• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, potensi alam dan kekayaan lahan yang luas sangat memungkinkan untuk membangun usaha sektor pertanian, khususnya subsektor peternakan. Karena sebagian masyarakat Indonesia berada di pedesaan dan bekerja di sektor pertanian, maka sudah sewajarnya pembangunan sektor pertanian menjadi prioritas. Selain itu juga karena sektor pertanian dijadikan tempat menampung limpahan tenaga kerja, lambat penciptaan lapangan kerja baru, dan belum berkembang industri pertanian, pengolahan maupun kegiatan hillir di pedesaan (Kementan 2012a).

Oleh karena itu, pemerintah telah membuat “Empat Sukses” pembangunan pertanian, yaitu: 1) pencapaian swasembada (kedelai, gula, daging sapi) dan swasembada berkelanjutan (padi, jagung); 2) peningkatan diversifikasi pangan; 3) peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, serta 4) peningkatan kesejahteraan petani (Kementan 2012b). Dalam hal peningkatan kesejahteraan petani, salah satu bentuk kebijakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk terkait dengan bidang ketenagakerjaan adalah mengupayakan agar angka pengangguran menjadi rendah. Keberhasilan pembangunan pertanian khususnya di bidang ketenagakerjaan pertanian ditentukan oleh ketersediaan informasi yang akurat mengenai perkiraan jumlah kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja pertanian baik pada tingkat nasional, regional, menurut struktur umur, pendidikan serta karakteristik-karakteristik demografi lain (Kementan 2012a).

Selanjutnya, dilakukan upaya pencapaian swasembada daging sapi yang diharapkan dapat tercapai pada tahun 2014. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah telah menganggarkan dana pagu indikatif untuk tahun 2013 sebesar Rp 2.50 triliun (Ditjennak 2012a). Dengan dana tersebut diharapkan sasaran produksi domestik dapat mencapai 420.40 ribu ton dan menyerap tenaga kerja sebanyak 76 ribu orang pertahun (Ditjennak 2012b). Dana sebagai investasi yang ditujukan untuk swasembada daging sapi tersebut, selain akan meningkatkan produksi juga akan berdampak pada pertambahan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja.

Dampak Investasi terhadap Pendapatan Tenaga Kerja

Pembangunan peternakan sebagai bagian dari pembangunan sistem agribisnis nasional (sisagrinas) menjadi bagian penting dalam mewujudkan ketahanan dan swasembada pangan bagi lebih dari 223 juta penduduk Indonesia. Khususnya kebutuhan akan protein hewani seperti daging, susu dan telur. Selain itu, pembangunan peternakan nasional juga sangat signifikan sebagai sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 3.15 juta orang dan mampu menghidupi lebih dari 10 juta orang masyarakat Indonesia dengan investasi pada tahun 2007 tidak kurang dari Rp 4.50 triliun. Sektor peternakan diharapkan dapat menekan angka kemiskinan yang menurut BPS jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2007 mencapai 3.95 juta jiwa (Prima 2008).

17

Tabel 5 Perkembangan neraca perdagangan daging Indonesia tahun 2000-2009

Tahun Unggas Sapi dan Kerbau Kambing dan Domba

Impor Ekspor Net

Impor Impor Ekspor

Net

Impor Impor Ekspor

Net Impor ton 2000 14 658 750 13 908 36 047 39 36 008 592 35 557 2001 117 1 841 -124 22 085 92 21 993 692 86 606 2002 1 148 3 070 -1 922 16 221 85 16 136 482 300 182 2003 669 3 708 -3 039 15 228 270 15 018 476 17 459 2004 1 536 121 1 415 17 318 199 17 119 520 4 516 2005 4 274 20 4 254 28 492 52 28 440 829 10 819 2006 3 905 29 3 876 34 004 55 33 949 712 0 712 2007 6 329 86 6 243 52 279 31 52 248 571 1 570 2008 5 613 63 5 550 55 131 30 55 101 568 1 567 2009 4 979 46 4 932 58 138 29 58 109 565 0 565 Laju (%/ th) 2000-2005 -21.85 -51.56 -21.09 -4.6 5.92 -4.61 6.97 -22.16 8.02 2005-2009 3.89 23.15 3.77 19.52 -13.58 19.56 -9.14 -96.84 -8.86 2000-2009 -11.31 -26.61 -10.81 5.45 -3.23 5.46 -0.51 -39.82 0.33 Sumber: Kementan 2011

Mengacu pada Tabel 5 terlihat bahwa impor daging sapi dan kerbau dari tahun 2003 hingga 2009 menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Secara ekonomi makro dampak nyata impor daging yang terus-menerus tersebut dapat menghancurkan peternak. Selain itu, impor komoditas peternakan sapi potong tentu saja menguras devisa negara. Multiplier effect (dampak pengganda) baik yang bersifat langsung dan tidak langsung (direct and indirect effects) yang ditimbulkan dari kegiatan impor komoditas tersebut antara lain menghambat peningkatan pedapatan peternak dalam negeri, menghilangkan kesempatan (opportunity loss) dalam meciptakan lapangan kerja baru, menghambat pengentasan kemiskinan melalui usaha peternakan dalam negeri, hilangnya peluang ekspor komoditas ternak dan hasil ternak Indonesia dan dampak terhadap industri pariwisata sebagai akibat dari penurunan jumlah wisatawan yang datang ke dalam negeri. Bahkan hilangnya peluang ekspor ternak, hasil ikutan ternak, hasil bahan ternak, dan pakan ini berpengaruh secara global terhadap pembagunan peternakan (live stock building) di suatu negara (Prima 2008).

Dalam jangka panjang masuknya impor daging tersebut akan merusak usaha dan industri peternakan nasional. Usaha industri peternakan dalam negeri tidak mampu berproduksi karena tidak mampu membiayai biaya produksi dan biaya lainnya (Prima 2008). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dalam upaya

18

pencapaian swasembada daging pemerintah telah menganggarka dana pagu indikatif sebesar Rp 2.50 triliun. Dana tersebut diupayakan untuk meningkatkan produksi sehingga impor dapat berkurang. Apabila impor telah berkurang dan ancaman terhambatnya peningkatan pendapatan peternak dalam negeri akan berkurang.

Tabel 6 Tambahan pendapatan tenaga kerja di seluruh sektor yang terkait dengan peternakan akibat injeksi Rp 2.50 triliun pada neraca sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya

Klasifikasi tenaga kerja

Penerima upah dan gaji

Bukan

penerima upah dan gaji Desa Kota Desa Kota

( Miliar rupiah)

Pertanian 472.97 117.60 975.87 108.60

Produksi, Operator Alat Angkutan, Manual dan buruh kasar

120.83 240.42 80.13 85.16 Tata usaha, penjualan, jasa-jasa 92.52 342.60 143.14 210.16 Kepemimpinan, Ketatalaksanaan,

Militer, Profesional dan Teknisi 61.77 147.75 8.65 19.70

Sumber: BPS 2010 (diolah)

Seperti dalam Tabel 6, adanya anggaran dana sebesar Rp 2.50 triliun akan berdampak pada tambahan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja di seluruh sektor yang terkait dengan peternakan. Tambahan pendapatan yang paling besar adalah pada tenaga kerja pertanian bukan penerima upah dan gaji di desa, yaitu sebesar Rp 975.87 miliar. Dalam hal yang sama, tambahan pendapatan yang paling kecil adalah tenaga kerja kepemimpinan, profesional dan teknisi bukan penerima upah dan gaji di desa dengan nilai sebesar Rp 8.65 miliar.

Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya investasi sebesar Rp 2.50 triliun di sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya akan meningkatkan pedapatan tenaga kerja pertanian bukan penerima upah dan gaji di desa sebesar Rp 975.87 miliar, sedangkan tenaga kerja kepemimpinan, profesional dan teknisi bukan penerima upah dan gaji di desa sebesar Rp 8.65 miliar. Sama halnya dengan klasifikasi tenaga kerja yang lainnya. Pada tenaga kerja produksi, operator alat angkutan, manual dan buruh dengan investasi sebesar Rp 2.50 triliun terdapat tambahan pendapatan paling besar pada tenaga kerja penerima upah dan gaji di kota yaitu Rp 240.42 miliar. Kemudian pada tenaga kerja tata usaha, penjualan dan jasa-jasa tambahan pendapatan paling besar adalah tenaga kerja penerima upah dan gaji di kota yaitu Rp 342.60 miliar.

19 Tabel 7 Alokasi nilai tambah sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya

pada tenaga kerja Klasifikasi tenaga kerja

Penerima upah dan gaji Bukan penerima upah dan gaji

Desa Kota Desa Kota

(Miliar rupiah)

Pertanian 28 522.55 6 952.97 42 385.56 5 107.45 Produksi, Operator

Alat Angkutan, Manual dan buruh kasar 1 800.42 1 524.75 136.73 79.98 Tata usaha, penjualan, jasa-jasa 1 564.56 1 253.98 171.44 142.81 Kepemimpinan, Ketatalaksanaan, Militer, Profesional dan Teknisi 731.87 1 050.43 62.53 6.80 Sumber: BPS 2010

Tabel 7 menunjukkan alokasi nilai tambah atau pengeluaran dari sektor peternakan dan hasil-hasilnya untuk seluruh klasifikasi tenaga kerja sebelum adanya injeksi. Sebelum injeksi, perolehan pendapatan yang paling besar adalah tenaga kerja pertanian bukan penerima upah dan gaji di desa yaitu sebesar Rp 42 385.56 miliar sedangkan yang paling kecil adalah tenaga kerja kepemimpinan, profesional dan teknisi bukan penerima upah dan gaji di kota yaitu Rp 6.80 miliar. Setelah adanya injeksi, tenaga kerja pertanian masih mendapatkan posisi pertama sebagai tenaga kerja yang memperoleh pendapatan yang peling besar. Namun, apabila dibandingkan antara pendapatan sebelum dan setelah adanya injeksi investasi kemudian dipersentasekan akan diperoleh angka-angka seperti pada Tabel 8.

Tabel 8 Persentase perubahan pendapatan tenaga kerja sebelum dan setelah injeksi

Klasifikasi tenaga kerja

Penerima upah dan gaji

Bukan penerima upah dan gaji Desa Kota Desa Kota

(%)

Pertanian 1.66 1.69 2.30 2.13

Produksi, Operator Alat Angkutan, Manual dan buruh kasar

6.71 15.77 58.60 106.48 Tata usaha, penjualan, jasa-jasa 5.91 27.32 83.49 147.16 Kepemimpinan,

Ketatalaksanaan, Militer, Profesional dan Teknisi

8.44 14.06 13.83 289.70

20

Berdasarkan Tabel 8 persentase perubahan pendapatan paling besar adalah tenaga kerja kepemimpinan, profesional dan teknisi bukan penerima upah dan gaji di kota yaitu mencapai hampir 300 persen, atau tambahan pendapatan mencapai hampir tiga kali lipat dari sebelum adanya injeksi. Dalam hal yang sama, tenaga kerja pertanian bukan penerima upah dan gaji yang mendapat nilai tambahan pendapatan paling besar ternyata persentase perubahannya hanya sebesar 2.30 persen. Seperti telah dijelaskan sebelumya bahwa sektor pertanian selalu menjadi tempat untuk menampung limpahan tenaga kerja, maka jumlah pendapatannyapun akan selalu menunjukkan nilai yang besar. Berbeda halnya, apabila nilai tersebut dipersentsekan akan menunjukkan perubahan yang kecil. Akan tetapi, untuk tenaga kerja kepemimpinan, profesional dan teknisi tidak menunjukkan nilai yang besar pada awalnya, namun ketika ada injeksi ivestasi terjadi peningkatan hingga hampir tiga kali lipatnya jika melihat dari persentase perubahannya. Tambahan pendapatan tenaga kerja tentu berkaitan dengan jumlah tenaga kerja yang bekerja pada sektor dan klasifikasi tenaga kerja yang telah dijelaskan.

Kelipatan pendapatan tenaga kerja kepemimpinan, profesional dan teknisi yang mencapai hampir tiga kali lipat tersebut, dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan tenaga kerja itu sendiri. Untuk tenaga kerja kepemimpinan, profesional dan teknisi memerlukan tenaga kerja dengan tingkat pendidikan minimal Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat. Seperti pada Gambar 2 yang menunjukkan perkembangan jumlah tenaga kerja di subsektor peternakan berdasarkan pendidikan yang terus meningkat, terutama untuk tenaga kerja dengan pendidikan universitas/ sarjana.

Persentase perkembangan tenaga kerja di subsektor peternakan dari tahun 2007 sampai 2011 untuk pendidikan SMA adalah 5.39 persen, SMK (sekolah Gambar 2 Perkembangan tenaga kerja subsektor peternakan berdasarkan

21 menengah kejuruan ) 22.51 persen, Diploma I/ II/ III minus 2.71 persen dan universitas 44.62 persen (Kementan 2012a). Peningkatan tenaga kerja dengan tingkat pendidikan universitas akan diperlukan di sepanjang tahun dalam rangka pencapaian swasembada daging. Karena untuk mewujudkan swasembada daging sapi 2014 harus didukung dengan kelembagaan yang tepat, yang terdiri dari: 1) ilmuwan, pakar dan penyuluh; 2) pelaku usaha, baik yang berskala menengah dan kecil maupun skala besar; serta 3) pemerintah di tingkat pusat maupun daerah yang bertindak sebagai regulator, fasilitator, motivator dan dinamisator. Keberadaan kelompok peternak atau koperasi menjadi suatu keharusan, dan kerjasama kemitraan antara pihak-pihak terkait perlu diperluas. Hal tersebut terbukti dalam upaya pencapaian program Bumi Sejuta Sapi (BSS) di Nusa Tenggara Barat (NTB), seperti dalam penelitian Darwis dan Firman (2010).

Penelitian tersebut menyatakan bahwa, pengembangan populasi sapi juga diimbangi dengan pemberdayaan peternak yang dilaksanakan melalui program Sarjana Membangun Desa (SMD), dimana satu kelompok ternak mendapat bimbingan satu sarjana bidang peternakan berikut bantuan bibit sapi, kandang dan pakan senilai Rp 325 juta perkelompok. Program SMD dilaksanakan sejak tahun 2007 dan hingga tahun 2010 telah disebar 1 510 SMD dengan bantuan dana yang sudah dikucurkan mencapai RP 490.75 miliar. Keberadaan SMD di setiap kelompok ternak memperkuat peran penyuluh peternakan yang ada di desa-desa dimana hingga tahun 2010 berjumlah 27 922 penyuluh. Para penyuluh ini memberikan bimbingan teknis kepada peternak, bahkan bisa dipanggil jika kelompok ternak membutuhkan tambahan bimbingan. Bimbingan bagi peternak didukung oleh 472 orang petugas lapangan, terdiri atas 61 orang dokter hewan, 141 sarjana peternakan, 137 paramedis serta 133 petugas inseminator. Keberadaan petugas juga diperkuat dengan hadirnya 125 SMD yang setiap hari mendampingi peternak.

Jadi, adanya injeksi sebesar Rp 2.50 triliun pada neraca sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya akan berdampak pada tambahan pendapatan tenaga kerja di seluruh sektor yang terkait dengan peternakan sebesar Rp 3 227.87 miliar. Dengan tambahan pendapatan paling besar pada tenaga kerja pertanian bukan penerima upah dan gaji di desa sebesar Rp 975.87 miliar dan paling kecil adalah tenaga kerja kepemimpinan, profesional dan teknisi bukan penerima upah dan gaji di desa sebesar Rp 8.65 miliar. Akan tetapi, jika dilihat berdasarkan persentase tenaga kerja yang paling besar perubahan pendapatannya adalah tenaga kerja kepemimpinan, profesional dan teknisi bukan penerima upah dan gaji di kota yaitu mencapai 289.70 persen. Hal tersebut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan tenaga kerja yang akan mendukung percepatan pencapaian swasembada daging 2014.

Dampak Ivestasi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja

Bekerja di subsektor peternakan adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pula kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha/ kegiatan ekonomi subsektor peternakan. Berbeda

22

dengan subsektor pertanian lainnya, kenaikan PDB subsektor peternakan ternyata seiring dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja pada subsektor ini. Jumlah tenaga kerja yang bekerja di subsektor peternakan dari tahun 2007 sampai 2009 mengalami peningkatan. Namun, dari tahun 2009 ke tahun 2010 mengalami penurunan. Pada tahun 2007 jumlah orang yang bekerja di subsektor peternakan sebanyak 3.77 juta orang, kemudian tahun 2008 meningkat 7.27 persen menjadi 4.04 juta orang dan pada tahun 2009 naik lagi menjadi 4.39 juta orang atau mengalami kenaikan 8.46 persen, pada tahun 2010 jumlah tenaga kerja subsektor peternakan mengalami penurunan 4.17 juta orang atau mengalami penurunan sebesar 5.01 persen (Kementan 2012a). Tenaga kerja tersebut dikelompokkan berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, pendidikan, status pekerjaan, domisili dan provinsi.

Akan tetapi, peningkatan jumlah tenaga kerja tersebut tidak sejalan dengan target/ sasaran PSDS. Sasaran PSDS yaitu adanya penyerapan tenaga kerja sebanyak 76 ribu orang pertahun sedangkan angka peningkatan tenaga kerja subsektor ini selama PSDS dicanangkan belum mencapai 76 ribu orang pertahun. Seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa investasi selain akan meningkatkan produksi juga akan berdampak pada pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan hasil pengolahan data, penyerapan tenaga kerja di seluruh sektor yang terkait dengan peternakan berdasarkan domisili akibat adanya injeksi investasi Rp 2.50 triliun adalah sebanyak 140 194 orang. Jumlah tersebut terbagi berdasarkan domisili, di desa jumlah tenaga kerja yang dapat diserap adalah 97 794 orang sedangkan di kota mencapai 42 400 orang. Tenaga kerja tersebut juga terbagi berdasarkan klasifikasi tenaga kerja seperti pada Tabel 9.

Tabel 9 Tambahan penyerapan tenaga kerja akibat injeksi Rp 2.50 triliun pada neraca sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya berdasarkan domisili

Klasifikasi tenaga kerja

jumlah tambahan

pendapatan jumlah tenaga kerja Desa Kota Desa Kota

(Miliar rupiah) (orang) Pertanian 1 448.84 226.20 72 442 7 540 Produksi, Operator Alat

Angkutan, Manual dan buruh kasar

200.96 325.58 10 048 10 852.67 Tata usaha, penjualan,

jasa-jasa 235.66 552.76 11 783 18 425.33 Kepemimpinan,

Ketatalaksanaan, Militer, Profesional dan Teknisi

70.42 167.45 3 521 5 581.67

Total 97 794 42 399.67

Sumber: BPS 2010 (diolah)

Mengacu pada Tabel 9 penyerapan tenaga kerja paling banyak ada pada tenaga kerja Pertanian di desa yaitu sebanyak 72 442 orang sedangkan yang

23 paling sedikit adalah tenaga kerja kepemimpinan, profesional dan teknisi yaitu sebanyak 3 521 orang. Atas dasar tersebut, melihat jumlah penyerapan tenaga kerja di desa yang sangat tinggi. Dalam upaya pencapaian swasembada daging perlu didukung dengan infrasruktur berupa fasilitas, sarana, prasarana dan lainnya yang memadai. Karena infrastruktur juga akan sangat membantu dalam upaya pencapaian swasembada daging. Menurut Dirjen Peternakan Kementerian Syukur Iwantoro, keterbatasan infrastruktur membuat sapi mendapat perlakuan yang tidak baik selama pengiriman dari produsen (peternak) ke tempat pemotongan hewan sehingga membuat bobot (berat) badan sapi susut sampai 30 persen. Kendala infrastruktur ini tidak dapat ditangani sendiri tetapi harus melibatkan instansi lain seperti tersedianya pelabuhan ternak termasuk layanan bongkar muat.

Terkait hal itu, menurutnya Presiden juga mendukung program aksi terpadu mewujudkan swasembada pangan termasuk daging yakni melalui ketersediaan lahan, infrastruktur pendukung, serta pemanfaatan teknologi. Prioritas yang akan dilaksanakan yakni pembangunan infrastruktur berupa pelabuhan, sarana bongkar muat, dan kapal ternak sehingga penurunan bobot sapi bisa dikurang tinggal lima persen, serta sapi yang cacat atau mati dapat berkurang mejadi nol persen. Kemudian lagkah selanjutnya revitalisasi RPH yang menjadi tugas Ditjennak, tetapi untuk pengelolaannya diserahkan kepada Pemda (pemerintah daerah) tempat RPH itu berada (Ganet 2013).

Jadi, injeksi investasi sebesar Rp 2.50 triliun pada neraca sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya dapat mencapai target PSDS dalam hal penyerapan tenaga kerja (76 ribu orang pertahun). Karena berdasarkan hasil pengolahan data, penyerapan tenaga kerja di seluruh sektor yang berkaitan dengan peternakan berdasarkan domisili dapat mencapai 140 194 orang. Dari jumlah tersebut 51.67 persennya adalah tenaga kerja pertanian di desa. Dari empat subsektor pertanian (tanaman pagan, hortikultura, perkebunan, peternakan), dalam hal ini tenaga kerja yang sangat terkait dengan penelitain ini adalah tenaga kerja subsektor peternakan. Dengan kata lain, jumlah peternak di desa sebagai produsen daging akan meningkat. Maka dari itu, perlu adanya perbaikan infrastruktur dalam pencapaian swasembada serta pendistribusian ternak maupun hasil ternak kepada kosumen agar kualitasnya terjaga. Karena infrastruktur di desa belum memadai untuk hal tersebut.

Dokumen terkait