• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian Bagian Pertama (Vaksin β-hemolitik)

Vaksinasi dilakukan untuk meningkatkan kekebalan spesifik ikan nila untuk mencegah infeksi S. agalactiae. Dari hasil pengamatan beberapa parameter imunitas ikan diketahui bahwa vaksinasi dengan menggunakan vaksin sel utuh β-hemolitik meningkatkan imunitas baik spesifik maupun non spesifik ikan nila. Mortalitas

Ikan diuji tantang dengan S. agalactiae pada hari ke-10 setelah vaksinasi (hari ke-0) setelah uji tantang. Pada Gambar 1 dan Tabel 2 terlihat bahwa perlakuan C yaitu ikan diberi vaksin sel utuh S. agalactiae tipe β-hemolitik dan diuji tantang dengan bakteri β-hemolitik menunjukkan mortalitas yang rendah yaitu 30%, perlakuan D yang divaksinasi dengan vaksin sel utuh S. agalactiae non-hemolitik menunjukkan mortalitas 45%. Sedangkan perlakuan B (kontrol +) yaitu ikan tidak divaksinasi tetapi diuji tantang dengan bakteri β-hemolitik menunjukkan mortalitas ikan yang sangat tinggi yaitu 90%. Perbedaan perlakuan yang diberikan berpengaruh terhadap mortalitas yang terjadi.

Gambar 1. Mortalitas ikan nila yang divaksinasi dengan vaksin S. agalactiae tipe β-hemolitik. 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Mo rta li ta s (% ) Hari

ke-Kontrol (-) Kontrol (+) Bakteri β-hemolitik Bakteri non-hemolitik

20

Berdasarkan hasil analisis variansi antar perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) dan dari uji Duncan antar semua perlakuan berbeda nyata (lampiran 2). Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa perlakuan C, yaitu ikan divaksin dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan diuji tantang dengan bakteri β-hemolitik memberikan tingkat kelangsungan hidup relatif (RPS) 67%, kemudian disusul perlakuan D (RPS 50%). Vaksinasi yang dilakukan menggunakan vaksin sel utuh β-hemolitik, setelah 14 hari pasca uji tantang menggunakan bakteri sel utuh β-hemolitik dan nonhemolitik ternyata mampu mencegah infeksi dari kedua tipe bakteri. Ini menandakan bahwa vaksin dari tipe β-hemolitik mampu meningkatkan respon imun spesifik dan saat bakteri S. agalactiae menginfeksi, antibodi tertentu aktif untuk mengeliminir bakteri patogen. Hal tersebut disebabkan karena permukaan sel bakteri tipe β-hemolitik lebih banyak tersusun atas protein yang bersifat imunomodulator yang meningkatkan sistem imun baik spesifik maupun non spesifik.

Tabel 2. Tingkat RPS, dan mortalitas ikan nila yang divaksin dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik

Perlakuan Uji Tantang Mortalitas (%) RPS (%)

A. Kontrol (-) - 5 -

B. Kontrol (+) β-hemolitik 90 -

C. Vaksin β-hemolitik β-hemolitik 30 67

D. Vaksin β-hemolitik Non-hemolitik 45 50

Vaksin sel utuh dari β-hemolitik memberikan proteksi yang lebih baik saat ikan terinfeksi dengan S. agalactiae yang bertipe sama dengan vaksin yang diberikan. Menurut Ellis (1988), suatu vaksin dikatakan efektif apabila nilai RPS pada saat pengujian efikasi vaksin memiliki nilai > 50%

Gambaran darah

Keberhasilan vaksinasi dapat dilihat dari nilai RPS yang dihasilkan. Namun untuk menjawab mengapa terjadi keberhasilan maupun kegagalan dari vaksinasi dapat dilihat dari beberapa parameter pendukung seperti total leukosit, aktivitas fagositik dan titer antibodi.

Perubahan pada parameter pendukung efikasi vaksinasi menggunakan vaksin β-hemolitik dijabarkan pada Tabel 3, dan grafik secara lengkap dijabarkan pada Lampiran 5.

Total leukosit

Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa total leukosit sebagai respon seluler, pertahanan non spesifik juga mengalami peningkatan pasca uji tantang dengan bakteri tipe β-hemolitik. Respon kekebalan spesifik tergantung kontak inang dengan antigen tertentu sebelumnya. Fungsi sistem kekebalan non spesifik juga terlibat dalam sistem kekebalan spesifik.

Peningkatan total leukosit terlihat pada hari ke-0 pasca uji tantang pada perlakuan C (1,30) dan D (1,59). Pada hari ke-7 pasca uji tantang terjadi perbedaan total leukosit yang sangat mencolok antara perlakuan yang divaksinasi perlakuan C (1,91) dan D (1,99) dengan vaksin sel utuh S. agalactiae tipe β-hemolitik dengan yang tidak divaksinasi yaitu perlakuan A(0,94) dan B (0,81). Perbedaan masih terjadi setelah hari ke-14 infeksi, dimana total leukosit perlakuan ikan yang divaksin mengalami penurunan sedangkan perlakuan A dan B (kontrol – dan +) masih relatif stabil. Hal ini diduga saat ada infeksi, total leukosit meningkat untuk memfagosit bakteri setelah 7 hari pasca infeksi, bakteri berhasil difagosit dan tidak mampu untuk tumbuh dan berkembang sehingga ikan banyak yang hidup. Lain halnya dengan ikan kontrol yang tidak divaksin, tidak terdapat peningkatan total leukosit ikan yang terinfeksi sehingga mortalitas mencapai 90% karena ikan tidak mampu menghalangi berkembangnya S. agalactiae.

Menurut Spector (1993) antibodi adalah protein yang dihasilkan sebagai akibat dimasukkannya zat yang dikenal sebagai benda asing yang dikenal sebagai antigen. Beberapa karbohidrat dan lipid juga antigenik baik dalam keadaan murni maupun jika dikombinasikan dengan molekul protein. Jadi apabila kekurangan limfosit maka konsentrasi antibodi juga akan menurun.

Aktivitas fagositik

Aktivitas sel pada kekebalan non spesifik jika antigen masuk ke dalam tubuh ikan yaitu mempertahankan diri dengan menghancurkan antigen melalui proses fagositosis yang dilakukan oleh sel-sel fagositik monosit dan neutrofil.

Setelah vaksinasi, aktivitas fagositik mengalami peningkatan pada hari ke-0 pasca uji tantang, dan peningkatan pada perlakuan C (18) dan D (19). Sedangkan yang tidaak divaksinasi aktivitas fagositiknya relatif stabil yaitu perlakuan A (13) dan B (12). Proses ini membantu tubuh untuk menghancurkan

22

bakteri penyebab infeksi. Peningkatan aktivitas fagositik terjadi karena vaksin yang diberikan dari sel utuh β-hemolitik ternyata mampu meningkatkan komponen respon imunitas non spesifik.

Pada fagositosis, antigen dideteksi tanpa pengenalan terlebih dahulu melalui reseptor spesifik, ini merupakan mekanisme bawaan sebelum terjadinya aktivitas sel limfosit-T spesifik maupun terbentuknya antibodi. Menurut Hardi 2011, sel fagosit menghancurkan antigen melalui tiga tahap yaitu: (1) pelekatan, (2) fagosit dan (3) pencernaan.

Proses fagosit terjadi apabila berada dalam jarak dekat dengan antigen. Antigen harus melekat pada permukaan sel fagosit, sehingga fagosit bergerak menuju sasaran. Mekanisme tersebut terjadi karena dilepaskannya zat/mediator tertentu yang disebut faktor leukotaktik/kemotaktik dari antigen/komplemen. Hal ini disebabkan karena antigen terlebih dahulu dilapisi oleh Ig atau komplemen (opsonisasi), agar lebih mudah ditangkap oleh sel fagosit. Patogen masuk ke dalam sel dengan cara endositosis dan oleh proses pembentukan fagosom, patogen terperangkap dalam kantong fagosom seolah-olah ditelan untuk dihancurkan, baik dalam proses oksidasi-reduksi maupun oleh derajat keasaman yang ada dalam fagosit (Anderson 1974).

Meningkatnya aktivitas fagositosis merupakan indikator peningkatan kekebalan tubuh. Brown (2000) menyatakan bahwa peningkatan kekebalan tubuh dapat diketahui dari peningkatan aktivitas sel fagosit dari hemosit. Antibodi adalah suatu molekul immunoglobulin yang spesifik yang diproduksi oleh sistem kekebalan organisme karena pengaruh antigen (Anderson 1974). Yahya (2000) mengungkapkan bahwa antibodi memiliki tiga fungsi, yaitu menetralisasikan toksin agar tidak lagi bersifat toksik, mengikatkan diri kepada sel-sel musuh, yaitu antigen dan fungsi terakhir adalah membusukkan struktur biologi antigen tersebut lalu menghancurkannya. Antibodi akan terbentuk jika sel limfosit (sel B) telah berfungsi dengan baik.

Proses fagositosis diawali oleh fase pergerakan (kemotaktik), perlekatan (adhesi/attachment), penelanan (ingestion), degranulasi & pembunuhan (killing). Inisiasi pergerakan karena dilepaskannya zat mediator tertentu yaitu faktor leukotaktik/kemotaktik dari antigen/neutrofil makrofag yang sebelumnya telah

berada di lokasi antigen. Proses penempelan hingga penghancuran dilakukan oleh sel-sel fagosit seperti monosit dan neutrofil (Roth, 1988).

Proses penelanan bakteri terjadi karena fagosit membentuk tonjolan pseudopodia, membentuk kantung mengelilingi bakteri sehingga terperangkap dalam vakuola fagosom. Fagosom terdiri atas dinding bagian luar fagosit. Granula intraseluler berisi berbagai jenis enzim dan protein lain yang mampu membunuh, bergabung (fusi) dengan fagosom, terjadi degranulasi dan respiratory burst (Roth, 1988):

Sel makrofag dan netrofil memiliki mekanisme pertahanan non spesifik melalui proses kemotaksis dan pinositosis. Kemotaksis adalah sel fagosit dipancing oleh molekul untuk melakukan migrasi ke lokasi terjadinya inflamasi, kerusakan jaringan atau reaksi antigen-antibodi (immune reactions). Molekul atau induktor kemotaksis dihasilkan patogen atau komponen kekebalan tubuh seperti faktor komplemen. Pinositosis mekanismenya mirip fagositosis, tetapi melalui proses pemasukan partikel (antigen) yang berukuran jauh lebih kecil daripada yang dilakukan pada proses fagositosis. Fenomena ini ditandai oleh proses pembukaan membran sel membentuk lubang (vakuola) kecil melalui proses endositosis (Roth 1988).

Titer antibodi

Berdasarkan pengamatan titer antibodi didapatkan hasil seperti tercantum dalam Tabel 3. Antibodi bereaksi spesifik dengan antigen membentuk senyawa kompleks berupa endapan (presipitat) dan gumpalan (aglutinat) ditunjukkan melalui uji titer aglutinasi. Antibodi berperan sebagai presipitin dan aglutinin, cara lain antibodi menghalangi efek antigen dengan cara blokade, yaitu bereaksi dengan epitop antigen sehingga antigen tidak mampu mengenal reseptor sel inang menyebabkan kegagalan proses perlekatan antigen pada permukaan sel inang (antibodi bertindak sebagai inhibin). Selain itu antibodi untuk mempercepat eliminasi antigen dengan proses opsonisasi (antibodi sebagai opsonin). Antigen dalam keadaan teropsonisasi lebih mudah dikenal makrofag dan lebih efektif untuk dihancurkan (Anderson 1974). Selama perlakuan, pengamatan titer antibodi dilakukan pada hari ke 0, 7 dan 14 pasca uji tantang.

24

Pada Tabel 3 terlihat bahwa perlakuan C dan D dimana ikan divaksinasi dengan vaksin sel utuh S. agalactiae tipe β-hemolitik mampu memproduksi antibodi saat diuji tantang dengan bakteri tipe β-hemolitik dan non-hemolitik sejak hari ke-0 setelah uji tantang yaitu perlakuan C (5) dan D (6). Berbeda dengan pelakuan A dan B (kontrol – dan +) dimana titer antibodinya tidak terdeteksi mulai dari hari ke-0 sampai hari ke-14 setelah diuji tantang dengan bakteri β-hemolitik maupun yang diuji dengan bakteri non-hemolitik. Titer tertinggi dicapai ikan rata-rata pada hari ke-7 pasca uji tantang. Hal ini menunjukkan bahwa berbagai jenis vaksin yang diberikan mampu membantu tubuh untuk mengeliminasi patogen yang menginfeksi meskipun bakteri yang menginfeksi berbeda tipe dengan jenis bakteri yang dijadikan vaksin.

Titer antibodi tertinggi dihasilkan oleh perlakuan C dan D yaitu masing-masing 6, dimana ikan yang divaksinasi oleh vaksin sel utuh S. agalactiae tipe β-hemolitik dan diuji tantang baik dengan bakteri β-β-hemolitik maupun bakteri non-hemolitik pada hari ke-7 pasca uji tantang. Menurut Subowo (1993) protein merupakan makromolekul yang imunogen yang dapat merangsang limfosit untuk menghasilkan antibodi. Protein dengan berat molekul lebih besar dari 10 kDa biasanya imunogenik. Walaupun demikian, Almendras (2001) menyatakan bahwa hanya daerah-daerah permukaan tertentu dari molekul itu (epitop) yang menentukan spesifisitas reaksi antigen antibodi dan juga sebagai - penentu timbulnya respon imun. Di samping itu, protein dengan berat molekul yang besar diduga mempunyai jumlah epitop yang banyak. Ikan yang divaksin tetap mampu memproduksi antibodi saat diuji aglutinasi dengan bakteri tipe β-hemolitik dan non-hemolitik pada hari ke-14 pasca uji tantang. Pada akhir pengamatan masih ditemukan adanya antibodi yang terbentuk pada ikan yang divaksinasi namun mulai menurun, hal ini menunjukkan bahwa berbagai jenis vaksin yang diberikan mampu membantu tubuh untuk mengeliminasi patogen yang menginfeksi meskipun bakteri yang menginfeksi berbeda tipe dengan jenis bakteri yang dijadikan vaksin.

Sel B mengidentifikasi patogen ketika antibodi pada permukaan melekat pada antigen asing. Antibodi tersebut diedarkan pada plasma darah dan limfa, melilit pada patogen dan menandai mereka untuk dihancurkan oleh aktivasi

komplemen dan fagosit. Antibodi juga dapat menetralisir tantangan secara langsung dengan melilit toksin bakteri atau dengan mengganggu reseptor yang digunakan virus dan bakteri untuk menginfeksi sel (Anderson, 1974; Kresno, 1996).

Tabel 3. Total leukosit, aktivitas fagositik, dan titer antibodi setelah vaksinasi vaksin β-hemolitik pada hari ke-0, 7 dan 14 pasca uji tantang.

Penelitian Bagian Kedua (Vaksin non-hemolitik)

Dari hasil pengamatan beberapa parameter imunitas ikan diketahui bahwa vaksinasi dengan menggunakan vaksin sel utuh non-hemolitik juga memberikan proteksi terhadap infeksi S. agalactiae. Hal tersebut disebabkan karena dinding sel S. agalactiae tipe non-hemolitik lebih banyak tersusun atas karbohidrat, walaupun karbohidrat kurang bersifat imunomodulator atau kurang dapat

meningkatkan imunitas ikan secara baik dibandingkan protein. Mortalitas

Pada Gambar 2 dan Tabel 4 terlihat tingkat kematian (mortalitas) ikan nila yang divaksinasi dengan sel utuh S. agalactiae tipe non-hemolitik. Mortalitas tertinggi 95% pada perlakuan F (kontrol +) yaitu ikan tidak divaksinasi dengan vaksin sel utuh S. agalactiae tipe non-hemolitik tetapi diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae non hemolitik. Sedangkan perlakuan G dan H divaksinasi dengan

Perlakuan Uji Tantang Hari ke- Pasca uji tantang Total Leukosit (105sel/mm3) Aktivitas fagositik (%) Titer antibodi (-log2) A. Kontrol (-) - 0 1,06 13 0 B. Kontrol (+) β-hemolitik 0,90 12 0 C. Vaksin β hemolitik β-hemolitik 1,30 18 5 D. Vaksin β hemolitik Non-hemolitik 1,59 19 6

A. Kontrol (-) - 7 0,94 11 0

B. Kontrol (+) β-hemolitik 0,81 13 0 C. Vaksin β hemolitik β-hemolitik 1,91 20 6 D. Vaksin β hemolitik Non-hemolitik 1,99 24 6

A. Kontrol (-) - 14 1,01 12 0

B. Kontrol (+) β-hemolitik 0,83 12 0 C. Vaksin β hemolitik β-hemolitik 1,13 17 3 D. Vaksin β hemolitik Non-hemolitik 1,07 22 2

26

vaksin sel utuh S. agalactiae tipe non hemolitik dan masing-masing diuji tantang dengan bakteri non hemolitik dan bakteri β-hemolitik menunjukkan mortalitas yang sama yaitu 35%

Gambar 2 Mortalitas ikan nila yang divaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe non-hemolitik.

Berdasarkan hasil analisis variansi (Lampiran 3) menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (p<0.05) dan dari uji Duncan antar semua perlakuan berbeda nyata, kecuali antara perlakuan G (vaksin non-hemolitik) diuji tantang dengan bakteri non-hemolitik berbeda tidak nyata dengan perlakuan H (vaksin non-hemolitik) diuji tantang dengan bakteri β-hemolitik.

Nilai RPS yang dihasilkan pada vaksinasi dengan menggunakan beberapa jenis vaksin terlihat pada Tabel 4. Dari tabel tersebut tampak bahwa kematian ikan tetap terjadi pasca uji tantang, dan jumlah kematian ikan yang tidak divaksin dengan sel utuh S. agalactiae tipe non hemolitik (perlakuan F) lebih banyak yaitu 95%, jika dibandingkan dengan ikan yang divaksin menggunakan sel utuh S. agalactiae tipe non-hemolitik (perlakuan G dan H).

Tabel 4. Tingkat RPS, dan mortalitas ikan nila yang divaksin dengan S. agalactiae tipe non-hemolitik

Perlakuan Uji Tantang Mortalitas (%) RPS (%)

E. Kontrol (-) - 10 -

F. Kontrol (+) Non-hemolitik 95 -

G. Vaksin non-hemolitik Non-hemolitik 35 63

H. Vaksin non-hemolitik β-hemolitik 35 63

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Mo rta li ta s (% ) Hari

Vaksin sel utuh S. agalactiae tipe non-hemolitik, sama seperti vaksin sel utuh β-hemolitik, juga memberikan proteksi yang baik pada infeksi dari S. agalactiae yang setipe dengan vaksin maupun yang tidak setipe. Berdasarkan tingkat kematian yang terjadi dapat dilihat bahwa perbedaan jenis vaksin yang diberikan berpengaruh terhadap tingkat ketahanan tubuh.

Vaksin dari sel utuh S. agalactiae tipe non-hemolitik memiliki RPS 63% saat diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae tipe non-hemolitik dan 63% saat diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik. Artinya vaksin sel utuh dari non-hemolitik memberikan proteksi yang sama baik saat ikan terinfeksi dengan S. agalactiae yang bertipe sama dan bertipe tidak sama dengan vaksin yang diberikan.

Gambaran darah

Keberhasilan vaksinasi dapat dilihat dari nilai RPS yang dihasilkan. Namun untuk menjawab mengapa terjadi keberhasilan maupun kegagalan dari vaksinasi dapat dilihat dari beberapa parameter pendukung seperti total leukosit, aktivitas fagositik dan titer antibodi.

Perubahan pada parameter pendukung efikasi vaksinasi menggunakan vaksin non-hemolitik dijabarkan pada Tabel 5 dan grafik secara lengkap dijabarkan pada Lampiran 6.

Total leukosit

Total leukosit sebagai respon seluler pertahanan non spesifik juga mengalami peningkatan pasca vaksinasi dengan bakteri tipe non-hemolitik. Respon kekebalan spesifik tergantung kontak inang dengan antigen tertentu sebelumnya. Fungsi sistem kekebalan non spesifik juga terlibat dalam sistem kekebalan spesifik.

Peningkatan total leukosit terjadi pada hari ke-0 setelah uji tantang. Pada perlakuan G (1,16) dan H (1,32) mengalami kecenderungan meningkat, sedangkan perlakuan F (0,95) tidak ada peningkatan. Hal ini diduga saat ada infeksi, total leukosit mengalami peningkatan untuk memfagosit bakteri. Setelah tujuh hari infeksi, peningkatan total leukosit perlakuan G (1,81) dan H (1,52) hampir dua kali lipat dari perlakuan F (kontrol +) yang peningkatannya sangat kecil. Pada hari ke-14 pasca uji tantang, total leukosit ikan yang mendapat

28

perlakuan vaksin mengalami penurunan. Hal ini didukung oleh Martin et al. (2004) bahwa ikan yang tidak terinfeksi lagi bakteri maka total leukosit kembali seperti semula. Lain halnya dengan perlakuan F yang tidak divaksinasi, tidak terdapat peningkatan total leukosit ikan yang terinfeksi bakteri sehingga 90% ikan mati karena tidak mampu menghalangi berkembangnya S. agalactiae dalam tubuhnya.

Aktivitas fagositik

Aktivitas sel fagositik pada kekebalan non spesifik jika antigen masuk ke dalam tubuh ikan yaitu mempertahankan diri dengan menghancurkan antigen melalui proses fagositosis yang dilakukan oleh sel-sel fagositik monosit dan neutrofil.

Setelah vaksinasi, aktivitas fagositik mengalami peningkatan pada hari ke-0 setelah uji tantang. Aktivitas fagositik mengalami peningkatan pada perlakuan G dan H masing-masing 18 sedangkan perlakuan F hanya 13. Proses ini membantu tubuh untuk menghancurkan bakteri penyebab infeksi. Peningkatan aktivitas fagositik terjadi karena vaksin sel utuh S. agalactiae tipe non hemolitik yang diberikan ternyata mampu meningkatkan komponen respon non spesifik.

Monosit adalah prekursor dari makrofag yang berasal dari jaringan limfoid ikan, meninggalkan sirkulasi dan memulai tugas fagosit di jaringan dengan mengubah menjadi makrofag dan tersebar di jaringan tubuh untuk menghadang invasi patogen. Ketika limfosit bertemu dengan antigen secara alamiah atau diberikan sebelumnya (vaksinasi) mereka akan mengalami perubahan. Sel B (Bursa) dirangsang untuk berdeferensiasi menjadi penghasil antibodi sedangkan sel T (Thymus) berdiferensiasi menjadi limfoblast, membelah, dan melepaskan limfokin dalam membawa cell mediated immune respone. Saat aktivasi, makrofag memiliki kapasitas fagositik lebih kuat dibandingkan neutrofil (granulosit), meskipun granulosit berjumlah lebih besar. Proses fagosit terjadi apabila berada dalam jarak dekat dengan antigen atau antigen harus melekat pada permukaan sel fagosit, sehingga fagosit bergerak menuju sasaran. Mekanisme tersebut terjadi karena dilepaskannya zat/mediator tertentu yang disebut faktor leukotaktik/kemotaktik dari antigen/komplemen. Hal ini disebabkan karena antigen terlebih dahulu dilapisi oleh Ig atau komplemen (opsonisasi), agar lebih

mudah ditangkap oleh sel fagosit. Patogen masuk ke dalam sel dengan cara endositosis dan oleh proses pembentukan fagosom, patogen terperangkap dalam kantong fagosom seolah-olah ditelan untuk dihancurkan, baik dalam proses oksidasi-reduksi maupun oleh derajat keasaman yang ada dalam fagosit (Anderson, 1974).

Proses fagositosis diawali oleh fase pergerakan (kemotaktik), perlekatan (adhesi/attachment), penelanan (ingestion), degranulasi & pembunuhan (killing). Inisiasi pergerakan karena dilepaskannya zat mediator tertentu yaitu faktor leukotaktik/kemotaktik dari antigen/neutrofil makrofag yang sebelumnya telah berada di lokasi antigen. Proses penempelan hingga penghancuran dilakukan oleh sel-sel fagosit seperti monosit dan neutrofil.

Titer antibodi

Berdasarkan pengamatan titer antibodi didapatkan hasil seperti tercantum dalam Tabel 5 dan Lampiran 6. Pengamatan perlakuan titer antibodi dilakukan pada hari ke- 0, 7 dan ke-14 setelah uji tantang. Pada hari ke-0 sudah terlihat adanya peningkatan titer antibodi ikan pada perlakuan G (4) dan H (5). Titer antibodi tertinggi dicapai ikan pada hari ke-7 pasca uji tantang yaitu perlakuan G dan H masing-masing 5. Sedangkan pada perlakuan F (kontrol +) tidak terdeteksi (0), dan pada hari ke-14 setelah uji tantang, titer antibodi mulai menurun. Hasil titer antibodi terlihat bahwa ikan mampu memproduksi antibodi saat diuji aglutinasi dengan bakteri tipe β-hemolitik dan non hemolitik sejak hari ke-0 pasca uji tantang. Perlakuan G yang divaksinasi dengan vaksin sel utuh S. agalactiae tipe non-hemolitik dan diuji tantang dengan bakteri non hemolitik memperoleh nilai lima, sama dengan perlakuan H yang divaksinasi dengan vaksin sel utuh S. agalactiae tipe non-hemolitik dan diuji tantang dengan bakteri β-hemolitik juga memperoleh nilai angka lima. Berbeda dengan perlakuan E dan F (kontrol - dan +) dimana titer antibodinya tidak terdeteksi mulai hari ke-0 sampai dengan hari ke-14. Hal ini menunjukkan bahwa berbagai jenis vaksin yang diberikan mampu membantu tubuh untuk mengeliminasi patogen yang menginfeksi meskipun bakteri yang menginfeksi berbeda tipe dengan jenis bakteri yang dijadikan vaksin.

30

Menurut Subowo (1993) protein merupakan makromolekul yang imunogen yang dapat merangsang limfosit untuk menghasilkan antibodi. Protein dengan berat molekul lebih besar dari 10 kDa biasanya imunogenik. Walaupun demikian, Almendras (2001) menyatakan bahwa hanya daerah-daerah permukaan tertentu dari molekul itu (epitop) yang menentukan spesifisitas reaksi antigen antibodi dan juga sebagai - penentu timbulnya respon imun. Di samping itu, protein dengan berat molekul yang besar diduga mempunyai jumlah epitop yang banyak. Ikan yang divaksin tetap mampu memproduksi antibodi saat diuji aglutinasi dengan bakteri tipe non-hemolitik dan β-hemolitik pada hari ke-24 pasca vaksinasi. Pada akhir pengamatan masih ditemukan adanya antibodi yang terbentuk pada perlakuan yang divaksinasi, ini menunjukkan bahwa berbagai jenis vaksin yang diberikan mampu membantu tubuh untuk mengeliminasi patogen yang menginfeksi meskipun bakteri yang menginfeksi berbeda tipe dengan jenis bakteri yang dijadikan vaksin.

Tabel 5 Total leukosit, aktivitas fagositik, dan titer antibodi setelah vaksinasi dengan vaksin non-hemolitik pada hari ke-0, 7 dan 14 pasca uji tantang

Perlakuan Uji Tantang

Hari ke- Pasca uji tantang Total Leukosit (105sel/mm3) Aktivitas fagosit (%) Titer antibodi (-log2) E. Kontrol (-) - 0 1,06 8 0 F.Kontrol (+) Non-hemolitik 0,95 13 0 G.Vaksin non hemolitik Non-hemolitik 1,16 18 4 H.Vaksin non hemolitik β-hemolitik 1,32 18 5

E.Kontrol (-) - 7 0,94 9 0

F.Kontrol (+) Non-hemolitik 0,98 16 0 G.Vaksin non hemolitik Non-hemolitik 1,81 20 5 HVaksin non hemolitik β-hemolitik 1,52 24 5

E.Kontrol (-) - 14 1,01 8 0

F.Kontrol (+) Non-hemolitik 0,82 14 0 G.Vaksin non hemolitik Non-hemolitik 1,07 21 2 H.Vaksin non hemolitik β-hemolitik 1,16 20 3

Penelitian Bagian Ketiga (Vaksin bivalen/gabungan)

Berdasarkan hasil pengamatan beberapa parameter imunitas ikan diketahui bahwa vaksinasi dengan menggunakan vaksin bivalen yaitu gabungan sel utuh β-hemolitik dan non-hemolitik memberikan proteksi yang sangat baik

terhadap infeksi S. agalactiae. Hal tersebut disebabkan karena dinding sel S. agalactiae tipe β-hemolitik lebih banyak tersusun atas protein dan S. agalactiae

tipe non-hemolitik lebih banyak tersusun atas karbohidrat, sehingga perpaduan kedua tipe vaksin dari bakteri tipe β-hemolitik dan non-hemolitik tersebut dapat meningkatkan imunitas ikan secara baik dibandingkan yang diberikan secara terpisah dan tunggal.

Mortalitas

Pada Gambar 3 dan Tabel 6 terlihat bahwa mortalitas tertinggi pada ikan kontrol positif (perlakuan L) yang tidak divaksinasi tetapi diuji tantang dengan S. agalactiae tipe bivalen (gabungan β-hemolitik dan non-hemolitik) yaitu 95%. Sedangkan perlakuan yang paling rendah mortalitasnya adalah perlakuan M (15%) yang disusul perlakuan N (25%) dan P (30%) yang divaksinasi dengan vaksin bivalen dan masing-masing diuji tantang berturut-turut dengan bakteri bivalen, bakteri β-hemolitik dan bakteri non-hemolitik. Hal ini sesuai dengan pendapat Hardi (2011) bahwa bakteri tipe non-hemolitik lebih virulen

Dokumen terkait