• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Lahan Pertanaman Terung

Kecamatan Rancabungur merupakan salah satu wilayah sentra produksi pertanian di Kabupaten Bogor. Lahan yang diamati terletak di Desa Bantarjaya, Kecamatan Rancabungur yang berada pada ketinggian 179 mdpl. Curah hujan pada saat pengamatan pada bulan Oktober, November, dan Desember yaitu berturut-turut 994 mm, 1264.2 mm, dan 655.2 mm (Gambar 2). Data curah hujan harian selama penelitian diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor (Lampiran 1). Terung merupakan salah satu tanaman yang banyak dibudidayakan oleh petani di Kecamatan Rancabungur. Selain terung, komoditas lain yang dibudidayakan yaitu singkong, jagung, paria, mentimun, pepaya, oyong, ubi jalar, kangkung, bengkoang, kacang tanah, kacang panjang, dan jambu biji. Dua lahan pertanaman terung dalam satu hamparan di desa tersebut dipilih untuk diamati setiap minggu. Lahan terung yang diamati terdiri dari dua lahan yaitu tanaman terung fase vegetatif dan fase generatif (Gambar 3). Karakteristik umum kedua lahan pertanaman terung disajikan pada Tabel 1.

Gambar 2 Curah hujan selama tiga bulan penelitian di Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor.

Tabel 1 Karakteristik lahan pertanaman terung fase vegetatif dan fase generatif Karakteristik lahan Fase tanaman terung yang diamati

Vegetatif Generatif

Luas lahan (m2) 4 000 4 000

Jenis terung Ungu Ungu

Umur tanaman (bulan) 1.5 12

Cara tanam Monokultur Monokultur

Jarak tanam 30 cm x 50 cm 30 cm x 50 cm Kondisi lahan Terawat Kurang terawat Komoditas di sekitar

lahan

Terung, jambu biji, bengkoang, mentimun

Terung, singkong, jagung

Keberadaan gulma Sedikit Banyak Pengendalian gulma Manual Manual

6  

a b

Gambar 3 Pertanaman terung: (a) lahan terung fase vegetatif, (b) lahan terung fase generatif.

Hama yang Ditemukan pada Tanaman Terung

Pada lahan pertanaman terung fase vegetatif dan generatif ditemukan beberapa organisme pengganggu tanaman (OPT), baik hama maupun patogen. Keanekaragaman hama pada tanaman terung fase vegetatif dan fase generatif hampir sama. Empoasca sp. dan Epilachna sp. merupakan hama yang dominan ditemukan pada kedua lahan. Oleh karena itu, populasi kedua hama ini dihitung setiap minggunya. Sedangkan hama lain seperti Valanga sp., Acherontia sp., Bactrocera spp., Mictis longicornis, dan Aulacophora sp. jarang ditemukan. Namun, apabila populasi OPT ini pada pertanaman sangat tinggi, maka dapat berpotensi menjadi hama penting (Tabel 2).

Tabel 2 Hama yang ditemukan pada tanaman terung di Kecamatan Rancabungur Ordo Famili Spesies Fase tanaman yang diserang

Vegetatif Generatif Coleoptera Chrysomelidae Aulacophora sp. √ √

Coleoptera Coccinellidae Epilachna sp. √ √ Diptera Tephritidae Bactrocera spp. − √ Hemiptera Cicadellidae Empoasca sp. √ √ Hemiptera Coreidae Mictis longicornis √ √ Lepidoptera Sphingidae Acherontia sp. √ −

Orthophtera Acrididae Valanga sp. √ √

Keterangan: (√) ditemukan (-) tidak ditemukan Empoasca sp. (Hemiptera: Cicadellidae)

Empoasca sp. merupakan hama yang dominan pada tanaman terung fase vegetatif dan generatif. Imago berwarna hijau muda dan berukuran sekitar 3 mm (Gambar 6a). Baik nimfa maupun imago merusak tanaman dengan menusuk dan menghisap cairan dari permukaan bawah daun. Serangan hama ini menyebabkan daun menjadi kuning dan melengkung ke bawah (Gambar 6b). Menurut Borror et al. (1996), serangga dari famili Cicadellidae ini menyebabkan kekerdilan dan pengeritingan daun yang berasal dari penghambatan pertumbuhan pada bawah daun tempat serangga ini makan.

Populasi Empoasca sp. pada tanaman terung fase vegetatif pada awal pengamatan mengalami peningkatan, tetapi pada minggu ke-4 bulan November menurun kemudian meningkat lagi pada bulan Desember (Gambar 4). Penurunan ini disebabkan turunnya hujan secara terus menerus. Sedangkan populasi Empoasca sp. pada tanaman terung fase generatif juga mengalami penurunan karena turunnya hujan secara terus-menerus dan pemakaian pestisida. Beberapa faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi Empoasca sp. terhadap tanaman inang antara lain cuaca, umur tanaman, kepadatan trikoma, senyawa kimia, dan musuh alami (Norris dan Kogan 1980).

 

  Gambar 4 Rata-rata populasi Empoasca sp. pada tanaman

terung fase vegetatif () dan fase generatif (●). Epilachna sp. (Coleoptera: Coccinellidae)

Kumbang pemakan daun Epilachna sp. merupakan hama yang dominan pada tanaman terung fase vegetatif dan fase generatif. Imago kumbang ini berwarna jingga kusam dengan bintik-bintik hitam pada elitranya dan panjang tubuhnya berkisar antara 5-8 mm (Gambar 7a). Larvanya berwarna kuning dan terdapat seta yang terl;ihat seperti duri pada bagian tubuhnya (Gambar 7b). Baik larva maupun imago merusak tanaman dengan memakan lapisan epidermis di bawah daun tetapi bagian atas daun tetap utuh. Sehingga daun yang terserang tinggal kerangka dan menjadi kering seperti jaring (Gambar 7c dan 7d). Kumbang Epilacna sp. aktif makan terutama pada pagi hari sedangkan pada siang hari aktivitas makannya menurun, pada sore hari kembali aktif makan dan kemudian menjelang malam aktifitas makannya menurun lagi (Abdullah dan Abdullah 2009).

Pada tanaman terung fase vegetatif populasi kumbang Epilachna sp. meningkat pada bulan Desember (Gambar 5). Peningkatan ini dipengaruhi oleh umur tanaman, kumbang Epilachna sp. lebih menyukai tanaman muda sebelum berbunga (Hottesman dan Masrton 2005). Sedangkan pada fase generatif populasi kumbang Epilachna sp. cenderung mengalami penurunan memasuki bulan November. Hal ini disebabkan karena hujan yang turun secara terus-menerus dan umur tanaman yang semakin tua. Pada bulan Desember tanaman terung fase generatif tidak ada lagi karena telah mencapai akhir usia tanaman.

8  

Kerapatan trikoma pada daun terung juga mempengaruhi populasi Epilachna sp. Pada daun terung rata-rata kerapatan trikoma adalah 5 trikoma/mm2, sehingga kumbang Epilachna sp. lebih menyukai tanaman terung dibandingkan dengan tanaman lain dari famili Solanaceae (Leite et al. 2011).

  Gambar 5 Populasi Epilachna sp. pada lahan terung fase

vegetatif () dan fase generatif (●). Hama Lainnya

Hama lain juga ditemukan pada kedua lahan yang diamati. Beberapa hama ini pada saat pengamatan populasinya rendah, sehingga tidak dihitung populasi setiap minggunya. Apabila populasi hama ini meningkat di lapang, maka dapat berpotensi menjadi hama penting.

Belalang Valanga spp. (Orthophtera: Acrididae). Belalang ini berwarna hijau dan berukuran besar sekitar 8 cm (Gambar 6a). Panjang antenanya lebih pendek dari ukuran tubuhnya. Famili Acrididae kebanyakan berwarna abu-abu atau kecoklatan dan beberapa ada yang memiliki warna yang cerah pada sayap bagian belakang (Borror et al. 1996). Gejala yang ditimbulkan yaitu terdapat bekas gerigitan pada daun yang dimulai dari tepi daun. Belalang ini bersifat polifag dan memiliki kisaran inang yang luas. Belalang ditemukan pada tanaman terung fase vegetatif dan fase generatif, namun pada saat pengamatan populasinya sedikit.

Lalat buah Bactrocera spp. (Diptera: Tephritidae). Bactrocera spp. atau biasa disebut lalat buah merusak tanaman terung pada bagian buah. Imago berwana coklat dengan kombinasi kuning pada bagian toraks dan panjang tubuhnya sekitar 7 mm (Gambar 6b). Larva lalat buah merusak buah dengan cara memakan daging buah sehingga menyebabkan buah menjadi busuk lebih cepat. Hama ini merupakan hama penting yang menyerang berbagai tanaman inang di berbagai negara. Spesies lalat buah yang telah dilaporkan mencapai 4000 spesies yang menyerang berbagai tanaman yang berbeda (Meritt et al. 2003). Imago betina meletakkan telur dengan cara menusukkan ovipositornya ke dalam buah. Dalam waktu singkat telur-telur tersebut akan menetas dan menjadi larva. Larva ini akan memakan daging buah untuk bertahan hidup. Pupa berwarna kecoklatan dan berada di tanah. Imago akan mucul setelah 7-10 hari dan mencari makan sekitar satu minggu sebelum melakukan perkawinan (Pena et al. 2005).

Ulat Keket Acherontia sp. (Lepidoptera: Sphingidae). Serangga ini termasuk nokturnal dan menjadi hama pada fase larva. Gejala yang ditimbulkan yaitu daun menjadi gerigitan karena dimakan oleh ulat dan lama-lama menjadi habis. Larvanya berukuran sekitar 10 cm, berwarna hijau dengan garis kuning pada kedua sisi tubuhnya. Di atas garis kuning tersebut terdapat garis berwarna biru muda. Pada ruas terakhir badannya terdapat struktur seperti tanduk yang mencuat dan melengkung ke depan (Gambar 6c). Dilihat dari ukuran dan pola makannya potensi kerusakan yang ditimbulkan sangat tinggi namun selama pengamatan serangga ini hanya ditemukan satu kali di lahan pengamatan.

Kepik Mictis longicornis (Hemiptera: Coreidae). Baik nimfa maupun imago dapat merusak tanaman dengan menusuk dan menghisap cairan tanaman sehingga bagian yang terserang mengalami nekrotik. Imago dari kepik M. longicornis ini berwarna coklat dan berukuran sekitar 2.7 cm (Gambar 6d). Kepik dari famili Coreidae ini terdiri dari 2 200 spesies di dunia dan memiliki kisaran inang yang sangat luas (Dursun dan Fent 2009). Pada saat pengamatan kepik ini ditemukan pada tanaman terung fase vegetatif dan fase generatif, namun populasinya sedikit.

Aulacophora sp. (Coleoptera: Chrysomelidae). Kumbang pemakan daun ini merupakan hama penting pada tanaman dari famili Cucurbitaceae. Imago berwarna coklat mengkilat, berukuran sekitar 7 mm dan biasanya ditemukan di atas permukaan daun (Gambar 6e). Akan tetapi kumbang ini juga menyerang tanaman dari famili Solanaceae. Aulacophora sp. memiliki kisaran inang yang luas, sehingga sulit untuk memutuskan daur hidupnya. Gejala yang ditimbulkan yaitu daun menjadi berlubang karena kumbang memakan jaringan tanaman (Rajak 2001). Pada saat pengamatan kumbang Aulacophora sp. ini ditemukan pada tanaman terung fase vegetatif maupun generatif, hal ini disebabkan lokasi lahan pertanaman yang berdekatan dengan tanaman mentimun yang merupakan famili Cucurbitaceae.

a b

Gambar 6 Empoasca sp. (Hemiptera: Cicadellidae): (a) imago, (b) gejala daun mengeriting dan berwarna kuning.

10  

a b

c d

Gambar 7 Kumbang pemakan daun Epilachna sp. dan gejala kerusakannya: (a) imago, (b) larva, (c) gejala pada daun, (d) gejala terlihat seperti jaring.

a b

c d e

Gambar 8 Hama lain yang ditemukan pada tanaman terung: (a) Valanga sp., (b) Bactrocera spp., (c) Acherontia sp., (d) M. longicornis, (e) Aulacophora sp.

Penyakit yang Ditemukan pada Tanaman Terung

Penyakit yang ditemukan pada kedua pertanaman terung di Kecamatan Rancabungur berdasarkan pengamatan gejala (simtomatologi) meliputi penyakit yang disebabkan oleh cendawan dan bakteri (Tabel 3). Penyakit tersebut antara lain bercak daun (Alternaria sp.), busuk buah (Phomopsis sp.), antraknosa (Colletotrichum sp.), dan layu bakteri (Ralstonia solanacearum). Pada tanaman terung fase generatif jenis penyakit yang ditemukan lebih banyak karena umur tanaman sudah tua dan kurang dirawat dengan baik.

Tabel 3 Penyakit yang terdapat pada tanaman terung di Kecamatan Rancabungur

Penyakit Patogen Fase tanaman terung

Vegetatif Generatif

Busuk buah Phomopsis sp. - √

Antraknosa Colletotrichum sp. - √

Bercak daun Alternaria sp. √ √

Layu bakteri Ralstonia solanacearum √ √ Keterangan: (√) ditemukan (-) tidak ditemukan

Busuk Buah

Penyakit busuk buah disebabkan oleh cendawan Phomopsis sp. Pada buah terdapat bercak coklat yang besar dan melekuk, yang akhirnya menyebar seluruh bagian buah (Gambar 14a). Kemudian pusat bercak menjadi kelabu dan mempunyai banyak bintik-bintik berwarna hitam yang merupakan piknidium dari cendawan. Bagian yang busuk menjadi lunak dan berair. Pada akhirnya busuk buah menjadi hitam dan kering atau biasa disebut mummifikasi (Semangun 1989). Intensitas penyakit busuk buah relatif tinggi karena umumnya buah yang terserang hampir busuk total (Gambar 9). Seluruh tanaman contoh pada tanaman terung fase generatif yang diamati terinfeksi oleh penyakit ini.

Gambar 9 Persentase keparahan penyakit busuk buah pada tanaman terung fase generatif.

Piknidia cendawan Phomopsis sp. berbentuk bulat dan tidak memiliki seta. Cendawan Phomopsis sp. dapat membentuk 2 tipe konidia, yaitu konidia alfa (α) dan beta (β). Dari hasil pengamatan hanya ditemukan konidia alfa (α) (Gambar

12  

14a). Konidia beta (β) hanya akan terbentuk apabila kondisi sangat sesuai dengan perkembangan penyakit (Mehrotra dan Aneja 1990). Stadia sempurna dari cendawan Phomopsis sp. adalah Diaporthe sp. dan termasuk ke dalam kelas Pyrenomycetes, ordo Diaporthales (Weber 1973).

Antraknosa

Penyakit antraknosa disebabkan oleh cendawan Colletotrichum sp. Gejala yang ditimbulkan yaitu pada buah yang terinfeksi terdapat bercak konsentris berwarna kuning kecoklatan di tengahnya terdapat konidia cendawan yang berwarna hitam (Gambar 14b). Konidia cendawan Colletotrichum sp. berbentuk seperti bulan sabit (Gambar 14b). Konidia dibentuk di struktur aservulus yang khas disertai seta berwarna gelap. Konidia berukuran sekitar 18.6-25 x 3.5-5.3 μm. Cendawan Colletotrichum sp. merupakan stadia anamorfik dari cendawan Glomerella sp. yang termasuk ke dalam kelas Pyrenomycetes, ordo Phyllacorales (Weber 1973). Penyakit ini termasuk penyakit yang ditakuti oleh petani. Seluruh tanaman contoh pada tanaman terung fase generatif yang diamati terinfeksi oleh penyakit ini. Intensitas penyakit antraknosa juga hampir sama dengan penyakit busuk buah yaitu relatif tinggi (Gambar 10). Pada buah yang terinfeksi umumnya hampir semua bagian busuk.

                       

Gambar 10 Persentase keparahan penyakit antraknosa pada tanaman terung fase generatif.

Menurut Nelson (2008), pada umumnya konidia cendawan Colletotrichum sp. penyebab penyakit antraknosa ini disebarkan melalui cipratan air hujan. Pada saat musim hujan dengan kelembaban yang tinggi, semua stadia buah rentan terhadap infeksi cendawan ini. Pada beberapa buah terdapat infeksi campuran yaitu ditemukan gejala busuk buah Phomopsis dan antraknosa pada buah yang sama.

Bercak Daun

Penyakit bercak daun ini disebabkan oleh cendawan Alternaria sp. Gejala yang ditimbulkan yaitu terdapat bercak berwarna coklat yang lama-kelamaan menjadi lebar, pada serangan berat daun menjadi rontok (Gambar 14c). Penyakit bercak daun menyerang tanaman terung pada fase vegetatif maupun generatif.

Cendawan Alternaria sp. memiliki miselium berwarna coklat muda, konidiofor tegak, bersekat, dengan ukuran 50-90 μm. Konidium berbentuk gada terbalik, berwarna coklat, berukuran 145-370 x 16-18 μm, mempunyai sekat melintang 5-10 buah dan 1 atau lebih sekat membujur. Konidium memiliki paruh (beak) pada ujungnya, paruh bersekat. Panjang paruh kurang lebih setengah dari panjang konidium atau lebih (Gambar 14c). Cendawan dapat mempertahankan diri pada sisa-sisa tanaman sakit dan tumbuhan lain seperti tomat, kentang, dan kecubung (Semangun 1989).

Kejadian penyakit bercak daun dari minggu ke minggu relatif meningkat, tetapi keparahan penyakit tidak terlalu berat (Gambar 11 dan 12). Hal ini disebabkan lahan pertanaman masih dirawat dengan baik oleh petani. Sedangkan pada terung fase generatif keparahan penyakit bercak daun meningkat karena pada akhir pengamatan petani sudah jarang menggunakan pestisida. Seiring dengan umur tanaman terung yang semakin tua menyebabkan produktivitas tanaman terung menurun (Sadilova et al. 2006).

Gambar 11 Persentase kejadian penyakit bercak daun pada tanaman terung fase vegetatif (●) dan fase generatif ().

Gambar 12 Persentase keparahan penyakit bercak daun pada tanaman terung fase vegetatif (●) dan fase generatif (▲).

14  

Layu Bakteri

Penyakit layu bakteri disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum. Gejala yang ditimbulkan yaitu tanaman mendadak layu (Gambar 14d). Siklus hidup Ralstonia solanacearum dimulai dengan terjadinya infeksi patogen ke dalam akar, baik secara sendiri maupun pelukaan akibat nematoda, serangga, dan alat-alat pertanian. Setelah masuk ke jaringan akar, bakteri ini akan berkembang biak di dalam pembuluh kayu (xylem) dalam akar dan pangkal batang kemudian menyebar ke seluruh bagian tanaman. Akibat tersumbatnya pembuluh kayu oleh massa dari bakteri R. solanacearum, transportasi air dan mineral terhambat sehingga tanaman menjadi layu dan mati (Supriadi 2011).

Penyakit ini menyerang tanaman terung baik fase vegetatif maupun fase generatif. Pada tanaman terung fase vegetatif kejadian penyakit meningkat, tetapi pada minggu ke-4 bulan November menurun, kemudian minggu berikutnya meningkat lagi (Gambar 13). Hal ini dikarenakan pada minggu ke-3 dilakukan penyulaman oleh petani sehingga kejadian penyakitnya menurun. Sedangkan pada tanaman terung fase generatif kejadian penyakit layu bakteri terus meningkat dari minggu ke minggu. Hal ini disebabkan turunnya hujan dan umur tanaman terung yang semakin tua sehingga penyakit semakin berkembang.

Gambar 13 Persentase kejadian penyakit layu bakteri pada tanaman terung fase vegetatif (●) dan fase generatif (▲).

Menurut Supriadi et al. (2000), dari data mengenai berbagai metode penyebaran R. solanacearum menujukkan bahwa patogen ini sangat mudah menyebar, baik melalui benih, air, tanah, maupun serangga vektor, sehingga apabila terjadi outbreak sangat sulit untuk dikendalikan.

a b

c d

Gambar 14 Gejala dan penyebab penyakit pada tanaman terung: (a) gejala busuk buah (Phomopsis sp.), (b) gejala antraknosa (Colletotrichum sp.), (c) gejala bercak daun (Alternaria sp.), (d) gejala layu bakteri (isolat bakteri R. solanacearum).

16  

Dokumen terkait