• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan Waktu Optimal Perkecambahan

Penelitian ini diawali dengan penelitian pendahuluan untuk mendapatkan waktu perkecambahan yang tepat. Kecambah kedelai yang diinginkan adalah kecambah dengan panjang radikula (calon akar) sekitar 0.5-1 cm. Tabel 1 menggambarkan hasil pengamatan panjang kecambah pada jam ke-16, 28, 40, dan 52 jam. Hasil pengamatan secara visual pada kecambah kedelai menunjukkan bahwa semakin lama waktu perkecambahan, maka akan semakin panjang radikula

kedelai. Radikula yang diinginkan adalah yang tidak terlalu panjang, yaitu sekitar 0.5-1 cm. Pertumbuhan radikula yang terlalu panjang akan menyebabkan zat-zat gizi pada kacang kedelai banyak terkuras untuk pertumbuhan radikula, sehingga ketika kacang kedelai diolah menjadi tempe maka kandungan zat-zat gizi tempe yang dihasilkannya akan sangat menurun. Hal ini berhubungan dengan salah satu tahapan proses pada pembuatan tempe, yaitu proses pemecahan kulit kedelai, dimana kecambah kedelai tidak hanya terpisahkan dari kulitnya, namun juga terpisah dari radikulanya. Penampakan kecambah kedelai yang paling tepat adalah kecambah pada waktu germinasi 28 jam, yaitu kecambah kedelai dengan panjang radikula sekitar 0.5-1 cm. Pada germinasi 16 jam, terlihat masih sebagian kecil kedelai yang sudah mulai berkecambah dengan panjang rata-rata dibawah 0.5 cm. Pada germinasi 40 dan 52 jam, penampakan kecambah kedelai terlihat terlalu panjang, secara berurutan yaitu diatas 1.5 cm dan diatas 2 cm.

Waktu geminasi mempengaruhi rendemen dan panjang dari kecambah. Hasil penelitian Quinhone dan Ida (2015) menyebutkan beberapa rendemen kecambah pada masing-masing waktu, yaitu 492.2 % (120 jam), 547.3 % (144 jam), dan 632.4 % (168 jam). Panjang kecambah kedelai meningkat empat kali lipat diantara waktu germinasi 48 jam (4.72 ± 0.46 cm) dan 120 jam (18.79 ± 0.49 cm), dan mulai panjangnya mulai stabil setelah germinasi 168 jam (21.01 ± 2.57 cm) (Quinhone dan Ida 2015). Secara fisik, tampak jelas bahwa terjadi pemanjangan (elongasi) calon akar yang perlahan-lahan dengan semakin lamanya waktu germinasi. Huang et al. (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa persentase elongasi dari calon akar selama waktu germinasi 2, 3, 4, dan 5 hari yaitu 177%, 80%, 55% dan 21%. Data tersebut mengindikasikan bahwa kemampuan elongasi kedelai akan menurun pada waktu germinasi yang semakin lama. Periode waktu germinasi untuk elongasi yang paling efektif adalah 1-3 hari (Huang et al. 2014).

Tabel 1 Penampakan fisik kecambah pada beberapa waktu pengecambahan

Waktu 16 jam 28 jam 40 jam 52 jam

Gambar

Karakteristik Fisik Tempe

Penampakan sampel tempe A (tempe kecambah kedelai) dan B (tempe tanpa proses perkecambahan) yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 4. Secara umum, penampakan tempe A tidak jauh berbeda dengan tempe B, dimana teksturnya kompak dan pertumbuhan miselium kapangnya merata, namun bagian dalam dari tempe A terlihat lebih pucat dibandingkan tempe B. Berdasarkan

analisis tekstur kekerasan, diketahui bahwa tempe A tidak berbeda nyata dengan tempe B (Tabel 2).

Gambar 5 Penampakan sampel tempe A (atas) dan tempe B (bawah)

Tempe A memiliki kadar air yang signifikan lebih tinggi dari tempe B (p<0.05). Kadar air tempe A dan tempe B yaitu 61.90 % bb dan 59.54 % bb. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh perbedaan bahan baku, yaitu kecambah kedelai dan kedelai tanpa perkecambahan. Hasil penelitian Shi et al (2010) yang menunjukkan bahwa kadar air kedelai meningkat dari 6% menjadi 57% selama 8 jam perendaman. Kadar air tersebut meningkat lagi dari 57% menjadi 82% dalam waktu perkecambahan selama 7 hari. Peningkatan kadar air mungkin disebabkan oleh adanya hidrasi kedelai. Selama perkecambahan, kedelai akan menarik air di sekitarnya untuk kebutuhan metabolisme. Kedelai kering menyerap air dengan cepat (Ojha et al 2014).

Tabel 2 Analisis fisik tempe

Parameter Jenis Tempe

Tempe A Tempe B

Rendemen (%) 119.78 ± 1.72a 147.62 ± 1.34b

Tekstur kekerasan (g force) 1857.45 ± 166.79a 2019.25 ± 172.52a

Kadar air (%) 61.90 ± 0.74 59.54 ± 0.85

Keterangan : Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan uji t.

Kedua jenis tempe memiliki rendemen yang berbeda nyata, yaitu 119.78 % pada tempe A dan 147.62 % pada tempe B. Perbedaan rendemen ini dipengaruhi oleh adanya perlakuan perkecambahan. Hal yang sama juga terjadi dalam proses pembuatan tahu yang berbahan baku kecambah kedelai. Ojha et al. (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa rendemen tahu kecambah kedelai yaitu hanya 37.69 %, lebih kecil dibandingkan dengan rendemen tahu pada umumnya yaitu 42.33 %. Penurunan rendemen tahu ini dapat disebabkan oleh hilangnya bahan kering selama perendaman dan perkecambahan, yaitu sekitar 7 % sampai 13 % (Liang et al. 2008). Hilangnya bahan kering pada tempe A diduga juga dapat terjadi karena kedelai Grobogan mengalami perendaman yang lebih lama dibandingkan kedelai impor akibat adanya perlakuan perkecambahan. Tekstur kedelai Grobogan menjadi sangat lunak, sehingga saat proses pengupasan kedelai menggunakan mesin, kedelai cenderung lebih mudah hancur dan terbuang bersama air saat proses selanjutnya, yaitu pencucian. Tingkat kehilangan bahan

kering yang cukup tinggi inilah yang menjadi alasan dibalik berkurangnya rendemen dari produk olahan kecambah kedelai.

Analisis Sensori Tempe

Analisis sensori yang dilakukan terhadap tempe A dan tempe B bertujuan untuk membandingkan atribut sensori dari masing-masing jenis tempe, baik dalam bentuk tempe mentah maupun tempe goreng. Atribut yang diuji pada tempe mentah yaitu atribut warna, aroma, dan tekstur, sedangkan pada tempe goreng ditambahkan juga atribut rasa. Hasil uji sensori pada atribut tempe mentah menunjukkan bahwa tempe A memiliki rata-rata nilai atribut yang lebih rendah dibandingkan tempe B, dimana secara statistik hanya atribut teksturnya saja yang berbeda nyata. Hal yang serupa juga ditunjukkan oleh hasil analisis sensori tempe goreng A dan tempe goreng B. Nilai dari semua atribut tempe goreng (warna, aroma, tekstur, dan rasa) dari kedua jenis tempe berbeda nyata, dimana nilai atribut tempe goreng A lebih rendah dibandingkan tempe goreng B.

Menurunnya nilai sensori dari tempe A dapat disebabkan oleh adanya proses perkecambahan. Penelitian yang dilakukan oleh Ojha et al. (2014) menunjukkan bahwa pada produk tofu kecambah kedelai, skor kesukaan aroma dan teksturnya secara signifikan berada dibawah skor produk tofu komersial. Perkecambahan diketahui menurunkan flavor seperti beany dan grassy ke tingkat yang minimum.

Tabel 3 Hasil uji sensori atribut tempe mentah dan tempe goreng

Atribut Sensori Tempe A Tempe B

Tempe mentah Warna 5.42 ± 1.38a 5.67 ± 1.02a Aroma 5.11 ± 1.40a 5.47 ± 1.14a Tekstur 5.36 ± 1.22a 5.83 ± 0.95b Tempe goreng Warna 4.61 ± 1.47a 5.50 ± 0.95b Aroma 4.96 ± 1.29a 5.49 ± 0.96b Tekstur 4.25 ± 1.36a 5.32 ± 1.10b Rasa 4.36 ± 1.43a 5.53 ± 1.06b

Keterangan: Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan uji t.

Perkecambahan juga menyebabkan penurunan kadar lemak dan peningkatan kelarutan protein yang menyebabkan tekstur kekerasan tofu menurun (Ojha et al

2014). Troszyńska et al. (2006) menyebutkan di dalam penelitiannya bahwa peningkatan senyawa fenol selama perkecambahan berbanding lurus dengan penurunan kualitas sensori kecambah kacang hijau, yaitu meningkatkan bitterness

dan astringency pada kecambah. Senyawa fenol mulai disintesis sejak biji-bijian tidak dalam kondisi dorman lagi dan memasuki fase imbibisi, dengan tujuan melindungi pertumbuhan hipokotil melawan reaksi-reaksi oksidatif yang dipicu oleh berbagai faktor dari lingkungan (Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos 2010). Tabel 3 menunjukkan hasil uji sensori tempe A dan tempe B.

Karakteristik Fisik Tepung Tempe

Pengukuran warna tepung tempe secara objektif dilakukan dengan menggunakan chromameter dengan skala Hunter L, a, b. Hasil analisis menunjukkan bahwa tepung tempe A dan B memiliki warna kromatik merah yang sama, namun warna kromatik kuning dan tingkat kecerahannya berbeda. Tepung tempe B memiliki kecerahan dan warna kromatik kuning (+b) yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung tempe A. Pengukuran derajat putih tepung tempe dengan whiteness meter juga menunjukkan bahwa tepung tempe A lebih putih dibandingkan tepung tempe B. Derajat putih adalah tingkat keputihan yang dimiliki bahan dibandingkan dengan warna referensi standarnya (MgO). Hasil penelitian Astawan et al. (2013) menunjukkan hasil yang sama, dimana tempe yang dihasilkan dari varietas lokal Grobogan memiliki tingkat kecerahan (L) dan warna kromatik kuning (+b) yang lebih rendah dari tempe yang dihasilkan dari kedelai impor. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan warna kedelai secara genetik antara kedelai Grobogan dan kedelai impor.

Tabel 4 Analisis warna, derajat putih, aktivitas air, densitas kamba, repose angle

tepung tempe

Parameter Jenis Tempe

Tempe A Tempe B

Warna tepung

L 58.53 ± 0.26a 58.77 ± 0.08a

a +1.51 ± 0.13a +1.41 ± 0.23a

b +10.64 ± 0.12a +12.00 ± 0.28b

Derajat putih tepung (%) 72.47 ± 0.79b 70.46 ± 0.66a

Aktivitas air tepung 0.63 ± 0.01a 0.70 ± 0.03b

Densitas kamba tepung (g/ml) 0.42 ± 0.01b 0.39 ± 0.00a

Repose angle tepung 39.94 ± 1.48oa 42.66 ± 0.97ob

Keterangan: Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan uji t.

Aktivitas air adalah parameter yang umum digunakan sebagai kriteria keamanan dan kualitas pangan. Semakin tinggi nilai aw maka semakin tinggi pula kemungkinan tumbuhnya mikroorganisme dalam bahan pangan tersebut. Aktivtas air dari tepung tempe A diketahui lebih rendah dibandingkan tepung tempe B. Artinya tepung tempe B lebih mudah menyerap air dari udara daripada tepung tempe A. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan ukuran partikel dari kedua jenis tepung. Selama perkecambahan, terjadi pemecahan berbagai molekul kompleks menjadi bentuk sederhananya (Elkhalifa dan Bernhardt 2010), sehingga ukuran partikel tepung tempe A menjadi lebih kecil. Ukuran partikel yang lebih kecil diduga mengakibatkan partikel-partikel menjadi lebih rapat dalam menempati volume ruang, sehingga menurunkan interaksi uap air di udara dengan tepung tempe A dan menurunkan kemampuan tepung tempe A untuk menyerap uap air di udara (Saenab et al. 2010). Aktivitas air tepung tempe A yang lebih kecil (0.63) bersifat menguntungkan, karena relatif memiliki umur simpan yang lebih lama dibandingkan tepung tempe B. Tabel 4 menunjukkan bahwa

perkecambahan berpengaruh nyata (p<0.05) dalam menurunkan repose angle

tepung tempe. Repose angle tepung tempe A (39.94o) didapatkan lebih rendah dibandingkan tepung tempe B (42.66o). Repose angle digunakan untuk mengetahui indeks alir suatu zat. Repose angle yang kecil nilainya menunjukkan indeks alir tepung yang makin baik. Dalam proses pengolahan di industri pangan,

repose angle yang kecil dari suatu bahan sangatlah diharapkan (Saenab et al.

2010). Repose angle dari tepung dapat digolongkan pada kategori cukup baik jika berada pada kisaran 30o-40o (Priyanto et al. 2011). Artinya tepung tempe A memiliki sifat mengalir yang cukup baik saat pemindahan dan pencampuran bahan.

Densitas kamba merupakan massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu. Densitas kamba menyatakan keringkasan suatu bahan dalam menempati volume. Semakin besar densitas kambanya, maka semakin ringkas bahan tersebut menempati volume yang sama dengan bobot yang lebih besar. Berdasarkan pengukuran terhadap densitas kamba, diketahui bahwa densitas kamba dari tepung tempe A dan tepung tempe B adalah 0.42 g/ml dan 0.39 g/ml. Densitas kamba tepung tempe A lebih besar dibandingkan tepung tempe B (p<0.05), artinya dalam volume yang sama (1 ml), tepung tempe A dapat menempati volume tersebut lebih banyak. Penelitian Moongngarm et al. (2014) juga menunjukkan bahwa proses germinasi secara signifikan meningkatkan densitas kamba tepung beras yaitu dari 0.53-0.64 g/ml menjadi 0.65-0.69 g/ml. Peningkatan ini terjadi karena proses germinasi akan memicu sistem enzim untuk bekerja memecah molekul kompleks seperti protein, karbohidrat, dan lemak ke dalam bentuk yang lebih sederhana (Elkhalifa dan Bernhardt 2010). Hal ini menyebabkan ukuran partikel tepung tempe A menjadi lebih kecil dan lebih rapat dalam menempati suatu ruang. Tepung dengan densitas kamba yang lebih tinggi akan lebih efisien dalam penempatannya di dalam kemasan.

Karakteristik Fungsional Protein Tepung Tempe

Data pada Tabel 5 menunjukkan sifat fungsional dari masing-masing tepung tempe freeze dried. Penelitian yang dilakukan oleh Asif-Ul-Alam et al. (2014) menunjukkan bahwa tepung pisang yang dihasilkan dari pengeringan beku akan memiliki sifat fungsional yang berbeda dengan tepung pisang yang dihasikan dari pengeringan bersuhu tinggi. Perbedaan tersebut di antaranya yaitu tepung pisang

freeze dried memiliki daya buih yang lebih tinggi, namun memiliki daya serap air, daya serap lemak, dan kapasitas emulsinya lebih rendah dibandingkan tepung pisang hot air dried.

Tabel 5 Sifat fungsional protein tepung tempe

Parameter Jenis Tepung Tempe

Tempe A Tempe B

Daya serap air (g/g) 2.26 ± 0.06b 2.13 ± 0.06a

Daya serap minyak (ml/g) 1.45 ± 0.04b 1.25 ± 0.02a

Daya Buih (%) 8.16 ± 0.14a 8.12 ± 0.16a

Kapasitas emulsi (%) 11.42 ± 2.70b 5.76 ± 1.80a

Keterangan : Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan

Daya serap air didefinisikan sebagai kemampuan pangan untuk menahan air yang ditambahkan dan yang ada dalam bahan pangan itu sendiri selama proses perlakuan terhadap pangan. Tepung tempe A memiliki daya serap air yang secara signifikan lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan tepung B, yaitu 2.26 g air/g sampel. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya proses perkecambahan yang menyebabkan peningkatan kadar protein dan perubahan kualitas protein pada kecambah kedelai, serta pemecahan molekul-molekul polisakarida yang diketahui bersifat hidrofilik, sehingga interaksi protein dengan air dapat meningkat (Ghavidel dan Prakash 2006). Terbukanya situs atau tempat pengikatan air dari rantai samping gugus protein yang sebelumnya dihalangi oleh keberadaan lemak kemungkinan juga menjadi faktor yang menyebabkan meningkatnya daya serap air tepung tempe A (Chinma et al. 2009). Daya serap air tepung tempe A ini terbilang tinggi karena mendekati daya serap air konsentrat protein kedelai, yaitu 2.20 g air/g solid (Kinsella 1979).

Daya serap minyak adalah sifat yang dapat menunjukkan adanya interaksi suatu bahan terhadap minyak (Santoso et al. 2009). Daya serap minyak yang didapatkan dari kedua jenis tepung berbeda nyata (p<0.05). Daya serap minyak dari tepung tempe A (1.45 g minyak/g sampel) lebih tinggi dibandingkan tepung tempe B (1.25 ml minyak/g sampel). Daya serap minyak tepung tempe A dapat dikatakan baik karena berada pada kisaran daya serap konsentrat dan isolat protein kedelai, yaitu 1.33-1.54 ml minyak/g solid (Kinsella 1979). Tinggiya daya serap minyak pada tepung tempe A dapat disebabkan oleh adanya perubahan kualitas protein selama perkecambahan dan perubahan kapasitas dalam menahan globula-globula lemak akibat meningkatnya jumlah protein lipofilik (Chinma et al. 2009). Chinma et al. (2009) juga menyebutkan bahwa rendahnya kadar lemak pada kecambah mungkin juga dapat menyebabkan tepung kecambah menyerap lebih banyak minyak pada struktur proteinnya. Kemampuan protein dalam mengikat minyak membuatnya sangat berguna di dalam sistem pangan dimana proses imbibisi minyak diinginkan. Tingginya sifat daya serap minyak pada tepung tempe A akan memperkuat flavor dan mouth feel ketika tepung digunakan dalam preparasi suatu makanan (Appiah et al. 2011).

Pada sampel tepung tempe dalam penelitian ini, lemak yang terkandung di dalamnya dibiarkan tetap ada, tanpa adanya proses ekstraksi. Penelitian mengenai sifat fungsional protein biasanya menggunakan sampel konsentrat atau isolat protein, sehingga daya buih dan kapasitas emulsi yang dihasilkan sangat tinggi. Hal ini karena interaksi antara protein dan lemak akan mengakibatkan reduksi pada stabilitas konformasi dan sifat hidrofilik dari protein, dimana keduanya merupakan faktor penting dalam pembentukan emulsi dan kestabilan buih (Makri

et al. 2005). Pada sifat fungsional protein, kelarutan protein merupakan faktor yang paling kritis dalam menentukan beberapa sifat, yaitu emulsifikasi dan pembuihan. Hasil penelitian Elkhalifa dan Bernhardt (2010) melaporkan bahwa rata-rata sampel yang dikecambahkan memiliki kelarutan protein terendah pada pH 4, yang merupakan titik isoelektrik. Protein sampel yang bergerminasi memiliki kelarutan yang lebih baik pada pH 4. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingginya aktivitas proteolitik selama proses germinasi (Elkhalifa dan Bernhardt 2010).

sel-sel udara yang dipisahkan oleh suatu lapisan likuid tipis yang kontinyu, disebut dengan fase lamelar. Buih diproduksi ketika udara diinjeksikan ke dalam likuid dan terperangkap dalam bentuk gelembung udara. Daya buih suatu bahan pangan dipengaruhi oleh kemampuan protein dalam menurunkan tegangan permukaan.

Gambar 6 Stabilitas buih tepung tempe

Gambar 7 Stabilitas emulsi tepung tempe

Tabel 5 menunjukkan bahwa daya buih kedua jenis tepung tidak berbeda nyata (p>0.05). Stabilitas buih dapat diamati pada Gambar 6. Tepung tempe A terlihat lebih cepat mengalami penurunan kapasitas buih dibandingkan tepung tempe B, yang artinya memiliki stabilitas buih yang lebih rendah. Hasil ini serupa dengan yang didapatkan oleh Ghavidel dan Prakash (2006), bahwa germinasi meningkatkan daya buih namun menurunkan stabilitasnya. Germinasi mungkin menyebabkan denaturasi permukaan protein dan menurunkan tegangan permukaan molekul-molekul yang berkontribusi dalam pembentukan buih. Germinasi juga menyebabkan perubahan konformasi protein yang kemungkinan mempengaruhi stabilitas buih dari tepung polong-polongan (Ghavidel dan Prakash

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 0 5 10 15 20 25 30 S tab il itas B u ih (% ) Waktu (menit) Tempe A Tempe B 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 0 5 10 15 20 25 30 S tab il itas E m u lsi (% ) Waktu (menit) Tempe A Tempe B

2006). Bila dibandingkan dengan daya buih isolat proterin kedelai (84 %), kedua jenis tepung tempe memiliki daya buih yang sangat rendah (Okezia dan Bello 1988).

Kapasitas emulsi berhubungan dengan kemampuan protein untuk menurunkan tegangan permukaan antara kedua fase (tegangan interfasial) sehinga mempermudah terbentuknya emulsi. Kapasitas emulsi tepung tempe A (11.42 ± 2.70 %) diketahui secara signifikan lebih tinggi (p<0.05) dari tepung tempe B (5.76 ± 1.80 %). Tingginya kapasitas emulsi suatu tepung disebabkan oleh tingginya interaksi antara protein dan lemak (Chinma et al. 2009). Proses perkecambahan kemungkinan menyebabkan terdisosiasi dan terbukanya struktur parsial polipeptida-polipeptida, sehingga sisi hidrofobik asam amino menjadi terbuka. Hal ini akan membantu di dalam pengikatan hidrofobik rantai peptida dengan droplet lemak. Pada akhirnya proses tersebut akan meningkatkan volume atau memperluas area permukaan protein dan juga meningkatkan kapasitas emulsi (Elkhalifa dan Bernhardt 2010). Konversi bentuk oligomer protein menjadi bentuk sederhananya dan/atau sintesis protein baru selama germinasi juga dilaporkan dapat meningkatkan jumlah protein terlarut (Ghavidel dan Prakash 2006). Protein terlarut memiliki sifat surfaktan yang lebih baik, yang dikenal sebagai pemicu emulsi oil-in-water.

Gambar 7 menunjukkan kurva stabilitas emulsi kedua jenis tepung tempe. Terlihat bahwa emulsi dari tepung tempe A lebih stabil terhadap waktu dibandingkan tepung tempe B. Hal ini karena perkecambahan juga meningkatkan stabilitas emulsi sebesar 5-7 % (Ghavidel dan Prakash 2006). Proses pengupasan kulit ari pada pembuatan tempe juga ikut meningkatkan kapasitas dan stabilitas emulsi tepung, dikarenakan meningkatnya kadar protein dan jumlah protein terlarut (Ghavidel dan Prakash 2006). Hasil perbandingan tepung tempe A terhadap kapasitas emulsi isolat protein kedelai (lebih dari 70%) menunjukkan bahwa tepung tempe A tidak memiliki sifat emulsi yang baik untuk diaplikasikan pada produk-produk pangan emulsi (Budijanto et al. 2011).

Komposisi Kimia

Kedua jenis tempe dikeringkan dengan metode pengeringan beku menggunakan alat freeze dryer untuk memudahkan tahap analisis kimia. Rendemen hasil pengeringan beku tempe A dan tempe B yaitu 37.54 % dan 40.03 %. Jika dibandingkan dengan kadar air tempe A dan tempe B yang didapatkan dengan metode pengeringan oven, maka terlihat bahwa lebih banyak jumlah air yang berkurang dari sampel yang dikeringkan dengan metode pengeringan beku. Perbedaan rendemen dry matter ini mungkin dapat disebabkan oleh kemampuan yang lebih baik dari alat freeze dryer dalam mengurangi jumlah air dalam matriks bahan pangan.

Tempe hasil pengeringan beku kemudian digiling dengan blender hingga menjadi tepung. Data pada Tabel 5 menunjukkan hasil analisis proksimat, vitamin E, total isoflavon, dan kapasitas antioksidan tepung tempe A dan B. Kadar air dari kedua jenis tepung tempe diketahui berbeda nyata (p<0.05) yaitu 3.14 % untuk tempe A dan 2.25 % untuk tempe B. Kadar abu dan karbohidrat kedua jenis tempe diketahui tidak berbeda nyata. Tempe A secara signifikan memiliki kadar lemak yang lebih rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh penggunaan lemak dan

karbohidrat selama perkecambahan kedelai sebagai sumber energi untuk pertumbuhan embrionik. Degradasi lemak dan karbohidrat selama germinasi merupakan proses dimana tujuan esensialnya adalah penyediaan energi yang dibutuhkan untuk sintesis protein baru, sehingga dapat dikatakan bahwa germinasi memiliki efek yang menguntungkan dari sisi zat gizi makronya meskipun perubahannya tidak begitu besar (Shi et al 2010). Perubahan komposisi proksimat tidak hanya disebabkan oleh germinasi, tetapi juga proses fermentasi. Proses fermentasi bahan padat (solid state fermentation) diketahui dapat meningkatkan kadar protein (21.7 %) dan menurunkan kadar lemak (38.42 %), abu (42.7 %) dan karbohidrat (3.5 %).

Tabel 6 Analisis proksimat, vitamin E, total isoflavon, dan kapasitas antioksidan tepung tempe

Parameter Jenis Tepung Tempe

Tempe A Tempe B Kadar air (% bb) 3.14 ± 0.28b 2.25 ± 0.15a Kadar abu (% bk) 1.89 ± 0.08a 1.93 ± 0.04a Kadar protein (% bk) 53.37 ± 1.39b 50.18 ± 0.07a Kadar lemak (% bk) 23.10 ± 0.30a 25.02 ± 0.55b Kadar karbohidrat (% bk) 21.74 ± 1.17a 22.88 ± 0.49a Kadar vitamin E (mg/100 g bk) 5.08 4.70 Total isoflavon (mg/100 g bk) 81.75 53.08 Kapasitas antioksidan (mg AEAC/100 g tempe bk) 24.97 ± 0.01b 15.75 ± 0.01a

Keterangan: Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan uji t.

Peningkatan kadar protein disebabkan oleh penurunan kadar komponen lain, yang disebabkan hilangnya senyawa-senyawa terlarut ketika proses perebusan atau dikonsumsinya senyawa-senyawa non protein oleh kapang untuk pertumbuhannya (Reyes-Bastidas et al. 2010). Tabel 7 menunjukkan perbandingan hasil analisis proksimat tepung tempe kecambah kedelai Grobogan dengan tepung tempe Grobogan (Aminta 2014).

Tabel 7 Perbandingan hasil analisis proksimat tepung tempe kecambah kedelai Grobogan dengan tepung tempe Grobogan

Parameter Jenis Tepung Tempe

Tempe Kecambah Tempe

Kadar air (% bb) 3.14 ± 0.28 4.30 ± 0.36

Kadar abu (% bk) 1.89 ± 0.08 2.36 ± 0.01

Kadar protein (% bk) 53.37 ± 1.39 46.98 ± 0.11

Kadar lemak (% bk) 23.10 ± 0.30 24.39 ± 1.55

Kadar karbohidrat (% bk) 21.74 ± 1.17 26.25 ± 1.55

Germinasi kedelai berpengaruh terhadap kapasitas antioksidan tempe yang dihasilkannya. Tabel 6 menunjukkan bahwa kapasitas antioksidan tepung tempe A

lebih tinggi dibandingkan tepung tempe B, yaitu 24.97 mg AEAC/100 g tempe bk dan 15.75 mg AEAC/100 g tempe bk. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa pada sampel kacang hijau, kapasitas antioksidannya meningkat maksimum hingga 486 % setelah 5 hari perkecambahan (Huang et al. 2014). Tingginya kapasitas antioksidan tempe A disebabkan selama proses germinasi, terjadi peningkatan senyawa fenol dan vitamin E (Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos 2010; Plaza et al. 2003). Senyawa fenol (isoflavon) dan vitamin E (α-tokoferol) merupakan senyawa fitokimia pada kedelai yang memiliki aktivitas biologis (Astawan 2013). Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos (2010) menyebutkan bahwa kedelai mengalami peningkatan senyawa fenol sebesar 201% setelah perkecambahan selama 7 hari. Senyawa fenol yang dihasilkan tidak hanya terjadi saat proses perkecambahan, namun juga pada proses fermentasi menjadi tempe. Reyes-Bastidas et al. (2010) juga melaporkan bahwa kandungan senyawa fenol meningkat sebesar 9.13 % setelah perkecambahan. Peningkatan senyawa fenol

disebabkan oleh enzim -glukosidase kapang yang mengkatalis pelepasan aglikon dari substrat biji-bijian. Dugaan adanya peningkatan senyawa fenol dibuktikan dengan hasil analisis total isoflavon kedua jenis sampel. Total isoflavon tepung tempe A (81.75 mg/100 g bk) diketahui lebih tinggi dari tepung tempe B (53.08 mg/100 g bk). Hasil dari total isoflavon diukur berdasarkan jumlah konsentrasi aglikon dan jumlah konsentrasi aglikon equivalen terhadap glukosida. Selama proses perkecambahan dan fementasi menjadi tempe, terjadinya peningkatan

Dokumen terkait