
Data Primer
Data Sekunder
Data Primer
Pengukuran langsung
Studi literatur (Ernawati et al. 2014)
Pengamatan (sampling)
3. Kelimpahan rajungan menurut kedalaman perairan
C.Domain Teknologi Penangkapan Ikan : 1. Modifikasi ukuran bubu lipat
rajungan Data Primer Wawancara dan pengamatan
2. Selektivitas bubu lipat rajungan Data Sekunder Studi literatur (Ernawati et al. 2014)
D.Domain Ekonomi : 1. Kepemilikan aset
Data Primer Wawancara dan pengamatan 2. Pendapatan RT perikanan
E.Domain Sosial :
1.Partisipasi pemangku kepentingan nelayan rajungan
Data Primer Wawancara dan pengamatan 2.Konflik pemanfaatan rajungan
3.Persepsi/pengetahuan masyarakat rajungan mengenai pengelolaan perikanan rajungan, habitat dan kelestariannya (seperti : MLS, rajungan bertelur, habitat, dll)
F. DOMAIN KELEMBAGAAN :
1. Pengetahuan dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan rajungan
Data Primer Wawancara dan pengamatan 2. Kelengkapan aturan main dalan
pengelolaan perikanan rajungan 3. Rencana Pengelolaan Perikanan
(RPP) rajungan
4. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan
5. Keberadaan dan peran Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia 6. Keberadaan dan peran Forum
rajungan
Teknik Pengumpulan Data
Pemilihan Responden
Pengambilan contoh responden dilakukan dengan cara purposive sampling yakni memilih responden yang mengetahui/terkait langsung dalam pengelolaan sumberdaya perikanan rajungan. Jumlah responden seluruhnya 57 responden, yang meliputi perwakilan dari beberapa aspek stakeholder yaitu pelaku utama usaha perikanan rajungan (45 responden), tokoh masyarakat desa (tiga responden), Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pati (tiga responden), Bappeda Kabupaten Pati (satu responden), Ketua Kelompok Nelayan Rajungan wilayah Dukuhseti, Forum Komunikasi KUB Nelayan Kecil wilayah Dukuhseti (satu responden), Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia/APRI (satu responden), Kepala Satker Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan/ PSDKP, dan pengusaha/eksportir rajungan (satu responden).
Adapun 45 responden dari pelaku utama usaha perikanan rajungan merupakan representasi kelompok usaha rajungan yang ada sehingga sesuai dengan tujuan penelitian, mencakup nelayan ABK yang telah berpengalaman melaut minimal selama lima tahun sehingga dapat memberikan informasi yang dibutuhkan (23 responden), nelayan pemilik kapal yang ikut mengoperasikan armada penangkapan (sembilan responden), pemilik kapal yang tidak ikut mengoperasikan kapal (empat responden), bakul/pengumpul rajungan (lima responden), dan pemasok rajungan (empat responden).
Sumberdaya Rajungan
sumberdaya ikan non target. Pengambilan contoh rajungan dilakukan secara random sampling yang berasal dari 36 unit perahu bubu lipat, yang terdiri dari 19 perahu babang/zona 2 dan 17 perahu harian/zona 1. Skema pengambilan contoh rajungan dan nelayan seperti pada Gambar 6.
Data tren hasil tangkapan dan tren ukuran lebar karapas rajungan diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan responden. Selain itu juga menggunakan data sekunder berupa hasil tangkapan dan upaya penangkapan yang tercatat ditingkat pengepul/bakul dan Dinas KP Kabupaten Pati. Data komposisi hasil tangkapan diperoleh dari pengamatan langsung, wawancara dengan nelayan responden, dan hasil penelitian sebelumnya. Adapun data tingkat pemanfaatan (exploitation rate) rajungan di perairan Kabupaten Pati menggunakan data sekunder hasil penelitian sebelumnya.
Gambar 6 Skema pengambilan contoh responden nelayan dan sumberdaya rajungan
Habitat dan Faktor Lingkungan Rajungan
Data kedalaman perairan menggunakan Peta Batimetri Dinas Hidro-Oseanografi Tahun 2004. Data kelimpahan rajungan diperoleh dengan melakukan penghitungan jumlah individu rajungan yang tertangkap saat sampling penangkapan bersama nelayan.
Untuk memetakan sebaran rajungan di daerah penangkapan yang sekaligus sebagai salah satu habitat rajungan dilakukan dengan dua metode, yaitu : (1) pendekatan pemetaan daerah penangkapan ikan dilakukan melalui wawancara dengan nelayan yang telah mempunyai pengalaman penangkapan rajungan minimal selama lima tahun sehingga dapat menggambarkan daerah penangkapan rajungan dengan menggunakan peta dasar perairan Kabupaten Pati (Pratiwi et al. 2014); dan (2) melakukan sampling titik-titik koordinat bersama-sama dengan nelayan bubu ke daerah penangkapan rajungan, baik zona 1 maupun zona 2, sekaligus melakukan pengukuran suhu dan salinitas permukaan perairan.
Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Kelembagaan
Wawancara dibagi menjadi dua bagian, yaitu wawancara terhadap rumat tangga perikanan (nelayan dan non nelayan) dan aspek kelembagaan (instansi/lembaga pemerintah dan non pemerintah) yang terkait dalam pengelolaan perikanan rajungan. Aspek kelembagaan/pemangku kepentingan yang dimaksud meliputi wakil dari tokoh masyarakat desa (tiga responden), Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pati (tiga responden), Bappeda Kabupaten Pati (satu responden), Ketua Kelompok Nelayan Rajungan wilayah Dukuhseti, Forum Komunikasi KUB Nelayan Kecil wilayah Dukuhseti (satu responden), Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia/APRI (satu responden), Kepala Satker Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan/PSDKP, dan pengusaha/eksportir rajungan (satu responden).
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat dan bahan yang digunakan untuk mengukur data biofisik (ekologi) dan sosial ekonomi yang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Alat dan bahan penelitian
No. Alat dan Bahan Kegunaan
1. Peta dasar wilayah Kab. Pati Memetakan daerah penangkapan 2. Jangka sorong/kaliper (dengan
ketelitian 0,1 mm) Mengukur lebar karapas 3. Termometer air Mengukur suhu permukaan air 4. Hand Refraktometer Mengukur salinitas
5.
6.
GPS
Timbangan digital (dengan ketelitian 0,1g)
Mengetahui posisi daerah penangkapan rajungan
Mengukur berat individu rajungan
7. Kuisioner Wawancara
8. Laporan/literatur Data pendukung
4
ANALISIS DATA
Pemetaan Daerah Penangkapan Rajungan
Data sampling dan informasi mengenai daerah penangkapan rajungan yang telah diperoleh (Lampiran 6) diinput ke dalam peta dasar Kabupaten Pati dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG) sehingga diperoleh peta area sampling daerah penangkapan rajungan di Kabupaten Pati dan sekitarnya.
Analisis Indikator EAFM
masing-masing indikator dapat dilihat pada Tabel 3. Penilaian status pengelolaan perikanan rajungan di perairan Kabupaten Pati menggunakan analisis komposit terhadap indikator dari setiap domain yang kemudian divisualisasikan dengan teknik model bendera/flag modelling (Adrianto et al. 2014). Alur penilaian indikator EAFM pada perikanan rajungan tersaji pada Gambar 7 berikut.
[image:32.612.115.509.257.713.2]Gambar 7 Alur penilaian indikator EAFM pada perikanan rajungan
Tabel 3 Kriteria dan bobot indikator per domain EAFM rajungan
Domain Indikator Sumber Data Kriteria Bobot (% ) Sumber Daya Ikan
(Rajungan) 1.Kemampuan tangkap (catchability) alat
tangkap bubu lipat untuk rajungan
− Sampling rajungan
Wawancara 1 kemampuan tangkap rata-rata per
setting < 0,078
ekor/bubu; atau <14,1 g/bubu. 2 kemampuan
tangkap rata-rata per
setting 0,078-0,102
ekor/bubu; atau 14,1-19,0 g/ bubu. 3 kemampuan
tangkap rata-rata per
setting >0,102
ekor/bubu; atau >19,0 g/bubu.
45
2.Tren ukuran ikan − Sampling rajungan
hasil tangkapan
− Wawancara
− Data sekunder
1 trend ukuran rata-rata rajungan yang ditangkap semakin kecil;
2 trend ukuran relatif tetap;
3 trend ukuran semakin besar. 25 3.Tingkat pemanfaatan sumberdaya rajungan
Data sekunder 1 laju eksploitasi lebih tangkap
(E > 0,5); 2 laju eksloitasi
bawah tangkap (E < 0,5);
3 laju ekspoitasi stabil (E = 0,5).
18
4.Komposisi spesies
hasil tangkapan −− Pengamatan Wawancara
− Data sekunder
1 proporsi target lebih sedikit (< 15% dari total volume); 2 proporsi target sama
dgn non-target (16-30% dari total volume);
3 proporsi target lebih banyak (> 31 % dari total volume)
Habitat dan
Ekosistem 5.Kualitas Perairan −− Pengamatan Data sekunder 1 suhu dan salnitas sangat tinggi (suhu dan salinitas > t dan ‰ optimum); 2 suhu dan salinitas
sangat rendah (suhu dan salinitas < t dan ‰ optimum); 3 suhu dan salinitas
cenderung optimum untuk
pertumbuhan/siklus hidup rajungan (27 - 30°C dan 30 – 35 ‰).
40
6.Pengetahuan tentang sebaran rajungan di perairan
− Wawancara 1 tidak diketahui (kurang dari 50% stakeholders yang mengetahui); 2 diketahui (lebih dari
50% stakeholders mengetahui) namun tidak dikelola dengan baik; 3 diketahui (lebih dari
50% stakeholders mengetahui) dan dikelola dengan baik.
30
7.Kelimpahan rajungan menurut kedalaman
− Data primer 1 Jumlah individu rajungan tertangkap <17 ekor/tangkapan (kelimpahan rendah); 2 Jumlah individu
rajungan tertangkap 17-33 ekor/tangkap-an (sedekor/tangkap-ang); 3 Jumlah individu
rajungan tertangkap >33 ekor/tangkapan (tinggi). 30 Teknologi Penangkapan Ikan (rajungan)
8.Modifikasi alat
penangkapan −− Pengamatan Wawancara
− Data sekunder
1 lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm; 2 25-50% ukuran
target spesies < Lm; 3 <25% ukuran target
spesies < Lm.
70
9.Selektivitas
penangkapan − Statistik Perikanan Tangkap,
− Survey
1 penggunaan alat tangkap yang tidak/kurang selektif > 75%;
2 penggunaan alat tangkap yang tidak/kurang selektif sedang (50-75%); 3 penggunaan alat
tangkap yang tidak/ kurang selektif < 50%.
30
Sosial 10. Partisipasi pemangku kepentingan
Wawancara 1 < 50%; 2 50-75%; 3 > 75-100 %.
11. Konflik perikanan − Wawancara
− Data sekunder 1 kali/tahun; lebih dari 5 2 2-5 kali/tahun; 3 kurang dari 2 kali/
tahun. 35 12. Persepsi masyarakat rajungan mengenai pengelolaan perikanan rajungan
Wawancara 1 rendah (masyarakat tidak mengetahui sama sekali); 2 paham, namun
belum diterapkan dalam pemanfaatan sumberdaya rajungan; 3 paham dan telah
dimanfaatkan dalam pemanfaatan sumberdaya rajungan
25
Ekonomi 13. Kepemilikan Aset Wawancara 1 nilai aset berkurang (lebih dari 50%); 2 nilai aset tetap
(berkurang/bertamb ah < dari 50%); 3 nilai aset bertambah
(di atas 50%)
45
14. Pendapatan rumah tangga perikanan (RTP)
Wawancara 1 kurang dari rata-rata UMR;
2 sama dengan rata-rata UMR; 3 > rata-rata UMR
30
15. Tingkat permintaan (% hasil tangkapan yang terjual)
Wawancara 1 100% laku dijual ; 2 50% <Lm tidak
laku;
3 ukuran <Lm tidak laku dijual
25
Kelembagaan 16. Pengetahuan dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal
Wawancara
Data sekunder Formal : 1 lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan; 2 2-4 kali terjadi
pelanggaran hukum; 3 kurang dari 2 kali
pelanggaran hukum. Non formal:
1 lebih dari 5 informasi pelanggaran; 2 lebih dari 3
informasi pelanggaran, 3 tidak ada informasi
pelanggaran
30
17. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
− Wawancara;
− Data sekunder 1 tidak ada regulasi hingga tersedianya regulasi pengelolaan perikanan yang mencakup dua domain;
2 tersedianya regulasi yang mencakup pengaturan perikanan untuk 3 - 5 domain;
3 tersedia regulasi lengkap untuk mendukung penge-lolaan perikanan dari 6 domain. 1 tidak ada penegakan
aturan main; 2 ada penegakan
aturan main namun belum optimal; 3 ada penegakan aturan main dan efektif. 18. Rencana
Pengelolaan Perikanan/RPP Rajungan
wawancara 1 belum ada RPP; 2 ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan;
3 ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya. 20 19. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan
wawancara 1 konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan); 2 komunikasi antar
lembaga tidak efektif;
3 sinergi antar lembaga berjalan baik.
12
1 terdapat kebijakan yang saling bertentangan; 2 kebijakan tidak
saling mendukung; 3 kebijakan saling
mendukung. 20. Keberadaan dan
peran asosiasi rajungan
wawancara 1 tidak ada; 2 ada namun tidak
berperan; 3 ada dan telah
berperan bagi masyarakat nelayan rajungan
5
21. Keberadaan dan peran forum rajungan
wawancara 1 tidak ada; 2 ada namun tidak
berperan; 3 ada dan telah
berperan bagi masyarakat nelayan rajungan
5
Sumber : Modifikasi dari Adrianto et al. (2005); Zhang et al. (2009); Kim and Zhang (2011); dan
Adrianto et al. (2014)
Analisis dengan pendekatan multi atribut/kriteria (EAFM) melalui pengembangan indeks komposit ini (Adrianto et al. 2005), akan merefleksikan keterkaitan antara pengelolaan ekosistem dan pengelolaan perikanan, dengan beberapa tahapan sebagai berikut :
1) Melakukan skoring (Sai) untuk setiap indikator ke-i setiap domain dengan
unit perikanan rajungan dan kriteria yang telah ditetapkan untuk masing-masing domain.
2) Menentukan bobot untuk setiap indikator berdasarkan rangking (Wi) untuk
setiap indikator ke-i pada setiap domain. Bobot ditentukan sesuai dengan derajat pengaruh atribut tersebut dalam domain (0 s.d. 100).
3) Mengidentifikasi tingkat konektivitas (densitas) antar domain dan indikator dengan menentukan skor dominan (Di) dari hasil pemetaan kognitif keterkaitan
antar indikator. Nilai Di (skor densitas indikator ke-i) dapat diidentifikasi dari
jumlah garis linkages yang masuk ke dalam indikator tersebut.
4) Melakukan penilaian komposit pada masing-masing domain ke-j (Cat-1) dengan
formula sederhana :
Cat-1 = Sai x Wi x Di
5) Mengembangkan indeks komposit agregat untuk seluruh domain (Dj) pada unit
perikanan/wilayah pengelolaan perikanan rajungan dengan model fungsi sebagai berikut :
C-WPPi = f (Dj, Sai ;Wi; Di)
atau basis formula untuk analisis komposit agregat adalah : C-WPPi = Ave Dj = (Sai ;Wi; Di)
dimana : Ave Dj = rata-rata aritmetik dari domain ke-j dari total perkalian
antara Sai (nilai skor indikator ke-i dari domain ke-j); Wi (bobot ranking
indikator ke-i domain ke-j); dan Di (skor densitas dari indikator ke-i).
Setiap indikator yang dinilai selanjutnya dianalisis menggunakan analisis komposit sederhana berbasis rataan aritmetik yang kemudian ditampilkan dalam bentuk diagram model bendera seperti pada Gambar 8 dan 9, dengan kriteria yang tersaji pada Tabel 4. Indeks komposit merupakan nilai konversi dari nilai total setiap domain EAFM. Nilai total dari perkalian komponen EAFM dikonversi dalam skala 1 .s.d 100. Nilai konversi skala setiap domain dihitung menggunakan rumus :
N k-1 = Cat-1 x 100
Cat-1max
dimana :
Cat-1 = nilai total EAFM dari satu atribut/indikator dalam domain; dan
Cat-1max = nilai maksimum dari satu atribut/indikator dalam domain yang
diperoleh jika semua atribut/indikator memiliki skor 3.
Tidak terganggu Target kriteria Limit kriteria
Skor 3 2 1
Kesesuaian pengelolaan Dampak Antropogenik
Tabel 4 Visualisasi model bendera untuk indikator EAFM Nilai Skor Nilai Komposit Model bendera Deskripsi
1,00 – 1,50 1,00 – 39,99 Buruk/Kurang
1,51 – 2,50 40,00 -59,99 Sedang
2,51 – 3,00 60,00 – 100,00 Baik
Sumber : Adrianto et al. (2014)
Gambar 9 Diagram status pemanfaatan sumberdaya perikanan rajungan berpendekatan ekosistem (dimodifikasi dari Zhang et al. 2009)
Setelah diketahui status pengelolaan perikanan rajungan, perlu disusun suatu diagram rencana perbaikan perikanan yang dapat dijadikan sebagai strategi pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan ekosistem dengan kerangka seperti pada Gambar 10. Rencana perbaikan pengelolaan terbagi menjadi empat fase/tahap strategi, yaitu (1) strategi pemulihan atau perbaikan; (2) strategi perkembangan sosial; (3) strategi pengelolaan pelestarian (konservasi); dan (4) strategi mempertahankan pengelolaan yang telah ada.
Gambar 10 Diagram rencana perbaikan pengelolaan perikanan (Sumber : Adrianto et al. 2014)
Habitat; Sumber Daya
Teknologi Penangkapan; Sosial; Ekonomi; dan Kelembagaan
0 3 0
1
2 4
3
Strategi pengelolaan konservasi Strategi pembangunan sosial
Strategi pemulihan
Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis/PCA)
Metode analisis tersebut menghasilkan suatu komponen utama yang dapat mewakili semua variabel asli tanpa kehilangan banyak informasi. Analisis ini bertujuan mengurangi dimensi peubah-peubah yang saling berhubungan dan cukup banyak variabelnya sehingga lebih mudah untuk menginterpretasikan data-data tersebut (Johnson and Wichern 2002). Prinsip dari PCA adalah menyederhanakan beberapa variabel menjadi beberapa indeks saja (variabel baru) yang mana indeks tersebut merupakan kombinasi linear dari seluruh variabel awal. Variabel yang digunakan dalam pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (Tabel 5) dilambangkan dengan :
Xj (j = 1, 2, ..., p);
di mana : Xj = variabel pada domain ke-j dan p = jumlah domain. Selanjutnya dengan format seperti itu dianalisis dengan PCA yang didahului dengan menstandarisasikan menjadi variabel baku :
Yij (j = 1,2, ..., p);
dimana : Yij = (xij - μ j)/sj, sehingga rataan masing-masing sama dengan nol,
simpangan baku dan ragam masing-masing sama dengan satu, dan koefisien korelasi sebesar rjj ≠ 0. Dalam PCA akan dilakukan ortogonalisasi terhadap
variabel-variabel Yj tersebut sehingga diperoleh :
Z α (α= 1,2, ..., q≤p);
yang memiliki karakteristik : korelasi rαα=0, rataan masing-masing sama dengan
nol dan ragam Zα sama dengan λα ≥ 0 dimana Σαλα = p. Bentuk umum perkalian
matriks menjadi:
Zα = Ybα
Selanjutnya dalam PCA juga dilakukan standarisasi terhadap variabel-variabel ortogonal tersebut menjadi variabel baru Fα (α= 1,2, ..., q≤p) yang memiliki
karakteristik : korelasi rαα=0, rataan masing-masing sama dengan nol dan nilai
ragam masing-masing Fα sama dengan satu.
Bentuk umum perkalian matriks menjadi:
dimana :
1) vektor bα = eigen vector untuk faktor atau komponen utama ke – α;
2) elemen-elemen vektor Fα adalah factor scores untuk faktor atau komponen
utama ke – α; dan
3) elemen-elemen dari bα/√λα adalah factor loadings untuk faktor atau komponen
utama ke – α.
Pendekatan Keputusan Taktis
meliputi : (1) keputusan strategis yang menetapkan referensi yang cocok untuk tekanan dan (2) keputusan taktis yang mengidentifikasi tingkat ukuran pengelolaan sehingga mampu menjaga agar tekanan terhadap referensi relatif tetap dapat diterima (Gambar 11). Kelebihan yang diperoleh antara lain dapat mengkuantifikasi respon yang ada, namun apabila terdapat keterbatasan pengetahuan, maka pemahaman kualitatif dapat membantu dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan (Gavaris 2009).
Tabel 5 Daftar variabel yang dipergunakan dalam PCA Variabel
ke - Nama variabel
1 Kemampuan tangkap (ekor/bubu/setting atau gram/bubu/setting)
2 Ukuran lebar karapas (cm)
3 Komposisi jenis rajungan (target) dari total volume tangkapan (%) 4 Tingkat pemanfaatan (satuan)
5 Suhu (°C) 6 Salinitas (‰)
7 Kelimpahan (individu/tangkapan) 8 Selektivitas penangkapan (%)
9 Modifikasi alat penangkapan (persentase ukuran target spesies yang kurang dari Lm) (%)
10 Konflik perikanan (kali/tahun)
11 Persentase perubahan nilai kepemilikan aset usaha RT perikanan (% per tahun)
12 Rata-rata pendapatan RT perikanan (Rp/bulan)
13 Frekuensi kejadian pelanggaran terhadap aturan yang berlaku (kali/tahun)
Gambar 11 Strategi sebagai framework dan penghubung antara atribut/indikator dengan taktik berdasar tekanan dan referensi terkait (Gavaris 2009)
Keputusan taktis merupakan langkah yang diambil untuk pengelolaan sebagai respon dari data perikanan (Bentley and Stokes 2011). Langkah-langkah pendekatan keputusan taktis adalah sebagai berikut :
1. Menentukan tujuan pengelolaan (management objective) yang dapat dilakukan. 2. Menetapkan titik acuan (reference point).
3. Menetapkan strategi yang akan dilakukan.
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Pati merupakan sal