• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam dokumen Pengembangan Produk Sayuran Terolah Minimal (Halaman 22-60)

Pengembangan Produk Utama Berbasis Sayuran Minimum Viable Product – 0

Kegiatan pengembangan produk yang dilakukan diawali dengan menuangkan ide produk yang akan dibuat ke dalam proposisi nilai ke – 0. Minimum Viable Product – 0 atau MVP – 0 merupakan perkiraan solusi untuk target konsumen dalam menghadapi masalah dalam mengonsumsi sayuran. MVP – 0 merupakan prototipe produk yang terdiri dari tiga komponen yaitu sayuran terolah minimal penyusun masakan sop (buncis, kubis, wortel, kentang, dan daun seledri), bahan pelengkap (sosis sapi), dan bumbu masakan sop bubuk yang dikemas secara terpisah. MVP – 0 yang dibuat merupakan produk sayuran terolah minimal dengan tema masakan sop. Hal tersebut berdasarkan penelitian Rabbani (2014) yang menyebutkan bahwa sayuran sop merupakan sayuran yang paling diminati oleh target konsumen produk sayuran terolah minimal.

Selain masalah ketidakpraktisan dalam mengonsumsi sayuran, sayuran segar yang selama ini dikonsumsi masyarakat juga memiliki berbagai kelemahan. Menurut Balitbang Pertanian Jakarta (2011), sayuran yang masuk ke wilayah DKI Jakarta sebagian besar telah mengalami kerusakan sehingga tingkat loss komoditi sayuran sangat tinggi. Hal tersebut disebabkan karena masih berlangsungnya aktivitas hidup sayuran (pernapasan, transpirasi, dan pengeluaran panas), penanganan yang kurang baik dalam pemanenan, penampungan, pengemasan, pengangkutan, penyimpanan, paparan oksigen, cahaya, suhu yang tinggi dan lain – lain (Munarso 2005). Misalnya komoditas sayuran kubis segar ditemukan memiliki kadar air 73 – 83 %, tingkat kerusakan 1.7 – 17.2 %, total mikroba 1.8 – 2.0 x 106 CFU/ml dan residu pestisida mencapai 0.02 – 0.03 mg/kg bahan (Munarso 2005). Kadar air kubis segar seharusnya sebesar 91 – 93 % (Direktorat Gizi Depkes RI 1981). Hal tersebut menunjukkan selama proses distribusi pada sayuran kubis telah terjadi proses transpirasi yakni pengeluaran air dari jaringan tumbuhan (Santoso 2006).

Berdasaran hal tersebut penulis menambahkan tiga proposisi nilai lain yang diperkirakan adalah kebutuhan konsumen yang harus dipenuhi produk yakni higienis, nilai gizi lebih tinggi dan tahan lama. Adapun unsur dari proposisi nilai ke-0 tersebut adalah praktis, higienis, nilai gizi lebih tinggi dan tahan lama. Adapun hasil dari penerjemahan proposisi nilai terdapat pada Tabel 6.

Hasil penerjemahan tersebut kemudian dijadikan acuan untuk membuat prototipe produk yang akan dikembangkan sehingga tercipta minimum viable product (MVP) ke – 0 seperti yang tertera pada Gambar 3.

Perwujudan nilai praktis pada produk yakni dengan melakukan pengolahan pada bahan baku utama produk (sayuran) dengan pengolahan minimal. Menurut Shewfelt (1987), teknologi pengolahan minimal merupakan seluruh operasi pada produk bahan pangan segar (buah dan sayur) seperti pencucian, sortasi, pengupasan, pemotongan/ pengirisan dan pembuangan biji yang tidak mempengaruhi kualitas produk dari keadaan segarnya. Bahan utama sayuran dalam prototipe produk dikenai proses pencucian, sortasi pengupasan, dan pemotongan. Aplikasi teknologi pengolahan minimal ini diharapkan dapat mewujudkan nilai praktis pada proposisi nilai. Selanjutnya, perwujudan nilai higienis adalah dengan melakukan kegiatan pencucian. Pencucian bahan dengan air dapat menghilangkan kotoran yang kasat mata. Pengemasan sayuran terolah minimal dilakukan dengan menggunakan plastik polipropilen (PP) dan dikemas dengan tipe pengemasan flow packaging. Hal ini

Tabel 6 Penerjemahan proposisi nilai ke – 0

No. Proposisi nilai Penerjemahan

1. Praktis Produk dapat disajikan dengan mudah tanpa harus melakukan kegiatan pengolahan seperti pengupasan, pencucian, dan pemotongan. 2. Higienis Produk yang dihasilkan aman dimakan tanpa

mengandung mikroorganisme yang dapat membahayakan kesehatan serta memiliki penampilan yang bersih.

3. Nilai gizi lebih tinggi

Produk yang dihasilkan diharapkan mengandung nilai nutrisi yang tetap dan terjaga dibandingkan dengan sayuran pada umumnya yang nutrisinya telah terdegradasi selama proses distribusi dan penjajaan.

4. Tahan lama Produk yang dihasilkan diharapkan dapat bertahan lebih lama selama penyimpanan tanpa mengalami penurunan kualitas yang berarti (masih dapat diterima konsumen)

dilakukan berdasarkan produk sayuran terolah minimal beku yang telah beredar di pasaran. Pengemasan flow packaging dilakukan dengan mengikut sertakan udara di dalam kemasan untuk dikemas.

Proposisi nilai untuk nilai ‘tahan lama’ diwujudkan dengan mengaplikasikan teknik pembekuan pada produk. Hal tersebut didasarkan pada Simplot (2009) bahwa pembekuan sayuran dapat memperpanjang umur simpan sayuran terolah minimal karena pada keadaan beku, mikroorganisme yang terkandung dalam produk berada pada masa dorman. Masa simpan produk sayuran beku dapat mencapai 12 bulan (Wells 2014). Selain itu pada keadaan beku, kandungan nutrisi pada produk seperti vitamin C, A, dan B tidak mudah rusak karena terhindar dari panas yang dapat merusak komponen vitamin. Sehingga proposisi nilai ‘nilai gizi lebih tinggi’ dapat tercapai dibandingkan dengan produk sayuran segar. Proses pembekuan produk dilakukan setelah produk dikemas lalu dimasukkan ke dalam freezer. Produk dikemas menggunakan plastik PP dan di- seal dengan menggunakan hand sealer agar paparan oksigen menurun dibandingkan dengan sayuran segar yang tidak dikemas. Hal tersebut mengacu pada pernyataan He dan Luo (2007) bahwa oksigen yang bereaksi dengan enzim dan komponen fenolik yang terdapat dalam sayuran terolah minimal dapat menyebabkan penurunan kualitas sayuran terolah minimal akibat reaksi pencoklatan enzimatis.

Minimum Viable Product – 1

Kegiatan pengembangan produk selanjutnya merupakan kegiatan formulasi prototipe baru atau MVP – 1. MVP – 1 merupakan perbaikan dari prototipe produk sebelumnya yakni MVP – 0. Perbaikan yang dilakukan mempertimbangkan masalah – masalah yang dihadapi target konsumen secara nyata berdasarkan kegiatan pengembangan pasar (pengujian masalah). Komposisi dan jenis sayuran yang digunakan untuk membuat produk sayur terolah minimal berubah namun tema masakan sayur sop tidak berubah karena sebagian besar konsumen memprioritaskan sayur sop sebagai masakan sayur yang sering dikonsumsi sehari – hari. Sebelumnya pada MVP – 0 sayuran yang digunakan ada lima jenis yaitu kentang, wortel, kubis, buncis dan daun seledri. Pada MPV – 1 sayuran daun seledri tidak digunakan karena pengolahan yang harus dilakukan cukup sulit dan konsumen tidak memprioritaskan jenis sayuran tersebut.

Sayuran kentang yang digunakan adalah kentang kuning yang berukuran sedang dengan spesifikasi kualitas sesuai dengan SNI 01 – 3175 – 1992. Pemilihan kentang kuning berdasarkan masukan dari konsumen pada saat pengujian masalah. Konsumen menginginkan kentang yang bewarna kuning cerah sehingga dipilih kentang kuning yang berasal dari Cipanas. Kentang mimiliki kandungan karbohidrat hingga 19 %. Kandungan karbohidat pada kentang membuat kentang mudah ditumbuhi mikroorganisme.

Wortel yang dipilih adalah wortel dengan tipe cantenay yang memiliki bentuk bulat panjang dengan ujung tumpul dan rasa manis. Hal ini disebabkan tipe cantenay akan menghasilkan potongan – potongan wortel yang seragam dengan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan tipe lain sehingga kualitas produk seragam dan biaya produksi dapat dikontrol. Wortel memiliki karakteristik dinding sel yang kuat karena memiliki kandungan kalsium yang cukup tinggi (39 mg/100 g). Kandungan pigmen karoten berwujud β karoten membuat warna orange tampak dominan pada wortel. Pigmen karotenoid bersifat non polar sehingga tidak larut

dalam air. Namun kestabilan pigmen karotenoid dipengaruhi oleh keadaan air pada bahan (Eskin 1979).

Sayuran kubis yang dipilih adalah kubis yang bulat dengan ukuran sedang (500 – 1600 g) berdasarkan SNI 01 – 3174 – 1992. Kubis yang bulat memiliki lembaran daun kubis yang lebih kokoh sehingga selama proses pengolahan tidak mudah layu dibandingkan kubis yang pipih. Kubis memiliki struktur daun yang mengandung kadar air yang tinggi hingga 93 %. Hal ini mengakibatkan kesegaran kubis dan kenampakkan tekstur kubis sangat bergantung pada kandungan air. Selain itu bentuk daun kubis yang memiliki permukaan yang luas membuat kubis dapat mengalami transpirasi yang mudah.

Buncis yang dipilih adalah buncis varietas Balitsa 2 yang memiliki ciri – ciri : bewana hijau muda, berbentuk lurus, agak manis, memiliki panjang 16 – 17 cm dengan lebar 0.6 – 0.7 cm, dan tekstur permukaan halus (Balitsa 2013). Pemilihan buncis varietas ini juga didasarkan pada masukan konsumen pada saat pengujian masalah yang menginginkan buncis yang memiliki potongan seragam dan lurus. Buncis memiliki kadar serat yang tinggi hingga 56 %. Tingginya kadar serat pada buncis dapat menjadi nilai tambah produk sayuran terolah minimal karena serat dapat melancarkan proses pencernaan. Buncis memiliki kandungan pigmen klorofil yang dominan sehingga tampak bewarna hijau. Kandungan serat yang tinggi pada buncis mempengaruhi struktur dinding sel buncis yakni menjadi kuat dan tebal sehingga buncis tahan terhadap transpirasi. Namun kandungan polifenol pada buncis dapat membuat buncis mengalami pencoklatan pada jaringan di permukaan ujung - ujung buncis bekas proses pemotongan.

Kegiatan pengujian masalah memberikan inputan baru terhadap pengembangan produk yakni pada perubahan proposisi nilai ke – 0 menjadi proposisi nilai ke – 1 yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Adapun tahap pengolahan bahan baku menjadi produk sayuran terolah minimal terlampir pada Lampiran 2. Nilai ‘tahan lama’ pada proposisi nilai ke -0 sebelumnya menjadikan produk yang dikembangkan harus dapat bertahan dalam penyimpanan dalam waktu yang lama (mencapai 12 bulan) dengan teknologi pembekuan. Hal tersebut didasarkan pada perkiraan jenis produk berbasis sayuran yang diinginkan konsumen Indonesia dewasa ini yang memiliki gaya hidup modern seperti di Negara maju. Berdasarkan survey pasar yang dilakuan oleh CBI European Union (EU) (2009), jumlah konsumsi buah dan sayuran beku pada tahun 2008 di seluruh Negara yang tergabung dalam EU mencapai 5.6 juta ton dimana total konsumsi sayuran beku sebesar 75 % dari volume tersebut. Hasil survey tersebut menunjukkan bahwa produk sayuran beku sangat prospektif dan memungkinkan mengalami hal yang sama bila dipasaran di Indonesia. Namun, sebagian besar target konsumen Indonesia yang diwawancarai pada kegiatan pengujian masalah menolak produk sayuran beku karena mengkhawatirkan adanya penurunan nilai nutrisi pada produk dan penggunaan bahan pengawet yang tidak sesuai aturan Depkes.

Berdasarkan penelitian Rabbani (2014) produk sayuran beku dianggap tidak sehat oleh konsumen karena memiliki masa simpan yang terlalu lama. Menurut Rabbani (2014) sebagian besar target konsumen juga memiliki kebiasaan berbelanja setiap minggu. Kebiasaan konsumen tersebut mendasari penetapan masa simpan yang ingin dicapai produk yang dihasilkan yakni bertahan hingga waktu penyimpanan 7 hari (1 minggu). Hal ini disebabkan tujuh hari merupakan interval konsumen dalam melakukan pembelian produk. Berdasarkan alasan tersebut pula,

proposisi nilai ‘tahan lama’ berubah menjadi ‘kesegaran yang terjaga selama penyimpanan’ yang berakibat berubahnya teknologi yang diaplikasikan. Aplikasi teknologi pembekuan dan penyimpanan sayur secara beku digantikan dengan penyimpanan dalam keadaan dingin (chill) pada suhu 4 – 10 °C. Kisaran suhu tersebut merupakan kisaran suhu lemari pendingin yang menjadi tempat penyimpanan sayuran oleh konsumen (Rabbani 2014). Menurut Syarief (1989), pendinginan adalah penyimpanan produk pangan pada suhu 0 – 10°C. Pendinginan ditujukan untuk mengurangi kelayuan karena kehilangan air, menghambat laju reaksi kimia (enzimatis) pada produk buah dan sayuran segar, menghambat lau pertumbuhan mikroba sehingga umur simpan produk lebih lama.

Selain mempertimbangkan persepsi konsumen, tidak semua jenis sayuran dalam produk sayuran terolah minimal bertema masakan sayur sop dapat dibekukan. Sayuran kubis memiliki struktur dinding sel yang tipis dan pipih yang menyusun permukaan daun yang lebar. Kubis mengandung air hingga 93 % dari seluruh berat totalnya. Hal ini menunjukkan bahwa water activity menjadi faktor yang sangat kritis bagi sayuran kubis. Kandungan air yang sangat besar di dalam kubis membuat kubis mudah mengalami freezing injury selama proses pembekuan. Freezing injury

merupakan fenomena yang terjadi ketika bahan yang banyak mengandung air dibekukan. Air bebas yang terkandung dalam bahan membentuk kristal – kristal es yang besar dan tidak beraturan sehingga merusak struktur dinding sel dan serta jaringan kubis (FAO 2010). Sehingga pada saat thawing, kristal – kristal es tersebut mencair lalu keluar dari dinding sel dan membuat dinding sel yang telah rusak kehilangan banyak air. Akibatnya sayuran tampak layu dan tidak segar. Freezing injury tidak terjadi pada sayuran kentang dan wortel. Hal tersebut disebabkan kentang dan wortel memiliki struktur dinding sel yang kuat dan elastis sehingga mampu mentolerir pembentukan Kristal – Kristal es saat proses pembekuan berlangsung.

Proposisi nilai selanjutnya yang mengalami perubahan adalah ‘higienis’ yang berubah mejadi ‘bersih’. Menurut KBBI (2014), bersih dapat didefinisikan menjadi bebas dari kotoran dan tidak tercemar kotoran. Sedangkan higienis dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang berkenaan dengan atau sesuai dengan ilmu kesehatan, bersih, dan bebas penyakit. Perubahan nilai tersebut didasarkan pada kebutuhan konsumen yakni hanya membutuhkan produk sayuran yang bersih. Sebagian besar target konsumen yang diwawancarai menilai bahwa ‘higienis’ dianggap akan membuat produk menjadi lebih mahal. Selain itu, proposisi nilai ‘higienis’ mengharuskan produk tersertifikasi dalam hal cemaran m.o yang dapat menyebabkan penyakit. Namun keterbatasan standar yang berlaku di Indonesia mengenai produk sayuran terolah minimal khususnya mengenai cemaran m.o membuat kegiatan sertifikasi terhambat. Sedangkan pada saat produk sayuran terolah minimal dimasak oleh konsumen, bakteri yang diduga hidup pada produk sayuran terolah minimal telah mati pada suhu pemasakkan. Menurut Franzetti dan Galli (1999) mikroba yang terdapat dalam sayuran terolah minimal ada dua jenis yakni mikroba yang terdapat secara alami pada sayuran dan mikroba akibat kontaminasi selama pengolahan. Berdasarkan literatur tersebut pula, mikroba yang umum terdapat dalam produk adalah jenis bakteri gram negatif berbentuk batang diantaranya adalah Pseudomonas, Enterobacter dan Erwinia.

Proses pencelupan sayuran setelah dipotong - potong ke dalam larutan pembersih buah dan sayur merek x dilakukan untuk menjaga nilai ‘bersih’ di dalam

produk. Proses ini diharapkan dapat meminimumkan jumlah cemaran m.o dalam produk. Cairan pembersih digunakan dengan takaran 1 sendok makan per liter air sesuai petunjuk pemakaian. Penggunaan larutan pembersih buah dan sayur merek x dipilih karena cairan tersebut sudah komersial dan aman digunakan pada produk sayuran terolah minimal dibandingkan dengan penggunaan larutan senyawa bisulfit dan klorin sebagai larutan anti mikroorganisme (Kismaryanti 2007).

Proposisi nilai yang lain adalah perubahan ‘nilai gizi lebih tinggi’ menjadi ‘meminimalisir pengurangan kandungan nutrisi’. Perubahan nilai ini dilakukan karena proposisi nilai sebelumnya tidak relevan dengan kenyataan. Menurut He dan Luo (2007) pengolahan terhadap sayuran dapat menurunkan kandungan nutrisi sayuran sehingga sayuran terolah minimal justru memiliki resiko kehilangan nutrisi yang lebih banyak dibandingkan dengan sayuran segar. Aplikasi teknologi perlakuan pendahuluan yang diaplikasikan ditujukan untuk meminimalisir pengurangan kandungan nutrisi selama pengolahan dan penyimpanan produk sayuran terolah minimal.

Kegiatan pengembangan produk selanjutnya untuk menghasilkan MVP – 1 dilakukan dengan mengacu pada proposisi nilai ke – 1. Seperti yang telah disebutkan pada Bab Pendahuluan, Kader (2002) mengemukakan bahwa ada empat parameter utama yang dipertimbangkan konsumen dalam menentukan kualitas dari produk buah dan sayur potong segar yang akan dibeli yaitu penampakan visual, tekstur, flavor dan nilai nutrisi produk. Penampakan visual yakni berkaitan dengan proposisi nilai kesegaran yang terjaga selama penyimpanan. Konsumen mengharapkan produk sayuran dapat selalu segar dalam masa penyimpanan yang wajar (tidak terlalu lama). Sehingga diperlukan teknologi untuk mempertahankan kesegaran sayuran.

Wong et al. (1994) mengemukakan bahwa ada beberapa teknologi yang dapat diaplikasikan untuk meminimumkan efek kerusakan selama masa penyimpanan produk sayuran terolah minimal. Beberapa teknologi tersebut antara lain :

blanching, penggunaan edible coating penggunaan zat aditif, penyimpanan pada suhu rendah dan modifikasi atmosfir dalam kemasan.

Formulasi 1

Tahap formulasi 1 adalah tahap pengembangan produk yang pertama dengan melakukan pelapisan atau coating pada produk sayuran terolah minimal. Menurut Pavlath dan Orts (2009) dalam Embuscado dan Huber, edible film atau coating

adalah bahan yang digunakan untuk menyelimuti berbagai macam makanan yang dapat dimakan langsung dengan makanan tanpa perlu dipisahkan terlebih dahulu dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan produk. Edible film atau coating

digunakan sebagai pengganti lapisan alami pada makanan atau bersifat menambahkan untuk mencegah kehilangan kelembaban (air), menyeleksi pertukaran gas seperti oksigen, karbon dioksida dan etilen yang berkaitan dengan proses respirasi terutama pada produk segar seperti sayuran. Percobaan pembuatan larutan coating diawali dengan pamilihan bahan utama coating. Menurut Sonti (2003) edible film atau coating dapat dibuat dari bahan polisakarida, protein, lemak atau campuran dari bahan – bahan tersebut. Polisakarida dipilih sebagai bahan utama coating. Krochta et al. (1992) menyebutkan beberapa keuntungan dari

coating yang berbahan dasar polisakarida diantaranya adalah meningkatnya flavor, tekstur dan warna, meningkatnya stabilitas selama penjualan dan penyimpanan,

memperbaiki penampilan dan mengurangi tingkat kebusukan. Menurut Baldwin (1995), pati merupakan salah satu jenis polisakarida yang sering digunakan sebagai bahan coating. Polisakarida khususnya pati mudah larut air karena membentuk ikatan hidrogen yang kuat dengan molekul air. Selain itu kandungan amilosa dalam pati merupakan bahan penting yang berperan dalam membentuk film (Claudia et al.

2005). Edible coating yang terbentuk dari pati memiliki kemampuan yang baik sebagai pelindung dari transfer oksigen, air, aroma dan minyak sehingga baik digunakan untuk produk sayuran terolah minimal.

Percobaan pembuatan formula coating dilakukan dengan terlebih dahulu memilih bahan pati sebagai bahan polisakarida yang digunakan dalam pembuatan larutan coating. Bahan pati yang dipilih adalah bahan pati yang dapat menghasilkan larutan coating yang jernih. Hal tersebut berkaitan dengan pendapat Pavlath dan Orts (2009) dalam Embuscado dan Huber, bahwa konsumen lebih memilih produk yang tidak terlihat telah dilapisi dengan kata lain memilih coating yang jernih dan tidak merubah atau menutupi warna asli produk. Selain itu, pati yang baik untuk membuat larutan coating adalah pati yang memiliki kandungan amilosa yang tinggi. Pati yang memiliki karakteristik tersebut akan cepat kering dan membentuk film yang tipis yang menyelimuti produk yang dilapisi. Larutan pati tergelatinisasi dibuat dari beberapa bahan diantaranya : nutrijel (karagenan dan glukomanan), tepung beras putih, pati jagung, tepung tapioka, pati tapioka, tepung sagu, pati sagu, untuk melihat kejernihan dari masing – masing larutan. Adapun hasil larutan pati tergelatinisasi dapat dilihat pada Gambar 4.

Bahan yang menghasilkan larutan yang paling jernih adalah nutrijel (1) dan pati sagu (7). Pati sagu dipilih sebagai bahan utama larutan coating. Nutrijel tidak dipilih karena menghasilkan lapisan yang terlalu tebal sehingga mempengaruhi parameter visual penilaian konsumen. Setelah menentukan bahan utama untuk membuat larutan coating, selanjutnya membuat formulasi larutan coating. Bahan dan metode pembuatan larutan coating serta proses pelapisan produk mengacu penelitian Gunawan (2009) dan Budiman (2011) yang telah dimodifikasi pada Lampiran 3. Bahan yang digunakan dalam pembuatan larutan coating adalah gliserol, CMC, pati sagu, dan minyak kedelai.

CMC atau Carboxymethyl cellulose digunakan sebagai bahan penstabil dan

thickening dalam pembuatan larutan coating. Menurut Hikmat (1997), penambahan CMC ke dalam larutan coating ditujukan untuk memperbaiki penampakan, kekuatan, kekompakan, laju transmisi zat serta mempercepat pembentukan matrik

Gambar 4 Larutan pati tergelatinisasi dari berbagai macam pati : (1) nutrijel, (2) tepung beras putih, (3) pati jagung, (4) tepung tapioka, (5) pati

film sehingga film menjadi cerah, kuat dan kompak. CMC bersifat mudah larut dalam air panas dan membentuk gel sehingga dalam larutan coating, CMC juga berfungsi sebagai bahan pembentuk dan pengisi gel. CMC diketahui sebagai turunan selulosa yang paling resisten terhadap air (Kester dan Fennema 1986). CMC akan menurunkan transfer oksigen dari udara ke dalam produk dan mengurangi laju transpirasi produk sayuran terolah minimal sehingga tekstur alami produk dapat terjaga dan umur simpan produk meningkat. Namun penambahan CMC dan pati ke dalam larutan coating tidak cukup untuk menjaga produk agar tidak kehilangan air karena bahan – bahan tersebut merupakan hidrokoloid polisakarida yang memiliki sifat alami suka terhadap air (Hidrofilik). Sifat hidrofilik tersebut membuat CMC dan pati mudah berikatan dengan air dan mudah kehilangan air akibat penguapan/ transpirasi (Kester dan Fennema 1986). Oleh karena itu dilakukan penambahan komponen minyak ke dalam larutan coating.

Penambahan minyak yang bersifat non polar dalam larutan coating dilakukan untuk mengurangi transfer penguapan air dari bahan penyusun coating yang bersifat hidrokoloid (Skurtys et al.). Minyak yang ditambahkan adalah minyak kedelai. Penambahan giliserol ke dalam larutan coating berfungsi sebagai bahan

plasticizer yang akan membentuk sifat elastis dan fleksibel pada film atau coating yang terbentuk sehingga coating tidak terlihat kaku dan pecah – pecah (Barreto et al. 2003). Namun menurut Mali et al. (2006), penambahan plasticizer dapat membuat larutan coating memiliki permeabilitas yang tinggi terhadap gas, dan mengurangi kemampuan film dalam mengikat air (mudah mengalami pengenceran). Cara pelapisan (coating) yang dilakukan adalah dengan mencelup produk sayuran terolah minimal ke dalam larutan coating atau dipping.

Berdasarkan penelitian Gunawan (2009), formula yang terbaik yang dihasilkan untuk melapisi paprika menggunakan bahan – bahan dengan komposisi sebagai berikut : pati 10 % dalam akuades, gliserol 10 %, CMC 1 %, minyak biji bunga matahari 0.025% , dan Vitamin C 1 %. Konsentrasi pati sebanyak 10 %, gliserol 10 % dan CMC 1 % menghasilkan larutan coating yang terlalu kental sehingga formula tersebut dimodifikasi dengan mengacu pada penelitian Budiman (2011). Berdasarkan penelitian Budiman (2011), formula terbaik untuk melapisi pisang Cavendis adalah pati singkong 3%, CMC 0.4 % dan gliserol 5 %. Berdasarkan literatur tersebut maka dihasilkan tiga formula hasil modifikasi dengan rincian yang terlampir pada Lampiran 4. Formula yang terpilih berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan adalah formula 3 dengan komposisi bahan : pati sagu konsentrasi 3 %, CMC 0.5 %, gliserol 5 % dan Vitamin C 0.5 %. Formula 1 tidak dipilih karena menghasilkan coating yang terlalu tebal, sedangkan formula 2 tidak dipilih karena konsentrasi pati 2 % terlalu encer serta tidak tahan lama.

Sayuran yang telah terolah minimal yang telah di-coating kemudian disimpan dalam lemari pendingin dan diamati setiap dua hari untuk melihat adanya perubahan secara visual pada produk. Produk sayuran terolah minimal yang diamati

Dalam dokumen Pengembangan Produk Sayuran Terolah Minimal (Halaman 22-60)

Dokumen terkait