• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Fertilitas

Pengertian fertilitas adalah persentase telur yang fertil dari seluruh telur yang digunakan dalam suatu periode penetasan. Fertilitas dihitung dengan cara membagikan jumlah telur yang tertunas (fertil) dengan jumlah telur yang ditetaskan dikali 100 %. Hasil analisis rata-rata fertilitas telur burung puyuh selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan pengaruh suplementasi mineral esensial dalam ransum terhadap fetilitas telur burung puyuh selama penelitian (%)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2 3 P1 90 80 70 240 80 P2 100 90 100 290 96.67 P3 100 90 90 280 93.33 P4 100 90 90 280 93.33 P5 90 90 90 270 90 P6 90 80 80 250 83.33 P7 80 80 80 240 80 P8 90 70 80 240 80 P9 90 70 90 250 83.33 Total 830 740 770 2340 780 Rataan 92.22 82.22 85.55 260 86.67

Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh bahwa persentase Fertilitas tertinggi pada perlakuan P2 sebesar 96,67 % dan yang terendah pada perlakuan P1, P7, dan P8 sebesar 80%. Rataan fertilitas telur seluruhya yaitu 86,67%.

Daya Tetas

Pengertian daya tetas adalah jumlah telur yang menetas dibagi dengan jumlah telur yang tertunas (fertil) dikali 100%. Hasil rataan daya tetas telur burung puyuh selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Rataan pengaruh suplementasi mineral esensial dalam ransum terhadap daya tetas telur burung puyuh selama penelitian (%).

Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2 3 P1 80 62.5 90 232.5 77.5 P2 80 70 71.43 221.43 73.81 P3 71.43 62.5 55.56 189.49 63.16 P4 70 88.89 100 258.89 86.3 P5 70 62.5 75 207.5 69.16 P6 75 62.5 75 212.5 70.83 P7 57.14 50 75 182.14 60.71 P8 62.5 71.43 62.5 196.43 65.48 P9 62.5 88.89 66.67 218.06 72.67 Total 628.57 619.21 671.16 1918.94 639.64 Rataan 69.84 68.8 74.57 213.21 71.07

Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa persentase daya tetas tertinggi pada perlakuan P4 sebesar 86,30% dan yang terendah pada perlakuan P7 sebesar 60,71%. Dengan rataan daya tetas sebesar 71,07%.

Mortalitas

Mortalitas adalah jumlah telur fertil yang tidak menetas dibagi dengan jumlah telur yang menetas dikali 100 %. Rataan mortalitas telur burung puyuh dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Rataan pengaruh suplementasi mineral esensial dalam ransum terhadap mortalitas telur burung puyuh selama penelitian (%).

Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2 3 P1 20 37.5 10 67.5 22.5 P2 20 30 28.57 78.57 26.19 P3 28.57 37.5 44.44 110.51 36.84 P4 30 11.11 0 41.11 13.7 P5 30 37.5 25 92.5 30.83 P6 25 37.5 25 87.5 29.17 P7 42.86 50 25 117.86 39.29 P8 37.5 28.57 37.5 103.57 34.52 P9 37.5 11.11 33.33 81.94 27.31 Total 271.43 280.79 228.84 781.06 260.35 Rataan 30.16 31.2 25.43 86.78 28.93

Berdasarkan Tabel 9 di atas diperoleh persentase mortalitas tertinggi pada perlakuan P7 yaitu sebesar 39,29% dan persentase mortalitas terendah pada perlakuan P4 yaitu sebesar 13,70% dengan rataan mortalitas secara keseluruhan yaitu sebesar 28.93%

Pembahasan

Fertilitas

Sidik ragam dari data rataan pengaruh suplementasi mineral esensial dalam ransum terhadap fertilitas telur burung puyuh selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Sidik ragam fertilitas telur burung puyuh selama penelitian

SK DB JK KT F.hit F.tabel Perlk. 8 1066.67 133.333 2.571429tn 3.86 6.99 Galat 18 933.333 51.8519 Total 26 2000 KK = 8,3% tn = tidak nyata

Berdasarkan hasil sidik ragam di atas menunjukkan bahwa suplementasi mineral esensial dalam ransum berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap fertilitas telur burung puyuh selama periode penetasan. Walaupun dari Tabel 7 didapat angka fertilitas yang bervariasi namun setelah dilakukan sidik ragam memberikan hasil yang tidak nyata. Penelitian ini dikondisikan sedemikian rupa sehingga faktor-faktor yang lebih mempengaruhi fertilitas seperti nisbah kelamin atau sex

ratio, umur, musim dan suhu, sudah dihomogenkan. Dalam tiap plot diberikan

nisbah kelamin yang sama yaitu 3 betina dan 1 pejantan dan umur burung puyuh yang digunakan dalam penelitian juga sudah seragam begitu juga dengan bobot badan yang sudah homogen. Faktor mineral yang disuplementasikan dalam ransum ternyata tidak berpengaruh nyata pada fertilitas telur burung puyuh. Hal ini memperlihatkan bahwa mineral yang diberikan tidak mampu untuk mempengaruhi saluran reproduksi puyuh betina sehingga spermatozoa yang masuk kedalam

saluran reproduksi betina tidak terhambat pergerakannya untuk membuahi sel telur. Begitu juga dengan pencucian ransum tidak berpengaruh terhadap fertilitas. Hal ini terbukti dari beberapa perlakuan yang diteliti didapat hasil yang dapat dinyatakan sama.

Menurut Agromedia (2002) tinggi rendahnya persentase fertilitas telur burung puyuh ini dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain :Sperma, Ransum, Umur pembibit, Musim atau suhu, Sifat kawin pejantan, Waktu perkawinan, Produksi telur.

Dalam hal ini ransum yang ditambahkan dengan mineral Ca dan Na fertilitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan ransum kontrol tanpa tambahan mineral, pada P2 diperoleh hasil total rataan sebesar 96.67%, P3 sebesar 93.33 % sedangkan pada pakan control sebesar 80.00 %. Mineral yang ditambahkan pada perlakuan P2 terutama Ca merupakan mineral yang utama terlibat dalam proses embrional sehingga mampu meningkatkan fertilitas dari telur puyuh yang ditetaskan. Menurut Suprijatna dkk (2005) mineral utama yang terlibat dalam proses metabolisme embrional yaitu Kalsium. Sumber mineral ini utamanya adalah Kalsium yang terdapat dalam kerabang telur. Pada telur infertil tidak terjadi peningkatan kadar Kalsium selama periode penetasan. Adanya peningkatan kadar Kalsium pada telur fertil yang ditetaskan ini hanya mungkin diperoleh karena adanya transfer dari kerabang telur melalui membran kerabang. Mineral lainnya yang dibutuhkan selama perkembangan embrional terdapat dalam telur. Apabila ransum induk defisiensi akan mineral maka berdampak pada fertilitas dari telur yang ditetaskan hal ini juga berpengaruh pada pembentukan embrio.

Berdasarkan hasil penelitian Chairani (2007) Fertilitas burung puyuh terbesar diperoleh dari P2 (P1 + 37,5 g CaCO3 + 0.00035 g Na2CO3 ) yaitu sebesar 96,67% dan terendah diperoleh dari P1 ( Pakan Kontrol produksi Charoen Pokphand Indonesia ) yaitu sebesar 73,33% dan rataan fertilitas telur seluruhnya yaitu 83,33 %. Menurut Charani (2007) Fertilitas telur dipengaruhi oleh defisiensi mineral ransum induk, jika induk mengalami defisiensi mineral maka fertilitas juga akan menurun karena kurangnya suplementasi makanan kepada embrio, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Chairani (2007) menunjukkan hasil rataan fertilitas dibawah angka rataan fertilitas yaitu sebesar 86.67 %, hasil rataan fertilitas yang diperoleh lebih baik daripada hasil rataan yang diperoleh oleh Chairani (2007).

Daya Tetas

Untuk mengetahui pengaruh suplementasi mineral esensial dalam ransum terhadap daya tetas telur burung puyuh maka dilakukan sidik ragam yang dapat dilihat pada Tabel 14 berikut ini :

Tabel 14. Sidik ragam daya tetas telur burung puyuh selama penelitian

SK DB JK KT F.hit F.tabel Perlk. 8 1464.17 183.022 1.644448tn 3.86 6.99 Galat 18 2003.34 111.297 Total 26 3467.51 KK = 14,84% tn = tidak nyata

Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa suplementasi mineral esensial dalam ransum berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap daya tetas telur burung puyuh. Daya tetas tertinggi diperoleh pada perlakuan P4 sebesar 86,30%. Pada perlakuan P7 yaitu ransum yang ditambahkan 75g Ca dan 0,00070g Na didapat

mineral pembentuk basa pada level perlakuan P7 menurunkan daya tetas telur burung puyuh. Rendahnya daya tetas pada perlakuan P7 ini disebabkan oleh kadar Ca yang tinggi dalam pakan dapat mengurangi absorbsi unsur-unsur seperti Mg dan Zn. Tillman et al (1991) menyatakan bahwa antara unsur Ca dan Zn memiliki interaksi antagonis yaitu jika unsur Ca dalam ransum tinggi bisa mengakibatkan kurangnya absorpsi Zn. Unsur Zn ini sangat berpengaruh dalam metabolisme DNA, RNA, protein. Defisiensi Zn pada semua hewan menyebabkan pertumbuhan terlambat sebagai akibat kurang dapat digunakannya protein dan sulfur. Selain itu defisiensi Zn dalam ransum mengakibatkan gangguan reproduksi pada hewan jantan karena Zn mempengaruhi pemasakan gonat. Menurut Listiyowati dan Rospitasari (2002) bahwasannya sedikitnya protein ransum menyebabkan kecilnya kuning telur yang terbentuk sehingga menyebabkan kecilnya telur yang dihasilkan dan rendahnya daya tetas telur.

Berdasarkan hasil penelitian Chairani (2007) Daya tetas burung puyuh terbesar diperoleh dari P4 (P1 + 10 g (NH4)3PO4+ 0,00015 g NH4Cl) yaitu sebesar 86,30% dan terendah diperoleh dari P3 (P1 + 75 g CaCO3 + 0.00070 g Na2CO3 ) yaitu sebesar 60,37% dan rataan daya tetas telur seluruhnya yaitu 70,50 %. Menurut Charani (2007) Daya Tetas telur yang tinggi dipengaruhi oleh ransum yang diberi tambahkan mineral pembentuk asam. Sedangkan daya tetas telur puyuh semakin menurun jika level pemberian mineral pembentuk asam yang rendah.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh I. Seker, et al (2004) menunjukkan hasil rataan daya tetas sebesar 86.21 %, dibandingkan hasil rataan daya tetas yang diperoleh menunjukkan hasil rataan daya tetas sebesar 71.07 %, hasil yang diperoleh lebih rendah hal ini dikarenakan faktor teknis, dikarenakan

sewaktu masa penetasan telur di mesin tetas ada 2 kali mati lampu tetapi hanya 1 jam dan 1,5 jam, hal ini dapat mengakibatkan telur tidak mendapatkan panas yang cukup dan kelembaban yang rendah yang sangat berpengaruh kepada daya tetas telur.

Mortalitas

Berdasarkan Tabel 9 rataan pengaruh suplementasi mineral esensial dalam ransum terhadap mortalitas telur burung puyuh didapat sidik ragam pada Tabel 15.

Tabel 15. Sidik ragam mortalitas telur burung puyuh selama penelitian

SK DB JK KT F.hit F.tabel Perlk. 8 1464.2 183.02 1.6444tn 3.86 6.99 Galat 18 2003.3 111.3 Total 26 3467.5 KK = 36,46% tn = tidak nyata

Berdasarkan Tabel 13 di atas didapat hasil yang tidak nyata yang berarti mineral yang diberikan tidak berpengaruh terhadap mortalitas telur yang ditetaskan. Daya tetas adalah banyaknya jumlah Day old quail yang menetas sedangkan mortalitas adalah banyaknya jumlah telur fertil yang tidak menetas, jika mortalitas rendah maka daya tetas telur burung puyuh tinggi. Jika daya tetas memberikan hasil yang tidak nyata maka mortalitas dari telur yang ditetaskan juga memberikan hasil yang tidak nyata.

Untuk mengetahui baik tinggi atau rendahnya mortalitas dalam suatu proses penetasan maka dapat juga dilihat dari tingkat daya tetas yang dihasilkan dalam penetasan tersebut. Antara daya tetas dan mortalitas adalah berbanding terbalik

oleh karena itu pada suatu proses penetasan yang baik adalah bila daya tetasnya tinggi yang secara otomatis menyebabkan mortalitasnya rendah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi mortalitas sama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas seperti lama penyimpanan telur dan

menejemen penetasan serta keadaan telur. Keadaan telur yang dimaksud sesuai dengan Agromedia (2002) adalah: Memilih telur yang bersih, halus dan rata, Memilih telur yang warnanya tidak terlalu pekat, Bintik di kulit telur harus jelas, Kulit telur tidak retak, Memilih telur yang baru, bukan telur yang sudah disimpan lebih dari lebih dari 3 hari, Jika mau dijadikan khusus sebagai telur tetas setelah keluar dari burung puyuh, telur segera diambil dan dibersihkan.

Menurut Andrianto (2005) beberapa hal yang menyebabkan tingginya mortalitas adalah: Kesalahan dalam perkawinan sehingga banyak telur yang tidak subur, Umur induk dan pejantan sudah terlalu tua, Penyimpanan telur tetas yang terlalu lama, Temperatur yang tidak sesuai selama penetasan, Pelaksanaan penetasan yang kotor dan mesin tetas yang kotor, Telur telah dicuci.

Tetapi faktor-faktor di atas tidak terjadi selama proses penetasan berlangsung dalam penelitian ini. Mortalitas yang tinggi lebih disebabkan oleh rendahnya daya tetas dari telur burung puyuh yang ditetaskan. Sugiharto (2005) menyatakan bahwa daya tetas adalah angka yang menunjukkan persentase (%) telur yang berhasil menetas dari jumlah telur yang tertunas. Dari pengertian ini diketahui bahwa mortalitas dalam suatu penetasan adalah angka yang menunjukkan persentase (%) telur tetas yang tidak menetas dari jumlah telur yang tertunas.

Ada dua periode kritis pada masa penetasan yaitu Selama tiga hari pertama dari masa penetasan, Pada masa burung puyuh akan menetas

Kematian yang tinggi pada embrio pada umumnya disebabkan karena embrio tidak mampu berfungsi dengan baik, saat kritis itu antara lain pada perubahan posisi pada saat akan menetas. Atau saat anak burung puyuh mulai mematuki kulit kerabang telur untuk menetas, anak burung puyuh tak dapat memakai albumen yang tersisa, kegagalan absorbsi yolk sack saat – saat peralihan dari allanthois ke pernafasan dengan paru - paru. Hal ini benar adanya berdasarkan kejadian yang dialami sewaktu penetasan banyak anak puyuh yang tidak dapat keluar dari telur sehingga harus dibantu untuk memecahkan telurnya.

Berdasarkan hasil penelitian Chairani (2007) Mortalitas burung puyuh terbesar diperoleh dari P3 (P1 + 75 g CaCO3 + 0.00070 g Na2CO3 ) yaitu sebesar 39,63% dan terendah diperoleh dari P4 (P1 + 10 g (NH4)3PO4+ 0,00015 g NH4Cl) yaitu sebesar 13,70% dan rataan Mortalitas telur seluruhnya yaitu 29,50 %. Menurut Chairani (2007) daya tetas yang rendah dikarenakan kurangnya absorbsi protein dalam ransum sehingga telur menjadi kecil dan daya tetasnya menjadi rendah dan secara otomatis Mortalitas semakin meningkat.

Nugroho (1981) menyatakan bahwa kematian embrio banyak terjadi dalam keadaan kritis selama waktu penetasan.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh A.U. Mani, I.I. Garndawa dan B.A. Usman (2003) diperoleh hasil rataan mortalitas sebesar 20.02 % sementara hasil rataan yang diperoleh hasil rataan mortalitas sebesar 28.93%, hasil rataan mortalitas yang diperoleh lebih tinggi dari pada hasil yang diperoleh oleh A.U. Mani, I.I. Garndawa dan B.A. Usman (2003), hal ini disebabkan oleh karena faktor sanitasi kandang yang tidak baik, karena baru menetas kandang tidak sempat di fumigasi kembali, karena sebelumnya kandang di tempati oleh induknya.

Rekapitulasi Hasil Penelitian

Hasil penelitian secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Rekapitulasi pengaruh suplementasi mineral esensial dalam ransum terhadap fertilitas, daya tetas dan mortalitas burung puyuh.

Perlakuan Fertilitas (%) Daya Tetas (%) Mortalitas (%) P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 80,00 tn 96,67 tn 93,33 tn 93,33 tn 90,00 tn 83,33 tn 80,00 tn 80,00 tn 83,33 tn 77,50 tn 73,81 tn 63,16 tn 86,30 tn 69,17 tn 70,83 tn 60,71 tn 65,47 tn 72,68 tn 22,50 tn 26,19 tn 36,84 tn 13,70 tn 30,83 tn 29,17 tn 39,29 tn 34,52 tn 27,31 tn tn = tidak nyata

Hasil rekapitulasi penelitian pada Tabel 15 menunjukkan bahwa pemberian suplementasi mineral esensial dalam ransum memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap fertilitas, daya tetas dan mortalitas pada burung puyuh (Coturnix-coturnix japonica).

Dokumen terkait