• Tidak ada hasil yang ditemukan

Obesitas Pekerja Garmen Wanita

Kisaran umur subjek yaitu antara 29 hingga 46 tahun dengan rata-rata umur 38+4.8 tahun. Sebanyak 65.6% subjek berumur <40 tahun dan 34.4% subjek berumur >40 tahun. Menurut UU RI No. 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa syarat umur pekerja dewasa adalah di atas 18 tahun sehingga subjek termasuk dalam kategori pekerja dewasa sesuai dengan UU RI No. 13 tahun 2003 (Kemenakertrans RI 2013). Selain itu, dapat diketahui bahwa PT Citra Abadi Sejati tidak mempekerjakan buruh dengan kategori di bawah umur.

Pengukuran sederhana yang dapat digunakan untuk mendeteksi obesitas sentral yaitu rasio lingkar pinggang pinggul (waist to hip ratio) dan lingkar pinggang (waist of circumference). Pengukuran lingkar pinggang merupakan suatu parameter yang menyediakan perkiraan ukuran lemak tubuh yang mengumpul di perut. Pengukuran lingkar pinggang menyediakan pengukuran distribusi lemak yang tidak dapat menggunakan pengukuran IMT (Klein et al. 2007). IMT tidak dapat membedakan antara berat yang berhubungan dengan otot dan lemak (WHO 2000). Lingkar pinggang lebih akurat untuk mencerminkan obesitas sentral (Sonmez et al. 2003). Lingkar pinggang dapat digunakan sebagai indikator pelengkap untuk mendeteksi risiko kesehatan pada berat normal dan kelebihan berat (Wannamethee et al. 2005). Diagnosis menggunakan IMT lebih lemah jika dibandingkan dengan lingkar pinggang dan WHR. Lingkar pinggang merupakan pengukuran yang lebih mudah daripada WHR (Sonmez et al. 2003).

Tabel 5 Distribusi subjek berdasarkan status gizi

Cut Off Kategori Jumlah (n) Presentase (%)

IMT (kg/m2) <18.5 Underweight 0 0.0 18.5 – 22.9 Normal 0 0.0 23.0 – 24.9 Overweight 0 0.0 25.0 – 29.9 Obese I 13 40.6 ≥30.0 Obese II 19 59.4 Total 32 100.0 Lingkar Pinggang (cm) <80 Normal 3 9.4 >80 Obese 29 90.6 Total 32 100.0 RLPP <0.85 Normal 9 28.1 >0.85 Obese 23 71.9 Total 32 100.0

Kejadian obesitas pada subjek dihitung menggunakan parameter IMT, lingkar pinggang dan Rasio Lingkar Pinggang Pinggul (RLPP). Hasil penilaian status gizi menggunakan parameter Indeks Massa Tubuh (IMT) ditemukan sebesar 59.4% mengalami obese II. Kisaran IMT subjek adalah 25.91-42.98 kg/m2 yang artinya proporsi terbesar sebaran subjek berdasarkan IMT berada pada

15 kategori obese II. Ukuran lingkar pinggang subjek berkisar antara 74.0-110.6 cm dengan rata-rata 93.4+9.3 cm. Berdasarkan RLPP, lebih dari setengah subjek (71.9%) termasuk ke dalam kategori obese dan sebagian kecil termasuk kategori normal dengan kisaran rata-rata RLPP sebesar 0.88+0.07 cm. Jumlah subjek yang mengalami obesitas abdominal (lingkar pinggang >80 cm) yaitu sebesar 90.6%. Hal yang sama dijelaskan dalam penelitian Purba (2005) bahwa rata-rata wanita dewasa cenderung rentan untuk mengalami obesitas abdominal. Selain itu, menurut penelitian Kantachuvessiri et al. (2005) pada karyawan di sebuah perusahaan Thailand menunjukkan bahwa wanita usia dewasa cenderung mengalami kenaikan berat badan. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor beberapa diantaranya frekuensi konsumsi pangan yang sering dan aktivitas yang kurang. Aekplakorn et al. (2007) menemukan bahwa prevalensi obesitas meningkat sampai dengan umur 44 tahun dan menurun kembali pada umur 45-54 tahun. Seiring dengan bertambahnya umur, prevalensi obesitas mengalami peningkatan (Martins & Marinho 2003; Erem et al. 2004). Peningkatan umur akan meningkatkan kandungan lemak tubuh total, terutama distribusi lemak pusat (Chang et al. 2000; Demerath et al. 2007).

Arambepola (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa obesitas abdominal 33% lebih banyak pada kelompok orang yang memiliki pekerjaan cenderung pasif (profesional, tata usaha, dan buruh pabrik) dan hanya 6% pada mereka yang memiliki pekerjaan aktif yang tinggi (petani, nelayan dan tukang kayu). Menurut Westertrep (2000), orang obes berada pada kategori jenis aktivitas fisik ringan yang tidak banyak melakukan aktivitas fisik, tidak banyak berjalan kaki jarak jauh, menggunakan kendaraan sebagai alat transportasi, dan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan dalam posisi diam atau duduk (sedenter), misalnya staf pekerja kantor atau penjahit (pekerja garmen) sehingga tidak banyak kalori yang terbakar.

Hasil uji Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara IMT dengan RLPP (p= 0.023; r= 0.402), lingkar pinggang (p= 0.000; r= 0.766), dan lingkar pinggul (p= 0.000; r= 0.802) yang mengacu pada Lampiran 1, 2 dan 3. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai IMT seseorang maka semakin besar juga lingkar pinggang, lingkar pinggul, dan nilai RLPP. Hal ini sesuai dengan kriteria yang ditetapkan International Diabetes Federation (IDF) 2006 dimana seseorang dengan nilai IMT melebihi 30 kg/m2 maka orang tersebut tidak perlu dilakukan pengukuran lingkar pinggang karena diasumsikan mengalami obesitas sentral. Selain itu, subjek termasuk wanita dewasa dan sebagian besar sudah melahirkan. Paritas merupakan kontributor yang penting dalam perubahan komposisi tubuh dan bentuk tubuh pada wanita. Kehamilan dihubungkan dengan bertambahnya lemak abdominal dan viseral pada saat setelah melahirkan nanti (WHO 2008). Analisis data dari NHANES III yang meneliti 16235 wanita yang telah melahirkan menunjukkan berkurangnya lemak tubuh yang sedikit dan peningkatan lingkar pinggang sesudah melahirkan (Lassek dan Gaulin 2006). Penelitian ini juga didukung dengan penelitian Gunderson et al. (2004) yang meneliti wanita berumur 18-30 tahun dimana peningkatan lingkar pinggang berhubungan dengan melahirkan (postpartum). Penelitian lain juga menyebutkan bahwa prevalensi obesitas memiliki hubungan linear dengan parity (jumlah melahirkan) pada wanita. Selain itu, derajat obesitas dan IMT semakin meningkat seiring dengan parity (Erem et al. 2004).

16

Pengetahuan Gizi

Pengetahuan gizi merupakan suatu pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi yang baik dapat berpengaruh terhadap pemilihan pangan untuk dikonsumsi. Pengetahuan gizi juga dapat memberikan informasi untuk memilih pangan yang baik untuk kesehatan. Individu yang berpengetahuan baik akan mempunyai kemampuan untuk menerapkan pengetahuan gizinya di dalam pemilihan pangan (Suhardjo 2003). Oleh karena itu, salah satu strategi untuk mengubah kebiasaan konsumsi pangan dalam upaya memperbaiki kualitas gizi dan kesehatan masyarakat yaitu dengan meningkatkan pengetahuan gizi (Frazao & Allshouse 2003).

Tingkat pengetahuan gizi subjek diukur berdasarkan atas jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan obesitas serta perilaku dalam pemilihan pangan dan gizi. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada subjek terdiri atas 7 pertanyaan terbuka, meliputi tanda-tanda obesitas, penyakit yang disebabkan oleh obesitas, dampak obesitas, faktor penyebab obesitas, upaya pencegahan obesitas dan penatalaksanaan diet untuk mencegah obesitas. Tabel 6 menunjukkan jawaban yang sebenarnya (kunci jawaban) dari pertanyaan yang diajukan pada subjek seputar pengetahuan gizi terkait obesitas.

Tabel 6 Jawaban seputar pengetahuan gizi terkait obesitas

No. Jawaban Pengetahuan Gizi

1. Tanda-tanda seseorang mengalami obesitas adalah kelebihan BB akibat penimbunan lemak dan lingkar pinggang melebihi normal.

2. Faktor yang menyebabkan obesitas adalah gaya hidup kurang sehat, faktor genetik/ keturunan, faktor psikis/emosional, faktor demografi (jenis kelamin, sosio-ekonomi, usia, pendidikan/tingkat pengetahuan), status gizi, pola makan/diet yang kurang sehat (makanan tinggi lemak dan manis)/rendah serat. 3. Penyakit yang ditimbulkan akibat obesitas adalah penyakit degeneratif (diabetes,

penyakit jantung, hipertensi), kolesterol/dislipidemia.

4. Dampak yang ditimbulkan akibat obesitas selain dampak terhadap kesehatan adalah menurunya produktivitas kerja (malas, susah gerak, sulit berpikir, dll) dan kurangnya rasa percaya diri.

5. Pangan yang perlu dikonsumsi untuk menghindari obesitas adalah semua jenis buah dan sayur (makanan sumber serat), misal: mangga, apel, jeruk, bayam, kangkung, dan sebagainya.

6. Pangan yang perlu dihindari/dibatasi untuk menghindari obesitas adalah makanan sumber lemak, misal: daging, gajih, margarine, gorengan, fast-food (fried chiken, sosis goreng), makanan sumber karbohidrat dan gula (makanan manis), misal:

soft-drink, cokelat, cake, kue manis, dan sebagainya.

7. Upaya yang perlu dilakukan selain mengatur pola makan untuk menghindari obesitas adalah rajin berolahraga dan meningkatkan aktivitas fisik.

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada subjek kemudian diberi skor antara 0 hingga 2 yang nantinya akan dikelompokkan menjadi kategori rendah, sedang dan tinggi. Skor bernilai 0 jika subjek tidak tahu atau jawaban yang diberikan selain dari kriteria jawaban yang telah ditentukan (kunci jawaban), skor bernilai 1 jika subjek menjawab tidak lengkap berdasarkan kunci jawaban, dan skor bernilai 2 jika subjek menjawab dengan lengkap sesuai kriteria yang

17 telah ditentukan. Berikut ini distribusi subjek berdasarkan jawaban terhadap pertanyaan seputar obesitas (Tabel 7).

Tabel 7 Distribusi subjek berdasarkan jawaban terhadap pertanyaan pengetahuan gizi seputar obesitas

Pertanyaan

Tahu

Tidak

tahu Mayoritas jawaban Tidak

Lengkap

Lengkap

% % %

1. Tanda-tanda obesitas ? 56.3 18.8 25.0 Perut besar, pipi

chubby, tubuh berlemak 2. Sebutkan 4 faktor penyebab

obesitas !

100.0 0.0 0.0 Banyak makan,

ngemil 3. Sebutkan 2 penyakit akibat

obesitas !

37.5 43.8 18.8 Jantung, DM,

kolesterol

4. Sebutkan 2 dampak obesitas ! 75.0 9.4 15.6 Malas, cepat lelah

5. Sebutkan 2 pangan yang perlu dikonsumsi!

18.8 71.9 9.4 Buah dan sayur

6. Sebutkan 2 pangan yang perlu dihindari/dibatasi !

71.9 28.1 0.0 Daging, cokelat

7. Upaya pencegahan obesitas ? 0.0 100.0 0.0 Olahraga

Tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar subjek (56.3%) menjawab pertanyaan mengenai tanda-tanda obesitas dengan jawaban yang tidak lengkap dan tidak tahu (25.0%). Mayoritas jawaban subjek atas pertanyaan tersebut yaitu perut besar, pipi tembam (chubby), dan tubuh berlemak. Menurut Sonmez et al. (2003) bahwa obesitas merupakan suatu kondisi seseorang dengan berat badan berlebih yang terjadi akibat akumulasi lemak dalam tubuh. Berat badan, Indeks Massa Tubuh (IMT), lingkar perut dan Rasio Lingkar Pinggang Panggul (RLPP) merupakan metode primer untuk menentukan obesitas. IMT berkaitan dengan obesitas umum, lingkar perut dan RLPP berkaitan dengan obesitas sentral, dimana lemak tubuh memusat di bagian perut. Hal serupa dinyatakan bahwa obesitas merupakan kondisi terakumulasinya lemak tubuh sehingga menimbulkan kelebihan berat badan pada seseorang yang ditandai dengan pengukuran IMT yang tergolong obese dan ukuran lingkar perut yang melebihi normal (Rexrode 1998; Reader et al. 1992; Lean et al. 1998).

Sebagian besar subjek menjawab pertanyaan mengenai penyebab obesitas dengan jawaban yang tidak lengkap (100.0%) dan mayoritas subjek menjawab banyak makan dan ngemil (snacking). Faktor yang menyebabkan obesitas adalah gaya hidup kurang sehat, faktor genetik/keturunan, faktor psikis/emosional, faktor demografi (jenis kelamin, sosio-ekonomi, usia, pendidikan/tingkat pengetahuan), status gizi, pola makan/diet yang kurang sehat (makanan tinggi lemak dan manis)/rendah serat (Erem et al. 2004; He et al. 2004; Fine et al. 1999; Pei et al. 2015). Pertanyaan ini belum dapat dijawab secara tepat (lengkap) oleh subjek diduga karena sebagian besar subjek sudah lupa dan terdapat beberapa subjek yang belum paham mengenai hal tersebut akibat rendahnya tingkat pendidikan. Dalam penelitian ini, dilaporkan sebanyak 11 subjek memiliki tingkat pendidikan yang tergolong rendah (<12 tahun atau tidak tamat SMA). Pendidikan

18

berhubungan dengan kepercayaan dan tingkat pengetahuan (Yoon et al. 2006). Oleh karena itu, pendidikan yang rendah dapat meningkatkan risiko obesitas sentral (Wolff et al. 2006; Pei et al. 2015; Conklin et al. 2013). Dalam penelitian Conklin et al. (2013) menunjukkan bahwa wanita yang melaporkan tidak memiliki kualifikasi pendidikan terbukti lebih banyak yang memiliki status gizi obese sentral (OR: 1.59; 95% CI; RR: 1.27-1.99) dan obesitas umum (OR: 1.38; 95% CI; RR: 1.14-1.67). Disamping itu, pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan dan keahlian berpikir seseorang. Akan tetapi, menurut Wolff et al. (2006), pada perempuan, prevalensi obesitas meningkat pada semua tingkatan pendidikan, khususnya pada pendidikan rendah.

Pertanyaan mengenai penyakit yang ditimbulkan akibat obesitas berhasil dijawab dengan lengkap oleh subjek (43.8%) dan mayoritas subjek menjawab penyakit jantung, Diabetes Mellitus dan kolesterol. Beberapa penyakit yang ditimbulkan akibat obesitas yaitu Diabetes Mellitus, penyakit jantung, hipertensi, kolesterol, dislipidemia (Koh-Banerjee et al. 2003; Erem et al. 2004). Sebagian besar subjek (75.0%) menjawab pertanyaan mengenai dampak obesitas dengan jawaban yang tidak lengkap dan mayoritas subjek menjawab malas dan cepat lelah. Dampak yang ditimbulkan akibat obesitas selain dampak terhadap kesehatan adalah menurunya produktivitas kerja dan kurangnya rasa percaya diri pada orang obese tersebut (Fine et al. 1999; Caterson & Gill 2002). Pertanyaan mengenai jenis pangan yang perlu dikonsumsi untuk terhindar dari obesitas berhasil dijawab dengan lengkap oleh subjek (71.9%) dan mayoritas subjek menjawab buah dan sayur. Buah dan sayur merupakan kelompok pangan berserat yang mampu menurunkan risiko obesitas. Pada penelitian He et al. (2004) menunjukkan bahwa wanita yang meningkatkan konsumsi buah (median= +1.86 porsi/hari) memiliki 25% risiko lebih rendah untuk menjadi obese (OR: 0.75; 95% CI; RR: 0.69-0.81; p<0.0001) dan wanita yang meningkatkan konsumsi sayur (median= +2.80 porsi/hari) secara signifikan memiliki risiko lebih rendah untuk menjadi obese (OR: 0.84; 95% CI; RR: 0.75-0.93; p= 0.0002). Pertanyaan mengenai pangan yang perlu dibatasi untuk dikonsumsi dalam mencegah obesitas dijawab dengan tidak lengkap oleh sebagian besar subjek (71.9%) dan mayoritas jawaban yang diberikan subjek yaitu daging dan cokelat. Pangan yang perlu dihindari/dibatasi untuk menghindari obesitas adalah makanan sumber lemak, misalnya daging, gajih, margarine, gorengan, fast-food, makanan sumber karbohidrat dan gula (makanan manis) (Astrup et al. 2002; Guallar-Castillon et al. 2007). Pertanyaan mengenai upaya pencegahan obesitas 100% berhasil dijawab dengan tepat oleh seluruh subjek dengan jawaban yaitu olahraga. Upaya yang perlu dilakukan selain mengatur pola makan untuk menghindari obesitas adalah rajin berolahraga dan meningkatkan aktivitas fisik (He et al. 2004; Pomerleau et al. 2004).Pertanyaan ini dapat dijawab secara tepat (lengkap) oleh seluruh subjek karena hal tersebut sudah pernah dipelajari oleh subjek sewaktu duduk di bangku sekolah dan subjek sudah mengetahui dengan baik seputar obesitas melalui media sosial dan informasi, seperti televisi, internet, majalah dan lain sebagainya. Penelitian yang dilakukan pada 475 wanita usia dewasa ditemukan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan gizi dengan bacaan mengenai informasi seputar gizi. Pengetahuan gizi subjek terkait produk turunan berpengaruh terhadap pemilihan jenis susu yang akan dikonsumsi oleh subjek. Selain itu, juga dilaporkan bahwa subjek yang memiliki pengetahuan gizi menunjukkan perubahan kebiasaan makan

19 yang lebih baik. Secara keseluruhan dalam penelitian ini dijelaskan bahwa ketertarikan terhadap gizi akan memicu peningkatan pengetahuan gizi yang nantinya akan mempengaruhi kebiasaan makan subjek (Worsley 2002; Abood et al. 2004). Khomsan (2000) mengkategorikan tingkat pengetahuan gizi menjadi 3 bagian, yaitu kategori tingkat pengetahuan rendah (<60%), sedang (60-80%), dan tinggi (>80%). Berikut ini sebaran subjek berdasarkan tingkat pengetahuan gizi (Tabel 8).

Tabel 8 Distribusi subjek berdasarkan tingkat pengetahuan gizi

Tingkat Pengetahuan Gizi Jumlah (n) Persentase (%)

Rendah (< 60 %) 14 44

Sedang (60%-80%) 15 47

Tinggi (>80%) 3 9

Tabel 8 menunjukkan bahwa hampir separuh subjek memiliki tingkat pengetahuan gizi pada kategori sedang (47%). Hal ini diduga karena banyaknya sumber informasi yang diperoleh subjek tentang pengetahuan gizi seputar obsesitas yang berasal dari media komunikasi dan sosial, seperti internet, televisi, radio, majalah, poster dan lainnya. Beberapa subjek melaporkan pernah mendapatkan informasi seputar gizi melalui media leaflet ketika di rumah sakit, puskesmas dan saat ada penyuluhan di posyandu. Penelitian Dyer et al. (2004) terhadap 50 subjek menunjukkan terdapat pengaruh pemberian pendidikan gizi melalui media leaflet. Pengetahuan gizi subjek diukur baik sebelum maupun setelah dilakukan pemberian leaflet. Setelah subjek diberikan leaflet, tidak hanya pengetahuan gizi yang mengalami perubahan, tetapi juga terjadi peningkatan terhadap konsumsi buah dan sayur. Terdapat sebanyak 23% subjek melaporkan telah mengalami perubahan kebiasaan makan buah dan sayur yang lebih baik. Penelitian lainnya dilakukan oleh Meludu & Ajibade (2008) terhadap 156 subjek yang tinggal di Oyo State, Nigeria menunjukkan bahwa rendahnya akses informasi terkait gizi dapat menyebabkan defisiensi konsumsi pangan. Berdasarkan Tabel 8, tingkat pengetahuan subjek yang lainnya termasuk dalam kategori rendah (44%) dan kategori tinggi (9%). Masih banyaknya persentase tingkat pengetahuan subjek pada kategori rendah diduga karena terdapat beberapa subjek yang memiliki tingkat pendidikan yang termasuk dalam kategori rendah. Faktor pendidikan dapat menentukan mudah tidaknya seseorang dalam menyerap dan memahami pengetahuan gizi. Pendidikan yang tinggi akan meningkatkan pengetahuan kesehatan dan gizi yang selanjutnya akan menimbulkan sikap dan perilaku positif. Keadaan ini dapat mencegah timbulnya masalah gizi dan kesehatan yang tidak diinginkan. Selain itu, kurangnya akses informasi terhadap pengetahuan gizi dan kepekaan subjek terhadap informasi seputar pangan dan gizi diduga sebagai penyebab rendahnya tingkat pengetahuan gizi subjek. Penelitian lain yang dilakukan oleh Worsley (2002) menunjukkan bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang terkait gizi akan berpengaruh pada pemilihan makanan dan kebiasaan makan. Subjek dengan pengetahuan gizi yang lebih tinggi dilaporkan memiliki jumlah asupan lemak dan serat yang mendekati nilai harian yang direkomendasikan (AKG) dibandingkan dengan subjek dengan pengetahuan yang lebih rendah. Dalam penelitian Erem et al. (2003) disebutkan bahwa upaya serius terhadap peningkatan pengetahuan dan pendidikan gizi terkait obesitas

20

harus dilakukan untuk mencapai status gizi yang seimbang pada masyarakat dan meningkatkan aktivitas fisik.

Kebiasaan Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Tujuan mengonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi tertentu yang diperlukan oleh tubuh. Obesitas berhubungan dengan pola makan, terutama bila makan makanan yang mengandung tinggi kalori, tinggi garam, dan rendah serat. Secara umum tujuan survei konsumsi makanan dimaksudkan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga, perorangan serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut (Hardinsyah et al. 2002).

Kebiasaan adalah pola perilaku yang diperoleh dari pola yang terjadi berulang-ulang. Kebiasaan makan adalah suatu pola perilaku konsumsi pangan yang diperoleh karena terjadi berulang-ulang. Kebiasaan makan juga dikaitkan dengan cara-cara individu dan kelompok individu memilih, mengonsumsi, dan menggunakan makanan yang tersedia, yang didasarkan pada faktor-faktor psikologi, fisiologi, sosial, dan budaya dimana ia hidup (Suhardjo 2003). Kebiasaan konsumsi pangan sumber lemak dan serat subjek diperoleh melalui metode Semi Quantitative Food Frequency Questionaire untuk mengetahui kuantitas dan kualitas konsumsi pangan. Kebiasaan konsumsi pangan yang disajikan dalam tabel ditentukan berdasarkan frekuensi konsumsi jenis pangan per hari dan per minggu untuk melihat perbandingan di antara keduanya.

Konsumsi Pangan Sumber Lemak

Asupan lemak memiliki densitas energi lebih tinggi dibandingkan zat gizi makro lain. Satu gram lemak menyumbang 9 kkal. Efek stimulasi makanan berlemak pada asupan energi karena rasa enak di mulut ketika mengonsumsi makanan berlemak. Makanan berlemak mengatur sinyal yang mengontrol rasa kenyang dengan cara melemahkan, menunda, dan mencegah pada waktu seseorang mengonsumsi makanan berlemak (WHO 2000).

Konsumsi pangan sumber lemak subjek berkisar antara 118.3-814.2 g/hari, sedangkan rata-rata konsumsi pangan sumber lemak subjek sebesar 451.1±175.6 g/hari. Total asupan lemak dari kelompok pangan sumber lemak yaitu sebesar 119.8 g/hari dengan kontribusi lemak terbesar diperoleh dari kelompok pangan gorengan yaitu 90.6% berdasarkan angka kecukupan lemak sehari sebesar 60 g. Tabel 9 menunjukkan bahwa jenis kelompok pangan yang paling banyak dikonsumsi oleh subjek dengan frekuensi terbesar per minggu dari makanan sumber lemak yaitu gorengan dan kerupuk. Penelitian yang dilakukan oleh Guallar-Castillon et al. (2007) terhadap 33542 orang Spanyol berumur 29-69 tahun menunjukkan bahwa makanan gorengan (fried food) berhubungan positif dengan obesitas umum dan obesitas sentral karena dapat menghasilkan asupan energi yang tinggi. Oleh karena itu, pembatasan konsumsi gorengan dapat dilakukan untuk mencegah kelebihan berat badan.

21 Tabel 9 Rata-rata konsumsi pangan sumber lemak

Kelompok Pangan Frekuensi Jumlah

kali/minggu g/hari g/minggu

Ikan Ikan Tongkol 1.4+1.5 13.1+13.8 91.5+96.9 Ikan Sarden 0.9+0.6 11.0+6.9 76.7+48.1 Ikan Tuna 0.9+0.6 8.4+4.5 58.9+31.2 Ikan Kembung 0.9+0.7 24.1+22.5 168.7+157.3 Udang 1.0+0.8 3.0+2.1 20.7+14.4

Ikan Asin Teri 1.4+1.4 4.3+5.3 30.0+36.9

Ikan Asin Gabus 3.6+4.8 31.9+44.0 223.0+308.3

Ikan Asin Japu 0.9+0.5 1.6+1.6 10.9+11.5

Ikan Peda 1.1+1.3 5.9+8.7 41.3+61.0

Ikan Sepat 1.0 2.6 18.2

Ikan Patin 0.5 2.1 14.7

Ikan Gabus 0.3 2.0 14.0

Daging dan olahannya

Ayam 2.2+1.6 34.5+39.8 241.5+278.9 Daging Sapi 0.8+0.8 9.5+10.8 66.8+75.3 Daging Kambing 0.3+0.2 5.1+6.4 35.5+44.6 Bakso 1.1+0.9 18.9+24.5 132.4+171.3 Sosis 1.6+2.0 13.3+11.2 93.1+78.6 Nugget 1.7+2.2 10.2+17.2 71.6+120.7 Hamburger 0.3 4.9 34.3 Rolade 1.1+1.1 6.9+5.9 48.4+41.2 Corned Beef 0.4+0.3 3.9+3.7 27.0+26.2

Jeroan dan lainnya

Hati 1.3+1.5 4.7+5.6 32.6+39.0 Ampela 1.3+1.5 2.6+2.8 17.9+19.4 Usus 0.8+0.4 7.3+5.8 51.0+40.7 Kikil 1.0 2.3 16.1 Telur Telur Ayam 4.4+4.9 38.0+41.8 265.7+292.6 Telur Bebek 0.7+0.4 10.2+12.2 71.5+85.5 Telur Puyuh 1.3+2.1 6.4+9.2 45.0+64.7 Telur Asin 2.9+5.4 22.9+42.8 160.4+299.3

Susu dan olahannya

Susu sapi 6.3+4.3 49.5+63.6 346.3+445.2

Susu Kemasan 4.3+2.6 105.1+87.5 576.0+212.4

Keju 0.6+0.4 1.9+1.3 13.1+8.9

22

Tabel 9 Rata-rata konsumsi pangan sumber lemak (lanjutan)

Kelompok Pangan Frekuensi Jumlah

kali/minggu g/hari g/minggu

Tabel 9 menunjukkan bahwa konsumsi pangan sumber lemak yang biasa dikonsumsi subjek pada kelompok ikan memiliki rata-rata jumlah konsumsi paling banyak yaitu ikan asin gabus dengan frekuensi 3.6+4.8 kali/minggu sebanyak 223.0+308.3 g, sedangkan konsumsi ikan tongkol dan ikan asin teri masing-masing 1.4+1.5 kali/minggu sebanyak 91.5+96.9 g dan 1.4+1.4 kali/minggu sebanyak 30.0+36.9 g. Kelompok pangan daging dan olahannya memiliki rata-rata jumlah konsumsi paling banyak yaitu pada daging ayam dengan frekuensi 2.2+1.6 kali/minggu sebanyak 241.5+278.9 gram, sedangkan nugget dan sosis masing-masing 1.7+2.2 kali/minggu sebanyak 71.6+120.7 gram dan 1.6+2.0 kali/minggu sebanyak 93.1+78.6 gram. Menurut WHO (2000), perkembangan food industry yang salah satunya berkembangnya makanan cepat saji, yaitu makanan yang tinggi lemak tetapi rendah karbohidrat kompleks merupakan salah satu faktor risiko obesitas. Banyaknya jenis fast food yang dikonsumsi merupakan faktor risiko terjadinya obesitas (OR=11.0). lni berarti mengonsumsi fast food akan berisiko 11 kali mengalami obesitas jika dibandingkan dengan mereka yang tidak mengonsumsinya. Khomsan (2005) meyatakan bahwa pada hakekatnya fast food (makanan siap saji) tidak sama dengan junk food (makanan sampah yang hanya padat kalori). Bahan penyusun Kue Manis Donat Cokelat 2.2+2.3 37.2+80.3 260.7+562.3 Martabak Manis 0.4+0.3 2.6+3.8 18.3+26.7 Bolu 1.9+2.1 15.0+17.8 104.8+124.3 Bolu Pisang 0.3 1.5 10.8 Bolu Karamel 0.3 1.5 10.3 Gorengan Bakwan 4.8+2.5 69.3+52.0 485.4+364.1 Pisang Goreng 3.5+2.5 42.0+40.2 294.0+281.2 Tahu Goreng 4.0+3.2 19.5+20.4 136.3+142.8 Singkong Goreng 3.0+2.8 27.8+29.6 194.3+207.3 Tempe Goreng 4.5+3.6 49.4+49.1 345.9+343.4 Risoles 4.0+4.2 42.3+53.3 296.0+373.4 Kroket 7.0 78.0 546.0 Combro 5.3+2.9 68.7+76.9 481.0+538.0 Cireng 2.0 7.4 52.0 Lainnya Mentega 1.1+1.4 2.5+4.0 17.5+28.3 Margarin 1.0+0.9 1.5+1.4 10.6+9.8 Santan 1.3+0.9 27.1+47.0 189.6+329.0 Selai 0.8+0.8 3.6+7.1 25.0+49.6 Meses 1.8+2.0 5.9+12.1 41.1+84.7 Kerupuk 8.4+10.0 55.7+88.2 389.9+617.7 Emping 7.0 10.0 70.0

23 fast food termasuk golongan pangan bergizi. Hal yang paling penting adalah pengaturan frekuensi makannya agar tidak mengonsumsinya secara berlebihan. Menurut Riskesdas 2013, perilaku mengonsumsi makanan asin dan cepat saji merupakan perilaku konsumsi makanan berisiko penyakit degeneratif (Kemenkes RI 2013). Mengonsumsi makanan cepat saji dan jajanan saat ini sudah menjadi kebiasaan terutama oleh masyarakat perkotaan. Sebagian besar makanan cepat saji adalah makanan yang tinggi gula, garam dan lemak yang tidak baik bagi kesehatan. Oleh karena itu mengonsumsi makanan cepat saji dan makanan jajanan harus dibatasi. Penelitian menurut Newby (2003) menunjukkan bahwa penurunan konsumsi pangan turunan lemak, daging olahan, fast food, dan soda berhubungan dengan penurunan nilai IMT dan lingkar perut.

Kelompok pangan jeroan memiliki rata-rata jumlah konsumsi paling banyak yaitu pada olahan hati dan ampela masing-masing sebanyak 32.6+39.0 g dan 17.9+19.4 g dengan frekuensi 1.3+1.5 kali/minggu. Berdasarkan Riskesdas 2007,

penduduk yang “sering” makan makanan berlemak dan jeroan dianggap sebagai

berperilaku konsumsi makanan berisiko. Perilaku konsumsi makanan berisiko

dikelompokkan “sering” apabila penduduk mengonsumsi makanan tersebut satu

Dokumen terkait