• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN INVESTASI DI SEKTOR PETERNAKAN TERHADAP PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA INONG RUCHI SARMILA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN INVESTASI DI SEKTOR PETERNAKAN TERHADAP PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA INONG RUCHI SARMILA"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN INVESTASI DI SEKTOR PETERNAKAN TERHADAP

PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA

INONG RUCHI SARMILA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peran Investasi di Sektor Peternakan terhadap Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2013 Inong Ruchi Sarmila NIM H14090076

(4)

ABSTRAK

INONG RUCHI SARMILA. Peran Investasi di Sektor Peternakan terhadap Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja. Dibimbing oleh SRI MULATSIH.

Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014 diharapkan dapat memenuhi konsumsi daging nasional dengan produksi daging domestik sebanyak 420.30 ribu ton pada tahun 2014 dan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 76 ribu orang/ tahun. Maka dari itu, pemerintah telah menganggarkan dana pagu indikatif tahun 2013 yang ditujukan untuk PSDS sebesar RP 2.50 triliun. Dalam penelitian ini, dana tersebut diasumsikan sebagai investasi yang akan diinjeksikan pada sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya untuk mengetahui dampak investasi tersebut pada pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Kemudian akan dianalisis menggunakan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Hasil pengolahan data dan analisis menunjukkan bahwa dengan investasi tersebut dapat meningkatkan pendapatan tenaga kerja di seluruh sektor yang terkait dengan peternakan sebesar Rp 3 227.87 miliar dan penyerapan tenaga kerja berdasarkan domisili mencapai 140 194 orang. Hal ini menunjukkan bahwa target/ sasaran penyerapan tenaga kerja dari adanya PSDS dapat tercapai.

Kata kunci: PSDS, SNSE, injeksi investasi, tenaga kerja

ABSTRACT

INONG RUCHI SARMILA. The Role of Investmet in Livestock Sector towards Income and Labor Absorption. Supervised by SRI MULATSIH.

Beef self-sufficiency 2014 program was expected can complete the national beef consumption with domestic beef production amounting to 420.30 thousand ton in 2014 and can increase the labor amounting to 76 thousand labor/ year. Therefore, government has budgeted Rp 2.50 trillion. In this study, that fund is considered as an investment which will be injected into the balance statement of livestock sector production to evaluated the income and labor absorption. Then, it will be analysis by Social Accounting Matrix (SAM). The result show that the investment can increase the income of all labor which be related to livestock amounting to Rp 3 227.87 billion and labor absorption based on domicile to 140 194 worker. All of this show that the target of labor absorption in beef self-sufficient can be completed.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

PERAN INVESTASI DI SEKTOR PETERNAKAN TERHADAP

PENDAPATAN DAN PEYERAPAN TENAGA KERJA

INONG RUCHI SARMILA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Peran Investasi di Sektor Peternakan terhadap Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja

Nama : Inong Ruchi Sarmila NIM : H14090076

Disetujui oleh

Dr Ir Sri Mulatsih, MScAgr Pembimbing

Diketahui oleh

Dedi Budiman Hakim, PhD Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Peran Investasi di Sektor Peternakan terhadap Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Sri Mulatsih, MScAgr selaku pembimbing, Ka Ade Holis yang telah banyak membantu dalam pengumpulan serta pengolahan data, saran dan masukan yang telah diberikan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada staf Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Rama WA yang telah membantu dan mempermudah dalam memperoleh data pendukung lainnya serta staf dan dosen-dosen departemen Ilmu Ekonomi. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Bapak, Mamah, Kakak, Adik dan seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya, keluarga besar KSR PMI Unit I IPB, Paguyuban Mahasiswa Galuh Ciamis, AW Mustofa atas doa kesabaran dan dukungannya, MR Pebriana atas pelajaran yang diberikan, H Indah Wardhani yang selalu mengingatkan dan membantu dalam pembetulan format skripsi, teman asrama kamar 318 Fifin AF, Nova Z, Sonia DM, dan seluruh teman-teman penulis atas doa dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Nopember 2013 Inong Ruchi Sarmila

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 5 Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA 6

Investasi 6

Ketenagakerjaan 7

Swasembada Daging Sapi 2014 9

Sistem Neraca Sosial Ekonomi 10

METODE 13

Jenis dan Sumber Data 13

Pendekatan Keseimbangan Umum dalam SNSE 13

HASIL DAN PEMBAHASAN 16

Dampak Investasi terhadap Pendapatan Tenaga Kerja 16 Dampak Ivestasi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja 21

SIMPULAN DAN SARAN 24

Simpulan 24 Saran 24 DAFTAR PUSTAKA 25 LAMPIRAN 26 RIWAYAT HIDUP 37

(10)

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan jumlah tenaga kerja subsektor peternakan berdasarkan

status pekerjaan tahun 2007-2011 1

2 Road map skenario populasi dan produksi daging sapi 3 3 Populasi sapi potong, produksi daging dan jumlah tenaga kerja di

subsektor peternakan Indonesia tahun 2009-2012 3 4 Kerangka dasar dan arti hubungan antar neraca dalam SNSEKerangka

dasar dan arti hubungan antar neraca dalam SNSE 12 5 Perkembangan neraca perdagangan daging Indonesia tahun 2000-2009 17 6 Tambahan pendapatan tenaga kerja di seluruh sektor yang terkait

dengan peternakan akibat injeksi Rp 2.50 triliun pada neraca sektor

produksi peternakan dan hasil-hasilnya 18

7 Alokasi nilai tambah sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya

pada tenaga kerja 19

8 Persentase perubahan pendapatan tenaga kerja sebelum dan setelah

injeksi 19

9 Tambahan penyerapan tenaga kerja akibat injeksi Rp 2.50 triliun pada neraca sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya berdasarkan

domisili 22

DAFTAR GAMBAR

1 Postur pengalokasian anggaran tahun 2013 (pagu indikatif Rp 2.50

triliun) 5

2 Perkembangan tenaga kerja subsektor peternakan berdasarkan

pendidikan tahun 2007-2011 20

DAFTAR LAMPIRAN

1

Perkembangan tenaga kerja subsektor peternaka berdasarkan domisili

tahun 2007-2011 27

2 Perkembangan tenaga kerja subsektor peternakan berdasarkan

pendidikan tahun 2007-2011 27

3 Sistem Neraca Sosial Ekonomi 2008 ukuran 105x105, kolom 30 28 4 Hasil injeksi Rp 2.50 triliun/ nilai multiplier 32

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peternakan merupakan sektor bagian pertanian terbesar ketiga setelah perikanan dan perkebunan yang berkontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2008. Hal ini menunjukkan adanya kenaikan PDB subsektor peternakan dari tahun sebelumnya. Kenaikan PDB subsektor peternakan ternyata diiringi dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2007 jumlah orang yang bekerja pada subsektor ini sebanyak 3.77 juta orang, kemudian tahun 2008 meningkat 7.27 persen menjadi 4.04 juta orang dan pada tahu 2009 naik lagi mejadi 4.39 juta orang atau mengalami kenaikan 8.46 persen. Tenaga kerja tersebut terdistribusi pada berbagai status pekerjaan, domisili, pendidikan, kelompok umur, provinsi, dan jenis kelamin. Salah satu pengelompokkanya seperti pada Tabel 1.

Tabel 1 Perkembangan jumlah tenaga kerja subsektor peternakan berdasarkan status pekerjaan tahun 2007-2011

Status pekerjaan 2007 2008 2009 2010 2011 Perk. 2007-2011 Berusaha sendiri 462 305 493 437 594 834 579 025 610 362 7.19 Berusaha dibantu buruh tidak tetap/ buruh tidak dibayar 1 306 949 1 500 297 1 527 010 1 412 555 1 374 871 1.27 Berusaha dibantu buruh tetap/ buruh dibayar 27 923 33 535 29 553 32 433 50 501 15.97 Buruh karyawan 133 810 160 339 149 216 190 046 240 152 15.74 Pekerja bebas 64 646 77 690 79 660 44 186 48 339 -7.01 Pekerja tak dibayar 1 774 424 1 778 881 2 005 892 1 909 649 1 879 988 1.46 3 770 057 4 044 179 4 386 165 4 167 894 4 204 213 2.76

Sumber: Kementan 2012a

Data diambil bulan Agustus setiap tahunnya

Jumlah tenaga kerja dari tahun 2009 ke 2010 mengalami penurunan lalu mengalami peningkatan kembali di tahun 2011. Menurut data perkembangan tenaga kerja subsektor peternakan berdasarkan domisili, dari tahun 2007 ke 2009 tenaga kerja di kota mengalami penurunan sedangkan di desa mengalami peningkatan. Ketika terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja secara keseluruhan di tahun 2011, tenaga kerja di desa mengalami penurunan sedangkan di kota mengalami peningkatan . Padahal, sebagian besar peternak berada di desa.

(12)

2

Sejak tahun 2005 Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) telah dicanangkan namun mengalami kegagalan. Walaupun begitu, tenaga kerja di subsektor peternakan menunjukkan perkembangan yang cukup baik, tetapi dari sisi sasaran/ target PSDS dalam penyerapan tenaga kerja belum dapat tercapai. PSDS yang telah gagal dicanangkan kembali pada tahun 2012 dengan harapan dapat tercapai pada tahun 2014. Dalam musyawarah rencana pembangunan pertanian 2013 yang diselenggarakan Mei 2012, pemerintah telah merencanakan anggaran dana pagu indikatif untuk tahun 2013 sebesar Rp 2.50 triliun. Dana tersebut terdistribusikan dalam tiga kelompok komoditas, yaitu untuk komoditas strategis nasional Rp 1.90 triliun, komoditas unggulan nasional Rp 0.50 triliun, dan komoditas ternak lainnya Rp 0.10 triliun seperti yang ada pada Gambar 1.

Selanjutnya, sasaran/ target PSDS diantaranya adalah: (1) meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan peternak; (2) penyerapan tambahan tenaga kerja baru; (3) penghematan devisa negara; (4) optimalisasi pemanfaatan potensi ternak sapi lokal; dan (5) semakin meningkatnya penyediaan daging sapi yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) bagi masyarakat sehingga ketentraman terjamin. Berdasarkan hal tersebut anggaran dana sebesar Rp 2.50 triliun sebagai investasi yang ditujukan untuk PSDS, juga akan berdampak terhadap pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Maka dari itu, untuk mengetahui berapa besar dampak yang diberikan dari adanya investasi terhadap pedapatan dan penyerapan tenaga kerja dilakukan penelitian menggunakan pendekatan keseimbangan umum Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE).

Perumusan Masalah

Program swasembada daging 2014 seyogianya dilaksanakan untuk mencapai suatu target/ sasaran yang dapat menguntungkan selain karena volume dan nilai impor yang semakin meningkat. Dalam pedoman umum program swasembada daging sapi tahun 2014 dijelaskan bahwa keuntungan yang ingin dicapai diantaranya: (1) meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan peternak; (2) penyerapan tambahan tenaga kerja baru; (3) penghematan devisa negara; (4) optimalisasi pemanfaatan potensi ternak sapi lokal; dan (5) semakin meningkatnya penyediaan daging sapi yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) bagi masyarakat sehingga ketentraman terjamin. Maka dari itu, pemerintah juga telah menyusun berbagai kegiatan operasional serta target/ sasaran produksi dan impor dalam road map skenario populasi, produksi seperti pada Tabel 2.

(13)

3 Tabel 2 Road map skenario populasi dan produksi daging sapi

Tahun Populasi Produksi Produksi domestik Impor Produksi domestik Impor (000 ekor) (000 ton) (000 ton) 2009 12 610.10 580.00 72.80 250.80 70.00 2010 12 794.90 260.00 46.44 282.90 73.76 2011 13 169.50 196.90 35.29 316.10 67.21 2012 13 521.60 149.00 27.27 349.70 57.43 2013 13 870.50 112.80 20.34 384.20 45.96 2014 14 231.70 85.40 15.38 420.40 31.22 Sumber: Kementan 2010

Tabel 2 menunjukkan bahwa sasaran produksi domestik pada tahun 2009 adalah 250.80 ribu ton, 2010 sebanyak 282.90 ribu ton, 2011 sebanyak 316.10 ribu ton, 2012 sebanyak 349.70 dan pada tahun 2013 sebanyak 384.20. Jika dibandingkan dengan produksi sebenarnya dari tahun 2009 hingga 2012 terlihat perbedaan produksi yang cukup besar, dimana produksi sebenarnya selalu lebih besar dari target/ sasaran produksi tersebut.

Tabel 3 Populasi sapi potong, produksi daging dan jumlah tenaga kerja di subsektor peternakan Indonesia tahun 2009-2012

Tahun Populasi Produksi Jumlah tenaga kerja

(000 ekor) Trend (%) (000 ton) Trend (%) (orang) Trend (%) 2009 12760 409.3 4 386 165 2010 13582 6.44 436.5 6.64 4 167 894 -4.98 2011 14824 9.14 485.3 11.18 4 204 213 0.87 2012*) 16034 8.16 505.5 4.16 4 190 000 -0.33 Sumber: Ditjennak 2012 c, Keterangan: *) angka sementara

Berdasarkan Tabel 2 dan Tabel 3 (Populasi dan Produksi) dapat disimpulkan bahwa target/ sasaran produksi dari program swasembada daging 2014 dapat tercapai. Namun, target/ sasaran dalam penyerapan tenaga kerja belum dapat tercapai. Sasaran penyerapan tenaga kerja yang ingin dicapai adalah sebanyak 76 ribu orang per tahun (Kementan 2010). Mengacu pada Tabel 3 (jumlah tenaga kerja), jumlah tenaga kerja subsektor peternakan yang dapat diserap pada tahun 2010 berkurang sebanyak 218 271 orang dari tahun 2009, dan pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 36 319 orang.

(14)

4

Kemeterian pertanian dalam perencanaan tenaga kerja pertanian 2012-2014 memroyeksikan jumlah tenaga kerja subsektor peternakan di tahun 2012 adalah sebanyak 4.19 juta orang. Sementara tahun 2013 diperkirakan akan mencapai 4.30 juta orang, dengan demikian terjadi peningkatan sebesar 2.47 persen dan pada tahun 2014 dipekirakan meningkat 2.35 persen . Hal ini menunjukkan bahwa akan terjadi penurunan tenaga kerja di tahun 2012 yang kemudian terjadi peningkatan kembali pada tahun 2013. Proyeksi tersebut menunjukkan adanya peyerapan tenaga kerja sebanyak 110 ribu orang pada tahun 2013 dan dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2013 target penyerapan tenaga kerja subsektor peternakan berdasarkan proyeksi dapat tercapai, bahkan melebihi targetnya yang sebanyak 76 ribu orang.

Namun, proyeksi jumlah tenaga kerja tersebut terspesifikasi berdasarkan beberapa kriteria saja. Kriteria tersebut diantaranya berdasarkan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, domisili dan provinsi. Proyeksi tersebut juga tidak mencerminkan tambahan pendapatan yang akan diperoleh tenaga kerja, serta tingkat kesejahteraan yang akan dicapai. Maka dari itu, peneitian ini bertujuan untuk melengkapi kekurangan tersebut. Perhitungan dan analisis menggunakan pendekatan keseimbangan umum Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE).

Pengolahan data dilakukan dengan menginjeksikan investasi. Investasi tersebut mengacu pada program swasembada daging, program swasembada daging ini dilandasi dengan adanya tambahan anggaran untuk pengembangan peternakan. Anggaran tersebut berupa dana pagu indikatif sebesar 2.5 triliun dengan perincian distribusi anggaran seperti pada Gambar 1. Anggaran ini akan digunakan sebagai injeksi investasi pada neraca sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya dalam SNSE. Injeksi investasi, disamping meningkatkan produksi daging untuk memenuhi target/ sasaran PSDS juga akan berdampak pada penyerapan dan pendapatan tenaga kerja melalui multiplier, sehingga pada hasil akhir pengolahan data akan diketahui berapa besar tambahan pendapatan, jumlah penyerapan tenaga kerja berdasarkan klasifikasi tenaga kerja dan domisili.

(15)

5

Gambar 1 Postur pengalokasian anggaran tahun 2013 (pagu indikatif Rp 2.50 triliun)

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. mengetahui dampak investasi di sektor peternakan terhadap pendapatan tenaga kerja di seluruh sektor yang terkait dengan peternakan ,

2. mengetahui dampak investasi di sektor peternakan terhadap penyerapan tenaga kerja di seluruh sektor yang terkait dengan peternakan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peternak sebagai pengetahuan mengenai program swasembada daging. Di samping itu, selain bagi peternak penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah untuk mengetahui berapa besar tambahan pendapatan akan diperoleh dan banyaknya penyerapan tenaga kerja di seluruh sektor yang terkait dengan peternakan sebagai dampak dari adanya dana pagu indikatif yang telah dianggarkan yaitu sebesar Rp 2.50 triliun. Jadi, pemerintah dapat menentukan dan memperhitungkan kebijakan ataupun dana yang akan dianggarkan selanjutnya agar sasaran swasembada daging 2014 dapat tercapai. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian lain yang terkait.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini membahas mengenai peran investasi sebesar Rp 2.50 triliun terhadap pendapatan dan penyerapan tenaga kerja di seluruh sektor yang terkait dengan peternakan. Peran investasi terhadap pendapatan tenaga kerja disesuaikan

Pembangunan peternakan dan Keswan Rp 1.90 Triliun komoditas strategi nasional

Sapi potong, sapi perah dan kerbau

Rp 0.50 Triliun Komoditas unggulan nasional

Kambing, domba, itik, ayam buras,

babi Rp 0.10 Triliun

Komoditas ternak lainnya

Ayam ras, kuda, aneka ternak

(16)

6

dengan klasifikasi tenaga kerja yang terdapat dalam SNSE. Selajutnya peran investasi terhadap penyerapan tenaga kerja dispesifikasikan atas domisili, yaitu desa dan kota. Dua hal ini, yaitu klasifikasi tenaga kerja serta spesifikasi berdasarkan domisili merupakan salahsatu kelebihan dari penelitian.

Dalam hal yang sama, penelitian ini memiliki kekurangan serta keterbatasan, seperti hasil pengolahan data yang menunjukkan perubahan keadaan yang masih umum. Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menginjeksikan investasi pada neraca sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya, sehingga hasil yang diperoleh menunjukkan keadaan peternakan secara umum. Hal tersebut dikarenakan dalam penelitian tidak dilakukan disagregasi pada sektor peternakan dan hasil-hasilnya. Disagregasi dapat dilakukan dengan memisahkan antara komoditi sapi dan bukan sapi agar dapat terfokus pada program swasembada daging sapi, sehingga hasilnya dapat lebih spesifik. Selain itu, data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data SNSE 2008. Walau demikian, penggunaan SNSE 2008 ini dianggap masih relevan karena struktur perkonomian masih relatif sama anatara tahun 2008 sampai 2012.

TINJAUAN PUSTAKA

Investasi

Investasi adalah penanaman modal yang biasanya bejangka panjang dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa yang akan datang sebagai kompensasi secara profesional atas penundaan konsumsi, dampak inflasi dan resiko yang ditanggung. Investasi merupakan konsep aliran (flow concept), karena dihitung selama satu periode tertentu, tetapi investasi akan mempengaruhi jumlah barang modal yang tersedia (capital stock) pada satu periode tertentu. Dalam makroekonomi, investasi adalah jumlah yang dibeli per waktu unit barang yang tidak dikonsumsi tetapi digunakan untuk produksi masa depan (Arifin 2005).

Aggaran-anggaran pemerintah adalah alat administrasi utama yang menjadi saluran program-program investasi pemerintah ditransformasikan ke dalam hasil-hasil yang nyata. Banyak pemerintah, yang tujuan utamanya adalah pertumbuhan, baik untuk hasil maupun produktivitas. Hasil tambahan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat dari suatu pertambahan penduduk dengan pendapatan yang semakin bertambah, untuk meningkatkan ekspor atau mengurangi impor, untuk menciptakan pekerjaan dan pendapatan penduduk pedesaan, untuk memenuhi permintaan sektor-sektor lain untuk bahan-bahan baku, dan untuk menghasilkan lebih banyak pemasukan yang akan diinvestasikan pada sektor pedesaan dan perkotaan (Baum dan Tolbert 2006).

Faktor produksi adalah input yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa. Dua faktor produksi yang paling penting adalah modal dan tenaga kerja. Modal adalah seperangkat sarana yang digunakan oleh para pekerja (Mankiw 2007). Seperti menurut Arifin, modal atau penanaman modal merupakan investasi. Perusahaan-perusahaan swasta melakukan investasi dalam jenis-jenis modal tradisional, seperti pabrik buldoser dan baja, serta jenis-jenis modal baru, seperti komputer dan robot. Dalam hal yang sama, pemerintah melakukan investasi

(17)

7 dalam berbagai bentuk modal masyarakat, yang disebut infrastruktur, seperti jalan raya, jembatan, dan sistem pembuangan air. Selain itu juga ada modal manusia, ilmu pengetahuan dan keahlian yang didapatkan oleh para pekerja dari pendidikan. Peningkatan tingkat modal manusia membutuhkan investasi dalam bentuk para pengajar, perpustakaan, dan waktu belajar. Model yang mengaitkan hubungan antara hasil produksi/ output dengan tenaga kerja/ input dan modal/ investasi adalah:

Y = F (K,L)

Dimana Y adalah produksi, K adalah modal dan L adalah tenaga kerja. Dalam hal ini, jumlah output hanya berubah karena jumlah modal dan tenaga kerja berubah. Fungsi produksi mencerminkan teknologi yang digunakan untuk mengubah modal dan tenaga kerja menjadi output. Jika fungsi produksi memiliki skala konstan, maka melipatduakan peralatan sebagai bentuk dari ivestasi dan jumlah pekerja akan melipatduakan jumlah produksi (Mankiw 2007).

Berkaitan dengan swasembada daging 2014, pemerintah telah menganggarka dana pagu indikatif untuk tahun 2013 sebesar Rp 2.50 triliun dengan harapan dapat mendukung tercapainya swasembada daging 2014. Dari sisi produksi, diharapkan produksi daging domestik dapat mencapai 384.20 ribu ton pada tahun 2013 dan 420.40 ribu ton pada tahun 2014.

Penelitian ini mengasumsikan bahwa modal adalah investasi. Investasi tersebut adalah dana pagu indikatif yang telah dianggarkan pemerintah yang dapat didistribusikan melalui infrastruktur dan sarana lainnya untuk meningkatkan produksi domestik tersebut serta penyerapan tenaga kerja. Jika investasi tersebut berupa pedanaan bagi infrastruktur atau kegiatan-kegiatan dalam program swasembada daging, maka akan memerlukan tenaga kerja sebagai pelaku utama/ pelaksananya sehingga pada akhirnya akan terdapat sejumlah peyerapan tenaga kerja yang akan dicapai karena adanya injeksi investasi.

Ketenagakerjaan

Faktor produksi adalah input yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa. Dua faktor produksi yang paling penting adalah modal dan tenaga kerja. Modal bisa disebut juga investasi, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Tenaga kerja adalah waktu yang dihabiskan orang untuk bekerja (Mankiw 2007). Bekerja adalah melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan (BPS 2007).

Tenaga kerja dalam penelitian ini diklasifikasikan mejadi empat klasifikasi seperti pada SNSE. Empat klasifikasi tersebut diantaranya: 1) pertanian; 2) produksi, operator alat angkutan, manual dan buruh kasar; 3) tata usaha, penjualan, jasa-jasa; 4) kepemimpinan, ketatalaksanaan, militer, profesional dan teknisi.

Tenaga kerja pertanian adalah tenaga kerja dalam usaha pertanian termasuk perkebunan, perikanan, kehutanan, dan perburuan, yang atas nama sendiri atau bersama dengan pihak lain. Memimpin, menyelenggarakan, mengawasi, atau melaksanakan usaha pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, perburuan dan penangkapan hewan dan usaha-usaha yang berhubungan dengan itu (BPS 2007).

Tenaga kerja produksi, operator alat angkutan, manual dan buruh kasar adalah tenaga kerja yang melaksanakan kegiatan penggalian dan pengolahan

(18)

8

bahan tambang, minyak gas dan bumi, proses pemuatan barang, konstruksi, perawatan, perbaikan berbagai jenis jalan, bangunan, mesin dan lain-lain. Di samping itu juga termasuk di dalamnya tenaga kerja yang mengerjakan bahan-bahan, mengemudikan alat angkutan dan peralatan lain serta melaksanakan tugas yang terutama menggunakan tenaga jasmani (BPS 2007).

Tenaga kerja tata usaha, penjualan dan jasa-jasa adalah tenaga kerja dalam berbagai tata usaha. Tenaga kerja tersebut meliputi pekerja pengawas tata usaha, pejabat pelaksana pemerintah, pengawas pelaksana jasa angkutan komunikasi, penyusun dan pemelihara catatan transaksi keuangan termasuk pengurus kas, pencatat, baik lisan atau tertulis (steno, mesin dan ketik). Selajutnya tenaga kerja yang melayani mesin kantor, peralatan telepon dan sebagainya, termasuk penyelenggara angkutan darat bagi penumpang, pendistribusian barang kiriman dan tugas lain yang sejenis (BPS 2007).

Tenaga kerja profesional, teknisi, manajer, militer meliputi pejabat legislatif dan tenaga kerja manajemen (utama, produksi, kecuali produksi pertanian, pemasaran, keuangan, administrasi, personalia, litbang) dan direktur, sedangkan tenaga kerja profesional dan teknisi adalah mereka yang dalam pekerjaannya dengan menerapkan ilmu pengetahuan untuk memecahkan berbagai persoalan teknologi, sosial, ekonomi, industri serta melakukan fungsi-fungsi keahlian, teknis, kesenian dan yang berhubungan dengan itu dalam berbagai bidang termasuk olahraga (BPS 2007).

Di samping itu, dalam SNSE tenaga kerja tersebut juga dibagi lagi menjadi dua kelompok tenaga kerja. Dua kelompok tenaga kerja tersebut adalah tenaga kerja penerima upah dan gaji, dan tenaga kerja bukan penerima upah dan gaji. Tenaga kerja penerima upah gaji meliputi buruh/ karyawan/ pegawai dan pekerja bebas (pertanian/ non pertanian). Tenaga kerja bukan penerima upah gaji meliputi tenaga kerja yang status pekerjaannya berusaha sediri, berusaha dibantu buruh tetap/ dibayar, serta pekerja keluarga/ tak dibayar. Berikutnya, pekerja tak dibayar adalah seseorang yang bekerja membantu usaha untuk memperoleh penghasilan/ keuntungan yang dilakukan oleh salah seorang rumah tangga atau bukan anggota rumah tangga tanpa mendapat upah/ gaji (BPS 2010). Upah/ gaji bersih adalah imbalan yang diterima selama sebulan oleh buruh/ karyawan baik berupa uang atau barang yang dibayarkan peurusahaan/ kantor/ majikan. Imbalan dalam bentuk barang dinilai dengan harga setempat. Upah/ gaji bersih yang dimaksud tersebut adalah setelah dikurangi dengan potongan-potongan iuran wajib, paajak penghasilan dan sebagainya (Kementan 2012a). Selanjutnya, terakhir tenaga kerja tersebut juga dibagi kembali berdasarkan domisili yaitu desa dan kota.

Tenaga kerja subsektor peternakan berdasarkan domisili dari tahun 2007 sampai 2011 di kota rata-rata meningkat 9.18 persen pertahun, sedangkan di desa meningkat 1.55 persen. Berbeda dengan subsektor pertanian lainnya, kenaikan PDB (produk domestik bruto) subsektor peternakan ternyata seiring dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja.. Pada tahun 2007 jumlah orang yang bekerja di subsektor peternakan sebanyak 3.77 juta orang, kemudian tahun 2008 meningkat 7.27 persen menjadi 4.04 juta orang dan tahun 2009 naik lagi menjadi 4.39 juta orang atau mengalami kenaikan 8.46 persen. Pada tahun 2010 jumlah tenaga kerja subsektor peternakan mengalami penurunan menjadi 4.17 juta orang atau mengalami penurunan sebesar 5.01 persen (Kementan 2012a). Akan tetapi, tenaga kerja tersebut belum terklasifikasikan.

(19)

9 Karena itu, tenaga kerja yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah tenaga kerja di seluruh sektor yang terkait dengan peternakan. Klasifikasi tenaga kerja pertama yang sangat berkaitan erat dengan peternakan adalah tenaga kerja pertanian. Selajutnya, tenaga kerja produksi, operator alat angkutan, manual dan buruh kasar, profesional, teknisi, kepemimpinan, tata usaha, penjualan dan jasa-jasa.

Swasembada Daging Sapi 2014

Daging sapi adalah salah satu komoditas strategis yang menjadi sumber protein hewani paling banyak dikonsumsi setelah daging ayam. Daging sapi termasuk dalam sembilan kebutuhan pokok (sembako) yang pengelolaannya diatur pemerintah. Pasokan daging sapi sekitar 30 persen adalah impor. Kondisi ini mengancam peternakan lokal yang sebagian besar adalah peternakan rakyat karena harga daging sapi impor lebih murah dibandingkan harga lokal. Daya saing peternak lokal yang rendah mengancam perkembangan produksi daging sapi dalam negeri di masa yang akan datang. Dengan begitu, ketergantungan terhadap daging sapi impor dimasa yang akan datang menjadi semakin tinggi (Permana 2011).

Di samping itu, menurut Hadi dan Ilham (2002) impor yang meningkat terjadi karena Indonesia mengalami masalah lambatnya pertumbuhan produksi daging dalam negeri, terutama daging sapi. Lambatnya pertumbuhan tersebut disebabkan oleh sebagian besar usaha ternak sapi merupakan usaha peternakan rakyat.

Oleh sebab itu, pemerintah telah mencanangkan program swasembada daging sapi 2014. Program tersebut sebenarnya telah dicanangkan selama dua periode (lima tahunan), dan terakhir ditargetkan tercapai pada 2010 melalui berbagai terobosan, namun upaya tersebut belum berhasil. Menurut Yusdja et al. (2004) dalam Priyanto (2011), ketidakberhasilan swasembada daging yang dicanangkan pada tahun 2000 dan berakhir pada 2004 disebabkan tidak tercapainya sasaran program. Penyebabnya adalah: 1) kebijakan program yang tidak disertai dengan rencana operasional yang rinci dan kegiatan riil di lapangan; 2) program bersifat top down dan berskala kecil dibandingkan dengan sasaran yang ingin dicapai; 3) strategi implementasi program disamaratakan dengan tidak memrioritaskan wilayah unggulan, tetapi berorientasi pada komoditas unggulan; 4) implementasi program tidak memungkinkan untuk mengevaluasi dampak program; dan 5) program tidak secara jelas memberikan dampak pada pertumbuhan populasi ternak secara nasional.

Swasembada daging yang dilakukan pemerintah merupakan upaya yang sangat relevan untuk ketahanan pangan, dengan mengurangi ketergantungan impor sampai pada batas 10 persen dari kebutuhan. Impor daging yang selama ini dilakukan tidak lain untuk mengisi excess demand agar harga tertinggi (ceiling price) dapat dijangkau oleh masyarakat. Penetapan ceiling price yang bertujuan untuk melindungi konsumen ternyata di sisi lain dapat menjadi disinsentif bagi peternak untuk memelihara sapi. Oleh karena itu perlu ada target produksi (dari sisi supply) dan target konsumsi (dari sisi demand) yang seimbang, agar

(20)

10

swasembada daging sapi dapat terwujud (Avianto et al. 2010). Dengan berswasembada daging sapi tersebut akan diperoleh keuntungan dan

nilai tambah yaitu :

1. meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan peternak; 2. penyerapan tambahan tenaga kerja baru;

3. penghematan devisa negara;

4. optimalisasi pemanfaatan potensi ternak sapi lokal; dan

5. semakin meningkatnya penyediaan daging sapi yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) bagi masyarakat sehingga ketentraman lebih terjamin (Kementan 2010).

Selannjutnya, pemerintah juga telah merencanakan beberapa kegiatan sebagai upaya mencapai Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014 menjadi lima kegiatan pokok, diantaranya adalah:

1. penyediaan bakalan/ daging sapi lokal, yang dibagi mejadi empat kegiatan operasional yaitu: pegembangan usaha pembiakan dan penggemukan sapi lokal; pengembangan pupuk organik dan biogas; pegembangan integrasi peternak sapi dan tanaman; serta pemberdayaan dan peningkatan kualitas RPH (rumah potong hewan),

2. peningkatan produktivitas ternak sapi lokal yang dibagi menjadi tiga kegiatan operasional, yaitu: optimalisasi inseminasi buatan; penyediaan dan pengembangan pakan dan air; penanggulangan gangguan reproduksi; dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan,

3. pencegahan pemotongan sapi betina produktif,

4. penyediaan bibit sapi dengan tiga kegiatan operasional, yaitu: penguatan wilayah sumber bibit dan kelembagaan usaha pembibitan; pengembangan pembibitan sapi potong melalui VBC (village breeding centre); dan penyediaan bibit melalui subsidi bunga KUPS (kredit usaha pembibitan sapi), 5. pengaturan stok daging sapi di dalam negeri denga dua kegiatan operasional, yaitu: pengaturan stok sapi bakalan dan daging sapi; dan pengaturan distribusi dan pemasaran sapi dan daging (Ditjennak 2012).

Jika program KUPS difokuskan untuk program aksi pembibitan sapi lokal sekaligus untuk menyelamatkan sapi betina, dapat diperkirakan akan terselamatkan 150 sampai 200 ribu ekor induk per tahun. Jumlah ini akan memberi garansi peningkatan populasi secara alami sekitar 5 sampai 7 persen per tahun (Ditjennak 2012).

Selanjutnya, dalam upaya melaksanakan program-program tersebut pemerintah telah menganggarkan dana pagu indikatif sebesar Rp 2.50 triliun. Dana tersebut akan diasumsikan sebagai investasi dalam penelitian ini untuk melihat berapa besar tambahan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja yang dapat diperoleh sebagai dampak dari adanya PSDS.

Sistem Neraca Sosial Ekonomi

Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM) adalah alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini dengan pengolahan data menggunakan microsoft excel. SAM adalah suatu sistem kerangka data yang disajikan dalam bentuk matriks, yang memberikan gambaran

(21)

11 mengenai kondisi ekonomi dan sosial masyarakat dan keterkaitan antara keduanya secara komprehensif, konsisten dan terintegrasi. Sebagai suatu sistem kerangka data yang komprehensif dan terintegrasi, SNSE mencakup berbagai data ekonomi dan sosial secara konsisten karena menjamin keseimbangan transaksi dalam setiap neraca yang terdapat didalamnya. SNSE juga bersifat modular karena dapat menghubungkan berbagai variabel ekonomi dan sosial di dalamnya, sehingga keterkaitan antar variabel-variabel tersebut dapat diperlihatkan dan dijelaskan (BPS 2010).

SNSE memiliki dua neraca utama, yaitu neraca eksogen dan neraca endogen. Neraca endogen terdiri dari neraca faktor produksi, neraca institusi kecuali pemerintah, neraca sektor produksi dan neraca komoditas sedangkan neraca eksogen adalah neraca atau variabel yang dapat dijadikan alat untuk mengatur kebijaksanaan (policy tools) oleh pemerintah atau variabel yang sulit dikontrol, yang meliputi neraca pemerintah, neraca kapital, pajak tak langsung neto, dan neraca luar negeri.

Kerangka SNSE berbentuk matriks dengan ukuran 5x5 yang dapat dirinci menjadi matriks berukuran 13x13, 37x37 dan 105x105 sesuai kebutuhan. Matrik 13x13 merupakan agregasi dari matriks ukuran 37x37dan matriks 37x37 merupakan agregasi dari matriks 105x105. Matriks-matriks tersebut dibedakan menurut lajur baris dan lajur kolom. Lajur baris (ke samping) menunujukkan penerimaan, sedangkan lajur kolom (ke bawah) menunjukkan pengeluaran. Perpotongan antara suatu neraca dengan neraca lainnya mengindikasikan adanya interaksi antar pelaku beserta perilaku ekonominya.

(22)

12

Tabel 4 Kerangka dasar dan arti hubungan antar neraca dalam SNSEKerangka dasar dan arti hubungan antar neraca dalam SNSE

Penerimaan Pengeluaran faktor produksi Institusi Sektor produksi Neraca eksogen/ lainnya Total Faktor produksi ---- ---- Alokasi nilai tambah ke faktor produksi (T1.3) Pendapatan faktor produksi dan luar negeri (T1.4) Distribusi pendapatan faktorial (T1) Institusi alokasi pendapatan faktor produksi ke institusi (T2.1) Transfer antar institusi (T2.2) ---- Transfer dari Luar negeri (T2.4) Distribusi pendapatan institusi (T2) Sektor produksi ---- Permintaan akhir (T3.2) Permintaan antara (T3.3) Ekspor investasi (T3.4) Total Output (T3) Neraca eksogen/ lainnya Alokasi Pendapatan faktor produksi ke luar negeri (T4.1) Tabungan (T4.2) Impor, pajak tidak langsung (T4.3) Transfer dan neraca lainnya (T4.4) Total penerimaan lainnya (T4) Total distribusi pengeluaran faktor produksi (T1') distribusi pengeluaran institusi (T2') Total input (T3') Total pengeluaran lainnya (T4') ---- Sumber: BPS 2010

Kerangka dasar tersebut seperti pada Tabel 4. Sebagai contoh untuk membaca hubungan antar variabel pada Tabel 4, pada kolom empat baris ke tiga terdapat notasi T1.3. T1.3 dapat diinterpretasikan sebagai berikut, jika

diinterpretasikan menurut baris adalah penerimaan seluruh faktor produksi dari sektor produksi adalah sebesar T1.3. Selanjutnya, jika diinterpretasikan menurut

kolom adalah, seluruh pegeluaran sektor produksi kepada seluruh faktor produksi adalah sebesar T1.3.

Di samping itu, terdapat beberapa keuntungan lainnya dari penggunaan SNSE sebagai alat analisis, seperti:

1. mampu menggambarkan struktur perekonomian, keterkaitan antara aktivitas produksi, distribusi pendapatan, konsumsi barang dan jasa, tabungan dan investasi serta perdagangan luar negeri. Ini artinya SAM dapat menjelaskan keterkaitan antara permintaan, produksi dan pendapatan di dalam suatu kawasan perekonomian wilayah;

2. dapat memberikan suatu kerangka kerja yang bisa menyatukan dan meyajikan seluruh dana perekonomian wilayah;

3. dapat dihitung multiplier perekonomian wilayah yang berguna untuk mengukur dampak dari suatu aktivitas terhadap produksi, distribusi pedapatan, dan

(23)

13 permintaan yang menggambarkan struktur perekonomian (Daryanto dan Hafizrianda 2010).

Selanjutnya, dalam SNSE terdapat tiga multiplier (pengganda) yaitu pengganda transfer, lompatan terbuka, dan lompatan tertutup. Pengganda transfer menunjukkan dampak yang terjadi pada neraca itu sediri, pengganda lompatan terbuka menunjukkandampak yang terjadi pada neraca lain, dan pengganda lompatan tertutup menunjukkan dampak yang terjadi pada neraca semula, setelah melalui proses pada neraca lain. Kemudian penjelasan pengolahan data secara matematis akan dijelaskan pada metode penelitian ini.

METODE

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian (Kementan), Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjennak), serta berita dan data pendukung lainnya dari media masa dan internet yang berkaitan dengan penelitian. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data SNSE 2008 ukuran 105x105 yang berasal dari BPS.

Pendekatan Keseimbangan Umum dalam SNSE

Analisis yang digunakan dalam penelitian menggunakan pendekatan keseimbangan umum dalam SNSE. Pengolahan/ penghitungan data meggunakan microsoft excel. Kemudian data SNSE 2008 ukuran 105x105 yang terbagi menjadi beberapa neraca serta rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 3. Dalam penghitungan data notasi-notasi yang terdapat pada Tabel 5 disederhanakan dalam bentuk matematis sebagai berikut:

Neraca penerimaan dalam persamaan Faktor produksi : T1 = T1.3 + T1.4

Institusi : T2 = T2.1 + T2.2 + T2.4

Sektor produksi : T3 = T3.2 + T3.3 + T3.4

Eksogen : T4 = T4.1 + T4.2 + T4.3 + T4.4 ... (1)

Neraca pengeluaran dalam persamaaan Faktor produksi : T1' = T2.1 + T4.1

Institusi : T2' = T2.2 + T3.2 + T4.2

Sektor produksi : T3' = T1.3+ T3.3+ T4.3

Eksogen : T4' = T1.4 + T2.4 + T3.4 + T4.4 ... (2)

Persamaan (1) di atas dapat diturunkan besaran yang disebut sebagai kecenderungan pengeluaran rata-rata (average expenditure propensity), yang dinotasikan sebagai berikut:

... (3)

keterangan:

(24)

14

= neraca baris ke-i, kolom ke-j = total kolom ke-j

Atau dapat juga ditulis dalam bentuk

...(4)

dengan menyatakan sebagai vektor kolom dari matriks neraca eksogen (T1.4

untuk i=1, 2, 3, 4) maka tabel 2 dapat ditulis dalam persamaan matriks sebagai berikut:

= + ... (5)

keterangan:

: matriks transaksi dalam neraca faktor produksi : matriks transaksi dalam neraca institusi

: matriks transaksi dalam neraca sektor produksi : matriks transaksi dalam neraca lainnya

: matriks koefisien pengeluaran rata-rata

Karena merupakan matrik dengan unsur konstan, maka persamaan (5) dapat ditulis sebagai berikut:

= + ... (6)

dan

= + + ... (7)

Persamaan (6) merupakan persamaan neraca eksogen dari nilai akan dapat dicari bila dan diketahui.

Selanjutya, dalam penelitain ini dilakukan penghitungan untuk mengetahui multipier effect/ dampak pengganda pada neraca faktor produksi dengan persamaan 8 dan 9 berikut:

Matrik pengganda neraca

Persamaan (6) dapat ditulis notasi matrik sebagai berikut:

T = AT + Y ... (8)

T – AT = Y (I – A) T = Y

T = (I – A)-1 Y ... (9)

Jika (I – A)-1adalah matrik pengganda neraca (Ma), maka persamaan

tersebut dapat ditulis menjadi T = Ma. Y.

Dari perhitungan tersebut akan diperoleh angka/ nilai multiplier sebagai dampak dari injeksi sebesar Rp 2.50 triliun pada neraca sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya. Dalam penelitian ini, dampak atau multiplier yang akan dilihat adalah pada neraca faktor produksi tenaga kerja saja. Dalam neraca faktor produksi, tenaga kerja diklasifikasikan menjadi empat diantaranya:

1. pertanian,

2. produksi, operator alat angkutan, maual dan buruh kasar, 3. tata usaha, penjualan dan jasa-jasa,

(25)

15 4. kepemimpinan, ketatalakasanaan, militer, profesional dan teknisi.

Keempat klasifikasi tenaga kerja tersebut dirinci lagi berdasarkan penerima upah/ gaji dan domisili (desa dan kota). Berdasarkan penerima upah/ gaji dibagi mejadi dua, yaitu tenaga kerja penerima upah/ gaji dan tenaga kerja bukan penerima upah/ gaji. Berdasarkan domisili dibagi menjadi desa dan kota, sehingga dapat diketahui tenaga kerja apa dan dimana yang akan mendapatkan tambahan pendapatan baik yang paling besar maupun yang paling kecil.

Selanjutnya, untuk menghitung banyaknya jumlah penyerapan tenaga kerja, digunakan rasio antara pendapatan total yang diperoleh dan banyaknya jumlah tenaga kerja. Dalam penelitian ini, penyerapan tenaga kerja tersebut akan didasarkan pada domisili (desa dan kota.). Berdasarkan data yang diperoleh dari perencanaan tenaga kerja sektor pertanian 2012 sampai 2014 jumlah tenaga kerja subsektor peternakan berdasarkan domisili tahun 2008 di desa sebanyak 3 505 467 dan di kota sebanyak 538 712, kemudian dari data SNSE diketahui bahwa jumlah penerimaan faktor produksi tenaga kerja dari sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya di desa adalah Rp 75 375.66 miliar dan di kota sebesar Rp 16 119.17 miliar. Maka dari itu dapat dihitung rasionya, dan hasilnya di desa setiap satu orang pekerja memperoleh tambahan pendapatan sebesar Rp 0.02 miliar sedangkan di kota sebesar Rp 0.03 miliar. Sehingga pada hasilnya nanti untuk mengetahui banyaknya tambahan tenaga kerja dapat dihitung dengan membagi tambahan pendapatan/ multiplier dengan nilai tersebut.

(26)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, potensi alam dan kekayaan lahan yang luas sangat memungkinkan untuk membangun usaha sektor pertanian, khususnya subsektor peternakan. Karena sebagian masyarakat Indonesia berada di pedesaan dan bekerja di sektor pertanian, maka sudah sewajarnya pembangunan sektor pertanian menjadi prioritas. Selain itu juga karena sektor pertanian dijadikan tempat menampung limpahan tenaga kerja, lambat penciptaan lapangan kerja baru, dan belum berkembang industri pertanian, pengolahan maupun kegiatan hillir di pedesaan (Kementan 2012a).

Oleh karena itu, pemerintah telah membuat “Empat Sukses” pembangunan pertanian, yaitu: 1) pencapaian swasembada (kedelai, gula, daging sapi) dan swasembada berkelanjutan (padi, jagung); 2) peningkatan diversifikasi pangan; 3) peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, serta 4) peningkatan kesejahteraan petani (Kementan 2012b). Dalam hal peningkatan kesejahteraan petani, salah satu bentuk kebijakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk terkait dengan bidang ketenagakerjaan adalah mengupayakan agar angka pengangguran menjadi rendah. Keberhasilan pembangunan pertanian khususnya di bidang ketenagakerjaan pertanian ditentukan oleh ketersediaan informasi yang akurat mengenai perkiraan jumlah kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja pertanian baik pada tingkat nasional, regional, menurut struktur umur, pendidikan serta karakteristik-karakteristik demografi lain (Kementan 2012a).

Selanjutnya, dilakukan upaya pencapaian swasembada daging sapi yang diharapkan dapat tercapai pada tahun 2014. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah telah menganggarkan dana pagu indikatif untuk tahun 2013 sebesar Rp 2.50 triliun (Ditjennak 2012a). Dengan dana tersebut diharapkan sasaran produksi domestik dapat mencapai 420.40 ribu ton dan menyerap tenaga kerja sebanyak 76 ribu orang pertahun (Ditjennak 2012b). Dana sebagai investasi yang ditujukan untuk swasembada daging sapi tersebut, selain akan meningkatkan produksi juga akan berdampak pada pertambahan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja.

Dampak Investasi terhadap Pendapatan Tenaga Kerja

Pembangunan peternakan sebagai bagian dari pembangunan sistem agribisnis nasional (sisagrinas) menjadi bagian penting dalam mewujudkan ketahanan dan swasembada pangan bagi lebih dari 223 juta penduduk Indonesia. Khususnya kebutuhan akan protein hewani seperti daging, susu dan telur. Selain itu, pembangunan peternakan nasional juga sangat signifikan sebagai sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 3.15 juta orang dan mampu menghidupi lebih dari 10 juta orang masyarakat Indonesia dengan investasi pada tahun 2007 tidak kurang dari Rp 4.50 triliun. Sektor peternakan diharapkan dapat menekan angka kemiskinan yang menurut BPS jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2007 mencapai 3.95 juta jiwa (Prima 2008).

(27)

17

Tabel 5 Perkembangan neraca perdagangan daging Indonesia tahun 2000-2009

Tahun Unggas Sapi dan Kerbau Kambing dan Domba

Impor Ekspor Net

Impor Impor Ekspor

Net

Impor Impor Ekspor

Net Impor ton 2000 14 658 750 13 908 36 047 39 36 008 592 35 557 2001 117 1 841 -124 22 085 92 21 993 692 86 606 2002 1 148 3 070 -1 922 16 221 85 16 136 482 300 182 2003 669 3 708 -3 039 15 228 270 15 018 476 17 459 2004 1 536 121 1 415 17 318 199 17 119 520 4 516 2005 4 274 20 4 254 28 492 52 28 440 829 10 819 2006 3 905 29 3 876 34 004 55 33 949 712 0 712 2007 6 329 86 6 243 52 279 31 52 248 571 1 570 2008 5 613 63 5 550 55 131 30 55 101 568 1 567 2009 4 979 46 4 932 58 138 29 58 109 565 0 565 Laju (%/ th) 2000-2005 -21.85 -51.56 -21.09 -4.6 5.92 -4.61 6.97 -22.16 8.02 2005-2009 3.89 23.15 3.77 19.52 -13.58 19.56 -9.14 -96.84 -8.86 2000-2009 -11.31 -26.61 -10.81 5.45 -3.23 5.46 -0.51 -39.82 0.33 Sumber: Kementan 2011

Mengacu pada Tabel 5 terlihat bahwa impor daging sapi dan kerbau dari tahun 2003 hingga 2009 menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Secara ekonomi makro dampak nyata impor daging yang terus-menerus tersebut dapat menghancurkan peternak. Selain itu, impor komoditas peternakan sapi potong tentu saja menguras devisa negara. Multiplier effect (dampak pengganda) baik yang bersifat langsung dan tidak langsung (direct and indirect effects) yang ditimbulkan dari kegiatan impor komoditas tersebut antara lain menghambat peningkatan pedapatan peternak dalam negeri, menghilangkan kesempatan (opportunity loss) dalam meciptakan lapangan kerja baru, menghambat pengentasan kemiskinan melalui usaha peternakan dalam negeri, hilangnya peluang ekspor komoditas ternak dan hasil ternak Indonesia dan dampak terhadap industri pariwisata sebagai akibat dari penurunan jumlah wisatawan yang datang ke dalam negeri. Bahkan hilangnya peluang ekspor ternak, hasil ikutan ternak, hasil bahan ternak, dan pakan ini berpengaruh secara global terhadap pembagunan peternakan (live stock building) di suatu negara (Prima 2008).

Dalam jangka panjang masuknya impor daging tersebut akan merusak usaha dan industri peternakan nasional. Usaha industri peternakan dalam negeri tidak mampu berproduksi karena tidak mampu membiayai biaya produksi dan biaya lainnya (Prima 2008). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dalam upaya

(28)

18

pencapaian swasembada daging pemerintah telah menganggarka dana pagu indikatif sebesar Rp 2.50 triliun. Dana tersebut diupayakan untuk meningkatkan produksi sehingga impor dapat berkurang. Apabila impor telah berkurang dan ancaman terhambatnya peningkatan pendapatan peternak dalam negeri akan berkurang.

Tabel 6 Tambahan pendapatan tenaga kerja di seluruh sektor yang terkait dengan peternakan akibat injeksi Rp 2.50 triliun pada neraca sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya

Klasifikasi tenaga kerja

Penerima upah dan gaji

Bukan

penerima upah dan gaji Desa Kota Desa Kota

( Miliar rupiah)

Pertanian 472.97 117.60 975.87 108.60

Produksi, Operator Alat Angkutan, Manual dan buruh kasar

120.83 240.42 80.13 85.16 Tata usaha, penjualan, jasa-jasa 92.52 342.60 143.14 210.16 Kepemimpinan, Ketatalaksanaan,

Militer, Profesional dan Teknisi 61.77 147.75 8.65 19.70

Sumber: BPS 2010 (diolah)

Seperti dalam Tabel 6, adanya anggaran dana sebesar Rp 2.50 triliun akan berdampak pada tambahan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja di seluruh sektor yang terkait dengan peternakan. Tambahan pendapatan yang paling besar adalah pada tenaga kerja pertanian bukan penerima upah dan gaji di desa, yaitu sebesar Rp 975.87 miliar. Dalam hal yang sama, tambahan pendapatan yang paling kecil adalah tenaga kerja kepemimpinan, profesional dan teknisi bukan penerima upah dan gaji di desa dengan nilai sebesar Rp 8.65 miliar.

Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya investasi sebesar Rp 2.50 triliun di sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya akan meningkatkan pedapatan tenaga kerja pertanian bukan penerima upah dan gaji di desa sebesar Rp 975.87 miliar, sedangkan tenaga kerja kepemimpinan, profesional dan teknisi bukan penerima upah dan gaji di desa sebesar Rp 8.65 miliar. Sama halnya dengan klasifikasi tenaga kerja yang lainnya. Pada tenaga kerja produksi, operator alat angkutan, manual dan buruh dengan investasi sebesar Rp 2.50 triliun terdapat tambahan pendapatan paling besar pada tenaga kerja penerima upah dan gaji di kota yaitu Rp 240.42 miliar. Kemudian pada tenaga kerja tata usaha, penjualan dan jasa-jasa tambahan pendapatan paling besar adalah tenaga kerja penerima upah dan gaji di kota yaitu Rp 342.60 miliar.

(29)

19 Tabel 7 Alokasi nilai tambah sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya

pada tenaga kerja Klasifikasi tenaga kerja

Penerima upah dan gaji Bukan penerima upah dan gaji

Desa Kota Desa Kota

(Miliar rupiah)

Pertanian 28 522.55 6 952.97 42 385.56 5 107.45 Produksi, Operator

Alat Angkutan, Manual dan buruh kasar 1 800.42 1 524.75 136.73 79.98 Tata usaha, penjualan, jasa-jasa 1 564.56 1 253.98 171.44 142.81 Kepemimpinan, Ketatalaksanaan, Militer, Profesional dan Teknisi 731.87 1 050.43 62.53 6.80 Sumber: BPS 2010

Tabel 7 menunjukkan alokasi nilai tambah atau pengeluaran dari sektor peternakan dan hasil-hasilnya untuk seluruh klasifikasi tenaga kerja sebelum adanya injeksi. Sebelum injeksi, perolehan pendapatan yang paling besar adalah tenaga kerja pertanian bukan penerima upah dan gaji di desa yaitu sebesar Rp 42 385.56 miliar sedangkan yang paling kecil adalah tenaga kerja kepemimpinan, profesional dan teknisi bukan penerima upah dan gaji di kota yaitu Rp 6.80 miliar. Setelah adanya injeksi, tenaga kerja pertanian masih mendapatkan posisi pertama sebagai tenaga kerja yang memperoleh pendapatan yang peling besar. Namun, apabila dibandingkan antara pendapatan sebelum dan setelah adanya injeksi investasi kemudian dipersentasekan akan diperoleh angka-angka seperti pada Tabel 8.

Tabel 8 Persentase perubahan pendapatan tenaga kerja sebelum dan setelah injeksi

Klasifikasi tenaga kerja

Penerima upah dan gaji

Bukan penerima upah dan gaji Desa Kota Desa Kota

(%)

Pertanian 1.66 1.69 2.30 2.13

Produksi, Operator Alat Angkutan, Manual dan buruh kasar

6.71 15.77 58.60 106.48 Tata usaha, penjualan, jasa-jasa 5.91 27.32 83.49 147.16 Kepemimpinan,

Ketatalaksanaan, Militer, Profesional dan Teknisi

8.44 14.06 13.83 289.70

(30)

20

Berdasarkan Tabel 8 persentase perubahan pendapatan paling besar adalah tenaga kerja kepemimpinan, profesional dan teknisi bukan penerima upah dan gaji di kota yaitu mencapai hampir 300 persen, atau tambahan pendapatan mencapai hampir tiga kali lipat dari sebelum adanya injeksi. Dalam hal yang sama, tenaga kerja pertanian bukan penerima upah dan gaji yang mendapat nilai tambahan pendapatan paling besar ternyata persentase perubahannya hanya sebesar 2.30 persen. Seperti telah dijelaskan sebelumya bahwa sektor pertanian selalu menjadi tempat untuk menampung limpahan tenaga kerja, maka jumlah pendapatannyapun akan selalu menunjukkan nilai yang besar. Berbeda halnya, apabila nilai tersebut dipersentsekan akan menunjukkan perubahan yang kecil. Akan tetapi, untuk tenaga kerja kepemimpinan, profesional dan teknisi tidak menunjukkan nilai yang besar pada awalnya, namun ketika ada injeksi ivestasi terjadi peningkatan hingga hampir tiga kali lipatnya jika melihat dari persentase perubahannya. Tambahan pendapatan tenaga kerja tentu berkaitan dengan jumlah tenaga kerja yang bekerja pada sektor dan klasifikasi tenaga kerja yang telah dijelaskan.

Kelipatan pendapatan tenaga kerja kepemimpinan, profesional dan teknisi yang mencapai hampir tiga kali lipat tersebut, dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan tenaga kerja itu sendiri. Untuk tenaga kerja kepemimpinan, profesional dan teknisi memerlukan tenaga kerja dengan tingkat pendidikan minimal Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat. Seperti pada Gambar 2 yang menunjukkan perkembangan jumlah tenaga kerja di subsektor peternakan berdasarkan pendidikan yang terus meningkat, terutama untuk tenaga kerja dengan pendidikan universitas/ sarjana.

Persentase perkembangan tenaga kerja di subsektor peternakan dari tahun 2007 sampai 2011 untuk pendidikan SMA adalah 5.39 persen, SMK (sekolah Gambar 2 Perkembangan tenaga kerja subsektor peternakan berdasarkan

(31)

21 menengah kejuruan ) 22.51 persen, Diploma I/ II/ III minus 2.71 persen dan universitas 44.62 persen (Kementan 2012a). Peningkatan tenaga kerja dengan tingkat pendidikan universitas akan diperlukan di sepanjang tahun dalam rangka pencapaian swasembada daging. Karena untuk mewujudkan swasembada daging sapi 2014 harus didukung dengan kelembagaan yang tepat, yang terdiri dari: 1) ilmuwan, pakar dan penyuluh; 2) pelaku usaha, baik yang berskala menengah dan kecil maupun skala besar; serta 3) pemerintah di tingkat pusat maupun daerah yang bertindak sebagai regulator, fasilitator, motivator dan dinamisator. Keberadaan kelompok peternak atau koperasi menjadi suatu keharusan, dan kerjasama kemitraan antara pihak-pihak terkait perlu diperluas. Hal tersebut terbukti dalam upaya pencapaian program Bumi Sejuta Sapi (BSS) di Nusa Tenggara Barat (NTB), seperti dalam penelitian Darwis dan Firman (2010).

Penelitian tersebut menyatakan bahwa, pengembangan populasi sapi juga diimbangi dengan pemberdayaan peternak yang dilaksanakan melalui program Sarjana Membangun Desa (SMD), dimana satu kelompok ternak mendapat bimbingan satu sarjana bidang peternakan berikut bantuan bibit sapi, kandang dan pakan senilai Rp 325 juta perkelompok. Program SMD dilaksanakan sejak tahun 2007 dan hingga tahun 2010 telah disebar 1 510 SMD dengan bantuan dana yang sudah dikucurkan mencapai RP 490.75 miliar. Keberadaan SMD di setiap kelompok ternak memperkuat peran penyuluh peternakan yang ada di desa-desa dimana hingga tahun 2010 berjumlah 27 922 penyuluh. Para penyuluh ini memberikan bimbingan teknis kepada peternak, bahkan bisa dipanggil jika kelompok ternak membutuhkan tambahan bimbingan. Bimbingan bagi peternak didukung oleh 472 orang petugas lapangan, terdiri atas 61 orang dokter hewan, 141 sarjana peternakan, 137 paramedis serta 133 petugas inseminator. Keberadaan petugas juga diperkuat dengan hadirnya 125 SMD yang setiap hari mendampingi peternak.

Jadi, adanya injeksi sebesar Rp 2.50 triliun pada neraca sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya akan berdampak pada tambahan pendapatan tenaga kerja di seluruh sektor yang terkait dengan peternakan sebesar Rp 3 227.87 miliar. Dengan tambahan pendapatan paling besar pada tenaga kerja pertanian bukan penerima upah dan gaji di desa sebesar Rp 975.87 miliar dan paling kecil adalah tenaga kerja kepemimpinan, profesional dan teknisi bukan penerima upah dan gaji di desa sebesar Rp 8.65 miliar. Akan tetapi, jika dilihat berdasarkan persentase tenaga kerja yang paling besar perubahan pendapatannya adalah tenaga kerja kepemimpinan, profesional dan teknisi bukan penerima upah dan gaji di kota yaitu mencapai 289.70 persen. Hal tersebut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan tenaga kerja yang akan mendukung percepatan pencapaian swasembada daging 2014.

Dampak Ivestasi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja

Bekerja di subsektor peternakan adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pula kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha/ kegiatan ekonomi subsektor peternakan. Berbeda

(32)

22

dengan subsektor pertanian lainnya, kenaikan PDB subsektor peternakan ternyata seiring dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja pada subsektor ini. Jumlah tenaga kerja yang bekerja di subsektor peternakan dari tahun 2007 sampai 2009 mengalami peningkatan. Namun, dari tahun 2009 ke tahun 2010 mengalami penurunan. Pada tahun 2007 jumlah orang yang bekerja di subsektor peternakan sebanyak 3.77 juta orang, kemudian tahun 2008 meningkat 7.27 persen menjadi 4.04 juta orang dan pada tahun 2009 naik lagi menjadi 4.39 juta orang atau mengalami kenaikan 8.46 persen, pada tahun 2010 jumlah tenaga kerja subsektor peternakan mengalami penurunan 4.17 juta orang atau mengalami penurunan sebesar 5.01 persen (Kementan 2012a). Tenaga kerja tersebut dikelompokkan berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, pendidikan, status pekerjaan, domisili dan provinsi.

Akan tetapi, peningkatan jumlah tenaga kerja tersebut tidak sejalan dengan target/ sasaran PSDS. Sasaran PSDS yaitu adanya penyerapan tenaga kerja sebanyak 76 ribu orang pertahun sedangkan angka peningkatan tenaga kerja subsektor ini selama PSDS dicanangkan belum mencapai 76 ribu orang pertahun. Seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa investasi selain akan meningkatkan produksi juga akan berdampak pada pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan hasil pengolahan data, penyerapan tenaga kerja di seluruh sektor yang terkait dengan peternakan berdasarkan domisili akibat adanya injeksi investasi Rp 2.50 triliun adalah sebanyak 140 194 orang. Jumlah tersebut terbagi berdasarkan domisili, di desa jumlah tenaga kerja yang dapat diserap adalah 97 794 orang sedangkan di kota mencapai 42 400 orang. Tenaga kerja tersebut juga terbagi berdasarkan klasifikasi tenaga kerja seperti pada Tabel 9.

Tabel 9 Tambahan penyerapan tenaga kerja akibat injeksi Rp 2.50 triliun pada neraca sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya berdasarkan domisili

Klasifikasi tenaga kerja

jumlah tambahan

pendapatan jumlah tenaga kerja Desa Kota Desa Kota

(Miliar rupiah) (orang) Pertanian 1 448.84 226.20 72 442 7 540 Produksi, Operator Alat

Angkutan, Manual dan buruh kasar

200.96 325.58 10 048 10 852.67 Tata usaha, penjualan,

jasa-jasa 235.66 552.76 11 783 18 425.33 Kepemimpinan,

Ketatalaksanaan, Militer, Profesional dan Teknisi

70.42 167.45 3 521 5 581.67

Total 97 794 42 399.67

Sumber: BPS 2010 (diolah)

Mengacu pada Tabel 9 penyerapan tenaga kerja paling banyak ada pada tenaga kerja Pertanian di desa yaitu sebanyak 72 442 orang sedangkan yang

(33)

23 paling sedikit adalah tenaga kerja kepemimpinan, profesional dan teknisi yaitu sebanyak 3 521 orang. Atas dasar tersebut, melihat jumlah penyerapan tenaga kerja di desa yang sangat tinggi. Dalam upaya pencapaian swasembada daging perlu didukung dengan infrasruktur berupa fasilitas, sarana, prasarana dan lainnya yang memadai. Karena infrastruktur juga akan sangat membantu dalam upaya pencapaian swasembada daging. Menurut Dirjen Peternakan Kementerian Syukur Iwantoro, keterbatasan infrastruktur membuat sapi mendapat perlakuan yang tidak baik selama pengiriman dari produsen (peternak) ke tempat pemotongan hewan sehingga membuat bobot (berat) badan sapi susut sampai 30 persen. Kendala infrastruktur ini tidak dapat ditangani sendiri tetapi harus melibatkan instansi lain seperti tersedianya pelabuhan ternak termasuk layanan bongkar muat.

Terkait hal itu, menurutnya Presiden juga mendukung program aksi terpadu mewujudkan swasembada pangan termasuk daging yakni melalui ketersediaan lahan, infrastruktur pendukung, serta pemanfaatan teknologi. Prioritas yang akan dilaksanakan yakni pembangunan infrastruktur berupa pelabuhan, sarana bongkar muat, dan kapal ternak sehingga penurunan bobot sapi bisa dikurang tinggal lima persen, serta sapi yang cacat atau mati dapat berkurang mejadi nol persen. Kemudian lagkah selanjutnya revitalisasi RPH yang menjadi tugas Ditjennak, tetapi untuk pengelolaannya diserahkan kepada Pemda (pemerintah daerah) tempat RPH itu berada (Ganet 2013).

Jadi, injeksi investasi sebesar Rp 2.50 triliun pada neraca sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya dapat mencapai target PSDS dalam hal penyerapan tenaga kerja (76 ribu orang pertahun). Karena berdasarkan hasil pengolahan data, penyerapan tenaga kerja di seluruh sektor yang berkaitan dengan peternakan berdasarkan domisili dapat mencapai 140 194 orang. Dari jumlah tersebut 51.67 persennya adalah tenaga kerja pertanian di desa. Dari empat subsektor pertanian (tanaman pagan, hortikultura, perkebunan, peternakan), dalam hal ini tenaga kerja yang sangat terkait dengan penelitain ini adalah tenaga kerja subsektor peternakan. Dengan kata lain, jumlah peternak di desa sebagai produsen daging akan meningkat. Maka dari itu, perlu adanya perbaikan infrastruktur dalam pencapaian swasembada serta pendistribusian ternak maupun hasil ternak kepada kosumen agar kualitasnya terjaga. Karena infrastruktur di desa belum memadai untuk hal tersebut.

(34)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tambahan pendapatan tenaga kerja berdasarkan nilainya mencapai Rp 3 227.87 miliar, dengan nilai yang paling besar adalah tenaga kerja pertanian bukan penerima upah dan gaji di desa yaitu Rp 975.87 miliar dan yang paling kecil adalah tenaga kerja kepemimpinan, profesional dan teknisi bukan penerima upah dan gaji di desa yaitu Rp 8.65 miliar. Namun, berdasarkan persentase perubahan pedapatan, tambahan paling besar ditunjukkan oleh tenaga kerja kepemimpinan, profesional dan teknisi bukan penerima upah dan gaji di desa dengan angka 289.70 persen sedangkan yang peling kecil adalah tenaga kerja pertanian penerima upah dan gaji di desa dengan angka 1.66 persen.

2. Jumlah tambahan tenaga kerja yang dapat diserap berdasarkan domisili adalah 140 194 orang di seluruh tenaga kerja yang terkait dengan peternakan. Jumlah penyerapan tenaga kerja paling banyak adalah di desa yaitu sebanyak 97 794 orang sedangkan yang paling sedikit adalah di kota yaitu sekitar 42 400 orang. Dari jumlah tersebut berdasarkan klasifikasi tenaga kerja, tenaga kerja pertanian di desa adalah tenaga kerja yang paling banyak diserap yaitu sebanyak 72 442 orang.

Saran

Berdasarkan hasil pengolahan data, pembahasan dan kesimpulan, maka saran yang disampaikan adalah sebagai berikut:

1. Perlu adanya anggaran dana khusus untuk pendidikan yang berkaitan dengan subsektor peternakan untuk jangka panjang agar PSDS yang berkelanjutan dapat tercapai serta meningkatkan kualitas tenaga kerja, khususnya peternak. 2. Sebaiknya, perbaikan infrastruktur di daerah produsen daging sapi

disegerakan untuk mendukung tercapainya PSDS. Karena infrastruktur yang baik (meliputi fasilitas, sarana dan prasarana) dapat membantu menjaga kualitas daging ataupun hasil ternak lainnya selama pendistrbusian dari produsen ke konsumen.

3. Karena penelitian ini memiliki berbagai kekurangan, maka akan lebih baik lagi jika dilakukan penelitian lebih lanjut yang lebih spesifik untuk melengkapi kekurangan tersebut.

(35)

DAFTAR PUSTAKA

Arifin z. 2005. Teori Keuangan dan Pasar Modal. Yogyakarta (ID): Ekonisia

Baum WC, Tolbert SM. 2006. Investasi dalam Pembangunan: Pelajaran dari Bank Dunia. Teku BB, penerjemah. Jakarta (ID): UI Pr

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Indonesia 2007. Jakarta (ID): BPS

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 2008. Jakarta (ID): BPS

Budiono H. 2010. Analisis Neraca Perdagangan Peternakan dan Swasembada Daging Sapi 2014. CEFARS: Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah Vol. 01/ No.2/Juli/2010

Daryanto A, Hafizrianda Y. 2010. Model-model Kuantitatif utuk Perencanaan Ekonomi Daerah: Konsep dan Apikasi. Okttariani A, Syarifah SS, editor.Bogor (ID): IPB Pr

Darwis, Firman. 2011. Pengembangan NTB sebagai Bumi Sejuta Sapi [internet]. [diacu 2013 Oktober 23]. Tersedia dari: http://setkab.go.id/en/pro-rakyat-1360-pengembangan-ntb-sebagai-bumi-sejuta-sapi.html.

[Ditjenak]Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012a. Keterpaduan Program/ Kegiatan Pengembangan Sapi/ Kerbau Tahun 2013 di Tingkat Kab/ Kota. Jakarta (ID): Ditjennak Kementan RI

[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012b. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta (ID): Kementan

[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehata Hewan. 2012c. Statistik peternakan dan kesehatan hewan 2012. Jakarta (ID): Ditjennak Kementan RI

Ganet. 2013. Dukungan Infrastruktur Mmpu Sukseskan Swasembada Daging Sapi [internet]. [diacu 2013 November 18]. Tersedia dari: http://banten.antaranews.com/berita/19497/dukungan-infrastruktur-mampu-sukseskan-swasembada-daging-sapi.

Hadi PU, Ilham N. 2002. Problem dan Prospek Pengembangan Usaha Pembibitan Sapi Potong di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian Vol. 4/ No. 21/2002

Hadi PU, Kustiani R, Nuryanti S, Rachmat M, Susilo SH, Swastika DK. 2011. Outlook Pertanian 2010-2025. Jakarta (ID): Kementan

[Kementan] Kementerian Pertanian. 2010. Lampiran Peraturan Menteri Pertanian: Pedoman Umum Program Swasembada Daging Sapi Tahu 2014. Jakarta (ID): Kementan

[Kementan] Kementerian Pertanian. 2012a. Perencanaan Tenaga Kerja Sektor Pertanian 2012-2014. Jakarta (ID): Kementan

[Kementan] Kementerian Pertanian. 2012b. Laporan Kinerja Kementerian Pertanian tahu 2011. Jakarta (ID): Kementan

(36)

26

Mankiw NG. 2007. Makroekonomi Edisi Keenam.Liza F, Nurmawan I, penerjemah.Barnadi D, Hardani W, Saat S, editor. Jakarta (ID): Erlangga

Permana RC. 2011. Kajian Kebijakan Sistem Logistik untuk Program Swasembada Daging Sapi [internet]. [diacu 2013 September 11].

Tersedia dari:

http://www.logistics-center.itb.ac.id/app/node/64?language=id.

Prima IB. 2011. Kebijakan Impor Daging Sapi dan Ketahanan Pangan [internet]. [diacu 2013 Oktober 24]. Tersedia dari: http://imakahi.wordpress.com/2008/05/20/kebijakan-impor-daging-sapi-dan-ketahanan-pangan/.

Priyanto D. 2011.Strategi Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong dalam Mendukung Program swasembada Daging Sapi dan Kerbau tahun 2014. Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 3/No. 30/Maret/ 2011.

Gambar

Gambar 1 Postur pengalokasian anggaran tahun 2013 (pagu indikatif Rp 2.50  triliun)

Referensi

Dokumen terkait

Disini penulis mencoba membuat alat pengukur tinggi dan berat badan menggunakan sensor ultrasonik HCSR-04 dan Sensor load cell yang hasil pengukurannya tidak

Sistem informasi adalah kombinasi dari manusia,fasilitas atau teknologi, media, prosedur dan pengendalian yang ber- maksud menata jaringan komunikasi yang penting,proses

Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan pengaruh buku ajar al-Islam terhadap prestasi belajar PAI siswa kelas VIII di SMP Muhammadiyah

(1) Kegiatan perdagangan barang strategis daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, untuk dikirim ke luar daerah Kabupaten Belitung wajib dilengkapi SIPAD

success.” Pemberdayaan adalah suatu konsep psikologis dengannya karyawan memiliki pengalaman yang lebih dalam hal (1) self-determination – karyawan memiliki (a)

Dari pembahasan di atas dapat dikemukakan beberapa kesimpulan berikut ini: Tari Topeng mempunyai nilai hiburan yang mengandung pesan-pesan terselubung, karena

Perlunya adanya pembatasan masalah agar menjadi lebih jelas penelitian yang akan dilakukan, dengan demikian pembatasan masalah pada penelitian ini adalah “Tingkat keterampilan

Penulis akan menganalisis dimensi-dimensi meja las, seperti tinggi tempat peluncuran, dimensi dan kontruksi meja yang dapat memberikan kemudahan melakukan praktik las