• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses penyamakan mampu memberikan pengaruh terhadap karakterisitik kulit samak. Kulit mentah yang dikonversi menjadi kulit samak akan mengalami perubahan sifat fisik, kimia, maupun organoleptik. Salah satu perubahan yang sangat terlihat adalah peningkatan tebal kulit. Tebal kulit berubah akibat adanya reaksi antara bahan penyamak dan kolagen kulit yang menyebabkan efek penambahan volume pada kulit.

Hasil pengujian terhadap respon peningkatan tebal kulit (Lampiran 6) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan tebal sebesar 31 – 33%, yang semula berada di kisaran 0.5 – 2.0 mm menjadi 0.65 – 2.5 mm. Peningkatan tersebut sudah memenuhi SNI (BSN 2009) untuk syarat mutu kulit bagian atas alas kaki – kulit kambing dengan nilai tebal kulit minimal sebesar 0.5 mm. Berdasarkan analisis ragam (anova), didapatkan nilai signifikansi untuk faktor jenis sebesar 0.062 (> 0.05) dan faktor dosis tersarang sebesar 0.186 (> 0.05). Hasil tersebut menyatakan bahwa faktor jenis dan dosis tersarang tidak berpengaruh nyata terhadap nilai peningkatan tebal kulit. Karena hasil analisis ragam menyatakan

11 bahwa faktor-faktor tersebut tidak memberikan pengaruh nyata, maka uji lanjut Duncan tidak perlu dilakukan. Hasil data dan analisis ragam dapat dilihat di Lampiran 6.

Proses peminyakan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan tebal kulit samak karena proses ini merupakan reaksi fisik. Pada proses peminyakan terjadi pengisian ruang serat kosong antar kulit. Hal ini jelas berbeda dengan proses penyamakan yang merupakan reaksi kimia antara bahan penyamak dengan kolagen kulit. Thorstensen (1993) dan Suparno et al. (2011) menyatakan bahwa adanya reaksi ikatan antara bahan penyamak dan kolagen kulit menyebabkan terjadinya peningkatan tebal kulit. Pada proses penyamakan kulit terjadi penumpukan serabut kolagen yang membentuk anyaman sehingga menyebabkan peningkatan tebal kulit. Penggunaan bahan penyamak nabati yang salah satu sifatnya adalah memberikan efek pertambahan volume pada kulit samak menjadi salah satu penyebab terjadinya peningkatan tebal kulit. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Joenoes (2002) yang menyatakan bahwa gambir bereaksi sangat cepat dalam menyamak kulit mentah dengan mengisi gugus protein yang bebas, sehingga peningkatan tebal kulit menjadi lebih tinggi bila dibandingkan dengan bahan penyamak nabati yang lain.

Suhu Kerut

Kulit samak akan mengalami pengerutan dalam rentang waktu tertentu apabila terpapar oleh panas. Semakin besar suhu panas dan lamanya waktu yang dialami oleh kulit samak pada saat terpapar, maka kulit samak akan semakin mengerut. Suhu kerut atau shrinkage temperature (Ts) merupakan suhu pada saat kulit mengerut sebanyak 0.3% dari panjang awalnya (SLTC 1996). Yahua et al. (2011) menjelaskan bahwa suhu kerut merupakan suhu saat kulit mulai mengerut di dalam air atau media panas lainnya.

Hasil pengujian suhu kerut (Lampiran 7) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan suhu kerut seiring dengan peningkatan dosis bahan peminyak dari setiap jenis bahan peminyak yang digunakan. Secara berurutan nilai suhu kerut meningkat dari kisaran 124oC – 127oC. Nilai suhu kerut terbesar dimiliki oleh sampel dengan jenis bahan peminyak alami pada dosis 15% dengan nilai sebesar 127oC, sedangkan nilai suhu kerut terkecil dimiliki oleh sampel dengan jenis bahan peminyak alami pada dosis 3% dengan nilai sebesar 124.5oC. Berdasarkan analisis ragam didapatkan nilai signifikansi untuk faktor jenis sebesar 0.838 (> 0.05) dan faktor dosis tersarang sebesar 0.001 (< 0.05). Hasil tersebut menyatakan bahwa hanya faktor dosis tersarang yang berpengaruh nyata terhadap nilai suhu kerut.

Pada faktor dosis tersarang (Gambar 4), dapat dilihat bahwa nilai suhu kerut berkisar antara 124oC – 127oC. Nilai suhu kerut terbesar dihasilkan oleh bahan peminyak alami pada dosis 15% dengan nilai sebesar 127oC, sedangkan nilai suhu kerut terkecil dihasilkan oleh bahan peminyak alami pada dosis 3% dengan nilai sebesar 124.5oC. Meski didapatkan hasil yang berbeda nyata pada faktor dosis tersarang, uji lanjut Duncan pada dosis tersarang tidak dapat dilakukan karena yang menjadi faktor utama pada rancangan percobaan yang digunakan adalah faktor jenis bahan peminyak. Faktor dosis yang tersarang pada bahan peminyak alami sudah pasti berbeda dengan faktor dosis yang tersarang pada bahan peminyak sintetis. Faktor dosis yang tersarang pada bahan peminyak alami akan

12

tetap tersarang pada bahan peminyak alami dan tidak akan pernah pindah ke jenis bahan peminyak sintetis. Hal ini menyebabkan tidak akan ada interaksi yang terjadi antara dosis yang tersarang pada setiap bahan peminyak. Rancangan inilah yang menjadi dasar dari rancangan percobaan tersarang (nested design). Tabel data dan analisis ragam dari respon suhu kerut dapat dilihat pada Lampiran 7.

Peningkatan suhu kerut terjadi akibat proses penyamakan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Thorstensen (1993) dan Suparno et al. (2011) yang menyatakan bahwa penggunaan bahan penyamak selama proses penyamakan menghasilkan reaksi ikatan antara bahan penyamak dan kolagen. Reaksi tersebut mampu meningkatkan stabilitas hidrotermal kulit dengan adanya ikatan silang yang terjadi, sehingga struktur kulit yang semula terpisah kemudian bergabung bersama menjadi struktur yang lebih kuat. Suhu kerut tidak akan meningkat apabila jumlah krom pada kulit prapenyamakan tinggi. Jika kandungan krom rendah, maka akan terjadi peningkatan suhu kerut. Schröpfer dan Meyer (2012) menjelaskan bahwa meski terjadi peningkatan suhu kerut pada penambahan bahan peminyak, akan tetapi peningkatan suhu kerut secara dominan disebabkan oleh adanya peningkatan derajat crosslinking yang diikuti dengan peningkatan stabilitas hidrotermal. Proses prapenyamakan juga mampu memberikan pengaruh terhadap stabilitas hidrotermal kulit. Hasil penelitian Brown et al. (2012) menunjukkan bahwa proses pelepasan bulu (unhairing) dapat mempengaruhi struktur kolagen dari kulit. Perbedaan struktur kolagen inilah yang menyebabkan stabilitas hidrotermal dari kulit menjadi ikut berbeda.

Gambar 4 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai suhu kerut kulit samak ikan tuna

Kekuatan Sobek

Kekuatan sobek (tear strength) merupakan besarnya gaya maksimal yang dibutuhkan untuk merobek kulit (ikatan kolagen) tiap mm ketebalan sampel. Kuat sobek juga dapat diartikan sebagai suatu besaran yang menentukan seberapa baik suatu material/sampel mampu menahan gaya sobekan. Secara sederhana kekuatan

100 105 110 115 120 125 130 Alami Sintetis S u h u K e ru t ( oC)

Jenis Bahan Peminyak

3% 6% 9% 12% 15% Konsentrasi

13 sobek menunjukkan batas maksimal yang dapat diterima oleh kulit untuk dapat sobek.

Hasil pengujian kekuatan sobek (Lampiran 8) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai kekuatan sobek seiring dengan peningkatan dosis bahan peminyak dari setiap jenis bahan peminyak yang digunakan. Nilai kekuatan sobek terbesar dihasilkan oleh sampel jenis bahan peminyak alami pada dosis 15% dengan nilai sebesar 156.3 N/mm, sedangkan nilai terkecil dimiliki oleh sampel jenis bahan peminyak alami pada dosis 3% dengan nilai sebesar 76.1 N/mm. Berdasarkan analisis ragam, didapatkan nilai signifikansi untuk faktor jenis sebesar 0.005 (< 0.05) dan faktor dosis tersarang sebesar 0.000 (< 0.05). Hasil tersebut menyatakan bahwa faktor jenis dan dosis tersarang berpengaruh nyata terhadap respon kekuatan sobek.

Pada faktor jenis bahan peminyak (Gambar 5), nilai kekuatan sobek yang dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis (121.8 N/mm) lebih tinggi dibandingkan dengan jenis bahan peminyak alami (114 N/mm). Dari hasil uji lanjut Duncan didapatkan dua grup berbeda, yaitu grup A yang merupakan bagian dari jenis bahan peminyak sintetis dengan nilai sebesar 121.8 N/mm, dan grup B yang merupakan bagian dari jenis bahan peminyak alami dengan nilai sebesar 114 N/mm. Perbedaan kode grup menyatakan bahwa hasil yang didapatkan adalah berbeda nyata. Hal ini secara jelas menyatakan bahwa jenis bahan peminyak alami berbeda nyata dengan jenis bahan peminyak sintetis, sehingga hasilnya berbeda nyata terhadap nilai kekuatan sobek kulit samak.

Gambar 5 Hubungan faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai kekuatan sobek kulit samak ikan tuna

Pada faktor dosis tersarang (Gambar 6), terlihat jelas bahwa peningkatan nilai kekuatan sobek meningkat seiring dengan peningkatan dosis bahan peminyak yang digunakan. Hasil serupa juga dinyatakan oleh Nurdiansyah (2012) serta Pahlawan dan Kasmudjiastuti (2012) yang menyatakan bahwa pertambahan dosis bahan peminyak menyebabkan peningkatan nilai kekuatan sobek. Nilai kekuatan sobek terbesar dihasilkan oleh bahan peminyak alami pada dosis 15% dengan nilai

80 90 100 110 120 130 140 Alami Sintetis K e k u a ta n S o b e k ( N /mm)

14

sebesar 156.3 N/mm, dan nilai terkecil dihasilkan oleh bahan peminyak alami pada dosis 3% dengan nilai sebesar 76.1 N/mm. Nilai tersebut sudah melewati batas SNI (BSN 2009) untuk syarat mutu kulit bagian atas alas kaki – kulit kambing dengan nilai minimal sebesar 150 N/cm atau 15 N/mm. Tabel data, analisis ragam dan uji lanjut Duncan dari respon kekuatan sobek dapat dilihat di Lampiran 8.

Suparno dan Wahyudi (2012) menyatakan bahwa nilai kekuatan sobek sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti tebal kulit, sudut antar serat dengan lapisan grain, arah serat kolagen dan lokasi sampel pada kulit. Selain itu, keberhasilan proses pengapuran (liming) dan pelumatan (bating) menjadi kunci peningkatan kekuatan sobek. Proses liming dan bating menyebabkan tenunan serat kolagen terbuka. Apabila proses liming dan bating dilakukan secara berlebihan, maka tenunan serat kolagen akan terbuka lebar dan terurai. Apabila proses liming dan bating dilakukan dengan kurang sempurna, maka tenunan serat kolagen tidak akan terbuka sehingga menyebabkan sulitnya penetrasi bahan penyamak ke dalam kulit.

Gambar 6 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai kekuatan sobek kulit samak ikan tuna

Purnomo (2002) menjelaskan bahwa kulit yang tebal memiliki tenunan serat kolagen yang berikatan lebih banyak dan menumpuk, berbeda dengan kulit yang tipis yang memiliki tenunan serat kolagen yang longgar. Perbedaan tersebut menyebakan gaya yang dibutuhkan untuk menyobek kulit tebal lebih besar jika dibandingkan dengan kulit tipis. Penambahan bahan peminyak menyebabkan nilai kekuatan sobek meningkat. Hal ini disebabkan oleh penetrasi molekul minyak ke dalam ruang kosong antar serat kolagen sehingga molekul minyak melapisi setiap tenunan serat kolagen. Tenunan serat kolagen yang terlapisi oleh bahan peminyak menjadi lebih lemas dan elastis. Serat kolagen yang elastis menyebabkan kulit lebih sulit untuk disobek sehingga dibutuhkan gaya yang lebih besar dari biasanya meski ketebalan kulit tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Hal inilah yang menyebabkan nilai kekuatan sobek dari kulit samak meningkat.

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 Alami Sintetis K e k u a ta n S o b e k ( N /mm)

Jenis Bahan Peminyak

3% 6% 9% 12% 15% Konsentrasi

15 Kekuatan Tarik

Kekuatan tarik (tensile strength) merupakan besar gaya maksimal yang dibutuhkan untuk menarik kulit hingga putus tiap mm2 sampel kulit. Kekuatan tarik merupakan salah satu respon penting pada mutu kulit samak. Nilai kekuatan tarik yang tidak memenuhi standar akan menyebabkan kulit mudah pecah atau retak. Hasil pengujian kekuatan tarik (Lampiran 9) menunjukkan bahwa nilai kekuatan tarik mengalami penurunan seiring dengan peningkatan dosis bahan peminyak pada setiap jenis bahan peminyak yang digunakan. Nilai kekuatan tarik terbesar dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 3% dengan nilai sebesar 27.9 N/mm2, sedangkan nilai terkecil dihasilkan oleh jenis bahan peminyak alami pada dosis 15% dengan nilai sebesar 14.9 N/mm2. Berdasarkan analisis ragam, didapatkan nilai signifikansi untuk faktor jenis sebesar 0.117 (> 0.05) dan faktor dosis tersarang sebesar 0.000 (< 0.05). Hasil tersebut menyatakan bahwa hanya faktor dosis tersarang yang berpengaruh nyata terhadap nilai kekuatan tarik.

Pada faktor dosis tersarang (Gambar 7), terlihat bahwa nilai kekuatan tarik menurun seiring dengan pertambahan dosis bahan peminyak. Nilai kekuatan tarik terbesar dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 3% dengan nilai sebesar 27.9 N/mm2, sedangkan nilai terkecil dihasilkan oleh jenis bahan peminyak alami pada dosis 15% dengan nilai sebesar 14.9 N/mm2. Pada faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak sintetis, meski terjadi penurunan nilai kekuatan tarik, akan tetapi penurunan pada dosis 9% terlalu besar, yaitu dengan nilai 15.6 N/mm2. Seharusnya nilai kekuatan tarik pada dosis 9% berada di antara nilai 21 N/mm2 (dosis 6%) dan 18.6 N/mm2 (dosis 12%). Hal ini disebabkan oleh sampel uji yang dibuat berasal dari bagian kulit yang tidak terlalu tebal sehingga nilai kekuatan tarik yang dihasilkan menjadi sangat kecil. Selain tebal kulit, keberadaan kolagen pada sampel uji juga mempengaruhi nilai kekuatan tarik. Besar kemungkinan bahwa jumlah kolagen pada sampel uji tidak lebih banyak dibandingkan dengan kulit lainnya. Hal ini dapat dilihat dari hasil ulangan pertama dan kedua pada pengujian kekuatan tarik (Lampiran 9). Tebal kulit yang tidak seragam dapat menyebabkan jumlah bahan penyamak yang terikat oleh kolagen menjadi berbeda. Meski dengan jumlah bahan penyamak yang sama, akan tetapi karena terjadi perbedaan jumlah kolagen, maka pengikatan bahan penyamak antara kulit yang satu dan lainnya akan berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan nilai-nilai sifat fisik yang dihasilkan berbeda pula. Penggunaan bahan peminyak dengan dosis 3% sudah memenuhi nilai batas SNI (BSN 2009) untuk syarat mutu kulit bagian atas alas kaki – kulit kambing dengan nilai minimal sebesar 16 N/mm2. Tabel data dan analisis ragam dari respon kekuatan tarik dapat dilihat di Lampiran 9.

16

Gambar 7 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai kekuatan sobek kulit samak ikan tuna

Menurut Suparno et al. (2011), nilai kekuatan tarik kulit samak dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jenis bahan penyamak, arah serat (sejajar dan tegak lurus), proses penyamakan, ketebalan kulit dan lokasi pengambilan sampel. Kanagy (1977) dalam Amwaliya (2011) menyatakan bahwa nilai kekuatan tarik dipengaruhi oleh komposisi protein serat di dalam kulit. Proses peminyakan juga mempengaruhi nilai kekuatan tarik. Purnomo (2002) menyatakan bahwa proses peminyakan merupakan proses penetrasi molekul minyak ke dalam ruang kosong antar serat kolagen kulit. Ketika serat kolagen dilapisi oleh minyak, maka serat kolagen tersebut menjadi lebih mulur, lemas dan elastis. Hal ini sejalan dengan pendapat Palop (2007) dan Sivakumara et al. (2008) yang menyatakan bahwa proses peminyakan merupakan proses kompleks yang mampu mempengaruhi sifat fisik kulit samak seperti kekuatan tarik, kekuatan sobek, kelemasan dan kemuluran. Serat kolagen yang menjadi lebih mulur dan elastis menyebabkan gaya yang dibutuhkan untuk menarik kulit hingga putus menjadi lebih kecil. Meski dengan ketebalan yang serupa, akan tetapi dengan berkurangnya gaya yang dibutuhkan untuk menarik kulit hingga putus, maka nilai kekuatan tarik akan semakin kecil. Hal ini sesuai dengan yang telah dilakukan oleh Nurdiansyah (2012) yang menyatakan nilai kekuatan tarik menurun seiring dengan peningkatan dosis bahan peminyak yang digunakan.

Covington (2009) menjelaskan bahwa pada kulit samak dikenal istilah handle yang merupakan sifat kompleks dari kulit samak dan berhubungan secara langsung dengan sifat yang dihasilkan oleh kulit samak ketika kulit berhasil dimanipulasi. Handle merupakan gabungan dari densitas, tingkat kelemasan, kekakuan, kelenturan, kelembutan/kehalusan, dan kemuluran yang dimiliki oleh kulit. Selain handle, dikenal juga istilah strength (kekuatan) yang merupakan kemampuan suatu material untuk tahan terhadap kekuatan tarik atau putus. Pada kulit samak, strength merupakan kemampuan kulit untuk menghilangkan ketegangan berlebih yang diakibatkan oleh pergerakan struktur jaringan serat.

0 5 10 15 20 25 30 Alami Sintetis K e k u a ta n T a ri k ( N /mm 2)

Jenis Bahan Peminyak

3% 6% 9% 12% 15% Konsentrasi

17 Terdapat dua kondisi yang harus dipenuhi untuk menghilangkan ketegangan tersebut:

1. Jaringan serat tidak boleh berikatan kembali pada saat proses pengeringan berlangsung.

2. Jaringan serat harus dilumasi agar pada saat proses pengeringan berlangsung, meskipun terjadi gesekan antar jaringan serat, akan tetapi tidak terdapat jaringan serat yang saling berikatan.

Hal inilah yang menjadi peran utama proses peminyakan dalam upaya memenuhi dua kondisi tersebut, yaitu mencegah terjadinya resticking (berikatan kembali) antar jaringan serat dengan cara mengisi ruang kosong antar serat-serat kulit dan melumasi setiap jaringan serat kulit. Dari proses tersebut dihasilkan kulit samak yang lebih lunak, liat, mulur, lembut dan lemas.

Perpanjangan Putus

Perpanjangan putus (elongation at break) merupakan nilai elastisitas kulit pada saat kulit ditarik hingga putus yang kemudian dibagi dengan panjang semula dan dinyatakan dalam satuan persen. Secara sederhana perpanjangan putus merupakan perubahan panjang kulit yang terjadi pada saat kulit sebelum dan sesudah ditarik hingga putus. Kulit yang memiliki nilai perpanjangan putus yang tinggi menunjukkan bahwa kulit tersebut sangat elastis dan tidak mudah sobek. Perpanjangan putus merupakan salah satu respon penting pada mutu kulit samak.

Hasil pengujian perpanjangan putus (Lampiran 10) menunjukkan bahwa nilai perpanjangan putus meningkat seiring dengan peningkatan dosis bahan peminyak pada setiap jenis bahan peminyak yang digunakan. Nilai perpanjangan putus terbesar dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 15% dengan nilai sebesar 80.8%, sedangkan nilai perpanjangan putus terkecil dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 3% dengan nilai sebesar 45.3%. Berdasarkan analisis ragam, nilai signifikansi untuk faktor jenis dan dosis tersarang adalah 0.000 (< 0.05). Hasil tersebut menyatakan bahwa faktor jenis dan dosis tersarang berpengaruh nyata terhadap nilai perpanjangan putus kulit samak ikan tuna.

Pada faktor jenis bahan peminyak (Gambar 8), terlihat bahwa terjadi perbedaan nilai perpanjangan putus yang cukup jauh antara jenis bahan peminyak alami dan sintetis. Nilai terbesar dihasilkan oleh bahan peminyak sintetis dengan nilai sebesar 60.8%, sedangkan nilai terkecil dihasilkan oleh bahan peminyak alami dengan nilai sebesar 55.8%. Dari uji lanjut Duncan didapatkan hasil berupa dua grup berbeda, yaitu grup A yang diisi oleh jenis bahan peminyak sintetis dengan nilai sebesar 60.8% dan grup B yang diisi oleh jenis bahan peminyak alami dengan nilai sebesar 55.8%. Perbedaan kode grup menyatakan bahwa hasil yang didapatkan adalah berbeda nyata. Hal ini secara jelas menyatakan bahwa jenis bahan peminyak alami berbeda nyata dengan jenis bahan peminyak sintetis, sehingga hasilnya berbeda nyata terhadap nilai perpanjangan putus kulit samak.

18

Gambar 8 Hubungan faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai kekuatan tarik kulit samak ikan tuna

Pada faktor dosis tersarang (Gambar 9), nilai perpanjangan putus cenderung meningkat seiring dengan peningkatan dosis bahan peminyak yang digunakan. Nilai perpanjangan putus terbesar dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 15% dengan nilai sebesar 80.8%, sedangkan nilai terkecil dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 3% dengan nilai sebesar 45.3%. Akan tetapi pada jenis bahan peminyak sintetis dengan dosis 12% (53.8%), nilainya menjadi lebih kecil dibandingkan dengan dosis 9% (65.3%). Hal ini disebabkan oleh penetrasi bahan peminyak yang kurang maksimal sehingga tidak melapisi serat-serat kolagen secara baik. Akibatnya, kulit dengan dosis 12% menjadi lebih sulit ditarik jika dibandingkan dengan kulit dengan dosis 9% sehingga nilai perpanjangan putus menjadi lebih kecil. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan, jika hasil tersebut dibandingkan dengan nilai SNI, yaitu maksimum sebesar 55% (BSN 2009), maka hanya sampel jenis bahan peminyak alami dengan dosis 3% (51.2%), dosis 6% (53.9%) dan jenis bahan peminyak sintetis dengan dosis sebesar 3% (45.3%) yang memenuhi syarat batas SNI untuk syarat mutu kulit bagian atas alas kaki – kulit kambing. Tabel data, analisis ragam dan uji lanjut Duncan dari respon perpanjangan putus dapati dilihat di Lampiran 10. 50 52 54 56 58 60 62 64 Alami Sintetis P e rp a n ja n g a n P u tu s ( %)

19

Gambar 9 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai perpanjangan putus kulit samak ikan tuna Nugraha (1999) menyatakan bahwa kulit menjadi lemas akibat tercerainya serat-serat kolagen penyusun tenunan kulit pada proses pengapuran (liming). Pada proses tersebut terjadi reaksi reduksi elastin pada protein kulit. Elastin merupakan protein fibrous yang membentuk serat-serat yang sangat elastis, karena mempunyai rantai asam amino yang membentuk sudut sehingga pada saat mendapat tegangan maka sudut-sudut tersebut akan menjadi lebih lurus dan akan kembali seperti semula apabila tegangan tersebut dilepaskan. Selanjutnya pelemasan kulit juga disebabkan oleh proses peminyakan. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada proses peminyakan terjadi penetrasi molekul minyak ke dalam ruang kosong antar serat kolagen kulit. Purnomo (2002) menjelaskan bahwa akibat dari penetrasi tersebut adalah adanya serat-serat kolagen yang dilapisi oleh molekul minyak sehingga menyebabkan perubahan kulit menjadi lebih lunak, liat, mulur, lembut dan permukaan rajahnya lebih halus. Rachmi (1992) menyatakan bahwa peminyakan juga bertujuan untuk melicinkan serat-serat kulit sehingga membuat serat-serat kulit tidak menempel antara satu dengan yang lainnya, kemudian terjadi peningkatan pada kekuatan/daya tarik, peningkatan elastisitas kulit dan penurunan daya serap air. Hal ini sejalan dengan pendapat Palop (2007) dan Sivakumara et al. (2008) yang menyatakan bahwa proses peminyakan merupakan proses kompleks yang mampu mempengaruhi sifat fisik kulit samak seperti kekuatan tarik, kekuatan sobek, kelemasan dan kemuluran. Nilai perpanjangan putus berhubungan langsung dengan nilai kekuatan tarik. Pada respon kekuatan tarik, serat kolagen yang menjadi lebih mulur dan elastis menyebabkan gaya yang dibutuhkan untuk menarik kulit hingga putus menjadi lebih kecil. Gaya yang lebih kecil menyebabkan kulit dengan mudah untuk ditarik hingga putus. Semakin mudah dan kecil gaya yang dibutuhkan untuk menarik kulit hingga putus, maka semakin kecil nilai kekuatan tarik yang dihasilkan. Semakin kecil nilai kekuatan tarik, maka semakin tinggi perubahan panjang kulit akibat penarikan kulit. Semakin tinggi nilai perubahan panjang yang terjadi, maka semakin tinggi pula nilai perpanjangan putus yang diperoleh. Secara sederhana,

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Alami Sintetis E lo n g a si ( % )

Jenis Bahan Peminyak

3% 6% 9% 12% 15% Konsentrasi

20

semakin kecil nilai kekuatan tarik, maka semakin tinggi nilai perpanjangan putus kulit samak.

Uji Organoleptik

Uji organoleptik merupakan salah satu parameter penting pada mutu kulit samak. Perbedaan jenis dan dosis dari setiap bahan yang digunakan pada proses penyamakan dapat menyebabkan adanya perbedaan sifat kulit samak yang dihasilkan, termasuk sifat organoleptik kulit samak. Penggunaan jenis dan dosis

Dokumen terkait