• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Film Nanokomposit Ketebalan

Film nanokomposit yang dihasilkan memiliki ketebalan yang berbeda-beda dengan nilai rata-rata antara 0.07 hingga 0.0975 mm. Nilai ketebalan film nanokomposit berbasis pektin disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Ketebalan film nanokomposit (×10-2 mm) Asam stearat (%) Nanopartikel ZnO 0% 1% 2% 0 7.00±0.41a 9.00±1.29b 9.25±1.32b 1 7.88±0.48a 9.38±0.85b 9.75±1.04b

Ket: nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda (a-b) berbeda nyata (p<0.05) pada konsentrasi asam stearat yang sama. Penambahan asam stearat tidak berpengaruh nyata.

Berdasarkan uji sidik ragam, faktor konsentrasi NP ZnO berpengaruh nyata sedangkan penambahan asam stearat tidak berpengaruh nyata terhadap ketebalan film. Interaksi antara NP ZnO dan asam stearat tidak berpengaruh signifikan terhadap ketebalan (Lampiran 1). Dengan penambahan 1% NP ZnO meningkatkan ketebalan film nanokomposit dari 0.07 menjadi 0.09 (tanpa stearat) dan 0.0788 menjadi 0.0938 (dengan stearat). Hal ini terjadi karena total bahan yang dicampurkan pada larutan semakin banyak. Semakin tinggi konsentrasi komponen yang ditambahkan pada larutan, semakin tebal juga film yang dihasilkan. Hal serupa diamati oleh Shankar et al. (2015) dalam pembuatan film nanokomposit berbasis gelatin. Ketebalan film dari gelatin meningkat dengan adanya penambahan nanopartikel ZnO.

Selain itu, ketebalan film juga dipengaruhi oleh kekentalan larutan, volume larutan, dan luas cetakan. Semakin kental larutan maka semakin tebal film yang dihasilkan (Syarifuddin dan Yunianta 2015). Ketebalan film akan mempengaruhi sifat mekanis dan permeabilitas film tersebut. Semakin tebal film maka tingkat permeabilitas, baik gas maupun uap air, akan menurun sehingga dapat melindungi produk dengan lebih baik.

Kadar air

Kadar air film nanokomposit cenderung menurun seiring bertambahnya konsentrasi NP ZnO dan asam stearat. Tabel 3 menyajikan nilai kadar air pada 6 formula film nanokomposit berbasis pektin.

Tabel 3 Kadar air film nanokomposit (%) Asam stearat (%) Nanopartikel ZnO 0% 1% 2% 0 13.38±0.35ap 12.34±0.65bp 11.87±0.39bp 1 12.35±0.08aq 11.79±0.26bq 11.51±0.32bq Ket: nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda (a-b) berbeda nyata (p<0.05) pada konsentrasi asam

stearat yang sama. Nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda (p-q) berbeda nyata (p<0.05) pada konsentrasi NP ZnO yang sama.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi NP ZnO berpengaruh nyata terhadap kadar air (Lampiran 2). Semakin banyak NP ZnO yang ditambahkan maka kadar air semakin kecil. Penurunan ini terjadi karena jumlah padatan pada larutan yang memiliki konsentrasi NP ZnO tinggi lebih besar daripada larutan berkonsentrasi rendah. Dengan demikian, pada volume larutan yang sama, air yang berada pada film menjadi lebih sedikit. Pada massa biopolimer yang tetap, terjadi penurunan nilai kadar air akibat peningkatan konsentrasi nanopartikel (Casariego et al. 2009). Selain itu, penurunan kadar air juga dapat terjadi karena adanya reaksi antara air dengan NP ZnO sehingga menghasilkan senyawa baru yaitu Zn(OH)2 yang mengikat air secara kimiawi (Ma et al. 2012). Oleh karena itu, semakin banyak NP ZnO maka semakin banyak air yang terikat sehingga kadar air menurun.

Begitu pula yang terjadi dengan adanya penambahan asam stearat, kadar air film nanokomposit tanpa asam stearat berbeda nyata dengan yang mengandung 1% asam stearat. Tidak ada pengaruh interaksi antara NP ZnO dan asam stearat terhadap kadar air film. Asam stearat bersifat hidrofobik sehingga air yang terikat pada film nanokomposit yang mengandung asam stearat lebih rendah dibanding dengan film nanokomposit tanpa asam stearat. Sebti et al. (2002) mengemukakan hal yang sama bahwa adanya asam lemak dapat meningkatkan sifat hidrofobik edible film sehingga menurunkan kadar air film tersebut.

Kadar air film akan mempengaruhi sifat kuat tarik dan elongasi dari film tersebut. Air merupakan pemlastis alami sehingga semakin besar kadar air maka elongasi film akan semakin besar. Selain itu, semakin rendah kadar air maka jumlah air bebas semakin menurun pula. Dengan menurunnya air bebas yang tersedia maka nilai aw juga akan menurun sehingga film tidak disukai mikroba untuk tumbuh.

Warna

Nilai perbedaan warna (∆E) memiliki korelasi positif terhadap nilai kejernihan film. Semakin besar nilai ∆E menunjukkan bahwa film menjadi

semakin keruh (tidak transparan). Perbandingan nilai ∆E film nanokomposit berbasis pektin terhadap standar white plate (L = 88.76, a = 0.87, b = -2.37) disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Nilai ∆E film nanokomposit

Asam stearat (%) Nanopartikel ZnO

0% 1% 2%

0 2.65±0.56ap 3.27±0.47bp 3.63±0.30bp

1 3.08±0.49aq 3.84±0.71bq 4.28±0.33bq

Ket: nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda (a-b) berbeda nyata (p<0.05) pada konsentrasi asam stearat yang sama. Nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda (p-q) berbeda nyata (p<0.05) pada konsentrasi NP ZnO yang sama.

Dari tabel tersebut terlihat bahwa nilai ∆E terendah dimiliki oleh film pektin

murni (tanpa NP ZnO dan asam stearat) dan meningkat seiring adanya penambahan bahan lain. Berdasarkan uji sidik ragam, faktor penambahan NP ZnO

dan asam stearat berpengaruh nyata terhadap nilai ∆E (Lampiran 3). Hal ini terjadi diduga karena adanya NP ZnO menghalangi sinar yang menembus film sehingga

menghasilkan nilai perbedaan warna yang besar (Sun et al. 2014). Pengaruh yang sama juga dilaporkan oleh Sothornvit et al. (2010) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi nanopartikel yang ditambahkan, semakin besar nilai

∆E yang diperoleh film nanokomposit dari isolat protein. Penambahan asam stearat juga meningkatkan kekeruhan film. Hal ini disebabkan oleh terhamburnya cahaya akibat adanya asam lemak yang tersebar pada film tersebut (Sebti et al. 2002).

Warna film merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan pada saat aplikasi film atau larutan. Nilai ∆E yang besar akan mempengaruhi warna produk

sehingga harus diaplikasikan pada produk yang tepat apabila film tersebut akan digunakan sebagai kemasan. Film yang diharapkan yaitu film yang bersifat transparan sehingga warna produk yang dikemas akan terlihat jelas. Film terbentuk yang lebih tipis, seperti pada lapisan coating, mampu mengurangi perbedaan warna sehingga film menjadi lebih transparan.

Kuat tarik dan persen elongasi

Perbandingan nilai kekuatan tarik film nanokomposit tanpa asam stearat dan dengan 1% asam stearat disajikan pada Gambar 3. Dari gambar tersebut terlihat kekuatan tarik film nanokomposit meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi NP ZnO dan penambahan asam stearat. Nilai kuat tarik tertinggi dicapai oleh film nanokomposit dengan NP ZnO 2% dan asam stearat 1% sebesar 28.3±4.7 kPa dan nilai terendah pada film pektin murni sebesar 18.3±2.4 kPa. Kekuatan tarik menandakan kemudahan film tersebut putus. Nilai kuat tarik yang besar berarti semakin kuat film yang dihasilkan, sebaliknya semakin rendah nilai kuat tarik maka semakin rapuh film tersebut.

Hasil uji sidik ragam menunjukkan konsentrasi NP ZnO tidak berpengaruh nyata terhadap kekuatan tarik, begitu pula yang terjadi dengan penambahan asam stearat (Lampiran 4). Tidak adanya perbedaan yang signifikan ini karena sorbitol sebagai pemlastis memiliki sifat menurunkan kekuatan tarik edible film. Pemlastis dapat menyebabkan interaksi intermolekul berkurang sehingga akan menurunkan nilai kuat tarik (Bourtoom 2008). Penambahan nanopartikel ZnO (1 dan 2%) serta 1% asam stearat belum mampu mengimbangi pengaruh pemlastis sehingga nilai kuat tarik tidak berbeda nyata meskipun pada grafik terlihat cenderung mengalami peningkatan.

Gambar 4 menyajikan perubahan persentase pemanjangan film nanokomposit pada konsentrasi nanopartikel ZnO yang berbeda. Berdasarkan uji sidik ragam, konsentrasi NP ZnO dan asam stearat berpengaruh nyata terhadap persentase pemanjangan. Sedangkan interaksi antara NP ZnO dan asam stearat tidak berpengaruh nyata terhadap nilai elongasi (Lampiran 5). Elongasi film nanokomposit menurun dengan adanya penambahan NP ZnO, sebaliknya asam stearat meningkatkan nilai elongasi. Dengan adanya NP ZnO 1% nilai elongasi menurun dari 22.8±1.1% menjadi 8.9±2.4% (tanpa asam stearat) dan dari 30.9±1.1% menjadi 18.3±0.6% (dengan asam stearat).

Persen elongasi menggambarkan tingkat fleksibelitas atau keplastisan dari sebuah film. Film dengan persen elongasi yang besar menunjukkan tingkat plastisitas yang tinggi. Tingkat plastisitas film yang tinggi akan lebih baik karena dapat menyesuaikan dengan bentuk produk dan tidak mudah retak atau pecah ketika diaplikasikan pada bahan pangan. Menurut Krochta dan Johnston (1997)

edible film dengan persen elongasi 10-50% sudah dapat dikategorikan sebagai film yang baik.

Gambar 3 Perubahan nilai kuat tarik film nanokomposit

Gambar 4 Perubahan persentase pemanjangan film nanokomposit

Torabi dan Nafchi (2013) menyebutkan bahwa penambahan nanopartikel menyebabkan kandungan air pada film menurun sehingga mengakibatkan elastisitas film berkurang. Berbeda dengan nanopartikel, penambahan asam lemak dapat meningkatkan elastisitas film karena asam lemak dapat bertindak sebagai pemlastis sehingga nilai elongasi film pun meningkat (Romero-Bastida et al. 2004). Jamshid et al. (2014) melaporkan bahwa penambahan pemlastis asam stearat meningkatkan elongasi film dari serbuk jerami gandum. Kehadiran pemlastis mengurangi daya interaksi antarrantai dan meningkatkan pergerakan makromolekul yang memicu peningkatan nilai elongasi.

Laju transmisi uap air

Laju transmisi uap air (WVTR) menggambarkan banyaknya uap air yang mampu melewati film pada luasan tertentu per satuan waktu. Film dengan WVTR rendah berarti memiliki kemampuan menghambat uap air keluar masuk bahan

10 15 20 25 30 35 0 1 2 te n sile str en g th (k Pa ) ZnO nanoparticles (%)

tanpa asam stearat dengan asam stearat

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 0 1 2 elo n g a tio n a t b re a k s (% ) ZnO nanoparticles (%)

tanpa asam stearat dengan asam stearat

pangan yang dikemas. Tabel 5 menunjukkan nilai laju transmisi uap air pada film nanokomposit yang dihasilkan.

Tabel 5 Laju transmisi uap air (g/m2.jam) Asam stearat (%) Nanopartikel ZnO 0% 1% 2% 0 103.20±6.08ap 87.75±20.58abp 78.95±3.61bp 1 84.50±6.36aq 78.05±0.49abq 57.40±8.91bq Ket: nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda (a-b) berbeda nyata (p<0.05) pada konsentrasi asam

stearat yang sama. Nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda (p-q) berbeda nyata (p<0.05) pada konsentrasi NP ZnO yang sama.

Film yang terbuat dari pektin saja memiliki sifat barrier yang rendah terhadap uap air atau memiliki laju transmisi uap air yang tinggi. Dari tabel 5 terlihat bahwa peningkatan konsentrasi NP ZnO dan penambahan asam stearat cenderung menurunkan nilai WVTR. Berdasarkan analisis ragam, penambahan NP ZnO atau asam stearat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan nilai WVTR. Sedangkan interaksi NP ZnO dan asam stearat tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada laju transmisi uap air (Lampiran 6). Nilai WVTR berbeda nyata pada penambahan NP ZnO 2% yaitu sebesar 78.95±3.61 g/m2.jam (tanpa asam stearat) dan 57.40±8.91 g/m2.jam (dengan asam stearat).

Penurunan nilai WVTR terjadi karena nanopartikel ZnO menjadi hambatan fisik bagi uap air sehingga dapat pergerakan uap air menembus film terhalangi atau melalui jalur yang panjang. Semakin banyak NP ZnO yang ditambahkan maka hambatan uap air semakin besar sehingga laju transmisi uap air film menjadi semakin rendah. Penelitian Torabi dan Nafchi (2013) menyebutkan bahwa nanopartikel mengisi struktur makromolekul atau polimer sehingga dapat mengurangi permeabilitas uap air.

Pengaruh asam stearat terhadap laju transmisi uap air juga bernilai negatif. Dengan adanya penambahan asam stearat dapat menurunkan nilai WVTR film nanokomposit. Hal ini disebabkan oleh asam stearat yang bersifat hidrofobik sehingga menghalangi uap air yang menembus film. Semakin panjang rantai asam lemak yang digunakan, laju transmisi uap air akan semakin rendah. Rezvani et al. (2013) melaporkan bahwa penambahan asam stearat mampu menurunkan nilai WVTR edible film dari natrium kaseinat.

Laju transmisi uap air juga dipengaruhi oleh ketebalan film yang diuji. Semakin tebal film maka nilai WVTR akan semakin rendah. Film dengan laju transmisi uap air rendah sangat baik digunakan pada produk yang sensitif terhadap kehilangan air, seperti pada buah dan sayuran segar. Adanya lapisan film yang memiliki nilai WVTR rendah mampu menghambat laju perpindahan uap air dari bahan ke lingkungan dengan baik.

Kemampuan antimikroba

Berdasarkan uji antimikroba, nanopartikel ZnO memiliki kemampuan menghambat mikroba, baik bakteri maupun cendawan. Meskipun berada pada matriks pektin, NP ZnO dapat terdifusi dengan baik dan menghambat pertumbuhan mikroba. Dari Tabel 6 terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi NP ZnO zona bening yang muncul semakin lebar.

Tabel 6 Zona hambat pengujian kemampuan antimikroba (mm)

Ket: nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda (a-b) berbeda nyata (p<0.05) pada konsentrasi asam stearat yang sama. Penambahan asam stearat tidak berpengaruh nyata.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, terdapat pengaruh yang signifikan pada konsentrasi NP ZnO terhadap besarnya zona hambat (Lampiran 7). Lebar zona bening yang muncul dengan penambahan NP ZnO 2% mencapai dua kali lipat dari konsentrasi 1%. Tidak ditemukan zona hambat pada film yang tidak mengandung nanopartikel ZnO. Hal ini terjadi karena pektin maupun asam stearat tidak memiliki kemampuan antimikroba. Penelitian terdahulu menemukan bahwa nanopartikel ZnO terbukti mampu menghambat pertumbuhan Botrytis cinerea dan Penicillium expansum (He et al. 2011). Jin et al. (2009) juga mengemukakan bahwa nanopartikel ZnO mampu melawan bakteri gram positif maupun gram negatif seperti Listeria monocytogenes, Salmonella Enteritidis, dan Escherichia coli. Dengan demikian, film nanokomposit dapat memperbaiki kemampuan antimikroba yang tidak dimiliki oleh film yang hanya terbuat dari pektin sehingga cocok digunakan untuk melindungi bahan pangan dari serangan mikroba.

Analisis sifat termal

Analisis sifat termal digunakan untuk mengukur energi yang diserap atau dilepaskan oleh bahan sebagai fungsi suhu. Komponen yang dapat diamati antara lain suhu transisis gelas, suhu titik leleh, dan jumlah panas yang diserap atau dilepaskan. Suhu transisi gelas merupakan suhu tejadinya perubahan bahan dari kondisi glassy ke kondisi rubbery. Sedangkan suhu titik leleh yaitu suhu perubahan bahan dari fase padat menjadi cair. Gambar 5 menunjukkan perbandingan sifat termal film nanokomposit berbasis pektin dengan penambahan nanopartikel ZnO dan asam stearat.

Berdasarkan grafik tersebut terlihat bahwa titik leleh atau melting point (Tm) film nanokomposit meningkat dengan adanya penambahan asam stearat sebesar 1% ditandai dengan pergeseran puncak (peak) grafik ke kanan. Nilai suhu transisi gelas, titik leleh, dan jumlah panas disajikan pada Tabel 7.

Asam stearat (%) Mikroba Nanopartikel ZnO 0% 1% 2% 0 E. coli 0 0.27±0.57a 0.55±0.28b S. aureus 0 0.96±0.09a 2.63±0.44b Penicillium sp. 0 0.53±0.01a 3.01±0.61b 1 E. coli 0 0.28±0.85a 0.56±0.21b S. aureus 0 0.97±0.08a 2.12±0.24b Penicillium sp. 0 0.60±0.01a 2.99±0.57b

-0.00 100.00 200.00 Temp [C] -60.00 -40.00 -20.00 0.00 mW

DSC Thermal Analysis Result

Ch1 1 S0Z0 DSC-60 2015-02-05.ta Ch1 2 S1Z0 DSC-60 2015-02-05.ta Ch1 3 S0Z1 DSC-60 2015-02-05.ta Ch1 5 S1Z1 DSC-60 2015-02-06.ta Ch1 4 S0Z2 DSC-60 2015-02-05.ta Ch1 6 S1Z2 DSC-60 2015-02-06.ta DSC DSC DSC DSC DSC DSC

Gambar 5 Perbandingan sifat termal film nanokomposit

Peningkatan konsentrasi nanopartikel ZnO mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu transisi gelas (Tg) dari 68.98oC menjadi 76.74oC (NP ZnO 1%) dan 73.40oC (NP ZnO 2%). Tidak ditemukan adanya suhu transisi gelas pada pengamatan film nanokomposit yang mengandung asam stearat. Suhu transisi gelas salah satunya dipengaruhi oleh kadar air bahan. Semakin tinggi kadar air bahan maka suhu transisi gelas semakin turun. Pada penelitian ini dihasilkan film yang mengandung NP ZnO memiliki kadar air yang lebih rendah daripada film tanpa NP ZnO. Hal ini diduga menjadi penyebab meningkatnya suhu transisi gelas akibat peningkatan konsentrasi nanopartikel ZnO. Suhu transisi gelas masih di atas suhu ruang sehingga film nanokomposit yang terbentuk ketika aplikasi pelapisan bersifat glassy atau getas dan padat serta tidak lunak.

Penambahan asam stearat mengakibatkan peningkatan titik leleh. Nilai titik leleh film diduga berhubungan dengan sifat mekanis film tersebut. Asam stearat pada penelitian ini mampu meningkatkan elongasi film sehingga titik leleh film dengan penambahan asam stearat lebih tinggi daripada film tanpa asam stearat.

Tabel 7 Suhu transisi gelas, titik leleh, dan entalpi film nanokomposit Perlakuan Tg (oC) Tm (oC) Entalpi (J/kg) Stearat 0%:NP ZnO 0% 68.98 132.87 150.60 Stearat 0%:NP ZnO 1% 76.74 118.03 122.09 Stearat 0%:NP ZnO 2% 73.40 132.11 126.57 Stearat 1%:NP ZnO 0% - 165.79 185.03 Stearat 1%:NP ZnO 1% - 162.65 270.14 Stearat 1%:NP ZnO 2% - 153.64 259.53

Keterangan: Tg: suhu transisi gelas; Tm: suhu titik leleh Tg = 73.40⁰C Tm = 132.87⁰C Stearat 0%, NP ZnO 0% Stearat 1%, NP ZnO 0% Stearat 0%, NP ZnO 1% Stearat 1%, NP ZnO 1% Stearat 0%, NP ZnO 2% Stearat 1%, NP ZnO 2% Tm = 118.03⁰C Tm = 132.11⁰C Tm = 153.64⁰C Tm = 162.65⁰C Tm = 165.79⁰C Tg = 68.98⁰C Tg = 76.74⁰C

Pemilihan Larutan Nanokomposit Terbaik

Bobot yang diberikan pada kriteria kadar air, warna, WVTR, dan kemampuan antimikroba masing-masing sebesar 15%, 15%, 35%, dan 35%. Bobot untuk WVTR dan kemampuan antimikroba lebih tinggi karena kedua kriteria ini merupakan faktor kritis lapisan coating pada produk. Perlakuan atau formula larutan nanokomposit dengan rataan terbobot paling tinggi dipilih sebagai larutan coating terbaik. Skor 1-6 menunjukkan peringkat perlakuan untuk masing-masing kriteria. Peringkat ini didasarkan pada nilai yang diperoleh dari hasil uji karakteristik film. Semakin besar skor yang diberikan, semakin bagus karakteristik filmnya.

Sebagai ilustrasi, nilai rerata WVTR pada larutan tanpa asam stearat dan NP ZnO sebesar 103.20 g/m2.jam. Nilai ini merupakan nilai terbesar di antara 6 formula yang ada sehingga diberi skor 1 karena nilai WVTR yang lebih baik adalah nilai yang lebih kecil. Selanjutnya skor diberi berurutan kepada nilai WVTR dari nilai WVTR tinggi hingga terendah. Rataan terbobot dihitung dengan cara menjumlahkan hasil perkalian antara skor yang diperoleh masing-masing formula dengan bobot kriterianya.

Tabel 8 Penilaian formula larutan nanokomposit Perlakuan Kriteria Rataan terbobot Kadar air (15%) Warna (15%) WVTR (35%) Antimikroba (35%) Stearat 0%:NP ZnO 0% 1 6 1 1 1.75 Stearat 0%:NP ZnO 1% 3 4 2 2 2.45 Stearat 0%:NP ZnO 2% 4 3 4 3 3.50 Stearat 1%:NP ZnO 0% 2 5 3 1 2.45 Stearat 1%:NP ZnO 1% 5 2 5 2 3.50 Stearat 1%:NP ZnO 2% 6 1 6 3 4.20

Tabel 8 menunjukkan bahwa nilai rataan terbobot paling tinggi diperoleh dari formula larutan nanokomposit dengan asam stearat 1% dan nanopartikel ZnO 2%. Komposisi larutan ini yang selanjutnya digunakan sebagai formula larutan coating pada aplikasi pelapisan buah salak pondoh.

Analisis Mutu Buah Salak Pondoh Selama Penyimpanan

Laju respirasi

Buah salak pondoh termasuk jenis buah nonklimakterik yang dicirikan dengan tidak adanya peningkatan laju respirasi selama penyimpanan. Laju respirasi pada umumnya mengalami penurunan selama penyimpanan karena senyawa kompleks yang akan diurai semakin sedikit seiring lama penyimpanan. Gambar 6 dan 7 menampilkan perubahan laju produksi CO2 dan laju konsumsi O2 buah salak pondoh.

Lapisan coating akan menghambat transmisi gas yang terjadi pada buah. Buah yang terlapisi larutan coating memperoleh jumlah gas yang lebih sedikit dibandingkan dengan buah tanpa lapisan coating. Pelapisan dimaksudkan untuk

mencegah kontak langsung antara buah dengan udara. Dengan demikian, proses respirasi buah menjadi terhambat sehingga akan menekan metabolisme.

Gambar 6 Laju produksi CO2 salak pondoh selama penyimpanan

Berdasarkan uji T berpasangan, perlakuan pelapisan tidak berpengaruh nyata terhadap laju respirasi, baik laju produksi CO2 maupun laju konsumsi O2. Tidak adanya perbedaan yang signifikan ini diduga terjadi karena lapisan coating yang terbentuk masih terlalu tipis sehingga belum mampu menghambat laju transmisi gas. Ketebalan lapisan coating salah satunya dipengaruhi oleh kekentalan larutan. Semakin kental larutan maka semakin tebal lapisan yang terbentuk. Kekentalan dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan konsentrasi biopolimer atau bahan tambahan lain. Selain itu, ketebalan film juga dapat ditingkatkan dengan cara melakukan pencelupan buah secara berulang atau lebih dari satu kali pencelupan.

Pada hari ke-9 untuk pengamatan laju produksi CO2 terlihat bahwa terjadi adanya lonjakan produksi karbondioksida. Lonjakan ini merupakan lonjakan yang wajar dan bukan menunjukkan ciri klimakterik. Pada buah klimakterik, terjadi lonjakan yang nilai laju respirasinya lebih besar daripada awal pengukuran atau penyimpanan. Adanya lonjakan laju produksi CO2 pada penelitian ini dimungkinkan terjadi karena pertumbuhan cendawan atau eror pengukuran dari alat yang digunakan.

Gambar 7 Laju konsumsi O2 salak pondoh selama penyimpanan

20 25 30 35 40 45 50 55 60 0 2 4 6 8 10 la ju p ro d u k si CO2 (m l/ k g .ja m )

lama penyimpanan (hari)

tanpa coating dengan coating 20 25 30 35 40 45 50 55 0 2 4 6 8 10 la ju k o n sum si O 2 (m l/ k g .ja m )

lama penyimpanan (hari)

tanpa coating dengan coating

Susut bobot

Berat buah merupakan salah satu parameter mutu yang berpengaruh terhadap aspek ekonomi. Susut bobot mengindikasikan adanya penurunan mutu buah. Perubahan susut bobot buah salak pondoh selama penyimpanan disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Perbandingan susut bobot buah salak pondoh

Dari gambar di atas terlihat bahwa susut bobot mengalami peningkatan selama penyimpanan. Peningkatan yang terjadi pada salak pondoh dengan perlakuan pelapisan lebih rendah dibandingkan dengan tanpa pelapisan larutan nanokomposit. Berdasarkan uji-T berpasangan, aplikasi pelapisan memberikan pengaruh signifikan terhadap perubahan susut bobot sejak hari ke-5 penyimpanan. Susut bobot menandakan terjadinya kehilangan air pada buah selama proses penyimpanan. Kehilangan air ini dipengaruhi oleh laju respirasi dan transpirasi melalui kulit buah (Hernandez-Munoz et al. 2008). Kulit buah yang tipis, seperti pada stroberi, memungkinkan kehilangan air yang sangat cepat dan mengakibatkan buah keriput dan cepat busuk. Selain itu, proses respirasi berpengaruh terhadap susut bobot karena menyumbang hilangnya air melalui proses pemecahan senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana yaitu karbondioksida dan H2O (air). Semakin tinggi laju respirasi buah maka semakin besar susut bobot yang terjadi.

Marlina et al. (2014) yang melaporkan bahwa pelapisan salak pondoh dengan lilin lebah 10% mampu menekan susut bobot salak pondoh menjadi 10.61% pada hari ke-15 penyimpanan pada suhu ruang. Hasil yang lebih rendah diduga karena perbedaan penggunaan polimer larutan coating. Lilin lebah merupakan jenis asam lemak yang memiliki sifat hidrofobik yang tinggi sehingga lebih mampu mengurangi kehilangan air (transpirasi). Pelapisan dengan larutan nanokomposit terpilih juga diduga menghasilkan lapisan coating yang masih tipis sehingga perlu ditingkatkan kekentalan larutannya atau dilakukan pencelupan berulang.

Upaya pelapisan pada buah dilakukan untuk menekan kehilangan air melalui transpirasi sehingga susut bobot buah menjadi lebih rendah. Larutan nanokomposit terpilih memiliki sifat laju transmisi uap air yang paling rendah

y = 3,1839x R² = 0,9507 y = 2,1472x R² = 0,9464 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0 3 6 9 12 15 su su t b o b o t (% )

lama penyimpanan (hari)

tanpa coating dengan coating

diantara 6 formula larutan pembentuk film pada tahap pertama. Semakin kecil nilai WVTR lapisan film yang terbentuk maka semakin rendah kehilangan air yang terjadi pada buah. Pada akhir penyimpanan (hari ke-14) buah salak pondoh terlapisi larutan nanokomposit terpilih mengalami susut bobot sebesar 27.8%. Nilai ini setara dengan susut bobot yang dialami salak pondoh tanpa pelapisan pada saat 9 hari penyimpanan. Dengan demikian, lapisan nanokomposit terpilih

Dokumen terkait