• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Film Nanokomposit Berbasis Pektin dan : Nanopartikel ZnO serta Aplikasinya sebagai Pelapis Buah : Salak Pondoh Utuh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Film Nanokomposit Berbasis Pektin dan : Nanopartikel ZnO serta Aplikasinya sebagai Pelapis Buah : Salak Pondoh Utuh"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN FILM NANOKOMPOSIT BERBASIS PEKTIN

DAN NANOPARTIKEL ZnO SERTA APLIKASINYA SEBAGAI

PELAPIS BUAH SALAK PONDOH UTUH

IMAN SABARISMAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pengembangan Film Nanokomposit Berbasis Pektin dan Nanopartikel ZnO serta Aplikasinya sebagai Pelapis Buah Salak Pondoh Utuh adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

(4)

dan Nanopartikel ZnO serta Aplikasinya sebagai Pelapis Buah Salak Pondoh Utuh. Dibimbing oleh Nugraha Edhi Suyatma dan Usman Ahmad.

Pektin merupakan biopolimer pembentuk film yang murah dan melimpah kesediaannya di alam. Sayangnya film yang terbuat dari pektin saja memiliki sifat barrier terhadap uap air yang rendah serta tidak tahan terhadap serangan kapang. Penambahan asam lemak dan nanopartikel ZnO (NP ZnO) diharapkan dapat memperbaiki karakteristik film berbasis pektin. Salah satu aplikasi penggunaan larutan nanokomposit yaitu sebagai pelapis pada produk pertanian segar, terutama buah dan sayuran. Pelapisan merupakan cara yang mudah untuk melindungi produk dari kehilangan air dan kontaminasi mikroba yang mengakibatkan kerusakan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi karakteristik film nanokomposit berbasis pektin dengan penambahan asam stearat dan NP ZnO serta mempelajari pengaruh pelapisan nanokomposit berbasis pektin terhadap mutu buah salak pondoh utuh selama penyimpanan.

Tahap pertama pada penelitian ini yaitu persiapan dan karakterisasi film nanokomposit berbasis pektin dengan penambahan asam stearat dan NP ZnO. Film nanokomposit dibuat dengan cara mendispersikan NP ZnO (0, 1, dan 2 %b/b pektin) dan asam stearat (0 dan 1 %b/b pektin) ke dalam larutan pektin (1 %b/v aquades) kemudian dicetak dan dikeringkan pada suhu 45 ⁰C selama 20 jam. Karakteristik film yang diuji meliputi ketebalan, kadar air, warna, kuat tarik dan elongasi, laju transmisi uap air, kemampuan antimikroba, serta analisis sifat termal film. Tahap kedua yaitu aplikasi formula terbaik larutan nanokomposit yang diperoleh dari tahap pertama sebagai pelapis buah salak pondoh utuh. Setelah disortasi, buah salak pondoh dicelupkan ke dalam larutan nanokomposit selama 30 detik kemudian dikeringanginkan. Buah salak pondoh disimpan pada suhu ruang selama 14 hari dan dianalisis mutunya secara berkala meliputi laju respirasi, susut bobot, warna kulit, total padatan terlarut, dan pertumbuhan mikroba.

Film nanokomposit berbasis pektin yang terbentuk memiliki ketebalan antara 0.07 hingga 0.0975 mm, kadar air antara 11.51 hingga 13.38%, laju transmisi uap air antara 57.4 hingga 103.2 g/m2.jam, kuat tarik antara 18.3 hingga 28.3 kPa, persen elongasi antara 8.9 hingga 30.9%, dan titik leleh antara 132.11 hingga 165.79 ⁰C. Selain itu, film yang mengandung NP ZnO, baik 1% maupun 2%, mampu menghambat pertumbuhan E. coli, S. aureus, dan Penicillium sp. Aplikasi pelapisan pada buah salak pondoh utuh dengan larutan nanokomposit (1% asam stearat dan 2% NP ZnO) mampu menekan susut bobot, menghambat pertumbuhan mikroba, dan mempertahankan warna kulit buah.

(5)

and ZnO Nanoparticles and Its Application as Coating on Snake Fruits. Under direction of Nugraha Edhi Suyatma and Usman Ahmad.

Pectin, as a film-forming biopolymer, was low price and abundantly available. Unfortunately, film made only with pectin has a poor water vapour barrier characteristic and irresistance againts fungi. Addition of stearic acid and ZnO nanoparticles (ZnO NPs) were intended to improve the pectin film properties. One of the potential applications of nanocomposite solution is for coating fresh food product, such as fruits and vegetables. Coating was effective method to preserve the product from water loss and microorganism decay. The present study was aimed to evaluate characteristics of pectin based nanocomposite films by incorporating ZnO NPs and stearic acid, and to observe the effect of pectin based nanocomposite coating on snake fruit quality during storage.

The first experiment were preparation and characterization of pectin based nanocomposite films incorporated by ZnO NPs and stearic acid. The nanocomposite films based on pectin were fabricated by dispersing ZnO NPs (0, 1, and 2%, w/w pectin) and stearic acid (0 and 1%, w/w pectin) into a pectin solution (1% w/v aquadest) followed by casting and drying process at 45⁰C, 20 h. The characteristics of nanocomposites films were evaluated on the thickness, water content, surface color, tensile strength and elongation, water vapour transmission rate, thermal properties, and antimicrobial activity. The second experiment was application of the best formula of nanocomposite solution obtained from the first experiment as snake fruit coating. After sorting, the snake fruits were dipped in the nanocomposite solution for 30 s then stored for 14 days at room temperature. Respiration rate, weight loss, skin color, total soluble solid, and microbial growth were evaluated periodically.

The results showed that the thickness of pectin based nanocomposite films was 0.07-0.0975 mm, the water content was 11.51-13.38%, the water vapour transmission rate was 57.4-103.2 g/m2.h, the tensile strength was 18.3-28.3 kPa, the percentage of elongation was 8.9-30.9%, and melting point 132.11-165.79⁰C. Besides that the films with addition ZnO NPs could inhibit growth of E. coli, S. aureus, and Penicillium sp. The results of coating application showed that nanocomposite coating (1% stearic acid and 2% ZnO NPs) on snake fruits could reduce weight loss, inhibit microbial growth, and preserve skin color of snake fruit.

(6)

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(7)

PENGEMBANGAN FILM NANOKOMPOSIT BERBASIS PEKTIN

DAN NANOPARTIKEL ZnO SERTA APLIKASINYA SEBAGAI

PELAPIS BUAH SALAK PONDOH UTUH

IMAN SABARISMAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Departemen Teknik Mesin dan Biosistem

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Nama : Iman Sabarisman

NIM : F152120081

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA Dr Ir Usman Ahmad, MAgr

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Pascapanen

Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema yang diambil dalam penelitian ini adalah film nanokomposit, dengan judul Pengembangan Film Nanokomposit Berbasis Pektin dan Nanopartikel ZnO serta Aplikasinya sebagai Pelapis Buah Salak Pondoh Utuh.

Pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA dan Dr Ir Usman Ahmad, MAgr selaku pembimbing atas arahan, ilmu dan motivasi yang diberikan dari awal hingga akhir proses penelitian ini,

2. Dr Fahim M. Taqi, STP, DEA selaku penguji atas masukan dan saran demi sempurnanya karya ilmiah ini,

3. Orangtua dan mertua karena atas doa dan ridha mereka penulis mampu menyelesaikan studi dan penelitian ini,

4. Istri Nurwulan Purnasari dan putra Muhammad Rayhan A. atas dukungan dan perhatian selama penulis menjalani studi dan penelitian,

5. DIKTI yang telah membiayai studi penulis melalui program Beasiswa Unggulan.

Selain itu tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada para sahabat, partner penelitian dan diskusi, laboran, teman-teman TPP 2012 serta pihak-pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu atas dukungannya selama ini. Akhir kata semoga penelitian ini bermanfaat demi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(11)

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Pektin dan Asam Lemak ... 4

Nanopartikel ZnO ... 5

Salak Pondoh ... 6

Pascapanen Salak ... 6

Penyakit Pascapanen ... 8

Pelapisan (Coating) ... 8

METODOLOGI PENELITIAN ... 10

Tempat dan Waktu Penelitian ... 10

Bahan ... 10

Alat ... 10

Prosedur Percobaan ... 10

Tahap 1: Karakterisasi film nanokomposit berbasis pektin dan NP ZnO ... 12

Tahap 2: Aplikasi larutan nanokomposit sebagai pelapis buah salak pondoh . 15 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

Karakteristik Film Nanokomposit ... 17

Pemilihan Larutan Nanokomposit Terbaik ... 24

Analisis Mutu Buah Salak Pondoh Selama Penyimpanan ... 24

SIMPULAN DAN SARAN ... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 31

LAMPIRAN ... 31

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 (a) Struktur pektin dan grup fungsional: (b) karboksil, (c) ester, (d) amida dalam rantai pektin ... 4

(12)

Gambar 5 Perbandingan sifat termal film nanokomposit ... 23

Gambar 6 Laju produksi CO2 salak pondoh selama penyimpanan ... 25

Gambar 7 Laju konsumsi O2 salak pondoh selama penyimpanan ... 25

Gambar 8 Perbandingan susut bobot buah salak pondoh ... 26

Gambar 9 Perbandingan total padatan terlarut buah salak pondoh ... 28

Gambar 10 Total mikroba pada buah salak pondoh selama penyimpanan ... 29

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kelas mutu buah salak pondoh (SNI 01-3167-1992) ... 7

Tabel 2 Ketebalan film nanokomposit (×10-2 mm) ... 17

Tabel 3 Kadar air film nanokomposit (%) ... 17

Tabel 4 Nilai ∆E film nanokomposit ... 18

Tabel 5 Laju transmisi uap air (g/m2.jam) ... 21

Tabel 6 Zona hambat pengujian kemampuan antimikroba (mm)... 22

Tabel 7 Suhu transisi gelas, titik leleh, dan entalpi film nanokomposit ... 23

Tabel 8 Penilaian formula larutan nanokomposit ... 24

Tabel 9 Warna kulit buah salak pondoh selama penyimpanan ... 27

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil analisis statistik ketebalan film ... 35

Lampiran 2 Hasil analisis statistik kadar air film ... 36

Lampiran 3 Hasil analisis statistik warna film ... 37

Lampiran 4 Hasil analisis statistik kuat tarik film ... 38

Lampiran 5 Hasil analisis statistik elongasi film ... 39

Lampiran 6 Hasil analisis statistik WVTR ... 40

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bahan yang paling banyak digunakan untuk mengemas produk pangan saat ini adalah plastik. Selain dari segi harga yang sangat terjangkau, plastik bersifat fleksibel, kuat, dan tidak korosif. Akan tetapi, plastik tidak bersifat biodegrable sehingga membutuhkan waktu yang lama atau bertahun-tahun untuk terurai secara sempurna. Dengan demikian, plastik dapat menimbulkan pencemaran lingkungan apabila tidak ditangani dengan baik. Oleh karena itu, pemakaian bahan–bahan ramah lingkungan mulai dikembangkan dalam pembuatan kemasan. Salah satunya yaitu muncul kemasan edible. Edible packaging merupakan pengemas bersifat biodegradable yang pada umumnya dibuat dari bahan hidrokoloid, lemak atau campuran keduanya. Edible film komposit (gabungan hidrokolid dan lemak) dapat menggabungkan kelebihan sifat-sifat dari film hidrokoloid dan lemak, serta mengurangi kelemahannya.

Pektin sering digunakan sebagai bahan baku edible film karena ketersediannya di alam memlimpah, banyak terdapat pada bahan pertanian yang tidak termanfaatkan lagi, misalnya pada kulit buah. Pektin merupakan bahan dasar pembuatan edible film/coating berbasis hidrokoloid, yang memiliki permeabilitas terhadap gas yang bagus tetapi kurang baik dalam menahan uap air (Krochta dan De Moulder-Johnson 1997). Oleh karena itu, sering dilakukan penambahan lemak untuk menurunkan permeabilitasnya terhadap uap air karena lemak bersifat hidrofobik. Pembuatan edible film dari lemak saja juga tidak baik karena rapuh dan mudah teroksidasi (tengik). Menurut Hagenmaier dan Shaw (1990), asam lemak rantai panjang dapat digunakan dalam pembuatan edible film/coating karena mempunyai titik leleh (melting point) yang tinggi dan permeabilitas uap air yang rendah. Salah satu jenis asam lemak rantai panjang yang dapat digunakan dalam pembuatan edible film adalah asam lemak stearat (C:18).

Penelitian dan penemuan nanoteknologi dalam bidang kemasan pangan mulai bermunculan akhir–akhir ini. Salah satunya yaitu penggunaan nanopartikel ZnO (NP ZnO) yang dapat menghambat pertumbuhan berbagai bakteri dan cendawan patogen. Agen antimikroba dalam ukuran lebih kecil (nanometer) memiliki sifat lebih reaktif sehingga lebih cepat dan efisien menghambat pertumbuhan mikroba. Selain itu, penambahan nanopartikel juga mampu memperbaiki sifat mekanis film (Zheng et al. 2015).

Salah satu pemanfaatan kemasan edible yaitu digunakan sebagai pelapis (coating) makanan semi basah maupun buah-buahan (Nurhayati dan Agusman 2011). Akan tetapi, penelitian dan penggunaan nanokomposit untuk pelapisan buah segar masih sangat jarang dilakukan di Indonesia. Padahal larutan nanokomposit memiliki sifat barrier terhadap gas maupun uap air yang lebih baik dan kemampuan menghambat pertumbuhan mikroba. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengembangan dan aplikasi film/coating nanokomposit untuk pengawetan buah segar.

(14)

domestik maupun manca negara begitu tinggi. Konsumsi salak per kapita pada tahun 2008 sebesar 1.64 kg/tahun dengan level kerusakan buah sekitar 15%. Permintaan buah salak per tahun sebesar 420 000 ton, sudah termasuk permintaan ekspor, pasar modern, dan olahan buah. Kabupaten Sleman, Magelang, dan Banjarnegara menjadi daerah produsen salak terbesar, sekitar 60–70% buah salak yang ada di pasar – pasar Jakarta merupakan pasokan yang berasal dari kabupaten tersebut. Jumlah buah yang dibutuhkan untuk pasar ekspor mencapai 32 755 ton/tahun untuk berbagai negara tujuan seperti Singapura, Hong Kong, dan Malaysia. Beberapa negara seperti China, Jepang, Belanda, dan Amerika Serikat juga menunjukkan ketertarikannya untuk mengimpor salak dari Indonesia (Dimyati et al. 2008).

Umur simpan buah salak relatif pendek yaitu sekitar satu minggu. Penentuan umur simpan ini terkait dengan penurunan mutu dan sifat/karakteristik buah salak. Selama distribusi, pemasaran dan penyimpanannya buah salak pondoh akan mengalami perubahan sifat yang mengarah ke penurunan mutu yaitu kulit berangsur-angsur kering sehingga sulit dikupas, daging buah berubah warna menjadi cokelat, lunak, berair dan bahkan busuk sehingga akan menyebabkan terjadinya penurunan bobot buah serta nilai gizi dan rasanya. Buah salak pondoh memiliki pola respirasi nonklimakterik dan laju transpirasi yang tinggi (Santosa 2007). Transpirasi merupakan salah satu proses utama penyebab penurunan mutu produk yang mengganggu nilai komersial serta fisiologis buah. Akibat hilangnya air dari buah ialah rusaknya kenampakan tekstur, cita rasa, dan menurunnya bobot buah. Semakin tinggi laju transpirasi suatu produk pertanian maka penurunan mutu akan semakin cepat terjadi.

Penyebab penurunan mutu lainnya yaitu adanya penyakit pascapanen salak yang disebabkan oleh cendawan. Salah satu penyakit yang muncul setelah salak dipanen adalah penyakit busuk ujung buah. Hal ini kemungkinan terjadi karena salak yang dipanen lepas tandan mengalami luka dan sedikit terkelupas pada ujung buahnya. Seperti yang ditemukan oleh Murtiningsih et al. (1995) dalam Kusumo (1995), penyakit pascapanen buah salak disebabkan oleh cendawan Thielaviopsis sp. yang menimbulkan gejala kerusakan 6.6 hari setelah panen. Pencelupan dalam air pada suhu 50 0C selama 30 menit (hot water treatment) dapat mempertahankan umur simpan selama 10.8 hari pada suhu ruang. Penyakit akan sangat cepat menular dan mengakibatkan kerusakan yang parah karena salak akan semakin cepat busuk. Oleh karena itu, diperlukan metode lain untuk mengatasi permasalahan ini.

(15)

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, muncul permasalahan yaitu belum diketahuinya karateristik atau sifat-sifat dari film nanokomposit berbasis pektin dan NP ZnO, baik sifat fisik, mekanis, maupun antimikrobanya. Pengaruh larutan nanokomposit sebagai pelapis buah salak pondoh juga merupakan salah satu hal yang perlu dipelajari. Aplikasi pelapisan pada buah menimbulkan pertanyaan tentang efek dari larutan nanokomposit berbasis pektin dan NP ZnO terhadap perubahan mutu buah selama penyimpanan.

Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan informasi karakteristik film nanokomposit berbasis pektin dengan penambahan asam stearat dan nanopartikel ZnO.

2. Mempelajari pengaruh pelapisan nanokomposit berbasis pektin terhadap mutu buah salak pondoh utuh selama penyimpanan.

Hipotesis Penelitian

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Pektin dan Asam Lemak

Menurut Sriamornsak (2003), pektin merupakan merupakan polimer dari

asam D-galakturonat yang dihubungkan oleh ikatan β-1,4 glikosidik. Sebagian

gugus karboksil pada polimer pektin mengalami esterifikasi dengan metil (metilasi) menjadi gugus metoksil. Senyawa ini disebut sebagai asam pektinat atau pektin. Struktur asam pektinat atau pektin dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 1 (a) Struktur pektin dan grup fungsional: (b) karboksil, (c) ester, (d) amida dalam rantai pektin

Pektin pada tanaman sebagian besar terdapat pada lamela tengah dinding sel (Glicksman 1986). Pada dinding sel tanaman tersebut pektin berikatan dengan ion kalsium dan berfungsi untuk memperkuat struktur dinding sel. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan proses ekstraksi, pektin harus dilepaskan dari ion kalsium. Secara kimiawi, pektin adalah salah satu polisakarida linear. Pektin mengandung sekitar 300 sampai 1 000 unit monosakarida. Unit monosakarida dari pektin adalah asam D-galakturonat.

Berdasarkan hasil penelitian Murdianto (2005), penambahan asam strearat mempengaruhi sifat fisik dan mekanik edible film pektin dari cincau hitam. Peningkatan konsentrasi asam stearat menyebabkan kenaikan ketebalan tetapi menurunkan kuat regang putus, kelarutan dan laju transmisi uap air edible film yang dihasilkan.

Penambahan asam lemak laurat dapat menyebabkan penurunan plastisitas karena adanya diskontinuitas polimer matriks film, sehingga kekakuan film bertambah (Jimenez A et.al. 2010). Selain itu Ayranci dan Tunc (2001) juga melaporkan bahwa penambahan asam lemak laurat dan stearat pada edible film berbasis selulosa dapat menurunkan nilai laju transmisi uap airnya (water vapour transmission rate).

(17)

peningkatan tingkat hidrofobisitas asam lemak berbanding lurus dengan panjang rantai karbonnya (Ayranci dan Tunc 2001). Asam lemak stearat memiliki rantai hidrokarbon yang panjang (18 atom C) dan memiliki mobilitas yang rendah. Pada penelitian yang lain juga disebutkan bahwa edible film dengan stearat lebih efektif dibandingkan dengan edible film yang mengandung laurat dan palmitat (Ayranci dan Tunc 1997). tetapi pengecualian yang penting adalah asam stearat banyak ditemukan pada cocoa butter yang memiliki kandungan stearat sebesar 28-45% (Beare-Rogers et.al. 2001).

Nanopartikel ZnO

Nanopartikel merupakan bahan dengan ukuran partikel antara 1 hingga 100 nanometer. Nanokomposit merupakan gabungan beberapa bahan yang berukuran nano atau satu bahan berukuran nano yang dimasukkan ke dalam sebuah bahan curah (Zheng et al. 2015). ZnO merupakan senyawa anorganik yang biasa digunakan dalam aplikasi sehari-hari yang telah masuk dalam daftar bahan GRAS (generally recognized as safe) oleh Badan Pangan Amerika (FDA). Senyawa ZnO ini menunjukkan aktivitas antimikroba untuk menghambat pertumbuhan patogen terbawa pangan (Espitia et al. 2012).

Zinc (Zn) adalah mikronutrien esensial bagi kesehatan manusia. Kekurangan zat Zn secara serius dapat menyebabkan masalah kesehatan yang sangat parah. Oleh karena itu, fortifikasi Zn pada bahan pangan tertentu sering dilakukan untuk mencukupi kebutuhan Zn dalam tubuh. ZnO merupakan sumber Zn yang aman sebagai bahan tambahan pangan atau fortifikasi karena akan didekomposisi menjadi ion Zn setelah dikonsumsi (Shi dan Gunasekaram 2008).

Nanopartikel zinc oxide telah banyak dikembangkan karena memiliki aktivitas antibakteri, antifungi, filter UV, fotokimia dan katalis yang tinggi. Antibakteri nanoparikel ZnO (NP-ZnO) lebih kuat daripada bubuk ZnO. Hal ini disebabkan oleh ukuran partikel yang lebih kecil memiliki luas permukaan yang lebih besar sehingga lebih efisien dalam menghambat pertumbuhan mikroba (Jayaseelan et al. 2012).

(18)

Aktivitas antifungi NP-ZnO juga diamati oleh He et al. (2011) pada dua jenis cendawan patogen yaitu Botryris cinerea dan Penicillium expansum. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi NP-ZnO lebih dari 3 mmol/l secara signifikan mampu menghambat pertumbuhan B. cinerea dan P. expansum. Hasil ini mendukung bahwa NP-ZnO dapat digunakan sebagai fungisida yang efektif dalam aplikasi pertanian dan keamanan pangan.

Salak Pondoh

Salak pondoh merupakan jenis salak yang paling terkenal di daerah Sleman, Yogyakarta. Daerah penghasil salak pondoh tersebar pada tiga kecamatan, yaitu Tempel, Turi dan Pakem, khususnya di desa Soka, Turi dan Candi. Keunggulan jenis salak ini dibandingkan dengan salak lain adalah buahnya manis meskipun masih muda dan gurih tanpa rasa sepat (Putra 2011). Hal ini dipengaruhi oleh komposisi kimianya, yaitu kandungan taninnya yang relatif kecil 0.08% dan kandungan gulanya yang relatif tinggi 23.3% dengan kandungan total asam yang kecil 0.32%.

Putra (2011) juga mengungkapkan bahwa komposisi kimia daging buah salak berubah dengan makin meningkatnya umur buah dan bervariasi menurut varietasnya. Salak pondoh mempunyai kandungan kimiawi yang relatif konstan pada umur 5 bulan sesudah penyerbukan. Pada saat ini kadar gulanya mencapai nilai tertinggi, sedangkan kadar asam dan taninnya adalah terendah. Oleh sebab itu, umur 5 bulan merupakan saat petik yang baik untuk konsumsi, karena pada saat itu buah rasanya manis dan rasa asamnya hampir tidak ada.

Masih menurut Putra (2011), apabila dibandingkan dengan tiga varietas yang lain, yaitu salak Sleman, salak Bali dan salak Condet, ternyata salak Pondoh mempunyai rasio gula asam yang tertinggi (72.81), disusul salak Sleman (52.44), salak Bali (41.47) dan yang terendah salak Condet 38.87. Bentuk penampilan salak Pondoh juga agak berbeda dibandingkan buah salak yang lain, yaitu mendekati bundar, ukurannya relatif kecil (30-100 gram), teksturnya lebih keras, warna dagingnya lebih putih tetapi warna kulitnya lebih hitam. Salak Pondoh Hitam mempunyai warna yang tidak menarik tetapi mempunyai rasa paling enak. Buah salak bahkan mempunyai nilai gizi (nutrisi) yang hampir sama dengan buah kiwi (Gorinstein et al. 2009).

Pascapanen Salak

(19)

pembersihan, penyortiran dan pengkelasan, pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutan.

Pembersihan

Pembersihan buah salak dilakukan dengan menyikat buah menggunakan sikat ijuk atau plastik dengan gerakan searah susunan sisik. Kebersihan salak berpengaruh terhadap masa simpan buah salak (Siregar 2007).

Penyortiran dan pengkelasan

Sortasi bertujuan untuk memilih buah yang baik, tidak cacat, dan dipisahkan dari buah yang busuk, pecah, tergores, atau tertusuk. Selain itu juga berguna untuk membersihkan buah salak dari kotoran, sisa-sisa duri, tangkai, dan ranting (Siregar 2007). Standar mutu salak Indonesia tercantum pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3167-1992. Salak dibagi dalam 2 (dua) kelas mutu, yaitu kelas A dan kelas B. Ukuran berat dibagi atas ukuran besar untuk salak yang berbobot 61 gram atau lebih per buah, ukuran sedang berbobot 33-60 g/buah, dan ukuran kecil berbobot 32 g atau kurang per buah.

Tabel 1 Kelas mutu buah salak pondoh (SNI 01-3167-1992)

Tingkat Kelas A Kelas B

Ketuaan Seragam tua Kurang seragam

Kekerasan Keras Keras

Kerusakan Kerusakan kulit buah Utuh Kurang utuh

Ukuran Seragam Seragam (kotak karton gelombang) atau kemasan tradisional khas sentra produksi, seperti salak sidimpuan yang dikemas dalam karung anyaman pandan. Beberapa jenis kemasan salak pondoh untuk tujuan pasar lokal yang umum digunakan yaitu keranjang dari anyaman bambu sedangkan untuk tujuan pasar swalayan dikemas dengan polyetylene atau bungkus plastik (Siregar, 2007).

Penyimpanan

Penyimpanan bertujuan untuk memperpanjang daya gunanya dan dalam keadaan tertentu memperbaiki mutunya, menghindarkan banjirnya produk ke pasar, meningkatkan keuntungan produsen, membantu pemasaran yang teratur, pengendalian laju transpirasi dan repirasi, serta infeksi penyakit (Pantastico,1986). Pengangkutan

(20)

penghasil utamanya ke konsumen. Pemilihan kendaraan angkutan bergantung pada taksiran umur komoditi, waktu dan jarak ke pasar, nilai komoditi, biaya pengangkutan, dan tersedianya cara-cara pengangkutan itu (Pantastico 1986).

Penyakit Pascapanen

Komoditas buah-buahan bersifat rentan dan dapat terinfeksi oleh patogen dengan cara penetrasi langsung menembus kutikula yang masih utuh, melalui luka-luka atau lubang alami yang terdapat pada permukaan inang. Semua produk yang dihasilkan tanaman berupa buah, batang, daun dan akar yang bersifat pascapanen memiliki sifat rentan terhadap patogen (Pratomo 2009). Selain itu,banyak penyakit pascapanen diawali oleh adanya luka selama dan sesudah pemanenan. Penyakit pascapanen pada buah atau bagian tanaman lain dapat terjadi selama pemanenan dan pengemasan, saat transportasi atau saat siap dikonsumsi.

Beberapa cendawan patogen diketahui dapat membentuk tubuh buah berupa peritesium (teleomorf), seperti pada ordo Diaporthales (Diaporthe,Cryphonectria, Gnomonia, Magnaporthe dan Gaeumannomyces); Phyllachorales (Glomerella); Hypocreales (Nectria, Colanectria, Gibberella dan Claviceps); Ophiostomatales (Ophiostoma) serta Microascales (Ceratocystis). Perkembangan cendawan pada stadia tidak sempurna, seperti pada genus Chalara (Moniliaceae), Chalaropsis dan Thielaviopsis (Dematiaceae) membentuk endokonidium dengan panjang 11– 16 cm dan lebar 4–5 cm yang berbentuk silindris. Khusus Chalaropsis dan Thielaviopsis, konidiofor dapat membentuk aleurio konidium yang berwarna gelap, berdinding tebal dan berfungsi seperti klamidospora (Pratomo 2009).

Murtiningsih et al. (1995) dalam Kusumo (1995) menemukan bahwa penyakit pascapanen buah salak disebabkan oleh cendawan Thielaviopsis sp. yang menimbulkan gejala kerusakan 6.6 hari setelah panen. Pencelupan dalam air pada suhu 50 0C selama 30 menit (hot water treatment) dapat mempertahankan umur simpan selama 10.8 hari pada suhu ruang. Sedangkan menurut Pratomo (2009), cendawan penyebab penyakit pascapanen salak yaitu Chalaropsis sp. Lebih lanjut lagi Pratomo (2009) menyatakan bahwa cendawan Thielaviopsis, terutama T. bassicola adalah patogen tular tanah penyebab penyakit rebah kecambah dan busuk hitam perakaran pada beberapa tanaman. Cendawan ini memiliki banyak tanaman inang yang tersebar luas terutama di daerah tropika. T. paradoxa diketahui menjadi penyebab busuk hitam buah nenas dengan gejala utama berupa pelunakan daging buah.

Pelapisan (Coating)

(21)

umum berbagai warna dan juga diperkaya dengan vitamin serta zat-zat gizi lainnya untuk melakukan perbaikan gizi tanpa merusak keutuhan produk pangan.

Menurut Donhowe dan Fennema (1994), metode untuk aplikasi coating pada buah dan sayuran terdiri dari beberapa cara, yakni metode pencelupan (dipping), pembusaan, penyemprotan (spraying), penuangan (casting), dan aplikasi penetesan terkontrol. Cara aplikasi ini tergantung pada jumlah, ukuran, sifat produk, dan hasil yang diinginkan. Metode dipping merupakan metode yang paling banyak digunakan terutama untuk sayuran, buah, daging, dan ikan, dimana melalui metode ini produk akan dicelupkan kedalam larutan yang digunakan sebagai bahan coating. Krochta et al. (1994) menyebutkan bahwa secara umum ada tiga kelompok materi yang biasa digunakan untuk pembuatan film atau coating, yakni protein, polisakarida, dan lipid (termasuk lilin, emulsifier, serta turunannya).

Prinsip pembuatan edible coating sama dengan edible film. Hal yang membedakannya adalah cara pembentukannya. Pelapis edibel langsung dibentuk pada permukaan produk, sedangkan edible film dibentuk secara terpisah dari produk. Donhowe dan Fennema (1994) mengemukakan bahwa pembuatan film dan pelapis edibel dapat dilakukan dengan cara konservasi (conservation), pemisahan pelarut (solvent removal) dan pemadatan larutan (solidification of melt). Larutan coating yang baik berupa larutan yang memiliki viskositas dan pH yang stabil, mampu menghambat pertukaran gas dan uap air dengan baik, serta tidak mudah rapuh atau retak. Selain itu, karakteristik lain yang penting yaitu memiliki surface tension rendah sehingga menempel di permukaan produk (Krochta et al. 1994). Menurut Suzan (1994), bahan tambahan seperti antimikroba dan bahan pengawet sering digunakan dalam pembuatan edible film untuk meningkatkan fungsinya.

(22)

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen TMB Fateta IPB, serta Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Rekayasa Pangan di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan dari November 2014 hingga Februari 2015.

Bahan

Bahan yang digunakan yaitu buah salak pondoh yang diperoleh dari perkebunan salak di Turi, Sleman, DIY. Untuk pembuatan film nanokomposit dan aplikasi pelapisan digunakan bubuk pektin, bubuk nanopartikel ZnO, aquades, asam lemak stearat, gliserol, dan Polyoxyethylene (20) sorbitan monooleate (Tween 80). Sedangkan untuk analisis antimikroba dan total mikroba diperlukan media NA dan PCA. Silika gel digunakan untuk analisis karakteristik film.

Alat

Peralatan yang digunakan antara lain neraca analitik, gelas piala, gelas ukur, magnetic stirrer, sudip, cawan petri, pisau pinset, plastik berklep, label, termometer, oven pengering, aluminium foil, kertas saring, kaleng transmisi uap air, mikropipet, cetakan cawan plastik diameter 9 cm, gunting, desikator, homogenizer dan hot plate. Alat yang digunakan untuk proses pelapisan larutan nanokomposit antara lain wadah tempat larutan naokomposit dan rak atau nampan untuk meletakkan salak terlapisi larutan nanokomposit. Sedangkan peralatan analisis yang digunakan adalah mikrometer, Universal Testing Machine, Gas Analyzer, rheometer, chromameter, dan DSC (Differential Scanning Calorimeter).

Prosedur Percobaan

(23)

1. Persiapan film nanokompost

Asam stearat (0 dan 1 %b/b pektin

Nanopartikel ZnO (0, 1, dan 2 %b/b pektin

2. Karakterisasi film nanokompost

Kadar air

Warna

WVTR

Kemampuan antimikroba Pemilihan larutan

coating

3. Aplikasi pelapisan dan penyimpanan Tahap 1

4. Analisis mutu selama penyimpanan

Pencelupan

Suhu ruang

Laju respirasi

Susut bobot

Total mikroba Warna kulit Tahap 2

Ketebalan

Mekanis

Sifat termal

Total padatan terlatut

(24)

Tahap 1: Karakterisasi film nanokomposit berbasis pektin dan NP ZnO

Persiapan film nanokomposit

Larutan nanokomposit untuk pembuatan edible film disiapkan menggunakan gabungan metode yang digunakan oleh Maftoonazad (2006) dan Suyatma et al. (2013). Proses pembuatan larutan ini dilakukan dengan basis pektin sebesar 1% (b/v larutan). Secara rinci persiapan larutan nanokomposit berbasis pektin yaitu sebagai berikut:

a. Larutan pektin tanpa asam stearat dan NP ZnO: pektin sebanyak 2.5 gram direhidrasi menggunakan 250 ml aquades selama 24 jam. Kemudian dihomogenisasi dengan homogenizer selama 3 menit.

b. Larutan pektin dengan penambahan asam stearat: pektin sebanyak 2.5 gram direhidrasi menggunakan 200 ml aquades selama 24 jam. Kemudian dihomogenisasi selama 2 menit dan dipanaskan. Asam stearat (1%, b/b pektin) dimasukkan ke dalam 50 ml aquades pada gelas beker yang lain, lalu ditambahkan 0.1% (b/v larutan) Tween 80 dan 40% (b/b pektin) sorbitol. Larutan asam stearat dipanaskan dan diaduk di atas hot plate hingga asam stearat meleleh. Larutan pektin yang telah panas dihomogenisasi kembali selama 2 menit. Selama proses homogenisasi tersebut dimasukkan larutan asam stearat sedikit demi sedikit.

c. Larutan pektin dengan penambahan NP ZnO: nanopartikel ZnO (1 dan 2%, b/b pektin) dimasukkan ke dalam 100 ml aquades selanjutnya dihomogenisasi selama 2 menit. Pada gelas beker yang berbeda, pektin sebanyak 2.5 gram direhidrasi menggunakan 150 ml aquades selama 24 jam. Kemudian dihomogenisasi selama 4 menit. Selama proses homogenisasi tersebut dimasukkan larutan NP-ZnO sedikit demi sedikit.

d. Larutan pektin dengan penambahan asam stearat dan NP ZnO: nanopartikel ZnO (1 dan 2%, b/b pektin) dimasukkan ke dalam 100 ml aquades selanjutnya dihomogenisasi selama 2 menit. Pada gelas beker yang berbeda, pektin sebanyak 2.5 gram direhidrasi menggunakan 100 ml aquades selama 24 jam kemudian dihomogenisasi selama 2 menit. Selama proses homogenisasi tersebut dimasukkan larutan NP ZnO sedikit demi sedikit lalu dipanaskan. Asam stearat (1%, b/b pektin) dimasukkan ke dalam 50 ml aquades pada gelas beker yang lain, lalu ditambahkan 0.1% (b/v larutan) Tween 80 dan 40% (b/b pektin) sorbitol. Larutan asam stearat dipanaskan dan diaduk di atas hot plate hingga asam stearat meleleh. Larutan asam stearat sedikit demi sedikit dimasukkan ke dalam larutan pektin-NP ZnO yang telah panas melalui proses homogenisasi selama 2 menit.

Semua larutan didiamkan terlebih dahulu sebelum dicetak hingga buih yang ada dalam larutan hilang. Larutan nanokomposit (40 ml) dimasukkan ke dalam cawan petri plastik kemudian dikeringkan menggunakan oven pada suhu 45oC selama 20 jam. Film yang sudah kering dikeluarkan dari oven lalu dikering-anginkan pada suhu ruang hingga film dapat diambil atau dikeluarkan dari cetakan (cawan plastik).

Pengukuran ketebalan

(25)

(3) Pengukuran kadar air

Kadar air film nanokomposit diukur dengan metode gravimetri. Sebanyak 5 gram film dimasukkan ke dalam cawan kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 oC selama 24 jam atau hingga berat konstan. Kadar air dihitung dengan cara membandingkan jumlah air yang menguap dengan berat film awal.

Pengamatan warna

Pengukuran intensitas warna dilakukan dengan alat Chromameter Minolta CR-400. Alat ini menggunkan sistem CIE L*, a*, dan b*. L menunjukkan kecerahan dengan nilai 0 (gelap/hitam) hingga 100 (terang/ putih), sedangkan a dan b adalah koordinat-koordinat chroma. Parameter a adalah cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik campuran merah–hijau dengan nilai +a dari nol sampai 100 (merah) dan nilai –a dari nol sampai 80 (hijau). Parameter b adalah warna kromatik campuran biru–kuning dengan nilai +b dari nol sampai 70 (kuning) dan nilai –b dari nol sampai 70 (biru).

Metode yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kekeruhan film adalah menggunakan nilai ∆E. Film nanokomposit ditembak dengan chromameter di atas alas warna putih (L = 88.76, a = 0.87, b = -2.37). Semakin kecil nilai ∆E yang dihasilkan, maka semakin mirip warna antara dua objek tersebut dan dapat dikatakan semakin transparan film nanokomposit yang diukur tersebut. Rumus yang digunakan untuk menghitung ∆E yaitu:

∆E= (L2-L1)2+(a1-a2)2+(b1-b2)2

Pengukuran kuat tarik dan elongasi film nanokomposit

Kuat tarik dan persentase pemanjangan diukur dengan menggunakan Universal Testing Machine (ASTM D882-91). Nilai gaya maksimum untuk memotong film dan deformasi film yang diukur dapat dilihat dari grafik dan tabel pada monitor komputer. Kuat tarik ditentukan berdasarkan beban maksimum pada saat film pecah dan persentase pemanjangan didasarkan atas pemanjangan film saat film putus. Secara matematis hubungan tersebut dapat ditulis sebagai berikut:

Kuat tarik = F/A (2)

Keterangan:

F : gaya kuat tarik (N); A : luas penampang (m2)

Persen pemanjangan (elongasi) dihitung dengan membandingkan panjang film nanokomposit saat putus dan panjang film sebelum ditarik oleh alat. Secara matematis persen pemanjangan tersebut dapat ditulis sebagai berikut:

Keterangan:

a : panjang awal (m); b : panjang saat putus (m)

(26)

(4) Pengukuran laju transmisi uap air

Laju transmisi uap air (water vapor transmission rate/WVTR) terhadap film diukur dengan menggunakan metode gravimetri (ASTM E96-95). Prinsip kerja dari metode ini adalah mengukur besarnya uap air yang mampu menembus sampel film nanokomposit dengan cara menghitung pertambahan berat pada bahan penyerap uap air (desikan) yang menyerap uap air dari sisi luar film. Pada penelitian ini digunakan model jendela, pada bagian atas kaleng ditutup menggunakan aluminium foil yang memiliki celah di tengahnya dengan besaran luas yang diketahui dan celah tersebut diisi oleh sampel film nanokomposit. Oleh karena itu, besarnya luas permukaan dapat terseragamkan.

Bahan penyerap uap air (silika gel) diletakkan dalam kaleng. Sampel diletakkan di atas kaleng tersebut sedemikian rupa sehingga menutupi mulut kaleng lalu direkatkan dengan lem. Kaleng ditimbang dengan timbangan analitik kemudian dimasukkan dalam desikator yang berisi air distilasi (kelembaban relatif 100%). Cawan ditimbang tiap hari pada jam yang sama dengan selang waktu tertentu dan ditentukan panambahan berat dari cawan. Selanjutnya dibuat grafik hubungan antara pertambahan berat dan waktu. Nilai WVTR dihitung dengan rumus:

Pengujian kemampuan antimikroba dilakukan dengan metode difusi sumur untuk bakteri dan metode cakram untuk cendawan. Pada metode sumur, kultur bakteri uji (Eschericia coli dan Staphylococcus aureus) sebanyak 0.2 mL diinokulasi ke dalam Natrium Agar (NA) 100 mL. 20 mL NA yang sudah ditambah patogen kemudian dituang ke dalam cawan petri steril dan didiamkan hingga mengeras. Lubang sumur dibuat dengan diameter 6 mm. 30 µL larutan nanokomposit dituangkan ke dalam sumur dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Untuk metode cakram, film nanokomposit disiapkan dengan ukuran 3 cm × 3 cm kemudian diletakkan di atas permukaan PDA yang sudah ditumbuhkan tempat sampel. Setelah itu dilakukan pengepresan lalu dimasukkan ke dalam tempat sampel pada DSC. Analisis dilakukan pada suhu -30 ºC sampai dengan 220 ºC dengan percepatan suhu 10 ºC per menit. Perubahan yang terjadi dapat diamati berupa grafik termogram pada monitor komputer.

Pemilihan larutan nanokomposit terbaik

(27)

Tahap 2: Aplikasi larutan nanokomposit sebagai pelapis buah salak pondoh

Persiapan Sampel Salak Pondoh

Salak pondoh yang diperoleh dari kebun disortasi berdasarkan ukuran, ada tidaknya kulit terkelupas, memar, dan kebusukan. Sortasi ini dimaksudkan agar diperoleh bahan/sampel yang bisa mewakili kerusakan akibat faktor pertumbuhan mikroba. Jadi, buah yang telah disortasi merupakan buah yang bermutu baik. Aplikasi pelapisan buah salak dengan larutan nanokomposit

Pelapisan buah salak pondoh dilakukan dengan metode pencelupan. Buah salak pondoh utuh direndam pada larutan nanokomposit selama 30 detik kemudian dikeringanginkan.

Penyimpanan dan analisis mutu buah salak pondoh

Buah salak pondoh yang sudah terlapisi larutan nanokomposit disimpan pada suhu ruang (25–30 oC) selama 14 hari. Setiap 2 hari diamati penurunan mutunya meliputi susut bobot, warna, tekstur (kekerasan), total padatan terlarut, dan total mikroba. Begitu pula pengamatan yang dilakukan terhadap buah salak pondoh tanpa perlakuan pelapisan (kontrol). Sampel untuk analisis destruktif berbeda dengan sampel analisis nondestruktif.

Pengukuran Laju respirasi

Laju respirasi diukur dengan Gas Analyzer Shimadzu dimana alat ini untuk mengukur konsentrasi gas O2 dan CO2. Untuk menghitung laju respirasi buah salak pondoh (ml/kg-jam) digunakan rumus sebagai berikut:

R2= Vdx2

Wdt

Keterangan: R = laju respirasi, ml/kg.jam V = volume bebas, ml x = konsentrasi gas, desimal W = berat produk, kg Subskrip 1,2 = menyatakan O2 dan CO2 t = waktu, jam Susut bobot

Pengukuran susut bobot menggunakan metode gravimetri yaitu berdasarkan persentase penurunan bobot bahan sejak awal sampai akhir penyimpanan. Untuk mengukur susut bobot digunakan rumus sebagai berikut:

W1 = Bobot bahan awal penyimpanan (g) Wn = Bobot bahan hari ke-n penyimpanan (g)

(5)

(6)

(28)

Warna kulit

Warna kulit buah salak pondoh diukur menggunakan chromameter Minolta CR-400. Nilai warna dinyatakan dengan koordinat CIE L*, a*, dan b*. Pengukuran dilakukan pada buah yang sama selama penyimpanan.

Total padatan terlarut

Total padatan terlarut ditentukan dengan menggunakan alat refraktometer Atago PR-210. Daging buah salak dihaluskan terlebih dahulu dengan cara ditumbuk, kemudian diambil sarinya sebagai sampel pengujian. Selanjutnya sampel diteteskan pada refraktometer kemudian hasil dapat dilihat pada tampilan alat dengan skala pembacaan dalam satuan oBrix.

Total mikroba

Pengujian total mikroba dilakukan dengan cara mengambil 1 gram bagian tengah buah salak pondoh (daging dan kulit) kemudian dimasukkan ke dalam 9 mL NaCl 0.85% steril dan divortek secara, selanjutnya dibuat pengenceran berseri. Sebanyak 1 ml sampel dimasukkan ke dalam cawan petri steril kemudian dituang 20 mL media PCA. Jumlah kontaminan dihitung dengan metode hitungan cawan dengan beberapa seri pengeceran setelah diinkubasi pada suhu 37 oC selama 48 jam. Total mikroba dihitung berdasarkan total plate count (TPC). Analisis statistik

(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Film Nanokomposit Ketebalan

Film nanokomposit yang dihasilkan memiliki ketebalan yang berbeda-beda dengan nilai rata-rata antara 0.07 hingga 0.0975 mm. Nilai ketebalan film nanokomposit berbasis pektin disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Ketebalan film nanokomposit (×10-2 mm) Asam stearat

Ket: nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda (a-b) berbeda nyata (p<0.05) pada konsentrasi asam stearat yang sama. Penambahan asam stearat tidak berpengaruh nyata.

Berdasarkan uji sidik ragam, faktor konsentrasi NP ZnO berpengaruh nyata sedangkan penambahan asam stearat tidak berpengaruh nyata terhadap ketebalan film. Interaksi antara NP ZnO dan asam stearat tidak berpengaruh signifikan terhadap ketebalan (Lampiran 1). Dengan penambahan 1% NP ZnO meningkatkan ketebalan film nanokomposit dari 0.07 menjadi 0.09 (tanpa stearat) dan 0.0788 menjadi 0.0938 (dengan stearat). Hal ini terjadi karena total bahan yang dicampurkan pada larutan semakin banyak. Semakin tinggi konsentrasi komponen yang ditambahkan pada larutan, semakin tebal juga film yang dihasilkan. Hal serupa diamati oleh Shankar et al. (2015) dalam pembuatan film nanokomposit berbasis gelatin. Ketebalan film dari gelatin meningkat dengan adanya penambahan nanopartikel ZnO.

Selain itu, ketebalan film juga dipengaruhi oleh kekentalan larutan, volume larutan, dan luas cetakan. Semakin kental larutan maka semakin tebal film yang dihasilkan (Syarifuddin dan Yunianta 2015). Ketebalan film akan mempengaruhi sifat mekanis dan permeabilitas film tersebut. Semakin tebal film maka tingkat permeabilitas, baik gas maupun uap air, akan menurun sehingga dapat melindungi produk dengan lebih baik.

Kadar air

Kadar air film nanokomposit cenderung menurun seiring bertambahnya konsentrasi NP ZnO dan asam stearat. Tabel 3 menyajikan nilai kadar air pada 6 formula film nanokomposit berbasis pektin.

Tabel 3 Kadar air film nanokomposit (%) Asam stearat

(%)

Nanopartikel ZnO

0% 1% 2%

0 13.38±0.35ap 12.34±0.65bp 11.87±0.39bp 1 12.35±0.08aq 11.79±0.26bq 11.51±0.32bq Ket: nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda (a-b) berbeda nyata (p<0.05) pada konsentrasi asam

(30)

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi NP ZnO berpengaruh nyata terhadap kadar air (Lampiran 2). Semakin banyak NP ZnO yang ditambahkan maka kadar air semakin kecil. Penurunan ini terjadi karena jumlah padatan pada larutan yang memiliki konsentrasi NP ZnO tinggi lebih besar daripada larutan berkonsentrasi rendah. Dengan demikian, pada volume larutan yang sama, air yang berada pada film menjadi lebih sedikit. Pada massa biopolimer yang tetap, terjadi penurunan nilai kadar air akibat peningkatan konsentrasi nanopartikel (Casariego et al. 2009). Selain itu, penurunan kadar air juga dapat terjadi karena adanya reaksi antara air dengan NP ZnO sehingga menghasilkan senyawa baru yaitu Zn(OH)2 yang mengikat air secara kimiawi (Ma et al. 2012). Oleh karena itu, semakin banyak NP ZnO maka semakin banyak air yang terikat sehingga kadar air menurun.

Begitu pula yang terjadi dengan adanya penambahan asam stearat, kadar air film nanokomposit tanpa asam stearat berbeda nyata dengan yang mengandung 1% asam stearat. Tidak ada pengaruh interaksi antara NP ZnO dan asam stearat terhadap kadar air film. Asam stearat bersifat hidrofobik sehingga air yang terikat pada film nanokomposit yang mengandung asam stearat lebih rendah dibanding dengan film nanokomposit tanpa asam stearat. Sebti et al. (2002) mengemukakan hal yang sama bahwa adanya asam lemak dapat meningkatkan sifat hidrofobik edible film sehingga menurunkan kadar air film tersebut.

Kadar air film akan mempengaruhi sifat kuat tarik dan elongasi dari film tersebut. Air merupakan pemlastis alami sehingga semakin besar kadar air maka elongasi film akan semakin besar. Selain itu, semakin rendah kadar air maka jumlah air bebas semakin menurun pula. Dengan menurunnya air bebas yang tersedia maka nilai aw juga akan menurun sehingga film tidak disukai mikroba untuk tumbuh.

Warna

Nilai perbedaan warna (∆E) memiliki korelasi positif terhadap nilai kejernihan film. Semakin besar nilai ∆E menunjukkan bahwa film menjadi

semakin keruh (tidak transparan). Perbandingan nilai ∆E film nanokomposit berbasis pektin terhadap standar white plate (L = 88.76, a = 0.87, b = -2.37) disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Nilai ∆E film nanokomposit

Asam stearat (%) Nanopartikel ZnO

0% 1% 2%

0 2.65±0.56ap 3.27±0.47bp 3.63±0.30bp

1 3.08±0.49aq 3.84±0.71bq 4.28±0.33bq

Ket: nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda (a-b) berbeda nyata (p<0.05) pada konsentrasi asam stearat yang sama. Nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda (p-q) berbeda nyata (p<0.05) pada konsentrasi NP ZnO yang sama.

Dari tabel tersebut terlihat bahwa nilai ∆E terendah dimiliki oleh film pektin

murni (tanpa NP ZnO dan asam stearat) dan meningkat seiring adanya penambahan bahan lain. Berdasarkan uji sidik ragam, faktor penambahan NP ZnO

(31)

menghasilkan nilai perbedaan warna yang besar (Sun et al. 2014). Pengaruh yang sama juga dilaporkan oleh Sothornvit et al. (2010) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi nanopartikel yang ditambahkan, semakin besar nilai

∆E yang diperoleh film nanokomposit dari isolat protein. Penambahan asam stearat juga meningkatkan kekeruhan film. Hal ini disebabkan oleh terhamburnya cahaya akibat adanya asam lemak yang tersebar pada film tersebut (Sebti et al. 2002).

Warna film merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan pada saat aplikasi film atau larutan. Nilai ∆E yang besar akan mempengaruhi warna produk sehingga harus diaplikasikan pada produk yang tepat apabila film tersebut akan digunakan sebagai kemasan. Film yang diharapkan yaitu film yang bersifat transparan sehingga warna produk yang dikemas akan terlihat jelas. Film terbentuk yang lebih tipis, seperti pada lapisan coating, mampu mengurangi perbedaan warna sehingga film menjadi lebih transparan.

Kuat tarik dan persen elongasi

Perbandingan nilai kekuatan tarik film nanokomposit tanpa asam stearat dan dengan 1% asam stearat disajikan pada Gambar 3. Dari gambar tersebut terlihat kekuatan tarik film nanokomposit meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi NP ZnO dan penambahan asam stearat. Nilai kuat tarik tertinggi dicapai oleh film nanokomposit dengan NP ZnO 2% dan asam stearat 1% sebesar 28.3±4.7 kPa dan nilai terendah pada film pektin murni sebesar 18.3±2.4 kPa. Kekuatan tarik menandakan kemudahan film tersebut putus. Nilai kuat tarik yang besar berarti semakin kuat film yang dihasilkan, sebaliknya semakin rendah nilai kuat tarik maka semakin rapuh film tersebut.

Hasil uji sidik ragam menunjukkan konsentrasi NP ZnO tidak berpengaruh nyata terhadap kekuatan tarik, begitu pula yang terjadi dengan penambahan asam stearat (Lampiran 4). Tidak adanya perbedaan yang signifikan ini karena sorbitol sebagai pemlastis memiliki sifat menurunkan kekuatan tarik edible film. Pemlastis dapat menyebabkan interaksi intermolekul berkurang sehingga akan menurunkan nilai kuat tarik (Bourtoom 2008). Penambahan nanopartikel ZnO (1 dan 2%) serta 1% asam stearat belum mampu mengimbangi pengaruh pemlastis sehingga nilai kuat tarik tidak berbeda nyata meskipun pada grafik terlihat cenderung mengalami peningkatan.

Gambar 4 menyajikan perubahan persentase pemanjangan film nanokomposit pada konsentrasi nanopartikel ZnO yang berbeda. Berdasarkan uji sidik ragam, konsentrasi NP ZnO dan asam stearat berpengaruh nyata terhadap persentase pemanjangan. Sedangkan interaksi antara NP ZnO dan asam stearat tidak berpengaruh nyata terhadap nilai elongasi (Lampiran 5). Elongasi film nanokomposit menurun dengan adanya penambahan NP ZnO, sebaliknya asam stearat meningkatkan nilai elongasi. Dengan adanya NP ZnO 1% nilai elongasi menurun dari 22.8±1.1% menjadi 8.9±2.4% (tanpa asam stearat) dan dari 30.9±1.1% menjadi 18.3±0.6% (dengan asam stearat).

(32)

edible film dengan persen elongasi 10-50% sudah dapat dikategorikan sebagai film yang baik.

Gambar 3 Perubahan nilai kuat tarik film nanokomposit

Gambar 4 Perubahan persentase pemanjangan film nanokomposit

Torabi dan Nafchi (2013) menyebutkan bahwa penambahan nanopartikel menyebabkan kandungan air pada film menurun sehingga mengakibatkan elastisitas film berkurang. Berbeda dengan nanopartikel, penambahan asam lemak dapat meningkatkan elastisitas film karena asam lemak dapat bertindak sebagai pemlastis sehingga nilai elongasi film pun meningkat (Romero-Bastida et al. 2004). Jamshid et al. (2014) melaporkan bahwa penambahan pemlastis asam stearat meningkatkan elongasi film dari serbuk jerami gandum. Kehadiran pemlastis mengurangi daya interaksi antarrantai dan meningkatkan pergerakan makromolekul yang memicu peningkatan nilai elongasi.

Laju transmisi uap air

Laju transmisi uap air (WVTR) menggambarkan banyaknya uap air yang mampu melewati film pada luasan tertentu per satuan waktu. Film dengan WVTR rendah berarti memiliki kemampuan menghambat uap air keluar masuk bahan

(33)

pangan yang dikemas. Tabel 5 menunjukkan nilai laju transmisi uap air pada film

0 103.20±6.08ap 87.75±20.58abp 78.95±3.61bp 1 84.50±6.36aq 78.05±0.49abq 57.40±8.91bq Ket: nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda (a-b) berbeda nyata (p<0.05) pada konsentrasi asam

stearat yang sama. Nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda (p-q) berbeda nyata (p<0.05) pada konsentrasi NP ZnO yang sama.

Film yang terbuat dari pektin saja memiliki sifat barrier yang rendah terhadap uap air atau memiliki laju transmisi uap air yang tinggi. Dari tabel 5 terlihat bahwa peningkatan konsentrasi NP ZnO dan penambahan asam stearat cenderung menurunkan nilai WVTR. Berdasarkan analisis ragam, penambahan NP ZnO atau asam stearat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan nilai WVTR. Sedangkan interaksi NP ZnO dan asam stearat tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada laju transmisi uap air (Lampiran 6). Nilai WVTR berbeda nyata pada penambahan NP ZnO 2% yaitu sebesar 78.95±3.61 g/m2.jam (tanpa asam stearat) dan 57.40±8.91 g/m2.jam (dengan asam stearat).

Penurunan nilai WVTR terjadi karena nanopartikel ZnO menjadi hambatan fisik bagi uap air sehingga dapat pergerakan uap air menembus film terhalangi atau melalui jalur yang panjang. Semakin banyak NP ZnO yang ditambahkan maka hambatan uap air semakin besar sehingga laju transmisi uap air film menjadi semakin rendah. Penelitian Torabi dan Nafchi (2013) menyebutkan bahwa nanopartikel mengisi struktur makromolekul atau polimer sehingga dapat mengurangi permeabilitas uap air.

Pengaruh asam stearat terhadap laju transmisi uap air juga bernilai negatif. Dengan adanya penambahan asam stearat dapat menurunkan nilai WVTR film nanokomposit. Hal ini disebabkan oleh asam stearat yang bersifat hidrofobik sehingga menghalangi uap air yang menembus film. Semakin panjang rantai asam lemak yang digunakan, laju transmisi uap air akan semakin rendah. Rezvani et al. (2013) melaporkan bahwa penambahan asam stearat mampu menurunkan nilai WVTR edible film dari natrium kaseinat.

Laju transmisi uap air juga dipengaruhi oleh ketebalan film yang diuji. Semakin tebal film maka nilai WVTR akan semakin rendah. Film dengan laju transmisi uap air rendah sangat baik digunakan pada produk yang sensitif terhadap kehilangan air, seperti pada buah dan sayuran segar. Adanya lapisan film yang memiliki nilai WVTR rendah mampu menghambat laju perpindahan uap air dari bahan ke lingkungan dengan baik.

Kemampuan antimikroba

(34)

Tabel 6 Zona hambat pengujian kemampuan antimikroba (mm)

Ket: nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda (a-b) berbeda nyata (p<0.05) pada konsentrasi asam stearat yang sama. Penambahan asam stearat tidak berpengaruh nyata.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, terdapat pengaruh yang signifikan pada konsentrasi NP ZnO terhadap besarnya zona hambat (Lampiran 7). Lebar zona bening yang muncul dengan penambahan NP ZnO 2% mencapai dua kali lipat dari konsentrasi 1%. Tidak ditemukan zona hambat pada film yang tidak mengandung nanopartikel ZnO. Hal ini terjadi karena pektin maupun asam stearat tidak memiliki kemampuan antimikroba. Penelitian terdahulu menemukan bahwa nanopartikel ZnO terbukti mampu menghambat pertumbuhan Botrytis cinerea dan Penicillium expansum (He et al. 2011). Jin et al. (2009) juga mengemukakan bahwa nanopartikel ZnO mampu melawan bakteri gram positif maupun gram negatif seperti Listeria monocytogenes, Salmonella Enteritidis, dan Escherichia coli. Dengan demikian, film nanokomposit dapat memperbaiki kemampuan antimikroba yang tidak dimiliki oleh film yang hanya terbuat dari pektin sehingga cocok digunakan untuk melindungi bahan pangan dari serangan mikroba.

Analisis sifat termal

Analisis sifat termal digunakan untuk mengukur energi yang diserap atau dilepaskan oleh bahan sebagai fungsi suhu. Komponen yang dapat diamati antara lain suhu transisis gelas, suhu titik leleh, dan jumlah panas yang diserap atau dilepaskan. Suhu transisi gelas merupakan suhu tejadinya perubahan bahan dari kondisi glassy ke kondisi rubbery. Sedangkan suhu titik leleh yaitu suhu perubahan bahan dari fase padat menjadi cair. Gambar 5 menunjukkan perbandingan sifat termal film nanokomposit berbasis pektin dengan penambahan nanopartikel ZnO dan asam stearat.

Berdasarkan grafik tersebut terlihat bahwa titik leleh atau melting point (Tm) film nanokomposit meningkat dengan adanya penambahan asam stearat sebesar 1% ditandai dengan pergeseran puncak (peak) grafik ke kanan. Nilai suhu transisi gelas, titik leleh, dan jumlah panas disajikan pada Tabel 7.

Asam stearat

(%) Mikroba

Nanopartikel ZnO

0% 1% 2%

0 E. coli 0 0.27±0.57a 0.55±0.28b

S. aureus 0 0.96±0.09a 2.63±0.44b

Penicillium sp. 0 0.53±0.01a 3.01±0.61b

1 E. coli 0 0.28±0.85a 0.56±0.21b

S. aureus 0 0.97±0.08a 2.12±0.24b

(35)

-0.00 100.00 200.00

Gambar 5 Perbandingan sifat termal film nanokomposit

Peningkatan konsentrasi nanopartikel ZnO mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu transisi gelas (Tg) dari 68.98oC menjadi 76.74oC (NP ZnO 1%) dan 73.40oC (NP ZnO 2%). Tidak ditemukan adanya suhu transisi gelas pada pengamatan film nanokomposit yang mengandung asam stearat. Suhu transisi gelas salah satunya dipengaruhi oleh kadar air bahan. Semakin tinggi kadar air bahan maka suhu transisi gelas semakin turun. Pada penelitian ini dihasilkan film yang mengandung NP ZnO memiliki kadar air yang lebih rendah daripada film tanpa NP ZnO. Hal ini diduga menjadi penyebab meningkatnya suhu transisi gelas akibat peningkatan konsentrasi nanopartikel ZnO. Suhu transisi gelas masih di atas suhu ruang sehingga film nanokomposit yang terbentuk ketika aplikasi pelapisan bersifat glassy atau getas dan padat serta tidak lunak.

Penambahan asam stearat mengakibatkan peningkatan titik leleh. Nilai titik leleh film diduga berhubungan dengan sifat mekanis film tersebut. Asam stearat pada penelitian ini mampu meningkatkan elongasi film sehingga titik leleh film dengan penambahan asam stearat lebih tinggi daripada film tanpa asam stearat.

Tabel 7 Suhu transisi gelas, titik leleh, dan entalpi film nanokomposit Perlakuan Tg (oC) Tm (oC) Entalpi (J/kg)

(36)

Pemilihan Larutan Nanokomposit Terbaik

Bobot yang diberikan pada kriteria kadar air, warna, WVTR, dan kemampuan antimikroba masing-masing sebesar 15%, 15%, 35%, dan 35%. Bobot untuk WVTR dan kemampuan antimikroba lebih tinggi karena kedua kriteria ini merupakan faktor kritis lapisan coating pada produk. Perlakuan atau formula larutan nanokomposit dengan rataan terbobot paling tinggi dipilih sebagai larutan coating terbaik. Skor 1-6 menunjukkan peringkat perlakuan untuk masing-masing kriteria. Peringkat ini didasarkan pada nilai yang diperoleh dari hasil uji karakteristik film. Semakin besar skor yang diberikan, semakin bagus karakteristik filmnya.

Sebagai ilustrasi, nilai rerata WVTR pada larutan tanpa asam stearat dan NP ZnO sebesar 103.20 g/m2.jam. Nilai ini merupakan nilai terbesar di antara 6 formula yang ada sehingga diberi skor 1 karena nilai WVTR yang lebih baik adalah nilai yang lebih kecil. Selanjutnya skor diberi berurutan kepada nilai WVTR dari nilai WVTR tinggi hingga terendah. Rataan terbobot dihitung dengan cara menjumlahkan hasil perkalian antara skor yang diperoleh masing-masing formula dengan bobot kriterianya.

Tabel 8 Penilaian formula larutan nanokomposit

Perlakuan dari formula larutan nanokomposit dengan asam stearat 1% dan nanopartikel ZnO 2%. Komposisi larutan ini yang selanjutnya digunakan sebagai formula larutan coating pada aplikasi pelapisan buah salak pondoh.

Analisis Mutu Buah Salak Pondoh Selama Penyimpanan

Laju respirasi

Buah salak pondoh termasuk jenis buah nonklimakterik yang dicirikan dengan tidak adanya peningkatan laju respirasi selama penyimpanan. Laju respirasi pada umumnya mengalami penurunan selama penyimpanan karena senyawa kompleks yang akan diurai semakin sedikit seiring lama penyimpanan. Gambar 6 dan 7 menampilkan perubahan laju produksi CO2 dan laju konsumsi O2 buah salak pondoh.

(37)

mencegah kontak langsung antara buah dengan udara. Dengan demikian, proses respirasi buah menjadi terhambat sehingga akan menekan metabolisme.

Gambar 6 Laju produksi CO2 salak pondoh selama penyimpanan

Berdasarkan uji T berpasangan, perlakuan pelapisan tidak berpengaruh nyata terhadap laju respirasi, baik laju produksi CO2 maupun laju konsumsi O2. Tidak adanya perbedaan yang signifikan ini diduga terjadi karena lapisan coating yang terbentuk masih terlalu tipis sehingga belum mampu menghambat laju transmisi gas. Ketebalan lapisan coating salah satunya dipengaruhi oleh kekentalan larutan. Semakin kental larutan maka semakin tebal lapisan yang terbentuk. Kekentalan dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan konsentrasi biopolimer atau bahan tambahan lain. Selain itu, ketebalan film juga dapat ditingkatkan dengan cara melakukan pencelupan buah secara berulang atau lebih dari satu kali pencelupan.

Pada hari ke-9 untuk pengamatan laju produksi CO2 terlihat bahwa terjadi adanya lonjakan produksi karbondioksida. Lonjakan ini merupakan lonjakan yang wajar dan bukan menunjukkan ciri klimakterik. Pada buah klimakterik, terjadi lonjakan yang nilai laju respirasinya lebih besar daripada awal pengukuran atau penyimpanan. Adanya lonjakan laju produksi CO2 pada penelitian ini dimungkinkan terjadi karena pertumbuhan cendawan atau eror pengukuran dari alat yang digunakan.

Gambar 7 Laju konsumsi O2 salak pondoh selama penyimpanan

(38)

Susut bobot

Berat buah merupakan salah satu parameter mutu yang berpengaruh terhadap aspek ekonomi. Susut bobot mengindikasikan adanya penurunan mutu buah. Perubahan susut bobot buah salak pondoh selama penyimpanan disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Perbandingan susut bobot buah salak pondoh

Dari gambar di atas terlihat bahwa susut bobot mengalami peningkatan selama penyimpanan. Peningkatan yang terjadi pada salak pondoh dengan perlakuan pelapisan lebih rendah dibandingkan dengan tanpa pelapisan larutan nanokomposit. Berdasarkan uji-T berpasangan, aplikasi pelapisan memberikan pengaruh signifikan terhadap perubahan susut bobot sejak hari ke-5 penyimpanan. Susut bobot menandakan terjadinya kehilangan air pada buah selama proses penyimpanan. Kehilangan air ini dipengaruhi oleh laju respirasi dan transpirasi melalui kulit buah (Hernandez-Munoz et al. 2008). Kulit buah yang tipis, seperti pada stroberi, memungkinkan kehilangan air yang sangat cepat dan mengakibatkan buah keriput dan cepat busuk. Selain itu, proses respirasi berpengaruh terhadap susut bobot karena menyumbang hilangnya air melalui proses pemecahan senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana yaitu karbondioksida dan H2O (air). Semakin tinggi laju respirasi buah maka semakin besar susut bobot yang terjadi.

Marlina et al. (2014) yang melaporkan bahwa pelapisan salak pondoh dengan lilin lebah 10% mampu menekan susut bobot salak pondoh menjadi 10.61% pada hari ke-15 penyimpanan pada suhu ruang. Hasil yang lebih rendah diduga karena perbedaan penggunaan polimer larutan coating. Lilin lebah merupakan jenis asam lemak yang memiliki sifat hidrofobik yang tinggi sehingga lebih mampu mengurangi kehilangan air (transpirasi). Pelapisan dengan larutan nanokomposit terpilih juga diduga menghasilkan lapisan coating yang masih tipis sehingga perlu ditingkatkan kekentalan larutannya atau dilakukan pencelupan berulang.

Upaya pelapisan pada buah dilakukan untuk menekan kehilangan air melalui transpirasi sehingga susut bobot buah menjadi lebih rendah. Larutan nanokomposit terpilih memiliki sifat laju transmisi uap air yang paling rendah

(39)

diantara 6 formula larutan pembentuk film pada tahap pertama. Semakin kecil nilai WVTR lapisan film yang terbentuk maka semakin rendah kehilangan air yang terjadi pada buah. Pada akhir penyimpanan (hari ke-14) buah salak pondoh terlapisi larutan nanokomposit terpilih mengalami susut bobot sebesar 27.8%. Nilai ini setara dengan susut bobot yang dialami salak pondoh tanpa pelapisan pada saat 9 hari penyimpanan. Dengan demikian, lapisan nanokomposit terpilih mampu menekan laju transpirasi buah sehingga susut bobot yang dialami buah salak pondoh menjadi lebih rendah.

Warna kulit

Warna kulit buah merupakan salah satu hal penting yang pertama kali diperhatikan oleh konsumen saat membeli buah. Warna kulit pada buah tertentu menandakan kualitas buah tersebut. Tingkat kematangan dan ketuaan buah dapat dibedakan dari warna kulitnya. Perbandingan warna kulit buah salak pondoh yang dilapisi larutan nanokomposit disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Warna kulit buah salak pondoh selama penyimpanan

hari penyimpanan Perlakuan

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa nilai kecerahan buah menurun seiring lama penyimpanan. Semakin lama waktu penyimpanan maka kulit buah akan menjadi semakin kusam. Dari hasil analisis statistik dengan uji T berpasangan diperoleh nilai warna kulit, baik nilai L, C, maupun ⁰Hue yang tidak berbeda nyata antara buah yang terlapisi larutan coating dengan buah tanpa perlakuan pelapisan. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pelapisan buah salak pondoh tidak mengubah warna asli buah salak pondoh.

(40)

Total padatan terlarut

Total padatan terlarut (TPT) menggambarkan total gula dan asam organik pada suatu bahan. Oleh karena itu, nilai TPT dapat menunjukkan tingkat kemanisan buah. Gambar 9 menyajikan perubahan TPT buah salak pondoh selama penyimpanan.

Gambar 9 Perbandingan total padatan terlarut buah salak pondoh

Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa TPT meningkat seiring lama penyimpanan buah salak pondoh. Nilai TPT meningkat dari 18.00±0.39oBrix menjadi 21.45±0.31oBrix (tanpa pelapisan) dan 20.95±0.40oBrix (dengan pelapisan) pada akhir penyimpanan. Hal ini disebabkan oleh terjadinya perombakan senyawa kompleks, seperti pati, menjadi senyawa yang lebih sederhana. Penguraian pati menjadi gula-gula sederhana terjadi selama proses pematangan menyebabkan rasa buah menjadi lebih manis. Hasil uji T berpasangan menunjukkan bahwa nilai TPT antara buah salak pondoh yang diberi perlakuan pelapisan dengan tanpa perlakuan pelapisan (kontrol) tidak berbeda nyata. Hal ini diduga karena perlakuan pelapisan belum mampu menghambat laju metabolisme buah salak pondoh secara optimal sehingga perubahan TPT tidak berbeda nyata.

Total mikroba

Kerusakan pada buah dapat terjadi karena adanya serangan mikroba sehingga mengakibatkan buah rusak atau busuk. Mikroba patogen, baik cendawan maupun bakteri, dapat menyerang buah melewati bagian yang luka, memar, atau pori-pori kulit. Cendawan dan bakteri tersebut kemudian tumbuh dengan memanfaatkan nutrisi yang terkandung dalam buah. Pertumbuhan mikroba disajikan pada Gambar 10.

Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa pertumbuhan mikroba meningkat seiring lama penyimpanan. Pertumbuhan mikroba pada buah salak pondoh yang dilapisi larutan nanokomposit lebih rendah daripada buah tanpa pelapisan. Hasil uji T berpasangan menunjukkan perbedaan signifikan antara jumlah mikroba pada salak pondoh terlapisi larutan nanokomposit dengan salak pondoh tanpa perlakuan pelapisan hingga 14 hari penyimpanan. Hal ini disebabkan kemampuan antimikroba yang dimiliki oleh larutan nanokomposit.

(41)

Selain itu, lapisan coating juga dapat menutup pori-pori kulit buah maupun luka kecil sehingga menutup jalan masuk bagi mikroba. Batas cemaran mikroba pada buah salak pondoh dapat didekati dengan batas cemaran mikroba untuk hasil pertanian yang dipanen di dalam tanah, seperti kacang tanah, yaitu sebesar 6 log cfu/g (Putra 2011). Dari hasil analisis mikrobiologi terlihat bahwa pada akhir penyimpanan buah salak pondoh yang terlapisi larutan nanokomposit terpilih memiliki cemaran mikroba yang masih di bawah ambang batas aman dikonsumsi (4.48 log cfu/g). Sedangkan pada buah salak pondoh tanpa perlakuan pelapisan telah mencapai ambang batas cemaran mikroba pada hari ke-8 penyimpanan.

Gambar 10 Total mikroba pada buah salak pondoh selama penyimpanan

Gambar

Gambar 1  (a) Struktur pektin dan grup fungsional: (b) karboksil, (c) ester, (d)
Tabel 1  Kelas mutu buah salak pondoh (SNI 01-3167-1992)
Gambar 2  Diagram alir penelitian
Gambar 3  Perubahan nilai kuat tarik film nanokomposit
+4

Referensi

Dokumen terkait

Asuhan kebidanan berkelanjutan adalah pelayanan yang dicapai ketika terjalin hubungan yang terus menerus antara seorang wanita dan bidan.Tujuan asuhan komprehensif yang

Makna keteladanan yang diharapkan dari pertunjukan Tari Bedhaya Tejaningsih pa- da penobatan raja adalah bentuk perminta- an terhadap masyarakat untuk meneladani seorang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui biaya minimal dari penggunaan intravena seftriakson dan sefotaksim dalam pengobatan pneumonia geriatri di RSUD

13) Dapat dipercaya : diantaranya adalah siswa jujur, mampu mengikuti komitmen, mencoba melakukan tugas yang diberikan, menjadi teman yang baik dan membantu orang

Tahapan perencanaan modul menghasilkan kerangka modul berupa desain awal modul. Desain awal modul tersebut merupakan desain yang masih berupa rancangan kasar dan masih

Alhamdulillahi robbilalamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan anugrah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul : Konstruksi Sosial

Dari Tabel 10 diatas dapat dilihat bahwa perbedaan isohyet jumlah kekeringan terbesar empat stasiun hujan dan delapan stasiun hujan dengan panjang data yang sama tidak

 GBP/USD. Bias bearish dalam jangka pendek namun diperlukan break ke bawah area 1.6050 untuk memicu momentum bearish lanjutan menuju area 1.5990. Resisten terdekat ada di sekitar