• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Rumah Tangga

Rumah tangga merupakan suatu kesatuan ekonomi, pusat untuk berproduksi, untuk mendatangkan penghasilan dan untuk konsumsi anggotanya serta untuk memberikan kasih sayang, semakin diakui fungsinya. Dalam kaitan dengan kesejahteraan, bahwa unit sosial rumah tangga merupakan kesatuan sosial budaya. Rumah tangga merupakan saluran sosialisasi nilai-nilai kesejahteraan yang direfleksikan melalui upacara pertukaran (komunikasi) cerita pengalaman hidup (Suharma 2005).

Pada tahun 2010 penduduk di Kabupaten/Kota Jawa Barat yang terbanyak di Kabupaten Bogor, yaitu sebesar 4.8 juta jiwa dan diikuti oleh Kabupaten Bandung 3.2 juta jiwa. Jumlah rumah tangga di Bogor yaitu 1 037 408 rumah tangga. Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat sebesar 4 852 520 jiwa. Adapun penduduk miskin tertinggi berada di Kabupaten Bogor yaitu 446 040 jiwa atau 9.19% (BPS 2011).

Kondisi kemiskinan di perdesaan disebabkan oleh beberapa faktor yang berbeda, diantaranya adalah kesempatan kerja. Seseorang menjadi miskin karena menganggur, sehingga tidak memperoleh penghasilan atau jika tidak bekerja tidak penuh, baik dalam ukuran hari, minggu, bulan atau tahun. Apabila orang yang bersangkutan memperoleh pekerjaan dengan upah atau gaji yang memadai, maka orang tersebut akan terbebas dari kemiskinan (Suharma 2005).

Besar rumah tangga adalah banyaknya anggota rumah tangga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama (Wardah 2014). Ukuran rumah tangga dikategorikan menjadi tiga yaitu keluarga kecil yang beranggotakan < 4 orang, keluarga sedang yang beranggotakan 5 - 7 orang dan keluarga besar ≥ 7 orang (BKKBN 1998).

Lebih dari separuh (55.23%) rumah tangga merupakan rumah tangga sedang dengan jumlah antara 5 - 7 orang. Besarnya jumlah anggota rumah tangga berpengaruh terhadap kebutuhan pangan rumah tangga. Semakin banyak jumlahnya, maka kebutuhan juga akan semakin banyak (Amaliyah dan Handayani 2011). Sebaran besar rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 2.

Usia dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 4 yaitu remaja (< 20 tahun), dewasa muda (20 - 30 tahun), dewasa madya (31 - 50 tahun), dewasa lanjut (> 50 tahun) (Hurlock 1980). Sebagian besar kepala rumah tangga berada pada kelompok usia dewasa madya (31 - 50 tahun) yaitu sebanyak 74 (70.48%). Sementara itu, sebanyak 54.29% ibu rumah tangga berada pada kelompok usia dewasa muda (20 - 30 tahun). Pada penelitian yang dilakukan oleh Wardah (2014), usia orangtua pada anak berumur 1 - 6 tahun paling banyak terdapat pada kategori dewasa madya yaitu antara 31 - 50 tahun. Ibu yang berusia muda terkadang lebih mementingkan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya, sehingga kuantitas dan kualitas pengasuhan kurang terpenuhi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian ini bahwa setiap rumah tangga memiliki anak usia balita.

11

Tabel 2 Karakteristik rumah tangga

No Karakteristik Kepala rumah tangga Ibu rumah tangga

n % n %

1 Besar rumah tangga

Kecil (≤ 4 orang) 32 30.47

Sedang (5 - 7 orang) 58 55.23

Besar (≥ 8 orang) 15 14.30

2 Usia (tahun)

Remaja (< 20 tahun) 0 0.00 1 0.95

Dewasa muda (21 - 30 tahun) 27 25.71 57 54.29

Dewasa madya (31 - 50 tahun) 74 70.48 47 44.76

Dewasa lanjut (> 50 tahun) 4 3.81 0 0.00

3 Tingkat pendidikan Tidak sekolah 0 0.00 2 1.91 SD 69 65.71 79 75.24 SLTP 24 22.86 18 17.14 SLTA 12 11.43 5 4.76 PT 0 0.00 1 0.95 4 Pekerjaan Tidak bekerja 2 1.91 7 6.67 Petani 8 7.62 0 0.00 Buruh tani 71 67.62 2 1.91 Buruh nontani 11 10.47 1 0.95 Pedagang 2 1.91 0 0.00 Pengamen 0 0.00 0 0.00 PNS/ABRI/Polisi 1 0.95 0 0.00 Jasa 5 4.76 3 2.85

Ibu rumah tangga 0 0.00 92 87.62

Lainnya 5 4.76 0 0.00 5 Pendapatan < Rp300 000 4 3.81 Rp300 000 - Rp800 000 64 60.96 Rp801 000 - Rp1 300 000 30 28.57 Rp1 301 000 - Rp1 800 000 3 2.85 > Rp1 800 000 4 3.81

n = jumlah rumah tangga contoh

Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar yang merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (Mts) atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan

12

menengah yang merupakan kelanjutan pendidikan dasar terdiri atas pendidikan umum dan pendidikan kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) (Budiman 2006). Sebagian besar kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga masih mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Baik kepala rumah tangga (65.71%) maupun ibu rumah tangga (75.24%) masih memiliki pendidikan Sekolah Dasar (SD). Tingkat pendidikan yang relatif rendah pada rumah tangga rawan pangan terkait erat dengan kemiskinan yang mereka hadapi. Dalam kondisi kemiskinan dengan terbatasnya pendapatan, mereka masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan primer seperti pangan, sehingga pendidikan bukan prioritas mereka (Ariningsih dan Rachman 2008).

Sebagian besar (67.62%) pekerjaan kepala rumah tangga adalah sebagai buruh tani, dan sebagian besar (87.62%) ibu tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga. Pekerjaan memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan dan pendapatan serta berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan memiliki keterkaitan dengan faktor lain seperti kesehatan (Suhardjo 1989). Jumlah buruh tani yang masih banyak menunjukkan bahwa kepemilikan lahan sawah di Desa Citapen tidak tersebar merata, dengan kata lain kepemilikan lahan hanya dimiliki sebagian kecil penduduk (Novitasari 2014).

Pendapatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan dalam ekonomi rumah tangga. Pada penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar kepala rumah tangga berpenghasilan antara Rp300 000 - Rp800 000. Rumah tangga dapat dikatakan termasuk dalam rumah tangga miskin dikarenakan berpenghasilan rendah kurang dari garis kemiskinan Kabupaten Bogor yaitu Rp 271 970/kapita/bulan (BPS 2015). Dalam upaya pemantapan ketahanan pangan, tingkat pendapatan rumah tangga merupakan salah satu faktor kunci bagi rumah tangga untuk akses terhadap pangan yang dibutuhkan (Rachman et al. 2006). Pada penelitian yang dilakukan oleh Purwaningsih et al. (2010), tingkat ketahanan pangan rumah tangga di pedesaan lebih rendah daripada rumah tangga di perkotaan. Rumah tangga di pedesaan sebagian besar rentan dan rawan pangan dibandingkan rumah tangga di perkotaan yang sebagian besar kurang pangan dan tahan pangan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pendapatan yang diterima oleh rumah tangga kurang pangan lebih tinggi daripada rumah tangga rentan pangan. Wilayah penelitian disini merupakan wilayah perdesaan yang berarti mempunyai pendapatan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan pendapatan penduduk yang tinggal di perkotaan.

Pengeluaran Bumbu

Pengeluaran konsumsi rumah tangga adalah nilai belanja yang dilakukan oleh rumah tangga untuk membeli berbagai jenis kebutuhannya dalam satu tahun tertentu (Sukirno 1994 dalam Trisnowati dan Budiwinarto 2013). Dalam masyarakat, harga suatu barang dan pendapatan masyarakat merupakan faktor yang dominan dalam mempengaruhi permintaan barang, dimana permintaan suatu barang dapat dilihat dari pembelanjaan total (pengeluaran total) suatu masyarakat. Sehingga, apabila ada perubahan harga suatu barang dan perubahan pendapatan suatu rumah tangga (masyarakat), maka pengeluaran rumah tangga (masyarakat)

13

untuk barang tersebut juga akan berubah. Salah satu pengeluaran rumah tangga adalah pengeluaran untuk makanan (Trisnowati dan Budiwinarto 2013).

Dalam ilmu ekonomi semua pengeluaran selain yang digunakan untuk tabungan dinamakan konsumsi. Konsumsi merupakan hal yang mutlak diperlukan setiap orang untuk bertahan hidup. Pengeluaran masyarakat miskin lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam bentuk pangan, pada saat yang sama sangat sedikit pengeluaran konsumsi untuk jenis non pangan (Anwar 2010).

Gambar 2 Distribusi belanja bumbu rumah tangga

Pola belanja bumbu rumah tangga contoh sebagian besar dalam bentuk harian dan mingguan. Pengeluaran gula, garam, kecap, dan bumbu penyedap sebagian besar rumah tangga secara mingguan. Pengeluaran cabai, bawang putih dan bawang merah sebagian besar rumah tangga secara harian. Pola tersebut kemungkinan berkaitan dengan daya simpan dari masing-masing bumbu. Gula, garam, kecap, dan bumbu penyedap merupakan bumbu yang mempunyai daya simpan lebih lama jika dibandingkan dengan cabai, bawang putih, dan bawang merah. 18.10 2.86 16.19 39.05 80.00 64.76 76.19 73.33 83.81 77.14 51.43 17.14 28.57 18.10 7.62 13.33 6.67 9.52 1.90 6.67 5.71 0.95 0 0 0 0.95 0 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Gula Garam Kecap Bumbu penyedap Cabai Bawang putih Bawang merah Juml ah ruma h tang g a (% ) Jenis bumbu

14

Tabel 3 Rata-rata pengeluaran bumbu Jenis bumbu

Pengeluaran bumbu (Rp)

Rumah tangga Kapita

Minggu Hari Minggu Hari

Gula 5 803 ± 6 275 774 ± 837 1 171 ± 1 429 156 ± 191 Garam 784 ± 722 105 ± 96 149 ± 140 20 ± 19 Kecap 2 695 ± 2 765 359 ± 369 515 ± 557 69 ± 74 Bumbu penyedap 2 347 ± 1 860 313 ± 248 451 ± 403 60 ± 54 Cabai 7 409 ± 3 050 988 ± 407 1 447 ± 774 193 ± 103 Bawang putih 5 347 ± 3 061 713 ± 408 1 058 ± 705 141 ± 94 Bawang merah 7 378 ± 3 268 984 ± 436 1 438 ± 754 192 ± 101 Total 31 763 ± 12 144 4 235 ± 1 619 6 228 ± 3 156 830 ± 421

Tabel 3 menunjukkan rata-rata pengeluaran bumbu rumah tangga contoh. Pengeluaran terbesar adalah untuk membeli cabai yaitu sebesar Rp7 409/rumah tangga/minggu. Pengeluaran yang besarnya tidak jauh berbeda dengan cabai yaitu pengeluaran bawang merah yaitu sebesar Rp7 378/rumah tangga/minggu. Pengeluaran terkecil rumah tangga digunakan untuk membeli garam yaitu dengan pengeluaran sebesar Rp784/rumah tangga/minggu. Pada rata-rata pengeluaran perkapita, cabai masih berada pada pengeluaran terbesar yaitu Rp1 447/kapita/minggu. Pengeluaran per kapita terkecil digunakan untuk membeli garam yaitu sebesar Rp149/kapita/minggu.

Pengeluaran bumbu rumah tangga lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran bumbu penduduk desa di Indonesia. Menurut data Susenas tahun 2013, rata-rata pengeluaran bumbu penduduk desa untuk gula, garam, kecap, bumbu penyedap, cabai, bawang putih, dan bawang merah berjumlah Rp5 269/kapita/minggu (BPS 2013). Terdapat selisih sebesar Rp959 antara pengeluaran bumbu rumah tangga contoh dengan pengeluaran penduduk Indonesia. Hal ini dapat dikarenakan adanya perbedaan harga pada tiap daerah dan perbedaan budaya dengan keberagaman jenis masakan tiap daerah membuat preferensi makanan pun berbeda di tiap daerah, sehingga terjadi selisih harga antara pengeluaran bumbu rumah tangga contoh dengan penduduk Indonesia.

Cabai menempati urutan pertama dalam rata-rata pengeluaran bumbu rumah tangga. Rata-rata pengeluaran terendah rumah tangga adalah untuk membeli garam. Pengeluaran tersebut sedikit berbeda dengan data rata-rata pengeluaran penduduk desa di Indonesia yang terdapat pada Susenas tahun 2013. Data yang diperoleh dari Susenas 2013, menunjukkan gula yang menjadi pengeluaran terbesar penduduk baik di desa maupun kota yaitu sebesar Rp1 770/kapita/minggu dan Rp1 533/kapita/minggu. Sementara garam paling sedikit dalam pengeluaran perkapita seminggu, baik di desa dan kota yaitu sebesar Rp161 dan Rp119.

Menurut data Susenas tahun 2013, rata-rata pengeluaran bumbu-bumbuan penduduk Indonesia pada bulan Maret tahun 2013 yaitu sebesar Rp6 783 per kapita sebulan. Bumbu-bumbuan yang dimaksud dalam data Susenas tersebut meliputi garam, kemiri, ketumbar/jinten, merica, asam, biji pala, cengkeh, terasi/petis, kecap, penyedap masakan/vetsin, sambal jadi/saus tomat, bumbu masak jadi/kemasan, serta bumbu dapur lainnya (BPS 2013). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi pangan rumah tangga miskin di Kelurahan Sidomulyo Kecamatan Medan Tungtungan adalah pendapatan kepala

15

rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, lama berumah tangga, dan jumlah subsidi beras miskin (Yuliana et al. 2013).

Pengeluaran tertinggi adalah untuk membelanjakan cabai dengan rata-rata pengeluaran dalam sebulan Rp29 635/rumah tangga. Pengeluaran maksimum untuk cabai adalah senilai Rp60 000/bulan. Cabai (Capsium sp) merupakan komoditas sayuran yang memiliki peranan penting bagi pertanian di Indonesia. Ada beberapa jenis cabai yang dibudidayakan di Jawa. Cabai dapat dibedakan menurut bentuk buahnya, yaitu bentuk buah besar, keriting dan bentuk buah kecil. Masyarakat Indonesia kebanyakan menggemari masakan yang berbumbu pedas. Rumah tangga di Indonesia, dominan mengonsumsi tiga cabai yaitu cabai merah, cabai rawit, dan cabai hijau. Cabai merah biasa digunakan dalam bentuk segar maupun olahan. Cabai dalam bentuk segar dapat digunakan sebagai bumbu masakan, sambal, maupun sebagai garnish atau penghias makanan. Cabai merah banyak diminati pasar karena rasa pedasnya yang khas (Muharlis 2007).

Pengeluaran terendah rumah tangga adalah untuk membelanjakan garam. Nilai uang yang dikeluarkan untuk membeli garam Rp784/rumah tangga/minggu atau dalam sebulan rata-rata Rp3 137/rumah tangga/bulan. Hal ini dikarenakan sebagai bumbu garam hanya ditambahkan sedikit ke dalam masakan. Selain itu, harga garam terbilang relatif murah persatuan beratnya. Harga garam menurut data BKP pada bulan Desember 2013 rata-rata senilai Rp4 613/kg dengan nilai maksimum Rp10 000/kg dan minimum Rp1 650/kg. Rata-rata harga garam per bulan periode Desember 2011 hingga Desember 2013, bulan September 2013 mencapai harga tertinggi dengan rata-rata harga Rp4 648/kg. Harga tertinggi garam halus ada di Jayapura dengan harga Rp10 000/kg. Harga terendah ada di Banten dengan harga Rp1 650/kg (Rusliana 2013). Penambahan garam pada bumbu akan berperan sebagai penghambat selektif pada mikroorganisme tertentu, karena garam dapat mempengaruhi besarnya aktivitas air dalam bahan pangan. Kadar garam bumbu pada umumnya cukup rendah yaitu antara 1.00 - 2.60%. diduga penambahan garam dalam bumbu tidak dimaksudkan untuk mengawetkan bumbu dan mencegah kerusakan akibat mikroba, tetapi hanya sebagai penambahan rasa pada bumbu (Rahayu 2000). Penelitian Anwar (2010), jenis konsumsi makanan yang relatif kecil adalah pada kelompok konsumsi garam. Sebagai barang inferior rata-rata keluarga miskin di Aceh Utara mengkonsumsi garam Rp3 986.11 per keluarga per bulan.

Distribusi pengeluaran bumbu sebulan dalam rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 4. Pengeluaran bumbu rumah tangga tidak semuanya memiliki variasi nilai yang beragam. Nilai yang dikeluarkan untuk membeli cabai dan bawang merah lebih tinggi daripada bumbu lainnya. Sebesar 75% dari semua pengeluaran cabai dan bawang merah, pengeluarannya akan kurang dari Rp12 000. Preferensi akan bumbu cabai dan bawang merah pada masakan rumah tangga serta harga yang lebih tinggi dibandingkan bumbu lainnya bisa menjadi penyebab pengeluaran kedua bumbu tersebut lebih tinggi.

16

Tabel 4 Sebaran pengeluaran bumbu per kapita sebulan

Jenis bumbu Persentil Kategori bumbu (Rp/kapita/bulan)

Gula P25 2 800 P50 4 376 P75 7 875 Garam P25 444 P50 700 P75 967 Kecap P25 1 000 P50 2 000 P75 4 150 Bumbu penyedap P25 1 000 P50 2 000 P75 3 750 Cabai P25 5 000 P50 8 571 P75 12 000 Bawang putih P25 2 715 P50 6 000 P75 10 000 Bawang merah P25 5 000 P50 7 500 P75 12 000 Konsumsi Bumbu

Bumbu merupakan kompleks yang membangun rasa yang diaplikasikan ke dalam makanan, berguna untuk merangsang nafsu makan, menambah rasa, dan tekstur makanan serta menciptakan daya tarik secara visual pada makanan (Raghavan 2006). Nilai nutrisi yang terkandung di dalam rempah-rempah dan herbal tidak berpengaruh apabila bahan tersebut digunakan sebagai penyedap makanan atau minuman. Umumnya penggunaan rempah dan herbal pada makanan sebagai penyedap proporsinya kecil, sehingga sumbangan nutrisi secara keseluruhan sangat kecil. Nilai nutrisi rempah dan herbal akan memberikan sumbangan yang nyata apabila bahan tersebut dipersiapkan untuk produk selain makanan, seperti jamu-jamuan dan produk ekstrak lainnya yang langsung dikonsumsi (Carlsen et al. 2011).

Konsumsi pangan rumah tangga merupakan makanan dan minuman yang tersedia untuk dikonsumsi oleh rumah tangga, kelompok keluarga atau institusi. Definisinya adalah total jumlah pangan tersedia di rumah tangga, umumnya tidak termasuk yang dimakan di luar rumah kecuali yang dibawa dari rumah. Pengukuran konsumsi rumah tangga tidak memperhatikan individu secara spesifik. Perhitungan konsumsi per kapita dihitung dengan mengabaikan umur dan jenis kelamin di rumah tangga (Gibson 2005).

Rumah tangga contoh paling banyak mengonsumsi gula dibanding bumbu lainnya yaitu rata-rata sebesar 129.54 g/rumah tangga/minggu. Seperti kita ketahui, gula selain sebagai bumbu juga dapat digunakan dalam mengolah

17

makanan maupun minuman di dalam rumah tangga. Gula merupakan bumbu yang paling banyak digunakan oleh rumah tangga selama seminggu, baik di pedesaan maupun kota. Jumlah gula yang dikonsumsi penduduk pedesaan dan perkotaan per kapita selama seminggu berturut-turut adalah 1.384 ons dan 1.166 ons (BPS 2013). Sementara itu, rumah tangga contoh paling sedikit menggunakan bumbu penyedap yaitu sebesar 31.44 g/rumah tangga/minggu.

Tabel 5 Rata-rata konsumsi bumbu rumah tangga Jenis bumbu

Konsumsi bumbu (g)

Rumah tangga Kapita

Minggu Hari Minggu Hari

Gula 129.54 ± 146.11 18.51 ± 20.87 25.23 ± 31.72 3.60 ± 4.53 Garam 109.93 ± 118.97 15.70 ± 16.99 21.03 ± 26.34 3.00 ± 3.76 Kecap 82.42 ± 158.23 11.77 ± 22.60 16.87 ± 38.90 2.41 ± 5.55 Bumbu penyedap 31.44 ± 20.84 4.49 ± 2.97 6.21 ± 4.97 0.88 ± 0.71 Cabai 115.33 ± 69.30 16.48 ± 9.90 22.21 ± 15.06 3.17 ± 2.15 Bawang putih 82.09 ± 71.47 11.73 ± 10.21 16.21 ± 15.32 2.31 ± 2.18 Bawang merah 98.09 ± 65.84 14.01 ± 9.41 19.57 ± 15.17 2.79 ± 2.17

Rumah tangga contoh paling banyak mengonsumsi gula dalam kesehariannya yaitu sebesar 18.51 g/rumah tangga/hari atau dalam seminggu rumah tangga rata-rata mengonsumsi gula sebesar 129.54 g. Gula selain untuk bumbu masakan biasanya juga digunakan dalam pembuatan minuman seperti teh atau kopi. Hal tersebut yang membuat konsumsi gula menjadi besar. Sementara itu, rumah tangga paling sedikit mengonsumsi bumbu penyedap yaitu 4.49 g/rumah tangga/hari atau 31.44 g/rumah tangga/minggu. Rata-rata konsumsi bumbu rumah tangga contoh dapat dilihat pada Tabel 5.

Dalam laporan Badan Ketahanan Pangan kenaikan harga tertinggi pangan pokok terdapat pada komoditas cabai merah, cabai rawit, bawang merah, dan bawang putih. Sementara harga komoditas yang mengalami penurunan adalah gula (BKP 2013). Kenaikan harga tersebut kemungkinan yang menyebabkan besar kecilnya konsumsi. Namun, tidak menutup kemungkinan preferensi dari rumah tangga dalam membuat makanan di rumah yang mempengaruhi besar kecilnya konsumsi bumbu.

Sama halnya dengan konsumsi rumah tangga, konsumsi gula adalah yang tertinggi digunakan per kapita. Rata-rata konsumsi gula perkapita adalah sebesar 3.60 g/kapita/hari atau 25.23 g/kapita/minggu. Sementara konsumsi terkecil adalah pada kelompok bumbu penyedap yaitu 0.88 g/kapita/hari atau 6.21 g/kapita/minggu.

Konsumsi gula dalam rumah tangga menempati urutan tertinggi dengan rata-rata konsumsi 3.60 g/kap/hari. WHO (2015), merekomendasikan mengurangi asupan gula sederhana selama hidup. Baik orang dewasa maupun anak-anak, direkomendasikan asupan gula sederhana kurang dari 10% dari total asupan energi. Dalam keadaan tertentu asupan gula sederhana perlu dikurangi di bawah 5% dari total asupan energi. Konsumsi tersebut setara dengan 50 g gula per orang perhari.

Konsumsi bumbu penyedap atau vetsin paling sedikit digunakan oleh rumah tangga. Konsumsi bumbu penyedap rata-rata adalah sebesar 0.88 g/kapita/hari.

18

Sabri et al. (2006), menyebutkan vetsin biasanya berbentuk kristal halus dan berwarna putih dibuat melalui proses fermentasi dari bahan dasar pati (gandum) dan gula molasses (tetes tebu) yang diberi nama sebagai garam natrium dari asam glutamat atau lebih dikenal dengan nama monosodium glutamat.

Menurut Nofiawaty (2012), bahwa mayoritas pengguna produk vetsin adalah wanita (74.20%), berusia 36 - 40 tahun (25.80%), pendidikan terakhir Perguruan Tinggi (59.20%), profesi utama adalah ibu rumah tangga (31.70%), status menikah (76.70%), merk bumbu penyedap yang digunakan Masako (45.80%), produk lain yang digunakan Sasa (65.00%), alasan utama menggunakan karena seringnya mengkonsumsi (41.70%) dan kualitasnya baik (44.20%).

Tabel 6 Sebaran konsumsi bumbu per kapita sehari

Jenis bumbu Persentil Satuan Jumlah Batas

Maksimal Gula P25 g/kap/hari 0.81 50 g P50 2.17 P75 5.27 Garam P25 mg/kap/hari 1 450.00 2000 mg P50 2 310.00 (natrium) P75 3 530.00 Kecap P25 mg/kap/hari 700.00 P50 1 610.00 P75 2 620.00

Bumbu penyedap P25 mg/kap/hari 370.00

P50 710.00

P75 1 210.00

Cabai P25 g/kap/hari 1.68 -

P50 2.84

P75 4.07

Bawang putih P25 g/kap/hari 0.65 -

P50 1.62

P75 3.08

Bawang merah P25 g/kap/hari 1.15 -

P50 2.31

P75 3.46

Tabel 6 menunjukkan sebaran konsumsi bumbu rumah tangga contoh. Terlihat bahwa konsumsi bumbu rumah tangga memiliki variasi. Pola konsumsi `pangan penduduk Indonesia mengalami perubahan tiap tahunnya. Perubahan pola konsumsi pangan penduduk dapat terjadi salah satunya karena peran dari kelompok bumbu-bumbuan. Masakan khas di setiap daerah di Indonesia membutuhkan berbagai jenis bumbuan, sehingga konsumsi bumbu-bumbuan penduduk menjadi tinggi. Dapat dikatakan penduduk Indonesia tidak lepas dari ketergantungan terhadap bumbu-bumbuan (Primarta 2014).

Menurut Permenkes Nomor 30 tahun 2013, gula adalah jumlah seluruh monosakarida dan disakarida (glukosa, fruktosa, sukrosa, laktosa) yang terdapat pada pangan. Informasi produk pangan olahan yang mengandung gula, garam,

19

dan/atau lemak untuk diperdagangkan wajib memuat informasi kandungan gula, garam, dan lemak, serta pesan kesehatan pada label pangan. Pesan kesehatan yang

dimaksud yaitu “Konsumsi gula lebih dari 50 g, natrium lebih dari 2 000 mg, atau lemak total lebih dari 67 g per orang per hari berisiko hipertensi, stroke, diabetes,

dan serangan jantung.”

Tabel 7 Konsumsi gula rumah tangga (g/kapita/hari)

Gula (dalam rumah) Makanan jajanan Total konsumsi gula

Rata-rata±SD 3.60±4.53 0.57±1.77 4.18±4.96 Min 0.00 0.00 0.00 Maks 29.10 14.66 29.10 Persentil 25 0.81 0.00 0.94 Persentil 50 2.17 0.00 2.65 Persentil 75 5.27 0.28 5.83

Konsumsi gula rumah tangga masih dalam batas anjuran yaitu kurang dari 50 g/kapita/hari. Pada tabel 7 terlihat bahwa konsumsi gula lebih besar disumbangkan oleh konsumsi gula dalam rumah dibandingkan gula dari makanan jajanan. Konsumsi gula rumah tangga contoh lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi gula penduduk Indonesia di desa pada tahun 2009 yaitu sebesar 22.8 g/kapita/hari (Hardinsyah 2011). Menurut Hidayati (2015), salah satu faktor yang memicu ibu rumah tangga untuk mengonsumsi gula pasir adalah sebagai pemanis minuman, diantaranya sebagai pemanis teh dan kopi. Keadaan ekonomi yang rendah pada rumah tangga membuat rumah tangga lebih mementingkan kebutuhan makanan pokok dibandingkan dengan mengonsumsi gula sebagai pelengkap minuman.

Tabel 8 Konsumsi natrium rumah tangga (mg/kapita/hari)

Garam Kecap Bumbu

penyedap Makanan jajanan Total konsumsi natrium Rata-rata±SD 1 202±1 505 135±310 120±96 20±62 1 222±1 508 Min 93 0 13 0 93 Maks 14 200 3 140 596 582 14 215 Persentil 25 579 39 49 0 592 Persentil 50 926 89 97 5 927 Persentil 75 1 412 146 162 15 1 473

Natrium disuplai bukan hanya dari garam saja. Natrium diperoleh dari garam, BTP (bahan tambahan pangan) dan dari natrium dari makanan dan minuman (Hardinsyah 2011). Secara keseluruhan rata-rata konsumsi natrium rumah tangga contoh belum melebihi anjuran. Namun, jika dilihat dari nilai maksimum, masih terdapat rumah tangga yang konsumsi garamnya melebihi anjuran 2000 mg/kapita/hari. Konsumsi garam di dalam rumah menjadi

20

penyumbang natrium terbesar. Konsumsi natrium rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 9 Rata-rata total konsumsi natrium rumah tangga

Konsumsi natrium Jumlah %

< 2000 mg/kapita/hari 85 81

≥ 2000 mg/kapita/hari 20 19

Pemerintah menganjurkan konsumsi natrium tidak lebih dari 2000 mg/kapita/hari untuk mencegah timbulnya penyakit tidak menular. Ini menunjukkan bahwa ada sebagian rumah tangga contoh (19%), masih melebihi anjuran (Tabel 9). Menurut Hardinsyah (2011), konsumsi garam yang tak tampak cenderung meningkat melalui makanan olahan yang dibumbuhi garam, pengawet dan perasa, serta minuman bernatrium. Kelebihan asupan natrium berkaitan dengan tingginya tekanan darah, yang mana kenaikan tersebut berisiko terhadap penyakit kardiovaskular.

Pengeluaran Bumbu menurut Karakteristik Rumah Tangga Pengeluaran bumbu menurut besar rumah tangga

Menurut Suhardjo (1989), jumlah anggota keluarga memiliki andil dalam permasalahan gizi. Jika jumlah anggota rumah tangga hanya sedikit, kebutuhan pangannya akan lebih mudah untuk dipenuhi. Sebaliknya, jika jumlah anggota keluarga banyak, maka keluarga akan berusaha membagi jumlah makanan yang terbatas, sehingga kebutuhan untuk masing-masing anggota menjadi tidak sesuai. Rata-rata total pengeluaran bumbu rumah tangga tidak mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya jumlah anggota rumah tangga (Tabel 10).

Tabel 10 Rata-rata pengeluaran bumbu rumah tangga per bulan menurut besar rumah tangga (Rp/rumah tangga/bulan)

Jenis bumbu Besar rumah tangga p

Kecil Sedang Besar

Gula 25 731 ± 27 854 21 881 ± 23 551 22 994 ± 26 102 0.792 Garam 2 589 ± 2 135 3 409 ± 3 492 3 250 ± 1 122 0.016 Kecap 9 606 ± 11 559 10 990 ± 11 233 12 460 ± 9 628 0.470 Bumbu penyedap 8 913 ± 7 853 8 791 ± 7 334 12 717 ± 6 465 0.033 Cabai 28 317 ± 14 308 31 043 ± 11 823 27 000 ± 7 973 0.525 Bawang putih 21 282 ± 12 794 22 652 ± 12 176 16 733 ± 10 840 0.445 Bawang merah 29 316 ± 14 316 30 216 ± 12 397 27 200 ± 13 476 0.565 Total pengeluaran bumbu 125 754 ± 56 201 128 982 ± 44 522 122 355 ± 49 211 0.801

Tabel 10 menunjukkan rata-rata pengeluaran bumbu rumah tangga dalam sebulan menurut besar rumah tangga contoh. Pengeluaran bumbu-bumbu tersebut hanya sebagian yang meningkat dengan semakin besarnya jumlah anggota rumah tangga, yaitu kecap dan bumbu penyedap. Bumbu lainnya menunjukkan jumlah

21

pengeluaran yang fluktuatif semakin bertambahnya anggota rumah tangga, yaitu

Dokumen terkait