• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Produk Sayuran Terolah Minimal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Produk Sayuran Terolah Minimal"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN PRODUK SAYURAN

TEROLAH MINIMAL

KHOIRUNISA PRAWITA SARI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengembangan Produk Sayur Terolah Minimal adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Khoirunisa Prawita Sari

(3)

ABSTRAK

KHOIRUNISA PRAWITA SARI. Pengembangan Produk Sayuran Terolah Minimal. Dibimbing oleh AJI HERMAWAN dan SLAMET BUDIJANTO.

Produk sayuran terolah minimal merupakan salah satu solusi untuk mengatasi masalah pengolahan sayuran. Namun, pengolahan minimal pada sayuran segar memberikan resiko pada produk, yakni meningkatkan derajat kerusakan bahan sehingga umur simpan produk jauh lebih pendek dari sayuran segar. Penelitian ini mengambil tema masakan sayur sop sebagai masakan sayuran yang paling diminati target konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi teknologi perlakuan pendahuluan untuk mempertahankan kualitas produk sayuran terolah minimal selama penyimpanan dan mendapatkan formulasi bumbu sebagai bahan pelengkap produk. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap yakni pengembangan produk utama, pengambangan produk pelengkap dan pengujian prototipe produk akhir. Parameter keberhasilan pengembangan produk adalah visual produk, tekstur, dan flavor. Hasil pengembangan produk utama yaitu perlakuan pencelupan bahan sayuran terolah minimal pada larutan asam sitrat 200 ppm sebagai perlakuan pendahuluan yang terbaik untuk mempertahankan produk selama penyimpanan tujuh hari yang dikemas dengan kemasan PP secara vakum dalam lemari pendingin. Pengembangan produk pelengkap menghasilkan bumbu masakan sop berbentuk pasta dengan komposisi dari berbagai macam bahan bumbu. Data hasil pengujian tekstur menunjukkan terjadinya penurunan kekerasan pada produk mulai hari penyimpanan ke-6. Hasil pengujian organoleptik pada prototipe produk akhir menunjukkan bahwa produk sayuran terolah minimal mendapat respon positif dari penerimaan panelis pada parameter visual (warna dan kesegaran), rasa, flavor, dan aroma hingga penyimpanan hari ke-7.

(4)

ABSTRACT

KHOIRUNISA PRAWITA SARI. Product Development of Minimally Processed Vegetables. Supervised by AJI HERMAWAN and SLAMET BUDIJANTO.

Minimally processed vegetable product is one of solutions for solving consumer problem in processing vegetable. Meanwhile, minimally processed in fresh vegetable had a risk such as increased deterioration. Therefore, the product shelf life will be shorter than fresh vegetable. This research was concern about the soup vegetable as the most wanted product which targeted consumen prefer. The purposes of this research were to obtain pretreatment formulation technology to maintain the quality of minimally processed vegetable product during storage. The purpose of this research were also to get seasoning formulations as compliment of the main product. This research consisted of three phases, which are the main product development, the compliment product development, and testing the final product prototype. The parameters used to evaluate the success of product development are visual appearance of the product, texture, and flavor. The result of the main product development is minimally processed vegetables product of vegetables soup with additives addition in immersion solution used citric acid at 200 ppm which packed by polypropilen packaging in vacuum. This product shelf life had reach seven days in storage at chill temperatures. The compliment product development resulted a pasta form seasoning of the vegetable soup which consisted kind of materials seasoning. The data result from textural test showed that product had decreased hardness since sixth day of storage. The organoleptic test results showed that the minimally processed vegetable product get a positive response from the panelists acceptance at visual attributes (color and freshness), taste, flavor and aroma of seven days shelf life in storage.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Teknologi Industri Pertanian

PENGEMBANGAN PRODUK SAYURAN

TEROLAH MINIMAL

KHOIRUNISA PRAWITA SARI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Pengembangan Produk Sayuran Terolah Minimal Nama : Khoirunisa Prawita Sari

NIM : F34100016

Disetujui oleh

Dr Ir Aji Hermawan, MM Pembimbing I

Prof Dr Ir Slamet Budijanto, MAgr. Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penulis mengambil tema Technopreneurship, dengan judul skripsi Pengembangan Produk Sayuran Terolah Minimal yang telah dilakukan dari bulan Maret hingga Juni 2014.

Ucapan terimakasih serta penghargaan penulis ucapkan kepada

1. Dr Ir Aji Hermawan, MM dan Prof Dr Ir Slamet Budijanto, MAgr selaku dosen pembimbing atas perhatian dan bimbingannya selama proses pengerjaan tugas akhir.

2. Dr Ir Titi Chandra Sunarti, MSi, Dr Indah Yuliasih, STP, MSi, Dr Ir Endang Warsiki, MT, dan Dr Ir Dwi Setyaningsih, MSi atas masukan dan saran dalam proses penyelesaian tugas akhir penulis.

3. Bapak Eko Nugroho, SPt, MM yang telah banyak memberi saran,

Recognition and Monitoring Program (RAMP - IPB) yang telah mendanai penelitian

4. Ibu Egnawati dan Ibu Suherti sebagai teknisi laboratorium DIT Departemen Teknologi Industri Pertanian atas bantuannya selama ini. 5. Nadhif Nabhan Rabbani dan Prayuga Deka Rusyana selaku rekan

penelitian technopreneurship atas kerjasama dan pengertiannya dalam mengerjakan tugas akhir ini.

6. Ayahanda Supriyadi dan Ibunda Sutiawati atas doa, dukungan dan perhatiannya selama ini.

7. Teman – teman seperjuangan Hani, Ika, Ade, Mpud, Gita, Nunu, Mpew, Aha, Weni, Ratna, Rista, Suci, Brili, Ichul, Ichong, Tino, Egi, Ridha, Tika, Anggun, Dina, Eja, Mawar dan semua yang tidak dapat disebutkan satu – persatu disini.

8. Keluarga besar TIN 47 atas bantuan, kekompakkan dan kenangan manisnya selama ini.

9. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014

(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

METODE PENELITIAN 7

Waktu dan Tempat 7

Bahan dan Alat 7

Metode 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Pengembangan Produk Utama Berbasis Sayuran 12

Pengembangan Produk Pelengkap 35

Pengujian Prototipe Produk Akhir 42

SIMPULAN DAN SARAN 50

Simpulan 50

Saran 51

DAFTAR PUSTAKA 51

LAMPIRAN 58

(9)

DAFTAR TABEL

1 Komposisi dan nilai gizi pada umbi kentang per 100 gram 3

2 Komposisi gizi wortel per 100 gram bahan 4

3 Tipe wortel 4

4 Spesifikasi varietas buncis 5

5 Kandungan gizi kubis per 100 gram bahan segar 6

6 Penerjemahan proposisi nilai ke – 0 13

7 Perlakuan sampel dalam percobaan water blanching pada sayuran

terolah minimal 26

8 Komposisi bahan - bahan pada masing - masing resep yang dihasilkan 36

9 Resep hasil reformulasi 39

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka berpikir pengembangan produk sayuran terolah minimal 8 2 Diagram alir metode pelaksanaan pengembangan produk pelengkap

bumbu 10

3 Minimum viable product ke - 0 13

4 Larutan pati tergelatinisasi dari berbagai macam pati : (1) nutrijel, (2) tepung beras putih, (3) pati jagung, (4) tepung tapioka, (5) pati tapioka,

(6) tepung sagu, (7) pati sagu 18

5 Asam askorbat sebagai antioksidan 29

6 Perubahan asam askorbat setelah kehilangan ion hidrogen 29

7 Reaksi pencoklatan enzimatis oleh enzim PPO 30

8 Struktur kimia asam sitrat 30

9 Struktur pigmen karoten 31

10 Struktur pigmen klorofil 31

11 Prototipe produk terakhir 35

12 Hasil formulasi bumbu (dibaca dari yang paling kiri) Resep 1, Resep 2,

dan Resep 3 36

13 Hasil uji hedonik pemilihan resep bumbu yang pertama pada atribut

aroma 37

14 Hasil uji hedonik pemilihan resep bumbu yang pertama pada atribut rasa 37 15 Hasil uji hedonik pemilihan resep bumbu yang kedua pada atribut aroma

38 16 Hasil uji hedonik pemilihan resep bumbu yang kedua pada atribut rasa 38 17 Resep hasil reformulasi (dibaca dari yang paling kiri) : Resep 1a, Resep

1b, dan Resep 1c 39

18 Hasil uji hedonik pemilihan resep bumbu reformulasi yang pertama pada

atribut aroma 40

19 Hasil uji hedonik pemilihan resep bumbu reformulasi yang pertama pada

atribut rasa 40

20 Hasil uji hedonik pemilihan resep bumbu reformulasi yang kedua pada

(10)

21 Hasil uji hedonik pemilihan resep bumbu reformulasi yang kedua pada

atribut rasa 41

22 Prototipe produk pelengkap bumbu 42

23 Hasil uji organoleptik sayuran wortel mentah selama penyimpanan 43 24 Hasil uji organoleptik sayuran wortel matang selama penyimpanan 43 25 Hasil uji organoleptik sayuran buncis mentah selama penyimpanan 44 26 Hasil uji organoleptik sayuran buncis matang selama penyimpanan 44 27 Hasil uji organoleptik sayuran kentang mentah selama penyimpanan 45 28 Hasil uji organoleptik sayuran kentang matang selama penyimpanan 46 29 Hasil uji organoleptik sayuran kubis mentah selama penyimpanan 47 30 Hasil uji organoleptik sayuran kubis matang selama penyimpanan 47 31 Grafik perubahan tekstur sayuran terolah minimal selama penyimpanan 49

DAFTAR LAMPIRAN

1 Pengembangan proposisi nilai selama kegiatan pengembangan pasar 58 2 Diagram alir pembuatan Minimum Viable Product ke – 0 59 3 Diagram alir metode pembuatan larutan coating (a) dan proses pelapisan

pada sayuran terolah minimal (b) pada formulasi 1 60 4 Hasil formulasi larutan coating mengacu pada Gunawan (2009) dan

Budiman (2011) 61

5 Hasil Pengamatan produk sayuran terolah minimal formulasi 1-a dengan aplikasi teknologi coating berbasiskan pati sagu 62 6 Metode pembuatan larutan coating dan hasil reformulasi coating 63 7 Diagram alir proses pelapisan dengan formulasi 2-a 64 8 Hasil Pengamatan produk sayuran terolah minimal formulasi 2-a dengan

aplikasi teknologi coating berbasiskan pati tergelatinisasi dan air tajin 65 9 Hasil percobaan pendahuluan blansir pada sayuran kubis 66 10 Diagram alir formulasi 2-b dengan perlakuan steam blanching 67 11 Hasil pengamatan formulasi 2-b dengan perlakuan steam blanching 68 12 Metode pembuatan sampel produk pada percobaan formulasi 2-c dengan

coating gel aloevera dan water blanching 69

13 Pembuatan larutan coating dari gel aloevera pada formulasi 2-c mengacu

pada Yuliana (2008) 70

14 Hasil pengamatan formulasi 2-c dengan coating gel aloevera dan water

blanching 71

15 Diagram alir pembuatan produk pada formulasi 2-d dengan penambahan

zat aditif 73

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sayuran merupakan komoditas pertanian yang mudah rusak, bersifat kamba, dan memiliki umur simpan yang pendek. Pengolahan sayuran sebagai suatu masakan memerlukan tahapan pengolahan yang panjang, waktu yang cukup lama dan sering dianggap tidak praktis oleh konsumen. Konsumen pada umumnya menyimpan bahan baku sayuran yang telah dibeli di dalam lemari pendingin sebagai persediaan bahan makanan untuk jangka waktu tertentu. Penyimpanan dilakukan untuk mengontrol persediaan sayuran di rumah sehingga selalu ada pada saat ingin memasak tanpa harus berbelanja sayuran setiap hari. Namun, sayuran yang disimpan tidak memiliki umur simpan yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Konsumen menginginkan produk sayuran yang praktis dan memiliki umur simpan yang panjang tanpa mengurangi kualitas kesegaran dan nutrisi sayuran. Sebagian besar konsumen, menurut Rabbani (2014) menginginkan produk sayuran yang dikemas dengan bumbu sehingga lebih mudah untuk dikonsumsi.

Produk sayuran terolah minimal dapat menjadi satu solusi untuk mengatasi masalah pengolahan sayuran. Menurut He dan Luo (2007) produk sayuran terolah minimal adalah bahan baku sayuran yang mengalami beberapa proses yaitu pengupasan, pemotongan, pencucian, pembersihan, pengeringan dan pengemasan tanpa mengurangi kesegaran dari sayuran. Produk sayuran terolah minimal menyediakan kepraktisan dan kesegaran yang dibutuhkan konsumen. Namun, pengolahan minimal memberikan resiko pada sayuran yakni meningkatkan derajat kerusakan bahan yang diolah (Krochta et al. 1992) sehingga umur simpan produk jauh lebih pendek dari pada sayuran segar. Selain itu Lee et al.. (2003), meyebutkan bahwa pengolahan minimal menghasilkan produk yang mudah busuk disertai dengan kehilangan air, kehilangan kekerasan (softening), kontaminasi mikroba, peningkatan laju respirasi dan pencoklatan pada permukaan bahan yang diolah. Efek pengolahan minimal tersebut menyebabkan umur simpan produk yang lebih pendek dibandingkan sayuran segar dan penurunan kualitas sayuran baik dalam segi visual, tekstur maupun nutrisi. Hal tersebut dapat mempengaruhi keputusan konsumen dalam melakukan pembelian seperti yang telah dikemukakan Kader (2002). Kader (2002) mengemukakan beberapa parameter yang menjadi pertimbangan konsumen saat melakukan pembelian sayuran terolah minimal seperti : penampakan visual, tekstur, flavor dan nilai nutrisi produk.

(12)

Penjabaran di atas melatarbelakangi penelitian pengembangan produk sayuran terolah minimal yang bertujuan mendapatkan perlakuan pendahuluan yang sesuai untuk mempertahankan umur simpan produk dan mendapatkan bumbu sebagai produk pelengkap yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Penelitian ini dilakukan secara iterasi bersamaan dengan kegiatan pengembangan pasar.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menciptakan suatu produk sayuran terolah minimal yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan :

1. Mendapatkan perlakuan pendahuluan untuk mempertahankan umur simpan produk sesuai tujuan umum

2. Mendapatkan formulasi bumbu sebagai bahan pelengkap produk Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi :

1. Produk sayuran terolah minimal yang dikembangkan adalah produk untuk masakan sayur sop. Hal ini mengacu pada hasil penelitian Rabbani (2014) yang menyatakan bahwa sayur sop adalah jenis masakan yang paling sering dikonsumsi oleh target konsumen produk sayuran terolah minimal.

2. Sayuran penyusun masakan sop yang dikembangkan adalah wortel, kentang, kubis dan buncis.

3. Bahan baku sayuran yang digunakan berasal dari daerah Cipanas.

4. Bahan Kemasan yang digunakan dalam pengembangan produk ini adalah tray Styrofoam dan plastik wrap serta plastik vakum polypropylene (PP). 5. Penyimpanan dilakukan di dalam lemari pendingin showcase dengan suhu

dingin (4 - 10°C) dan kelembaban udara (RH 80 – 90 %) berdasarkan kebiasaan konsumen dalam menyimpan sayuran.

6. Penelitian ini mencakup pemilihan perlakuan pendahuluan yang sesuai berdasarkan proposisi nilai produk.

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Bahan Baku Utama

Bahan baku utama yang digunakan dalam membuat produk sayuran terolah minimal dalam kemasan adalah kentang, wortel, buncis dan kubis. Pemilihan keempat jenis sayuran tersebut berdasarkan pendapat konsumen mengenai jenis sayuran yang biasanya terdapat dalam masakan sayur sop.

(13)

Kentang merupakan komoditas pertanian yang termasuk dalam jenis umbi batang dari tanaman kentang (Solanum sp) dalam keadaan utuh bersih dan segar (SNI 01 – 3175 - 1992). Menurut Afriyatini (1985) terdapat tiga jenis kentang yaitu kentang kuning, kentang putih dan kentang merah. Jenis kentang yang ada mempengaruhi bentuk fisik umbi kentang yang dihasilkan khususnya warna kulit dan daging buah, sebagai contoh, kentang kuning memiliki warna kuning pada kulit dan daging buah, begitu juga untuk jenis kentang putih dan merah. Kentang merupakan salah satu sumber karbohidrat dengan kadar pati sebesar 16 – 21 % (FAO 2008). Air merupakan komposisi utama dalam kentang dengan presentase 75 – 80 % selain unsur makronutrien karbohidrat yang telah disebutkan dan protein sebesar 2 – 2.5 %. Komposisi dan nilai gizi pada umbi kentang menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979) seperti yang terdapat pada Tabel 1.

Menurut Cantos et al. (2002), aktifitas enzim polifenol oksidase (PPO) pada kentang potong menyebabkan reaksi pencoklatan enzimatis. Reaksi tersebut menghasilkan perubahan warna cokelat pada permukaan kentang dan menurunkan kualitas produk. Aktifitas enzim PPO meningkat ketika kentang mengalami proses pengupasan dan pemotongan. Menurut Susanto dan Saneto (1994), reaksi pencoklatan terjadi karena adanya kerusakan jaringan pada sayuran yang menyebabkan reaksi antara komponen fenol yang berada dalam vakuola sel dengan enzim polifenol oksidase yang berada di sitoplasma dan dipicu oleh paparan oksigen dalam udara. Perubahan warna menjadi cokelat akibat adanya konversi senyawa fenolat oleh enzim fenolase menjadi melanin atau melanoidin yang berwarna coklat.

Wortel

Wortel merupakan komoditas pertanian berupa bagian umbi (akar tunggang) dari tanaman wortel (Daucus carota L.) dalam keadaan utuh, segar dan bersih (SNI 01 – 3163 – 1992). Menurut Eskin (1979), kestabilan pigmen karotenoid dipengaruhi oleh kandungan air pada bahan. Semakin banyak air pada bahan maka pigmen karotenoid semakin stabil. Pigmen karotenoid yang stabil membuat produk memiliki warna yang lebih cerah. Salah satu pigmen karotenoid adalah β– karoten.

Tabel 1 Komposisi dan nilai gizi pada umbi kentang per 100 gram Bahan penyusun Kandungan gizi

Kalori (Kal) 83.00

(14)

Menurut Taylor (1980) β – karoten merupakan senyawa yang berfungsi sebagai prekusor vitamin A yang dikenal sebagai provitamin A. Kandungan vitamin A pada wortel tinggi yakni sebesar 12.00 SI menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1995) seperti yang terlampir pada Tabel 2.

Menurut Wisudawaty (2012) wortel dapat dibedakan menjadi tiga tipe antara lain tipe imperator, tipe cantenay dan tipe nantes dengan spesifikasi yang tertera pada Tabel 3.

Buncis

Buncis merupakan tanaman jenis kacang – kacangan yang merambat berbentuk semak atau perdu dengan nama latin Phaseolus vulgaris L.,. Varietas buncis yang ada di Indonesia umumnya adalah varietas buncis yang dilepas oleh Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) tahun 1999 yakni varietas Horti 1, Horti 2, Horti 3 dengan pertumbuhan merambat dan tahun 2011 yakni Balitsa 1, Balitsa 2, dan Balitsa 3 dengan tipe pertumbuhan tegak. Adapun spesifikasi dari masing – masing varietas seperti yang tertera pada Tabel 4.

Tabel 2 Komposisi gizi wortel per 100 gram bahan

Bahan Penyusun Kandungan gizi

Kalori (Kal) 42.00

Karbohidrat (gram) 9.30

Lemak (gram) 0.30

Protein (gram) 1.20

Kalsium (mg) 39.00

Fosfor (mg) 37.00

Besi (mg) 0.80

Vitamin A (SI) 12.00

Vitamin B (mg) 0.06

Vitamin C (mg) 6.00

Air (gram) 88.20

Bagian yang dapat dimakan (%) 88.00

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1995)

Tabel 3 Tipe wortel

Tipe Keterangan

Imperator Bentuk bulat panjang dengan ujung runcing seperti kerucut, memiliki akar

serabut, rasa tidak terlalu manis Cantenay Bentuk bulat panjang dengan ujung

tumpul, rasa manis Nantes Peralihan dari tipe imperator dan

cantenay

(15)

Penelitian ini menggunakan buncis yang memiliki kriteria seperti buncis varietas balitsa 2. Hal ini disebabkan konsumen lebih menyukai buncis dengan warna hijau muda dengan tekstur yang halus.

Menurut Ugen et al. (2011) buncis mengandung beberapa makronutrien penting seperti globulin protein (20 – 28 %), energi (32 %), dan serat (56 %), serta beberapa mikronutrien seperti zat besi (70 mg/Kg), zn (33 mg/Kg) dan vitamin A.

Tabel 4 Spesifikasi varietas buncis

(16)

Selain itu menurut Cahyono (2007), buncis juga mengandung gum dan pektin yang berguna untuk menurunkan gula darah, dan lignin yang dapat mencegah kanker usus besar dan payudara. Kadar serat kasar yang tinggi dalam buncis mampu melancarkan pencernaan dan membuang racun yang ada di dalam tubuh (Cahyono 2007).

Kubis

Menurut SNI 01 – 3174 – 1992, kubis segar merupakan kumpulan daun – daun yang masih menempel pada batang dan membentuk telur/ krop berasal dari tanaman kubis (Brassica oleoraceae LINN). Berdasarkan varietasnya, kubis terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan bulat dan golongan pipih. Penelitian ini menggunakan kubis dengan varietas bulat. Hal ini disebabkan kubis dengan varietas bulat memiliki struktur bahan yang lebih kuat sehingga akan lebih tahan lama saat disimpan. Adapun kandungan nutrisi kubis menurut Direktorat Gizi Depkes RI (1981) dan Food Nutrition Research Center, Manila (1964) seperti yang tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5 Kandungan gizi kubis per 100 gram bahan segar

Komposisi Gizi Kubis putih

Kalori (kal) 25.0

Protein (g) 1.7

Lemak (g) 0.2

Karbohidrat (g) 5.3

Abu (g) 0.7

Serat (g) 0.9

Fosfor (mg) 26

Kalsium 64

Zat besi (mg) 0.5

Natrium (mg) 8

Niasin (mg) 0.3

Vitamin A (SI) 75

Vitamin B1 (mg) 0.1

Vitamin C (mg) 62

Air (g) 91 – 93

(17)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Organoleptik dan Laboratorium Instrumen Departemen Teknologi Industri Pertanian serta Technopark Kampus IPB Dramaga Bogor mulai dari Bulan Maret 2014 hingga Juni 2014.

Bahan dan Alat

Bahan baku utama yang digunakan adalah komoditas sayuran wortel, kentang, kubis, dan buncis yang didapatkan dari perkebunan sayuran di daerah Cipanas, Jawa Barat. Bahan pelengkap yang digunakan selama kegiatan formulasi dan pengujian diantaranya adalah bawang merah, bawang putih, rempah – rempah, bumbu dapur, plastik vakum PP, air, asam askorbat, garam dapur, lada bubuk, gula pasir, penyedap rasa, asam sitrat, potasium sorbat, Carboxymethylcellulosa (CMC), gliserol, minyak kedelai, pati sagu, minyak sawit (minyak goreng) dan lidah buaya. Alat yang digunakan adalah refrigator show case bersuhu 4 – 10 °C, mesin steam blanching, vacuum sealer, blender, termometer, RH meter, stirrer, mixer, blower, sendok stainless steel, dan pisau.

Metode

(18)

Pengembangan Produk Utama

Pengembangan produk utama adalah kegiatan pengolahan bahan baku sayuran menjadi produk sayuran terolah minimal. Konsep pengembangan produk yang dilakukan termasuk dalam kegiatan riset aksi. Menurut Saunders et al. (2009), riset aksi adalah kegiatan diagnosa, perencanaan, tindak langsung dan evaluasi dalam menemukan masalah di masyarakat untuk kemudian dijadikan inputan dalam pengembangan produk. Metode ini merupakan metode yang memanfaatkan umpan balik dari pasar sebagai input dari pengembangan produk dan berjalan secara sinergis satu sama lain.

Nilai – nilai yang harus dicapai dan terkandung di dalam produk berdasarkan hasil pengembangan pasar dituangkan dalam bagian proposisi nilai (value proposition) yang terdapat dalam model bisnis kanvas (BMC). Proposisi nilai merupakan salah satu bagian dari Sembilan bagian lain yang terdapat dalam konsep BMC (Osterwalder dan Pigneur 2012). Komponen proposi nilai atau value proposition menjadi inputan utama bagi pengembangan produk dari hasil umpan balik pasar dalam hal formulasi produk yang dikembangkan. Proposisi nilai

(19)

merupakan kesatuan, atau gabungan manfaat – manfaat yang ditawarkan perusahaan kepada konsumen. Proposisi nilai yang didapatkan selama kegiatan pengembangan pasar dilakukan dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil formulasi dari kegiatan pengembangan produk dalam penelitian ini disebut sebagai minimum viable product (MVP). Berdasarkan penelitian Rabbani (2014), sayuran sop menjadi tema masakan utama yang sering dikonsumsi masyarakat. Sehingga dalam penelitian ini, pengembangan produk hanya dilakukan pada produk sayuran terolah minimal untuk masakan sayuran sop.

Kegiatan pengembangan produk utama dimulai dengan merumuskan suatu ide mengenai produk berbahan baku sayuran yang kira – kira merupakan solusi dari permasalahan target konsumen. Ide tersebut kemudian diubah menjadi bentuk MVP-0 yang mengandung proposisi nilai ke-0. Proposisi nilai ke-0 masih berupa perkiraan nilai yang belum teruji kebenarannya di target konsumen. Kegiatan pengujian masalah pada target konsumen dalam pengembangan pasar dilakukan untuk mengetahui proposisi nilai yang sebenarnya dibutuhkan konsumen. Sehingga pada kegiatan pengujian masalah dihasilkan proposisi nilai yang baru yang disebut sebagai proposisi nilai-1. Proposisi nilai-1 menjadi acuan baru untuk melakukan formulasi produk, artinya produk yang dikembangkan harus memiliki unsur – unsur manfaat yang terkandung dalam proposisi nilai-1. Formulasi produk dilakukan dengan melakukan uji coba untuk memilih perlakuan pendahuluan yang paling sesuai dalam mempertahankan kualitas produk. Perlakuan pendahuluan dikatakan sesuai jika dapat mempertahankan kualitas produk berdasarkan parameter visual. Parameter visual digunakan menjadi parameter kritis yang menentukan keberhasilan formulasi karena parameter visual (warna, kesegaran) merupakan parameter utama yang dipertimbangkan konsumen dalam membeli produk sayuran terolah minimal (Kader 2002).

MVP-1 kemudian dihasilkan dari hasil kegiatan formulasi-1. Selanjutnya MVP-1 diuji dalam kegiatan pengujian solusi. Pengujian solusi dilakukan untuk mengetahui apakah MVP-1 adalah prototipe produk yang sesuai dengan kebutuhan konsumen seperti yang tergambar pada proposisi nilai-1. Masukan target konsumen selama pengujian solusi menjadi masukan untuk perbaikan prototipe. Formulasi dilakukan berulang – ulang hingga menghasilkan produk yang sesuai dengan kebutuhan target konsumen. Parameter visual, yang merupakan parameter kritis konsumen dalam melakukan pembelian produk, digunakan untuk mengeleminasi formula yang diuji-cobakan. Kegiatan formulasi produk dihentikan jika telah menghasilkan produk yang memenuhi parameter visual selama waktu penyimpanan. Produk tersebut disebut sebagai prototipe produk akhir. Prototipe produk akhir kemudian diuji berdasarkan parameter penerimaan konsumen yang lain, seperti yang telah disebutkan Kader (2002).

Pengembangan Produk Pelengkap

(20)

hari yakni berbentuk pasta. Kegiatan pengembangan produk pelengkap bumbu dilakukan melalui beberapa tahap seperti pada Gambar 2.

Berdasarkan pengujian solusi yang dilakukan oleh Rabbani (2014),sebanyak 70 % dari seluruh target konsumen membutuhkan bumbu dalam produk. Hal tersebut mendasari dilakukannya pengembangan produk pelengkap bumbu sayur sop. Kegiatan pengembangan produk pelengkap dimulai dengan melakukan formulasi bumbu dengan cara trial and error. Selanjutnya beberapa formula bumbu yang dihasilkan dari kegiatan tersebut diuji secara organoleptik untuk memilih formula yang terbaik. Formula yang terpilih disebut sebagai MVP-1. Uji organoleptik yang dilakukan diulang untuk meyakinkan proses pemilihan

(21)

formula. MVP-1 kemudian direformulasi untuk memperbaiki formula awal berdasarkan masukan dari panelis. Hasil formula yang telah direformulasi kemudian diuji organoleptik kembali hingga menghasilkan MVP-2.

Pengujian Prototipe Produk Akhir

Tahapan ini bertujuan untuk mengetahui umur simpan produk sehingga produk masih diterima konsumen. Kriteria penerimaan konsumen dalam membeli produk sayuran terolah minimal menjadi parameter dalam melakukan pengujian. Menurut Kader (2002), parameter yang menjadi penilaian konsumen dalam menentukan kualitas produk buah dan sayuran potong segar adalah penampakan visual, tekstur, flavor dan nilai nutrisi produk. Sehingga pengujian yang dilakukan terdiri dari pengujian organoleptik dan pengujian tekstur. Pengujian organoleptik yang dilakukan pada produk terbagi menjadi dua yakni uji organoleptik pada produk sebelum dimasak, dan uji organoleptik pada produk setelah dimasak. Hal ini disebabkan konsumen melakukan penilaian terhadap produk dalam keadaan mentah saat melakukan pengujian dan menilai secara organoleptik saat dikonsumsi. Pengujian dilakukan selama masa penyimpanan yaitu pada hari ke–0, 2, 4, 6, 8, dan 10. Pengujian organoleptik dilakukan di dalam Laboratorium Organoleptik Departemen Teknologi Industri Pertanian, IPB. Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji penerimaan konsumen yakni uji hedonik dengan atribut penilaian berupa kecerahan warna, kekerasan tekstur, penerimaan flavor/ aroma dan kesegaran secara menyeluruh pada produk sebelum dimasak. Atribut penilaian pada uji mutu hedonik untuk produk yang telah dimasak pada umumnya sama kecuali atribut kesegaran secara menyeluruh digantian dengan atribut rasa.

Pengukuran tekstur dilakukan terhadap sampel produk mentah menggunakan penetrometer digital (Penetrometer Precision) yang terdapat pada Laboratorium Instrumen Departemen Teknologi Industri Pertanian, IPB dengan pengulangan sebanyak 15 kali. Data yang dihasilkan adalah rataan data kedalaman jarum penetrometer saat menekan ke dalam produk selama waktu tertentu selama masa penyimpanan. Semakin besar angka yang didapatkan menandakan tekstur produk yang diuji semakin lunak (Rosenthal 1999). Menurut Garcia dan Barret (2002), sayuran terolah minimal mengalami penurunan kekerasan pada tekstur selama masa penyimpanan. Secara genetik, masing- masing jenis sayuran memang memiliki tekstur yang berbeda – beda namun faktor eksternal juga mempengaruhi tekstur sayuran seperti struktur dinding sel, turgor sel, kandungan air, dan komponen biokimia yang dikandung. Faktor eksternal tersebut mengalami perubahan selama masa simpan sehingga turut mempengaruhi tekstur sayuran yang disimpan.

(22)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengembangan Produk Utama Berbasis Sayuran

Minimum Viable Product – 0

Kegiatan pengembangan produk yang dilakukan diawali dengan menuangkan ide produk yang akan dibuat ke dalam proposisi nilai ke – 0. Minimum Viable Product – 0 atau MVP – 0 merupakan perkiraan solusi untuk target konsumen dalam menghadapi masalah dalam mengonsumsi sayuran. MVP – 0 merupakan prototipe produk yang terdiri dari tiga komponen yaitu sayuran terolah minimal penyusun masakan sop (buncis, kubis, wortel, kentang, dan daun seledri), bahan pelengkap (sosis sapi), dan bumbu masakan sop bubuk yang dikemas secara terpisah. MVP – 0 yang dibuat merupakan produk sayuran terolah minimal dengan tema masakan sop. Hal tersebut berdasarkan penelitian Rabbani (2014) yang menyebutkan bahwa sayuran sop merupakan sayuran yang paling diminati oleh target konsumen produk sayuran terolah minimal.

Selain masalah ketidakpraktisan dalam mengonsumsi sayuran, sayuran segar yang selama ini dikonsumsi masyarakat juga memiliki berbagai kelemahan. Menurut Balitbang Pertanian Jakarta (2011), sayuran yang masuk ke wilayah DKI Jakarta sebagian besar telah mengalami kerusakan sehingga tingkat loss komoditi sayuran sangat tinggi. Hal tersebut disebabkan karena masih berlangsungnya aktivitas hidup sayuran (pernapasan, transpirasi, dan pengeluaran panas), penanganan yang kurang baik dalam pemanenan, penampungan, pengemasan, pengangkutan, penyimpanan, paparan oksigen, cahaya, suhu yang tinggi dan lain – lain (Munarso 2005). Misalnya komoditas sayuran kubis segar ditemukan memiliki kadar air 73 – 83 %, tingkat kerusakan 1.7 – 17.2 %, total mikroba 1.8 – 2.0 x 106 CFU/ml dan residu pestisida mencapai 0.02 – 0.03 mg/kg bahan (Munarso 2005). Kadar air kubis segar seharusnya sebesar 91 – 93 % (Direktorat Gizi Depkes RI 1981). Hal tersebut menunjukkan selama proses distribusi pada sayuran kubis telah terjadi proses transpirasi yakni pengeluaran air dari jaringan tumbuhan (Santoso 2006).

(23)

Hasil penerjemahan tersebut kemudian dijadikan acuan untuk membuat prototipe produk yang akan dikembangkan sehingga tercipta minimum viable product (MVP) ke – 0 seperti yang tertera pada Gambar 3.

Perwujudan nilai praktis pada produk yakni dengan melakukan pengolahan pada bahan baku utama produk (sayuran) dengan pengolahan minimal. Menurut Shewfelt (1987), teknologi pengolahan minimal merupakan seluruh operasi pada produk bahan pangan segar (buah dan sayur) seperti pencucian, sortasi, pengupasan, pemotongan/ pengirisan dan pembuangan biji yang tidak mempengaruhi kualitas produk dari keadaan segarnya. Bahan utama sayuran dalam prototipe produk dikenai proses pencucian, sortasi pengupasan, dan pemotongan. Aplikasi teknologi pengolahan minimal ini diharapkan dapat mewujudkan nilai praktis pada proposisi nilai. Selanjutnya, perwujudan nilai higienis adalah dengan melakukan kegiatan pencucian. Pencucian bahan dengan air dapat menghilangkan kotoran yang kasat mata. Pengemasan sayuran terolah minimal dilakukan dengan menggunakan plastik polipropilen (PP) dan dikemas dengan tipe pengemasan flow packaging. Hal ini

Tabel 6 Penerjemahan proposisi nilai ke – 0

No. Proposisi nilai Penerjemahan

1. Praktis Produk dapat disajikan dengan mudah tanpa harus melakukan kegiatan pengolahan seperti pengupasan, pencucian, dan pemotongan. 2. Higienis Produk yang dihasilkan aman dimakan tanpa

mengandung mikroorganisme yang dapat membahayakan kesehatan serta memiliki penampilan yang bersih.

3. Nilai gizi lebih tinggi

Produk yang dihasilkan diharapkan mengandung nilai nutrisi yang tetap dan terjaga dibandingkan dengan sayuran pada umumnya yang nutrisinya telah terdegradasi selama proses distribusi dan penjajaan.

4. Tahan lama Produk yang dihasilkan diharapkan dapat bertahan lebih lama selama penyimpanan tanpa mengalami penurunan kualitas yang berarti (masih dapat diterima konsumen)

(24)

dilakukan berdasarkan produk sayuran terolah minimal beku yang telah beredar di pasaran. Pengemasan flow packaging dilakukan dengan mengikut sertakan udara di dalam kemasan untuk dikemas.

Proposisi nilai untuk nilai ‘tahan lama’ diwujudkan dengan mengaplikasikan teknik pembekuan pada produk. Hal tersebut didasarkan pada Simplot (2009) bahwa pembekuan sayuran dapat memperpanjang umur simpan sayuran terolah minimal karena pada keadaan beku, mikroorganisme yang terkandung dalam produk berada pada masa dorman. Masa simpan produk sayuran beku dapat mencapai 12 bulan (Wells 2014). Selain itu pada keadaan beku, kandungan nutrisi pada produk seperti vitamin C, A, dan B tidak mudah rusak karena terhindar dari panas yang dapat merusak komponen vitamin. Sehingga proposisi nilai ‘nilai gizi lebih tinggi’ dapat tercapai dibandingkan dengan produk sayuran segar. Proses pembekuan produk dilakukan setelah produk dikemas lalu dimasukkan ke dalam freezer. Produk dikemas menggunakan plastik PP dan di- seal dengan menggunakan hand sealer agar paparan oksigen menurun dibandingkan dengan sayuran segar yang tidak dikemas. Hal tersebut mengacu pada pernyataan He dan Luo (2007) bahwa oksigen yang bereaksi dengan enzim dan komponen fenolik yang terdapat dalam sayuran terolah minimal dapat menyebabkan penurunan kualitas sayuran terolah minimal akibat reaksi pencoklatan enzimatis.

Minimum Viable Product – 1

Kegiatan pengembangan produk selanjutnya merupakan kegiatan formulasi prototipe baru atau MVP – 1. MVP – 1 merupakan perbaikan dari prototipe produk sebelumnya yakni MVP – 0. Perbaikan yang dilakukan mempertimbangkan masalah – masalah yang dihadapi target konsumen secara nyata berdasarkan kegiatan pengembangan pasar (pengujian masalah). Komposisi dan jenis sayuran yang digunakan untuk membuat produk sayur terolah minimal berubah namun tema masakan sayur sop tidak berubah karena sebagian besar konsumen memprioritaskan sayur sop sebagai masakan sayur yang sering dikonsumsi sehari – hari. Sebelumnya pada MVP – 0 sayuran yang digunakan ada lima jenis yaitu kentang, wortel, kubis, buncis dan daun seledri. Pada MPV – 1 sayuran daun seledri tidak digunakan karena pengolahan yang harus dilakukan cukup sulit dan konsumen tidak memprioritaskan jenis sayuran tersebut.

Sayuran kentang yang digunakan adalah kentang kuning yang berukuran sedang dengan spesifikasi kualitas sesuai dengan SNI 01 – 3175 – 1992. Pemilihan kentang kuning berdasarkan masukan dari konsumen pada saat pengujian masalah. Konsumen menginginkan kentang yang bewarna kuning cerah sehingga dipilih kentang kuning yang berasal dari Cipanas. Kentang mimiliki kandungan karbohidrat hingga 19 %. Kandungan karbohidat pada kentang membuat kentang mudah ditumbuhi mikroorganisme.

(25)

dalam air. Namun kestabilan pigmen karotenoid dipengaruhi oleh keadaan air pada bahan (Eskin 1979).

Sayuran kubis yang dipilih adalah kubis yang bulat dengan ukuran sedang (500 – 1600 g) berdasarkan SNI 01 – 3174 – 1992. Kubis yang bulat memiliki lembaran daun kubis yang lebih kokoh sehingga selama proses pengolahan tidak mudah layu dibandingkan kubis yang pipih. Kubis memiliki struktur daun yang mengandung kadar air yang tinggi hingga 93 %. Hal ini mengakibatkan kesegaran kubis dan kenampakkan tekstur kubis sangat bergantung pada kandungan air. Selain itu bentuk daun kubis yang memiliki permukaan yang luas membuat kubis dapat mengalami transpirasi yang mudah.

Buncis yang dipilih adalah buncis varietas Balitsa 2 yang memiliki ciri – ciri : bewana hijau muda, berbentuk lurus, agak manis, memiliki panjang 16 – 17 cm dengan lebar 0.6 – 0.7 cm, dan tekstur permukaan halus (Balitsa 2013). Pemilihan buncis varietas ini juga didasarkan pada masukan konsumen pada saat pengujian masalah yang menginginkan buncis yang memiliki potongan seragam dan lurus. Buncis memiliki kadar serat yang tinggi hingga 56 %. Tingginya kadar serat pada buncis dapat menjadi nilai tambah produk sayuran terolah minimal karena serat dapat melancarkan proses pencernaan. Buncis memiliki kandungan pigmen klorofil yang dominan sehingga tampak bewarna hijau. Kandungan serat yang tinggi pada buncis mempengaruhi struktur dinding sel buncis yakni menjadi kuat dan tebal sehingga buncis tahan terhadap transpirasi. Namun kandungan polifenol pada buncis dapat membuat buncis mengalami pencoklatan pada jaringan di permukaan ujung - ujung buncis bekas proses pemotongan.

Kegiatan pengujian masalah memberikan inputan baru terhadap pengembangan produk yakni pada perubahan proposisi nilai ke – 0 menjadi proposisi nilai ke – 1 yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Adapun tahap pengolahan bahan baku menjadi produk sayuran terolah minimal terlampir pada Lampiran 2. Nilai ‘tahan lama’ pada proposisi nilai ke -0 sebelumnya menjadikan produk yang dikembangkan harus dapat bertahan dalam penyimpanan dalam waktu yang lama (mencapai 12 bulan) dengan teknologi pembekuan. Hal tersebut didasarkan pada perkiraan jenis produk berbasis sayuran yang diinginkan konsumen Indonesia dewasa ini yang memiliki gaya hidup modern seperti di Negara maju. Berdasarkan survey pasar yang dilakuan oleh CBI European Union (EU) (2009), jumlah konsumsi buah dan sayuran beku pada tahun 2008 di seluruh Negara yang tergabung dalam EU mencapai 5.6 juta ton dimana total konsumsi sayuran beku sebesar 75 % dari volume tersebut. Hasil survey tersebut menunjukkan bahwa produk sayuran beku sangat prospektif dan memungkinkan mengalami hal yang sama bila dipasaran di Indonesia. Namun, sebagian besar target konsumen Indonesia yang diwawancarai pada kegiatan pengujian masalah menolak produk sayuran beku karena mengkhawatirkan adanya penurunan nilai nutrisi pada produk dan penggunaan bahan pengawet yang tidak sesuai aturan Depkes.

(26)

proposisi nilai ‘tahan lama’ berubah menjadi ‘kesegaran yang terjaga selama penyimpanan’ yang berakibat berubahnya teknologi yang diaplikasikan. Aplikasi teknologi pembekuan dan penyimpanan sayur secara beku digantikan dengan penyimpanan dalam keadaan dingin (chill) pada suhu 4 – 10 °C. Kisaran suhu tersebut merupakan kisaran suhu lemari pendingin yang menjadi tempat penyimpanan sayuran oleh konsumen (Rabbani 2014). Menurut Syarief (1989), pendinginan adalah penyimpanan produk pangan pada suhu 0 – 10°C. Pendinginan ditujukan untuk mengurangi kelayuan karena kehilangan air, menghambat laju reaksi kimia (enzimatis) pada produk buah dan sayuran segar, menghambat lau pertumbuhan mikroba sehingga umur simpan produk lebih lama.

Selain mempertimbangkan persepsi konsumen, tidak semua jenis sayuran dalam produk sayuran terolah minimal bertema masakan sayur sop dapat dibekukan. Sayuran kubis memiliki struktur dinding sel yang tipis dan pipih yang menyusun permukaan daun yang lebar. Kubis mengandung air hingga 93 % dari seluruh berat totalnya. Hal ini menunjukkan bahwa water activity menjadi faktor yang sangat kritis bagi sayuran kubis. Kandungan air yang sangat besar di dalam kubis membuat kubis mudah mengalami freezing injury selama proses pembekuan. Freezing injury

merupakan fenomena yang terjadi ketika bahan yang banyak mengandung air dibekukan. Air bebas yang terkandung dalam bahan membentuk kristal – kristal es yang besar dan tidak beraturan sehingga merusak struktur dinding sel dan serta jaringan kubis (FAO 2010). Sehingga pada saat thawing, kristal – kristal es tersebut mencair lalu keluar dari dinding sel dan membuat dinding sel yang telah rusak kehilangan banyak air. Akibatnya sayuran tampak layu dan tidak segar. Freezing injury tidak terjadi pada sayuran kentang dan wortel. Hal tersebut disebabkan kentang dan wortel memiliki struktur dinding sel yang kuat dan elastis sehingga mampu mentolerir pembentukan Kristal – Kristal es saat proses pembekuan berlangsung.

Proposisi nilai selanjutnya yang mengalami perubahan adalah ‘higienis’ yang berubah mejadi ‘bersih’. Menurut KBBI (2014), bersih dapat didefinisikan menjadi bebas dari kotoran dan tidak tercemar kotoran. Sedangkan higienis dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang berkenaan dengan atau sesuai dengan ilmu kesehatan, bersih, dan bebas penyakit. Perubahan nilai tersebut didasarkan pada kebutuhan konsumen yakni hanya membutuhkan produk sayuran yang bersih. Sebagian besar target konsumen yang diwawancarai menilai bahwa ‘higienis’ dianggap akan membuat produk menjadi lebih mahal. Selain itu, proposisi nilai ‘higienis’ mengharuskan produk tersertifikasi dalam hal cemaran m.o yang dapat menyebabkan penyakit. Namun keterbatasan standar yang berlaku di Indonesia mengenai produk sayuran terolah minimal khususnya mengenai cemaran m.o membuat kegiatan sertifikasi terhambat. Sedangkan pada saat produk sayuran terolah minimal dimasak oleh konsumen, bakteri yang diduga hidup pada produk sayuran terolah minimal telah mati pada suhu pemasakkan. Menurut Franzetti dan Galli (1999) mikroba yang terdapat dalam sayuran terolah minimal ada dua jenis yakni mikroba yang terdapat secara alami pada sayuran dan mikroba akibat kontaminasi selama pengolahan. Berdasarkan literatur tersebut pula, mikroba yang umum terdapat dalam produk adalah jenis bakteri gram negatif berbentuk batang diantaranya adalah Pseudomonas, Enterobacter dan Erwinia.

(27)

produk. Proses ini diharapkan dapat meminimumkan jumlah cemaran m.o dalam produk. Cairan pembersih digunakan dengan takaran 1 sendok makan per liter air sesuai petunjuk pemakaian. Penggunaan larutan pembersih buah dan sayur merek x dipilih karena cairan tersebut sudah komersial dan aman digunakan pada produk sayuran terolah minimal dibandingkan dengan penggunaan larutan senyawa bisulfit dan klorin sebagai larutan anti mikroorganisme (Kismaryanti 2007).

Proposisi nilai yang lain adalah perubahan ‘nilai gizi lebih tinggi’ menjadi ‘meminimalisir pengurangan kandungan nutrisi’. Perubahan nilai ini dilakukan karena proposisi nilai sebelumnya tidak relevan dengan kenyataan. Menurut He dan Luo (2007) pengolahan terhadap sayuran dapat menurunkan kandungan nutrisi sayuran sehingga sayuran terolah minimal justru memiliki resiko kehilangan nutrisi yang lebih banyak dibandingkan dengan sayuran segar. Aplikasi teknologi perlakuan pendahuluan yang diaplikasikan ditujukan untuk meminimalisir pengurangan kandungan nutrisi selama pengolahan dan penyimpanan produk sayuran terolah minimal.

Kegiatan pengembangan produk selanjutnya untuk menghasilkan MVP – 1 dilakukan dengan mengacu pada proposisi nilai ke – 1. Seperti yang telah disebutkan pada Bab Pendahuluan, Kader (2002) mengemukakan bahwa ada empat parameter utama yang dipertimbangkan konsumen dalam menentukan kualitas dari produk buah dan sayur potong segar yang akan dibeli yaitu penampakan visual, tekstur, flavor dan nilai nutrisi produk. Penampakan visual yakni berkaitan dengan proposisi nilai kesegaran yang terjaga selama penyimpanan. Konsumen mengharapkan produk sayuran dapat selalu segar dalam masa penyimpanan yang wajar (tidak terlalu lama). Sehingga diperlukan teknologi untuk mempertahankan kesegaran sayuran.

Wong et al. (1994) mengemukakan bahwa ada beberapa teknologi yang dapat diaplikasikan untuk meminimumkan efek kerusakan selama masa penyimpanan produk sayuran terolah minimal. Beberapa teknologi tersebut antara lain :

blanching, penggunaan edible coating penggunaan zat aditif, penyimpanan pada suhu rendah dan modifikasi atmosfir dalam kemasan.

Formulasi 1

Tahap formulasi 1 adalah tahap pengembangan produk yang pertama dengan melakukan pelapisan atau coating pada produk sayuran terolah minimal. Menurut Pavlath dan Orts (2009) dalam Embuscado dan Huber, edible film atau coating

adalah bahan yang digunakan untuk menyelimuti berbagai macam makanan yang dapat dimakan langsung dengan makanan tanpa perlu dipisahkan terlebih dahulu dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan produk. Edible film atau coating

digunakan sebagai pengganti lapisan alami pada makanan atau bersifat menambahkan untuk mencegah kehilangan kelembaban (air), menyeleksi pertukaran gas seperti oksigen, karbon dioksida dan etilen yang berkaitan dengan proses respirasi terutama pada produk segar seperti sayuran. Percobaan pembuatan larutan coating diawali dengan pamilihan bahan utama coating. Menurut Sonti (2003) edible film atau coating dapat dibuat dari bahan polisakarida, protein, lemak atau campuran dari bahan – bahan tersebut. Polisakarida dipilih sebagai bahan utama coating. Krochta et al. (1992) menyebutkan beberapa keuntungan dari

(28)

memperbaiki penampilan dan mengurangi tingkat kebusukan. Menurut Baldwin (1995), pati merupakan salah satu jenis polisakarida yang sering digunakan sebagai bahan coating. Polisakarida khususnya pati mudah larut air karena membentuk ikatan hidrogen yang kuat dengan molekul air. Selain itu kandungan amilosa dalam pati merupakan bahan penting yang berperan dalam membentuk film (Claudia et al.

2005). Edible coating yang terbentuk dari pati memiliki kemampuan yang baik sebagai pelindung dari transfer oksigen, air, aroma dan minyak sehingga baik digunakan untuk produk sayuran terolah minimal.

Percobaan pembuatan formula coating dilakukan dengan terlebih dahulu memilih bahan pati sebagai bahan polisakarida yang digunakan dalam pembuatan larutan coating. Bahan pati yang dipilih adalah bahan pati yang dapat menghasilkan larutan coating yang jernih. Hal tersebut berkaitan dengan pendapat Pavlath dan Orts (2009) dalam Embuscado dan Huber, bahwa konsumen lebih memilih produk yang tidak terlihat telah dilapisi dengan kata lain memilih coating yang jernih dan tidak merubah atau menutupi warna asli produk. Selain itu, pati yang baik untuk membuat larutan coating adalah pati yang memiliki kandungan amilosa yang tinggi. Pati yang memiliki karakteristik tersebut akan cepat kering dan membentuk film yang tipis yang menyelimuti produk yang dilapisi. Larutan pati tergelatinisasi dibuat dari beberapa bahan diantaranya : nutrijel (karagenan dan glukomanan), tepung beras putih, pati jagung, tepung tapioka, pati tapioka, tepung sagu, pati sagu, untuk melihat kejernihan dari masing – masing larutan. Adapun hasil larutan pati tergelatinisasi dapat dilihat pada Gambar 4.

Bahan yang menghasilkan larutan yang paling jernih adalah nutrijel (1) dan pati sagu (7). Pati sagu dipilih sebagai bahan utama larutan coating. Nutrijel tidak dipilih karena menghasilkan lapisan yang terlalu tebal sehingga mempengaruhi parameter visual penilaian konsumen. Setelah menentukan bahan utama untuk membuat larutan coating, selanjutnya membuat formulasi larutan coating. Bahan dan metode pembuatan larutan coating serta proses pelapisan produk mengacu penelitian Gunawan (2009) dan Budiman (2011) yang telah dimodifikasi pada Lampiran 3. Bahan yang digunakan dalam pembuatan larutan coating adalah gliserol, CMC, pati sagu, dan minyak kedelai.

CMC atau Carboxymethyl cellulose digunakan sebagai bahan penstabil dan

thickening dalam pembuatan larutan coating. Menurut Hikmat (1997), penambahan CMC ke dalam larutan coating ditujukan untuk memperbaiki penampakan, kekuatan, kekompakan, laju transmisi zat serta mempercepat pembentukan matrik

Gambar 4 Larutan pati tergelatinisasi dari berbagai macam pati : (1) nutrijel, (2) tepung beras putih, (3) pati jagung, (4) tepung tapioka, (5) pati

(29)

film sehingga film menjadi cerah, kuat dan kompak. CMC bersifat mudah larut dalam air panas dan membentuk gel sehingga dalam larutan coating, CMC juga berfungsi sebagai bahan pembentuk dan pengisi gel. CMC diketahui sebagai turunan selulosa yang paling resisten terhadap air (Kester dan Fennema 1986). CMC akan menurunkan transfer oksigen dari udara ke dalam produk dan mengurangi laju transpirasi produk sayuran terolah minimal sehingga tekstur alami produk dapat terjaga dan umur simpan produk meningkat. Namun penambahan CMC dan pati ke dalam larutan coating tidak cukup untuk menjaga produk agar tidak kehilangan air karena bahan – bahan tersebut merupakan hidrokoloid polisakarida yang memiliki sifat alami suka terhadap air (Hidrofilik). Sifat hidrofilik tersebut membuat CMC dan pati mudah berikatan dengan air dan mudah kehilangan air akibat penguapan/ transpirasi (Kester dan Fennema 1986). Oleh karena itu dilakukan penambahan komponen minyak ke dalam larutan coating.

Penambahan minyak yang bersifat non polar dalam larutan coating dilakukan untuk mengurangi transfer penguapan air dari bahan penyusun coating yang bersifat hidrokoloid (Skurtys et al.). Minyak yang ditambahkan adalah minyak kedelai. Penambahan giliserol ke dalam larutan coating berfungsi sebagai bahan

plasticizer yang akan membentuk sifat elastis dan fleksibel pada film atau coating yang terbentuk sehingga coating tidak terlihat kaku dan pecah – pecah (Barreto et al. 2003). Namun menurut Mali et al. (2006), penambahan plasticizer dapat membuat larutan coating memiliki permeabilitas yang tinggi terhadap gas, dan mengurangi kemampuan film dalam mengikat air (mudah mengalami pengenceran). Cara pelapisan (coating) yang dilakukan adalah dengan mencelup produk sayuran terolah minimal ke dalam larutan coating atau dipping.

Berdasarkan penelitian Gunawan (2009), formula yang terbaik yang dihasilkan untuk melapisi paprika menggunakan bahan – bahan dengan komposisi sebagai berikut : pati 10 % dalam akuades, gliserol 10 %, CMC 1 %, minyak biji bunga matahari 0.025% , dan Vitamin C 1 %. Konsentrasi pati sebanyak 10 %, gliserol 10 % dan CMC 1 % menghasilkan larutan coating yang terlalu kental sehingga formula tersebut dimodifikasi dengan mengacu pada penelitian Budiman (2011). Berdasarkan penelitian Budiman (2011), formula terbaik untuk melapisi pisang Cavendis adalah pati singkong 3%, CMC 0.4 % dan gliserol 5 %. Berdasarkan literatur tersebut maka dihasilkan tiga formula hasil modifikasi dengan rincian yang terlampir pada Lampiran 4. Formula yang terpilih berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan adalah formula 3 dengan komposisi bahan : pati sagu konsentrasi 3 %, CMC 0.5 %, gliserol 5 % dan Vitamin C 0.5 %. Formula 1 tidak dipilih karena menghasilkan coating yang terlalu tebal, sedangkan formula 2 tidak dipilih karena konsentrasi pati 2 % terlalu encer serta tidak tahan lama.

(30)

disebabkan kandungan oksigen di dalam kemasan tidak dibuang terlebih dahulu sehingga dapat menjadi bahan respirasi maupun bahan terjadinya reaksi oksidasi pada sayuran.

Pemilihan bahan pengemas styrofoam pada MVP – 1 dilakukan karena produk sayuran yang telah ada di pasar swalayan umumnya menggunakan bahan kemasan Styrofoam dengan plastik wrap. Septiana (2009) juga menggunakan plastik wrap dan styrofoam dalam mengemas buah paprika segar yang telah

di-coating. Menurut Yuyun dan Gunarsa (2011), kemasan plastik wrap (cling wrap) memiliki bahan pembentuk yakni PVC dengan keunggulan kuat tarik tinggi dan tidak mudah sobek, serta permeabilitas gas dan air rendah (Yuyun dan Gunarsa 2011).

Produk sayuran terolah minimal yang mengalami perlakuan coating baik dengan penambahan vitamin C maupun tidak, mengalami perubahan warna pada hari kedua yakni semakin gelap hingga hari penyimpanan ke delapan dibandingkan dengan produk yang tidak diberi coating. Menurut Skurtys et al., penambahan antioksidan dilakukan untuk melindungi sayuran terolah minimal dari kerusakan oksidatif, degradasi dan perubahan warna. Bico et al. (2009) juga menyebutkan bahwa penambahan Vitamin C digunakan untuk mengontrol permeabilitas oksigen dan mengurangi kehilangan vitamin C pada buah aprikot yang di-coating dengan

edible coating metil selulosa. Penambahan vitamin C yang tidak berpengaruh nyata pada penampakan visual produk mungkin disebabkan oleh pengadukan yang kurang homogeny pada larutan coating sehingga vitamin C tidak menyebar merata saat melapisi produk. Pengerin-anginan yang cukup lama juga dapat membuat vitamin C yang ada dalam coating teroksidasi. Hal ini disebabkan menurut Winarno (1997) bahwa Asam askorbat (vitamin C) sangat mudah teroksidasi secara reversible menjadi asam dehidroaskorbat yang bersifat sangat labil dan mudah mengalami perubahan lanjut menjadi asam L-diketogulonat yang tidak memiliki keaktifan vitamin C lagi. Selain itu, Menurut Linder 1992 bahwa vitamin C mudah teroksidasi dan dipercepat oleh pemanasan, sinar, alkali, enzim, oksidator serta katalis logam. Suhu larutan coating yang masih tinggi saat ditambahkannya vitamin C diduga turut mempercepat proses oksidasi.

Sayuran kubis terolah minimal yang di-coating menurut hasil pengamatan tetap terlihat segar dibandingkan dengan kontrol hingga hari ke -8. Hal tersebut disebabkan oleh coating yang menempel pada sayuran kubis mengurangi proses transpirasi sehingga kubis tidak menyusut/ layu akibat kehilangan air. Begitu juga dengan sayuran wortel terolah minimal. Sayuran wortel yang tidak dikenakan perlakuan terlihat kering pada permukaan dan berwarna agak pucat. Menurut Garcia dan Barrett (2002), sayuran wortel terolah minimal memiliki resiko penurunan kualitas yang ditandai dengan kehilangan warna orange terang atau sering disebut sebagai white blush. Hal tersebut disebabkan ketika mengalami pengolahan (pengupasan dan pemotongan), jaringan epidermis wortel terdegradasi sehingga wortel mudah mengalami dehidrasi akibat paparan udara selama penyimpanan. Akibatnya kelembaban wortel yang mendukung kecerahan warna menurun drastis. Sayuran wortel yang dikenakan perlakuan coating masih terlihat segar dan berwarna terang. Seperti kubis, lapisan coating menahan laju transpirasi dan kehilangan air pada wortel. Sargent et al. (1994) juga mengatakan bahwa efek

(31)

Sayuran buncis dan kentang terlihat mengalami reaksi pencoklatan. Buncis mengalami pencoklatan pada permukaan bekas irisan di kedua ujungnya sedangkan kentang diseluruh permukaannya. Hal ini mungkin disebabkan lapisan coating

mengalami pengenceran dan lebih permeable terhadap air dan oksigen akibat penambahan gliserol seperti yang dikatakan Mali et al. (2006). Ketersediaan oksigen yang cukup saat sayuran yang telah di-coating dikering-anginkan dalam waktu yang cukup lama (45 menit) mendukung adanya reaksi pencoklatan enzimatis oleh enzim polifenol oksidase. Adanya oksigen sebagai akseptor H2 (Eskin et al. 1971) membuat reaksi pembentukan senyawa melanin hasil degradasi senyawa polifenol oleh enzim polifenol oksidase semakin cepat sehingga warna sayuran berubah menjadi kecoklatan selama penyimpanan. Proses pengeringan yang cukup lama disebabkan oleh rendahnya kadar amilosa dalam pati sagu yakni sebesar 27 % menurut Wirakartakusumah et al. (1986). Kadar amilosa yang rendah membuat larutan coating sulit membentuk film sehingga diperlukan waktu yang lama untuk membiarkan lapisan coating mongering dengan sendirinya pada proses pengering-anginan sedangkan pada proses tersebut produk diduga telah mengalami berbagai proses yang menurunkan kualitas produk seperti kontaminasi m.o, pencoklatan enzimatis, transpirasi dan lain – lain.

Minimum Viable Product – 2

Hasil dari kegiatan pengembangan produk (MVP -1) pada tahap formulasi 1 kemudian diuji ke target konsumen untuk mendapatkan masukan dan mengetahui apakah prototipe sudah sesuai dengan kebutuhan dan preferensi target konsumen. Selanjutnya, masukan dari pengujian tersebut (pengujian solusi-1) digunakan untuk kegiatan pengembangan produk selanjutnya untuk menghasilkan MVP 2.

Formulasi 2-a

Tahap formulasi 2-a adalah tahap pengembangan produk selanjutnya dengan melakukan reformulasi larutan coating serta melakukan pencelupan sayuran terolah minimal sebelum di-coating ke dalam larutan antioksidan dan CaCl2. Pada proses formulasi 1, proses pelapisan (coating) kurang optimal karena larutan coating yang tidak dapat membentuk film dengan cepat. Hal tersebut disebabkan rendahnya kandungan amilosa yang terkandung pada pati sagu, sebagai bahan utama dalam pembuatan larutan coating. Proses formulasi 2-a diharapkan dapat memperbaiki sifat larutan coating dengan mengganti jenis pati yang digunakan. Larutan coating

dibuat dari dua bahan, yang pertama menggunakan pati pre gelatinisasi dan yang kedua menggunakan air tajin atau air rebusan beras pera. Bahan pati pre gelatinisasi yang digunakan adalah pati tapioka yang berasal dari pemasok pati National Starch. Pembuatan larutan coating dengan bahan utama pati pragelatinisasi menggunakan formula 3 yakni dengan menggunakan komposisi bahan : pati 3 %, CMC 0.5 %, gliserol 5 % dan minyak kedelai 0.025 %. Pembuatan larutan coating menggunakan air tajin dilakukan dengan melakukan perebusan pada beras pera bersama air dengan perbandingan berturut – turut (1 : 4). Diagram alir pembuatan masing – masing larutan coating terlampir pada Lampiran 6.

(32)

perebusan (boiling) kemudian dikeringkan dengan tujuan memperbaiki kualitas, sifat reologi dan pasta dari bahan. Berdasarkan hasil penelitian Hapsari et al. (2012), pati tapioka tanpa pre gelatinisasi memiliki suhu dan waktu gelatinisasi yang tinggi yakni 90.3 °C dan 16 menit. Sedangkan pati tapioka pre gelatinisasi (suhu 90°C dan 100°C) memiliki suhu gelatinisasi 80.3°C dan 81.6°C dengan waktu yang lebih pendek yakni 13 menit (untuk pati pre gelatinisasi suhu 90°C). Perlakuan pre gelatinisasi pada pati merubah sifat reologi pati sehingga granula pati mengembang dan membuat pati mudah tergelatinisasi pada pemanasan selanjutnya (dalam kasus ini yakni pada pembuatan larutan coating). Menurut Daramola dan Osanyinlusi (2005), waktu gelatinisasi yang singkat akan menurunkan biaya, sedangkan suhu gelatinisasi yang rendah akan mempersingkat proses pengolahan.

Percobaan formulasi 2-a dilakukan dengan membuat tiga sampel produk. Tiga sampel tersebut terdiri dari satu sampel untuk kontrol dan dua sampel yang dikenai perlakuan yang berbeda berdasarkan larutan coating yang digunakan dan pencelupan yang dilakukan. Sayuran terolah minimal pada sampel 1 mengalami pencelupan dalam larutan AA 1 % dan CaCl2 0.5 % terlebih dahulu sebelum dicelup pada larutan coating yang menggunakan pati tapioka pre gelatinisasi. Sedangkan sayuran wortel dan kentang pada sampel 2 hanya dicelup pada larutan AA 1 % dan CaCl2 0.5 % dan sayuran kubis serta buncis hanya dicelup pada larutan coating air tajin kemudian masing – masing ditiriskan dan dikemas dengan pengemasan vakum menggunakan plastik PP sebagai bahan pengemas. Menurut Kader (2002) kombinasi kalsium klorida dan asam askorbat dapat menjaga kerenyahan sayuran. Konsentrasi asam askorbat sebesar 1 % dan Ca Cl2 0.5 % mengacu pada Ponting et al. (1972). Menurut Ponting et al. (1972) pencelupan sayuran ke dalam larutan CaCl2 dengan konsentrasi 0.5 – 1 % memberikan pengaruh yang efektif terhadap kekerasan sayuran.

Diagram alir metode dan hasil pengamatan formulasi 2-a dapat dilihat pada Lampiran 7 dan Lampiran 8. Pertimbangan untuk hanya mencelup sayuran wortel dan kentang pada pembuatan sampel 2 disebabkan wortel dan kentang memiliki tekstur yang tebal dan keras sehingga aplikasi pelapisan untuk mengurangi transpirasi pada produk tidak dibutuhkan. Berdasarkan hasil pengamatan juga menunjukkan kentang dan wortel pada sampel 1 dan sampel 2 tidak memiliki perbedaan yang berarti secara visual. Sedangkan kubis dan buncis pada kedua sampel memiliki tekstur yang tetap segar dibandingkan dengan kontrol. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sampel 1 bertahan hingga hari penyimpanan keenam sedangkan sampel 2 bertahan hingga hari penyimpanan keempat.

Kentang dan buncis pada sampel 1 mengalami pencoklatan pada hari penyimpanan ke tujuh, sedangkan pada sampel 2 reaksi pencoklatan ditemukan pada hari keenam. Hasil formulasi 2–a memiliki umur simpan yang lebih panjang dibandingkan dengan hasil formulasi 1. Hal tersebut dipengaruhi oleh metode pengemasan vakum yang diaplikasikan pada produk. Pengemasan vakum yang diaplikasikan pada produk untuk menggantikan pengemasan dengan Styrofoam dan plastik wrap dilakukan untuk meminimalisir kandungan udara khususnya oksigen yang menjadi bahan respirasi dan reaksi oksidasi pada sayuran.

(33)

teknik pengemasan dengan mengeluarkan udara dari kemasam dengan mesin penghisap sehingga reaksi enzimatis dan kerusakan akibat bakteri berkurang karena kandungan oksigen berkurang. FAO (2012) juga menyebutkan bahwa plastik Polipropilen (PP) adalah plastik yang sesuai digunakan untuk produk terolah minimal. FAO (2012) juga menyebutkan bahwa polipropilen memiliki laju transmisi oksigen dan karbondioksida yang rendah. Permeabilitas polipropilen yang rendah terhadap gas membuat produk sayuran terolah minimal yang telah dikemas secara vakum tidak terkontaminasi gas dari luar sehingga laju respirasi sayuran terhambat dan laju kerusakan produk dapat diperlambat pula.

Berdasarkan hasil pengamatan produk sayuran terolah minimal pada sampel 1 dan 2 memiliki laju transpirasi yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kontrol. Hal tersebut terlihat pada permukaan dalam kemasan, kontrol terlihat memiliki uap air yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan kedua sampel. Lapisan coating yang menyelimuti produk menghambat laju transpirasi dan respirasi sehingga uap air yang dihasilkan akibat kedua proses tersebut juga lebih sedikit. Lapisan coating yang tidak mengering dan hasil metabolisme sayuran membuat kandungan air di dalam kemasan peningkat sehingga membuat kemasan vakum mengembang. Lapisan coating yang berbahan dasar pati pre gelatinisasi maupun air tajin tidak dapat mencegah reaksi pencoklatan pada produk. Penggunaan pati pre gelatinisasi pada larutan coating sampel 1 mempercepat pembuatan larutan coating namun tidak dapat membentuk film dengan cepat sehingga selama penyimpanan, coating meluruh. Begitu juga dengan coating yang terbuat dari air tajin. Pencelupan sayuran terolah minimal ke dalam larutan antioksidan asam askorbat 1 % diharapkan dapat menghambat reaksi pencoklatan enzimatis sayuran selama penyimpanan.

Asam askorbat sebagai zat pengasam (accidulant) dapat menurunkan pH sayuran terolah minimal sehingga enzim polifenol oksidase yang bertanggung jawab terhadap reaksi pencoklatan produk tidak aktif. Menurut Whittaker (1994) pH optimum enzim polifenol oksidase berkisar diantara kondisi asam hingga netral yakni antara 6 – 6.5. Selain itu asam askorbat juga berfungsi sebagai reducing agen yang mengurangi jumlah bahan baku yang akan diubah oleh enzim polifenol oksidase dalamreaksi pencoklatan enzimatis. Berdasarkan hasil pengamatan, pada permukaan kentang dan ujung potongan buncis masih terdapat pencoklatan. Hal tersebut mungkin terjadi akibat aktivitas mikroba. Rendahnya kadar oksigen dalam kemasan vakum dan tersedianya nutrisi mendukung terjadinya reaksi fermentasi.

Penambahan CaCl2 ke dalam larutan pencelup yakni ditujukan untuk menjaga kekerasan sayuran selama penyimpanan. Berdasarkan pembahasan diatas, formulasi 2-a tidak dapat diaplikasikan pada produk sayuran terolah minimal. Selain target waktu penyimpanan belum tercapai (7 hari), perlakuan coating pada produk membuat produk terlihat berlendir karena sisa larutan coating yang tidak mengering. Penampilan produk yang berlendir tidak disukai konsumen berdasarkan hasil pengujian solusi pertama. Selain itu, konsep produk yang siap dimasak membuat larutan coating yang tersisa pada produk ikut dimasak dan mempengaruhi kekentalan kuah sop.

Formulasi 2-b

(34)

karena memiliki jaringan yang tipis dan mudah mengalami pelunakkan tekstur. Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, kubis tampak kehilangan kesegaran dan tidak menarik secara visual. Hal tersebut bertentangan dengan proposisi nilai ‘kesegaran yang terjaga selama penyimpanan’ sehingga diperlukan alternatif teknologi lain untuk memperpanjang umur simpan kubis. Percobaan pendahuluan

water blanching pada kubis mengacu pada Barret et al. (2000) yakni selama 1.5 menit. Hasil percobaan terlampir pada Lampiran 9.

Sayuran segar mengandung beberapa enzim yang dapat menyebabkan perubahan – perubahan fisik dan nuntrisional pada sayuran seperti perubahan aroma, warna, tekstur dan juga kandungan nutrisi selama penyimpanan. Menurut Barret et al. (2000) terdapat beberapa enzim yang menyebabkan perubahan fisik dan kimia pada sayuran segar yakni enzim lipoksigenase (LPO), peroksidase (POD), dan cysteine lyase (CL). Selain itu terdapat enzim Polifenol Oksidase (PPO) dan Phenylalanine ammonia lyase (PAL) dalam sayuran potong segar (He dan Luo 2007). Aplikasi teknologi blansir ditujukan untuk membuat produk bertahan pada penyimpanan di dalam lemari pendingin hingga 7 hari dengan penurunan kualitas yang tidak berarti (dapat ditoleransi) terutama dari parameter visual.

Menurut Barret et al. (2000), proses blansir yang dilakukan pada sayuran ditujukan untuk menginaktivasi enzim yang dapat menyebabkan perubahan pada

flavor dan warna serta kandungan nutrisi. Selain itu proses blansir juga membantu membunuh mikroorganisme yang terdapat pada permukaan sayuran. Proses blansir terbagi menjadi dua metode yaitu dengan perebusan (water blanching) dan pengukusan (steamblanching). Perbedaan dari kedua metode tersebut terdapat pada interaksi bahan olahan dengan media air, yaitu pada steam blanching, bahan pangan dimasak pada uap air mendidih bersuhu 100°C, sedangkan pada water blanching,

bahan pangan dimasak pada rendaman air pada kisaran suhu 70°C hingga 100°C (Reyes et al. 2004). Steam blanching digunakan sebagai metode blansir yang lebih menguntungkan dibanding boiled waterblanch, karena pada proses ini kehilangan komponen larut air akan berkurang dibanding dengan metode boiled-water blanching (Fellows 1990).

Formulasi aplikasi teknologi blansir pertama dilakukan dengan menggunakan

steam blanching pada tiga sayuran : kentang, buncis dan wortel. Ketiga sayuran tersebut mengalami steam blansir dengan lima perlakuan lama blansir yang berbeda yakni selama 30 detik, 1 menit, 1.5 menit, 2 menit dan 2.5 menit. Metode penyiapan bahan yang dilakukan hingga penyimpanan sayuran terlampir pada Lampiran 10. Pada penelitian ini dilakukan perendaman setelah proses blansir dilakukan pada bahan – bahan sayuran dengan air dingin bersuhu 1 – 4 °C selama satu menit lalu ditiriskan selama 30 detik (Jaiswal et al. 2011). Setelah sayuran dikenai proses blansir sayuran harus segera direndam di dalam air dingin untuk menghentikan perubahan pada sayuran yang terjadi akibat proses pemanasan. Kemudian bahan ditiriskan lalu dikemas dan disimpan dalam pendingin. Metode pengemasan yang diaplikasikan pada formulasi 2-b adalah pengemasan vakum. Hal tersebut mengacu pada formulasi sebelumnya yaitu formulasi 2-a karena dengan pengemasan secara vakum umur produk dapat diperpanjang. Hasil pengamatan produk yang telah di blansir dan mengalami penyimpanan hingga hari kelima terlampir pada Lampiran 11.

Gambar

Tabel 1  Komposisi dan nilai gizi pada umbi kentang per 100 gram
Tabel 2  Komposisi gizi wortel per 100 gram bahan
Tabel 4  Spesifikasi varietas buncis
Tabel 5  Kandungan gizi kubis per 100 gram bahan segar
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian bertujuan untuk menguraikan permasalahan konsumsi sayuran, menemukan segmen pelanggan yang memiliki permasalahan, memberikan solusi permasalahan, mengidentifikasi

1 Laju konsumsi O 2 wortel terolah minimal pada kemasan terpilih tanpa perlakuan penyimpanan dingin untuk wortel utuh dan irisan wortel 10.5 O 2 ml/kg.jam, 8.12 CO 2

Berdasarkan penelitian pemberian edible coating pada buah pepaya terolah minimal dapat disimpulkan bahwa konsentrasi terbaik untuk mempertahankan mutu buah pepaya

Grafik penurunan tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur wortel terolah minimal dengan perlakuan penyimpanan dingin disajikan pada Gambar 43 dan 44 Panelis masih dapat

Grafik penurunan tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur wortel terolah minimal dengan perlakuan penyimpanan dingin disajikan pada Gambar 43 dan 44 Panelis masih dapat

Kombinasi larutan perendam terbaik untuk bunga potong Alpinia ialah kombinasi perlakuan AgNO 3 50 ppm + gula pasir 20% + asam sitrat 50 ppm (pH 3-4) dengan waktu

Kombinasi larutan perendam terbaik untuk bunga potong Alpinia ialah kombinasi perlakuan AgNO 3 50 ppm + gula pasir 20% + asam sitrat 50 ppm (pH 3-4) dengan waktu

(Lepidoptera: Crambidae), salah satu hama utama tanaman sayuran dengan metode perlakuan setempat dan residu pada daun. Ekstrak juga diuji aktivitas penghambatan