• Tidak ada hasil yang ditemukan

Translokasi gen BCR dari kromosom 22 dan gen ABL dari kromosom 9 membentuk gen baru. Gen ini menghasilkan aktifitas tirosin kinase yang tinggi sehingga mengakibatkan proliferasi sel (Buyukasik et al. 2010). Gen BCR memiliki beberapa situs breakpoint, sehingga pembentukan translokasi bisa terjadi pada breakpoint yang berbeda dan mengakibatkan variasi translokasi gen (major, minor, mikro dan nano) (Sessions 2007). Translokasi BCR-ABL1 menghasil protein khimera p210 oleh translokasi major, sedangkan translokasi minor menghasilkan protein yang lebih pendek p190 dan translokasi nano menghasilkan protein p230 (Deininger et al. 2000).

Gen JAK2 V617F berperan dalam regulasi fungsi hematopoitik. Mutasi gen JAK2 V617F mengakibatkan proliferasi sel yang tidak terkontrol dan produksi karakteristik klinis MPN. Sedangkan translokasi gen BCR-ABL1 mengakibatkan ketidak-seimbangan pembagian sel, differensiasi dan apoptosis sehingga mengakibatkan CML (Carranza et al. 2014).

Metode Reverse Dot Blot

Prinsip kerja metode RDB merupakan hibridisasi antara dua utas DNA, satu utas ada pada pelacak yang ada pada membran dan satu utas ada pada produk PCR sampel. Utas yang komplemen akan mengikat utas sampel pada membran, sehingga ketika diberi substrat biotin yang sudah berikatan dengan enzim dan konjugat akan bereaksi dengan menghasilkan warna. Melalui penelitian ini metode RDB dikembangkan untuk menguji keberadaan gen BCR-ABL1 dan mutasi JAK2 V617F pada pasien yang diduga menderita MPN. Prinsip kerja reverse dot blot dikembangkan berdasarkan metode Zhang et al. (1991). Pelacak yang diimobilisasikan di membran dimodifikasi dengan penambahan ammino modifier C6 dan internal spacer 18. Primer yang digunakan untuk amplifikasi dilabel dengan bitotin yang akan berinteraksi dengan konjugat dan enzim alkalin fosfatase saat penambahan substrat pada proses deteksi warna dalam RDB. Membran yang digunakan harus memiliki densitas kelompok karboksil anionik yang tinggi untuk bereaksi dengan oligonukleotida dengan amino yang dimodifikasi. Membran biodyne C memiliki kemampuan gugus karboksil yang bisa bereaksi dengan amino-linker oligonukleotida melalui aktifasi EDC (Zhang et al. 1991).

Metode RT-PCR based hybridization Reverse Dot Blot dikembangakan dengan tujuan sebuah metode standar untuk deteksi BCR-ABL1 dan JAK2 yang lebih hemat dalam hal waktu, biaya dan resiko kerja. Dengan pengembangan metode RDB nantinya proses yang membahayakan seperti penggunakan Ethidium bromide yang bersifat karsinogenik bisa dihilangkan.

Pengujian spesifisitas dan sensitifitas metode PCR-based Reverse Dot Blot Hybridization menggunakan sampel yang dibagi menjadi 3 kelompok; kelompok BCR-ABL1, kelompok JAK2 dan kelompok BCR-ABL1+JAK2. Kelompok BCR-ABL1+JAK2 dimaksudkan agar memudahkan deteksi nantinya dengan dua gen sekaligus yang diperoleh dalam satu kali proses. Setelah melalui proses RDB kedua gen tersebut terbukti tidak saling komplementer.

Uji validasi metode RDB dilakukan terhadap 78 sampel yang terdiri dari 41 sampel BCR-ABL1, 29 sampel JAK2 dan 8 sampel BCR-ABL1+JAK2.

15

Uji sensitifitas BCR-ABL1

Uji sensitifitas dilakukan dengan melakukan hibridisasi pada sampel dengan kuantitas BCR-ABL1 yang berbeda. Hal ini bertujuan untuk mengamati secara langsung mengenai perbedaan ketebalan warna dot yang dihasilkan pada kuantitas gen BCR-ABL1 berbeda. Percobaan dilakukan dengan kuantitas gen BCR-ABL1 0% (rentang 0-0.096%), 1% (rentang 1.125-1.751%), 10% (rentang 11.652-14.867%) dan 100% berdasarkan International Scale (IS). Berdasarkan hasil hibridisasi terdapat perbedaan intensitas warna yang dihasilkan pada kuantitas berbeda (Gambar 6). Hasil ini juga memperlihatkan sensitifitas metode RDB untuk mendeteksi BCR-ABL1 dengan kuantitas rendah 1%, dan menampakkan sinyal yang lebih kuat pada kuantitas 10%.

Gambar 6 Hasil hibridisasi RDB dengan kuantitas BCR-ABL1 yang berbeda.

Dot BCR-ABL1 yang diamati berada pada baris kedua membran (yang dilingkari), intensitas dot yang dihasilkan berbeda sesuai dengan kuantitas gen BCR-ABL1. Aplikasi pelacak yang diterapkan sesuai dengan Gambar 7A.

Sensitifitas metode RDB terhadap BCR-ABL1 memperlihatkan bahwa metode RDB juga bisa digunakan untuk mengontrol pasien yang dalam masa pengobatan, baik dengan tirosin kinase inhibitor ataupun pengobatan lain seperti hydroxyurea. Intensitas warna pada BCR-ABL1 kuantitas 100% memperlihatkan warna paling pekat dan konstan pada semua sampel percobaan. Dot tidak terlihat pada BCR-ABL1 kuantitas 0% dan tidak juga pada kuantitas lebih dari 0%. Dot mulai terlihat pada BCR-ABL1 dengan kuantitas 1%, intensitas dot bertambah kuat dapat diamati pada kuantitas dot lebih dari 1% dengan kelebihan hanya berkisar antara 0.7%.

Hasil uji sensitifitas metode RDB menjadi salah satu bukti keunggulan metode RDB dibanding metode lainnya, dengan sensitif pada kuantitas 1%. Perubahan intensitas warna dot bisa dipengaruhi oleh konsentrasi pelacak pada membran, konsentrasi DNA sampel, konsentrasi reagent yang dipakai saat hibridisasi RDB terutama konsentrasi substrat dan enzim. Konstanitas konsentrasi setiap komponen perlu dipertahankan agar tidak terjadi kesalahan dalam penilaian hasil hibridisasi.

Kelompok sampel BCR-ABL1

Analisis terhadap empat puluh satu sampel BCR-ABL1 memperoleh hasil: lima sampel negatif BCR-ABL1, delapan belas sampel memiliki varian transkrip e13a2, tiga belas sampel merupakan tipe e14a2, tiga sampel merupakan tipe e19a2 dan dua sampel termasuk e1a2.

Pita hasil amplifikasi dengan ukuran berbeda mewakili tipe translokasi berbeda, merupakan hasil dari metode multiplex PCR (Gambar 7B). Setiap sampel yang positif memiliki translokasi BCR-ABL1 memiliki dua pita, satu pita untuk kontrol internal dan pita lainnya dengan ukuran lebih kecil untuk tipe translokasi. Pita kontrol internal berukuran 718 pb, untuk tipe e13a2 dengan ukuran 343 pb, e14a2 dengan ukuran 418 pb, e1a2 dengan ukuran 474 pb dan e19a2 dengan ukuran 234 pb. Internal kontrol berada pada gen BCR di kromosom 22. Sampel wild type hanya memiliki satu pita internal kontrol.

Kontrol untuk amplifikasi gen BCR-ABL1 adalah HL60 untuk kontrol negatif, dan cell line K562 untuk kontrol positif BCR-ABL1 dengan tipe translokasi major bcr.

Penelitian ini juga menggunakan PCR dan elektroforesis gel BCR-ABL1 sebagai konfirmasi hasil. Setelah diamplifikasi dengan multiplex PCR hasil elektroforesis gel akan memperlihatkan pita dengan ukuran yang berbeda sesuai dengan tipe translokasi berdasarkan pengembangan multiplex PCR oleh Burmeister dan Reindhart (2008). Namun, proses PCR dan elektroforesis gel tersebut meragukan ketika diperoleh pita yang ukurannya tidak jauh berbeda satu sama lain. Sehingga jarak antara pita sampel dan pita kontrol tidak terlalu jauh untuk bisa dibedakan secara mutlak. Karena itu, metode RDB merupakan metode yang lebih baik karena memiliki perbedaan pelacak pada setiap tipe translokasi BCR-ABL1.

Pelacak yang mewakili masing-masing translokasi BCR-ABL1 dan mutasi JAK2 V617F disusun seperti pada Gambar 7A. Secara umum pada masing-masing membran terdapat 3 dot (Gambar 7C); satu dot mewakili biotin sebagai pembuktian bahwa terjadi proses hibridisasi pada membran tersebut, satu dot mewakili tipe translokasi BCR-ABL1, dan satu dot mewakili mutasi JAK2 V617F (mutan atau wild type).

Tipe major yang merupakan tipe utama dalam CML mempunyai frekuensi yang tidak sama pada setiap etnis dan negara (dua tipe dominan e13a2 dan e14a2). Pada penelitian ini ditemukan frekuensi e14a2 lebih tinggi dibanding e13a2, sama halnya dengan beberapa penelitian sebelumnya (Lucas et al. 2009, Iqbal et al. 2011). Hasilnya berlawanan dengan penelitian terhadap masyarakat Meksiko (Rosas-Cabral et al. 2003) dan terhadap masyarakat Ekuador (Paz-y-Miño et al. 2013) yang menemukan frekuensi e13a2 lebih tinggi dibanding e14a2.

17

Gambar 7 Validasi metode RDB pada sampel BCR-ABL1. (A) Pola pelacak

pada membran yang dihibridisasi pada RDB (B= Biotin; IC= Internal Control; M3= e14a2; M2= e13a2; m= e1a2; μ= e19a2; JW= JAK2 wild type; JM= JAK2 mutan) (B) Gambar gel elektroforesis gel setelah diamplifikasi pada proses PCR dengan panjang pita yang berbeda sesuai dengan tipe translokasi BCR-ABL1; M= Marker 100+ pb, NTC= Kontrol negatif, 1-3= Sampel, MC= Marker lengkap) (C) Hasil RDB untuk sampel normal dan sampel penderita dengan 4 tipe translokasi BCR-ABL1.

Sejauh ini pengobatan yang diterapkan pada CML masih mengutamakan penggunaan Imatinib Mesylate, menurut beberapa studi (Iqbal et al. 2011, Souza et al. 2012) ditemukan perbedaan respon tipe e13a2 dan e14a2 terhadap imatinib. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa e13a2 memiliki respon yang lebih baik terhadap imatinib. Berdasarkan penelitian Lucas et al. (2009) e13a2 memiliki respon yang lebih baik dibanding e14a2 setelah 12 bulan pengobatan. Namun hasil yang berlawanan dinyatakan oleh Deb et al. (2014) yang berdasarkan penelitiannya e14a2 memiliki respon yang lebih baik terhadap imatinib setelah pengobatan selama 6 bulan (Deb et al. 2014). Hal ini mengisyaratkan bahwa kemungkinan hasil lebih valid dengan penelitian lebih lanjut dan dalam jangka waktu lebih panjang untuk membuktikan hipotesis yang tepat. Sejauh ini peran masing-masing translokasi terhadap penyakit masih menjadi kontroversial, Deb et al. (2014) menyatakan bahwa tidak ada bukti valid yang menyatakan tipe translokasi yang berbeda mempengaruhi prognosis penyakit. Namun pada

beberapa penelitian ditemukan bahwa pasien yang memiliki varian e14a2 memiliki platelet yang lebih tinggi dibanding varian e13a2. Sedangkan pada parameter klinis lainnya belum ditemukan perbedaan berdasarkan varian translokasi yang signifikan.

Tipe selain e13a2, e14a2, e19a2 masih ditemukan dengan frekuensi yang rendah. Souza et al. (2012) menyatakan frekuensi e1a2 sebanyak 1% pada pasien CML di Brazil, sedangkan Goh et al. (2006) juga menemukan pasien dengan translokasi selain tipe major dengan frekuensi rendah. Beberapa varian translokasi yang ditemukan pada pasien CML di Korea diantaranya: b1a1, b2a3 dan e1a3 (Goh et al. 2006).

Tirosin kinase inhibitor yang digunakan dalam pengobatan pasien berbeda tergantung gejala klinis yang dimiliki oleh pasien tersebut. Imatinib mesylate memang menjadi pengobatan utama, tapi pada beberapa kasus pengobatan dialihkan ke tirosin kinase inhibitor generasi kedua, seperti: dasatinib, nilotinib, ponatinib dan lainnya. Dikarenakan tujuan penggunaan imatinib dan hasil pengobatan tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Kasus lain yang juga ditemukan pada pasien CML adalah hadirnya dua tipe translokasi BCR-ABL1 pada satu pasien yang sama. Hal ini juga dikemukakan pada beberapa studi CML lainnya, Rosas-Cabral et al. (2003) menemukan 13 pasien (13%) dengan transkrip ganda e13a2+e14a2 sedangkan Lucas et al. (2009) menemukan 3 pasien (3.85%) yang memiliki e13a2+e14a2 dan 1 pasien (1.28%) dengan kehadiran e14a2+e1a2. Sejauh ini tidak ditemukan perbedaan dalam hal pengobatan maupun data klinis bagi pasien dengan transkrip ganda.

Kelompok sampel JAK2

Amplifikasi gen JAK2 menghasilkan pita dengan ukuran 371 pb (Gambar 8), baik mutan maupun wild type. Mutasi dibuktikan dengan melanjutkan uji menggunakan metode RDB. Total 29 sampel yang digunakan dalam penelitian ini memperoleh hasil: 17 sampel ditemukan positif mutasi JAK2 V617F dan selebihnya 12 sampel merupakan wild type (Tabel 4). Kontrol positif dan kontrol negatif yang digunakan merupakan DNA sintesis dengan sekuens yang dirancang sesuai dengan gen JAK2 mutan dan gen JAK2wild type.

19

Gambar 8 Gambar gel elektroforesis hasil amplifikasi gen JAK2.

Amplifikasi JAK2 menghasilkan basa dengan ukuran 371 pb, baik mutan maupun wild type. a dan b merupakan kontrol mutan dan wild type dari utas JAK2 sintetis.

Hasil amplifikasi gen JAK2 V617F 371 pb kemudian dilakukan uji lanjutan dengan metode RDB (Gambar 9) dengan posisi pelacak seperti pada Gambar 9. Dot yang mucul mewakili pelacak yang sesuai dengan posisi pelacak yang diperlakukan sebelumnya, untuk membuktikan validitas metode ini dilakukan proses sekuensing (Gambar 9). Mutasi JAK2 V617F hadir pada sebagian besar penderita penyakit PV, namun tidak ada obat spesifik yang biasa digunakan dalam pengobatan PV. Phlebotomy, chlorambucil, hydroxyurea, interferon alfa dan imatinib merupakan beberapa obat yang biasa digunakan bagi penderita PV (Goodyear 2011). Begitu juga dengan ET dan PMF tidak ada obat spesifik yang digunakan bagi pasien seperti halnya penyakit CML.

Tabel 4 Hasil deteksi sampel JAK2 dengan metode RDB dan metode direct

DNA sequencing

Pasien Hasil direct DNA

sequencing Hasil RDB

1 Mutan Heterozigot Mutan Heterozigot 2 Mutan Heterozigot Mutan Heterozigot

3 WT WT

4 Mutan Heterozigot Mutan Heterozigot

5 Mutan Heterozigot Mutan Homozigot

M NTC a b c d e f g

1000 bp

500 bp

300 bp

6 WT WT

7 Mutan Heterozigot Mutan Heterozigot 8 Mutan Heterozigot Mutan Heterozigot

9 WT WT

10 Mutan Homozigot Mutan Homozigot

11 WT WT

12 Mutan Homozigot Mutan Homozigot

13 WT WT

14 Mutan Heterozigot Mutan Heterozigot

15 WT WT

16 Mutan Heterozigot Mutan Heterozigot 17 Mutan Heterozigot Mutan Heterozigot

18 WT WT

19 Mutan Heterozigot Mutan Heterozigot

20 WT WT

21 Mutan Heterozigot Mutan Heterozigot

22 WT WT

23 Mutan Heterozigot Mutan Homozigot 24 Mutan Heterozigot Mutan Heterozigot

25 WT Mutan Heterozigot

26 WT WT

27 Mutan Homozigot Mutan Homozigot

28 WT WT

29 WT WT

Gambar 9 Hasil RDB JAK2 dan perbandingannya dengan direct DNA

21

Hasil RDB JAK2 dikonfirmasi dengan metode sekuensing. Berdasarkan perbandingan hasil kedua metode diperoleh hasil yang sama untuk hampir semua sampel yang diujikan. Kecuali pada salah satu sampel dimana berdasarkan hasil direct DNA sequencing diperoleh hasil wild type sedangkan berdasarkan proses RDB diperoleh hasil mutan heterozigot. Hal ini bisa disebabkan oleh kesalahan dalam pembacaan sequencing karena noise level atau sinyal berlebihan pada proses hibridisasi reverse dot blot.

Metode direct DNA sequencing diketahui bisa mendeteksi mutan dalam kuantitas 25% (Jancik et al. 2012). Namun, sensitifitas metode RDB untuk deteksi gen JAK2 juga belum diketahui. Satu sampel dengan hasil yang berbeda antara kedua metode mempunyai kelemahan karena tidak ada akses ke data klinis pasien. Jadi tidak bisa ditentukan hipotesis yang lebih tepat untuk pasien tersebut yang mengacu pada data klinis pasien. Sehingga, untuk pasien #25 tersebut diputuskan memiliki mutasi gen JAK2 V617F. Karena RDB diketahui lebih sensitif dibanding sequencing.

Kelompok Sampel BCR-ABL1+JAK2

Kejadian tidak biasa dalam proses pengobatan pasien kadang terjadi seperti tidak ada pengaruh pengobatan terhadap pasien, hal ini bisa disebabkan oleh juga hadirnya mutasi lain pada pasien salah satunya mutasi JAK2 V617F. Beberapa kasus telah dikemukakan hal serupa (Tabassum et al. 2013, Carranza et al. 2014, Hassan et al. 2015) namun memiliki frekuensi yang rendah. Pada beberapa kasus tersebut ditemukan resistensi terhadap imatinib pada pasien. Kehadiran mutasi ini bisa terjadi sebelum pengobatan (Hassan et al. 2015) atau setelah pengobatan dengan hydroxyurea (Ursuleac et al. 2013). Menurut Cambier et al. (2008) BCR-ABL1 dan JAK2 V617F bisa hadir secara bersamaan pada sel hematopoetik pada pasien yang sama dari awal. Setelah diterapi dengan imatinib BCR-ABL1 mampu dikurangi namun mutasi JAK2 V617F tetap bertahan (Cambier et al. 2008).

Sampel dengan uji kedua gen dilakukan pada 8 sampel (Tabel 5), dari kelompok tersebut ditemukan sampel co-existence antara kedua gen (pasien #6). Berdasarkan metode hibridisasi reverse dot blot dan metode validasi pada kedua gen ditemukan bahwa pasien tersebut memiliki gen translokasi BCR-ABL1 pada tipe e13a2 sekaligus positif mutan gen JAK2 V617F (Gambar 10).

Gambar 10 Gambar membran hasil RDB dengan deteksi BCR-ABL1+JAK2 sekaligus

Co-existence antara kedua gen masih memiliki persentase yang rendah pada penelitian sebelumnya (Tabassum et al. 2013, Carranza et al. 2014, Hassan et al. 2015). Tetapi kehadiran gen BCR-ABL1 dan mutasi JAK2 V617F memiliki pengaruh terhadap pengobatan pasien. Pada beberapa kasus menyebabkan resistensi terhadap tirosin kinase inhibitor yang digunakan sebagai terapi target pasien, sehingga pengobatan harus dialihkan ke inhibitor lainnya ketika gejala klinis tidak menunjukkan penyembuhan.

Penelitian mengenai kehadiran dua aberasi gen pada pasien yang sama memperlihatkan berbagai data yang berbeda yang tidak persis sama hasilnya. Namun bisa berpengaruh pada pengobatan, sehingga mengharuskan pengalihan pengobatan ke alternatif lainnya. Pengaruh keberadaan mutasi lain seperti JAK2 dan mutasi lainnya juga tidak memperlihatkan hasil yang signifikan dan konstan pada kondisi klinis pasien.

Tabel 5 Hasil deteksi sampel ganda BCR-ABL1+JAK2 dengan metode RDB

dan metode standar Pasien BCR-ABL1elektroforesis gel dengan

JAK2 V617F dengan direct DNA sequencing

BCR-ABL1+JAK2 dengan RDB 1 Tidak Terdeteksi Mutan Homozigot

BCR-ABL1 Tidak Terdeteksi, JAK2 Mutan Homozigot 2 Tidak Terdeteksi Wild Type BCR-ABL1Terdeteksi, Tidak JAK2

Wild Type

23

JAK2 Wild Type 4 Tidak Terdeteksi Mutan Heterozigot BCR-ABL1Terdeteksi, Tidak JAK2

Mutan Heterozigot

5 e14a2 Wild Type BCR-ABL1 e14a2,

JAK2 Wild Type

6 e13a2 Mutan Homozigot

BCR-ABL1 e13a2,

JAK2 Mutan Homozigot

7 e13a2 Wild Type BCR-ABL1 e13a2,

JAK2 Wild Type 8 Tidak Terdeteksi Mutan Heterozigot BCR-ABL1Terdeteksi, Tidak JAK2

Mutan Heterozigot

Dokumen terkait