• Tidak ada hasil yang ditemukan

Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK)

Konsumsi bahan kering merupakan gambaran banyaknya bahan pakan yang masuk kedalam tubuh, namun untuk mengetahui sejauh mana zat-zat makanan tersebut diserap oleh tubuh ternak maka perlu untuk mengetahui tingkat kecernaannya (Tillmanet al., 1998).Koefisien cerna bahan kering tongkol jagung berdasarkan hasil analisa in vitro dapat dilihat pada Gambar 2.

Keterangan :R0: Tongkol Jagung tanpa Fermentasi

R1: Tongkol Jagung dengan Penambahan Aspergillus niger dan Saccharomyces cerevisiae

R2: R1 + Isolat rumen kerbau R3: R1 + Isolat rumen domba adaptif

Rataan persentase koefisien cerna bahan kering pada Gambar 2 yang tertinggi terdapat pada perlakuan R3 yaitu tongkol jagung dengan penambahan

Aspergillus niger dan Saccharomyces cerevisiae ditambah Isolat bakteri rumen domba adaptif sebesar 67,79% sedangkan persentase koefisein cerna bahan kering terendah terdapat pada perlakuan R0 yaitu tongkol jagung tanpa perlakuan sebesar 40,22%. Nilai rataan KCBK pada domba lokal adalah 57,34%. Nilai rataan

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 R0 R1 R2 R3 40.23C± 6.73 52.70B± 6.32 64.10A± 6.28 67.79 A± 6.01

Gambar 2. Pengaruh Penggunaan Mikroba Lokal terhadap Koefisien Cerna Bahan Kering Tongkol Jagung

K o e fis ie n C ern a B ah an K eri n g ( %)

KCBK pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Elita (2006).

Hasil analisis menunjukan bahwa fermentasi dengan mikroba lokal dan berbagai isolat rumen yang berbeda memberikan pengaruh nyata (P < 0.05) terhadap tingkat kecernaan bahan kering, hal ini disebabkan oleh proses fermentasi bahan pakan oleh mikroorganisme menyebabakan perubahan-perubahan seperti memperbaiki mutu bahan pakan serta dapat meningkatkan daya cernanya. Produk fermentasi biasanya mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi karena adanya enzim yang dihasilkan dari mikroba tersebut

(Winarno dan Fariz, 1980).

Perbedaan pada setiap perlakuan akan dilanjutkan dengan uji Duncan dimana hasil dari uji Duncan menunjukan bahwa rata-rata KCBK perlakuan R3 nyata lebih tinggi dibanding R1 dan R0, tetapi tidak berbeda nyata dengan R2. KCBK perlakuan R2 lebih tinggi dibanding dengan R1 dan R0 serta tidak berbeda nyata dengan perlakuan R3. KCBK perlakuan R1 nyata lebih tinggi dari R0 dan lebih rendah dari R2 dan R3.

Nilai KCBK perlakuan R0 lebih rendah dibandingkan perlakuan R1. Nilai kecernaan pada perlakuan R1 (Fermentasi dengan Aspergillus niger dan

Saccharomyces cerevisiae) sudah dapat meningkatkan kecernaan. Dimana

Aspergillus niger berperan dalam menghasilkan enzim selulase, dimana enzim ini berfungsi untuk mengubah selulosa menjadi glukosa sehingga dapat meningkan daya cerna dari suatu bahan pakan (Klich, 2002). Begitu juga dengan penggunaan

Saccharomyces cerevisiaeyang dinyatakan oleh Plata et al., (1994) yang menyatakan bahwa penambahan Saccharomyces cerevisiaedapat meningkatkan

populasi protozoa dan bakteri selulotik. Selulosa merupakan sumber energi yang sangat potensial bagi ruminansia. Ruminansia memiliki kemampuan mencerna selulosa menjadi sumber energi melalui proses fermentasi oleh mikroba selulotik yang terdapat dalam rumen.

Winarno (1995) menyatakan bahwa Saccharomyces cerevisiaemerupakan mikroba proteolitik yang mampu memecah protein dan komponen-komponen nitrogen lainnya menjadi asam amino. Menurut Ahmad (2005) keutungan penggunaan Saccharomyces cerevisiaepada pakan ternak dapat menambah jumlah mikroba yang menguntungkan dan berperan sebagai bahan imunostimulan. Imunostimulan berfungsi untuk meningkatkan sistem pertahanan terhadap penyakit-penyakit yang disebabkan bakteri, cendawan dan virus yang dapat mengganggu proses pencernaan dan penyerapan nutrisi pakan sehingga mampu meningkatkan kecernaan nutrien, harapan tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang artinya suplementasi Saccharomyces cerevisiaepada pakan dapat meningkatkan kecernaan bahan kering pakan.

Nilai kecernaan bahan kering pada perlakuan R2 tidak berbeda nyata dengan perlakuan R3. Kecernaan bahan kering yang tinggi pada ternak ruminansia menunjukkan tingginya zat nutrisi yang dapat dicerna oleh mikroba rumen. Semakin tinggi nilai persentase kecernaan bahan pakan tersebut, berarti semakin baik kualitasnya. Cairan rumen mengandung berbagai macam mikroba yang menghasilkan berbagai jenis enzim seperti amilase, protease dan selulase. Enzim-enzim tersebut akan mendegredasi zat-zat makanan tersebut menjadi bentuk yang lebih sederhana, hal ini memudahkan bakteri rumen untuk mencerna pakan sehingga kecernaan pakan meningkat (Gohl 1981).

Inokulum yang berisi mikroba selulotik yang sudah diisolasi dari cairan rumen dapat menurunkan serat kasar dari pakan yang berasal dari limbah pertanian berupa tongkol jagung dan disisi lain meningkatkan kadar protein pakan asal limbah tersebut dan dapat meningkatkan daya cernanya.

Secara alami cairan rumen sapi memang kaya akan mikroorganisme, salah satunya bakteri, yang pada gilirannya akan menghasilkan enzim yang akan membantu mencerna makanan. Suhardini (2008) menyatakan bahwa dalam cairan rumen terdapat mikroba aerob dan anaerob yang secara alami terdapat dalam rumen, salah satunya bakteri pencerna selulosa. Mikroorganisme dalam rumen sapi, jenis dan jumlahnya sangat dipengaruhi oleh pakan yang dimakannya (Ogimoto, 1981). Proses pencarian pakan dan jenis pakan yang diberikan pada sapi memungkinkan masuknya mikroorganisme lain ke dalam saluran pencernaan bersama dengan pakan yang dimakan. Dugaan ini diperkuat dengan pernyataan Brewer dan Taylor (1969), bahwa keragaman jenis mikroorganisme rumen sangat dominan dipengaruhi oleh mikroorganisme yang terbawa melalui pakan sapi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering yaitu jumlah pakan yang dikonsumsi, laju perjalanan makanan di dalam saluran pencernaan dan jenis kandungan gizi yang terkandung dalam pakan tersebut. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai kecernaan bahan kering pakan adalah tingkat proporsi bahan pakan, komposisi kimia, tingkat protein pakan, persentase lemak dan mineral (Herman et al., 2003).

Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO)

Nilai kecernaan bahan organik suatu pakan dapat menentukan kualitas pakan. Bahan organik menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan

perkembangan ternak. Kecernaan bahan organik diukur karena komponen dari bahan organik sangat dibutuhkan ternak untuk hidup pokok dan produksi (Rahmawati, 2001). Nilai kecernaan bahan organik (KCBO) dapat dilihat pada Gambar 3 dibawah ini:

Nilai rataan KCBO pada Gambar 3 terendah terdapat pada perlakuan R0 yaitu 57,68% sedangkan kecernaan tertinggi terdapat pada perlakuan R3 yaitu 77.58%.

Menurut Tillman et al., (1991), bahwa bahan organik merupakan komponen yang hilang pada saat pembakaran. Nutrient yang terkandung dalam bahan organik merupakan komponen penyusun bahan kering, akibatnya jumlah konsumsi bahan kering akan berpengaruh terhadap jumlah konsumsi bahan organik. Banyaknya konsumsi bahan kering akan mempengaruhi besarnya nutrient yang dikonsumsi sehingga jika konsumsi bahan organik meningkat maka akan meningkatkan konsumsi nutrient. Oleh karena itu , hal tersebut juga akan berlaku pada nilai kecernaan apabila kecernaan bahan kering meningkat tentu kecernaan bahan organik juga meningkat.

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 R0 R1 R2 R3 57.68B ± 9.9662.35 B ± 4.95 76.38A ± 0.80 77.58A ± 1.26 K o e fis ie n C ern a B ah an O r gan ik ( %)

Gambar 3. Pengaruh Penggunaan Mikroba Lokal terhadap Koefisien Cerna Bahan Organik Tongkol Jagung

Hasil sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terdapat kecernaan bahan organik pakan. Untuk mengetahui pengaruh pada setiap perlakuan maka dilakukan uji lanjut Duncan.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa KCBO perlakuan R3 nyata lebih tinggi dibandingkan R1 dan R0 tidak berbeda nyata dengan perlakuan R2. Perlakuan R2 nyata lebih tinggi dibandingkan R1 dan R0 serta tidak berbeda nyata dengan perlakuan R3. KCBO perlakuan R1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan R0 tetapi nyata lebih rendah dibanding perlakuan R2 dan R3.

Tingkat kecernaan bahan organik pada percobaan mempunyai pola yang sama dengan kecernaan bahan kering. Tingkat kecernaan bahan organik relatif lebih tinggi dari pada kecernaan bahan kering pada setiap perlakuan. Hal ini karena pada bahan kering masih mengandung abu, sedangkan bahan organik tidak mengandung abu, sehingga bahan tanpa kandungan abu relatif lebih mudah dicerna. Fathul dan Wajizah (2010) menyatakan bahwa kandungan abu dapat memperlambat atau menghambat tercernanya bahan kering.

Kecernaan organik pada perlakuan R1 lebih tinggi dari perlakuan R0, pada perlakuan R1 terlihat bahwa tingkat kecernaan sudah mulai meningkat hal ini dikarenakan oleh fermentasi dengan menggunakan kapang memungkinkan terjadinya perombakan komponen bahan yang sulit dicerna menjadi lebih tersedia, sehingga diharapakan pula nilai nutrisinya meningkat (Supriyati et al., 1998). Kandungan lignin pada tongkol jagung yang dapat menghambat hidrolisis tersebut dapat diatasi dengan delignifikasi. Proses delignifikasi yaitu dengan cara penggilingan tongkol jagung. Selain itu, enzim lignase yang juga diproduksi oleh

lebih sederhana. Saccharomyces cerevisiae juga sebagai salah satu galur yang paling umum digunakan untuk fermentasi, karena bersifat fermentatife kuat dan anaerob fakultatif (mampu hidup dengan atau tanpa oksigen), memiliki sifat yang stabil dan seragam, mampu tumbuh dengan cepat saat proses fermentasi sehingga proses fermentasi berlangsung dengan cepat pula.

Pada perlakuan R1 tidak lebih tinggi dari perlakuan R2 dan R3, terlihat bahwa perlakuan R2 dan R3 lebih tinggi, hal ini dikarenakan adanya populasi mikroorganisme rumen yang semakin tinggi akan mengakibatkan populasi enzim juga semakin tinggi sehingga pencernaan substrat juga semakin tinggi pula dan akhirnya kecernaan akan meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anggorodi (1995), yang menyatakan bahwa peningkatan jumlah mikroorganisme rumen akan menyebabkan peningkatan aktivitas mikroorganisme dalam mencerna bahan pakan.

Jovanovic dan Cuperlovic (1977) menyatakan mikrobia rumen dapat meningkatkan nilai gizi bahan makanan karena adanya protein mikrobia sehingga akan meningkatkan daya cerna. Selain itu rumen diakui sebagai sumber enzim pendegradasi polisakarida. Polisakarida dihidrolisis dirumen disebabkan pengaruh sinergis dan interaksi dari kompleks mikroorganisme, terutama sellulase dan xilanase. Di dalam rumen, mikroorganisme akan memfermentasi karbohidrat yang spesifik dibutuhkan enzim yang digunakan untuk mendegradasi substrat sebagai sumber energy.

Hasil penelitian KCBO tertinggi terdapat pada R3, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan R2 hal ini disebabkan karena sumber mikroorganisme tiap ternak memiliki karakteristik dan kemampuan yang berbeda dalam mencerna.

Tingkat kecernaan substrat dalam rumen dipengaruhi oleh populasi dan kombinasi dari aktivitas mikroorganisme baik antar golongan atau spesies (Stewart, 1991).

Perlakuan R3 dan R2 tidak berbeda nyata dimana isolat rumen kerbau dapat mengimbangi isolat rumen domba adaptif, hal ini karena ternak kerbau memiliki kemampuan istimewa untuk tumbuh dan berkembang pada kondisi lingkungan yang buruk serta cukup efisien dalam memanfaatkan pakan dengan kualitas rendah karena didukung oleh volume rumen kerbau yang besar, sekresi saliva tinggi, laju pakan meninggalkan rumen lambat serta aktivitas selulotik dan populasi mikroba yang lebih tinggi (Suryahadi et al., 1996).

Hasil penelitian Tang et al., (2008) menyatakan bahwa tingginya nilai kecernaan bahan organik disebabkan adanya penambahan enzim fibrolytic. Penambahan enzim fibrolytic diduga akan lebih meningkatkan populasi mikroba rumen dibandingkan dengan pakan yang difermentasi menggunakan Aspergillus niger dan Saccharomyces cerevisiae. Pernyataan ini sesuai denga hasil penelitian Feng et al., (1996), yang melaporkan bahwa penambahan enzim fibrolytic dapat meningkatkan ekosistem mikroba rumen yang mengakibatkan laju kecernaan serat kasar. Hal ini juga memberikan pengaruh terhadap meningkatnya kecernaan bahan kering dan bahan organik pakan.

Dokumen terkait