• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Edible Coating dari Pati Jagung dan Lama Pencelupan terhadap Mutu Buah Nenas Terolah Minimal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Edible Coating dari Pati Jagung dan Lama Pencelupan terhadap Mutu Buah Nenas Terolah Minimal"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1.

Data pengamatan total padatan terlarut

Kombinasi Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2

Daftar analisis sidik ragam total padatan terlarut

(2)

Lampiran 2.

Data pengamatan total asam

Kombinasi Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2

Daftar analisis sidik ragam total asam

(3)

Lampiran 3.

Data pengamatan kadar vitamin C

Kombinasi Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2

Daftar analisis sidik ragam kadar vitamin C

(4)

Lampiran 4.

Data pengamatan analisa kadar air

Kombinasi Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2

Daftar analisis sidik ragam kadar air

(5)

Lampiran 5.

Data pengamatan analisa kadar serat

Kombinasi Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2

Daftar analisis sidik ragam kadar serat

(6)

Lampiran 6.

Data pengamatan analisa tingkat kecerahan (nilai L)

Kombinasi Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2

Daftar analisis sidik ragam tingkat kecerahan (nilai L)

(7)

Lampiran 7.

Data pengamatan analisa skor tekstur

Kombinasi Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2

Daftar analisis sidik ragam skor tekstur

(8)

Lampiran 8.

Data pengamatan analisa skor warna

Kombinasi Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2

Daftar analisis sidik ragam skor warna

(9)

Lampiran 9.

Data pengamatan analisa organoleptik aroma dan rasa

Kombinasi Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2

Daftar analisis sidik ragam organoleptik aroma dan rasa

(10)

Lampiran10.

Data kandungan gizi pada buah nenas

Parameter Mutu Jumlah

Total padatan terlarut (ᵒBrix) 10,629

Total asam (%) 0,892

Kadar vitamin C (mg/100g) 23,068

Kadar air (%) 85,564

Kadar serat (gr) 1,328

Lampiran 11.

Data pengamatan buah nenas kontrol

Parameter Mutu Jumlah Total padatan terlarut (ᵒBrix) 11,733

Total asam (%) 0,343

Kadar vitamin C (mg/100g) 14,401 Kadar air (%) 66,471 Kadar serat (%) 1,292 Tingkat kecerahan (nilai L) 61,088

Skor tekstur (numerik) 2,300

Skor warna (numerik) 2,667

(11)

Lampiran 12.

Gambar buah nenas yang dilapisi edible coating dari semua kombinasi perlakuan

Keterangan :

P1L1= Konsentrasi pati jagung 1% dengan lama pencelupan 1 menit P1L2= Konsentrasi pati jagung 1% dengan lama pencelupan 2 menit P1L3 = Konsentrasi pati jagung 1% dengan lama pencelupan 3 menit P1L4= Konsentrasi pati jagung 1% dengan lama pencelupan 4 menit

P1L2

P1L3 P

P

11L

L

44

P

1

L

1 P

1L2

P1L3

P

1

L

2

(12)

Keterangan :

P2L1= Konsentrasi pati jagung 2% dengan lama pencelupan 1 menit P2L2= Konsentrasi pati jagung 2% dengan lama pencelupan 2 menit P2L3 = Konsentrasi pati jagung 2% dengan lama pencelupan 3 menit P2L4= Konsentrasi pati jagung 2% dengan lama pencelupan 4 menit

P2L1 P2L2

P2L4 P2L2 P2L1

(13)

Keterangan :

P3L1= Konsentrasi pati jagung 3% dengan lama pencelupan 1 menit P3L2= Konsentrasi pati jagung 3% dengan lama pencelupan 2 menit P3L3 = Konsentrasi pati jagung 3% dengan lama pencelupan 3 menit P3L4= Konsentrasi pati jagung 3% dengan lama pencelupan 4 menit

P3L1 P3L2

P

3

L

2

P

3

L

3

P

3

L

1

(14)

Keterangan :

P4L1= Konsentrasi pati jagung 4% dengan lama pencelupan 1 menit P4L2= Konsentrasi pati jagung 4% dengan lama pencelupan 2 menit P4L3 = Konsentrasi pati jagung 4% dengan lama pencelupan 3 menit P4L4= Konsentrasi pati jagung 4% dengan lama pencelupan 4 menit

P

4

L

3

P

4

L

1

(15)

Lampiran 13.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Adetunji, C. O., O. B. Fawole., K. A. Arowora., S. I. Nwaubani., J. K. Oloke., A. O. Adepoju., J. B. Adetunji., dan A. O. Ajani. 2013. Performance of edible coatings from carboxymethylcellulosse (CMC) and corn starch (CH) incorporated with Moringa oleifera extraction citrus sinensis. Agrosearch. 13 (1): 77-85.

Ahmad, U., Yulianingsih, dan M. Lintang. 2010. Aplikasi film edible dan kemasan atmosfer termodifikasi untuk meningkatkan umur simpan buah salak terolah minimal. Jurusan Ilmu Pertanian Indonesia. 15(3) : 163-171. Alam, N dan Nurhaeni. 2008. Komposisi kimia dan sifat fungsional pati jagung

berbagai varietas yang diekstrak dengan pelarut natrium bikarbonat. Jurnal Agroland. 15 (2) : 89-94.

Alsuhendra, Ridawati, danA. I. Santoso. 2011. Pengaruh penggunaan edible coating terhadap susut bobot, pH, dan karakteristik buah potong pada penyajian hidangan dessert. Skripsi. Universitas Negeri Jakarta.

Anggraini, S., dan Suwedo. 1988. Perubahan-Perubahan Bahan Pangan Selama Proses Pematangan Sesudah Panen. PAU Pangan dan Gizi. UGM-Press, Yogyakarta.

Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati, and S. Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi, Bogor.

AOAC. 1984. Official Methods of Analysis. Arlington, Virginia.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2015. Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai (Angka Sementara Tahun 2014). http: Barus, A. 2008. Agroteknologi Tanaman Buah-buahan. USU-Press. Medan.

Bourtoom, T. 2008. Edible films and coating: characteristics and properties. International Food Research Journal. 15 (3) : 237-248.

Clark, S., S. Jung, and B. Lamsal. 2014. Food Processing and Application, Second Edition. John Wiley & Sons, Ltd.

(17)

Darmajana, D. A. 2010. Upaya mempertahankan derajat putih pati jagung dengan proses perendaman dalam natrium bisulfit. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan”. Yogyakarta.

Dhanapal, A., Sasikala, P. Lavanya, R, Kavitha, V. Yazhini, G. dan M. Shakila Banu. 2012. Edible films from Polysaccharides. Food Science and Quality Management. 3 : 9-18.

deMan, J. M. 1997. Kimia Makanan. Terjemahan K. Padmawinata. ITB-Press, Bandung.

Desrosier, N. W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. UI-Press, Jakarta.

Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 2001. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhratara, Jakarta.

Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1998. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhratara, Jakarta.

Eliasson, A. C. 2004. Starch in Food, Structure, Function, and Application. CRC-Press, Washington.

Elizabeth, A., Baldwin, R., Hagenmaier, dan J. Bai. 2011. Edible coatings and films to improve food quality, Second Edition. Taylor & Francis Group, LLC.

Estiasih, T., dan Kgs, Ahmadi. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Bumi Aksara, Jakarta.

Gaman, P. M., dan K, B. Sherrington, 1992. Ilmu Pangan ; Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Terjemahan M. Gardjito, S. Naruki, A. Murdiati dan Sardjono. UGM-Press, Yogyakarta.

Garnida, Y. 2007. Memperpanjang umur simpan buah durian terolah minimal dengan formulasi bahan edible coating pada suhu beku. Jurnal Informatika, Managemen, dan Teknologi. 9 (2) : 121-138.

Ghasemzadeh, R., A. Karbassi, dan H. B. Ghoddousi. 2008. Application of Edible Coating for Improvement of Quality and Shelf-life of Raisins. World Applied Sciences Journal. 3 (1) : 82-87.

(18)

Huri, D. dan F. C. Nisa. 2014. Pengaruh konsentrasi gliserol dan ekstrak ampas kulit apel terhadap karakteristik fisik dan kimia edibel film. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 2 (4) : 29-40.

Hutching, J. B. 1999. Food and Appearance, second edition. Aspen publ, Inc. Gaitersburg. Maryland.

Indriyati, L. Indrarti, dan E. Rahimi. 2006. Pengaruh carboxymethyl cellulose (CMC) dan gliserol terhadap sifat mekanik lapisan tipis komposit bacterial selulosa. Jurnal Sains Materi Indonesia. 8 (1). 40-44.

Jaya, D dan E. Sulistyawati. 2010. Pembuatan edibel film dari tepung jagung. Eksergi. 10 (2) : 5-10.

Klein, B. P. 1987. Nutritional consequences of minimal processing of fruits and vegetables. Didalam : Garnida, Y. 2007. Memperpanjang umur simpan buah durian terolah minimal dengan formulasi bahan edible coating pada

suhu beku. Jurnal Informatika, Managemen, dan Teknologi. 9 (2) : 121-138.

Kokoszka, S. dan A. Lenart. 2007. Edible coatings-formation, characteristic and use – A Review. Pol. J. Food Nutr. Sci. 57 (4) : 399-404.

Krochta, J. M., E. A. Baldwin, dan M. Nisperos-Carriedo. 2002. Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. CRC Press, LLC.

Kurniawan, F. 2008. Sari Buah Nanas Kaya Manfaat.

Kusumawati, D. H., dan W. D. R. Putri, 2013. Karakteristik fisik dan kimia edibel film pati jagung yang diinkorporasi dengan perasan temu hitam. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 1(1) : 90-100.

Lastriyanto, A., B. D. Argo, HS. Sumardi., N. Komar, L. C. Hawa, dan M. B. Hermanto. 2007. Penentuan koefisien permabilitas film edibel terhadap transmisi uap air, gas O2, dan gas CO2. Jurnal Teknologi Pertanian.

8 (8) : 182-187.

Lersch, M. 2010. Texture A Hydrocolloid Recipe Collection. Creative Common, California.

Lin, D. dan Y. Zhao. 2007. Innovations in the development and application of edible coatings for fresh and minimally processed fruits and vegetables. Comprehensive Reviews In Foods Science and Food Safety. 6 :60-75. Mardiana, K. 2008. Pemanfaatan gel lidah buaya sebagai edible coating buah

(19)

Marpaung, D.A., B. Susilo, dan B. D. Argo. 2015. Pengaruh penambahan konsentrasi CMC dan lama pencelupan pada proses edibel coating terhadap sifat fisik anggur merah (Vitis vinivera L.). Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem. 3 (1) : 67-73.

Miskiyah, Widaningrum, dan C. Winarti. 2011. Aplikasi edibel coating berbasis pati sagu dengan penambahan vitamin C pada paprika : preferensi konsumen dan mutu mikrobiologi. J. Hort. 21 (1) : 68-76.

Mulyadi, H. M., S. Kumalaningsih, dan D. G. LG. 2012. Aplikasi edibel coating untuk menurunkan tingkat kerusakan jeruk manis (Citrus sinensis) (Kajian konsentrasi karagenan dan gliserol). Prosiding Seminar Nasional, Program Studi Teknologi Industri Pertanian Bekerjasama dengan Asosiasi Profesi Teknologi Agroindustri (APTA). Udayana, Bali.

Murni, S. W., H. Pawignyo, D. Widyawati, dan N. Sari. 2013. Pembuatan edible film dari tepung jagung (Zea mays L.) dan kitosan. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Kejuangan, Yogyakarta.

Napitupulu, B. 2010. Modifikasi prototipe alsin pengkelasan kapasitas >1.000 Kg/jam dan aplikasi edibel coating guna memperpanjang umur simpan >2 bulan pada buah jeruk siam madu di Sumatera Utara. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Sumatera Utara. Nasution, I. S., Yusmanizar, dan K. Melinda. 2012. Pengaruh penggunaan lapisan

edibel (Edibel coating), kalsium klorida, dan kemasan plastik terhadap mutu nenas (Ananas comosus Merr.) terolah minimal. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian. 4 (2) : 21-26.

Nunes, M. C. D. dan J. P. Emond. 2003. Storage Temperature. Di dalam : Bart, J. A. dan Brecht J. K., editor. Postharvest Physiology and Pathology of Vegetables : Second Edition. Marcel Dekker Inc, Quebec.

Panggabean, Y. W. 2010. Pengaruh edible film kitosan terhadap umur simpan mutu buah nenas (Ananas comosus L. Merr) segar terolah minimal selama penyimpanan atmosfer termodifikasi. Skripsi. IPB.

Pangesti, A. D., A. Rahim and G. S. Hutomo. 2014. Karakteristik fisik, mekanik, dan sensoris edibel film dari pati talas pada berbagai konsentrasi asam palmitat. e-J. Agrotekbis. 2 (6) : 604-610.

Pantastico, ER. B., 1993. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-Buahan dan Sayuran Tropika dan Sub Tropika. Terjemahan Kamariyani. UGM-Press, Yogyakarta.

(20)

“Kejuangan” Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia. UPN “veteran”, Yogyakarta.

Prihatman, K. 2000. Nanas (Ananas comosus) [ 1 Juni 2015].

Pusdatin. 2013. Informasi Komoditas Hortikultura.

Ranganna, S., 1978. Hand of Quality Control for Fruit and Vegetable Product, 2nd ed. Mc. Graw-Hell Publishing Company Limited, New Delhi.

Rudito, 2005. Perlakuan komposisi gelatin dan asam sitrat dalam edible coating yang mengandung gliserol pada penyimpanan tomat. Jurnal Teknologi Pertanian. 6 (1) : 1-6.

Rukmana, R. 1997. Usaha Tani Jagung. Kanisius. Yogyakarta.

Santoso, B., D. Saputra, dan R. Pambuyun. 2004. Kajian teknologi edibel coating dari pati dan aplikasinya untuk pengemas primer lempok durian. Jurnal Teknol dan Industri Pangan. 15 (3) : 239-244.

Syarief, R., dan R. Hariyadi, 1992. Teknologi Penyimpangan Pangan. Arcan dan PAU Pangan dan Gizi. IPB-Press, Bogor.

Selvarajah, S. dan H. M. W. Herath. 1997. Effect of an edible coating on some quality and physico-chemical parameters of pineapple during cold Storage. tropical agriculture research. 9 . 77-89.

Seymor, GB., J. E. Tyalor, dan GA, Tucker. 1993. Biochemistry of fruit ripening. Chapman and Hall, London.

Siswanti, 2008. Karakteristik edible film komposit dari glukomanan umbi iles-iles (Amorphopallus muelleri Blume) dan maizena. Skripsi. IPB.

Soekarto, S. T., 1985. Penelitian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Pusat Pengembangan Teknologi Pangan. IPB, Bogor.

Suarni, I. U., Firmansyah, dan M. Aqil. 2013. Keragaman mutu pati beberapa varietas jagung. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Serealia. 32 (1). 50-56.

(21)

Tannenmbaum, S. R. 1976. Vitamin and Minerals in Fennema O. R. (Ed). Principles of Food Science, Part I : Food Chemistry. Marcel Dekker, Inc. New York.

Triwarsita, W. S. A., W. Atmaka, D. dan R. A. Muhammad. 2013. Pengaruh penggunaan edibel coating pati sukun (Artocarpus Altilis) dengan variasi konsentrasi gliserol sebagai plasticizer terhadap kualitas jenang dodol selama penyimpanan. Jurnal Teknosains Pangan. 2 (1) : 124-13.

Widaningrum., Miskiyah., dan C. Winarti. 2015. Edible coating berbasis pati sagu dengan penambahan antimikroba minyak sereh pada paprika : preferensi konsumen dan mutu vitamin C. Jurnal Agritech. 35 (1) : 53-60.

Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarti, C., Miskiyah, dan Widaningrum. 2012. Teknologi produksi dan aplikasi

pengemas edible antimikroba berbasis pati. Jurnal Litbang Pertanian. 31 (3) : 85-93.

(22)

BAHAN DAN METODA

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitianini dilaksanakan pada bulan Agustus 2015 di Laboratorium Analisa Kimia Bahan Pangan, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan adalah pati jagung, asam askorbat, asam sitrat, gliserol, CMC dan buah nenas matang morfologis varietas Cayanne yang diperoleh dari petani nenas di Desa Purbatua Kecamatan Silimakuta Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Reagensia

Bahan kimia yang digunakan adalah larutan phenolptahlein 1%, NaOH 0,1 N, NaOH 0,313 N, H2SO4 0,325 N, NaHCO3, asam oksalat, dye, dan akuades.

Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan adalah baskom, piring, pisau, talenan, timbangan, blender, buret, beaker glass, spatula, oven, bulb, tirisan, cawan alumunium, pipet tetes, steoroform, lemari pendingin, kertas saring, gelas ukur, plastik wrap, hot plate, loyang, handrefractometer, termometer, erlenmeyer, ayakan 80 mesh, kertas whatman No. 41.

(23)

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan perlakuan sebagai berikut.

Faktor I : Konsentrasi pati jagung (P) terdiri dari 4 taraf yaitu : P1 = 1% (b/b)

P2 = 2% (b/b) P3 = 3% (b/b) P4 = 4% (b/b)

Faktor II : Lama Pencelupan (L) terdiri dari 4 taraf yaitu : L1 = 1 menit

L2 = 2 menit L3 = 3 menit L4 = 4 menit

Kombinasi perlakuan (Tc) adalah 4 x 4 = 16, maka ulangan perlakuan (n) (Bangun, 1991) dapat dihitung :

Tc (n-1) ≥ 15 16 (n-1) ≥ 15 16n – 16 ≥ 15 16n ≥ 31

n ≥ 1,94... dibulatkan menjadi n = 2

Untuk memperoleh ketelitian dilakukan ulangan sebanyak 2 kali.

Model Rancangan

(24)

Ŷijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk

dimana:

Ŷijk : Hasil pengamatan dari faktor P pada taraf ke-i dan faktor L pada taraf

ke-j dalam ulangan ke-k µ : Efek nilai tengah

αi : Efek faktor P pada taraf ke-i βj : Efek faktor L pada taraf ke-j

(αβ)ij : Efek interaksi faktor P pada taraf ke-i dan faktor L pada taraf ke-j

εijk : Efek galat dari faktor P pada taraf ke-i dan faktor P pada taraf ke-j dalam

ulangan ke-k

Apabila diperoleh hasil yang berbeda nyata dan sangat nyata maka uji dilanjutkan dengan uji Least Significant Range (LSR).

Pelaksanaan Penelitian

Pembuatan pati jagung

(25)

Penyiapan nenas terolah minimal

Buah nenas matang disortasi kemudian dikupas dan di trimming. Buah dipotong-potong berukuran 5 cm lalu dicuci dengan air matang dan ditiriskan selama 5 menit. Kemudian nenas dimasukkan ke dalam larutan antioksidan (campuran asam askorbat 100 ppm dan asam sitrat 150 ppm) selama 30 detik dan ditiriskan selama 10 detik. Skema penyiapan nenas terolah minimal ditampilkan pada Gambar 4.

Pembuatan larutan edible coating

Pati jagung dilarutkan sesuai perlakuan (1%; 2%; 3%; dan 4%) kedalam 500 ml aquadest. Dipanaskan diatas hot plate dan aduk selama 5 menit hingga homogen. Kemudian ditambahkan CMC 2 % dan gliserol 2% sedikit demi sedikit dan diaduk hingga homogen. Larutan pati jagung dipanaskan sampai suhu 70ᵒC selama 15 menit. Setelah itu didinginkan sampai suhu 30ᵒC dan ditambah asam askorbat sebanyak 1%. Skema pembuatan larutan edible dapat dilihat pada Gambar 5.

Aplikasi edible coating pada buah nenas terolah minimal

(26)

Pengamatan dan Pengukuran Data

Penentuan total padatan terlarut

Sampel yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 5 gr dan dimasukkan

ke dalam beaker glass. Kemudian dilakukan pengenceran dengan menambahkan

20 ml aquadest lalu diaduk hingga merata. Diambil satu tetes larutan dan

diteteskan pada hand refractometer, lalu dilihat angka di titik terang dan gelap

(Sudarmadji, dkk., 1984).

Total padatan terlarut (ᵒBrix) = angka handrefractometer x FP

Dimana : FP = Faktor pengencer

Penentuan total asam

Sampel yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 10 gr kedalam beaker glass dan ditambahkan aquadest sampai volume 100 ml. Diaduk hingga merata dan disaring dengan kertas saring. Diambil filtratnya sebanyak 10 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu ditambahkan indikator phenolptalein 1% sebanyak 2-3 tetes. Kemudian dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N. Titrasi dihentikan setelah timbul warna merah jambu yang stabil (Ranganna, 1978).

Total Asam (%) = x x 100%

Asam dominan = asam sitrat (berat massa = 134, valensi = 2)

Penentuan kadar vitamin C

Pembuatan larutan Dye

Larutan Dye dibuat dengan menimbang 100 mg 2,6-diklorofenol indofenol dan 84 mg Sodium Bikarbonat, dilarutkan dalam akuades dan diterakan hingga 100 ml. Larutan dipipet 25 ml dan ditera pada labu ukur 500 ml.

(27)

Pembuatan kurva standar asam askorbat

Asam askorbat ditimbang sebanyak 250 mg dan ditambahkan asam oksalat 6% hingga batas tera labu ukur 100 ml. Dipipet masing-masing 1 ml, 2 ml, 3 ml, 4 ml, dan 5 ml larutan standar, lalu diterakan dengan asam oksalat 6% sampai 5 ml. Larutan Dye ditambahkan dengan cepat sebanyak 10 ml ke larutan standar, dikocok lebih kurang 10 detik dan dibaca absorbansi sampel menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 518 nm. Data konsentrasi standar diinterpretasikan dengan absorbansi dan diperoleh persamaan kurva standar dengan nilai regresi 0,9 ≤ R2 ≤ 1. Kurva standar asam askorbat dapat dilihat pada Lampiran 13.

Penentuan kadar vitamin C sampel

Sampel ditimbang sebanyak 10 g kemudian ditambahkan asam oksalat 6% dan disaring hingga volume 100 ml. Filtrat diambil 5 ml, dimasukkan dalam tabung reaksi kering, ditambahkan 10 ml larutan dye dengan cepat, dikocok sekitar 10-15 detik dan dibaca pada panjang gelombang (λ) = 518 nm menggunakan spektrofotometer (Metode Kolorimetri, Apriyantono, dkk., 1989). Nilai absorbansi dimasukkan ke dalam persamaan kurva standar sehingga diperoleh konsentrasi asam askorbat yang kemudian kadar vitamin C sampel dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Vitamin C = Konsentrasi asam askorbat x volume ekstrak total x 100

(mg/100g/ml sampel) ml ekstrak sampel x 100 x berat/volume sampel

Penentuan kadar air

(28)

105oC selama 3 jam, kemudian didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Dipanaskan lagi dalam oven selama 30 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pemanasan dan pendinginan dilakukan berulang sampai diperoleh berat sampel konstan (AOAC, 1984).

Kadar Air (%) = x 100%

Penentuan kadar serat kasar

Sampel ditimbang sebanyak 2 gr dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml kemudian ditambahkan 100 ml H2SO4 0,325 N. Hidrolisis dengan autoclave selama 15 menit pada suhu 105ᵒC. Setelah didinginkan sampel ditambahkan NaOH 0,313 N sebanyak 50 ml kemudian dihidrolisis kembali selama 15 menit. Sampel disaring dengan kertas saring Whatman No. 41 yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kertas saring tersebut dicuci dengan akuades panas lalu 25 ml H2SO4 0,325 N, kemudian akuades panas dan terakhir dengan 25 ml etanol 95%. Kertas saring dikeringkan dalam oven bersuhu 70ᵒC selama setengah jam, selanjutnya dinaikkan menjadi suhu 105ᵒC dilanjutkan sampai diperoleh berat sampel konstan (Sudarmadji, dkk., 1989).

Kadar serat kasar (%) =

Penentuan tingkat kecerahan (nilai L)

Pengamatan terhadap tingkat kecerahan dilakukan dengan menggunakan alat kolorimeter. Sampel ditempatkan pada wadah yang transparan. Selanjutnya alat sensor di tempatkan pada sampel dan tombol pengukur di tekan. Pengukuran menghasilkan nilai L, a, dan b. Dimana L menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0 = hitam sampai 100 = putih). Warna kromatik campuran

Berat sampel awal – Berat sampel akhir Berat sampel akhir

(29)

merah hijau ditunjukkan oleh nilai a (a+ = 0-100 untuk warna merah, a- = 0-(-80) untuk warna hijau). Warna kromatik campuran biru kuning ditunjukan oleh nilai b (b+ = 0,70, untuk warna kuning, b- = 0-(-70) untuk warna biru (Hutching, 1999).

Uji skor tekstur

Pengujian dilakukan secara inderawi (organoleptik) dengan panelis sebanyak 15 orang yang ditentukan berdasarkan skala numerik (Soekarto, 1985). Uji skor yang digunakan untuk menentukan tingkat kesukaan dilakukan berdasarkan skala numerik dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Skala uji skor tekstur

Skala hedonik Skala numerik

Keras 5

Agak keras 4

Lunak 3

Agak lunak 2

Sangat lunak 1

Uji skor warna

Pengujian dilakukan secara inderawi (numerik) dengan panelis sebanyak 15 orang yang ditentukan berdasarkan skala numerik (Soekarto, 1985). Uji skor yang digunakan untuk menentukan tingkat kesukaan dilakukan berdasarkan skala numerik dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Skala uji skor warna

Skala hedonik Skala numerik

Kuning cerah 5

Kuning 4

Kuning agak kecoklatan 3

Kuning kecoklatan 2

(30)

Uji hedonik aroma dan rasa

Pengujian dilakukan secara inderawi (organoleptik) dengan panelis sebanyak 15 orang yang ditentukan berdasarkan skala numerik (Soekarto, 1985). Uji organoleptik yang digunakan untuk menentukan tingkat kesukaan dilakukan berdasarkan skala numerik dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Skala uji hedonik aroma dan rasa

Skala hedonik Skala numerik

Sangat suka 5

Suka 4

Agak suka 3

Tidak suka 2

(31)

Gabungan filtrat

Gambar 3. Skema pembuatan pati jagung Disortasi dan dicuci

Dipipil menggunakan pisau

Dihaluskan menggunakan blender dengan penambahan air 1:3 Disaring dengan kain saring

Diendapkan selama 12 jam

Dikeringkan di oven dengan suhu 500C selama 18 jam

Dihaluskan dengan blender

Diayak dengan ayakan 80 mesh

Pati Jagung Jagung

Ampas ditambah air 1:1 dan

disaring

Filtrat I Filtrat II

Dibuang air endapan kemudian pati dicuci kembali dengan penambahan air 1:1

(32)

Gambar 4. Skema penyiapan nenas terolah minimal Trimming

Dipotong dengan ukuran 5 cm dan dicuci dengan air matang

Ditiriskan selama 5 menit

Pencelupan dengan larutan antioksidan (asam askorbat 100 ppm dan asam sitrat 150 ppm)

selama 30 detik

Penirisan selama 10 detik Nenas segar

(33)

Gambar 5. Skema pembuatan larutan edible coating Penambahan CMC 2%

dan gliserol 2% sedikit demi sedikit

Dipanaskan sampai suhu 70ᵒC selama 15 menit

Pendinginan sampai suhu 30ᵒC dan ditambah asam askorbat sebanyak 1%. Pati jagung+ 500 ml aquadest,

dipanaskan diatas hot plate selama 5 menit hingga homogen Konsentrasi pati

jagung

P1 = 1% (b/b) P2 = 2% (b/b) P3 = 3% (b/b) P4 = 4% (b/b)

(34)

Gambar 6. Skema aplikasi edible coating pada buah nenas terolah minimal Pencelupan dalam larutan edible coating dan

ditiriskan selama 5 detik

Dikemas dengan Styrofoam dan ditutup dengan plastik wrap

Penyimpanan pada suhu 10-15ᵒC selama 5 hari

Analisa :

- Total padatan terlarut (oBrix) - Total asam (%)

- Kadar vitamin C (mg/100 g) - Kadar air (%)

- Kadar serat (%)

- Tingkat kecerahan (nilai L) - Uji skor tekstur (numerik) - Uji skor warna (numerik)

- Uji organoleptik aroma dan rasa (numerik)

Lama Pencelupan : L1 = 1 menit L2 = 2 menit L3 = 3 menit L4 = 4 menit Kering anginkan selama 5 menit

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Konsentrasi Pati Jagung terhadap Parameter yang Diamati

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, konsentrasi pati jagung memberikan pengaruh terhadap total padatan terlarut, total asam, kadar vitamin C, kadar air, kadar serat, tingkat kecerahan, nilai skor tekstur, nilai skor warna, dan nilai hedonik aroma dan rasa seperti yang terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Pengaruh konsentrasi pati jagung terhadap parameter mutu nenas terolah minimal yang diamati

Parameter Mutu

Pengaruh konsentrasi pati jagung (P) P1

Kadar vitamin C (mg/100g) 20,111 19,196 18,781 17,616

Kadar air (%) 84,726 85,435 83,796 84,563

Kadar serat (%) 1,187 1,193 1,197 1,230

Tingkat kecerahan (nilai L) 60,185 59,566 60,400 62,238

Skor tekstur (numerik) 3,092 2,967 2,942 2,800

Skor warna (numerik) 3,100 3,042 3,025 2,958

Hedonik aroma dan rasa (numerik) 3,167 3,108 3,058 2,917 Tabel 7 menunjukkan total padatan terlarut tertinggi terdapat pada perlakuan P4 yaitu 14,549 ᵒBrix dan terendah terdapat pada P1 yaitu 12,926 ᵒBrix. Total asam tertinggi terdapat pada perlakuan P1 yaitu 0,398% dan terendah terdapat pada P4 yaitu 0,353%. Kadar vitamin C tertinggi terdapat pada perlakuan P1 yaitu 20,111 mg/100 g dan terendah terdapat pada P4 yaitu 17,616 mg/100 g. Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan P2 yaitu 85,435% dan terendah terdapat pada P3 yaitu 83,796%.

(36)

tertinggi terdapat pada perlakuan P1 yaitu 3,092 dan terendah terdapat pada P4 yaitu 2,800. Skor warna tertinggi terdapat pada perlakuan P1 yaitu 3,100 dan terendah terdapat pada P4 yaitu 2,958. Hedonik aroma dan rasa tertinggi terdapat pada perlakuan P1 yaitu 3,167 dan terendah terdapat pada P4 yaitu 2,917.

Pengaruh Lama Pencelupan terhadap Parameter yang Diamati

Berdasakan penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa lama pencelupan memberikan pengaruh terhadap total padatan terlarut, total asam, kadar vitamin C, kadar air, kadar serat, tingkat kecerahan (nilai L), skor tekstur, skor warna, dan hedonik aroma dan rasa seperti yang terlihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Pengaruh lama pencelupan terhadap parameter mutu nenas terolah minimal yang diamati Total padatan terlarut (ᵒBrix) 12,175 13,298 13,866 14,423

Total asam (%) 0,403 0,386 0,368 0,359

Kadar vitamin C (mg/100g) 22,021 19,367 18,058 16,257

Kadar air (%) 85,107 84,812 83,501 85,100

Kadar serat (%) 1,277 1,249 1,198 1,084 Tingkat kecerahan (nilai L) 61,810 60,519 59,678 60,383 Skor tekstur (numerik) 3,200 3,050 2,867 2,683 Skor warna (numerik) 3,258 3,033 2,942 2,892 Hedonik aroma dan rasa (numerik) 3,242 3,158 2,975 2,875

(37)

Kadar serat tertinggi terdapat pada perlakuan L1 yaitu 1,277% dan terendah terdapat pada L4 yaitu 1,084%. Tingkat kecerahan tertinggi terdapat pada perlakuan L1 yaitu 61,810 dan terendah terdapat pada L3 yaitu 59,678. Skor tekstur tertinggi terdapat pada perlakuan L1 yaitu 3,200 dan terendah terdapat pada L4 yaitu 2,683. Skor warna tertinggi terdapat pada perlakuan L1 yaitu 3,258 dan terendah terdapat pada L4 yaitu 2,892. Hedonik aroma dan rasa tertinggi terdapat pada perlakuan L1 yaitu 3,242 dan terendah terdapat pada L4 yaitu 2,875.

Total Padatan Terlarut (oBrix)

Pengaruh konsentrasi pati jagung terhadap total padatan terlarut

Daftar analisis ragam (Lampiran 1) menunjukkan bahwa konsentrasi pati jagung memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap total padatan terlarut buah nenas terolah minimal. Hasil uji LSR pengaruh konsentrasi pati jagung terhadap total padatan terlarut dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi pati jagung terhadap total padatan terlarut (oBrix)

Jarak LSR Konsentrasi Pati Jagung

(P) Rataan

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar).

(38)

Gambar 7. Hubungan konsentrasi pati jagung dengan total padatan terlarut Semakin tinggi konsentrasi pati jagung maka total padatan terlarut akan semakin meningkat. Hal ini dikarenakan semakin tinggi konsentrasi pati jagung edible coating akan semakin menebal dan tingginya kandungan air bahan dapat menyebabkan penurunkan fleksibilitas. Fleksibilitas pelapis yang rendah mengakibatkan terjadinya kontak antara komponen-komponen dalam bahan dengan lingkungan sekitarnya. Kandungan total padatan terlarut dalam buah meningkat karena pemecahan polimer karbohidrat khususnya pati dan menjadi sukrosa, glukosa, dan fruktosa (Mardiana, 2008).

Pengaruh lama pencelupan terhadap total padatan terlarut

Daftar analisis ragam (Lampiran 1) menunjukkan bahwa lama pencelupan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap total padatan terlarut buah nenas terolah minimal. Hasil uji LSR pengaruh lama pencelupan terhadap total padatan terlarut dapat dilihat pada Tabel 10.

(39)

Tabel 10. Uji LSR efek utama pengaruh lama pencelupan terhadap total padatan

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar).

Tabel 10 menunjukkan bahwa perlakuan L1 berbeda sangat nyata dengan L2, L3 dan L4. Perlakuan L2 berbeda nyata dengan L3 dan berbeda sangat nyata dengan L4. Perlakuan L3 berbeda tidak nyata dengan L4. Hubungan lama pencelupan terhadap total padatan terlarut dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Hubungan lama pencelupan dengan total padatan terlarut Semakin lama pencelupan maka total padatan terlarut semakin meningkat. Hal ini dikarenakan banyaknya edible coating yang terdapat dipermukaan bahan menyerap air yang ada di lingkungan sehingga menurunkan fleksibilitas edible coating. Kenaikan total padatan terlarut selama penyimpanan disebabkan karena tersedianya zat pati yang dapat dirombak menjadi gula (Winarno, 2002).

(40)

Pengaruh interaksi konsentrasi pati jagung dan lama pencelupan terhadap total padatan terlarut

Daftar analisis sidik ragam (Lampiran 1) menunjukkan bahwa interaksi konsentrasi pati jagung dan lama pencelupan memberikan pengaruh berbeda nyata (P<0,05) terhadap total padatan terlarut. Hasil uji LSR pengaruh interaksi konsentrasi pati jagung dan lama pencelupan terhadap total padatan terlarut dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Uji LSR efek utama pengaruh interaksi konsentrasi pati jagung dan lama pencelupan terhadap total padatan terlarut (oBrix)

Jarak LSR Perlakuan Rataan Notasi

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5%

(41)

pati jagung dan lama pencelupan terhadap total padatan terlarut bahan dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Hubungan interaksi konsentrasi pati jagung dan lama pencelupan terhadap total padatan terlarut

(42)

Total Asam (%)

Pengaruh konsentrasi pati jagung terhadap total asam

Daftar analisis ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa konsentrasi pati jagung memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap total asam buah nenas terolah minimal. Hasil uji LSR pengaruh konsentrasi pati jagung terhadap total asam dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi pati jagung terhadap total asam (%)

Jarak LSR Konsentrasi Pati Jagung

(P) Rataan

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar).

Tabel 12 menunjukkan bahwa perlakuan P1 berbeda tidak nyata dengan P2, berbeda nyata dengan P3 dan berbeda sangat nyata dengan P4. Perlakuan P2 berbeda tidak nyata dengan P3 dan berbeda sangat nyata dengan P4. Perlakuan P3 berbeda nyata dengan P4. Hubungan antara konsentrasi pati jagung terhadap total asam dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Hubungan konsentrasi pati jagung dengan total asam

(43)

Semakin tinggi konsentrasi pati jagung maka total asam akan semakin menurun. Hal ini dikarenakan edible coating yang dihasilkan semakin tebal dan tingginya kadar air bahan mengakibatkan penurunan fleksibilitas dan peningkatan permeabilitas. Permeabilitas yang tinggi menyebabakan berlangsungnya proses metabolisme. Hal ini sesuai dengan Garnida (2007) yang melakukan penelitian berjudul Memperpanjang Umur Simpan Buah Durian Terolah Minimal dengan Formulasi Bahan Edible Coating pada Suhu Beku menyatakan bahwa asam-asam organik merupakan cadangan energi buah dan akan menurun selama peningkatan aktivitas metabolisme. Buah-buahan yang mempunyai laju respirasi yang tinggi maka kandungan total asamnya lebih sedikit karena berkurangnya asam-asam organik sebagai akibat perombakan asam menjadi cadangan energi dalam proses respirasi (Rudito, 2005).

Pengaruh lama pencelupan terhadap total asam

Daftar analisis sidik ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa lama pencelupan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap total asam. Hasil uji LSR pengaruh lama pencelupan terhadap total asam dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Uji LSR efek utama pengaruh lama pencelupan terhadap total asam (%)

Jarak LSR Lama Pencelupan

(L) Rataan

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar).

(44)

L3 dan berbeda sangat nyata dengan L4. Perlakuan L3 berbeda tidak nyata dengan L4. Hubungan lama pencelupan terhadap total asam dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Hubungan lama pencelupan dengan total asam

(45)

Pengaruh interaksi konsentrasi pati jagung dan lama pencelupan terhadap total asam

Daftar analisis sidik ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa interaksi konsentrasi pati jagung dan lama pencelupan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap total asam nenas terolah minimal yang dihasilkan sehingga, uji LSR tidak dilanjutkan.

Kadar Vitamin C (mg/100g)

Pengaruh konsentrasi pati jagung terhadap kadar vitamin C

Daftar analisis ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa konsentrasi pati jagung memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar vitamin C buah nenas terolah minimal. Hasil uji LSR pengaruh konsentrasi pati jagung terhadap kadar vitamin C dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi pati jagung terhadap kadar vitamin C (mg/100g)

Jarak LSR Konsentrasi Pati Jagung

(P) Rataan

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar).

(46)

Gambar 12. Hubungan konsentrasi pati jagung dengan kadar vitamin C Semakin tinggi konsentrasi pati jagung maka kadar vitamin C akan semakin menurun. Hal ini dikarenakan tingginya kadar air dari bahan dan edible coating yang semakin menebal dapat menurunkan fleksibilitas sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas. Penurunan kandungan vitamin C disebabkan vitamin C yang bersifat mudah larut dalam air karena terjadinya penguapan atau difusi air (Mulyadi, dkk., 2012). Masuknya O2 kedalam jaringan bahan menyebabkan terjadinya degradasi asam askorbat menjadi asam dehidroaskorbat dan H2O2 dimana H2O2 tersebut dapat menyebabkan reaksi autooksidasi yang akan berdampak pada semakin besarnya kerusakan vitamin C (Tannenbaum, 1976).

Pengaruh lama pencelupan terhadap kadar vitamin C

Daftar analisis sidik ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa lama pencelupan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar

(47)

vitamin C. Hasil uji LSR pengaruh lama pencelupan terhadap kadar vitamin C dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Uji LSR efek utama pengaruh lama pencelupan terhadap kadar vitamin C (mg/100g)

Jarak LSR Lama Pencelupan

(L) Rataan

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar).

Tabel 15 menunjukkan bahwa perlakuan L1 berbeda sangat nyata dengan L2, L3 dan L4. Perlakuan L2 berbeda tidak nyata dengan L3 dan berbeda sangat nyata dengan L4. Perlakuan L3 berbeda nyata dengan L4. Hubungan antara lama pencelupan terhadap kadar vitamin C bahan dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Hubungan lama pencelupan dengan kadar vitamin C

Semakin lama pencelupan maka kadar vitamin C akan semakin menurun. Hal ini karena banyaknya edible coating yang terdapat di permukaan bahan menyerap air di sekitar lingkungan sehingga permebilitas menjadi meningkatkan.

(48)

Winarno (2002) menyatakan bahwa adanya oksigen mengakibatkan terjadinya oksidasi sehingga vitamin C teroksidasi menjadi asam dehidro-askorbat yang cenderung akan mengalami perubahan lebih lanjut menjadi L-diketogulonat.

Pengaruh interaksi konsentrasi pati jagung dan lama pencelupan terhadap kadar vitamin C

Daftar analisis sidik ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa interaksi konsentrasi pati jagung dan lama pencelupan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar vitamin C nenas terolah minimal yang dihasilkan, sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Kadar Air (%)

Pengaruh konsentrasi pati jagung terhadap kadar air

Daftar analisis sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa konsentrasi pati jagung memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar air yang diperoleh, sehingga pengujian LSR tidak dilanjutkan.

Pengaruh lama pencelupan terhadap kadar air

Daftar analisis sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa lama pencelupan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar air yang diperoleh, sehingga pengujian LSR tidak dilanjutkan.

Pengaruh interaksi konsentrasi pati jagung dan lama pencelupan terhadap kadar air

(49)

nyata (P>0,05) terhadap kadar air yang diperoleh, sehingga pengujian LSR tidak dilanjutkan.

Kadar Serat Kasar (%)

Pengaruh konsentrasi pati jagung terhadap kadar serat

Daftar analisis sidik ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa konsentrasi pati jagung memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar serat yang diperoleh, sehingga pengujian LSR tidak dilanjutkan.

Pengaruh lama pencelupan terhadap kadar serat

Daftar analisis sidik ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa lama pencelupan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar serat yang diperoleh, sehingga pengujian LSR tidak dilanjutkan.

Pengaruh interaksi konsentrasi pati jagung dan lama pencelupan terhadap kadar serat

Daftar analisis sidik ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa interaksi konsentrasi pati jagung dan lama pencelupan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar serat yang diperoleh, sehingga pengujian LSR tidak dilanjutkan.

Tingkat kecerahan (nilai L)

Pengaruh konsentrasi pati jagung terhadap tingkat kecerahan

(50)

Pengaruh lama pencelupan terhadap tingkat kecerahan

Daftar analisis sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa lama pencelupan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap tingkat kecerahan yang diperoleh, sehingga pengujian LSR tidak dilanjutkan.

Pengaruh interaksi konsentrasi pati jagung dan lama pencelupan terhadap tingkat kecerahan

Daftar analisis sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa interaksi konsentrasi pati jagung dan lama pencelupan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap tingkat kecerahan yang diperoleh, sehingga pengujian LSR tidak dilanjutkan.

Skor Tesktur (numerik)

Pengaruh konsentrasi pati terhadap skor tekstur

Daftar analisis ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa konsentrasi pati jagung memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap skor tekstur nenas terolah minimal. Hasil uji LSR pengaruh konsentrasi pati jagung terhadap skor tekstur dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi pati jagung terhadap skor tekstur (numerik)

Jarak LSR Konsentrasi Pati Jagung

(P) Rataan

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar).

(51)

P3 dan P4. Perlakuan P3 berbeda tidak nyata dengan P4. Hubungan antara konsentrasi pati jagung terhadap skor tekstur bahan dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Hubungan konsentrasi pati jagung dengan skor tekstur Semakin tinggi konsentrasi pati jagung maka tekstur semakin menurun. Hal ini karena adanya pori-pori halus yang terdapat pada edible coating yang memungkinkan masuknya O2 ke dalam bahan. Masuknya oksigen ke jaringan bahan menyebabkan enzim-enzim yang berperan dalam proses pelunakan jaringan menjadi aktif sehingga proses pemasakan dan penurunan tekstur menjadi lebih cepat (Rudito, 2005).

Pengaruh lama pencelupan terhadap skor tekstur

Daftar analisis ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa lama pencelupan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai skor tekstur buah nenas terolah minimal. Hasil uji LSR pengaruh lama pencelupan terhadap skor tekstur dapat dilihat pada Tabel 17.

(52)

Tabel 17. Uji LSR efek utama pengaruh lama pencelupan terhadap skor tekstur

Jarak LSR Lama Pencelupan

(L) Rataan

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar).

Tabel 17 menunjukkan bahwa perlakuan L1 berbeda tidak nyata dengan L2, berbeda sangat nyata dengan L3 dan L4. Perlakuan L2 berbeda tidak nyata dengan L3 dan berbeda sangat nyata L4. Perlakuan L3 berbeda nyata dengan L4. Hubungan lama pencelupan terhadap skor tekstur bahan dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Hubungan lama pencelupan dengan skor tekstur

Semakin lama pencelupan maka tekstur akan semakin menurun. Hal ini karena edible coating yang melapisi bahan menyerap air di lingkungan bahan sehingga menurunkan fleksibilitas edible coating tersebut. Terjadinya pelunakan karena perubahan protopektin (yang tidak larut) menjadi pektin yang larut air sehingga sel kehilangan tekanan turgornya. Pada buah terolah minimal lebih

(53)

banyak disebabkan oleh degradasi dinding sel akibat hilangnya kulit sebagai pelindung alami (Seymor, dkk., 1993).

Pengaruh interaksi konsentrasi pati jagung dan lama pencelupan terhadap skor tekstur

Daftar analisis sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa interaksi konsentrasi pati jagung dan lama pencelupan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap skor tekstur nenas terolah minimal yang dihasilkan, sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Skor Warna (numerik)

Pengaruh konsentrasi pati jagung terhadap skor warna

Daftar analisis sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa konsentrasi pati jagung memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap skor warna yang diperoleh, sehingga pengujian LSR tidak dilanjutkan.

Pengaruh lama pencelupan terhadap skor warna

Daftar analisis ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa lama pencelupan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai skor warna buah nenas terolah minimal. Hasil uji LSR pengaruh lama pencelupan terhadap skor warna dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Uji LSR efek utama pengaruh lama pencelupan terhadap skor warna (numerik)

Jarak LSR Lama Pencelupan

(L) Rataan

(54)

Tabel 18 menunjukkan bahwa perlakuan L1 berbeda sangat nyata dengan L2, L3 dan L4. Perlakuan L2 berbeda tidak nyata dengan L3 dan berbeda nyata L4. Perlakuan L3 berbeda tidak nyata dengan L4. Hubungan antara lama pencelupan terhadap skor warna dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Hubungan lama pencelupan dengan skor warna

Semakin lama pencelupan maka nilai skor warna semakin menurun. Semakin tebal edible coating dan banyaknya air dari bahan dapat menurunkan fleksibilitas sehingga permeabilitasnya bahan menjadi meningkat. Pencoklatan enzimatik terjadi pada buah-buahan yang mengandung senyawa-senyawa fenolik yang bertindak sebagai substrat dalam proses pencoklatan. Adanya kontak antara oksigen dengan enzim fenol oksidase menyebabkan terjadinya perubahan menjadi warna coklat (Winarno, 2002).

Pengaruh interaksi konsentrasi pati jagung dan lama pencelupan terhadap skor warna

Daftar analisis sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa interaksi konsentrasi pati jagung dan lama pencelupan memberikan pengaruh berbeda tidak

(55)

nyata (P>0,05) terhadap skor warna nenas terolah minimal yang dihasilkan, sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Hedonik aroma dan rasa (numerik)

Pengaruh konsentrasi pati jagung terhadap hedonik aroma dan rasa

Daftar analisis sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa konsentrasi pati jagung memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap hedonik aroma dan rasa yang diperoleh, sehingga pengujian LSR tidak dilanjutkan.

Pengaruh lama pencelupan terhadap hedonik aroma dan rasa

Daftar analisis ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa lama pencelupan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap hedonik aroma dan rasa buah nenas terolah minimal. Hasil uji LSR pengaruh lama pencelupan terhadap hedonik aroma dan rasa dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Uji LSR efek utama pengaruh lama pencelupan terhadap hedonik aroma dan rasa (numerik)

Jarak LSR Lama Pencelupan

(L) Rataan

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar).

(56)

Gambar 17. Hubungan lama pencelupan dengan hedonik aroma dan rasa Semakin lama pencelupan maka aroma dan rasa akan semakin menurun. Hal ini dikarenakan banyaknya edible coating yang melapisi bahan dapat mempengaruhi penilaian organoleptik panelis. Perubahan tingkat kesukaan panelis cenderung menurun karena komponen-komponen didalamnya masih melakukan proses degradasi untuk kelangsungan aktivitasnya. Berkurangnya kuantitas komponen tersebut akan mempengaruhi penilaian secara organoleptik, yaitu aroma, rasa, tekstur, dan warna (Garnida, 2007).

Pengaruh interaksi konsentrasi pati jagung dan lama pencelupan terhadap hedonik aroma dan rasa

Daftar analisis sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa interaksi konsentrasi pati jagung dan lama pencelupan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap hedonik aroma dan rasa nenas terolah minimal yang dihasilkan, sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

(57)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian menunjukkan pengaruh konsentrasi pati jagung dan lama pencelupan terhadap parameter yang diamati dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Konsentrasi pati jagung memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap total padatan terlarut, total asam, kadar vitamin C, dan skor tekstur Semakin tinggi konsentrasi pati jagung maka total asam, kadar vitamin C akan semakin menurun, sedangkan total padatan terlarut semakin meningkat.

2. Lama pencelupan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap total padatan terlarut, total asam, kadar vitamin C, organoleptik aroma dan rasa, skor tekstur, serta skor warna. Semakin lama pencelupan maka total padatan terlarut akan semakin meningkat sedangkan total asam, kadar vitamin C, organoleptik aroma dan rasa, skor tekstur, serta skor warna menurun.

3. Interaksi antara konsentrasi pati jagung dan lama pencelupan memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap total padatan terlarut.

(58)

Saran

1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai edible coating berbasis pati yang dapat menahan laju transmisi uap air pada buah nenas terolah minimal. 2. Perlu adanya perlakuan pembentukan lembaran dari larutan edible coating

yang telah dibuat untuk membuktikan bahwa edible coating tersebut bisa untuk digunakan.

3. Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan konsentrasi pati yang lebih besar dan meningkatkan lama pencelupan.

(59)

TINJAUAN PUSTAKA

Nenas

Nenas merupakan tanaman buah berupa semak yang memiliki nama ilmiah Ananas comosus. Nenas pertama kali berasal dari kawasan Brasilia (Amerika Selatan) dan pada abad ke-16 orang Spanyol membawa nenas ini ke Filipina dan Semenanjung Malaysia, serta ke Indonesia. Di Indonesia pada mulanya nenas hanya dijadikan sebagai tanaman pekarangan rumah dan meluas menjadi tanaman kebun pada lahan kering di seluruh wilayah nusantara. Saat ini nenas telah banyak dibudidayakan baik di daerah tropik maupun sub tropik (Prihatman, 2000). Secara lengkap dapat dilihat dari segi taksonomi tumbuhan, tanaman nenas diklasifikasikan sebagai berikut.

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Superdivisio : Spermatophyta Divisio : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Sub-kelas : Commelinida Ordo : Bromeliale Familia : Bromeliaceae Genus : Ananas

Spesies : Ananas comosus L. Merr (Barus, 2008).

(60)

untuk dikembangkan agar permintan pasar dapat terpenuhi karena peminatnya yang juga cukup tinggi (Harnanik, 2012). Adapun kandungan gizi buah nenas segar (per 100 g bahan) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan gizi buah nenas segar (per 100 g bahan)

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1998

Berdasarkan data produksi nenas tahun 2011, ada 5 (lima) provinsi yang merupakan sentra produksi nenas terbesar di Indonesia yaitu Lampung (yang berkontribusi sebesar 32,80% terhadap produksi nenas nasional), Jawa Barat (20,45%), Sumatera Utara (11,89%), Riau (7,10%) dan Jawa Tengah (6,03%). Secara kumulatif kelima provinsi tersebut memberikan kontribusi sebesar 78,27% dari total produksi nenas Indonesia. Di Provinsi Sumatera Utara sendiri, pada tahun 2011 daerah yang menghasilkan produksi nenas terbesar adalah Kabupaten

Tapanuli Utara yaitu sebesar 144.210 ton (78,72%) dari produksi nenas di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten penghasil nenas terbesar lainnya adalah

Kabupaten Simalungun dengan produksi sebesar 33.560 ton (18,32%) dan Kabupaten Tapanuli Selatan dengan 1.962 ton (1,07%) (Pusdatin,2013).

Kerusakan buah nenas dapat disebabkan oleh faktor biotik maupun abiotik. Faktor biotik berupa serangan mikroba dan serangga, sedangkan faktor

Kandungan gizi Jumlah

Bagian yang dapat dimakan (%)

(61)

abiotik disebabkan oleh pengaruh internal dan eksternal. Pengaruh internal adalah proses metabolisme seperti aktivitas enzim dan respirasi, sedangkan faktor eksternal mencakup suhu, mekanis, cahaya, kelembapan, dan kerusakan mekanis (Harnanik, 2012).

Jagung

Jagung merupakan salah satu tanaman yang banyak terdapat di Indonesia. Beberapa wilayah di Indonesia menjadikan jagung sebagai sumber karbohidrat utama karena produksinya yang berlimpah. Produksi jagung yang cukup tinggi didunia juga menjadikannya menempati urutan ketiga setelah padi dan gandum. Indonesia merupakan penghasil jagung terbesar di kawasan Asia Tenggara. Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan tanaman jagung diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Poales

Famili : Poaceae (Graminae) Genus : Zea

Spesies : Zea mays L. (Rukmana, 1997).

(62)

peningkatan kebutuhan untuk pakan (Alam dan Murhaeni, 2008). Komposisi kimia jagung (per 100 g) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi kimia jagung per 100 g

Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2001

Pati juga merupakan salah satu komponen yang terdapat dalam jagung. Penggunaan pati sebagai bahan baku industri menjadi sangat penting untuk meningkatkan nilai komoditi jagung. Jagung dalam bentuk pati merupakan bahan setengah jadi yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan pengolahan lanjut. Pati mempunyai kadar air rendah, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama dan memudahkannya untuk di proses lebih lanjut (Darmajana, 2010).

(63)

Pati Jagung

Pati merupakan cadangan makanan utama yang terdapat di dalam tanaman. Pati terdiri dari dua polisakarida yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa terdiri dari 70-300 unit glukosa yang mempunyai ikatan rantai lurus, sedangkan amilopektin mempunyai 100.000 unit glukosa dengan ikatan rantai yang bercabang. Kandungan amilosa yang terdapat di dalam pati sekitar 20%. Beberapa ciri-ciri pati antara lain berwarna putih, berbentuk serbuk dan dapat dihidrolisis oleh asam atau enzim (Gaman dan Sherrington, 1992).

Sifat fungsional yang terkandung di dalamnya pati menjadikannya suatu

komponen yang penting dalam makanan. Pada proses pengolahan makanan

umumnya memerlukan kestabilan pH, kekentalan, emulsi, dan penampakan yang

baik. Sifat-sifat tersebut dapat diperoleh dengan pemilihan pati yang sesuai. Pati

dapat memberikan satu atau lebih dari sifat-sifat tersebut terhadap makanan yang

dihasilkan. Pati umumnya digunakan sebagai bahan tambahan salah satunya

adalah sebagai pengental (Suarni, dkk., 2013).

Pada umumnya terdapat berbagai jenis pati yang mengandung komponen hidrokoloid, salah satunya adalah pati jagung. Pati jagung dapat dimanfaatkan untuk membentuk matriks film. Kandungan amilosa yang terdapat pada pati jagung sekitar 25% sehingga berpotensi mengembangkan kapasitas pembentukan film dan menghasilkan film yang lebih kuat dibandingkan pati yang mengandung lebih sedikit amilosa (Kusumawati dan Putri, 2013).

Rendemen pati yang dihasilkan dari masing-masing varietas jagung

berbeda-beda. Hal tersebut dipengaruhi oleh sifat agronomis tiap varietas,

(64)

Indonesia umumnya tergolong tipe biji mutiara. Rendahnya rendemen yang

dihasilkan dapat disebabkan pemisahan serat menggunakan kain saring berlapis,

sehingga masih ada pati yang terbawa bersama serat. Proses ekstraksi yang

dilakukan dengan perlakuan perendaman juga menyebabkan larutnya pati bersama

air rendaman dan ketika waktu pengendapan terpisah sehingga rendemen pati

berkurang (Suarni, dkk., 2013). Struktur molekul amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur molekul amilosa dan amilopektin (Eliasson, 2004) Stuktur linear amilosa dan struktur bercabang amilopektin dapat dilihat saat gelatinisasi dan kemampuannya membentuk film. Ketika pati dipanaskan butir-butir pati akan mengembang dan pecah mengakibatkan keluarnya amilosa dan amilopektin. Stuktur bercabang dari rantai amilopektin dalam larutan cenderung kecil untuk berinteraksi dengan ikatan hidrogen sehingga gel-gel dari amilopektin dan filmnya lemah. Rantai lurus dari amilosa dalam larutannya cenderung besar untuk berinteraksi dengan ikatan hidrogen sehingga gel-gel

Amilosa

Ikatan α 1,4-glikosida

Ikatan α 1,6-glikosida

(65)

amilosa dan filmnya lebih keras dan kuat dibandingkan gel-gel amilopektin dan filmnya (Jaya dan Sulistyawati, 2010).

Pada jaringan tanaman terdapat pati dalam bentuk granula (butir) yang berbeda-beda berdasarkan ukuran, bentuk dan sifat birefringent-nya. Suhu gelatinisasi berbeda-beda pada tiap jenis pati. Polarized microscope dan juga viscometer dapat digunakan untuk menentukan suhu gelatinisasi, misalnya jagung 62-70ᵒC, beras 68-78ᵒC dan tapioka 52-64ᵒC, kentang 58-66ᵒC (Winarno,2002).

Beberapa jenis pati dapat dibedakan berdasarkan sifat pasta yang dihasilkan dari proses pemasakan. Pati serealia (jagung, gandum, beras, dan sorgum) apabila dipanaskan akan menghasilkan pasta kental yang mengandung bagian-bagian yang pendek dan setelah dingin menghasilkan gel yang berwarna buram. Berbeda dengan pati dari serealia, pati dari akar dan umbi (kentang dan tapioka) ketika dipanaskan akan menghasilkan pasta yang sangat kental dengan bagian-bagian yang panjang dan setelah dingin pasta akan berwarna putih juga melunak. Jagung mengandung amilosa yang tinggi, sehingga untuk proses gelatinisasinya diperlukan suhu yang tinggi sehingga dihasilkan pasta dengan bagian-bagian yang pendek dan membentuk gel berwarna buram ketika dingin (deMan, 1997).

Edible Coating

Salah satu teknologi potensial berupa edible coating dapat diterapkan pada buah dan sayur karena aman untuk dimakan. Di Indonesia pengaplikasian edible

coating pada produk buah dan sayuran masih terbatas. Adanya penambahan

(66)

mikroorganisme sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk hortikultura

(Widaningrum, dkk., 2015).

Edible coating dapat didefinisikan sebagai lapisan tipis yang terbuat dari bahan-bahan yang layak untuk dimakan seperti protein, lipida dan polisakarida. Pelapisannya dapat dilakukan pada permukaan produk makanan dengan cara pencelupan, penyemprotan dan pengemasan. Edible coating adalah pengemas alternatif yang tidak menimbulkan masalah lingkungan. Kelebihan utamanya terletak pada sifat biodegradable, sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan seperti halnya bahan pengemas sintetik (Pangesti, dkk., 2014).

Penggunaan edible coating akhir-akhir ini telah menjadi perhatian banyak kalangan baik peneliti dalam negeri maupun luar negeri. Edible coating juga mempunyai prospek yang aplikatif untuk industri pangan dan farmasi. Salah satu contohnya dapat digunakan sebagai bahan pengemas untuk produk buah-buahan terolah minimal. Keuntungan dari edible coating adalah memperbaiki warna, rasa, tekstur dan pengendalian mikroorganisme (Lastriyanto, dkk., 2007).

Beberapa keuntungan edible coating yaitu dapat melindungi produk segar yang bersifat mudah rusak dengan menekan laju respirasi, dapat meningkatkan kualitas tekstur, membantu mempertahankan senyawa volatil dan mengurangi kontaminasi mikroba. Meningkatnya permintaan pasar pada buah dan sayur yang terolah minimal dengan kualitas yang tetap segar, menjadikan edible coating sebagai bahan pengemas yang lebih penting di masa depan (Lin dan Zhao, 2007).

(67)

kehilangan nutrisi bahan pangan yang berlebihan, dan mencegah adanya reaksi terhadap udara, panas, cahaya. Edible coating menjadi salah satu alternatif pengganti pelapisan dari bahan polimer sintetik yang berpotensi menimbulkan resiko perubahan kualitas dan berdampak buruk terhadap kesehatan konsumen (Kokoszka dan Lenart, 2007).

Edible coating/film berbasis pati mempunyai kelemahan, yaitu resistensinya terhadap air rendah dan sifat penghalang terhadap uap air juga rendah karena sifat hidrofilik pati dapat memengaruhi stabilitas dan sifat mekanisnya. Rendahnya stabilitas film akan memperpendek daya simpan sehingga kurang optimal karena uap air dan mikroba yang masuk melalui film akan merusak bahan pangan (Garcia et al. 2011 dalam Winarti, 2012).

Bahan-Bahan dalam Pembuatan Edible Coating

Pati merupakan salah satu polimer yang dapat digunakan dalam pembuatan edible coating. Pati sering digunakan dalam industri pangan sebagai biodegradable film untuk menggantikan polimer plastik karena sifatnya yang ekonomis, dapat diperbaharui, dan memberikan karakteristik fisik yang baik. Dari berbagai jenis pati, pati jagung merupakan salah satu jenis pati yang mengandung komponen hidrokoloid digunakan sebagai bahan baku edible coating yang dapat dimanfaatkan untuk membentuk matriks film. Tingginya kandungan amilosa pati jagung yaitu sebesar 25%, menjadikan pati jagung dapat mengembangkan potensi kapasitas pembentukan film dan menghasilkan film yang lebih kuat dibandingkan pati yang mengandung lebih sedikit amilosa (Kusumawati dan Putri, 2013).

(68)

dan kaku. Oleh karena itu perlu ditambahkan bahan tambahan yaitu plastisizer. Plastisizer merupakan bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan edible coating yang berfungsi untuk menambah sifat elastisitas. Salah satu jenis plastisizer yang banyak digunakan selama ini adalah gliserol. Gliserol cukup efektif digunakan untuk meningkatkan sifat plastis karena memiliki berat molekul yang kecil (Huri dan Nisa, 2014). Penambahan gliserol ini sangat berpengaruh terhadap karakteristik edible coating yang akan dihasilkan. Gliserol bersifat hidrofilik mampu meningkatkan permeabilitas uap air (Mulyadi, dkk., 2012).

Gliserol adalah senyawa golongan alkohol trivalent berbentuk cairan kental, biasanya dimanfaatkan sebagai food additive. Gliserol memiliki sifat mudah larut dalam air, meningkatkan viskositas larutan, mengikat air dan menurunkan aw bahan. Gliserol merupakan plastisizer yang hidrofilik sehingga cocok untuk ditambahkan pada bahan pembentuk film yang bersifat hidrofobik seperti pati, pektin, gel, dan protein. Peran gliserol sebagai plasticizer dan konsentrasinya dapat meningkatkan fleksibilitas film (Luthana, 2010 dalam Murni, dkk., 2013).

Jenis dan konsentrasi dari plastisizer yang digunakan akan berpengaruh terhadap kelarutan pati. Semakin banyak penggunaan plastisizer maka akan meningkatkan kelarutan. Begitu pula dengan penggunaan plastisizer yang bersifat hidrofilik juga akan meningkatkan kelarutannya dalam air. Gliserol memberikan kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan sorbitol pada edible coating berbasis pati (Bourtoom, 2008).

(69)

terbentuk lebih fleksibel dan halus. Gliserol yang berlebih akan menyebabkan lapisan tipis menjadi lunak dan lengket karena gliserol lebih bersifat mengikat air dan melunakan permukaan. Sebaliknya kekurangan gliserol akan menyebabkan lapisan tipis menjadi kasar dan rapuh (Indriyati, dkk., 2006).

Dalam pembuatan edible coating juga ditambahkan plastisizer untuk mengurangi kerapuhan, meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan edible coating terutama jika disimpan pada suhu rendah. Bahan tambahan yang digunakan selain gliserol adalah CMC. Carboxy Methyl Cellulose (CMC) adalah turunan dari selulosa dan sering dipakai dalam industri makanan untuk mendapatkan tekstur yang baik (Pawignya, dkk., 2015). Struktur CMC dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur CMC (Bourtoom, 2008)

CMC (Carboxymethycellulose) merupakan salah satu jenis hidrokoloid turunan polisakarida tumbuhan yang bersifat larut dalam air panas dan jika dipanaskan pada suhu 50-70ºC dapat membentuk gel yang reversibel, juga berfungsi sebagai agen pembentuk tekstur yang elastis. CMC memiliki sifat larut pada air hangat yang berpotensi meningkatkan kepekatan pada larutan dan (Lersch, 2010).

(70)

mudah dicerna, harganya yang relatif murah, dan aman dikonsumsi. Fungsi asam askorbat adalah sebagai penangkap radikal bebas dan dapat memutus reaksi radikal (Santoso, dkk., 2007). Adanya senyawa antioksidan juga dapat mencegah terjadinya oksidasi dari produk yang dilapisi dan mencegah masuknya radikal bebas ke dalam tubuh (Huri dan Nisa, 2014).

Asam askorbat yang ditambahkan pada pembuatan edible coating diharapkan mampu menurunkan laju degradasi vitamin C yang terkandung dalam bahan yang dilapisi. Asam askorbat juga mampu melindungi produk yang dilapisi coating agar terhindar dari degradasi, dan penurunan mutu warna. Hal ini untuk meningkatkan stabilitas, menjaga nutrisi dan warna sayuran maupun buah yang dilapisi coating, karena memiliki kemampuan untuk menangkap O2 sehingga laju respirasi produk yang diberi pelapis berkurang (Miskiyah, dkk., 2011).

Aplikasi Edible Coating

Konsumen yang mengkonsumsi buah potong, menginginkan tidak hanya dalam bentuk praktis tapi juga terjaga kesegarannya, dan tingkat kematangan yang seragam. Sifatnya yang mudah rusak menyebabkan umur simpan buah menjadi singkat dan terjadi penurunan kualitas akibat aktivitas metabolisme buah yang masih berlangsung. Oleh karena itu, perlu adanya suatu teknologi pengemasan yang dapat mempertahankan kualitas buah. Salah satunya adalah dengan teknologi kemasan edible yang merupakan suatu bahan pengemas yang dapat dimakan, dapat mencegah difusi oksigen, karbondioksida, uap air, sehingga produk menjadi lebih tahan lama (Alsuhendra, dkk., 2011).

(71)

lapisan tipis berbahan dasar polisakarida yang melapisi bahan pangan dan aman untuk dikonsumsi. Beberapa keuntungan dari edible coating antara lain menurunkan aw permukaan bahan, mengurangi terjadinya dehidrasi, mengurangi kontak dengan oksigen sehingga tidak terjadi ketengikan, mempertahankan flavor serta memperbaiki penampilan produk (Santoso, dkk., 2004).

Salah satu penanganan pascapanen buah dan sayur yang dapat

memperpanjang tingkat kesegaran adalah dengan pengaplikasian edible coating. Edible coating merupakan lapisan tipis terbuat dari bahan yang dapat dikonsumsi dan dapat berfungsi sebagai barrier agar tidak terjadi kehilangan kelembaban. Edible coating bersifat permeabel terhadap gas-gas tertentu, serta mampu mengontrol migrasi komponen-komponen larut air yang dapat menyebabkan perubahan pigmen dan komposisi nutrisi buah dan sayur (Krochta, dkk., 2002).

Beberapa metode untuk aplikasi coating pada buah dan sayuran antara lain metode pencelupan (dipping), pembusaan (foaming), penyemprotan (spraying), penuangan (casting), dan aplikasi penetesan terkontrol. Metode pencelupan (dipping) merupakan metode yang paling banyak digunakan terutama pada sayuran, buah, daging, dan ikan, dimana produk dicelupkan ke dalam larutan yang digunakan sebagai bahan coating (Winarti, dkk., 2012).

Pengolahan Minimal Buah-Buahan

(72)

juga menawarkan jaminan mutu dibandingkan buah dalam kondisi utuh karena konsumen dapat langsung melihat kondisi buahnya (Garnida, 2007).

Konsumen saat ini cenderung menginginkan buah dengan sensori buah yang segar, praktis, dan menyehatkan. Hal ini menjadikan para peneliti untuk mengembangkan teknologi alternatif dari pengolahan nenas dengan teknologi olah minimal. Aplikasi teknologi olah minimal dapat dilakukan oleh industri skala kecil menengah maupun industri besar. Hal tersebut harus didukung dengan pengetahuan teknis yang memadai serta ketersediaan peralatan yang mudah diterapkan dan harga yang terjangkau untuk memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri maupun mancanegara. Teknologi olah minimal yang telah diuji coba untuk mengawetkan dan mengolah buah nenas antara lain adalah penggunaan suhu rendah, proses pembekuan, MAP, penggunaan ozon, UV, membran, dehidroosmosis, dan teknologi hurdle (Harnanik, 2013).

Produk terolah minimal mempunyai beberapa kelemahan, antara lain sangat mudah mengalami kerusakan dan masa simpannya yang relatif lebih singkat. Hal tersebut memungkinkan terjadinya kerusakan seperti penyimpangan flavor, penurunan tekstur, perubahan warna, dan kontaminasi pada buah yang dapat menurunkan daya penerimaan konsumen (Ahmad, dkk., 2010).

Gambar

Tabel 6. Skala uji hedonik aroma dan rasa
Gambar 3. Skema pembuatan pati jagung
Gambar 4. Skema penyiapan nenas terolah minimal
Gambar 5. Skema pembuatan larutan edible coating
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengembangan produk utama yaitu perlakuan pencelupan bahan sayuran terolah minimal pada larutan asam sitrat 200 ppm sebagai perlakuan pendahuluan yang terbaik

MEMPELAJARI LAJU RESPIRASI BUAH NENAS IRIS DALAM KEADAAN TEROLAH MINIMAL.. Oleh

Dari hasi penelitian dapat disimpulkan bahwa Perlakuan terbaik secara kimiawi terdapat pada perlakuan A3 yaitu pati singkong 5% dengan kandungan vitamin C 3,20 mg/100 g,

Tabel 1 menunjukkan bahwa penyimpanan nanas terolah minimal selama 8 hari dengan perlakuan pencelupan dan pengemasan dengan plastik mengalami penurunan kekerasan.Penggunaan

[r]

Keripik nenas dengan edible coating memiliki kadar lemak lebih rendah dibandingkan dengan keripik nenas tanpa edible coating(13,7%).Hal ini menunjukkan bahwa pati sebagai

Pengaruh Konsentrasi Pati Ubi Jalar Pada Bahan Pelapis Edible Terhadap Mutu Buah Salak Terolah Minimal Selama Penyimpanan.. Rekayasa Pangan dan

Perlakuan terbaik dalam pembuatan edible coating pati wikau maombo yang diaplikasikan pada sale pisang cokelat yaitu perlakuan F2 (Fermentasi wikau maombo 2 hari) dengan