• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kadar Air Bambu Hitam

Kadar air yang diukur pada penelitian ini adalah kadar air bambu dalam kondisi kering udara, yaitu kondisi bambu yang sudah kering angin. Pengukuran contoh uji kadar air kering udara dilakukan menurut bagian vertikal terhadap sembilan batang bambu. Artinya, masing-masing bagian vertikal batang bambudiwakili oleh tiga contoh uji seperti terlihat pada lampiran 1. Hasil pengukuran rata-rata kadar airnya dalam kondisi kering udara dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Rata-rata kadar air bambu hitam

Bagian Bambu Rata-rata (%)

Pangkal 19,35

Tengah 18,24

Ujung 17,72

Rata-rata Umum 18,44

Hasil pengukuran rata-rata kadar air contoh pada setiap bagian vertikal bambu paling besar adalah pada bagian pangkal yaitu sebesar 19,35%, dan rata-rata kadar air paling rendah adalah pada bagian ujung bambu yaitu sebesar 17,72%. Sedangkan rata-rata umum kadar air untuk keseluruh bagian vertikal bambu adalah 18,44%. Nilai rata-rata ini digunakan sebagai kadar air kontrol untuk pengukuran kandungan pati setelah perlakuan.

Kandungan Pati Bambu Hitam

Pengukuran kadar pati bambu hitam yang dilakukan pada kondisi kadar air 18,44% ini dilakukan berdasarkan perlakuan bagian vertikal bambu dengan sembilan ulangan.

Tabel 6. Persentase Kandungan Pati Bambu Hitam

Bambu ke- KADAR PATI (%)

Pangkal Tengah Ujung Rata-rata

1 1.95 1.90 1.50 1.78 2 1.80 1.55 1.55 1.63 3 1.80 1.75 1.65 1.73 4 2.55 2.05 1.50 2.03 5 2.05 1.45 0.60 1.37 6 0.95 1.25 1.05 1.08 7 1.75 1.80 1.10 1.55 8 1.80 1.20 1.00 1.33 9 1.10 1.00 0.95 1.02 Rata-rata umum 1.75 1.55 1.21 1.5

Hasil pengukuran kandungan pati bambu hitam paling tinggi adalah pada bagian pangkal yaitu sebesar 1.75%, kemudian diikuti oleh bagian tengah yaitu sebesar 1.55%, dan kandungan pati paling rendah adalah pada bagian ujung yiatu sebesar 1,21%. Dari data ini dapat dilihat bahwa semakin ke arah ujung bambu, maka kandungan pati semakin rendah. Hal ini sesuai menurut Duryatmo (2000), yang dapat dilihat pada tabel 3, dimana intensitas serangan organisme perusak lebih tinggi pada buku dan ruas bagian pangkal bambu, karena pada bagian pangkal dan buku memang memiliki kandungan pati yang lebih tinggi dibanding bagian tengah atau ujung. Demikian pula halnya dengan bagian buku, kandungan patinya lebih tinggi daripada bagian ruas.

Hasil analisis sidik ragam pada lampiran 2, menunjukkan bahwa perlakuan bagian vertikal bambu dalam mengukur kandungan pati ternyata berbeda nyata hal ini dapat dilihat pada lampiran. Namun, setelah dilakukan uji lanjut yang dapat dilihat pada lampiran 3, ternyata setiap bagian bambu tidak memiliki pengaruh yang nyata. Hal tersebut dapat dilihat dari huruf pada setiap bagian bambu yang notasikan oleh huruf yang sama.

Penurunan berat pati bambu hitam

Pada tabel 7, terlihat bahwa kandungan pati setelah perlakuan mengalami penurunan. Namun, penurunan kadar pati yang terjadi hanya dalam sepersepuluh sampai seperseratus dari berat pati awal.

Tabel 7. Penurunan berat pati bambu hitam . Konsentrasi Bakteri Lama Fermentasi 1 hari (gr) Kontrol (gr) 3 hari (gr) Kontrol (gr) 5 hari (gr) Kontrol (gr) 2,5 x 108 0,34 0,39 0,38 0,51 0,30 0,35 0,26 0,38 0,32 0,41 0,29 0,36 0,19 0,30 0,20 0,30 0,18 0,22 5 x 108 0,27 0,36 0,35 0,41 0,29 0,36 0,24 0,31 0,20 0,29 0,14 0,24 0,20 0,31 0,08 0,12 0,09 0,20 7,5 x 108 0,32 0,36 0,11 0,19 0,19 0,22 0,29 0,35 0,17 0,25 0,16 0,20 0,19 0,33 0,16 0,21 0,06 0,19

Jika penurunan berat pati pada tabel ini dibandingkan dengan tabel penurunan pati menurut Shultoni (2000) yang dapat dilihat dari tabel 4, maka perlakuan perendaman yang menggunakan waktu 1 sampai 3 bulan juga tidak menunjukkan penurunan berat yang sangat besar. Hal ini berarti cara penurunan kandungan pati dengan fermentasi bakteri yang hanya menggunakan waktu 1 sampai 5 hari sama efektifnya, sehingga dapat mengefisienkan dari segi waktu yang dipakai untuk menurunkan berat kandungan pati bambu hitam.

Persentase penurunan kandungan pati bambu setelah perlakuan

Berdasarkan persentase penurunan kandungan pati pada tabel 8, dapat dilihat bahwa semakin lama waktu yang digunakan, maka persentase penurunan

kandungan pati semakin besar. Secara berturut-turut, persentase penurunan kandungan pati terbesar adalah pada waktu 5 hari yaitu sebesar 30%, kemudian diikuti oleh persentase penurunan kadar pati dengan waktu 3 hari sebesar 28,63%. Dan yang terkecil adalah pada waktu 1 hari yaitu sebesar 26,09%.

Tabel 8. Persentase penurunan kandungan pati bambu hitam. Waktu Fermentasi Konsentrasi Bakteri Kadar Pati Kontrol (%) Kadar Pati Perlakuan (%) Penurunan Kadar Pati (%) 1 hari 2,5 x 108 1.78 1.47 27.02 5 x 108 1.63 1.32 27.69 7,5 x 108 1.73 1.49 23.56 Rata-rata 1.71 1.43 26.09 3 hari 2,5 x 108 2.03 1.75 26.92 5 x 108 1.37 1.22 26.33 7,5 x 108 1.08 0.85 32.64 Rata-rata 1.49 1.27 28.63 5 hari 2,5 x 108 1.55 1.47 17.29 5 x 108 1.33 0.99 38.70 7,5 x 108 1.02 0.78 34.02 Rata-rata 1.30 1.08 30.00 Rata-rata Umum 1.50 1.26 28.24

Sementara, berdasarkan faktor konsentrasi bakteri, persentase penurunan kandungan pati tidak memperlihatkan perubahan yang sesuai jika dibandingkan semakin dengan semakin banyaknya konsentrasi yang diberikan. Hal ini dikuatkan dengan hasil analisis sidik ragam yang dapat dilihat pada lampiran 4, menunjukkan bahwa persentase penurunan kandungan pati ini tidak berbeda nyata, baik dari faktor konsentrasi bakteri, faktor lama fermentasi, maupun interaksi kedua faktor tersebut.

Walaupun hasil analisis sidik ragam tidak menunjukkan pengaruh yang nyata, namun setiap nilai kadar pati setelah perlakuan menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan kadar pati sebelum perlakuan (kontrol). Kondisi ini menyatakan bahwa penurunan kadar pati memang terjadi, namun bukan

disebabkan oleh faktor konsentrasi suspensi bakteri dan faktor waktu fermentasi ataupun pengaruh interaksi kedua faktor tersebut.

Seperti yang telah disebutkan pada tinjauan pustaka, bahwa penelitian ini didasari oleh dua sistem pengawetan bambu yaitu pengawetan secara alami/tradisional tanpa tekanan dengan sistem perendaman dan pengawetan secara modern. Pengawetan secara tradisional membutuhkan waktu yang panjang. Sulthoni dalam Suranto (2006), mengatakan bahwa bambu dalam kondisi terbelah membutuhkan perendaman selama 2 – 3 bulan untuk menghindarkannya dari serangan kumbang bubuk (Dinoderus sp.) tanpa mengurangi kekuatan bambu. Tentu saja untuk bambu dalam keadaan bulat (utuh) membutuhkan waktu yang lebih lama lagi. Selanjutnya, Suranto (2006) melanjutkan bahwa selama perendaman terjadi fermentasi berantai oleh mikroba-mikroba yang didominasi oleh bakteri, terutama Bacillus subtilis, B. masentiricus, Lactobacillus sp, dan Staphylococcus sp.

Sementara pengawetan bambu secara modern ataupun pengawetan tradisional dengan proses tekanan walaupun tidak membutuhkan waktu yang panjang, namun membutuhkan biaya dan peralatan yang mahal. Oleh karena itu, pemakaian bakteri biakan murni akan dapat memperkuat alasan pemanfaatan limbah-limbah organik sebagai lingkungan utama tempat tumbuhnya bakteri.

Alasan-alasan diatas menjadi dasar yang lebih mendekatkan percobaan penelitian lebih pada kondisi lingkungan daripada kondisi yang terkontrol dalam penggunaan suspensi bakteri. Sehingga terjadinya penurunan kadar pati lebih disebabkan oleh kondisi lingkungan yang alami daripada kondisi laboratorium yang steril dan terkontrol.

Beberapa Penyebab Terjadinya Penurunan Kadar Pati.

Hidrolisis Zat Pati Berlangsung Pada Proses Pengendapan

Supardi dan Sukamto (1999), mengatakan bahwa bakteri Escherichia coli tumbuh pada suhu antara 10 – 40oC, dengan suhu optimum 37oC. Sementara percobaan penelitian dilakukan pada suhu kamar. Hal ini menyebabkan bakteri tidak dapat mendegradasi pati secara maksimal. Namun, pendegradasian pati kemungkinan berlangsung pada proses pengendapan ekstraksi pati yang pengambilan contoh ujinya tidak disterilkan lebih dahulu. Hal ini terlihat pada proses pembuangan/penirisan dan pencucian endapan yang lebih banyak terdapat kotoran yang mengapung daripada saat proses endapan untuk pengukuran kadar pati kontrol. Kementerian Lingkungan Hidup-RI (2001-2003), menyebutkan bahwa lama pengendapan yang baik adalah empat jam dan pembuangan air tidak boleh lebih dari satu jam, karena setelah lima jam sudah mulai terjadi pembusukan pada endapan pati. Sementara, waktu pengendapan pada percobaan penelitian ini menggunakan dasar pemanfaatan biji buah sebagai sumber pangan yang waktu pengendapan larutan ekstraksi patinya kurang lebih 10 jam.

Pencucian Pati Pada Dinding Bagian Dalam Bambu

Elsppat (1999), mengatakan bahwa bagian dalam bambu biasanya lebih dahulu terserang daripada bagian luar. Hal ini ini disebabkan karena bagian dalam bambu lebih lunak daripada bagian terluar (kulit bambu) dan kadar pati pada dinding bagian dalam bambu lebih tinggi daripada bagian kulit atau dengan kata lain secara horisontal, semakin kearah kulit, maka kadar pati akan semakin kecil.

Pati merupakan karbohidrat yang tidak mudah larut dalam air, namun pada saat proses pembuangan sisa suspensi bakteri yang terdapat didalam air dapat

membawa pati yang ada di dinding bagian bambu. Hal ini dapat mempengaruhi pengukuran kadar pati, karena pengambilan serbuk contoh uji dengan cara menggergaji adalah serbuk yang berasal dari dinding bagian dalam, tengah (daging), dan kulit.

Tabel 9. Perbandingan beberapa sifat polisakarida dengan mono dan disakarida

Sifat Monosakarida dan

disakarida Polisakarida

Berat molekul rendah sangat tinggi

Rasa manis tidak ada rasa

Kelarutan dalam air larut tidak larut

Besar partikel melewati membran (kecuali disakarida)

tidak melewati membran Reaksi dengan Cu (OH)2 positif (kecuali sukrosa) negatif

Tarigan (1983).

Proses Pematangan Pati oleh Air dan Sinar Matahari (Fotesintesis) Selama proses pematangan, kandungan pati berubah menjadi gula-gula pereduksi yang menimbulkan rasa manis. Buah-buahan sitrus tidak banyak mengandung pati dan ketika menjadi matang hanya mengalami sedikit perubhan komposisi karbohidrat (Winarno, 1995).

Pada golongan tanaman yang berserat terdapat enzim-enzim yang dapat menghidrolisi zat pati. Enzim-enzim tersebut adalah β-amilase, α-amilase, dan fosforilase. Enzim fosforilase mampu memecah ikatan 1,4-glukosidik pati dengan bantuan asam atau ion fosfat, sedangkan amilase memerlukan amilase (Winarno, 1995). Pada proses fermentasi yang menggunakan air inilah yang juga diperkirakan menjadi penyebab berlangsungnya proses pematangan oleh bantuan molekul air.

Menurut Whitaker (1972) dalam Rahman (1992), enzim α-amilase ini menghidrolisa molekul pati dengan memecah ikatan α-1,4-glikosidik secara acak

mulai dari tengah bagian dalam molekul (endoamilase). Sementara enzim β -amilase menghidrolisa molekul pati dengan memecah ikatan α-1,4-glikosidik mulai dari ujung molekul nonpereduksi dan menghasilkan unit-unit maltosa.

Dokumen terkait