• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penurunan Kadar Pati Bambu Hitam (Gigantochloa Atroviolaceae Widjaja) Oleh Fermentasi Suspensi Bakteri Biakan Murni Dengan Metode Vertical Soak Diffusion

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penurunan Kadar Pati Bambu Hitam (Gigantochloa Atroviolaceae Widjaja) Oleh Fermentasi Suspensi Bakteri Biakan Murni Dengan Metode Vertical Soak Diffusion"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

PENURUNAN KADAR PATI BAMBU HITAM (Gigantochloa Atroviolaceae Widjaja)

OLEH FERMENTASI SUSPENSI BAKTERI BIAKAN MURNI DENGAN METODE VERTICAL SOAK DIFFUSION

SKRIPSI

Oleh:

MUHAMMAD YUSUF

011203061/TEKNOLOGI HASIL HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRACT

This research is the part of toneline wood an bamboo. Made from traditional and modern technique. By using vertical soak diffusion metode. There is make hole in bamboo and put in some liquor into it.. The aim of this research is to know about the compotition of starch from black bamboo (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja) with vertical zone: to know about bacteri concentration; and time of fermentation for dropped yielb starch from black bamboo. The equal show, yielb of starchfrom lower until upper from bamboo is 1.75% in lower bamboo, 1.55% in middle of bamboo, and 1.21% in upper of bamboo. Yielb of starch after treatment make some changed to down. But not show big significant change from some factor of treatment or interaction on both of is.

(3)

ABSTRAK

Penelitian ini adalah salah satu bagian ilmu pengawetan. Merupakan pengembangan dari metode tradisional dan modern.. metode yang digunakan adalah vertical soak diffusion, yaitu melubangi bambu dan memasukkan larutan pengawet kedalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi kandungan pati bambu hitam secara vertikal. Mengetahui pengaruh konsentrasi bakteri dan lama waktu fermentasi terhadap penurunan kandungan pati bambu hitam. Perhitungan menunjukkan kandungan pati sebelum perlakuan dari pangkal sampai ke ujung bambu adalah 1,75% pada bagian pangkal bambu, 1,55% pada bagian tengah bambu, dan 1,21% pada bagian ujung bambu. Kandungan pati setelah perlakuan mengalami penurunan, tetapi tidak signifikan dari faktor-faktor perlakuan ataupun interaksi kedua faktor tersebut.

(4)

KATA PENGANTAR

Senandung puji dan lafaz syukur penulis hantarkan kehadirat Allah SWT atas rahmat iman dan karunia-Nya hingga penulis masih memiliki waktu, kesehatan dan materi yang tiada terkira dalam menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, semoga keteladanan beliau selalu mengisi kerinduan sikap, perilaku, dan langkah hidup penulis.

Penulis sadar dan percaya bahwa dengan segala kekurangan yang dimiliki dan kelebihan yang tidak pernah disadari, skripsi ini tidak akan pernah sempurna. Oleh karenanya, interaksi dengan banyak pihak sangat berperan dalam melengkapi kekurangan dan membangkitkan kemampuan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Hubungan yang belum ada menjadi terjalin baik, dan hubungan yang telah baik menjadi semakin baik karena skripsi ini. Oleh sebab itu doa penulis semoga pemikiran, tenaga dan materi yang mereka sumbangkan kedalam bagian kecil dari ilmu pengetahuan ini, Allah SWT akan membalas segala kebaikan mereka. Kepada mereka yang penulis sampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya. Mereka adalah:

(5)

Ayahanda Alm. Misdi, S.H., didikan, mimpi, dan harapanmu padaku yang masih terngiang membuatku mengidolakanmu dengan segala kebesaran cintamu. Juga kepada pendampingmu, ibunda Asmaniar yang kasih sayangnya tidak akan mampu kuterjemahkan dengan indera dan tidak akan pernah benar-benar bisa dipahami oleh setiap anaknya.

Bapak Rudi Hartono, S,Hut.,M.Si., sebagai ketua program studi Teknologi Hasil Hutan yang pernah menjadi komisi pembimbing, peranannya menentukan langkah awal pelaksanaan skripsi ini. Bapak DR. Delvian, SP.MP., selaku dosen penasehat akademik. Tindakan dan lisan beliau memberikan keteladanan yang tidak hanya berlaku sampai penyelesaian skripsi.

Asisten laboratorium mikrobiologi FMIPA USU, saudari Ansen dan Netty serta rekan-rekannya. Transformasi pengetahuan, waktu dan tenaga yang mereka sisihkan mencerahkan inspirasi terhadap skripsi ini.

Kak Yanti, Kak Yeni, dan Kak Sri. Waktu dan pelayanan administrasi yang mereka tingkatkan di akhir masa akademik penulis, membuat penulis mampu menyisihkan waktu yang lebih fokus terhadap penyelesaian skripsi.

Mewakili sahabatku, Bayu, Mukhlis, Masrizal, Zaki, Rizky, Susilo, dan Ferdinal yang selalu hadir saat dibutukan. Semoga penulis sempat membalas kebaikan kalian. Seniorku, fajar, Adrian, Alamsyah, dan Ahmad yang selalu memberikan dukungan. Juniorku, Hatta, Ari, Medianta, Juru, dan Sayful rekan yang handal di lapangan dan meja diskusi. Anggi (Gian Anas), walaupun hanya di awal, perannya masih membekas dan membekali perjalanan skripsi ini.

Medan, Desember 2007

(6)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRACT... i

ABSTRAK... ii

RIWAYAT HIDUP... iii

KATA PENGANTAR………... iv

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

PENDAHULUAN

Jenis-jenis Bambu... 5

Bambu Hitam... 7

Manfaat Bambu... 8

Bambu Sebagai Bahan Konstruksi... 9

Pengawetan... 9

Keawetan Bambu... 10

Penyebab Kerusakan Bambu... 11

Proses-proses Pengawetan... 12

Pengawetan Bambu... 13

Metode Vertical Soak Diffusion... 16

Senyawa Pati... 16

Hidrolisis Pati... 17

Proses Hidolisis Zat Pati... 17

Bakteri... 18

Escherichia coli... 18

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian... 21

Bahan dan Alat Penelitian... 21

Metode Penelitian... 21

Penyiapan Sample Bambu... 21

Penghitungan Kadar Air Bambu Hitam ... 22

Penghitungan Kandungan Pati Bambu Sebelum Perlakuan... 23

Pembuatan Suspensi Bakteri Escherichia coli... 23

Fermentasi Pati Bambu... 24

Penghitungan Kandungan Pati Bambu Sesudah Perlakuan.... 24

(7)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air Bambu Hitam………. 27

Kandungan Pati Bambu Hitam………... 27

Penurunan Berat Pati Bambu Hitam... 29

Persentase Penurunan Kandungan Pati Bambu Setelah Perlakuan.... 29

Beberapa Penyebab Terjadinya Penurunan Kandungan Pati... 32

Hidrolisis Zat Pati Berlangsung Pada Proses Pengendapan... 32

Pencucian Pati Pada Dinding Bagian Dalam Bambu... 32

Proses Pematangan Pati Oleh Air dan Sinar Matahari (Fotosintesis)... 33

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... 35

Saran... 35

DAFTAR PUSTAKA... 37

(8)

DAFTAR TABEL

Hal

1. Jenis-jenis Bambu... 6

2. Jenis dan manfaat bambu... 8

3. Kandungan pati di ruas dan buku bambu ampel dan kaitannya dengan intensitas serangan Dinoderus minutus... 12

4. Pengaruh rendaman terhadap serangan kumbang bubuk... 15

5. Rata-rata kadar air Bambu Hitam... 27

6. Persentase Kandungan Pati Bambu Hitam... 28

7. Penurunan Berat Pati Bambu Hitam ... 29

8. Persentase Penurunan Kandungan Pati Bambu Hitam... 30

(9)

DAFTAR GAMBAR

Hal

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

1. Kadar Air Kering Udara Bambu Hitam………. 39 2. Hasil Analisis Sidik Ragam untuk Kandungan Pati Bambu secara

Vertikal... 39 3. Tabel Hasil Uji Lanjut Untuk Mengetahui Pengaruh Perlakuan

Terhadap Penurunan Kandungan Pati Bambu Hitam... 39 4. Tabel Hasil Analisis Sidik Ragam Persentase Penurunan

(11)

ABSTRACT

This research is the part of toneline wood an bamboo. Made from traditional and modern technique. By using vertical soak diffusion metode. There is make hole in bamboo and put in some liquor into it.. The aim of this research is to know about the compotition of starch from black bamboo (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja) with vertical zone: to know about bacteri concentration; and time of fermentation for dropped yielb starch from black bamboo. The equal show, yielb of starchfrom lower until upper from bamboo is 1.75% in lower bamboo, 1.55% in middle of bamboo, and 1.21% in upper of bamboo. Yielb of starch after treatment make some changed to down. But not show big significant change from some factor of treatment or interaction on both of is.

(12)

ABSTRAK

Penelitian ini adalah salah satu bagian ilmu pengawetan. Merupakan pengembangan dari metode tradisional dan modern.. metode yang digunakan adalah vertical soak diffusion, yaitu melubangi bambu dan memasukkan larutan pengawet kedalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi kandungan pati bambu hitam secara vertikal. Mengetahui pengaruh konsentrasi bakteri dan lama waktu fermentasi terhadap penurunan kandungan pati bambu hitam. Perhitungan menunjukkan kandungan pati sebelum perlakuan dari pangkal sampai ke ujung bambu adalah 1,75% pada bagian pangkal bambu, 1,55% pada bagian tengah bambu, dan 1,21% pada bagian ujung bambu. Kandungan pati setelah perlakuan mengalami penurunan, tetapi tidak signifikan dari faktor-faktor perlakuan ataupun interaksi kedua faktor tersebut.

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dewasa ini, kayu sebagai bahan konstruksi semakin langka dan mahal. Hal ini menyebabkan berkembangnya inisiatif penggunaan bahan alternatif untuk konstruksi. Pemilihan bahan konstruksi tersebut lebih dominan pada bambu. Alasannya, selain memiliki kekuatan dan kelenturan yang tinggi, bambu juga tergolong sustainable material.

Salah satu bambu yang sering dipakai oleh masyarakat Sumatera Utara adalah bambu hitam (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja). Pemanfaatan bambu hitam sudah semakin berkembang, mulai dari mebel, sumpit, papan serat, bahan makanan, konstruksi bangunan, dan lain-lain. Berlian dan Rahayu (1995) juga menambahkan bahwa bambu hitam sangat baik untuk dibuat menjadi alat musik seperti angklung dan calung serta sebagai bahan furniture dan kerajinan tangan.

Sayangnya, umur pakai bambu relatif singkat sehingga nilai ekonomisnya sulit untuk ditingkatkan. Beberapa faktor yang mempengaruhi umur pakai ini, antara lain umur saat tebang, kandungan pati, cara penyimpanan, iklim, dan serangan organisme perusak. Serangan organisme perusak, misalnya bubuk kayu kering, jamur, dan rayap merupakan kendala yang sering dihadapi berkaitan dengan penggunaan bambu. Akibat serangan itu, muncul cacat fisik berupa warna yang tampak kotor serta lapuk (Duryatmo, 2000).

(14)

bahwa perendaman menyebabkan adanya kegiatan fermentasi oleh bakteri di dalam air yang dapat mengubah pati menjadi senyawa kimia lain yang mudah larut dalam air. Suranto (2006) menambahkan bahwa bakteri-bakteri yang berperan dominan dalam menghidrolisis zat pati tersebut adalah dari golongan Bacillus, Lactobacillus, dan Staphylococcus sp.

Kemudian, salah satu metode yang baru dikembangkan untuk meningkatkan keawetan bambu adalah metode vertical soak diffusion (VSD). Metode ini dirasa sangat efektif karena tingkat penetrasi bahan pengawet lebih tinggi jika melalui bagian dalam dari bambu. Bagian dalam bambu lebih bersifat permeabel dibandingkan kulit bambu. Sehingga proses masuknya bahan pengawet atau air yang membawa bakteri lebih mudah masuk secara difusi (Garland, 2003).

Namun, informasi pengawetan bambu hitam (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja) oleh fermentasi bakteri Bacillus cereus biakan murni dengan metode vertical soak diffusion belum tersedia. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi

penulis untuk melakukan penelitian penurunan kandungan pati bambu hitam (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja) oleh fermentasi suspensi bakteri biakan murni dengan metode vertical soak diffusion.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan:

1. Mengetahui variasi kandungan pati bambu hitam secara vertikal.

2. Mengetahui pengaruh konsentrasi bakteri terhadap penurunan kandungan pati bambu hitam.

(15)

Manfaat

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah tersedianya informasi awal tentang kemungkinan pemanfaatan biakan bakteri Escherichia coli untuk menurunkan kandungan pati bambu hitam (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja) dengan metode vertical soak diffusion.

Hipotesa

1. Semakin tinggi konsentrasi suspensi bakteri biakan murni akan semakin mempercepat hidrolisis kandungan pati bambu.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Bambu

Bambu merupakan tanaman yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia dan sudah menyebar di kawasan Nusantara. Tanaman ini dapat tumbuh di daerah iklim basah sampai iklim kering (Departemen Kehutanan & Perkebunan, 1999).

Lopez dan Shanley (2004) menyebutkan bahwa bambu termasuk keluarga rumput-rumputan dan merupakan tumbuhan paling besar di dunia dalam keluarga ini. Ada lebih dari 1200 spesies bambu dan kebanyakan terdapat di Asia. Tumbuhan yang indah ini, dengan kekuatan dan kelenturannya, memiliki manfaat yang tidak terbatas.

Bambu telah menjadi bagian alami dari kehidupan, mulai dari lahir hingga mati. Di Cina dan Jepang, pisau bambu digunakan untuk memotong tali pusar bayi pada saat dilahirkan, dan jenazah orang yang meninggal diletakkan diatas alas yang terbuat dari bambu. Tumbuhan ini sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat sehari-hari (Lopez & Shanley 2004).

Asal-usul Bambu

(17)

menyebar ke daerah subtropik dan daerah beriklim sedang di dataran rendah sampai di dataran tinggi (Berlian & Rahayu, 1995).

Di daerah hujan tropis, bambu tumbuh dalam kelompok. Ketika terjadi gangguan hutan alam, misalnya karena logging. Bambu semakin tersebar, misalnya jenis Phyllostachys ditemukan hampir di seluruh daerah Cina, Jepang, dan Taiwan. Budidaya bambu dilakukan di Indonesia, India, dan Bangladesh (Elsppat, 1999).

Jenis-jenis Bambu

Dari sekitar 75 genus terdiri dari 1.500 spesies bambu di seluruh dunia, 10 genus atau 125 jenis diantaranya terdapat di Indonesia. Berdasarkan sistem percabangan rimpang, genus tersebut dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama, genus yang berakar rimpang dan tumbuh secara simpodial, termasuk didalamnya genus Bambusa, Dendrocalamus, Gigantochloa, dan Schizostachyum. Kedua, genus berakar rimpang dan tumbuh secara monopodial (horizontal) dan bercabang secara lateral sehingga menghasilkan rumpun tersebar, diantaranya genus Arundinaria (Duryatmo, 2000).

(18)

Tabel 1. Jenis-jenis Bambu

No. Nama botanis Sinonim Nama lokal dan

penyebaran

1. Bambusa atra

Lindley

Bambusa lineata Munro Bambusa rumphiana Kurz Dendrocalamus latifolius Laut & K. Shum

Loleba (Maluku, Nena (Shanghai)

Arundo multiplex (Lour.) Bambusa nana (Roxb)

Bambu krisik hijau, Krisik putih, Bambu pagar, Bambu cina (Indonesia), Aor selat (Kalimantan Barat)

3.

Bambusa thouarsii Kunth Bambusa surinamensis Ruprecht

Ampel hijau tua, Ampel hijau muda, Pring gading, Pring tutul (Indonesia)

4. Gigantochloa aspera Schultes F. Kurtz

Dendrocalamus merrilianus (Elmer) Elmer

Bambu petung (Indonesia), Petung coklat (Bengkulu), Petung hijau (Lampung), Petung hitam (Banyuwangi)

5. Dinochloa scadens - Cangkoreh (Sunda)

6.

Bambusa apus J.A. & Schultes

Gigantochloa Kurzii Gamble

Bambu tali (Indonesia)

7.

Gigantochloa verticillata (Willd) sensu Backer

Bambu hitam (Indonesia), Pring wulung (Jawa), Awi hideung (Sunda)

8.

Bambusa thouarsii Kunth var atter Hassk

Gigantochloa verticillata (Wild) Munro sensu Backer

Bambu ater (Indonesia), Pring benel, Pring jawa (Jawa), Awi temen (Sunda)

9. Gigantochloa

pruriens Widjaja -

Buluh belangke, buluh regen (Karo), Buluh yakyak (Gayo)

10.

Gigantochloa pseudoarundinace a (Steudel) Widjaja

Bambusa pseudoarun dinacea Steudel

Gigantochloa verticillata (Wild) Munro

Gigantochloa maxima Kurz

Awi andong besar, Andong leutik, Andong kapas, Andong batu (Sunda), Pring gombong, Pring surat (Jawa)

11.

Melocana zollinger Steudel var. longispi culata Kurz ex Munro S. Longis piculatum (Kurz ex Munro) Kurz

Awi tamiyang (Sunda)

12.

-

Bambu lemang kuning, Lemang hijau (Indonesia), Buluh tolang, Buluh sero (Maluku), Pring lampar (Banyuwangi)

(19)

Bambu Hitam

Bambu hitam (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja) dikenal juga dengan sebutan bambu wulung, pring wulung, pring ireng, atau awi hideung. Jenis ini disebut bambu hitam karena warna batangnya hijau kehitam-hitaman atau ungu tua (Berlian & Rahayu, 1995).

Berlian dan Rahayu (1995), melanjutkan bahwa rumpun bambu hitam agak panjang. Pertumbuhannya pun agak lambat. Buluhnya tegak dengan tinggi 20 m. Panjang ruas-ruasnya 40 – 50 cm, tebal dinding buluhnya 8 mm, dan garis tengah buluhnya 6 – 8 cm. Pelepah batang selalu ditutupi miang yang melekat berwarna cokelat tua. Pelepah ini mudah gugur. Kuping pelepah berbentuk bulat dan berukuran kecil.

Bambu hitam tersebar di Pulau Jawa dan hidup di daerah dataran rendah hingga ketinggian 650 m dpl. Di Jawa Barat jenis bambu ini sangat baik untuk dijadikan alat musik seperti angklung, gambang, atau calung. Bambu hitam dapat juga digunakan untuk furniture dan bahan kerajinan tangan (Berlian & Rahayu, 1995).

Selanjutnya, Berlian dan Rahayu (1995) mengatakan bahwa sifat bambu ini dalam keadaan basah kulitnya tidak begitu keras, tetapi setelah kering sangat keras dan warnanya menjadi hitam kecokelatan. Daya lenturnya kurang sehingga mudah pecah dan mudah putus.

Berdasarkan klasifikasi, bambu hitam tergolong kedalam genus Gigantochloa. Berikut ini adalah uraian dari bambu hitam:

(20)

Ordo : Graminales Famili : Gramineae Subfamili : Bambusoideae Genus : Gigantochloa

Spesies : Gigantochloa atroviolaceae Widjaja. Manfaat Bambu

Bambu merupakan tanaman yang memiliki manfaat sangat penting bagi kehidupan. Semua bagian tanaman mulai dari akar, batang, daun, kelopak, bahkan rebungnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan (Berlian & Rahayu, 1995).

Duryatmo (2000), mengatakan bahwa manfaat tanaman serbaguna ini sangat beragam. Setidaknya ada 600 jenis barang kebutuhan manusia berbahan baku bambu. Dalam kehidupan sehari-hari, perabot berbahan baku bambu mudah dijumpai, diantaranya, meja, kursi, tusuk gigi, tatakan gelas, tudung saji, tempat buah, tas, tirai, tikar hingga sandal.

Tabel 2. Jenis dan manfaat bambu Jenis

Bambu

Kesesuaian Penggunaan Mebel Kertas Sumpit Papan

Serat Konstruksi

Papan

Partikel Sayur

(21)

Bambu Sebagai Bahan Konstruksi

Bambu merupakan salah satu bahan bangunan yang tertua yang digunakan manusia tropik. Bambu juga merupakan bahan bangunan yang sangat terkenal di Indonesia khususnya bagi masyarakat pedesaan. Hal ini disebabkan karena bambu mudah diperoleh, harganya relatif murah dan secara teknis relatif mudah dikerjakan oleh tenaga kurang terampil. Selain itu bambu juga memiliki sifat kuat tarik yang cukup besar dan cukup elastis sehingga cocok untuk digunakan sebagai tulangan alternatif untuk daerah pedalaman bila tulangan besi tidak tersedia atau harganya sangat mahal (Abdurahman et al,1994 dalam Widjaya et al, 1994).

Berlian dan Rahayu (1995) juga menyebutkan bahwa batang bambu dapat digunakan sebagai bahan konstruksi untuk pembangunan rumah, gedung, jembatan, dan lain-lain. Pemanfaatannya antara lain dalam bentuk dinding, rangka kuda-kuda, tiang, kasau alias kaso, lantai, pintu, kusen jendela, dan juga atap atau langit-langit. Selain itu belakangan muncul gagasan tentang kemungkinan penggunaan bambu sebagai alternatif tulangan atau kerangka pada beton untuk menggantikan besi baja. Hal ini didorong oleh suatu hasil pengujian tentang sifat mekanis bambu di Indonesia yang menyatakan bahwa bambu memiliki nilai kekuatan tarik (tegangan patah untuk tarikan) sebesar 1.000 sampai 4.000 kg/cm2 yang setara dengan besi baja berkualitas sedang. Besarnya nilai kekuatan tarik dari bambu merupakan pilihan alternatif, karena bambu mempunyai potensi yang tinggi, murah, kuat, dan kemampuan seperti besi baja sebagai tulangan beton. Pengawetan

(22)

menghindari penggantian yang terlalu sering dalam konstruksi yang permanen dan semi-permanen. Peningkatan umur pakai kayu dengan pengunaan pengawet yang cocok mempunyai pengaruh lain yang nyata dalam bidang penggunaan kayu, yaitu dimungkinkannya penggunaan banyak jenis kayu yang sebelumnya sama sekali dianggap kurang baik atau terutama karena jenis-jenis kayu tersebut secara alami kurang awet dan hanya memberikan suatu unsur yang pendek jika tanpa diawetkan, terbuka terhadap pelapukan atau serangan serangga (Hunt & Garrat, 1986).

Keawetan Bambu

Keawetan bambu adalah daya tahan bambu terhadap berbagai faktor perusak bambu, misalnya ketahanan bambu terhadap serangan rayap, bubuk kayu kering, dan jamur perusak bambu. Ketahanan alami bambu lebih rendah dibandingkan dengan kayu. Ketahanan bambu tergantung kepada kondisi iklim dan lingkungan. Bambu tanpa perlakuan khusus dapat bertahan antara satu sampai tiga tahun jika berinteraksi dengan tanah dan udara, jika berinteraksi dengan air laut usianya kurang dari satu tahun jika diawetkan usianya dapat mencapai empat sampai tujuh tahun, dan dalam kondisi tertentu dapat mencapai 10 sampai 15 tahun (Elsppat, 1999).

Lebih lanjut Elsppat (1999) mengatakan bahwa, ketahanan bambu bergantung pada :

1. Kondisi fisiknya, bambu yang sobek lebih sering rusak dibanding yang tidak sobek;

2. Bagian bawah bambu lebih kuat daripada bagian atas;

(23)

4. Spesies Dendrocalamus strictus lebih rendah resistensinya dibandingkan Dendrocalamus longisphatus;

5. Kandungan pati, bambu yang kandungan patinya lebih tinggi lebih rentan terhadap serangan kumbang bubuk dibanding bambu yang kandungan patinya lebih rendah;

6. Waktu penebangan, bambu yang ditebang pada musim hujan lebih rentan terhadap serangan kumbang bubuk dibandingkan yang ditebang pada musim panas;

7. Kandungan air, kadar air yang tinggi menyebabkan kekuatan bambu menurun dan mudah lapuk.

Penyebab Kerusakan Bambu

(24)

Tanda serangan bubuk kayu kering gampang sekali dikenali, yaitu adanya kotoran berupa tepung halus yang keluar dari lubang gerek. Lubang tersebut biasanya terdapat dipermukaan dan merupakan tempat keluarnya serangga dewasa. Beberapa jenis bubuk kayu yang sering menyerang bambu antara lain Dinoderus minutus, Heterobostrychus aequalis, atau Lyctus brunneus (Duryatmo,

2000).

Organisme ini lebih senang menyerang bagian pangkal dan buku bambu daripada bagian tengah, ujung, atau ruas. Hal ini karena bagian pangkal dan buku memang memiliki kandungan pati yang lebih tinggi dibanding bagian tengah atau ujung. Demikian halnya dengan bagian buku, kandungan patinya lebih tinggi daripada ruas. Selain pati, bambu merupakan bahan berlignin selulosa yang rawan terhadap serangan jamur. Dalam penyimpanan, bambu akan bersentuhan dengan tanah. Padahal tanah merupakan salah satu media tumbuh jamur pengotor (mould) dan jamur pewarna (staining fungi) (Duryatmo, 2000).

Tabel 3. Kandungan pati di ruas dan buku bambu ampel dan kaitannya dengan intensitas serangan Dinoderus minutus

Bagian bambu Rata-rata kandungan pati (%) Intensitas serangan

Ruas Buku

Pangkal 0,61 0,48 8,24

Tengah 0,53 0,45 4,08

Ujung 0,50 0,45 4,48

(Matangaran dalam Duryatmo, 2000). Proses-proses Pengawetan

(25)

pencelupan, penyemprotan, proses vakum, proses difusi, pengawetan pohon hidup, pengawetan tiang-pancang, perendaman, perendaman dingin, dan perendaman panas-dingin. Proses pengawetan ini menggunakan bahan pengawet kimia. Begitu juga dengan proses pengawetan modern (dengan tekanan) (Suranto, 2006).

Secara keseluruhan, Suranto (2006) mengikhtisarkan pembagian proses pengawetan kayu dalam bagan berikut:

Proses Pengawetan Kayu

Proses Pengawetan Tradisional Proses Pengawetan Modern

Proses Tanpa Tekanan Proses Dengan Tekanan

Pelaburan

Penyemprotan Proses Sel Penuh Proses Sel Kosong

Pencelupan Perendaman Perendaman dingin

Perendaman panas – dingin

Proses Bethell Proses Rueping

Proses Vakum Proses Burnett Proses Lowry

Proses Difusi

Pengawetan pohon hidup Pengawetan Tiang Pancang

Gambar 1. Skema Proses Pengawetan Kayu Pengawetan Bambu

(26)

Bambu dalam kondisi terbelah memerlukan perendaman selama 2 – 3 bulan untuk menghindarkannya dari serangan kumbang bubuk (Dinoderus sp.) tanpa mengurangi kekuatan bambu. Perendaman dalam air tergenang paling efektif dalam mengurangi kadar pati yang berakibat dapat mengawetkan bambu, kemudian diikuti dengan perendaman dalam lumpur, dan terakhir dengan perendaman dalam air mengalir dikarenakan bagian dalam bambu lebih permeabel dibandingkan kulit bambu, tentu saja pengawetan bambu bulat membutuhkan waktu yang lebih lama, apalagi untuk perendaman kayu, mengingat kayu mempunyai ukuran dimensi yang lebih tebal (Sulthoni dalam Suranto, 2006).

Selama direndam, kayu atau bambu itu akan menyerap air dan ukuran dimensinya akan mengembang, baik dalam arah panjang, lebar maupun tebal. Proses pengembangan ini diikuti dengan proses melarutnya zat ekstraktif dari golongan yang larut air, misalnya gula, glukosida, tanin, beberapa senyawa nitrogen, dan zat pewarna kayu atau bambu. Sementara itu, zat ekstraktif dari golongan yang tidak larut dalam air, misalnya pati, akan tetap berada dalam jaringan kayu atau bambu. Kehadiran zat ektraktif yang larut dalam air mengakibatkan air rendaman secara berangsur-angsur mengalami perubahan susunan kimia. Hal itu terlihat dari warna air yang mengeruh dan konsentrasinya menjadi pekat. Air yang kondisinya demikian sangat baik bagi pertumbuhan mikroba (jasad renik). Mikroba ini didominasi oleh bakteri, terutama Bacillus subtilis, B. masentiricus, Lactobacillus sp, dan Staphylococcus sp. Kehadiran

(27)

lebih sederhana yang larut dalam air. Penggunaan ini berlangsung melalui fermentasi berantai (Suranto, 2006)

Tabel 4. Pengaruh rendaman terhadap serangan kumbang bubuk Jenis Bambu

dan Rendaman

Rendaman 1 Bulan Rendaman 2 Bulan Rendaman 3 Bulan Kadar

1. tanpa direndam

2. air mengalir

3. air menggenang

4. lumpur

1. tanpa direndam

2. air mengalir

3. air menggenang

4. lumpur

1. tanpa direndam

2. air mengalir

3. air menggenang

4. lumpur

1. tanpa direndam

2. air mengalir

3. air menggenang

4. lumpur

(28)

Dengan fermentasi berantai itu, pati diubah menjadi disakarida oleh enzim amilase. Disakarida akan diubah menjadi glukosa oleh enzim maltase. Glukosa akan difermentasi menjadi asam pirufat oleh enzim glukonase.asam pirufat akan direduksi menjadi asam laktat, kemudian didekarbosilasi menjadi asetaldehida. Asetaldehida akan direduksi menjadi etanol. Etanol ini merupakan salah satu jenis alkohol, sehingga etanol akan larut dalam air (Suranto, 2006).

Metode Vertical Soak Diffusion

Pengawetan bambu dengan metode Vertical Soak Diffusion (VSD) merupakan langkah maju dan modifikasi dari sistem boucherie (sistem tekanan yang diperkenalkan oleh Prof. Dr. Liese) yang cocok untuk perkebunan bambu skala besar untuk keperluan konstruksi, perabot rumah tangga, dan kerajinan tangan. Sistem VSD cocok bagi daerah yang tidak memiliki perkebunan bambu (Garland, 2003).

Lebih lanjut, Garland (2003) menjelaskan bahwa metode ini dilakukan dengan melubangi ruas bambu dengan batang besi, dengan menyisakan satu ruas pada ujung bambu, kemudian memasukkan bahan pengawet dalam bambu dengan posisi tegak. Dikarenakan bagian dalam dari bambu lebih permeabel daripada kulit bambu, maka proses masuknya larutan bahan pengawet akan lebih cepat. Senyawa Pati

(29)

dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula (butir) yang berbeda-beda. Dengan mikroskop, jenis pati dapat dibedakan karena mempunyai bentuk, ukuran, letak hilum yang unik, dan juga dengan sifat birefringent-nya (Winarno, 1995).

Hidrolisis Pati

Pati dapat dihidrolisis dengan enzim amilase menghasilkan maltosa (G, G-α-1,4), maltotriosa, dan isomaltosa (G, G-α-1,6). Bila pati dihidrolisis dengan enzim transglukosidase (dari Bacillus macerans) akan dihasilkan suatu oligosakarida dengan derajat polimerisasi lebih besar dari 6, dan terbentuk siklit. Senyawa tersebut disebut dekstrin Schardinger. Senyawa ini sangat larut dalam air dan karena dapat mengikat zat-zat hidrofobik maka dipergunakan sebagai food additive untuk memperbaiki tekstur bahan makanan (Winarno, 1995).

Winarno (1995), juga mengatakan bahwa pati merupakan homopolimer glukosa dengan dengan ikatan α-glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari 2 fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin

Proses Hidolisis Zat Pati

Protozoa pada umumnya tersebar karena gejala alam, khusunya air laut, tapi juga air danau, kolam, empang dan sungai-sungai kecil. Tempat, tempat yang becek, kotor, kubangan, khususnya tempat becek yang berisi benda-benda organik atau benda yang hidup berisi dalam jumlah besar dari jenis binatang ini (Saksono dan Saksono, 1986).

(30)

menjadi maltosa dan glukosa. Maltosa merupakan disakarida yang terdiri dari 2 unit glukosa. Sakarida ini diangkut kedalam sitoplasma sel dan digunakan sebagai sumber karbon dan energi (Lay, 1994).

Lebih lanjut Lay (1994) mengatakan bahwa zat pati bereaksi secara kimiawi dengan yodium, reaksi ini terlihat sebagai warna biru kehitaman. Warna biru-hitam ini terjadi bila molekul yodium masuk kedalam bagian yang kosong pada molekul zat pati (amilosa) yang berbentuk spiral. Proses yodinisasi zat pati menghasilkan molekul yang mengabsorbsi semua cahaya, terkecuali warna biru. Bila zat pati ini telah diuraikan menjadi maltosa tau glukosa, warna biru ini tidak terjadi karena tidak adanya bentuk spiral. Tidak terbentuknya warna sewaktu penambahan yodium kedalam media merupakan petunjuk adanya zat pati.

Bakteri

Bakteri adalah termasuk jenis tumbuhan. Dia adalah makhluk hidup yang bersel satu dan tidak mempunyai zat hijau daun. Sel dari bakteri terdiri dari sebuah dinding dimana bisa dijadikan sarana untuk mendapatkan makanan dari sari makanan yang digabungkan oleh sel tersebut dalam berbagai penggunaan oleh bakteri itu sendiri. Pada umumnya bakteri dijabarkan dalam tiga kelompok besar, yaitu yang berbentuk seperti bola, berbentuk batang, dan berbentuk spiral (Saksono &saksono, 1986).

Escherichia coli

(31)

bervariasi dalam bahan klinik. Pada Klabsiella simpainya besar dan teratur, sementara pada Enterobacter tidak begitu besar, dan tidak lazim pada spesies yang lain (Jawetz et al, 1996).

Selanjutnya, Jawetz et al. (1996), menyebutkan bahwa salah satu bakteri yang tergolong dalam Enterobacteriaceae adalah Escherichia coli. Escherichia coli dan kebanyakan bakteri enterik lain membentuk loloni yang bundar,

cembung, halus dengan tepi yang nyata. Koloni Enterobacter serupa tetapi agak lebih mukoid. Koloni klebsiella besar, sangat mukoid, dan cenderung bersatu jika lama dieramkan. Salmonela dan shigela membuat koloni yang mirip dengan Escherichia coli tetapi tidak meragikan laktosa. Beberapa strain Escherichia coli

menyebabkan hemolisis pada agar darah.

Sukardi dan Sukamto (1999) mengatakan bahwa Escherichia coli termasuk basil coliform, merupakan flora komensal yang paling banyak pada usus manusia dan hewan, hidup aerobik/fakultatif anaerobik. Coliform dapat berubah menjadi oportunis patogen bila hidup di luar usus, menyebabkan infeksi saluran kemih, infeksi luka dan mastitis pada sapi.

Escherichia coli dalam jumlah yang banyak bersama-sama tinjaakan

(32)

format. Asam format oleh hidrogenliase dipecah menghasilkan CO2 dan H2 dalam

jumlah yang sama banyaknya. Beberapa strain Escherichia coli bersifat aerogenik dan kebanyakan dapat memfermentasi laktosa atau memfermentasi secara lambat (Sukardi dan Sukamto, 1999).

Berdasarkan taksonomi bakteri Escherichia coli tergolong pada: Dunia : Prokariota

Divisi : Gracilicutes Kelas : Skotobakteri Ordo : Eubakteriales Famili : Enterobakteriaceae Genus : Escherichia

(33)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara untuk melakukan uji fermentasi Escherichia coli. Sedangkan untuk uji kandungan pati dilakukan di laboratorium Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Kegiatan penelitian ini akan dilaksanakan selama dua bulan yaitu pada bulan Mei – Juni 2007.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bambu hitam (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja) umur 4 tahun, Biakan murni bakteri Escherichia coli, alkohol 70%, kertas label, kertas saring, aluminium foil, benang

‘ball’, aquades, nutrient agar, Barium Clorida, dan Asam Sulfat.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gergaji, kantong plastik, parang, pisau, gunting, blender, kain saring, oven, arloji, jarum ose, tabung reaksi, cawan petri, cawan aluminium, timbangan digital, beaker glass, handsprayer, bunsen, hotplit, inkobator, vorteks, pipet serulogi dan erlenmeyer. Metode Penelitian

Penyiapan Sample Bambu

(34)

batang bambu dipotong menjadi 3 bagian yaitu: bagian pangkal; bagian tengah; dan bagian ujung, yang masing-masing berukuran 2 meter. Kemudian, dari tiap bagian diambil satu ruas untuk menjadi contoh uji yang dilebihkan 10 – 15 cm dari kedua ujungnya.

Keterangan : = dipotong

Gambar 2. Cara membagi bambu

Penghitungan Kadar Air Bambu Hitam

Pengitungan kadar air contoh pada sembilan batang bambu diacak secara vertikal. Ukuran bambu sebagai contoh uji penghitungan kadar air kering udara adalah 2 x 2 cm. Mula-mula contoh uji ditimbang sebagai berat awal berat kering udara. Kemudian contoh uji dimasukkan kedalam oven selama 48 jam dengan suhu oven adalah 103 ±2oC. Setelah itu contoh uji ditimbang kembali sebagai berat kering oven.

Penghitungan kadar air kering udara bambu hitam menggunakan rumus:

% 100

(%)= − ×

BKO BKO BKU

Air Kadar

K e te ra n g a n :

B K U = B e ra t K e rin g U d a ra B K O = B e ra t K e rin g O v e n

Pangkal Tengah Ujung

10 – 15 cm

(35)

Penghitungan Kandungan Pati Bambu Sebelum Perlakuan

Dari setiap contoh uji, dipotong kedua ujungnya sampai batas buku, lalu dihancurkan sampai menjadi bubuk atau tepung seberat 20 gram dengan menggunakan gergaji. Selanjutnya dilarutkan dengan air dengan perbandingan bubuk : aquades = 1 : 1 dengan cara didiblender selama 1 menit. Larutan tersebut kemudian disaring dengan kain saring. Ampas larutan dilarutkan kembali dengan air dengan perbandingan ampas : aquades sama dengan 1 : 1, kemudian disaring kembali. Hasil saringan pertama dan kedua dicampurkan. Campuran tersebut lalu diendapkan selama 10 jam, kemudian ditiriskan. Selanjutnya hasil tirisan disaring dengan kertas saring dan dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 40oC selama 48 jam, lalu ditimbang kembali sebagai berat akhir.

Penghitungan kandungan pati bambu sebelum perlakuan menggunakan rumus:

Kandungan Pati (%) = × Awal Berat

Akhir Berat

100%

Pembuatan Suspensi Bakteri Escherichia coli

Dibuat standar ukuran kandungan bakteri dengan menggunakan standar kekeruhan menurut McFarland, yaitu campuran dari 0,5 ml barium clorida (BaCl2.2H2O) 1,175% dan 9,5 ml asam sulfat (H2SO4) 1%. Bakteri Bacillus

cereus dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi 10 ml aquades dengan

(36)

Fermentasi Pati Bambu

Setiap satu ruas bambu yang sudah dipersiapkan dilubangi salah satu bukunya dengan menggunakan batang besi. Kemudian suspensi bakteri dimasukkan kedalam bambu. Lalu bambu ditutup dengan aluminium foil dan diikat dengan benang ‘ball’ agar menghindari masuknya bakteri lain dari udara bebas kedalam bambu. Kemudian diinkubasi selama 1 hari, 3 hari, dan 5 hari.

Penghitungan Kandungan Pati Bambu Sesudah Perlakuan

Dari setiap contoh uji, diambil pada arah memanjang ruas bambu untuk dijadikan bubuk atau tepung seberat 20 gram. Selanjutnya dilarutkan dengan air dengan perbandingan bubuk : aquades sama dengan 1 : 1 dengan cara diaduk selama 5 menit. Larutan tersebut kemudian disaring. Ampas larutan dilarutkan kembali dengan air dengan perbandingan ampas : aquades 1 : 1, kemudian disaring kembali. Hasil saringan pertama dan kedua dicampurkan. Campuran tersebut lalu diendapkan selama 10 jam, kemudian ditiriskan. Selanjutnya, hasil tirisan disaring dengan kertas saring, lalu dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 40oC selama 48 jam, lalu ditimbang kembali sebagai berat akhir.

Penghitungan kandungan pati bambu sesudah perlakuan menggunakan rumus:

Kandungan Pati (%) = − ×

Awal BP

Akhir BP Awal BP

100%

Keterangan:

(37)

Pengolahan Data

1. Data yang diperoleh untuk kandungan pati bambu hitam berdasarkan bagian vertikal dianalisis dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) non faktorial dan disajikan dalam bentuk rataan. Analisis data menggunakan 3 perlakuan yaitu: bagian pangkal, bagian tengah, dan bagian ujung. Masing-masing perlakuan dengan 9 ulangan (pada 9 batang bambu).

Model statistik rancangan percobaan ini adalah:

ij i ij

Y =µ+α +ε

Dimana:

ij

Y : nilai pengamatan pada perlakuan ke- i dan pada ulangan ke- j

µ : Nilai rata-rata harapan

i

α : Pengaruh sebenarnya pada perlakuan ke- i

ij

ε : galat penggunaan perlakuan ke- i, pada ulangan ke- j

Data dianalisis keragamannya, apabila terdapat perbedaan yang nyata dilakukan uji Duncan dengan indeks sebesar 5%. Jika analisis sidik ragam menunjukkan pengaruh yang nyata, maka dilakukan uji lanjut.

2. Data yang diperoleh untuk penurunan kandungan pati disajikan dalam bentuk rataan. Analisis data menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dua faktorial, yaitu: Faktor konsentrasi suspensi bakteri yang terdiri dari F1

: 2,5 ×108 bakteri dalam 1 liter aquades; F2 : 5,0 ×108 bakteri dalam 1 liter

(38)

fermentasi yang terdiri dari T1 : 1 hari; T2 : 3 hari; dan T3 : 5 hari.

Sehingga pola rancangan faktorialnya adalah 3 x 3, dengan jumlah pengulangan (replikasi) sebanyak 3 kali, menghasilkan 27 contoh uji.

Model statistik dari rancangan percobaan ini adalah:

ijk ij j

i ijk

Y =µ+α +β +(αβ) +ε Dimana:

ijk

Y : nilai pengamatan pada faktor konsentrasi bakteri (C) pada taraf ke-i dan faktor waktu fermentasi (T) pada taraf ke-j pada ulangan ke- k µ : nilai rata-rata harapan

i

α : Pengaruh sebenarnya pada taraf ke- i faktor konsentrasi bakteri

j

β : Pengaruh sebenarnya pada taraf ke- j faktor waktu fermentasi

jk )

(αβ : Pengaruh interaksi antara taraf ke- i faktor konsentrasi bakteri dan taraf ke- j faktor waktu fermentasi

ijkl

ε : galat penggunaan faktor konsentrasi bakteri pada taraf ke- i dan faktor waktu fermentasi pada taraf ke- j, pada ulangan ke- k

(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air Bambu Hitam

Kadar air yang diukur pada penelitian ini adalah kadar air bambu dalam kondisi kering udara, yaitu kondisi bambu yang sudah kering angin. Pengukuran contoh uji kadar air kering udara dilakukan menurut bagian vertikal terhadap sembilan batang bambu. Artinya, masing-masing bagian vertikal batang bambudiwakili oleh tiga contoh uji seperti terlihat pada lampiran 1. Hasil pengukuran rata-rata kadar airnya dalam kondisi kering udara dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Rata-rata kadar air bambu hitam

Bagian Bambu Rata-rata (%)

Pangkal 19,35

Tengah 18,24

Ujung 17,72

Rata-rata Umum 18,44

Hasil pengukuran rata-rata kadar air contoh pada setiap bagian vertikal bambu paling besar adalah pada bagian pangkal yaitu sebesar 19,35%, dan rata-rata kadar air paling rendah adalah pada bagian ujung bambu yaitu sebesar 17,72%. Sedangkan rata-rata umum kadar air untuk keseluruh bagian vertikal bambu adalah 18,44%. Nilai rata-rata ini digunakan sebagai kadar air kontrol untuk pengukuran kandungan pati setelah perlakuan.

Kandungan Pati Bambu Hitam

(40)

Tabel 6. Persentase Kandungan Pati Bambu Hitam

Bambu ke- KADAR PATI (%)

Pangkal Tengah Ujung Rata-rata

1 1.95 1.90 1.50 1.78

Hasil pengukuran kandungan pati bambu hitam paling tinggi adalah pada bagian pangkal yaitu sebesar 1.75%, kemudian diikuti oleh bagian tengah yaitu sebesar 1.55%, dan kandungan pati paling rendah adalah pada bagian ujung yiatu sebesar 1,21%. Dari data ini dapat dilihat bahwa semakin ke arah ujung bambu, maka kandungan pati semakin rendah. Hal ini sesuai menurut Duryatmo (2000), yang dapat dilihat pada tabel 3, dimana intensitas serangan organisme perusak lebih tinggi pada buku dan ruas bagian pangkal bambu, karena pada bagian pangkal dan buku memang memiliki kandungan pati yang lebih tinggi dibanding bagian tengah atau ujung. Demikian pula halnya dengan bagian buku, kandungan patinya lebih tinggi daripada bagian ruas.

(41)

Penurunan berat pati bambu hitam

Pada tabel 7, terlihat bahwa kandungan pati setelah perlakuan mengalami penurunan. Namun, penurunan kadar pati yang terjadi hanya dalam sepersepuluh sampai seperseratus dari berat pati awal.

Tabel 7. Penurunan berat pati bambu hitam . Konsentrasi

Jika penurunan berat pati pada tabel ini dibandingkan dengan tabel penurunan pati menurut Shultoni (2000) yang dapat dilihat dari tabel 4, maka perlakuan perendaman yang menggunakan waktu 1 sampai 3 bulan juga tidak menunjukkan penurunan berat yang sangat besar. Hal ini berarti cara penurunan kandungan pati dengan fermentasi bakteri yang hanya menggunakan waktu 1 sampai 5 hari sama efektifnya, sehingga dapat mengefisienkan dari segi waktu yang dipakai untuk menurunkan berat kandungan pati bambu hitam.

Persentase penurunan kandungan pati bambu setelah perlakuan

(42)

kandungan pati semakin besar. Secara berturut-turut, persentase penurunan kandungan pati terbesar adalah pada waktu 5 hari yaitu sebesar 30%, kemudian diikuti oleh persentase penurunan kadar pati dengan waktu 3 hari sebesar 28,63%. Dan yang terkecil adalah pada waktu 1 hari yaitu sebesar 26,09%.

Tabel 8. Persentase penurunan kandungan pati bambu hitam. Waktu

Sementara, berdasarkan faktor konsentrasi bakteri, persentase penurunan kandungan pati tidak memperlihatkan perubahan yang sesuai jika dibandingkan semakin dengan semakin banyaknya konsentrasi yang diberikan. Hal ini dikuatkan dengan hasil analisis sidik ragam yang dapat dilihat pada lampiran 4, menunjukkan bahwa persentase penurunan kandungan pati ini tidak berbeda nyata, baik dari faktor konsentrasi bakteri, faktor lama fermentasi, maupun interaksi kedua faktor tersebut.

(43)

disebabkan oleh faktor konsentrasi suspensi bakteri dan faktor waktu fermentasi ataupun pengaruh interaksi kedua faktor tersebut.

Seperti yang telah disebutkan pada tinjauan pustaka, bahwa penelitian ini didasari oleh dua sistem pengawetan bambu yaitu pengawetan secara alami/tradisional tanpa tekanan dengan sistem perendaman dan pengawetan secara modern. Pengawetan secara tradisional membutuhkan waktu yang panjang. Sulthoni dalam Suranto (2006), mengatakan bahwa bambu dalam kondisi terbelah membutuhkan perendaman selama 2 – 3 bulan untuk menghindarkannya dari serangan kumbang bubuk (Dinoderus sp.) tanpa mengurangi kekuatan bambu. Tentu saja untuk bambu dalam keadaan bulat (utuh) membutuhkan waktu yang lebih lama lagi. Selanjutnya, Suranto (2006) melanjutkan bahwa selama perendaman terjadi fermentasi berantai oleh mikroba-mikroba yang didominasi oleh bakteri, terutama Bacillus subtilis, B. masentiricus, Lactobacillus sp, dan Staphylococcus sp.

Sementara pengawetan bambu secara modern ataupun pengawetan tradisional dengan proses tekanan walaupun tidak membutuhkan waktu yang panjang, namun membutuhkan biaya dan peralatan yang mahal. Oleh karena itu, pemakaian bakteri biakan murni akan dapat memperkuat alasan pemanfaatan limbah-limbah organik sebagai lingkungan utama tempat tumbuhnya bakteri.

(44)

Beberapa Penyebab Terjadinya Penurunan Kadar Pati.

Hidrolisis Zat Pati Berlangsung Pada Proses Pengendapan

Supardi dan Sukamto (1999), mengatakan bahwa bakteri Escherichia coli tumbuh pada suhu antara 10 – 40oC, dengan suhu optimum 37oC. Sementara percobaan penelitian dilakukan pada suhu kamar. Hal ini menyebabkan bakteri tidak dapat mendegradasi pati secara maksimal. Namun, pendegradasian pati kemungkinan berlangsung pada proses pengendapan ekstraksi pati yang pengambilan contoh ujinya tidak disterilkan lebih dahulu. Hal ini terlihat pada proses pembuangan/penirisan dan pencucian endapan yang lebih banyak terdapat kotoran yang mengapung daripada saat proses endapan untuk pengukuran kadar pati kontrol. Kementerian Lingkungan Hidup-RI (2001-2003), menyebutkan bahwa lama pengendapan yang baik adalah empat jam dan pembuangan air tidak boleh lebih dari satu jam, karena setelah lima jam sudah mulai terjadi pembusukan pada endapan pati. Sementara, waktu pengendapan pada percobaan penelitian ini menggunakan dasar pemanfaatan biji buah sebagai sumber pangan yang waktu pengendapan larutan ekstraksi patinya kurang lebih 10 jam.

Pencucian Pati Pada Dinding Bagian Dalam Bambu

Elsppat (1999), mengatakan bahwa bagian dalam bambu biasanya lebih dahulu terserang daripada bagian luar. Hal ini ini disebabkan karena bagian dalam bambu lebih lunak daripada bagian terluar (kulit bambu) dan kadar pati pada dinding bagian dalam bambu lebih tinggi daripada bagian kulit atau dengan kata lain secara horisontal, semakin kearah kulit, maka kadar pati akan semakin kecil.

(45)

membawa pati yang ada di dinding bagian bambu. Hal ini dapat mempengaruhi pengukuran kadar pati, karena pengambilan serbuk contoh uji dengan cara menggergaji adalah serbuk yang berasal dari dinding bagian dalam, tengah (daging), dan kulit.

Tabel 9. Perbandingan beberapa sifat polisakarida dengan mono dan disakarida

Sifat Monosakarida dan

disakarida Polisakarida

Berat molekul rendah sangat tinggi

Rasa manis tidak ada rasa

Kelarutan dalam air larut tidak larut

Besar partikel melewati membran (kecuali disakarida)

tidak melewati membran Reaksi dengan Cu (OH)2 positif (kecuali sukrosa) negatif

Tarigan (1983).

Proses Pematangan Pati oleh Air dan Sinar Matahari (Fotesintesis) Selama proses pematangan, kandungan pati berubah menjadi gula-gula pereduksi yang menimbulkan rasa manis. Buah-buahan sitrus tidak banyak mengandung pati dan ketika menjadi matang hanya mengalami sedikit perubhan komposisi karbohidrat (Winarno, 1995).

Pada golongan tanaman yang berserat terdapat enzim-enzim yang dapat menghidrolisi zat pati. Enzim-enzim tersebut adalah β-amilase, α-amilase, dan fosforilase. Enzim fosforilase mampu memecah ikatan 1,4-glukosidik pati dengan bantuan asam atau ion fosfat, sedangkan amilase memerlukan amilase (Winarno, 1995). Pada proses fermentasi yang menggunakan air inilah yang juga diperkirakan menjadi penyebab berlangsungnya proses pematangan oleh bantuan molekul air.

(46)
(47)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Variasi rata-rata kandungan pati bambu hitam secara berurutan adalah 1.75% pada bagian pangkal, 1.55% pada bagian tengah, dan 1.21 pada bagian ujung bambu hitam. Dari angka tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin ke arah ujung bambu, maka kandungan pati bambu akan semakin kecil. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan perlakuan bagian vertikal berpengaruh nyata dengan F tabel > dari F hitung (4,19 > 2,51). Namun setelah dilakukan uji lanjut, ternyata perlakuan bagian vertikal bambu tidak berpengaruh nyata.

2. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, semakin tinggi konsentrasi yang diberikan pada penelitian ini, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap penurunan persentase kandungan pati bambu hitam. Namun tetap terjadi penurunan persentase kandungan pati bambu hitam.

3. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, semakin lama waktu fermentasi yang diberikan, tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap persentase penurunan kandungan pati bambu hitam. Namun tetap terjadi penurunan persentase kandungan pati bambu hitam.

Saran

(48)

kandungan pati. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan lebih meningkatkan konsentrasi bakteri dan memperpanjang waktu fermentasi.

(49)

DAFTAR PUSTAKA

Berlian, N. dan Rahayu, E. 1995. Jenis Dan Prospek Bisnis Bambu. Penebar Swadaya. Jakarta.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Panduan Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. Jakarta. Duryatmo, S. 2000. Wirausaha Kerajinan Bambu. Penerbit Puspa Swara. Jakarta. Elsppat, T. 1999. Pengawetan Kayu dan Bambu. Edisi II. Penerbit Puspa Swara.

Jakarta.

Garland, L. 2003. Metode Vertical Soak Diffusion. http://www.bamboocentral. org-Enfironmental Bamboo Foundation-pdf. (24 Maret 2007).

Hunt, M. dan Garrat, A. 1986. Pengawetan Kayu. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.

Indonesian Forest. 1997. Jenis-Jenis Bambu di Indonesia. http://www. indonesianforest. com/Hasil%20hutan/Bambu/Bambu_jenis-jenis.htm. (24 Maret 2007).

Jawetz, E. Joseph, L. Melnick. Edward, A.,A. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Penerbit EGC. Jakarta.

Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2001-2003. Pemanf aat an

Limbah-Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Tapioka.

(11 Desember 2007).

Lay, B., W. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja grafindo perkasa. Jakarta.

Lopez, C. dan Shanley, P. 2004. Kekayaan Hutan Asia. PT Gramedia Pustaka Utama. Anggota IKAPI. Jakarta.

Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi. Cetakan I. Penerbit ARCAN. Jakarta Saksono, L. dan Saksono, I. 1986. Pengantar Sanitasi Makanan. Penerbit Alumni

– 1986. Bandung.

Supardi, I. dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi Dalam Pengolahan Makanan Dan Keamanan Pangan. Penerbit Alumni. Bandung.

(50)

Tarigan, P. 1983. Kimia Organik Bahan Makanan. Penerbit Alumni. Bandung. Widjaya, E., A. Rifai, A., M. Subiyanto, B. Nandika, D. 1994. Strategi Penelitian

Bambu Indonesia. Yayasan Bambu Lingkungan Lestari. Bogor.

(51)

Lampiran 1. Kadar air kering udara bambu hitam

Rata-rata Umum 18,44

Lampiran 2. Hasil analisis sidik ragam untuk kandungan pati bambu secara vertikal

Lampiran 3.Tabel hasil uji lanjut untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap penurunan kandungan pati bambu hitam.

Perlakuan Rata-rata kandungan pati (%)

Pangkal 1,75a

Tengah 1,55ab

Ujung 1,21ab

Gambar

Tabel 1. Jenis-jenis Bambu No. Nama botanis
Tabel 2. Jenis dan manfaat bambu Jenis Kesesuaian Penggunaan
Tabel 4. Pengaruh rendaman terhadap serangan kumbang bubuk Rendaman 1 Bulan Rendaman 2 Bulan Rendaman 3 Bulan
Gambar 2. Cara membagi bambu
+5

Referensi

Dokumen terkait

mukaiset ja muut toimitukseen kuuluvat tehtävät tehdään sopimuksen mukaisesti, huolellisesti sekä tehtävien edellyttämällä ammattitaidolla.’’ IT 2018 EKT ehto

Scene 4 Merupakan tampilan evaluasi untuk melakukan uji pengetahuan mengenai pahlawan nasional dimana pada scene ini pengguna akan diuji dengan berbasis metode pengujian

1) Trading Range Theory menyatakan bahwa alasan manajemen melakukan stock split didorong oleh perilaku pasar yang konsisten dengan anggapan bahwa dengan melakukan

Dalam setiap kegiatan belajar kelompok digunakan lembar kegiatan, lembar tugas dengan tujuan agar terjalin kerjasama diantara anggota kelompoknya. Lembar kegiatan dan

Fraktur adalah terputusnya kontuinitas tulang yang ditentukan sesuai jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang

Dari seluruh pengujian hipotesis yang telah dilakukan pada sektor pertambangan dan telekomunikasi ternyata 4 dari 5 pengukuran aktivitas perdagangan intrahari menunjukkan

KODE DAN DATA WILAYAH ADMINISTRASI PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.. NAMA KABUPATEN :

Kegiatan usaha ini berusaha menangkap peluang usaha yan g ada mulai dari  penyediaan bibit tanaman Tin/Ara hingga olahan hasil tanaman, selain itu mini farm ini juga menggunakan