• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik tungau Varroa destructor

Menurut Anderson (2004) secara umum V. destructor mempunyai 6 genotipe, 2 genotipe diantaranya V. destructor strain Korea dan strain Jepang yang merupakan parasit pada lebah madu Apis mellifera. Di Indonesia serangan V. destructor pada A. mellifera baru diketahui penyebabnya V. destructor strain Korea saja.

1 mm

Gambar 2 Arah dorsal tungau V. destructor terlihat dari mikroskop

1 cm

17

Menurut Bashori (1994) sifat parasitik tungau lebih terasa pada pupa lebah yang masih ada dalam sel tertutup. Tungau menyerang anak lebah satu atau dua hari sebelum sel ditutup. V. destructor menyerang lebah dengan cara menusukkan alat mulutnya (checlicera) pada bagian antar ruas (intersegmental) sehingga menembus membran antar ruas lebah dengan alat mulutnya tersebut tungau menghisap cairan tubuh dan menyerap hemolymph lebah.

Dampak serangan

Menurut Bashori (1994) ketika tungau hendak mengisap darah, checlicera

yang berfungsi sebagai pencucuk dan pengisap ditusukkan pada tubuh lebah (larva, pupa, atau imago) sampai menembus dinding tubuh. Setelah itu, checlicera

masuk kedalam cairan tubuh (darah) dan menghisapnya. Kemudian masuk kedalam alat pencernaan melalui saluran mulut, rongga mulut dan kerongkongan. Dinding tubuh dan organ bagian dalam lebah mengalami luka permanen akibat tusukan checlicera. Luka permanen tersebut terjadi ketika larva atau pupa telah berkembang menjadi imago. Luka permanen tersebut mengakibatkan cacat pada kaki, sayap dan lain sebagainya.

Efektifitas Asam Semut

Asam semut yang digunakan dalam pengujian adalah asam semut dalam bentuk cair yang ditempatkan pada kotak penampung. Asam semut dinilai lebih efektif bila dibandingkan dengan asam semut bentuk gel seperti yang sering dilakukan peternak di Amerika. Penggunaan asam semut gel ternyata dapat mengakibatkan kebocoran dalam kotak eram sehingga dapat membunuh lebah. Sedangkan penggunaan asam semut cair pada kotak penampung dirasa lebih efektif, praktis dan aman dalam penggunaannya bagi lebah maupun peternak jika dibandingkan asam semut cair yang disemprot (Nasr 2002).

Penelitian Nasr

Menurut Nasr (1996) penelitian asam semutdi Ontario yang dilakukan sejak tahun 1992 dengan pemakaian asam semut cair yang disemprot konsentrasi 85% menyebabkan lebah ratu yang masih dalam sel terbunuh seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Para peternak menggunakannya dengan cara disemprot yang dibawahnya dialasi dengan handuk. Cara ini berbahaya bagi peternak apabila penggunannya melebihi dosis.

Seperti asam pada umumnya, asam semut dapat membahayakan pelaksana penyemprotan apabila terkena kulit dan mata. Pemakaian konsentrasi yang tinggi dapat mengganggu kerja pheromone yang bisa mengakibatkan koloni lebah pergi meninggalkan sarang. Dari beberapa observasi yang dilakukan ditemukan telur menjadi kering, larva dan ratu mati jika penggunaan asam semut mencapai konsentrasi 85%.

Gambar 4 Contoh penggunaan asam semut cair yang disemprotkan langsung pada sisiran sarang (Nasr 1996).

Menurut Nasr (1996, 2002) peternak lebah di Amerika biasa menggunakan asam semut berbentuk gel yang dapat dibuat dengan cara mencampurkannya dengan sejumlah gelatin yang dikemas dalam plastik berpori seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Kelemahan dengan menggunakan asam semut bentuk gel ini adalah apabila penggunaannnya kurang berhati-hati dapat menyebabkan kebocoran pada kotak eram sehingga mengakibatkan koloni lebah pindah dari kotak sarang.

19

Lempengan kemasan asam semut dalam bentuk gel.

Gambar 5 Contoh penggunaan asam semut dalam bentuk gel yang dikemas dalam kantong plastik berpori untuk pengendalian Varroa destructor (Nasr 2002)

Penelitian Perum Perhutani

Pusat Perlebahan (Perhutani) pernah melakukan pengujian efektivitas asam semut dalam pengendalian tungau lebah. Konsentrasi asam semut yang digunakan adalah 40% dengan volume 100 ml untuk setiap koloni lebah. Metode kerjanya dengan cara larutan asam semut disimpan dalam tabung plastik yang bagian atasnya diberi kertas karton yang setengahnya dicelupkan pada larutan tersebut. Selanjutnya larutan tersebut disimpan pada bagian tengah kotak lebah. Pada bagian bawah alas kotak, dilapisi karton putih untuk mengecek Varroa yang rontok dalam sarang.

Selanjutnya dilakukan pula percobaan menggunakan metode kerja yang sama dengan larutan asam semut 100 ml dengan konsentrasi 20% yang ditambah 10 tetes minyak cengkeh. Campuran tersebut disimpan dalam tabung plastik selama 2 minggu. Untuk mengetahui keefektifan dari asam semut dilakukan dengan cara melihat V. destructor yang rontok pada alas kotak yang diberi kertas/karton putih.

Pengendalian tungau V. destructor dengan menggunakan asam semut konsentrasi 40% ternyata kurang efektif apabila dibandingkan dengan asam semut konsentrasi 20% ditambah minyak cengkeh.

Penelitian Anderson

Dengan sifatnya asam semut yang mudah menguap mengakibatkan partikel asam semut dapat terhisap ke dalam sistem pernapasan lebah dan tungau. Selama tungau dan lebah menghisap partikel-parikel asam semut, dalam jaringan tubuh keduanya akan mengalami pengurangan peluang O2 sehingga mengakibatkan konsumsi O2 semakin berkurang. Dengan demikian, jaringan tubuh tungau dan lebah akan mengalami gangguan pernapasan yang mengakibatkan tungau maupun lebah menjadi lemas dan akhirnya mati karena sifat asam semut sendiri apabila kontak dengan jaringan tubuh dapat menyebabkan iritasi dan terjadi pelukaan. Walaupun demikian tungau lebih peka daripada lebah madu karena perbedaan ukuran tubuhnya (Anderson 2004).

Pada tahun 2004 Anderson melakukan uji coba penggunaan asam semut untuk memberantas V. destructor di Irian Jaya dan Philiphina. Konsentrasi yang diujicobakan adalah 10-45%. Hasil pengujian menunjukkan bahwa konsentrasi 10-20% cukup efektif dalam pengendalian sedangkan konsentrasi lebih tinggi menimbulkan efek samping. Konsentrasi 35% dan 45% mengakibatkan lebah mati, larva dan pupa keluar dari sel sarang, dan kotak sarang berubah warna dari kuning menjadi coklat kehitaman seolah terbakar. Sebelumnya penelitian yang dilakukan diberbagai negara lain menunjukkan penggunaan asam semut dengan

konsentrasi rendah dirasa sangat lambat kerjanya dalam penanggulangan

V. destructor dibandingkan menggunakan konsentrasi tinggi.

Efektifitas cuka kayu (Wood vinegar)

Pengendalian yang kedua adalah dengan penggunaan cuka kayu (wood vinegar). Penggunaan cuka kayu dalam pengendalian tungau lebah madu belum pernah dilakukan sebelumnya. Uji coba ini pertama kali dilakukan untuk mengendalikan tungau lebah. Ide penggunaan cuka kayu ini muncul ketika penulis membaca artikel di Tabloid Agro Indonesia tanggal 26 April 2005 yang menyatakan cuka kayu dapat digunakan untuk pengendalian hama.

Cuka kayu yang dipakai dalam pengujian adalah jenis kayu bakau,

21 0 5 10 15 20 25 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Waktu Pengamatan (hari)

R at a-rat a m o rt al it as V . d est ru ct o r Kontrol Bakau (Rhizophora sp)

Akasia (A. mangium)

Kaliandra (Calliandra calothyrsus)

Asam semut (Formid acid)

dalam suatu alat kondensor yang nantinya setelah dingin berubah menjadi cairan yang disebut cuka kayu (wood vinegar).

Penelitian Nurhayati

Menurut Nurhayati (2000) cuka kayu dapat dimanfaatkan sebagai bahan pestisida. Hal ini didasarkan pada komponen kimia destilatnya yang relatif sama dengan formula kimia yang terdapat pada jenis pestisida tertentu. Sebagai contoh, formulasi senyawaan turunan phenol atau creosot dan alkohol pada destilat terdapat juga pada kelompok desinfektan dan herbisida dengan nama dagang lysol, karbol, DNOC, PCP dan lain-lain.

Pengaruh perlakuan

Pada perlakuan dengan menggunakan asam semut dan cuka kayu menunjukkan jumlah mortalitas tungau tidak berbeda nyata dengan kontrol. Perlakuan dengan menggunakan asam semut dan cuka kayu menunjukkan jumlah mortalitas dari waktu ke waktu cenderung meningkat sampai hari ke-12 (Gambar 6). Kecenderungan (trend) peningkatan mortalitas tungau dari perlakuan tersebut ada sedikit perbedaan, tetapi perbedaannya tidak nyata jika dibandingkan pada trend penyebab mortalitas bakau pada koloni pembanding (kontrol). Terlihat pada jumlah mortalitas tungau mengalami penurunan tajam pada hari ke-13 dan ke-14. Penurunan ini dimungkinkan kandungan kimia asam semut dan cuka kayu sudah mulai berkurang volumenya, karena sifat senyawa asam semut yang mudah menguap. Sehingga keefektifan asam semut dalam pengendalian tungau V. destructor semakin berkurang.

Adanya kecenderungan peningkatan mortalitas pada semua koloni lebah mengundang spekulasi adanya faktor lain yang menyebabkan peningkatan mortalitas tungau kecuali pada perlakuan cuka kayu bakau. Faktor yang menyebabkan peningkatan mortalitas tungau dimungkinkan adanya aktivitas lebah pekerja yang cenderung membuang benda asing yang berada dalam sarang. Semakin efektif kerja lebah pekerja membuang benda asing merupakan ciri makin kuatnya koloni lebah secara merata.

Para ahli di Universitas Wurzburg, Jerman melakukan penelitian dengan sensor panas, mikrocips menunjukkan lebah pekerja menghabiskan tiga hari pertama dalam kehidupannya dengan membersihkan sarang bagi kesehatan larva dalam koloni. Lebah pekerja bertugas bertanggung jawab memeriksa sel ratu untuk meletakkan telurnya.

Lebah pekerja juga bertugas mengumpulkan kotoran yang ada dalam sel-sel yang telah ditinggalkan oleh larva yang telah lahir, membersihkan sel penyimpan makanan serta bertugas sebagai pengatur kelembaban dan temperatur dalam sarang. Lebah pekerja membuang seluruh bahan yang berlebih dalam sarang sehingga pada saat bertemu dengan serangga penyusup pertama-tama yang mereka lakukan adalah membunuhnya kemudian membungkusnya dengan menggunakan propolis.

Faktor lain yang bisa mempengaruhi kekuatan lebah adalah kecukupan bahan makanan bagi lebah khususnya berupa pollen. Walaupun demikian penulis tidak melakukan pengamatan kecenderungan kecukupan pollen.

Tabel 3 Jumlah mortalitas tungau V. destructor perlakuan asam semut dan cuka kayu selama 14 hari

Ulangan

Perlakuan

Kontrol Cuka Kayu Asam semut

Bakau Akasia Kaliandra

1 140 139 128 168 223 2 209 127 256 154 144 3 202 182 172 147 198 4 162 212 191 258 111 Jumlah 713 660 747 727 676

23

Jumlah mortalitas tungau tertinggi pada perlakuan kontrol sebanyak 209 ekor (ulangan 2), cuka kayu bakau (Rhizophora sp) sebanyak 212 ekor (ulangan 4), cuka kayu Akasia (A. mangium) sebanyak 256 ekor (ulangan 2), cuka kayu Kaliandra (C. callothyrsus) sebanyak 258 ekor (ulangan 4), asam semut sebanyak 223 ekor (ulangan 1). Sedangkan jumlah mortalitas tungau terendah masing-masing pada perlakuan kontrol sebanyak 162 ekor (ulangan 4), cuka kayu bakau (Rhizophora sp) 127 ekor (ulangan 2), cuka Akasia (A. mangium) sebanyak 128 ekor (ulangan 1), cuka kayu kaliandra (C. callothyrsus) sebanyak 147 ekor (ulangan 3), asam semut sebanyak 111 ekor (ulangan 4).

Berdasarkan pengamatan dilapangan, mortalitas tungau V. destructor

terbesar adalah cuka kayu jenis A. mangium sebanyak 747 ekor ditunjukkan pada Tabel 3. Perlakuan cuka kayu A. mangium dilapangan lebih cepat menguap bila dibandingkan dengan asam semut dan cuka kayu jenis lain. Dengan sifat tersebut tungau dapat cepat menghirup partikel-partikel cuka kayu A. mangium sehingga tungau mengalami pengurangan peluang O2 sehingga mengakibatkan konsumsi O2

semakin berkurang. Dengan demikian, jaringan tubuh tungau akan mengalami gangguan pernapasan yang mengakibatkan tungau menjadi lemas dan akhirnya mati. Walaupun perlakuan cuka kayu jenis A. mangium memiliki mortalitas paling tinggi tetapi tidak begitu signifikan jika dibandingkan pada perlakuan yang lain.

Rancangan Percobaan

Rancangan Percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor dengan 5 perlakuan dan 4 kali ulangan. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program Minitab 1.3 didapatkan nilai 0.15 > 0.05 (P value) pada uji normalitas dengan uji Kolmogorov- Smirov yang berarti bahwa data tersebut menyebar secara normal.

Pada perhitungan Analisis Sidik Ragam diperoleh nilai Jumlah Kuadrat Tengah (JKT) sebesar 33359, Jumlah Kuadrat Perlakuan (JKP) sebesar 1294 dan nilai Jumlah Kuadrat Sisaan (JKS) sebesar 32064 seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Sedangkan kriteria pengujian adalah nilai F-Hitung pada pengujian asam semut dan cuka kayu terhadap mortalitas tungau V. destructor sebesar 0.15.

Pada tingkat nyata 1% diperoleh nilai F0.01= 4.89, pada tingkat nyata 5% diperoleh nilai F0.05= 3.06. Karena nilai F hitung < F tabel, maka keputusannya Hipotesis alternatif (H1) ditolak dan Hipotesis yang tidak diharapkan (Ho) diterima artinya penggunaan cuka kayu atau asam semut tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap respon percobaan pada tingkat nyata 1% maupun tingkat nyata 5%. Sehingga dapat disimpulkan metode pengendalian dengan menggunakan asam semut dan cuka kayu tidak memberikan pengaruh nyata terhadap mortalitas tungau V. destructor.

Tabel 4 Analisis Sidik Ragam percobaan

SK db JK KT F Hit

Perlakuan 4 1294 324 0.15

Sisa 15 32064 2138

Total 19 33359

Berdasarkan penelitian Anderson ditahun 2004 di Pusat Perlebahan Nasional Parungpanjang Bogor, menunjukkan pada konsentrasi 10% sampai 20% cukup efektif untuk mengontrol Tropilaelaps clarae di Irian Jaya dan V. destructor telah dilakukan di Jawa. Tapi berdasarkan pengujian pada tahun 2005 di UP3 Gunung Arca Sukabumi ternyata asam semut dengan konsentrasi 10% tidak memberikan pengaruh nyata pada V. destructor. Ini dimungkinan strain tungau yang ada di Sukabumi sudah mengalami resistensi terhadap asam semut.

Kualitas madu

Untuk mengetahui kualitas madu dilakukan uji rasa terhadap madu yang dihasilkan dari koloni perlakuan cuka kayu. Pada hari ke 2 dan ke 3 setelah perlakuan, madu terasa aroma arang. Hal tersebut diduga madu mengandung partikel arang pada sel yang belum tertutup sehingga penggunaan cuka kayu untuk pengendalian tungau lebah bisa mengakibatkan pencemaran bagi madu.

Dokumen terkait