• Tidak ada hasil yang ditemukan

Morfometrik Keong Matah Merah (Cerithidea obtusa)

Keong matah merah yang digunakan dalam penelitian ini memiliki tubuh simetris bilateral yang dilindungi cangkang berbentuk kerucut dan melingkar, bentuk kepala yang jelas, serta memiliki mata dan radula. Pengamatan morfometrik keong matah merah diperoleh dari 30 sampel yang diambil secara acak. Hasil pengamatan morfometrik keong matah merah disajikan pada Tabel 1.

11 Tabel 1 Morfometrik keong matah merah (Cerithidea obtusa)

Parameter Nilai Nilai*

Panjang (cm) 3,90 ± 0,26 4,53 ± 1,01

Lebar (cm) 1,92 ± 0,19 3,75 ± 0,35

Tebal (cm) 1,51 ± 0,22 1,73 ± 0,18

Berat (g) 4,81 ± 1,02 1,80 ± 0,13

Keterangan: * Purwaningsih et al. (2015)

Keong matah merah merupakan salah satu spesies dari genus Cerithidea

yang memiliki bentuk khas dengan panjang antara 3-5 cm, dan memiliki cangkang dengan pola ulir dengan ujung cangkang yang tumpul. Ujung cangkang yang tumpul inilah yang menjadi ciri khas spesies Cerithidea obtusa untuk dibedakan dengan jenis Cerithidea yang lain. Obtusus berarti tumpul sehingga penamaan

obtusa digunakan untuk spesies ini. Keong matah merah adalah spesies umum pada ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan lingkungan yang ekstrim karena dipengaruhi oleh pasang surut air laut, suhu dan salinitas yang berubah-ubah. Kondisi tersebut menyebabkan keong matah merah memiliki kemampuan beradaptasi untuk dapat bertahan hidup (Dharma 1992). Menurut Ernanto et al. (2010) bahwa adaptasi gastropoda mencakup daya tahan terhadap kehilangan air dan pemeliharaan keseimbangan panas tubuh. Gastropoda masuk ke dalam cangkang ketika pasang turun, kemudian menutup celah menggunakan operkulum sehingga kehilangan air dapat dikurangi. Gastropoda juga memiliki toleransi terhadap suhu panas dan dingin yang ekstrim, serta memperlihatkan adaptasi tingkah laku dan struktur tubuh untuk menjaga keseimbangan panas internal. Hewan ini hanya aktif ketika pasang naik dan tubuhnya terendam air.

Penyebaran keong matah merah umumnya pada daerah mangrove di kawasan Indo-Pasifik Barat yang meliputi Madagaskar, India, Indonesia, Filipina dan Australia. Keong matah merah hidup dengan menempel pada substrat berupa pasir atau lumpur. Substrat yang ada digunakan untuk mempertahankan suhu lingkungan dan sumber untuk mendapatkan makanan keong. Makanan keong berupa bahan organik yang berasal dari dekomposisi daun mangrove, fitoplankton, maupun bakteri (Sreenivasan 1982). Hasil pengamatan morfometrik yang telah dilakukan menunjukkan bahwa keong matah merah memiliki panjang, lebar, tebal dan berat yang bervariasi. Variasi ukuran keong matah merah ini diduga disebabkan oleh perbedaan pertumbuhan setiap keong.

Pertumbuhan suatu biota dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan biota yaitu keturunan, jenis kelamin, parasit dan penyakit, serta umur. Faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan biota yaitu jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, jumlah biota yang menggunakan sumber makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, kadar amonia di perairan dan salinitas (Effendie 1997).

Pengukuran morfometrik dilanjutkan dengan perhitungan rendemen. Rendemen merupakan parameter untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu bahan atau produk. Rendemen adalah persentase bagian bahan baku yang dapat dimanfaatkan. Purwaningsih et al. (2015) menjelaskan bahwa persentase proporsi keong matah merah diperoleh dengan membandingkan antara bagian

12

daging, jeroan dan cangkang dengan berat total keong. Proporsi keong matah merah dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Proporsi keong matah merah (Cerithidea obtusa) (%) cangkang, daging, jeroan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi keong matah merah terbesar adalah cangkang kemudian diikuti oleh daging dan jeroan. Perhitungan proporsi keong matah merah dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Cahyani (2015) bahwa proporsi rendemen keong matah merah terbesar terdapat pada bagian cangkang sebesar 66,7%, diikuti daging sebesar 18,1% dan jeroan 15,2%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa cangkang merupakan bagian terbesar dari keseluruhan berat keong. Keong matah merah memiliki proporsi cangkang terbesar karena seluruh tubuhnya tertutupi oleh cangkang.

Komposisi Kimia Keong Matah Merah (Cerithidea obtusa)

Informasi mengenai komposisi kimia yang terkandung dalam keong matah merah dapat diketahui melalui analisis proksimat. Analisis proksimat meliputi analisis kadar air, abu, lemak, dan protein. Hasil analisis komposisi kimia keong matah merah dapat dilihat pada Tabel 2 dan Lampiran 2.

Tabel 2 Komposisi kimia keong matah merah (Cerithidea obtusa) Parameter Keong matah merah Komposisi (% bb) Keong matah merah*

Kadar air 78,56 ± 0,42 82,80 ± 0,10

Kadar abu 3,15 ± 0,10 2,00 ± 0,20

Kadar lemak 0,18 ± 0,01 0,30 ± 0,10

Kadar protein 10,60 ± 0,25 11,90 ± 0,10

Keterangan : *Cahyani (2015)

Kadar air keong matah merah menunjukkan persentase yang tinggi yaitu sebesar 78,56%. Tingginya kadar air juga ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan Cahyani (2015) pada keong matah merah yaitu 82,80%. Keong matah merah yang merupakan produk hasil perairan termasuk dalam bahan pangan yang

20,93% 16,92% 62,14%

13 memiliki kandungan air tinggi sehingga mudah mengalami kerusakan (high perishable food). Arifin (2008) menyatakan bahwa kadar air hewan laut berkisar antara 70,1-85%. Perbedaan kadar air diduga dipengaruhi oleh jenis spesies, kondisi lingkungan, umur, dan kesegaran bahan.

Hasil analisis proksimat menunjukkan kadar abu keong matah merah sebesar 3,15%. Besar kecilnya kadar abu dapat dipengaruhi oleh perbedaan jenis organisme, serta perbedaan kondisi habitat dan lingkungan hidup. Menurut Padidela dan Thummala (2015) kadar abu dapat dipengaruhi oleh perbedaan habitat dan lingkungan. Setiap lingkungan perairan dapat menyediakan asupan mineral yang berbeda-beda bagi organisme akuatik yang hidup di dalamnya.

Keong matah merah mengandung kadar lemak sebesar 0,18%. Kadar lemak keong matah merah hasil penelitian Cahyani (2015) menunjukkan hasil sebesar 0,30%. Adanya perbedaan kadar lemak ini diduga disebabkan oleh perbedaan umur spesies dan tingkat kematangan gonad. Palpandi et al. (2010) menjelaskan bahwa lemak akan semakin meningkat dengan bertambahnya umur, karena kondisi fisiologis hewan yang akan menuju fase perkembangbiakan. Hewan akan membutuhkan lebih banyak energi untuk berkembang biak yang disimpan dalam bentuk lemak.

Kadar protein dari keong matah merah berdasarkan analisis proksimat adalah 10,60%. Ayas dan Ozogul (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa perbedaan jenis organisme, perbedaan ukuran individu yang digunakan dalam penelitian, dan waktu pengambilan sampel yang berbeda akan mempengaruhi hasil analisis proksimat dari suatu bahan.

Menurut Periyasamy et al. (2011), adanya perbedaan hasil analisis proksimat secara keseluruhan dari daging gastropoda dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan hidup keong yang berbeda terutama kandungan bahan organik yang tersedia di lingkungannya sebagai bahan makanan utama keong. Kadar air, kadar abu, kadar lemak dan kadar protein keong yang bervariasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis, ukuran, tingkat kematangan gonad, suhu, jenis makanan dan lokasi pengambilan sampel.

Rendemen Ekstrak Keong Matah Merah (Cerithidea obtusa)

Ekstraksi merupakan proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan menggunakan pelarut tertentu. Tujuan dari ekstraksi yaitu untuk mendapatkan bagian tertentu dari bahan-bahan yang mengandung zat aktif (Harborne 1987). Ekstraksi keong matah merah dilakukan menggunakan berbagai pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda, yaitu air (polar), metanol (polar), aseton (semipolar) dan n-heksana (nonpolar). Metode ekstraksi yang digunakan adalah perebusan, sonikasi dan maserasi. Metode maserasi dilakukan untuk mengekstrak keong matah merah dengan pelarut metanol, aseton, dan n-heksana, sedangkan metode perebusan dan sonikasi dilakukan untuk mengekstrak keong matah merah menggunakan pelarut air. Hasil ekstraksi keong matah merah dapat dilihat pada Gambar 4.

14

(a) (b)

(c)

Gambar 4 Hasil ekstraksi keong matah merah: (a) Ekstrak air perebusan, (b) Ekstrak air sonikasi, (c) Ekstrak metanol, aseton dan n-heksana

Hasil ekstraksi keong matah merah menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan karakteristik ekstrak keong matah merah dapat disebabkan oleh perbedaan pelarut dan metode ekstraksi yang digunakan. Warna kuning kecoklatan diduga dibentuk oleh adanya senyawa hidrofobik yang tertarik oleh pelarut, seperti minyak atau essential oil yang umumnya berwarna kuning kecoklatan. Manurung et al. (2004) menjelaskan bahwa molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik tidak jenuh dengan kromofor sebagai pembawa warna. Zat organik tidak jenuh yang dijumpai dalam pembentukan zat warna adalah senyawa aromatik antara lain senyawa hidrokarbon aromatik dan turunannya, fenol dan turunannya serta senyawa-senyawa hidrokarbon yang mengandung nitrogen.

Makanan keong matah merah berupa bahan organik yang berasal dari dekomposisi daun mangrove dan fitoplankton yang umumnya berwarna hijau atau coklat diduga juga mempengaruhi warna dari ekstrak keong matah merah yang dihasilkan. Metode pemisahan filtrat dan pelarut yang digunakan juga dapat mempengaruhi karakteristik ekstrak. Ekstrak air perebusan dan ekstrak air sonikasi yang menggunakan freeze dryer untuk memisahkan filtrat dengan pelarut air menghasilkan ekstrak berbentuk bubuk. Ekstrak metanol, aseton dan n-heksana menggunakan rotary vacuum evaporator untuk memisahkan filtrat dengan pelarut menghasilkan ekstrak yang berbentuk pasta.

Hasil ekstraksi dari keong matah merah kemudian ditimbang untuk mengetahui nilai rendemen. Rendemen merupakan perbandingan antara berat ekstrak yang dihasilkan dengan berat awal sampel bahan yang dinyatakan dalam

15 persen (%). Hasil perhitungan rendemen ekstrak keong matah merah dapat dilihat pada Lampiran 3. Karakteristik ekstrak keong matah merah yang meliputi rendemen, bentuk dan warna ekstrak ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik ekstrak keong matah merah (Cerithidea obtusa) Jenis ekstrak Rendemen (%) Bentuk ekstrak Warna ekstrak Air perebusan 2,37 ± 0,19 Bubuk Hijau kecoklatan

Air sonikasi 1,91 ± 0,16 Bubuk Coklat tua

Metanol 2,86 ± 0,30 Pasta Coklat tua

Aseton 1,82 ± 0,14 Pasta Coklat tua

N-heksana 0,08 ± 0,05 Pasta Kuning kecoklatan

Hasil ekstraksi keong matah merah menunjukkan bahwa rendemen tertinggi ekstrak keong matah merah terdapat pada ekstrak metanol yaitu sebesar 2,86%, sedangkan rendemen terendah terdapat pada ekstrak n-heksana sebesar 0,08%. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Prabowo (2009) yang menunjukkan bahwa rendemen ekstrak tertinggi dari keong matah merah terdapat pada ekstrak metanol yaitu sebesar 1,52% dan ekstrak terendah terdapat pada ekstrak n-heksana sebesar 0,18%.

Maserasi merupakan metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dalam pelarut terpilih yang disimpan dalam jangka waktu tertentu. Sampel dapat direndam dengan atau tanpa pengadukan (Tiwari et al. 2011). Metode maserasi dilakukan karena metodenya yang sederhana dan bertujuan untuk mengurangi kerusakan zat aktif dalam bahan yang tidak tahan panas. Hasil ekstraksi menggunakan metode maserasi menunjukkan hasil yang berbeda-beda sesuai dengan pelarutnya. Ekstrak metanol menghasilkan rendemen tertinggi sebesar 2,86%, diikuti dengan ekstrak aseton sebesar 1,82% dan ekstrak n-heksana dengan nilai ekstrak terendah sebesar 0,08%. Rendemen ekstrak metanol yang tinggi diduga karena kemampuan dari pelarut metanol yang bersifat polar dapat melarutkan hampir semua komponen senyawa aktif yang terkandung dalam keong matah merah. Kumoro et al. (2009) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat kepolaran suatu pelarut akan meningkatkan rendemen ekstrak dari suatu sampel.

Ekstraksi dengan pelarut air dilakukan menggunakan metode perebusan dan sonikasi. Ekstraksi keong matah merah menggunakan metode perebusan didasarkan atas kebiasaan pada masyarakat dalam mengkonsumsi keong matah merah dengan cara merebusnya menggunakan air (Insanabella 2012). Rendemen ekstrak air perebusan didapatkan hasil sebesar 2,37%. Ekstraksi keong matah merah dengan pelarut air juga dilakukan menggunakan metode sonikasi. Metode ekstraksi menggunakan sonikasi merupakan metode ekstraksi alternatif yang memanfaatkan gelombang ultrasonik. Tania et al. (2009) menjelaskan bahwa metode sonikasi memanfaatkan gelombang ultrasonik dengan frekuensi 42 kHz dapat menghancurkan sel sehingga mempercepat proses perpindahan massa senyawa bioaktif dari dalam sel ke pelarut. Metode sonikasi digunakan sebagai alternatif dari metode ekstraksi maserasi dan perebusan yang merupakan metode ekstraksi konvesional. Ekstraksi keong matah merah menggunakan metode sonikasi dilakukan selama 2 jam untuk menghindari adanya kerusakan zat aktif

16

akibat adanya gelombang ultrasonik yang terlalu lama. Rendemen ekstrak air sonikasi didapatkan hasil sebesar 1,9%.

Perbedaan nilai rendemen ekstrak menggunakan pelarut air dengan metode perebusan dan sonikasi diduga karena adanya proses pemanasan pada metode ekstraksi perebusan yang mempengaruhi kelarutannya. Pemanasan pelarut dapat mempercepat larutnya zat terlarut. Pelarut dengan suhu yang lebih tinggi akan lebih cepat melarutkan zat terlarut dibandingkan pelarut dengan suhu lebih rendah. Proses pemanasan akan menyebabkan partikel bergerak lebih cepat dibandingkan pada suhu rendah, sehingga kontak antara pelarut dengan bahan menjadi lebih efektif. Oleh karena itu rendemen ekstrak air perebusan lebih besar dibandingkan rendemen ekstrak air sonikasi. Tingginya nilai rendemen ekstrak air perebusan juga diduga karena adanya senyawa selain dari isi sel yang ikut terlarut akibat proses perebusan. Nusantoro dan Haryadi (2003) menjelaskan bahwa proses perebusan akan menyebabkan terjadinya degradasi senyawa-senyawa penyusun jaringan sehingga tidak hanya isi sel saja yang terekstrak, tetapi juga akan mengekstrak senyawa-senyawa lain hasil degradasi yang larut dalam pelarut.

Rendemen ekstrak menggunakan pelarut metanol dan pelarut air menunjukkan nilai yang tinggi dibandingkan hasil ekstraksi dengan pelarut aseton dan pelarut n-heksana. Hal tersebut mengindikasikan bahwa komponen-komponen bioaktif dalam keong matah merah lebih bersifat polar karena banyak yang terekstrak pada pelarut polar, yaitu metanol dan air. Hasil ini didukung oleh penelitian dari Susanto (2010) yang menyatakan bahwa kandungan komponen senyawa aktif yang bersifat polar pada filum moluska umumnya terdapat dalam jumlah yang lebih banyak dibanding komponen-komponen senyawa aktif lain yang bersifat non polar dan semi polar.

Perbedaan rendemen ekstrak dalam penelitian ini diduga disebabkan oleh penggunaan jenis pelarut yang berbeda. Kumoro et al. (2009) menyatakan bahwa perbedaan rendemen dari ekstrak dipengaruhi oleh tingkat kepolaran pelarut. Salamah et al. (2008) juga menjelaskan bahwa pelarut yang berbeda akan melarutkan senyawa-senyawa yang berbeda tergantung tingkat kepolarannya, sehingga jumlah ekstrak yang dihasilkan bergantung pada jenis pelarutnya. Penggunaan metode maserasi, perebusan dan sonikasi untuk mengekstraksi keong matah merah dalam penelitian ini juga memberikan pengaruh terhadap nilai rendemen ekstrak. Sani et al. (2014) menyatakan bahwa perbedaan pelarut dan perbedaan metode ekstraksi yang digunakan akan mempengaruhi rendemen sampel yang dihasilkan.

Hasil Uji Toksisitas Ekstrak Keong Matah Merah (Cerithidea obtusa) terhadap Artemia salina dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

Uji toksisitas ekstrak keong matah merah terhadap A. salina dilakukan menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). BSLT merupakan metode untuk memprediksi senyawa yang bersifat racun dengan mudah dan sederhana, serta dapat digunakan untuk prescreening keberadaan senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak (Meyer et al. 1982). Hasil uji toksisitas ekstrak keong matah merah ditampilkan pada Tabel 4.

17 Tabel 4 Hasil uji toksisitas ekstrak keong matah merah (Cerithidea obtusa)

Jenis ekstrak LC50 (ppm) Kategori

Air perebusan 1672,57 ± 91,73d Tidak toksik Air sonikasi 1612,72 ± 9,21cd Tidak toksik

Metanol 1485,29 ± 51,72c Tidak toksik

Aseton 773,52 ± 39,16a Toksik rendah

N-heksana 1163,43 ± 59,39b Tidak toksik

Keterangan : angka-angka yang diikuti subscript berbeda menunjukkan hasil perlakuan yang berbeda nyata (p<0,05)

Pengujian toksisitas menggunakan metode BSLT terhadap larva udang

A. salina dilakukan dengan melihat tingkat kematian larva yang disebabkan oleh ekstrak kasar sampel. Tingkat kematian atau mortalitas larva A. salina selanjutnya dianalisis probit untuk menentukan LC50 (lethal concentration 50%). Nilai LC50 merupakan jumlah konsentrasi ekstrak uji yang dapat menyebabkan kematian larva udang A. salina sebesar 50% setelah masa inkubasi 24 jam (Meyer et al. 1982). Contoh perhitungan nilai LC50 dapat dilihat pada Lampiran 4.

Hasil uji normalitas pengujian toksisitas ekstrak keong matah merah terhadap A. salina dapat dilihat pada Lampiran 5. a sil analisis agam α 0 05 toksisitas ekstrak keong matah merah pada Lampiran 6 menunjukkan bahwa jenis ekstrak mempengaruhi nilai LC50. Uji Duncan pada Lampiran 7 menunjukkan bahwa nilai LC50 ekstrak aseton berbeda nyata dengan ekstrak air perebusan, ekstrak air sonikasi, ekstrak metanol dan ekstrak n-heksana. Perbedaan hasil ini diduga karena perbedaan metode ekstraksi dan kemampuan pelarut dalam menarik komponen aktif keong matah merah. Metode ekstraksi perebusan yang menggunakan proses pemanasan dapat menyebabkan rusaknya komponen aktif keong matah merah, hal tersebut diduga menyebabkan tingginya nilai LC50 ekstrak air perebusan. Ali et al. (2013) menyebutkan bahwa kandungan komponen aktif yang terkandung pada masing-masing jenis ekstrak dapat mempengaruhi toksisitasnya.

Suatu ekstrak termasuk ke dalam kategori sangat toksik apabila memiliki nilai LC50 kurang dari 30 ppm, dianggap kategori toksik apabila memiliki nilai LC50 diantara 31-200 ppm, dianggap kategori toksik rendah apabila memiliki nilai LC50 diantara 201-1000 ppm dan dianggap tidak toksik apabila nilai LC50 lebih dari 1000 ppm (McLaughlin et al. 1998). Hasil dari pengujian toksisitas ekstrak keong matah merah menunjukkan bahwa ekstrak aseton memiliki nilai LC50 terendah yaitu sebesar 773,52 ppm dan ekstrak air perebusan memiliki nilai LC50 tertinggi yaitu sebesar 1672,57 ppm. Hal ini dapat dikatakan bahwa ekstrak aseton memiliki senyawa yang lebih toksik diantara jenis ekstrak lainnya.

Hasil pengujian toksisitas ekstrak keong matah merah menunjukkan bahwa ekstrak aseton termasuk dalam kategori toksik rendah. Karakteristik ekstrak aseton yang berbentuk pasta diduga mempengaruhi hasil toksisitasnya terhadap A. salina. Hasil ekstraksi yang berbentuk pasta diduga masih mengandung pelarut aseton yang dapat mempengaruhi toksisitas ekstrak keong matah merah. Ali et al. (2013) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa penggunaan ekstrak kasar kering untuk pengujian toksisitas terhadap larva udang

A. salina dapat mengurangi adanya toksisitas akibat pengaruh pelarut yang digunakan.

18 101,56 ± 5,07a 96,48 ± 1,15a 103,25 ± 3,06a 126,66 ± 8,80b 0 30 60 90 120 150 20 40 80 160 Via bil it a s (%) Konsentrasi (ppm) 226,59 ± 181,13a 159,06 ± 70,32a 207,06 ± 145,66a 196,96 ± 128,70a 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 20 40 80 160 Via bil it a s (%) Konsentrasi (ppm)

Toksisitas ekstrak keong matah merah juga diduga dipengaruhi oleh komponen aktif yang terkandung di dalamnya. Veni dan Pushpanathan (2014) menjelaskan bahwa kandungan komponen aktif ekstrak suatu bahan dapat menyebabkan kematian larva udang dalam konsentrasi tertentu. Mustanir dan Rosnani (2008) menyatakan bahwa pelarut aseton dapat menarik senyawa aktif seperti alkaloid, terpenoid dan steroid. Senyawa-senyawa tersebut diduga dalam kadar tertentu dapat menyebabkan kematian larva udang.

Hasil Uji Toksisitas Ekstrak Keong Matah Merah (Cerithidea obtusa) terhadap Sel Vero dengan Metode MTT assay

Pengujian toksisitas ekstrak keong matah merah terhadap sel Vero dilakukan menggunakan metode MTT assay. Prinsip kerja dari metode ini didasari oleh reduksi garam tetrazolium oleh enzim suksinat dehydrogenase yang terdapat pada mitokondria sel hidup. Reaksi tersebut akan menghasilkan kristal formazan yang tidak dapat larut dalam air, oleh karena itu digunakan etanol 70% untuk melarutkannya sehingga membentuk warna ungu pada sel yang hidup. Jumlah sel yang hidup pada well sebanding dengan absorban yang terukur (Patel et al. 2009). Hasil pengujian toksisitas ekstrak keong matah merah terhadap sel Vero dapat dilihat pada Gambar 5.

(a)

19 80,07 ± 10,05a 79,60 ± 0,16a 79,84 ± 1,15a 82,11 ± 3,05a 0 20 40 60 80 100 20 40 80 160 Via bil it a s (%) Konsentrasi (ppm) 81,90 ± 2,87a 81,01 ± 3,67a 83,44 ± 1,84a 82,22 ± 1,95a 0 20 40 60 80 100 20 40 80 160 Via bil it a s (%) Konsentrasi (ppm) 96,35 ± 10,91a 96,43 ± 3,21a 85,55 ± 1,38a 72,97 ± 17,10a 0 20 40 60 80 100 120 20 40 80 160 Via bil it a s (%) Konsentrasi (ppm) (c) (d) (e)

Gambar 5 Persentase viabilitas sel Vero pada konsentrasi ekstrak 20 ppm, 40 ppm, 80 ppm, 160 ppm: (a) Ekstrak air perebusan, (b) Ekstrak air sonikasi, (c) Ekstrak metanol, (d) Ekstrak aseton, (e) Ekstrak n-heksana

Persentase viabilitas sel Vero menunjukkan hasil fluktuatif pada masing-masing konsentrasi ekstrak air perebusan keong matah merah (Gambar 5a). Hasil uji normalitas pengujian toksisitas ekstrak air perebusan keong matah merah

20

terhadap sel Vero dapat dilihat pada Lampiran 8. Hasil analisis agam α 0 05 pada Lampiran 9 menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak air perebusan memberikan pengaruh terhadap persentase viabilitas sel Vero. Hasil uji lanjut Duncan pada Lampiran 10 menunjukkan bahwa persentase viabilitas sel Vero pada konsentrasi 160 ppm sebesar 126,66% berbeda nyata dengan persentase viabilitas sel Vero pada konsentrasi 20 ppm, 40 ppm dan 80 ppm.

Persentase viabilitas sel Vero menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada konsentrasi ekstrak air sonikasi 20 ppm, 40 ppm, 80 ppm dan 160 ppm. Hasil uji normalitas pengujian toksisitas ekstrak air sonikasi keong matah merah terhadap sel Vero dapat dilihat pada Lampiran 11. Hasil analisis agam α 0 05 pada Lampiran 12 menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak air sonikasi tidak memberikan pengaruh terhadap persentase viabilitas sel Vero. Standar deviasi persentase viabilitas sel Vero pada ekstrak air sonikasi di masing-masing konsentrasi menunjukkan nilai yang besar, hal ini dapat dikatakan bahwa persentase viabilitas sel Vero pada masing-masing ulangan memiliki hasil yang fluktuatif. Hal ini disebabkan oleh ekstrak air sonikasi tidak terlarut sempurna sehingga hasil yang diberikan pada masing-masing ulangan berbeda.

Hasil uji normalitas pengujian toksisitas ekstrak metanol keong matah merah terhadap sel Vero dapat dilihat pada Lampiran 13. Hasil analisis ragam α 0 05 pada ampi an 14 menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak metanol tidak memberikan pengaruh terhadap persentase viabilitas sel Vero. Persentase viabilitas sel Vero tidak berbeda nyata pada konsentrasi ekstrak metanol 20 ppm, 40 ppm, 80 ppm dan 160 ppm.

Persentase viabilitas sel Vero pada ekstrak aseton menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata di masing-masing konsentrasi 20 ppm, 40 ppm, 80 ppm dan 160 ppm. Hasil uji normalitas pengujian toksisitas ekstrak aseton keong matah merah terhadap sel Vero dapat dilihat pada Lampiran 15. Hasil analisis ragam α 0 05 pada ampi an 16 menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak aseton tidak memberikan pengaruh terhadap persentase viabilitas sel Vero.

Hasil uji normalitas pengujian toksisitas ekstrak n-heksana keong matah merah terhadap sel Vero dapat dilihat pada Lampiran 17. Hasil analisis ragam α 0 05 pada ampi an 18 menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak n-heksana tidak memberikan pengaruh terhadap persentase viabilitas sel Vero. Persentase viabilitas sel Vero tidak berbeda nyata pada konsentrasi 20 ppm, 40 ppm, 80 ppm dan 160 ppm.

Pengujian toksisitas menggunakan metode MTT assay bertujuan untuk mengetahui keamanan ekstrak keong matah merah terhadap sel Vero. Menurut Senthilraja dan Kathiresan (2015) sel Vero merupakan sel normal monolayer berbentuk poligonal dan pipih yang diisolasi dari sel ginjal moyet hijau Afrika. Sel Vero sering digunakan untuk mempelajari pertumbuhan sel, diferensiasi sel, sitotoksisitas dan tranformasi sel yang diinduksi oleh berbagai senyawa kimia.

Persentase viabilitas sel Vero pada semua konsentrasi ekstrak keong matah merah menunjukkan nilai diatas 70%. Batas aktivitas ekstrak kasar berdasarkan

Dokumen terkait