• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAWEYAN DALAM PERIODE KRISIS EKONOMI HINGGA MENJADI KAWASAN WISATA SENTRA INDUSTRI BATIK TAHUN 1998 2004

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "LAWEYAN DALAM PERIODE KRISIS EKONOMI HINGGA MENJADI KAWASAN WISATA SENTRA INDUSTRI BATIK TAHUN 1998 2004"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

LAWEYAN DALAM PERIODE KRISIS EKONOMI HINGGA

MENJADI KAWASAN WISATA SENTRA INDUSTRI BATIK

TAHUN 1998-2004

SKRIPSI

Untuk memperoleh gelar Sarjana Sejarah

Oleh: IBNU MAJAH NIM 3111411014

JURUSAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

(2)
(3)
(4)
(5)

v

MOTTO :

―Bersyukurlah pada yang Maha Kuasa, hargailah orang-orang yang

menyayangimu dan selalu ada setia di sisimu, siapa pun jangan kau pernah sakiti dalam pencarian jati dirimu dan semua yang kau impikan, tegarlah Sang Pemimpi‖ – GIGI

The best feeling in the world is to know that our parents are

smilling because of us”HITAM PUTIH

PERSEMBAHAN :

Skripsi ini saya persembahkan kepada: 1. Ibu, Bapak, dan Kakak-kakakku.

2. Sahabat-sahabatku; Ulin, Nadlifa, Fajar, Zaka, Ucup, dan Ifa.

(6)

vi

Majah, Ibnu. 2015. Laweyan Dalam Periode Krisis Ekonomi Hingga Menjadi Kawasan Wisata Sentra Industri Batik Tahun 1998-2004. Skripsi. Jurusan Sejarah. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing Romadi, S.Pd., M.Hum.

Kata Kunci: Laweyan, Batik, Wisata, Dinamika Sosial, Ekonomi, Budaya

Laweyan merupakan suatu kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah. Unik karena kawasan tersebut merupakan kawasan tempat para saudagar tinggal, secara spesifik mereka adalah para saudagar batik. Laweyan sudah ada dan berkembang sebagai sentra industri benang sejak abad XV pada masa kejayaan Kerajaan Pajang, lalu kawasan tersebut semakin terkenal dan mengalami kejayaan sebagai pusat perdagangan batik pada awal abad XX. Oleh karena itu, sampai saat ini Laweyan identik dengan kampung para saudagar batik. Akibatnya, corak kehidupan serta orientasi nilai masyarakat Laweyan berbeda dengan masyarakat Surakarta pada umumnya. Seiring perjalanan waktu, para pengusaha batik Laweyan ikut berproses dari pertumbuhannya pada awal abad XV sampai masa kemerdekaan Indonesia, bahkan sampai sekarang.

Dalam perkembangan tersebut, Laweyan mengalami berbagai dinamika dalam kehidupan masyarakat. Pascaketerpurukan akibat masuknya teknologi batik

printing tahun 1970, Laweyan kembali memasuki masa sulit akibat terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997. Setelah itu, pada era awal Reformasi kondisi Laweyan berangsur-angsur kembali membaik. Masyarakat kembali bangkit, hingga pada tahun 2004 Kawasan Laweyan sukses dideklarasikan sebagai kawasan wisata.

Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui kondisi secara umum kehidupan masyarakat Kampoeng Batik Laweyan; (2) untuk mengetahui dinamika kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Kampoeng Batik Laweyan pada masa krisis ekonomi hingga menjadi kawasan wisata; (3) untuk mengetahui latar belakang penetapan Kampoeng Batik Laweyan sebagai kawasan wisata sentra industri batik yang dikelola secara terpadu oleh forum masyarakat pada tahun 2004.

Metode Penelitian yang digunakan berupa metode historis, yang terdiri dari lima tahap, yaitu penentuan topik, heuristik (mengumpulkan sumber-sumber sejarah); kritik sumber (penilaian kebenaran sumber); interpretasi (mewujudkan rangkaian bermakna dari fakta sejarah); dan historiografi (penulisan sejarah).

(7)

kelompok-vii

Kondisi perekonomian berangsur-angsur kembali membaik, dengan tumbuhnya jenis-jenis usaha baru di Laweyan. Masyarakat Laweyan juga menjadi lebih terbuka, setelah sebelumnya terkenal sebagai kelompok masyarakat yang tertutup. Di samping itu, Laweyan juga mulai kembali melestarikan berbagai tradisi kebudayaan setelah sebelumnya hampir hilang. Kondisi tersebut semakin berkembang setelah terbentuknya Laweyan sebagai kawasan wisata pada tahun 2004. Pembentukan tersebut bermula dari keprihatinan para pengusaha dan tokoh masyarakat Laweyan terhadap potensi Laweyan. Kemudian terbentuklah sebuah forum yang bertugas mengelola Laweyan sebagai kawasan wisata. Pascadeklarasi Kampoeng Batik Laweyan pada 24 Oktober 2004, forum tersebut juga resmi menjadi forum pengelola kawasan wisata yang disebut Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL).

(8)

viii

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah mengaruniakan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ―LAWEYAN DALAM PERIODE KRISIS EKONOMI HINGGA MENJADI

KAWASAN WISATA SENTRA INDUSTRI BATIK TAHUN 1998-2004‖. Adapun tujuan skripsi ini disusun sebagai bentuk laporan tugas akhir atas hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Penulis di Kampung Batik Laweyan Surakarta, guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Universitas Negeri Semarang.

Penulis menyadari bahwa tanpa pertolongan dari berbagai pihak, penulisan dan penyusunan skripsi ini tidak dapat berjalan dengan baik. Oleh karenanya, pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., selaku Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk menimba ilmu dengan segala kebijakannya.

2. Dr. Subagyo, M.Pd., Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan izin penelitian dalam penyusunan skripsi ini.

(9)

ix

dan petunjuk dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Pemerintah Republik Indonesia lewat Beasiswa Bidikmisi, yang telah memberikan kesempatan pada Penulis untuk mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi.

6. Pemerintah Kota Surakarta, yang telah memberikan izin penelitian.

7. Yuyuk Yuniman, S.E., selaku Lurah Laweyan Surakarta beserta perangkat-perangkatnya, yang telah memberikan bantuan serta informasi mengenai data yang dibutuhkan Penulis dalam penelitian.

8. Pengurus Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL), yang turut membantu serta menjadi informan bagi Penulis dalam penelitian.

9. Masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta yang telah bersedia menjadi informan dalam pelaksanaan penelitian.

10.Segenap dosen dan karyawan pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan bekal ilmunya. 11.Seluruh staf dan karyawan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Surakarta,

(10)

x

13.Adinda Ulin, Nadlifa, Fajar, Zaka, Ucup, dan Ifa, terima kasih atas segala keceriaan yang telah kalian ciptakan.

14.Teman-teman Ilmu Sejarah 2011 (Gita, Ardi, Sasmi, Azizah, Dion, Sena, Caesar, Bebet, Kadek, Diah, Anis, Jundi, Adi, Inggrid, Vebio, Yasir, Kahfi, Susi, Rio, Rizki, Yacobus, Heri, Dita, Martha, Faizal, Yusi, Galih, Angghi, Bangkit, Bayu, dan Rohmad), yang hampir empat tahun selalu bersama, terima kasih atas dukungan dan motivasinya.

15.Keluarga besar Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) Unnes yang telah memberikan banyak hal bermanfaat pada Penulis.

16.Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak bisa Penulis sebutkan satu per satu. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya atas segala kebaikan yang telah diberikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca. Harapan Penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Semarang, April 2015

(11)

xi

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

H. Sistematika Penulisan Skripsi ... 35

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KAMPOENG BATIK LAWEYAN SURAKARTA ... 37

A. Kondisi Geografis Kampoeng Batik Laweyan ... 37

B. Kondisi Demografis Kampoeng Batik Laweyan ... 41

C. Sejarah Singkat Kampoeng Batik Laweyan ... 51

D. Kondisi Perekonomian Masyarakat Laweyan ... 57

E. Kondisi Sosial Masyarakat Laweyan ... 60

F. Kondisi Budaya Masyarakat Laweyan ... 64

G. Kondisi Politik Pemerintahan Masyarakat Laweyan ... 67

BAB III DINAMIKA KEHIDUPAN SOSIAL, EKONOMI, DAN BUDAYA MASYARAKAT KAMPOENG BATIK LAWEYAN PADA MASA KRISIS EKONOMI HINGGA MENJADI KAWASAN WISATA... 70

A. Dinamika Kehidupan Masyarakat Laweyan ... 70

B. Kondisi Laweyan Pada Periode Krisis Ekonomi Tahun 1997 ... 71

C. Kehidupan Masyarakat Laweyan Pascakrisis ... 82

D. Dinamika Kebudayaan Pada Masyarakat Laweyan Pascakrisis ... 89

(12)

xii

C. Objek Wisata Kampoeng Batik Laweyan ... 119

D. Pengaruh Kampoeng Batik Laweyan Pada Kehidupan Masyarakat ... 124

E. Peran Pemerintah Terhadap Perkembangan Kampoeng Batik Laweyan ... 129

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 133

A. Simpulan ... 133

B. Saran... 136

DAFTAR PUSTAKA ... 137

(13)

xiii

Tabel 1. Jumlah Penduduk Laweyan Berdasar Profesi ... 43

Tabel 2. Jumlah Penduduk Laweyan Berdasar Agama ... 46

Tabel 3. Jumlah Penduduk Laweyan Berdasar Tingkat Pendidikan ... 47

Tabel 4. Jumlah Penduduk Laweyan Berdasar Tahapan Kesejahteraan ... 49

(14)

xiv

Gambar 1. Skema Mekanisme Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan ... 118

Gambar 2. Foto Sarjono Siswoharjono. ... 166

Gambar 3. Foto bersama H. Achmad Sulaiman ... 166

Gambar 4. Foto bersama Harun Muryadi ... 166

Gambar 5. Foto bersama Yuyuk Yuniman ... 166

Gambar 6. Foto bersama Eko Margiyanto ... 167

Gambar 7. Foto bersama Arif Budiman Effendi ... 167

Gambar 8. Foto bersama M. Aziz Fathony ... 167

Gambar 9. Papan Kota Surakarta ... 176

Gambar 10. Peta Kampoeng Batik Laweyan Surakarta ... 176

Gambar 11. Gapura masuk kawasan Laweyan ... 177

Gambar 12. Jalan di antara dua benteng di Laweyan... 177

Gambar 13. Jalan di Laweyan tahun 2004 ... 177

Gambar 14. Kantor Kelurahan Laweyan tahun 2015... 177

Gambar 15. Kantor Kelurahan Laweyan tahun 2001... 177

Gambar 16. Langgar Merdeka tahun 2006 ... 177

Gambar 17. Masjid Laweyan tahun 2004 ... 178

Gambar 18. Masjid Al Ma’moer Laweyan ... 178

Gambar 19. Bungker Laweyan ... 178

Gambar 20. Pengajian warga Laweyan tahun 2008 ... 178

Gambar 21. Kesenian Keroncong di Laweyan ... 178

(15)

xv

Lampiran 1. Data Statistik Kampoeng Batik Laweyan Surakarta Tahun

1997-2004 ... 142

Lampiran 2. Data Pertumbuhan Unit Industri Batik Laweyan ... 144

Lampiran 3. Indikator Keluarga Sejahtera ... 146

Lampiran 4. Struktur Kepengurusan Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL) ... 147

Lampiran 5. Rata-rata Harga 9 Bahan Pokok di Surakarta Tahun 1997 ... 148

Lampiran 6. SK Penetapan Laweyan Sebagai Kawasan Wisata... 149

Lampiran 7. SK Penetapan Laweyan Sebagai Kawasan Cagar Budaya ... 150

Lampiran 8. Pedoman Wawancara ... 159

Lampiran 9. Data Narasumber ... 164

Lampiran 10. Foto-foto Narasumber ... 166

Lampiran 11. Arsip Koran ... 168

(16)

1

A.Latar Belakang Masalah

Laweyan merupakan suatu kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah. Laweyan juga merupakan sebuah kampung para saudagar sekaligus pusat perdagangan industri batik yang mulai tumbuh pada awal abad XV. Jiwa entrepreneurship yang dimiliki masyarakat Laweyan telah mengantar mereka pada masa kejayaan ekonomi batik dalam abad tersebut (Baidi, 2006: 241). Kesuksesan dalam bidang ekonomi ternyata memberikan dampak terhadap predikat yang disandang. Oleh karena itu Kampung Laweyan identik dengan kampung para saudagar batik. Akibatnya, corak kehidupan serta orientasi nilai masyarakat Laweyan berbeda dengan masyarakat Surakarta pada umumnya (Baidi, 2006: 242).

Dalam babad Surakarta disebutkan secara global, Laweyan berasal dari kata lawe, yang berarti benang yang dipintal. Konon sejak masa sebelum Dinasti Mataram Islam, kawasan ini memang sudah dikenal sebagai daerah para saudagar batik. Lantas muncul Panembahan Senapati cucu dari Ki Ageng Pemanahan yang masa mudanya mempunyai julukan Ngabehi Loring Pasar, yang banyak menandai artefak-artefak atau situs kawasan sejarah yang ditinggalkannya (Wawasan, Minggu 8 Agustus 2004).

(17)

Laweyan. Laweyan, menurut Kuntowijoyo (2004: 74) adalah kemantren

(onder distrik) dalam distrik kota Surakarta yang terletak di bagian paling barat. Kampung ini diberitakan sudah ada sejak zaman Pajang. Laweyan tercatat dalam tradisi lisan sebagai tempat pelaksanaan hukuman bagi mereka yang bersalah terhadap kerajaan, dan tubuh mereka yang terhukum akan dilemparkan ke dalam sungai yang ada di Laweyan.

Pada zaman Pajang dan Kartasura rupanya Laweyan adalah batas timur kota raja, sedangkan pada zaman Surakarta adalah batas barat kota raja. Letak yang di pinggir ini ternyata mempunyai arti penting bagi pertumbuhan masyarakat dan budayanya. Rupanya Laweyan adalah masyarakat marginal dalam sistem sosial kerajaan-kerajaan Jawa, karena penduduknya adalah saudagar. Tidak seperti wong cilik pada umumnya, sebagai pedagang mereka tidak terikat dengan hubungan patrimonium berdasar pemilikan dan penguasaan tanah. Mereka terlepas dari sistem agro-managerial state, suatu keadaan yang memungkinkan mereka mengembangkan subkultur mereka sendiri. Pada awal abad ke-20 mereka sudah mempunyai industri perbatikan untuk konsumsi masyarakat, kegiatan yang semakin penting pada akhir abad ke-19 pada waktu mereka menjadi kepanjangan tangan dari perkembangan industri tekstil di Eropa. Kampung Laweyan juga membentuk komunitas sendiri, dengan saudagar sebagai pusat hierarki.

(18)

pusat perdagangan dan penjualan bahan sandang (lawe) Keraton Pajang yang ramai dan strategis.

Dilihat dari segi sosial budaya masyarakatnya, Laweyan memiliki ciri yang khas. Menurut Priyatmono (2004: 44), di Laweyan terdapat beberapa kelompok sosial dalam kehidupan masyarakatnya. Kelompok tersebut terdiri dari juragan (pedagang), wong cilik (orang kebanyakan), wong mutihan (Islam atau alimulama) dan priyayi (bangsawan atau pejabat). Selainitu, dikenal pula golongan saudagar atau juragan batik dengan pihak wanita sebagai pemegang perananpenting dalam menjalankan roda perdagangan batikyang biasa disebut dengan istilah mbok mase.

Kampung Laweyan tumbuh di tengah-tengah masyarakat birokrat keraton dan rakyat biasa. Secara sosiologis dapat dikatakan bahwa masyarakat Laweyan sebagai enclave society. Keberadaan masyarakat tersebut sangat berbeda dengan komunitas yang lebih besar di sekitarnya, sehingga keberadaan dan interaksi sosial demikian tertutup (Geertz, 1973; dalam Baidi, 2006: 242). Karena untuk mempertahankan komunitasnya, lebih banyak bergantung pada masyarakat Laweyan itu sendiri.

(19)

Profesi kerja para pengusaha batik Laweyan jelas menunjukkan bidang pekerjaan yang berbeda dengan lapangan pekerjaan masyarakat Surakarta pada umumnya. Bentuk mata pencaharian yang mereka miliki berada di luar kebiasaan masyarakat feodal, yang pada umumnya bekerja dalam lapangan pertanian atau pegawai birokrat keraton.

Dalam sebuah usaha perbatikan, menurut Kuntowijoyo (2004: 75-76) ada tertib ekonomi-sosial mulai dari pemilik sampai kuli. Gejala yang paling menonjol adalah bagaimana mereka mengembangkan sendiri hierarki sosial itu, lengkap dengan gelar-gelarnya. Keluarga pemilik perusahaan menjadi puncak dari sistem status, dimulai dari kedudukan nenek sebagai mbok mase sepuh, kakek sebagai mas nganten sepuh, ibu sebagai mbok mase, ayah sebagai

mas nganten, anak perempuan sebagai mas rara, dan anak laki-laki sebagai

mas bagus. Saudagar Laweyan adalah elite dari komunitas tidak mendapat tempat dalam sistem status resmi kerajaan.

Oleh karena itu, Kampung Laweyan terasa sebagai pemukiman yang asing dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Masalah yang muncul dari kata ―asing‖ tersebut ternyata merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji,

(20)

Masa Reformasi adalah masa setelah runtuhnya pemerintahan masa Orde Baru yang ditandai dengan mundurnya Soeharto dari jabatan Presiden Republik Indonesia pada 21 mei 1998. Sebelumnya telah terjadi berbagai gejolak dan kerusuhan di daerah-daerah Indonesia. Awal dari kerusuhan dapat dilihat dari adanya kebijaksanaan pembangunan yang walaupun meningkatkan perekonomian, tetapi juga meningkatkan perkembangan isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) di Indonesia, sedangkan isu provokasi dalam hal ini hanya berperan sebagai pendorong agar kerusuhan timbul (Purnomo, 2001: 34). Kerusuhan Mei 1998 di DKI Jakarta mempunyai kaitan yang erat dengan isu SARA dan krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia, termasuk kerusuhan yang terjadi di Kota Surakarta. Saat itu di Surakarta juga terjadi kerusuhan yang tidak kalah besar dengan kerusuhan yang terjadi di DKI Jakarta yang berpengaruh pada kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan politik pemerintahan masyarakat setempat, termasuk kondisi masyarakat Laweyan.

(21)

representasi kebudayaan masyarakat Jawa—yang adiluhung, klasik, dan halus tidak mampu mencegah perilaku masyarakat bertindak brutal dengan melakukan amuk massa.

Pascakerusuhan yang terjadi pada tanggal 14-15 Mei 1998, Perekonomian Kota Surakarta menjadi semakin hancur karena hampir semua tempat yang biasa menjadi perputaran ekonomi hancur akibat amuk massa. Saputro (2009: 87) menjelaskan bahwa dengan tidak beroperasinya unit-unit usaha di Kota Surakarta pascakerusuhan semakin menjadikan kondisi perekonomian lumpuh total, para supplyer barang-barang kebutuhan sehari-hari belum berani memasok ke Kota Surakarta. Tidak hanya unit-unit usaha milik etnis Tionghoa, namun para pedagang di pasar tradisional pun belum berani keluar rumah untuk berjualan.

Brata (2006: 99) menjelaskan bahwa krisis yang terjadi di Indonesia tahun 1997-1998 diawali oleh merosotnya nilai rupiah terhadap US dollar, di mana 1 US dollar pernah setara dengan Rp 14.000. Padahal sebelum krisis itu terjadi nilai 1 US dollar biasanya setara dengan Rp 2.600 sampai Rp 2.900. Krisis yang membuat runyam perekonomian Indonesia ini karena fundamental ekonomi tidak dibangun, karena uang negara dikorupsi oleh penguasa.

(22)

reformis, terutama dalam bidang etos kerja dan bentuk pekerjaan. Tentu terjadi dinamika yang menarik di Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada saat terjadi krisis tahun 1997-1998, kemudian pada tahun-tahun berikutnya pun dinamika yang terjadi di wilayah tersebut usai krisis untuk kembali bangkit pun menarik untuk diteliti. Oleh sebab itu, maka Penulis mengambil judul ―Laweyan dalam Periode Krisis Ekonomi Hingga Menjadi Kawasan Wisata

Sentra Industri Batik Tahun 1998-2004 (Kajian Historis Dinamika Kehidupan Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta Pada Masa Reformasi 1998-2004)‖.

B.Perumusan Masalah

Berdasar latar belakang masalah, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kondisi secara umum kehidupan masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta?

2. Bagaimana dinamika kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada periode krisis ekonomi hingga menjadi kawasan wisata?

(23)

C.Tujuan

Sebuah penelitian akan efektif apabila sebelum penelitian berlangsung, penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas. Tujuan tersebut merupakan penunjuk arah penelitian agar tidak membias pada bidang lain. Sehubungan dengan ini maka berdasar perumusan masalah, tujuan yang hendak dicapai oleh Penulis dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kondisi secara umum kehidupan masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta.

2. Untuk mengetahui dinamika kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada periode krisis ekonomi hingga menjadi kawasan wisata.

3. Untuk mengetahui latar belakang penetapan Kampoeng Batik Laweyan Surakarta sebagai kawasan wisata sentra industri batik yang dikelola secara terpadu oleh forum masyarakat pada tahun 2004.

D.Manfaat

1. Memperkaya khasanah sejarah lokal dalam upaya melengkapi sejarah nasional.

(24)

3. Dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti–peneliti lain yang meneliti tentang kondisi kehidupan masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada masa Reformasi 1998-2004.

4. Memperkenalkan Kampoeng Batik Laweyan Surakarta sebagai salah satu kawasan wisata sentra industri batik sekaligus kawasan cagar budaya yang unik dan menarik, sehingga mampu menarik wisatawan, baik lokal maupun internasional.

5. Sebagai bahan pertimbangan dalam proses penyelesaian masalah akibat perubahan sosial dalam masyarakat di masa kini atau masa yang akan datang.

E.Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa buku dan hasil penelitian yang berkaitan dengan tema di atas. Salah satunya adalah penelitian skripsi yang berjudul ―Sejarah Perkembangan Industri Batik Tradisional di

(25)

Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa industri batik di Laweyan mengalami perkembangan yang sangat pesat, akan tetapi lambat laun mengalami kemunduran. Kemunduran industri batik tradisional di Laweyan, Surakarta disebabkan oleh banyak faktor. Pemerintah turut berperan dari kebijakan dan iklim yang diciptakannya, di samping adanya faktor penyebab yang lain, seperti: munculnya batik printing dan industri tekstil besar, menurunnya peran koperasi, bahan baku maupun tenaga kerja.

Daerah Laweyan, Surakarta, merupakan salah satu pusat perbatikan, di daerah tersebut industri batik tradisional tumbuh menjadi industri kerajinan rakyat yang semakin pesat. Mayoritas masyarakat Laweyan bekerja dibidang perbatikan. Pada awalnya pekerjaan membatik masih dilakukan dengan cara tradisional, tetapi lambat laun mengalami perubahan menjadi semakin maju. Dalam kurun waktu tahun 1950-1960-an industri batik tradisional mengalami perkembangan yang pesat, akan tetapi pada tahun-tahun berikutnya semakin menunjukkan gejala kemunduran.

(26)

Kemudian pada Penelitian Baidi (2006) yang berjudul ―Pertumbuhan Pengusaha Batik Laweyan Surakarta: Suatu Studi Sejarah Sosial Ekonomi‖

menunjukkan hasil sebagai berikut: Pertama,sesungguhnya apa yang terjadi didalam pertumbuhan ekonomi pengusaha batik di Laweyan pada awal abad 20, adalah keunikan dalam sejarah daerah itu. Agama Islam tidak dapat berkembang secara baik di sana ketika pertumbuhan ekonomi Laweyan mengalami pasang naik. Bahkan para pedagang Cina di Solo sebelum bangkit Serikat Islam memandang perlu menjalin hubungan dengan saudagar-saudagar Laweyan. Kedua, dengan mempertimbangkanbegitu besar peranan pengusaha Laweyan dalam menumbuhkan sektor ekonomi kota maka kehadiran mereka dalam masyarakat Solo, tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, trikhotomi Geertz, dalam melihat masyarakat Jawa atas pembagian abangan, santri dan priyayi dirasakan tidak cocok,terutama dalam masyarakat Solo. Sekiranya bila masih bisa disesuaikan dengan masyarakat di kota itu adalah, trikhotomi sosial berdasarkan struktur kelas: priyayi, pedagang/pengusaha dan wong cilik. Sementara abangan dan santri, adalah dikhotomi yang seharusnya terpisah dari pembagian di atas,karena klasifikasinya berdasarkan agama. Ketiga, dengan mempertimbangkan perubahan arus modernisasi yang begitu cepat menguasai kota Solo, lewat berbagai media, tak pelak lagi Laweyan masih akan menghadapi masalah tentang identitasnya.

(27)

masyarakat di dalamnya. Kemudian kelompok tersebut mengikuti perkembangan zaman dan mengalami perubahan. Dalam perubahan tersebut, masyarakat Laweyan masih tetap menghadapi masalah tentang identitasnya. Hasil penelitian ini relevan dengan skripsi yang Penulis ajukan untuk membahas dinamika kehidupan masyarakat Laweyan pada masa reformasi 1998-2004. Tentu saja dinamika yang terjadi pada masa tersebut tidak akan lepas dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu.

Berdasarkan buku yang berjudul ―Budaya dan Masyarakat‖ yang ditulis

oleh Kuntowijoyo (2006). Buku tersebut secara umum menjelaskan soal perubahan kehidupan masyarakat beserta kebudayaannya seiring perkembangan zaman. Buku ini merupakan pengembaraan intelektual Kuntowijoyo selama enam tahun dalam kapasitasnya sebagai sejarawan dan budayawan yang sangat intens dalam mengamati masyarakat.

(28)

budaya sebenarnya penuh dengan kompleksitas yang tidak mudah dipahami secara sekilas. Analisa budaya seharusnya mencoba untuk melakukan pendekatan berbagai disiplin ilmu supaya dapat menjelaskan gejala-gejala budaya.

Buku ini sebenarnya mengantarkan pembaca ke dalam persoalan-persoalan budaya dan hubungannya dengan masyarakat. Dalam buku ini banyak ditekankan beberapa hal tentang pembentukan budaya, perubahan, dan perbenturan budaya. Kuntowijoyo (2006: 12) menyebutkan bahwa Industrialisasi awal rupanya menggoncangkan masyarakat dan kebudayaan. Hal tersebut seperti yang terjadi di Kampoeng Batik Laweyan Surakarta, dalam perkembangannya, daerah ini mengalami berbagai dinamika kehidupan masyarakat beserta perubahan kebudayaannya.

(29)

Hal ini menunjukkan bahwa dalam perkembangan suatu masyarakat yang mengakibatkan perubahan kebudayaan dapat mengakibatkan perubahan pada sendi-sendi lain kehidupan masyarakat.

Buku Budaya dan Masyarakat ini juga mengkaji perubahan kebudayaan dalam suatu analisa sosial. Di dalamnya membahas mengenai perubahan sosiokultiral. Seperti dikatakan Kuntowijoyo (2006: 33) bahwa dengan meluasnya birokrasi kolonial, tumbuhlah satu golongan baru dalam masyarakat, yaitu golongan priyayi. Golongan ini sudah lepas dari ikatan keraton, karena subordinasi mereka tidak lagi kepada raja tetapi kepada pemerintah kolonial. Ini seperti yang terjadi di Laweyan, di sana juga terdapat beberapa kelompok sosial masyarakat, termasuk priyayi yang merupakan golongan pejabat publik pemerintahan.

(30)

Pada salah satu bagian buku ini dijelaskan mengenai Perbenturan Nilai dalam Proses Perubahan Sosial. Menurut Emile Durkheim (dalam Kuntowijoyo, 2006: 109) lembaga-lembaga sosial sebagai hasil perkembangan wajar dari masyarakat dan karena itu harus diberi tempat yang kukuh, mengajukan konsep tentang anomie. Durkheim menambahkan anomie tersebut akan terjadi bila pembagian kerja tidak menghasilkan solidaritas, yaitu jika hubungan antara organ-organ tidak menuntut aturan.

Dalam proses perubahan sosial tentu terjadi pebenturan nilai-nilai dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena nilai-nilai pun turut mengalami perubahan seiring perubahan sosial yang terjadi. Dalam Kasus Yogyakarta, sebagai salah satu kota di Jawa, Kuntowijoyo menjelaskan ada beberapa gejala-gejala terasingan akibat pergeseran nilai dalam proses perubahan sosial, seperti pada hal teknologi, pasar tradisional dan pasar modern, jimat, protes pemuda, dan lain-lain. Pergeseran nilai tersebut dapat berdampak positif atau pun negatif dalam perkembangan kehidupan masyarakat.

Secara singkat, buku ini membahas pengalaman masyarakat dalam masa transisi menuju masayarakat industri—dengan mengganti barbagai atribut dari masyarakat tradisional agraris menuju suatu masyarakat yang bertatanan baru sama sekali. Di sini dipaparkan berbagai faktor pendukung dan kendala, dan dalam batas-batas tertentu dibicarakan pula perbandingan sejarah perkembangan masyarakat yang kini tergolong maju.

Buku ―Budaya dan Mayarakat‖ sangat relevan dengan tema penelitian

(31)

kehidupan masyarakat. Perubahan kebudayaan selalu mengakibatkan perubahan pada bidang-bidang kehidupan lain dalam masyarakat. Penelitian ini pun akan membahas mengenai perubahan kebudayaan berikut perubahan-perubahan lain yang mengikuti pada masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada masa reformasi 1998-2004. Adanya dinamika kehidupan masyarakat pada kurun waktu tersebut tentu saja mengakibatkan suatu perubahan, dan buku Budaya dan Masyarakat ini dapat menunjang beberapa informasi dan teori-teori penting terkait dinamika tersebut.

Buku selanjutnya adalah buku yang berjudul ―Sosiologi Perubahan Sosial‖ karya Piotr Sztompka (2008). Buku ini banyak membahas mengenai

perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat dengan tujuan menyediakan peralatan intelektual dasar untuk menganalisis, menafsirkan, dan memahami perubahan sosial tersebut, terutama pada skala historis atau teori sosiologi makro. Peralatan intelektual ini sebenarnya dapat dicari di tiga bidang, yaitu (1) di dalam pemikiran berdasarkan akal sehat (common sense), (2) di dalam filsafat sosial dan politik, (3) di dalam ilmu sosial.

Penelitian skripsi ini adalah untuk mengkaji secara historis dinamika kehidupan dalam suatu masyarakat, yaitu masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dinamika diartikan sebagai ―gerak‖, sedangkan dinamika sosial adalah gerak masyarakat

(32)

dinamika adalah suatu kajian terhadap perubahan sosial pada suatu masyarakat dalam kurun waktu tertentu di masa lalu.

Ada beberapa definisi perubahan sosial, salah satunya adalah definisi menurut Macionis (1987), yang mengatakan bahwa ―perubahan sosial adalah

transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir dan dalam

perilaku pada waktu tertentu.‖ Sedangkan menurut Farley (1990), ―perubahan sosial adalah perubahan pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur

sosial pada waktu tertentu.

Pendapat lain diungkapkan oleh Persell (1987), yang menjelaskan bahwa ―perubahan sosial adalah modifikasi atau transformasi dalam

pengorganisasian masyarakat.‖ Lalu Ritzer (1987) mengatakan bahwa

perubahan sosial mengacu pada variasi hubungan antarindividu, kelompok,

organisasi, kultur dan masyarakat pada waktu tertentu.

Bagi Toynbee (1963), mempelajari kehidupan manusia di saat tertentu jelas lebih bermanfaat, kerana lebih realistis, ketimbang mempelajarinya dengan membayangkan berada dalam keadaan diam. Membayangkan bahwa objek tertentu selalu mengalami perubahan akan mengubah pemikiran selanjutnya. Masyarakat tak lagi dipandang sebagai sebuah sistem yang kaku atau ―keras‖ melainkan dipandang sebagai antarhubungan yang ―lunak‖.

(33)

terbesar buku ini menyajikan dan menjelaskan teori sosiologi tentang perubahan. Argumentasinya sebagian besar tetap berada pada tingkat konsepsi dan wawasan. Fakta historis kongkret hanya dimasukkan sejauh menyediakan ilustrasi bagi konsep, model dan teori perubahan sosial tertentu. Karena itu pembaca akan mampu mempelajari secara tak langsung mengenai masyarakat kontemporer atau masyarakat masa lalu, hanya dengan menemukan fakta dan datanya.

Bagian awal buku ini banyak membahas mengenai konsep-konsep fundamental dalam perubahan sosial. Kemudian dalam salah satu bagian pada buku ini dibahas pula mengenai asal tradisi sejarah. Bagian ini membahas kaitan ke belakang, yakni kaitan antara keadaan masyarakat kini dan sejarah sebelumnya. Tradisi sejarah terbentuk sebab masyarakat selalu berproses. Menurut Edward Shils (dalam Sztompka, 2008: 65) masyarakat adalah fenomena antarwaktu. Masyarakat terjelma bukan karena keberadaannya di satu saat dalam perjalanan waktu. tetapi ia hanya ada melalui waktu. Ia adalah jelmaan waktu.

Berbicara mengenai tradisi, buku ini menjelaskan bahwa hubungan antara masa lalu dan masa kini haruslah lebih dekat. Tradisi mencakup kelangsungan masa lalu di masa kini ketimbang sekadar menunjukkan fakta bahwa masa kini berasal dari masa lalu. Kelangsungan masa lalu di masa kini mempunyai dua bentuk: material dan gagasan, atau objektif dan subjektif.

(34)

masih ada kini, belum dihancurkan, dirusak, dibuang, atau dilupakan (Sztompka, 2008: 69-70). Tradisi muncul melalui dua cara. Cara pertama, muncul dari bawah melalui mekanisme kemunculan secara spontan dan tak diharapkan serta melibatkan rakyat banyak. Cara kedua, muncul dari atas melalui mekanisme paksaan.

Sejarah merupakan produk manusia. Sejak awal sejarah, menurut Sztompka (2008: 223) manusia telah berupaya memikirkan penyebab utama kejadian, motor penggerak fenomena dan proses, dan kekuatan yang bertanggungjawab atas nasib mereka sendiri. Pemikiran inilah yang dimaksud di sini sebagai faktor yang melandasi dan mendorong dinamika sosial dan yang menyebabkan transformasi masyarakat.

Buku ―Sosiologi Perubahan Sosial‖ ini sangat relevan dengan penelitian

skripsi yang Penulis ajukan. Buku ini dapat memberikan informasi mengenai teori-teori dan konsep terkait perubahan sosial. Penelitian skripsi Penulis pun secara umum akan membahas mengenai perubahan sosial dalam suatu masyarakat, yakni masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada masa reformasi tahun 1998-2004. Buku ini dapat Penulis jadikan sebagai acuan untuk membarikan pembatasan-pembatasan dalam penulisan hasil penelitian terkait perubahan sosial.

Kemudian, pada buku yang berjudul ―Perubahan Sosial di Yogyakarta‖

(35)

Dalam buku ini dijelaskan perubahan-perubahan sosial di DIY sejak akhir zaman kolonial Belanda, zaman pendudukan Jepang, revolusi nasional untuk kemerdekaan, dan zaman nation and character building sampai tahun 1958 di mana penulis buku ini tengah melakukan penelitian kualitatif di DIY.

Dalam kurun waktu yang tak sedikit tersebut, kurang lebih 20 tahun, perubahan-perubahan sosial yang terjadi amat banyak dan meliputi hampir semua bidang kehidupan masyarakat. Perubahan-perubahan tersebut diawali pada tingkat pemerintahan nasional, akan tetapi dengan cepat menimbulkan perubahan-perubahan pada pemerintahan dan masyarakat di DIY dan daerah-daerah lain.

Menurut Soemardjan (1986) dalam kehidupan bermasyarakat lebih banyak terjadi perubahan yang bersifat unintended change atau perubahan yang tidak disengaja. Kemudian, karena tidak disengaja tersebut maka acapkali perubahan-perubahan itu juga tidak dapat diduga lebih dahulu, sehingga banyak perubahan sosial yang membingungkan masyarakat, bahkan ditentang oleh banyak orang. Setiap perubahan sosial pada pokoknya mengikuti proses integrasi disusul dengan disintegrasi dan kemudian reintegrasi.

(36)

perusahaan-perusahaan asing beserta masalah sosial suatu perubahan ekonomi. Kemudian, adanya pendidikan dalam masyarakat pun juga menimbulkan perubahan sosial.

Relevansi buku ―Perubahan Sosial di Yogyakarta‖ ini terhadap penulisan

skripsi ini adalah sama-sama akan dibahas perubahan sosial yang terjadi akibat pergantian pemerintah. Dalam penelitian skripsi ini akan mulai dibahas perubahan sosial dalam dinamika kehidupan masyarakat mulai masa perubahan pemerintahan pemerintahan dari orde baru ke masa reformasi.

Buku selanjutnya yang Penulis gunakan adalah buku yang masih berkaitan dengan perubahan di DIY. Meski demikian, DIY dan Surakarta adalah daerah yang acapkali disebut sebagai saudara kembar. Sehingga tidak jauh berbeda dalam corak perubahan kehidupan masyarakatnya. Buku tersebut berjudul ―Perubahan Pola Kehidupan Masyarakat Akibat Pertumbuhan Industri

(37)

relatif kompleks, baik dalam pola tingkah laku, pranata maupun sistem budaya mereka.

Sistematika buku ini memiliki relevansi untuk dijadikan sebagai acuan dalam penulisan skripsi ini. Pada Bab II buku ini diuraikan mengenai gambaran umum daerah penelitian, yang menguraikan secara rinci terkait daerah penelitian tersebut. Sedangkan isi buku ini pun banyak membahas tentang perubahan sosial akibat pertumbuhan industri, hal ini juga relevan dengan penulisan skrispsi, sebab dalam skripsi ini juga akan dibahas mengenai pertumbuhan industri-industri batik di Kampoeng Batik Laweyan Surakarta beserta pengaruhnya terhadap perubahan masyarakatnya.

Buku berikutnya berjudul Perubahan Sosial dan Pendidikan, karya H.A.R. Tilaar (2002). Buku ini banyak membahas soal perubahan sosial dalam masyarakat yang diakibatkan oleh pendidikan. Tilaar (2002) menyadari bahwa krisis masyarakat Indonesia yang dimulai dengan krisis finansial dan ekonomi tahun 1997 telah melahirkan krisis total kehidupan masyarakat Indonesia. Krisis total tersebut merupakan suatu krisis kemanusiaan yang juga berarti krisis pendidikan. Pendidikan memang merupakan bagian dari perubahan sosial.

(38)

masyarakat Indonesia. Ketika masyarakat Indonesia tenggelam di dalam krisis total, dunia sekitar terus-menerus berubah.

Buku ini sebenarnya merupakan suatu pengantar, untuk mengembangkan suatu pedagogik dalam perspektif baru. Pembahasan ini pun tidak terlepas dari kehidupan masyarakat yang telah mengalami banyak perubahan. Terutama perubahan akibat krisis yang telah melanda Indonesia. Sehingga buku ini sangat relevan dengan penulisan skripsi yang penulis ajukan. Dalam penulisan skripsi tersebut Penulis juga membahas suatu dinamika kehidupan masyarakat pada masa pascakrisis, dan tentu saja pendidikan juga menjadi salah satu aspek yang dapat diangkat sebagai salah satu faktor pendukung penyebab perubahan masyarakat.

Buku lain yang digunakan dalam tinjauan pustaka ini adalah ―Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa‖ yang ditulis Clifford

(39)

mencakup orang kebanyakan yang ditarik ke dalam birokrasi akibat persediaan aristokrasi yang asli sudah habis.

Orientasi priyayi dan abangan, dari segi isi budaya, untuk sebagian hanya merupakan versi halus dan kasar dari masing-masing, keduanya diorganisasikan di sekitar tipe struktur sosial yang agak berbeda serta mengungkap jenis-jenis nilai yang sangat berbeda.

Di sini dijelaskan bahwa antara abangan dan priyayi terdapat berbagai perbedaan tipe struktur sosial. Begitu pula dengan santri. Sehingga relevansi buku ini dengan penelitian skripsi yang Penulis ajukan terletak pada hubungan antargolongan yang sama-sama menjadi pembahasan. Dalam buku ini diuraikan mengenai abangan, santri dan priyayi. Mereka memiliki aturan masing-masing dalam menjalani kehidupan. Dalam penelitian ini juga akan dibahas mengenai hubungan beberapa antarkelompok sosial yang berada di Laweyan. Tentu saja mereka juga memiliki aturan masing-masing dalam menjalani kehidupan bermasayarakat. Sehingga buku ini dapat digunakan sebagai acuan penelitian.

F. Ruang Lingkup

Dalam penyusunan penelitian skripsi ini perlu adanya pembatasan wilayah penelitian yang disebut scope spatial dan lingkup waktu yang disebut

(40)

Laweyan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Kampung ini memiliki identitas sebagai kampung saudagar. Karakteristik kampung ini tampak berbeda dengan kampung-kampung lainnya yang ada di Surakarta. Masyarakat Surakarta menyebut komunitas Laweyan sebagai kampung dagang dengan masyarakat yang masih memiliki semangat dagang yang cukup baik, dengan profesi mayoritas sebagai pedagang batik. Bentuk mata pencaharian yang mereka miliki berada di luar kebiasaan masyarakat feodal, yang pada umumnya bekerja dalam lapangan pertanian atau pegawai birokrat keraton.

Untuk scope temporal atau lingkup waktu, berkaitan dengan pembatasan waktu yang dibuat. Kurun waktu dalam penelitian ini adalah tahun 1998-2004. Tahun 1998 merupakan tahun berakhirnya masa Orde Baru dan berganti menjadi masa Reformasi yang ditandai dengan adanya krisis ekonomi sejak tahun 1997 yang menimpa Indonesia hingga lengsernya Soeharto dari posisi Presiden Republik Indonesia setelah berkuasa selama 32 tahun. Pada tahun tersebut di Indonesia, termasuk di Kota Surakarta, terjadi kerusuhan yang amat besar yang menyebabkan kondisi perekonomian di berbagai daerah tidak stabil. Kondisi itu tentu saja menciptakan suatu dinamika dalam kehidupan masyarakat pada Kampoeng Batik Laweyan Surakarta yang telah tumbuh sebagai kampung saudagar batik sejak lama.

(41)

sebagai pengelola kampung tersebut, dan kawasan tersebut mulai dikenal dengan sebutan Kampoeng Batik Laweyan Surakarta. Sehingga antara tahun 1998-2004 terjadi suatu dinamika yang sangat unik untuk dikaji. Dimulai dari masa di mana keadaan tengah kacau karena terjadi kerusuhan di mana-mana, dan dalam kondisi krisis ekonomi, hingga pada masa di mana Kampoeng Batik Laweyan Surakarta kembali bangkit dengan mendeklarasikan diri sebagai kawasan wisata sentra industri batik, dan pada masa tersebut kondisi perekonomian masyarakat Laweyan berangsur-angsur kembali pulih pascakrisis moneter, tentu dinamika tersebut tak lepas dari peranan perubahan kehidupan masyarakat di dalamnya.

Adapun judul ―Laweyan dalam Periode Krisis Ekonomi Hingga Menjadi

Kawasan Wisata Sentra Industri Batik Tahun 1998-2004‖ tersebut merupakan pengembangan dari tematikal tentang ―Dinamika Kehidupan Masyarakat

Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada Masa Reformasi 1998-2004‖. Penulis ingin mengetahui berbagai gerakan kehidupan yang menyebabkan perubahan dalam masyarakat yang terjadi pada tahun 1998 hingga 2004 di Kampoeng Batik Laweyan Surakarta. Perubahan-perubahan sosial, ekonomi, dan budaya, seperti apa yang di hasilkan oleh masyarakat yang selalu berproses tersebut.

G.Metode Penelitian

(42)

secara historis rekaman peninggalan masa lampau. Metode historis, menurut Wiyono (1900: 2) juga dapat diartikan sebagai suatu kumpulan yang sistematis dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang dimaksudkan untuk membantu dengan secara efektif dalam pengumpulan bahan-bahan sumber dari sejarah, dalam menilai atau mengkaji sumber-sumber itu secara kritis dan menyajikan suatu hasil sintesis dari hasil-hasil yang dicapai. Dengan menggunakan metode sejarah, diusahakan merekonstruksi peristiwa-peristiwa masa lampau kemudian menyampaikan rekonstruksi sesuai dengan jejak-jejak masa lampau. Rekonstruksi dalam sejarah harus disusun secara sistematis dan objektif dengan mengumpulkan, menilai, memverifikasi dan mensintesiskan bukti-bukti untuk menetapkan fakta dan mencapai kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam pelaksanaan metode historis, terdapat empat tahapan yang dilakukan oleh Peneliti, yaitu tahap heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Sebelum masuk ke dalam empat tahapan metode historis, Peneliti telah terlebih dahulu menentukan topik penelitian.

a. Heuristik

(43)

1) Menentukan tempat penelitian.

Tempat yang digunakan dalam penelitian ini adalah di kawasan sentra industri batik Kampoeng Batik Laweyan Surakarta, Jawa Tengah. 2) Menentukan jenis data yang diperlukan, meliputi:

(44)

b. Data informasi lisan, yaitu data yang berupa informasi dari para informan yang diperoleh melalui proses wawancara. Dalam penelitian ini Peneliti telah berhasil mewawancarai beberapa narasumber, seperti anggota masyarakat Laweyan, pengusaha batik Laweyan, Kepala Desa Laweyan, dan pengurus FPKBL. Narasumber-narasumber tersebut telah merepresentasikan topik penelitian ini, sebab mereka adalah subjek yang berhubungan langsung dengan dinamika kehidupan masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta.

c. Data artefak, yaitu pengumpulan data yang berupa benda peninggalan masa lampau. Peneliti telah mengamati beberapa artefak dari masa lampau yang terdapat di Laweyan, seperti kondisi bangunannya yang telah berusia tua, bungker, dan makam-makam kuno.

Kemudian, dari langkah-langkah di atas diperoleh sumber sejarah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

a. Sumber Primer

(45)

menjadi pelaku sekaligus saksi sejarah. Sumber primer yang diperoleh tidak diterima mentah (diambil apa adanya) tetapi juga melalui prosedur kritik sumber yang telah ditentukan sebagai alat analisis dalam ilmu sejarah.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah kesaksian dari siapa pun yang bukan merupakan saksi pandangan mata dari seseorang yang tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkan. Dalam penelitian ini Peneliti memperoleh sumber dari hasil wawancara dengan Yuyuk Yuniman (54 tahun), penelitian, dan arsip yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Dalam usaha untuk mencari dan mengumpulkan data yang dibutuhkan maka penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut, a) Teknik Lisan

(46)

penelitian dan masyarakat yang banyak memberikan penerangan atau keterangan. Hasilnya berupa sumber lisan yang dapat dilanjutkan menjadi sejarah lisan. Menurut Kuntowijoyo (2003: 26-27) Sejarah lisan sebagai metode dapat dipergunakan secara tunggal dan dapat pula sebagai bahan dokumenter. Sebagai metode tunggal, sejarah lisan tidak kurang pentingnya jika dilakukan dengan cermat. Banyak sekali permasalahan sejarah, bahkan dalam zaman modern ini yang tidak tertangkap dalam dokumen-dokumen. Dokumen hanya menjadi saksi dari kejadian-kejadian penting menurut kepentingan pembuat dokumen dan zamannya, tetapi tidak melestarikan kejadian-kejadian individual dan yang unik yang dialami oleh seseorang atau segolongan.

b) Teknik Studi Kepustakaan

(47)

b. Kritik Sumber

Kritik sumber sejarah adalah upaya untuk mendapatkan otentisitas dan kredibilitas sumber (Pranoto, 2010: 35). Ada dua langkah yang harus ditempuh untuk membuktikan validitas sumber, yaitu (1) Mengadakan kritik intern yang bertujuan untuk mencari kebenaran isinya, dan (2) Mengadakan kritik ekstern yang bertujuan untuk membuktikan keaslian dan kebenaran suatu sumber.

Kritik sumber, menurut Wiyono (1990: 2) merupakan tahap penilaian atau pengujian terhadap bahan-bahan sumber yang telah penulis peroleh dari sudut pandang kebenarannya. Kritik atau analisa merupakan cara untuk menilai sumber atau bahan yang memberikan informasi dapat dipercaya atau tidak, apakah dokumen atau bahan itu dapat dipertanggungjawabkan keasliannya (keautentikannya) atau tidak.

(48)

perlu juga diketahui situasi, baik di dalam memberikan keterangan, bagaimana kemampuan serta daya ingat dan juga bagaimana tingkah laku informan dalam keseharian.

Dalam menentukan kriteria asli maupun tidaknya sumber tersebut di lapangan adalah diperoleh dari seorang informan yang lainnya mengenai suatu peristiwa yang sama. Sebab kadangkala informasi yang diberikan oleh informan yang satu dengan informan yang lainnya tidak sama. Dalam hal ini perlu dicari terlebih dahulu persamaan persepsi dan informasi. Selanjutnya dibandingkan dengan sumber tertulis yang ada.

Dalam hal ini, kritik sumber dilakukan kepada (1) pemilihan informan yang memberikan keterangan mengenai dinamika kehidupan masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada masa Reformasi 1998-2004. Keadaan informan juga perlu diperhatikan dan dipertimbangkan, (2) data atau sumber tertulis yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini. Adapun cara melakukan kritik dalam penelitian ini adalah membandingkan antar data dokumen yang berhasil dikumpulkan, dan membandingkan data hasil wawancara antar informan, serta membandingkan antara data dokumen dengan data hasil wawancara.

c. Interpretasi

(49)

setelah terkumpul sejumlah informasi mengenai peristiwa sejarah yang sedang diteliti. Suatu peristiwa sejarah agar dapat menjadi kisah sejarah yang baik maka perlu diinterpretasikan (disintesiskan). Berbagai fakta yang lepas satu sama lain itu harus dirangkaikan dan dihubung-hubungkan sehingga menjadi suatu kesatuan yang bermakna.

Menurut Widja (1989: 25) interpretasi adalah usaha untuk mewujudkan rangkaian bermakna dari fakta-fakta sejarah. Fakta-fakta yang telah diwujudkan perlu dihubung-hubungkan dan dikait-kaitkan satu sama lain sedemikian rupa sehingga antara fakta satu dengan fakta lainnya kelihatan sebagai suatu rangkaian yang masuk akal, dalam arti menunjukkan kecocokan satu sama lainnya.

Pada umumnya proses interpretasi meliputi hal-hal sebagai berikut: (1) seleksi fakta yang memilih fakta-fakta yang relevan dengan kepentingan penelitian tersebut, (2) periodisasi, yaitu penyusunan fakta sesuai dengan urutan waktu terjadinya.

d. Historiografi

(50)

Historiografi atau penulisan sejarah merupakan tahap akhir dari metode sejarah. Hasil penafsiran atau interpretasi atas fakta-fakta sejarah yang telah dilakukan kemudian dituliskan menjadi suatu kisah yang selaras.

H.Sistematika Penulisan Skripsi

Sistematika penulisan skripsi berjudul ―Laweyan Dalam Periode Krisis

Ekonomi Hingga Menjadi Kawasan Wisata Sentra Industri Batik Tahun 1998-2004‖ adalah sebagai berikut,

BAB I PENDAHULUAN, yang berisi Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan, Manfaat, Kajian Pustaka, Ruang Lingkup, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan Skripsi. BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KAMPOENG BATIK

LAWEYAN SURAKARTA, yang berisi Kondisi Geografis, Kondisi Demografi, Sejarah Singkat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta serta Kondisi Sosial, Ekonomi, Budaya, dan Politik Pemerintahan Masyarakat.

BAB III DINAMIKA KEHIDUPAN MASYARAKAT KAMPOENG

(51)

pascakrisis, Kehidupan Masyarakat pascakrisis, Hubungan antarkelompok sosial di Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada masa Reformasi 1998-2004.

(52)

133

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A.Simpulan

1. Kondisi umum kehidupan masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta dapat diketahui dengan menjabarkannya ke dalam beberapa pembahasan. Secara geografis kawasan Kampoeng Batik Laweyan masuk dalam pemerintahan Kelurahan Laweyan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta. Dalam sejarah, kawasan Laweyan telah ada sejak abad 15 M pada masa Kerajaan Pajang. Sejak saat itu, Laweyan sudah terkenal dengan sentra perdagangan lawe (kain bahan pakaian), dan pada awal abad 20 kawasan Laweyan mengalami perkembangan pesat sebagai sentra perdagangan batik. Hal tersebut membuat mayoritas masyarakat Laweyan berprofesi sebagai pedagang batik. Dalam kehidupan sosial, masyarakat Laweyan dikenal tertutup. Mereka juga memiliki kelompok-kelompok sosial seperti golongan juragan (pedagang), wong cilik (rakyat biasa), wong mutihan

(53)
(54)
(55)

B.Saran

1. Keberadaan Kampoeng Batik Laweyan saat ini sudah semakin bagus, sehingga sangat cocok bagi masyarakat luas yang ingin melakukan wisata. Dengan mengunjungi Kampoeng Batik Laweyan, selain dapat meningkatkan kesejahteraan kawasan tersebut juga dapat menambah wawasan masyarakat terkait nilai-nilai warisan sejarah dan budaya.

2. Masih banyak hal yang dapat dieksplor untuk mengembangkan kawasan Kampoeng Batik Laweyan, sehingga bagi Pemerintah diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan Kampoeng Batik Laweyan dengan melakukan sosialisasi sebagai upaya meningkatkan kesadaran masyarakat Laweyan atas kawasan tempat tinggal mereka yang kini telah menjadi kawasan wisata, sehingga masyarakat dapat turut serta dalam berbagai hal yang mendukung perkembangan Laweyan sebagai kawasan wisata.

3. Masyarakat Laweyan diharapkan semakin peduli dan sadar terhadap keberadaan Laweyan sebagai kawasan wisata, sehingga jalan pemerintah untuk mengembangkan wisata Laweyan dapat berjalan lancar dengan adanya dukungan dari masyarakat setempat yang sebagian besar adalah ahli waris atas bangunan-bangunan tua di Laweyan.

(56)

137

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu.

Anonim. 2013. Sejarah Nilai Tukar Rupiah Dari Tahun Ke Tahun. http://berilmu.com/blog/sejarah-nilai-tukar-rupiah-dari-tahun-ke-tahun/ (Diunduh pada 11 Maret 2015 pukul 10.31 WIB).

Baidi. 2006. ―Pertumbuhan Pengusaha Batik Laweyan Surakarta (Suatu Studi Sejarah Sosial Ekonomi)‖. Dalam Jurnal Bahasa Dan Seni, Tahun 34, Nomor 2, Hal. 241-253. Surakarta: STAIN Surakarta.

BPS. 1998. Laporan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kotamadya Surakarta. Hlm. 30.

Brata, Nugroho Trisnu. 2006. Prahara Reformasi Mei 1998: Jejak-Jejak Kesaksian. Semarang: Titian Masa Pustaka bekerja sama dengan UPT UNNES Press.

Chrisnayani, Amelia Ari. 2009. ―Integrated Marketing Communication

(Komunikasi Pemasaran Terpadu) Kampoeng Batik Laweyan Surakarta‖.

Skripsi. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Esten, Mursal. 1999. Kajian Transformasi Budaya. Bandung: Penerbit Angkasa. FPKBL dan Pemerintah Kelurahan Laweyan. Buku Profil Kampoeng Laweyan.

Surakarta.

Geertz, Clifford. 2013. Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas Bambu.

Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah. Terjemahan Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press.

Koentjaraningrat. 2002. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

---. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

(57)

---. 2004. Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta, 1900-1915. Jogjakarta: Ombak.

---. 2006. Budaya dan Masyarakat, Edisi Paripurna. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kusuma, Mawar, dan Frans Sartono. 2013. ―Dari Kesultanan Pajang Ke Kampoeng Batik‖. Dalam Kompas. No. 042. Tahun ke 49. 11 Agustus. Hal. 13.

Kusumawardani, Fajar. 2006. ―Sejarah Perkembangan Industri Batik Tradisional di Laweyan Surakarta Tahun 1965-2000‖. Skripsi. Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

Nawawi, Hadari. 1990. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogjakarta: Gajah Mada University Press.

Ndraha, Taliziduhu. 2005. Teori Budaya Organisasi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Notosusanto, Nugroho. 1971. Norma-Norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sejarah. Jakarta: Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah ABRI. Pendit, Nyoman S. 2006. Ilmu Pariwisata: Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta: laweyan Kota Surakarta‖. Dalam Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Vol. 34, No. 2, Desember 2006, Hal. 93-105. Surabaya: Universitas Kristen Petra.

Priyatmono, Alpha Fabela. 2004. ―Studi Kecenderungan Perubahan Morfologi Kawasan di Kampung Laweyan Surakarta‖. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

(58)

Putra, Heddy Shri Ahimsa, dkk. 1990. Perubahan Pola Kehidupan Masyarakat Akibat Pertumbuhan Industri di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.

Putri, An Nuur Sakhaa Hazmitha. 2011. ―Saudagar Laweyan Abad XX (Peran dan Eksistensi dalam Membangun Perekonomian Muslim)‖. Skripsi. Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Rajiman. 1984. Sejarah Mataram Kartasura Sampai Surakarta Hadiningrat. Surakarta: Penerbit Krida.

Salim, Agus. Stratifikasi Etnik: Kajian Mikro Sosiologi Interaksi Etnis Jawa dan Cina. Yogyakarta: Kerjasama FIP dan Jurusan Sosiologi dan Antropologi FIS Unnes dengan Penerbit Tiara Wacana.

Santosa, Slamet. 2006. Dinamika Kelompok – Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara. Saputro, Handono. 2009. ―Kerusuhan Sosial di Surakarta Tahun 1998‖. Skripsi.

Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

Soedarmono. 2006. Mbok Mase: Pengusaha Batik di Laweyan Solo Awal Abad 20. Jakarta: Yayasan Warna Warni Indonesia.

Soemardjan, Selo. 1986. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sztompka, Piotr. 2008. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.

Tilaar, H.A.R. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: PT Grasindo.

Wasino. 2006. Wong Jawa dan Wong Cina: Liku-liku Hubungan Sosial Antara Etnis Tionghoa dengan Jawa di Solo Tahun 1911-1998. Semarang: Unnes Press.

Wawasan. 2004. Romantisme Kampung Saudagar Batik Solo. 8 Agustus. Hal. 7. Wicaksono, Bangkit Budi. 2013. ―Masyarakat Kampung Batik Laweyan Bangkit

(59)

Widja, I Gde. 1989. Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Perguruan Tinggi.

Wijayakusuma, H. M. Hembing. 2005. Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke. Jakarta: Pustaka Populer Obor.

Wiyono. 1990. Metode Penulisan Sejarah. Semarang: FPIPS Jurusan Sejarah IKIP Semarang.

(60)

141

(61)

LAMPIRAN 1

(62)
(63)

LAMPIRAN 2

DATA PERTUMBUHAN UNIT INDUSTRI BATIK LAWEYAN

(64)

47. Batik Satrio Luhur D Kecil

48. Batik Isti E Kecil

49. Batik Pratama A Menengah

50. Batik Tiga Negeri E Kecil

51. Batik Sidomulyo E Kecil

52. Laweyan HY E Kecil

Jumlah 22 32 33 34 52

Keterangan:

A. Industri batik (proses sampai dengan showroom) B. Industri batik (proses)

C. Industri batik (konveksi)

D. Industri batik (konveksi sampai dengan showroom) E. Showroom

F. Pedagang batik

(65)

LAMPIRAN 3

INDIKATOR KELUARGA SEJAHTERA

No. Kategori/Golongan Indikator

1. Keluarga Pra Sejahtera

Yaitu keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs) secara minimal, seperti kebutuhan akan pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan.

2. Keluarga Sejahtera I Yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan sosial psikologisnya

(soscio psychological needs), seperti kebutuhan ibadah,

makan protein hewani, pakaian, ruang untuk interaksi keluarga, dalam keadaan sehat, mempunyai penghasilan, bisa baca tulis latin dan keluarga berencana.

3. Keluarga Sejahtera II Yaitu keluarga-keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, juga telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan sosial psikologisnya, akan tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan pengembangannya (developmental needs) seperti kebutuhan untuk peningkatan agama, menabung, berinteraksi dalam keluarga, ikut melaksanakan kegiatan dalam masyarakat, dan mampu memperoleh informasi. 4. Keluarga Sejahtera III Yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh

kebutuhan dasar, kebutuhan sosial psikologis, dan kebutuhan pengembangannya, namun belum dapat memberikan sumbangan (kontribusi) yang maksimal terhadap masyarakat, seperti secara teratur (waktu tertentu) memberikan sumbangan dalam bentuk material dan keuangan untuk kepentingan sosial kemasyarakatan serta berperan serta secara aktif dengan menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan atau yayasan-yayasan sosial, keagamaan, kesenian, olahraga, pendidikan, dan sebagainya.

5. Keluarga Sejahtera III Plus

Yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhannya, baik yang bersifat dasar, sosial psikologis, maupun yang bersifat pengembangan serta telah dapat pula memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat.

(66)

LAMPIRAN 4

STRUKTUR KEPENGURUSAN FORUM PENGEMBANGAN KAMPOENG BATIK LAWEYAN (FPKBL)

(67)

LAMPIRAN 5

RATA-RATA HARGA 9 BAHAN POKOK DI SURAKARTA TAHUN 1997

(68)

LAMPIRAN 6

(69)

LAMPIRAN 7

(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)

LAMPIRAN 8

PEDOMAN WAWANCARA

A. Untuk mengetahui gambaran umum Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada masa

Reformasi 1998-2004.

Narasumber: Pejabat pemerintahan (Perangkat desa: Lurah), Orang yang dituakan.

Pertanyaan:

1. Bagaimana kondisi geografis Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada tahun

1998-2004? (meliputi: luas wilayah, batas wilayah, dll).

2. Berapa jumlah warga Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada tahun 1998-2004?

(beserta data tingkat pendidikan, pekerjaan, kelahiran, kematian, dll).

3. Bagaimana kondisi umum kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik pemerintahan

masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta?

4. Bagaimana kondisi umum kehidupan sosial masyarakat Kampoeng Batik Laweyan

Surakarta? Bagaimana hubungan antarkelompok dan hubungan antara masyarakat

Laweyan dengan lingkungan sekitar?

5. Bagaimana kondisi umum kehidupan ekonomi masyarakat Kampoeng Batik Laweyan

Surakarta? Bagaimana pertumbuhan pengusaha batik? Bagaimana kondisi produksi dan

penjualan batik?

6. Bagaimana kondisi umum kehidupan budaya masyarakat Kampoeng Batik Laweyan

Surakarta?

7. Bagaimana kondisi umum kehidupan politik pemerintahan masyarakat Kampoeng Batik

Laweyan Surakarta?

8. Bagaimana kondisi bangunan Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada tahun

1998-2004?

B. Untuk mengetahui dinamika kehidupan masyarakat Kampoeng Batik Laweyan

Surakarta pada masa Reformasi 1998-2004.

Narasumber: Orang yang dituakan, Pengusaha batik, Anggota FPKBL, masyarakat Laweyan.

B.1. Kondisi Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada saat Krisis Ekonomi.

Pertanyaan:

1. Bagaimana kondisi ekonomi masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada masa

krisis ekonomi tahun 1997?

2. Bagaimana produksi dan penjualan batik pada masa krisis?

3. Bagaimana kondisi bangunan fisik Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada masa

(79)

4. Bagaimana masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta menyikapi (menghadapi)

kondisi krisis ekonomi pada 1997?

5. Bagaimana kondisi sosial, budaya, dan politik pemerintahan masyarakat Kampoeng Batik

Laweyan Surakarta pada masa krisis?

6. Perubahan apa yang terjadi terhadap kehidupan masyarakat Kampoeng Batik Laweyan

Surakarta akibat dampak krisis ekonomi?

7. Bagaimana keterlibatan masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta dalam

kerusuhan pada saat krisis?

8. Bagaimana kondisi pemerintahan Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada masa krisis?

B.2. Pengaruh Krisis Ekonomi terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya pada Masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta; Kehidupan masyarakat pascakrisis; Hubungan antarkelompok sosial pada masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada masa Reformasi 1998-2004.

Pertanyaan:

1. Bagaiamana kehidupan masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada masa awal

Reformasi tahun 1998?

2. Apakah terjadi perubahan signifikan yang terjadi di Kampung Batik Laweyan Surakarta

pada masa sebelum dan sesudah terjadinya kerusuhan di Surakarta tahun 1998?

3. Perubahan-perubahan dalam hal apa saja dan seperti apa yang terjadi akibat adanya

kerusuhan di Surakarta tahun 1998?

4. Bagaimana hubungan antarkelompok sosial di Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada

masa awal reformasi 1998 hingga tahun 2004?

5. Apakah ada pertemuan-pertemuan khusus antarkelompok sosial untuk membahas suatu

hal?

6. Apakah pernah terjadi pertentangan di antara kelompok-kelompok sosial tersebut?

Biasanya pertentangan disebabkan oleh apa? Lalu bagaimana cara menanggulanginya?

7. Bagaimana dampak krisis ekonomi (kerusuhan Mei 1998) terhadap kehidupan masyarakat

Kampoeng Batik Laweyan Surakarta?

8. Bagaimana kondisi produksi dan penjualan batik pada masa awal Reformasi 1998 hingga

tahun 2004?

9. Bagaimana persaingan antarpedagang batik di Kampoeng Batik Laweyan Surakarta?

10.Apakah pernah terjadi konflik antarpedagang batik di Kampoeng Batik Laweyan

Surakarta? Bagaimana cara menanggulanginya?

11.Apakah ada peraturan khusus yang mengatur perdagangan batik di Kampoeng Batik

Laweyan Surakarta supaya tidak menimbulkan konflik antara pedagang satu dengan yang

(80)

12.Apakah banyak pedagang batik yang alih profesi ketika produksi batik menurun? Profesi

apakah yang banyak dipilih? Atau jika tidak alih profesi, bagaimana cara mereka

memenuhi kebutuhan hidupnya?

13.Bagaimana kondisi fisik Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada masa Reformasi

1998-2004? Apakah terjadi pembangunan? Seperti apa?

14.Bagaimana kondisi pendidikan pada masa tersebut?

15.Bagaimana kehidupan sosial kemasyarakatan pada masa awal Reformasi? Apakah krisis

ekonomi memengaruhi kehidupan sosial kemasyarakatan? Serta bagaimana

perkembangannya?

16.Menurut informasi dari beberapa sumber, masyarakat Kampoeng Batik Laweyan terkenal

sebagai masyarakat yang tertutup, mengapa demikian?

17.Apa sajakah fungsi bungker-bungker yang berada di bawah rumah-rumah kuno Laweyan?

Mengapa sekarang banyak yang ditutup?

18.Bagaimana pembagian tugas antara pria dan wanita pada masyarakat Kampoeng Batik

Laweyan Surakarta?

19.Bagaimana hubungan antara masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta dengan

lingkungan sekitar?

20.Bagaimana kondisi pemerintahan Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada masa

Reformasi 1998-2004?

21.Bagaiamana pengaruh krisis terhadap kehidupan budaya masyarakat Kampoeng Batik

Laweyan Surakarta? Budaya apa saja yang masih tetap berjalan dan apa saja yang hilang

sebab krisis? Mengapa demikian?

22.Bagaimana kehidupan politik masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada masa

awal Reformasi? Dan bagaimana perkembangannya?

23.Organisasi politik apa saja yang berkembang di Kampoeng Batik Laweyan Surakarta,

serta bagaimana kondisi dan kontribusinya pada masa Reformasi 1998-2004?

24.Bagaimana kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpin pada masa Reformasi

1998-2004?

B.3. Strategi Masyarakat untuk keluar dari keterpurukan pascakrisi, peran pemerintah terhadap perkembangan Kampoeng Batik Laweyan Surakarta.

Pertanyaan:

1. Bagaimana strategi yang dilakukan masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta

untuk keluar dari keterpurukan pascakrisis?

2. Apa saja mata pencaharian masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada

pascakrisis, dan bagaimana kondisinya?

Gambar

Gambar 3. Foto bersama H. Achmad Sulaiman (Pengusaha/Pemilik Gerai Batik Halus Puspa Kencana Laweyan) – Kamis, 08 Januari 2015
Gambar 8. Foto bersama M. Aziz Fathony (Karyawan Gerai Batik Putra Laweyan dan Batik Bintang Laweyan) – Selasa, 13 Januari 2015
Gambar 9. Peta Kota Surakarta (Dok. wikipedia.org).
Gambar 11. Gapura masuk kawasan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian yang telah diperoleh dilapangan ditemukan bahwa: (1) peran masing-masing agen yang terlibat dalam jaringan prostitusi yakni peran dari Germo,

Semakin besar nisbah pengguna parkir inap (mobil pribadi) semakin kecil peluang seseorang memilih moda taksi, sebaliknya semakin kecil nisbah utilitas mobil

hasil penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa SQ memiliki hubungan yang Kuat.. dengan kinerja guru di SMKN 2, 4, 5 dan

dimensi eskatologis dari perayaan liturgi terutama ekaristi menunjuk pada telah terlaksananya karya penebusan Tuhan Yesus Kristus yang kini dihadirkan dalam perayaan

Hal ini disebabkan karena semakin lama guru mengajar pada umumnya guru memiliki kemampuan lebih dalam mengenali emosi diri, mengelola emosinya, memotivasi diri sendiri, terampil

Masalah yang akan dibahas pada penelitian ini adalah menentukan faktor-faktor yang menyebabkan siswa lebih memilih Perguruan Tinggi Negeri di Jawa dari pada

Variabel ukuran dewan komisaris yang diukur dengan jumlah dewan komisaris dalam suatu perusahaan mempunyai nilai t sebesar 0,199 dan tingkat signifikansi sebesar 0,842

Transparan, kegiatan harus diinformasikan secara transparan kepada pihak yang terkena dampak, mencakup: daftar warga, aset (tanah, bangunan, tanaman, dll).