• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Karakteristik Fisikokimia Tempe Dengan Tempe Kecambah Kedelai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbandingan Karakteristik Fisikokimia Tempe Dengan Tempe Kecambah Kedelai"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA

TEMPE DENGAN TEMPE KECAMBAH KEDELAI

MUHAMMAD ICHSAN

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Perbandingan Karakteristik Fisikokimia Tempe dan Tempe Kecambah Kedelai” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015

(4)

ABSTRAK

MUHAMMAD ICHSAN. Perbandingan Karakteristik Fisikokimia Tempe dengan Tempe Kecambah Kedelai. Dibimbing oleh MADE ASTAWAN.

Tempe adalah salah satu makanan tradisional Indonesia hasil fermentasi kedelai. Inovasi diperlukan untuk meningkatkan kualitas tempe, baik secara fisik maupun kimia. Penduduk Indonesia gemar mengonsumsi tempe karena beberapa alasan, yaitu harganya relatif murah dan nilai gizinya tinggi. Salah satu proses yang dapat meningkatkan mutu gizi dan kualitas tempe adalah dengan memodifikasi bahan baku tempe, yaitu mengganti kedelai dengan kecambah kedelai. Dalam penelitian ini, dipelajari perbandingan karakteristik fisikokimia tempe kedelai (TK) dan tempe kecambah kedelai (TKK). Kedelai dikecambahkan dalam waktu 28 jam. Kecambah kemudian diproses menjadi tempe (TKK). TKK dan TK dianalisis kekerasan dan sifat sensorinya. Pengeringan beku dilakukan untuk TKK dan TK selama 26 jam. Tempe kering beku digiling menjadi tepung. Tepung tempe digunakan untuk analisis fisik dan kimia. Penggunaan kecambah kedelai terbukti mempengaruhi kualitas tempe. TKK memiliki 53.37 % bk protein, 24.97 mg AEAC/100 g tempe bk kapasitas antioksidan, 5.08 mg/100 g bk, 81.75 mg/100 g bk isoflavon, dan beberapa mineral (Ca, P, Fe, Zn) yang lebih tinggi dari TK. Secara fisik, kedua jenis tempe memiliki tekstur yang sama, tetapi tepung TKK mempunyai derajat putih (72.47 %) dan densitas kamba (0.42 g/ml) yang lebih tinggi dari TK. Tepung TKK juga memiliki aktivitas air (0.63) dan repose angle (39.94o) yang lebih rendah. Hasil analisis sifat fungsional protein menunjukkan bahwa tepung TKK memiliki daya serap air (2.26 g/g), daya serap minyak (1.45 ml/g), dan kapasitas emulsi (11.42 %) yang secara signifikan lebih tinggi (p<0,05) dari tepung TK. Hasil evaluasi sensori menggunakan uji rating hedonik terhadap tempe mentah menunjukkan bahwa atribut warna dan aroma kedua jenis tempe berbeda nyata (p<0.05), sedangkan hasil evaluasi sensori pada tempe goreng menunjukkan bahwa atribut warna, aroma, rasa, dan tekstur pada kedua jenis tempe berbeda nyata (p<0.05).

(5)

ABSTRACT

MUHAMMAD ICHSAN. Physichochemical Characteristics Comparation of Tempe and Germinated Soybean Tempe, Supervised by MADE ASTAWAN.

Tempe is Indonesian traditional food made of fermented soybeans. Innovation is needed in order to improve the quality of tempe, both physically and chemically. Indonesian love to eat tempe because of several reasons, for example

it’s relatively low cost and high nutritional value. One of alternatives that can improve nutritional quality of tempe is by modifying its raw material, namely replacing soy with germinated soybean. This research conducted further study regarding comparative physicochemical characteristics of soybean tempe (ST) and germinated soybean tempe (GST). Soybeans germinated within 26 hours. Then, germinated soybeans are processed into tempe (GST). GST and ST hardness as well as sensory properties were analyzed. Freeze-drying was done to GST and ST for 26 hours. Freeze dried tempe milled into flour. Soybean flour was used for physical and chemical analysis. The use of germinated soybean proven to affect the quality of tempe. GST has 53.37 % db protein, 24.97 mg AEAC/100 g tempe db antioxidant capacity, 5.08 mg/100 g db, 81.75 mg/100 g db isoflavon, and minerals (Ca, P, Fe, Zn) which is higher than ST. Physically, the two types of tempe has similar texture, but GST flour has 72.47 % whiteness and 0.42 g/ml bulk density which is higher than ST. GST flour also has lower water activity (0.63) and repose angle (39.94o). Protein functional properties analysis showed that GST flour has water absorption capacity (2.26 g/g), oil absorption capacity (1.45 ml/g) and emulsion capacity (11.42 %) that significantly higher (p<0.05) than ST flour. Sensory evaluation by using hedonic rating test to raw tempe showed that the attribute of color and aroma of both tempe types are significantly different (p<0.05), while the results of sensory evaluation on fried tempe showed the attributes of color, aroma, flavor, and texture of both tempe types are significantly different (p <0.05).

(6)
(7)

PERBANDINGAN KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA

TEMPE DENGAN TEMPE KECAMBAH KEDELAI

MUHAMMAD ICHSAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Alhamdulillahirabbil’alamiin. Puji syukur penulis panjatkan ke hadlirat Allah

subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis diberi kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Febuari 2015 ini ialah tempe, dengan judul Perbandingan Karakteristik Fisikokimia Tempe Kedelai dan Tempe Kecambah Kedelai..

Selama penelitian, penulisan skripsi, dan masa studi, penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M.S, selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan saran bagi penulisan karya tulis ini.

2. Pemberi dana penelitian, yaitu Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 3. Bapak Yanto berserta seluruh staf Rumah Tempe Indonesia.

4. Dr. Ir. Feri Kusnandar berserta seluruh pengajar, staf dan teknisi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB

5. Bapak Zaldi, S.H. dan Ibu Krisna Sukarjati, selaku orang tua saya tercinta yang senantiasa mendoakan dan memberikan saya semangat selama penulisan karya tulis ini.

6. Arif Setiawan, selaku kakak saya yang sangat baik dan sabar dalam memotivasi saya

7. Teman-teman grup Soka Buntu 16, yaitu Muksin, Farid, Sandi, Anugerah, Hilman, Yulizar, Manaf, Muji, Brahma, Anggun dan teman-teman satu payung penelitian saya, yaitu Randi, Khaidar, Indra, serta seluruh teman-teman ITP angkatan 48 yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. 8. Ulfa Dewi Hasnita dan keluarga, yang selalu mendukung dan turut

mendoakan demi kelancaran pengerjaan karya tulis ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, September 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Bahan 2

Alat 2

Tahapan Penelitian 3

Metode Analisis 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Penentuan Waktu Optimal Perkecambahan 11

Karakteristik Fisik Tempe 12

Analisis Sensori Tempe 14

Karakteristik Fisik Tepung Tempe 15

Komposisi Kimia 19

SIMPULAN DAN SARAN 22

Simpulan 22

Saran 23

DAFTAR PUSTAKA 23

LAMPIRAN 27

(12)

DAFTAR TABEL

1 Penampakan fisik kecambah pada beberapa waktu pengecambahan 12

2 Analisis fisik tempe 13

3 Analisis warna, derajat putih, aktivitas air, densitas kamba,

repose angle tepung tempe 15

4 Sifat fungsional protein tepung tempe 16

5 Analisis proksimat, vitamin E, total isoflavon, dan kapasitas

antioksidan tepung tempe 20

6 Perbandingan hasil analisis proksimat tepung tempe kecambah

kedelai Grobogan dengan tepung tempe Grobogan 20

7 Kandungan mineral tepung tempe A dan tepung tempe B 22

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir penelitian 3

2 Diagram alir produksi kecambah kedelai 4

3 Diagram alir proses pembuatan tempe 6

4 Diagram alir pembuatan tepung tempe 7

5 Penampakan sampel tempe A (atas) dan tempe B (bawah) 13

6 Stabilitas buih tepung tempe 18

7 Stabilitas emulsi tepung tempe 18

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil statistik rendemen tempe, rendemen tempe kering, dan tekstur

kekerasan menggunakan independent-samples t test 27

2 Hasil statistik warna, densitas kamba, aktivitas air, dan

derajat putih tepung tempe menggunakan independent-samples t test 28 3 Hasil statistik repose angle, daya serap air, daya serap minyak, dan

daya buih tepung tempe menggunakan tepung tempe menggunakan

independent-samples t test 29

4 Hasil statistik kapasitas emulsi dan komposisi proksimat tepung tempe

menggunakan independent-samples t test 30

5 Hasil statistik kapasitas antioksidan dan analisis mineral tepung tempe

menggunakan independent-samples t test 31

6 Hasil statistik uji rating hedonik tempe mentah dan tempe goreng

menggunkan independent-samples t test 32

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tempe merupakan makanan tradisional hasil fermentasi kedelai oleh kapang

Rhizopus sp. yang berasal dari Indonesia. Harganya yang relatif murah, sifat fungsionalnya yang baik, dan kandungan proteinnya yang tinggi membuat tempe semakin digemari oleh berbagai lapisan masyarakat. Saat ini, angka konsumsi tempe dalam negeri sudah mencapai 7.44 kg/kapita/tahun. Angka ini lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 7.09 kg/kapita/tahun. (Kementan 2014).

Bahan baku utama tempe umumnya adalah kedelai, yang dikenal memiliki kandungan protein yang tinggi dibandingkan biji-bijian lainnya. Kandungan protein kedelai adalah 46.2 g/100 g basis kering (Astawan 2008). Indonesia, dikenal sebagai negara asal tempe sekaligus negara pengimpor kedelai. Setiap tahunnya, Indonesia harus mengimpor kedelai sebanyak 2 087 986 ton untuk memenuhi 71 % kebutuhan kedelai dalam negeri. Tingginya angka impor kedelai ini disebabkan oleh ketersediaan kedelai lokal yang tidak mencukupi. Hal ini membuat para pengrajin tempe umumnya menggunakan kedelai impor sebagai bahan baku produksinya. Kondisi ini diperparah dengan beberapa kelebihan kedelai impor bagi para pengrajin, diantaranya pasokannya terjamin, harga lebih murah, dan ukuran bijinya lebih seragam dibandingkan kedelai lokal, sehingga membuat para pengrajin cenderung lebih menyukai tempe impor sebagai bahan baku tempe yang diproduksinya.

(14)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik fisikokimia tempe, dalam bentuk tempe utuh dan tepung tempe yang diproduksi dari kecambah kedelai dibandingkan tempe tanpa proses perkecambahan.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini ialah dihasilkannya varian baru tempe yang dapat diterima masyarakat dan dapat dijadikan sebagai basis pengembangan produk pangan turunan dari tempe.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan selama bulan Februari hingga Juni 2015. Produksi kecambah kedelai dilakukan di pusat industri tauge Kampung Leuwengkolot, Desa Girimulya RT 01/RW 03, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Produksi tempe dilakukan di Rumah Tempe Indonesia, Jalan Cilendek Nomor 27, Bogor 16112. Analisis dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan, Laboratorium Kimia Pangan, Laboratorium Biokimia Pangan, Laboratorium Analisis Pangan, dan Laboratorium Evaluasi Sensori Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua varietas kedelai, yaitu kedelai impor yang diperolah dari KOPTI Kabupaten Bogor dan kedelai lokal Grobogan yang diperolah dari Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Selain itu terdapat pula bahan-bahan untuk membuat kecambah, tempe, dan bahan-bahan untuk analisis. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat kecambah yaitu air dan kapur tohor, sedangkan bahan untuk tempe meliputi ragi Raprima dan plastik pengemas polipropilen. Adapun bahan-bahan untuk analisis meliputi kertas saring, n-heksana, HCl, H2SO4, HgO, K2SO4, Na2SO3, asam borat

(H3BO3), HCl, batu didih, air destilata, indikator fenolftalein (PP), indikator

MR-MB, NaOH, DPPH, minyak jagung, asam askorbat, NaCl dan metanol p.a.

Alat

(15)

analitik, rak, texture analyzer, cawan aluminium, oven, desikator, penjepit (gegep), cawan porselin, tanur listrik, pemanas Kjeldahl lengkap, labu Kjeldahl, alat destilasi, buret, labu takar 100 ml, pipet ukur 1 ml dan 10 ml, Erlenmeyer 100 ml dan 250 ml, gelas Beaker 250 ml, pipet tetes, alat ekstraksi Soxhlet berupa kondensor dan pemanas listrik, labu lemak 250 ml, kapas bebas lemak, spektrofotometer UV-Vis, alat sentrifuse, tabung reaksi, tabung sentrifuse, gelas alroji, botol semprot, penangas air, sudip, vortex, tabung reaksi bertutup, rak tabung reaksi, gelas pengaduk, hand blender dan mikropipet.

Tahapan Penelitian

Penelitian ini terdiri atas tiga tahap, yaitu tahap pengecambahan kedelai, tahap produksi tempe, dan tahap analisis.

(16)

Tahapan pengecambahan kedelai mengacu pada standar operasional yang dilakukan di pusat industri tauge Kampung Leuwengkolot. Tahapan produksi tempe dibagi menjadi dua, yaitu produksi tempe kedelai dan tempe kecambah kedelai. Adapun tahap analisis tempe terbagi ke dalam tiga macam analisis, yaitu analisis fisik, kimia, dan sensori. Analisis fisik yang dilakukan meliputi perhitungan rendemen, tekstur, warna, derajat putih, aktivitas air (aw), densitas

kamba, repose angle, daya serap air, daya serap minyak, daya buih dan stabilitas buih, serta kapasitas emulsi dan stabilitas emulsi. Analisis kimia yang dilakukan meliputi analisis proksimat, kapasitas antioksidan, mineral, total isoflavon dan vitamin E. Analisis sensori dilakukan terhadap tempe mentah dan tempe goreng dari masing-masing jenis tempe (tempe A dan B). Diagram alir penelitian ditampilkan pada Gambar 1.

Pengecambahan Kedelai

Proses germinasi kedelai diawali dengan proses penyortiran basah untuk memisahkan kedelai tak layak pakai dan pengotor non kedelai. Kedelai hasil sortasi selanjutnya direndam dalam air selama enam jam kemudian ditiriskan.

Gambar 2 Diagram alir produksi kecambah kedelai

Kedelai selanjutnya dimasukkan ke dalam ember yang bagian bawahmya dilubangi dan disiram larutan kapur tohor untuk meningkatkan kandungan kalsium yang berfungsi sebagai kation anorganik yang membantu dalam pembelahan sel dari jaringan meristem yang dapat mempercepat daya kecambah

Kedelai kering

Penyortiran Kedelai tak layak pakai dan non kedelai

Perendaman dalam air selama enam jam

Kedelai dimasukkan ke dalam ember dan disiram larutan kapur

Ember ditutup 28 jam dan selama proses germinasi disirami setiap 3 jam

(17)

(Tjokrodirjo 1985). Ember kemudian ditutup untuk mencegah masuknya cahaya matahari. Germinasi dilakukan pada suhu ruang selama 28 jam. Selama proses perkecambahan tersebut, kedelai disiram air setiap selang waktu tiga jam. Diagram alir produksi kecambah kedelai ditampilkan pada Gambar 2.

Produksi Tempe

(18)

Gambar 3 Diagram alir proses pembuatan tempe

Tahapan proses produksi tempe kecambah kedelai sama dengan tempe kedelai, namun kecambah tidak mengalami proses penyortiran dan perendaman kembali, melainkan langsung direbus selama 10 menit pada suhu 100 oC. Tempe yang dihasilkan dari penelitian ini selanjutnya disebut sebagai tempe A dan tempe B. Tempe A dibuat dari kedelai lokal Grobogan yang dikecambahkan, sedangkan tempe B dibuat dari kedelai impor.

Pembuatan Tepung Tempe

Tempe dikeringkan dengan metode pengeringan beku (freeze drying) selama 26 jam untuk membuatnya homogen dan menjaga kualitas komposisi kimianya. Tempe yang sudah kering selanjutnya digiling dengan blender

kecepatan rendah selama 1 menit. Tepung tempe hasil penggilingan blender

selanjutnya diayak hingga 48 mesh dan digunakan untuk analisis fisik dan kimia. Gambar 4 menampilkan diagram alir pembuatan tepung tempe.

Inokulasi ragi

Pengemasan pada plastik berlubang

Fermentasi pada suhu 30 0C dan RH

80% selama 40 jam

Tempe kecambah kedelai (A)

Tempe (B) A

Pengeringan beku

Penggilingan dengan Blender Tempe

(19)

Gambar 4 Diagram alir pembuatan tepung tempe

Metode Analisis

Persiapan Sampel

Ekstrak tempe diperlukan dalam analisis kapasitas antioksidan. Pembuatan ekstrak dilakukan dengan pencampuran 1 g tepung tempe freeze dried dengan 5 ml metanol p.a., kemudian divortex 5 menit, didiamkan selama 3 jam, dan disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selam 20 menit (modifikasi Bakar et al.

2009).

Rendemen Tempe

Rendemen diukur dengan membandingkan berat tempe yang dihasilkan dengan total kedelai kering yang digunakan sebelum diberi perlakuan apapun. Hasil penimbangan kemudian dibandingkan dan dihitung. Hasil perhitungan yang diperoleh dinyatakan dalam satuan persen.

Analisis Tekstur Tempe Segar dengan Texture Analyzer (Anton dan Luciano

2007)

Pengukuran kekerasan tempe dilakukan dengan menggunakan texture Aanalyzer yang dinyatakan sebagai gaya tekan dalam satuan gf (gram force). Probe yang digunakan berbentuk pisau. Pengukuran dilakukan dengan kecepatan probe 1.5 mm/detik, jarak 30 mm, dan gaya gaya tekan (trigger force) 205 g.

Pengukuran Densitas Kamba Tepung Tempe (Adeleke dan Odedeji 2010) Sebanyak 3 g sampel tepung tempe dimasukkan ke dalam sebuah gelas ukur 10 ml yang telah diketahui beratnya. Gelas ukur yang telah berisi sampel diketuk-ketukkan hinga volumenya konstan. Volume yang terukur kemudian dicatat. Densitas kamba dinyatakan sebagai massa sampel (g) per volume sampel (ml).

Pengukuran aw Tepung Tempe

Pengukuran aktivitas air (aw) dilakukan dengan menggunakan alat aw meter

“Shibaura aw meter WA-γ60”. Sampel dimasukkan ke dalam wadah aw meter.

Nilai awdan suhu akan terbaca setelah ada tulisan “completed” di layar.

Analisis Warna Tepung Tempe dengan Kromameter (Mugendi et al. 2010)

Pada alat chromameter dilakukan pengaturan indeks data dengan cara Tepung Tempe

(20)

menekan tombol Index Set, lalu dilanjutkan dengan menekan tombol Scroll Bar

dan Enter untuk mengaktifkan perintah pengukuran warna. Pengukuran warna dilanjutkan dengan mendekatkan kamera pengukur warna sampel dan menekan tombol Target Color Set. Data hasil pengukuran warna L, a, dan b akan tercatat pada alat Paper Sheat. Nilai L menyatakan parameter kecerahan (lightness) yang mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih).Nilai a menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0-100 untuk warna merah dan nilai –a (negatif) dari 0-(-80) untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari 0-70 untuk kuning dan nilai –b (negatif) dari 0-(-70) untuk warna biru.

Analisis Derajat Putih Tepung Tempe dengan Whiteness meter (modifikasi

Hartoyo dan Sunandar 2006)

Pengukuran derajat putih menggunakan alat KETT Digital Whitenessmeter Model C-100. Sampel ditempatkan dalam cawan sampel dengan jumlah sedikit melebihi bibir cawan. Cawan berisi sampel ditempatkan ke dalam wadah sampel. Seimbangkan suhu sampel di atas tempat pengukuran, sehingga alat menyala. LED akan menampilkan nilai derajat putih dan nomor urutan pengukuran. Standar menggunakan MgO dengan nilai 81.6. Nilai derajat putih sampel ditunjukkan sebagai persentase dari perbandingan nilai derajat putih terhadap nilai derajat putih MgO.

Pengukuran Repose angle Tepung Tempe (Hartoyo dan Sunandar 2006)

Repose angle diukur dengan cara menjatuhkan tepun pada ketinggian tertentu (15 cm) melalui corong pada bidang datar. Kertas putih digunakan sebagai alas bidang datar. Ketinggian harus selalu di bawah lubang corong. Pengukuran diameter dilakukan pada sisi yang sama pada setiap perlakuan.

Repose angle ditentukan dengan mengukur diameter (d) dan tinggi tumpukan (t), dan dihitung sebagai arc tan t/(1/2)d.

Daya Serap Air Tepung Tempe (modifikasi Adeleke dan Odedeji 2010) Sebanyak 1 g sampel dan 10 ml air destilata dimasukkan ke dalam tabung sentrifus kemudian divortex selama 2 menit. Campuran kemudian disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit. Filtrat kemudian dipisahkan dari supernatannya. Daya serap air dinyatakan sebagai air terikat (g) per jumlah sampel (g).

Daya Serap Minyak Tepung Tempe (modifikasi Adeleke dan Odedeji 2010) Sebanyak 1 g sampel ditambah 10 ml minyak jagung. Campuran divortex

selama 2 menit kemudian disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit. Filtrat dipisahkan dari supernatannya. Daya serap minyak dinyatakan sebagai volume minyak terikat (ml) per jumlah sampel (g). Volume minyak terikat didapatkan melalui densitas minyak jagung yang telah diketahui.

Daya dan Stabilitas Buih (Adeleke dan Odedeji 2010; Huda et al. 2012)

(21)

Campuran larutan kemudian dipindahkan ke dalam gelas ukur berukuran 100 ml. Kapasitas buih dilihat dari busa yang terbentuk dibandingkan dengan volume awal. Stabilitas buih diamati selama 30 menit, dicatat setiap interval 5 menit dan dibuat kurva stabilitas buih terhadap waktu.

Kapasitas dan Stabilitas Emulsi (modifikasi Huda et al. 2012; Kumar et al.

2014; Franzen dan Kinsella 1976)

Pengukuran kapasitas emulsi dilakukan dengan mencampur sebanyak 0.5 g sampel dengan 5 ml air destilata dan 5 ml minyak jagung. Campuran divortex

selama 1 menit, kemudian disentrifus dengan kecepatan 2550 rpm selama 5 menit. Kapasitas emulsi dilihat dari volume emulsi dibandingkan volume total dalam tabung (%). Untuk mengetahui stabilitas emulsi selama waktu tertentu, emulsi yang sudah terbentuk disimpan selama beberapa lama pada suhu ruang. Volume emulsi diamati selama penyimpanan 30 menit dengan interval setiap 5 menit dan dibuat kurva sestabilan emulsinya.

Kadar Air (AOAC 2012)

Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode oven. Penetapan kadar air diawali dengan pengeringan cawan alumunium pada suhu 105 oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 1-2 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan alumunium tersebut dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama lima jam lalu didinginkan dalam desikator, dan ditimbang sampai diperoleh berat sampel kering yang relatif konstan.

Kadar Abu (AOAC 2012)

Analisis kadar abu dilakukan dengan metode pengabuan kering. Cawan porselin yang akan digunakan dikeringkan terlebih dahulu di dalam oven bersuhu 105 oC selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Sebanyak 2-3 gram sampel ditimbang di dalam cawan porselen tersebut. Selanjutnya cawan porselen berisi sampel dibakar sampai tidak berasap dan diabukan dalam tanur listrik pada suhu maksimum 550 oC sampai pengabuan

sempurna (berat konstan). Setelah pengabuan selesai, cawan berisi contoh didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Kadar Protein (AOAC 2012)

Sebanyak 0.06 g sampel ditimbang menggunakan neraca analitik. Selanjutnya sampel akan melalui tiga tahap, yaitu tahap digesti, destilasi, dan titrasi.

Kadar Lemak (AOAC 2012)

(22)

Kadar Karbohidrat (by difference)

Kadar karbohidrat dihitung sebagai sisa dari kadar air, abu, lemak dan protein. Pada analisis ini diasumsikan bahwa karbohidrat merupakan bobot sampel selain air, abu, lemak dan protein.

Kapasitas Antioksidan (modifikasi Fayed 2009)

Analisis kapasitas antioksidan menggunakan metode DPPH Radical Scavenging Activity. Sebanyak 50 l ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 5 ml larutan DPPH 0.002 % (dalam pelarut metanol p.a). Campuran divortex dan didiamkan di ruang gelap selama 30 menit. Metanol disiapkan sebagai blanko (tanpa ekstrak sampel). Kurva standar disiapkan dengan menggunakan asam askorbat dalam pelarut air dengan berbagai konsentrasi (0-250 mg/l). Setelah 30 menit, absorbansi diukur pada panjang gelombang 517 nm.

Analisis Kadar Isoflavon metode HPLC (AOAC 2002)

Preparasi contoh dilakukan dengan menimbang 4 g sampel dan memasukannya ke erlenmeyer 250 ml. Tambahkan 40 ml larutan ekstraksi, metanol : air (80:20). Erlenmeyer dibungkus dengan aluminium foil kemudian dimasukkan ke water bath shaker dengan suhu 65 oC selama 2 jam. Dinginkan, buka aluminium foil dan tambahkan 3 ml NaOH 2 N, kocok 10 menit. Tambahkan 1 ml asam asetat glasial, kocok, dan pindahkan ke labu ukur 50 ml. Tepatkan volumenya dengan larutan ekstraksi. Saring dengan kertas saring Whatman No.42, lalu pipet 5 ml filtrat ke labu ukur 10 ml. Tambahkan 4 ml akuabides, tepatkan volumenya dengan metanol : air (1 : 1) dan kocok. Pipet 1 ml ke dalam tabung sentrifuse, kemudian sentrifuse 5 menit pada 7000 rpm, lalu maukkan supernatan ke dalam vial. Kondisi kromatografi: Kolom C18 reverse phase 200 x 2.1 mm, laju alir 0.4 ml/menit, volume injeksi β0 l, detektor UV

dengan β60 nm, fase gerak 1 yaitu air μ metanol μ asam asetat glasial (88 μ 10 μ

2), dan fase gerak 2 yaitu metanol : asam asetat glasial (98 : 2).

Preparasi standar dilakukan dengan menimbang masing-masing standar, yaitu 5 mg daidzin, 5 mg genistin, 20 mg daidzein, 20 mg genistein, 5 mg glycitein, 2 mg glycitin ke labu ukutr 50 ml, kemudian dilarutkan dengan metanol sampai tanda batas. Larutan dikocok untuk membuatnya homogen dan buat 5 deret standar, dimana masing-masing deret standar memiliki konsentrasi standar-standar yang beragam. Kondisi kromatografi pada preparasi standar-standar sama dengan preparasi sampel. Hasil dari luas area yang muncul selanjutnya dihitung untuk menghitung masing-masing kosentrasi isoflavon glukosida dan aglikon, kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan total isoflavon. Total isoflavon dinyatakan sebagai ekuivalen aglikon.

Analisis Mineral dengan AAS (Nielsen 2003)

(23)

larutan tersebut ke dalam 1 % v/v HCl 25 ml. Larutan abu tersebut kemudian dianalisis langsung dengan Atomic Absorption Spectrometry dengan lampu katoda yang sesuai mineral yang ingin dianalisis.

Analisis Vitamin E dengan HPLC (AOAC 2007)

Sampel sebanyak 2 g dimasukan ke dalam tabung sentrifuge 50 ml. campurkan dengan (2x10 ml) heksana (di tabung sentrifuse). Kumpulkan n-heksana di gelas kimia (A), lalu uapkan sampai kering (tempat gelap). Larutkan bahan kering dengan metanol HPLC grade, lalu pindahkan ke labu ukur 50 ml. Tepatkan volumenya dengan metanol dan homogenkan. Saring dengan filter 0.45

m. Masukkan ke dalam vial autosampler, kemudian suntikkan β0 l ke sistem

kromatografi, lakukan blanko. Kondisi kromatografi: Kolom oktadesilsilana (RP-18), UV detektor, laju alir 0.7 ml/menit, βλβ nm, dan fase gerak metanol.

Analisis Sensori (Carpenter et al. 2000)

Analisis sensori dilakukan dengan uji rating hedonik pada atribut warna, aroma, tekstur, dan rasa. Sampel tempe mentah disajikan di atas piring, kemudian panelis diminta untuk memberikan penilaian. Skala yang digunakan adalah 7 skala penilaian: sangat tidak suka (1), tidak suka (2), agak tidak suka (3), netral (4), agak suka (5), suka (6), dan sangat suka (7). Panelis yang diambil responnya adalah panelis tidak terlatih sebanyak 70 orang.

Analisis Data

Faktor yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis tempe. Jenis tempe yang digunakan terdiri dari tempe A dan tempe B. Tempe A didefinisikan sebagai tempe yang dibuat dari kedelai lokal yang dikecambahkan dan tempe B didefinisikan sebagai tempe yang dibuat dari kedelai impor tanpa perlakuan pengecambahan. Analisis data menggunakan uji-t dengan taraf nyata 0.05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan Waktu Optimal Perkecambahan

(24)

kedelai. Radikula yang diinginkan adalah yang tidak terlalu panjang, yaitu sekitar 0.5-1 cm. Pertumbuhan radikula yang terlalu panjang akan menyebabkan zat-zat gizi pada kacang kedelai banyak terkuras untuk pertumbuhan radikula, sehingga ketika kacang kedelai diolah menjadi tempe maka kandungan zat-zat gizi tempe yang dihasilkannya akan sangat menurun. Hal ini berhubungan dengan salah satu tahapan proses pada pembuatan tempe, yaitu proses pemecahan kulit kedelai, dimana kecambah kedelai tidak hanya terpisahkan dari kulitnya, namun juga terpisah dari radikulanya. Penampakan kecambah kedelai yang paling tepat adalah kecambah pada waktu germinasi 28 jam, yaitu kecambah kedelai dengan panjang radikula sekitar 0.5-1 cm. Pada germinasi 16 jam, terlihat masih sebagian kecil kedelai yang sudah mulai berkecambah dengan panjang rata-rata dibawah 0.5 cm. Pada germinasi 40 dan 52 jam, penampakan kecambah kedelai terlihat terlalu panjang, secara berurutan yaitu diatas 1.5 cm dan diatas 2 cm.

Waktu geminasi mempengaruhi rendemen dan panjang dari kecambah. Hasil penelitian Quinhone dan Ida (2015) menyebutkan beberapa rendemen kecambah pada masing-masing waktu, yaitu 492.2 % (120 jam), 547.3 % (144 jam), dan 632.4 % (168 jam). Panjang kecambah kedelai meningkat empat kali lipat diantara waktu germinasi 48 jam (4.72 ± 0.46 cm) dan 120 jam (18.79 ± 0.49 cm), dan mulai panjangnya mulai stabil setelah germinasi 168 jam (21.01 ± 2.57 cm) (Quinhone dan Ida 2015). Secara fisik, tampak jelas bahwa terjadi pemanjangan (elongasi) calon akar yang perlahan-lahan dengan semakin lamanya waktu germinasi. Huang et al. (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa persentase elongasi dari calon akar selama waktu germinasi 2, 3, 4, dan 5 hari yaitu 177%, 80%, 55% dan 21%. Data tersebut mengindikasikan bahwa kemampuan elongasi kedelai akan menurun pada waktu germinasi yang semakin lama. Periode waktu germinasi untuk elongasi yang paling efektif adalah 1-3 hari (Huang et al. 2014).

Tabel 1 Penampakan fisik kecambah pada beberapa waktu pengecambahan

Waktu 16 jam 28 jam 40 jam 52 jam

Gambar

Karakteristik Fisik Tempe

(25)

analisis tekstur kekerasan, diketahui bahwa tempe A tidak berbeda nyata dengan tempe B (Tabel 2).

Gambar 5 Penampakan sampel tempe A (atas) dan tempe B (bawah)

Tempe A memiliki kadar air yang signifikan lebih tinggi dari tempe B (p<0.05). Kadar air tempe A dan tempe B yaitu 61.90 % bb dan 59.54 % bb. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh perbedaan bahan baku, yaitu kecambah kedelai dan kedelai tanpa perkecambahan. Hasil penelitian Shi et al (2010) yang menunjukkan bahwa kadar air kedelai meningkat dari 6% menjadi 57% selama 8 jam perendaman. Kadar air tersebut meningkat lagi dari 57% menjadi 82% dalam waktu perkecambahan selama 7 hari. Peningkatan kadar air mungkin disebabkan oleh adanya hidrasi kedelai. Selama perkecambahan, kedelai akan menarik air di sekitarnya untuk kebutuhan metabolisme. Kedelai kering menyerap air dengan cepat (Ojha et al 2014).

Tabel 2 Analisis fisik tempe

Parameter Jenis Tempe

Tempe A Tempe B

Rendemen (%) 119.78 ± 1.72a 147.62 ± 1.34b

Tekstur kekerasan (g force) 1857.45 ± 166.79a 2019.25 ± 172.52a

Kadar air (%) 61.90 ± 0.74 59.54 ± 0.85

Keterangan : Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan uji t.

(26)

kering yang cukup tinggi inilah yang menjadi alasan dibalik berkurangnya rendemen dari produk olahan kecambah kedelai.

Analisis Sensori Tempe

Analisis sensori yang dilakukan terhadap tempe A dan tempe B bertujuan untuk membandingkan atribut sensori dari masing-masing jenis tempe, baik dalam bentuk tempe mentah maupun tempe goreng. Atribut yang diuji pada tempe mentah yaitu atribut warna, aroma, dan tekstur, sedangkan pada tempe goreng ditambahkan juga atribut rasa. Hasil uji sensori pada atribut tempe mentah menunjukkan bahwa tempe A memiliki rata-rata nilai atribut yang lebih rendah dibandingkan tempe B, dimana secara statistik hanya atribut teksturnya saja yang berbeda nyata. Hal yang serupa juga ditunjukkan oleh hasil analisis sensori tempe goreng A dan tempe goreng B. Nilai dari semua atribut tempe goreng (warna, aroma, tekstur, dan rasa) dari kedua jenis tempe berbeda nyata, dimana nilai atribut tempe goreng A lebih rendah dibandingkan tempe goreng B.

Menurunnya nilai sensori dari tempe A dapat disebabkan oleh adanya proses perkecambahan. Penelitian yang dilakukan oleh Ojha et al. (2014) menunjukkan bahwa pada produk tofu kecambah kedelai, skor kesukaan aroma dan teksturnya secara signifikan berada dibawah skor produk tofu komersial. Perkecambahan diketahui menurunkan flavor seperti beany dan grassy ke tingkat yang minimum.

Tabel 3 Hasil uji sensori atribut tempe mentah dan tempe goreng

Atribut Sensori Tempe A Tempe B

Keterangan: Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan uji t.

Perkecambahan juga menyebabkan penurunan kadar lemak dan peningkatan kelarutan protein yang menyebabkan tekstur kekerasan tofu menurun (Ojha et al

2014). Troszyńska et al. (2006) menyebutkan di dalam penelitiannya bahwa peningkatan senyawa fenol selama perkecambahan berbanding lurus dengan penurunan kualitas sensori kecambah kacang hijau, yaitu meningkatkan bitterness

(27)

Karakteristik Fisik Tepung Tempe

Pengukuran warna tepung tempe secara objektif dilakukan dengan menggunakan chromameter dengan skala Hunter L, a, b. Hasil analisis menunjukkan bahwa tepung tempe A dan B memiliki warna kromatik merah yang sama, namun warna kromatik kuning dan tingkat kecerahannya berbeda. Tepung tempe B memiliki kecerahan dan warna kromatik kuning (+b) yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung tempe A. Pengukuran derajat putih tepung tempe dengan whiteness meter juga menunjukkan bahwa tepung tempe A lebih putih dibandingkan tepung tempe B. Derajat putih adalah tingkat keputihan yang dimiliki bahan dibandingkan dengan warna referensi standarnya (MgO). Hasil penelitian Astawan et al. (2013) menunjukkan hasil yang sama, dimana tempe yang dihasilkan dari varietas lokal Grobogan memiliki tingkat kecerahan (L) dan warna kromatik kuning (+b) yang lebih rendah dari tempe yang dihasilkan dari kedelai impor. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan warna kedelai secara genetik antara kedelai Grobogan dan kedelai impor.

Tabel 4 Analisis warna, derajat putih, aktivitas air, densitas kamba, repose angle

tepung tempe

Keterangan: Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan uji t.

Aktivitas air adalah parameter yang umum digunakan sebagai kriteria keamanan dan kualitas pangan. Semakin tinggi nilai aw maka semakin tinggi pula

(28)

perkecambahan berpengaruh nyata (p<0.05) dalam menurunkan repose angle

tepung tempe. Repose angle tepung tempe A (39.94o) didapatkan lebih rendah dibandingkan tepung tempe B (42.66o). Repose angle digunakan untuk mengetahui indeks alir suatu zat. Repose angle yang kecil nilainya menunjukkan indeks alir tepung yang makin baik. Dalam proses pengolahan di industri pangan,

repose angle yang kecil dari suatu bahan sangatlah diharapkan (Saenab et al.

2010). Repose angle dari tepung dapat digolongkan pada kategori cukup baik jika berada pada kisaran 30o-40o (Priyanto et al. 2011). Artinya tepung tempe A

memiliki sifat mengalir yang cukup baik saat pemindahan dan pencampuran bahan.

Densitas kamba merupakan massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu. Densitas kamba menyatakan keringkasan suatu bahan dalam menempati volume. Semakin besar densitas kambanya, maka semakin ringkas bahan tersebut menempati volume yang sama dengan bobot yang lebih besar. Berdasarkan pengukuran terhadap densitas kamba, diketahui bahwa densitas kamba dari tepung tempe A dan tepung tempe B adalah 0.42 g/ml dan 0.39 g/ml. Densitas kamba tepung tempe A lebih besar dibandingkan tepung tempe B (p<0.05), artinya dalam volume yang sama (1 ml), tepung tempe A dapat menempati volume tersebut lebih banyak. Penelitian Moongngarm et al. (2014) juga menunjukkan bahwa proses germinasi secara signifikan meningkatkan densitas kamba tepung beras yaitu dari 0.53-0.64 g/ml menjadi 0.65-0.69 g/ml. Peningkatan ini terjadi karena proses germinasi akan memicu sistem enzim untuk bekerja memecah molekul kompleks seperti protein, karbohidrat, dan lemak ke dalam bentuk yang lebih sederhana (Elkhalifa dan Bernhardt 2010). Hal ini menyebabkan ukuran partikel tepung tempe A menjadi lebih kecil dan lebih rapat dalam menempati suatu ruang. Tepung dengan densitas kamba yang lebih tinggi akan lebih efisien dalam penempatannya di dalam kemasan.

Karakteristik Fungsional Protein Tepung Tempe

Data pada Tabel 5 menunjukkan sifat fungsional dari masing-masing tepung tempe freeze dried. Penelitian yang dilakukan oleh Asif-Ul-Alam et al. (2014) menunjukkan bahwa tepung pisang yang dihasilkan dari pengeringan beku akan memiliki sifat fungsional yang berbeda dengan tepung pisang yang dihasikan dari pengeringan bersuhu tinggi. Perbedaan tersebut di antaranya yaitu tepung pisang

freeze dried memiliki daya buih yang lebih tinggi, namun memiliki daya serap air, daya serap lemak, dan kapasitas emulsinya lebih rendah dibandingkan tepung pisang hot air dried.

Tabel 5 Sifat fungsional protein tepung tempe

Parameter Jenis Tepung Tempe

Keterangan : Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan

(29)

Daya serap air didefinisikan sebagai kemampuan pangan untuk menahan air yang ditambahkan dan yang ada dalam bahan pangan itu sendiri selama proses perlakuan terhadap pangan. Tepung tempe A memiliki daya serap air yang secara signifikan lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan tepung B, yaitu 2.26 g air/g sampel. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya proses perkecambahan yang menyebabkan peningkatan kadar protein dan perubahan kualitas protein pada kecambah kedelai, serta pemecahan molekul-molekul polisakarida yang diketahui bersifat hidrofilik, sehingga interaksi protein dengan air dapat meningkat (Ghavidel dan Prakash 2006). Terbukanya situs atau tempat pengikatan air dari rantai samping gugus protein yang sebelumnya dihalangi oleh keberadaan lemak kemungkinan juga menjadi faktor yang menyebabkan meningkatnya daya serap air tepung tempe A (Chinma et al. 2009). Daya serap air tepung tempe A ini terbilang tinggi karena mendekati daya serap air konsentrat protein kedelai, yaitu 2.20 g air/g solid (Kinsella 1979).

Daya serap minyak adalah sifat yang dapat menunjukkan adanya interaksi suatu bahan terhadap minyak (Santoso et al. 2009). Daya serap minyak yang didapatkan dari kedua jenis tepung berbeda nyata (p<0.05). Daya serap minyak dari tepung tempe A (1.45 g minyak/g sampel) lebih tinggi dibandingkan tepung tempe B (1.25 ml minyak/g sampel). Daya serap minyak tepung tempe A dapat dikatakan baik karena berada pada kisaran daya serap konsentrat dan isolat protein kedelai, yaitu 1.33-1.54 ml minyak/g solid (Kinsella 1979). Tinggiya daya serap minyak pada tepung tempe A dapat disebabkan oleh adanya perubahan kualitas protein selama perkecambahan dan perubahan kapasitas dalam menahan globula-globula lemak akibat meningkatnya jumlah protein lipofilik (Chinma et al. 2009). Chinma et al. (2009) juga menyebutkan bahwa rendahnya kadar lemak pada kecambah mungkin juga dapat menyebabkan tepung kecambah menyerap lebih banyak minyak pada struktur proteinnya. Kemampuan protein dalam mengikat minyak membuatnya sangat berguna di dalam sistem pangan dimana proses imbibisi minyak diinginkan. Tingginya sifat daya serap minyak pada tepung tempe A akan memperkuat flavor dan mouth feel ketika tepung digunakan dalam preparasi suatu makanan (Appiah et al. 2011).

Pada sampel tepung tempe dalam penelitian ini, lemak yang terkandung di dalamnya dibiarkan tetap ada, tanpa adanya proses ekstraksi. Penelitian mengenai sifat fungsional protein biasanya menggunakan sampel konsentrat atau isolat protein, sehingga daya buih dan kapasitas emulsi yang dihasilkan sangat tinggi. Hal ini karena interaksi antara protein dan lemak akan mengakibatkan reduksi pada stabilitas konformasi dan sifat hidrofilik dari protein, dimana keduanya merupakan faktor penting dalam pembentukan emulsi dan kestabilan buih (Makri

et al. 2005). Pada sifat fungsional protein, kelarutan protein merupakan faktor yang paling kritis dalam menentukan beberapa sifat, yaitu emulsifikasi dan pembuihan. Hasil penelitian Elkhalifa dan Bernhardt (2010) melaporkan bahwa rata-rata sampel yang dikecambahkan memiliki kelarutan protein terendah pada pH 4, yang merupakan titik isoelektrik. Protein sampel yang bergerminasi memiliki kelarutan yang lebih baik pada pH 4. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingginya aktivitas proteolitik selama proses germinasi (Elkhalifa dan Bernhardt 2010).

(30)

sel-sel udara yang dipisahkan oleh suatu lapisan likuid tipis yang kontinyu, disebut dengan fase lamelar. Buih diproduksi ketika udara diinjeksikan ke dalam likuid dan terperangkap dalam bentuk gelembung udara. Daya buih suatu bahan pangan dipengaruhi oleh kemampuan protein dalam menurunkan tegangan permukaan.

Gambar 6 Stabilitas buih tepung tempe

Gambar 7 Stabilitas emulsi tepung tempe

Tabel 5 menunjukkan bahwa daya buih kedua jenis tepung tidak berbeda nyata (p>0.05). Stabilitas buih dapat diamati pada Gambar 6. Tepung tempe A terlihat lebih cepat mengalami penurunan kapasitas buih dibandingkan tepung tempe B, yang artinya memiliki stabilitas buih yang lebih rendah. Hasil ini serupa dengan yang didapatkan oleh Ghavidel dan Prakash (2006), bahwa germinasi meningkatkan daya buih namun menurunkan stabilitasnya. Germinasi mungkin menyebabkan denaturasi permukaan protein dan menurunkan tegangan permukaan molekul-molekul yang berkontribusi dalam pembentukan buih. Germinasi juga menyebabkan perubahan konformasi protein yang kemungkinan mempengaruhi stabilitas buih dari tepung polong-polongan (Ghavidel dan Prakash

(31)

2006). Bila dibandingkan dengan daya buih isolat proterin kedelai (84 %), kedua jenis tepung tempe memiliki daya buih yang sangat rendah (Okezia dan Bello 1988).

Kapasitas emulsi berhubungan dengan kemampuan protein untuk menurunkan tegangan permukaan antara kedua fase (tegangan interfasial) sehinga mempermudah terbentuknya emulsi. Kapasitas emulsi tepung tempe A (11.42 ± 2.70 %) diketahui secara signifikan lebih tinggi (p<0.05) dari tepung tempe B (5.76 ± 1.80 %). Tingginya kapasitas emulsi suatu tepung disebabkan oleh tingginya interaksi antara protein dan lemak (Chinma et al. 2009). Proses perkecambahan kemungkinan menyebabkan terdisosiasi dan terbukanya struktur parsial polipeptida-polipeptida, sehingga sisi hidrofobik asam amino menjadi terbuka. Hal ini akan membantu di dalam pengikatan hidrofobik rantai peptida dengan droplet lemak. Pada akhirnya proses tersebut akan meningkatkan volume atau memperluas area permukaan protein dan juga meningkatkan kapasitas emulsi (Elkhalifa dan Bernhardt 2010). Konversi bentuk oligomer protein menjadi bentuk sederhananya dan/atau sintesis protein baru selama germinasi juga dilaporkan dapat meningkatkan jumlah protein terlarut (Ghavidel dan Prakash 2006). Protein terlarut memiliki sifat surfaktan yang lebih baik, yang dikenal sebagai pemicu emulsi oil-in-water.

Gambar 7 menunjukkan kurva stabilitas emulsi kedua jenis tepung tempe. Terlihat bahwa emulsi dari tepung tempe A lebih stabil terhadap waktu dibandingkan tepung tempe B. Hal ini karena perkecambahan juga meningkatkan stabilitas emulsi sebesar 5-7 % (Ghavidel dan Prakash 2006). Proses pengupasan kulit ari pada pembuatan tempe juga ikut meningkatkan kapasitas dan stabilitas emulsi tepung, dikarenakan meningkatnya kadar protein dan jumlah protein terlarut (Ghavidel dan Prakash 2006). Hasil perbandingan tepung tempe A terhadap kapasitas emulsi isolat protein kedelai (lebih dari 70%) menunjukkan bahwa tepung tempe A tidak memiliki sifat emulsi yang baik untuk diaplikasikan pada produk-produk pangan emulsi (Budijanto et al. 2011).

Komposisi Kimia

Kedua jenis tempe dikeringkan dengan metode pengeringan beku menggunakan alat freeze dryer untuk memudahkan tahap analisis kimia. Rendemen hasil pengeringan beku tempe A dan tempe B yaitu 37.54 % dan 40.03 %. Jika dibandingkan dengan kadar air tempe A dan tempe B yang didapatkan dengan metode pengeringan oven, maka terlihat bahwa lebih banyak jumlah air yang berkurang dari sampel yang dikeringkan dengan metode pengeringan beku. Perbedaan rendemen dry matter ini mungkin dapat disebabkan oleh kemampuan yang lebih baik dari alat freeze dryer dalam mengurangi jumlah air dalam matriks bahan pangan.

(32)

karbohidrat selama perkecambahan kedelai sebagai sumber energi untuk pertumbuhan embrionik. Degradasi lemak dan karbohidrat selama germinasi merupakan proses dimana tujuan esensialnya adalah penyediaan energi yang dibutuhkan untuk sintesis protein baru, sehingga dapat dikatakan bahwa germinasi memiliki efek yang menguntungkan dari sisi zat gizi makronya meskipun perubahannya tidak begitu besar (Shi et al 2010). Perubahan komposisi proksimat tidak hanya disebabkan oleh germinasi, tetapi juga proses fermentasi. Proses fermentasi bahan padat (solid state fermentation) diketahui dapat meningkatkan kadar protein (21.7 %) dan menurunkan kadar lemak (38.42 %), abu (42.7 %) dan karbohidrat (3.5 %).

Tabel 6 Analisis proksimat, vitamin E, total isoflavon, dan kapasitas antioksidan tepung tempe

Total isoflavon (mg/100 g bk) 81.75 53.08

Kapasitas antioksidan (mg AEAC/100 g tempe bk)

24.97 ± 0.01b 15.75 ± 0.01a

Keterangan: Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan uji t.

Peningkatan kadar protein disebabkan oleh penurunan kadar komponen lain, yang disebabkan hilangnya senyawa-senyawa terlarut ketika proses perebusan atau dikonsumsinya senyawa-senyawa non protein oleh kapang untuk pertumbuhannya (Reyes-Bastidas et al. 2010). Tabel 7 menunjukkan perbandingan hasil analisis proksimat tepung tempe kecambah kedelai Grobogan dengan tepung tempe Grobogan (Aminta 2014).

Tabel 7 Perbandingan hasil analisis proksimat tepung tempe kecambah kedelai Grobogan dengan tepung tempe Grobogan

(33)

lebih tinggi dibandingkan tepung tempe B, yaitu 24.97 mg AEAC/100 g tempe bk dan 15.75 mg AEAC/100 g tempe bk. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa pada sampel kacang hijau, kapasitas antioksidannya meningkat maksimum hingga 486 % setelah 5 hari perkecambahan (Huang et al. 2014). Tingginya kapasitas antioksidan tempe A disebabkan selama proses germinasi, terjadi peningkatan senyawa fenol dan vitamin E (Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos 2010; Plaza et al. 2003). Senyawa fenol (isoflavon) dan vitamin E (α-tokoferol) merupakan senyawa fitokimia pada kedelai yang memiliki aktivitas biologis (Astawan 2013). Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos (2010) menyebutkan bahwa kedelai mengalami peningkatan senyawa fenol sebesar 201% setelah perkecambahan selama 7 hari. Senyawa fenol yang dihasilkan tidak hanya terjadi saat proses perkecambahan, namun juga pada proses fermentasi menjadi tempe. Reyes-Bastidas et al. (2010) juga melaporkan bahwa kandungan senyawa fenol meningkat sebesar 9.13 % setelah perkecambahan. Peningkatan senyawa fenol

disebabkan oleh enzim -glukosidase kapang yang mengkatalis pelepasan aglikon dari substrat biji-bijian. Dugaan adanya peningkatan senyawa fenol dibuktikan dengan hasil analisis total isoflavon kedua jenis sampel. Total isoflavon tepung tempe A (81.75 mg/100 g bk) diketahui lebih tinggi dari tepung tempe B (53.08 mg/100 g bk). Hasil dari total isoflavon diukur berdasarkan jumlah konsentrasi aglikon dan jumlah konsentrasi aglikon equivalen terhadap glukosida. Selama proses perkecambahan dan fementasi menjadi tempe, terjadinya peningkatan kadar aglikon dan penurunan glukosida. Hasil penelitian Huang et al. (2014) menyebutkan bahwa kadar aglikon kedelai meningkat 84% dalam satu hari germinasi dibandingkan dengan sebelum dikecambahkan. Kadar aglikon tertinggi ditemukan setelah germinasi selama 3 hari, yaitu meningkat 147%. Paucar-Menacho et al. (2010) mengindikasikan bahwa peningkatan aglikon dan penurunan glukosida pada kecambah kedelai disebabkan oleh hidrolisis enzim glukosidase selama perendaman dan germinasi. Enzim glukosidase ini aktif selama germinasi dan mengkatalis terbentuknya aglikon.

Tepung tempe A memiliki kadar vitamin E (5.08 mg/100 g bk) yang lebih tinggi dari tepung tempe B (4.70 mg/100 g bk). Tingginya vitamin E pada tepung tempe A disebabkan oleh adanya proses perkecambahan kedelai. Vitamin E, berdasarkan pada bentuk α-tokoferol, terdapat sangat sedikit pada biji-bijian. Penelitian Plaza et al. 2003 menyebutkan bahwa perkecambahan meningkatkan kadar vitamin E sebanyak 6 kali lipat pada kedelai, yaitu dari 0.89 mg/kg bk menjadi 5.91 mg/kg bk. Selama proses perkecambahan, terjadi perubahan komposisi tokoferol, dimana α-tokoferol dan -tokoferol meningkat, sedangkan kadar -tokoferol menurun. Perubahan ini menunjukkan bahwa biosintesis beberapa isomer vitamin E membutuhkan proses degradasi terhadap bentuk isomer lainnya. Hasil observasi membuktikan terjadi korelasi yang negatif antara kadar α-tokoferol dan -tokoferol, dimana peningkatan α-tokoferol diiringi dengan penurunan -tokoferol selama proses germinasi (ZielinskidanKozlowska 2003).

(34)

mineral lainnya, seperti Mg dan Ca tidak mengalami perubahan yang signifikan. Hasil penelitian Ozcan dan Juhaimi (2014) mengatakan hal yang sedikit berbeda, bahwa umumnya kadar mineral Ca, Mg, dan P ditemukan lebih tinggi dibandingkan kedelai mentah. Perubahan ini kemungkinan merupakan akibat dari meningkatnya proporsi senyawa anorganik dan menurunnya senyawa organik selama proses germinasi, sehingga konsentrasi mineral-mineral pada kecambah meningkat. Tinginya kandungan mineral pada tepung tempe A membuatnya bermanfaat untuk kesehatan, diantaranya yaitu dalam pembentukan tulang, pencegahan penyakit anemia, dan sebagai kofaktor enzim dalam mekanisme antioksidan.

Tabel 8 Kandungan mineral tepung tempe A dan tepung tempe B

Mineral (mg/100 g bk) Jenis Tepung Tempe

Tempe A Tempe B

Keterangan: Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan uji t.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan analisis terhadap kedua jenis tempe, diketahui bahwa tempe kecambah kedelai memiliki tekstur kekerasan yang tidak berbeda nyata. Analisis sensori tempe mentah A dan B menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada atribut warna dan aroma, tetapi berbeda nyata pada atribut tekstur. Perbedaan yang signifikan antara tempe A dan B juga terlihat pada hasil uji sensori kedua jenis tempe setelah digoreng. Tempe goreng A dan B berbeda nyata untuk seluruh atribut sensorinya, yaitu warna, aroma, tekstur dan rasa.

Analisis terhadap sifat kimia tepung tempe menunjukkan bahwa perlakuan perkecambahan pada kedelai dapat meningkatkan kualitas dari tepung tempe kecambah kedelai, diantaranya yaitu meningkatkan kadar protein (53.37 ± 1.39 % bk), total isoflavon (81.75 mg/100 g bk), kadar vitamin E (5.08 mg/100 g bk), kapasitas antioksidan (24.97 ± 0.01 mg AEAC/100 g tempe bk) dan kadar mineral (Ca, P, Fe, Zn) tepung tempe yang dihasilkannya. Selama germinasi, terjadi proses pembentukan senyawa fenol (isoflavon aglikon) dan α-tokoferol yang berperan sebagai antioksidan. Lemak dan karbohidrat digunakan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan kecambah dan pembentukan protein baru, sehingga menyebabkan peningkatan kadar protein pada kecambah kedelai.

(35)

partikel yang lebih kecil akan menurunkan daya absorpsi air dari udara dan meningkatkan keringkasan bahan dalam menempati suatu volume. Berdasarkan analisis terhadap sifat fisik, diketahui bahwa tepung tempe kecambah kedelai memiliki aktivitas air (aw) yang lebih rendah (0.63 ± 0.01), repose angle yang

lebih kecil (39.94 ± 1.48o) dan densitas kamba yang lebih besar (0.42 ± 0.01 g/ml)

dibandingkan tepung tempe biasa, dimana sifat-sifat ini akan menguntungkan dalam penggunaannya di industri pangan.

Analisis terhadap sifat fungsional protein tepung menunjukkan bahwa tepung tempe kecambah kedelai unggul pada daya serap air (2.26 ± 0.06 g air/g sampel) dan daya serap lemak (1.45 ± 0.04 ml minyak/g sampel). Hal ini karena perkecambahan menyebabkan perubahan konformasi protein, peningkatan jumlah protein terlarut, serta terbukanya situs hidrofobik asam amino dan situs pengikatan air (hidrofilik) dari rantai samping gugus protein.

Saran

Perlu studi lebih lanjut mengenai aplikasi tepung tempe kecambah kedelai pada berbagai produk pangan untuk meningkatkan nilai gizi dari suatu produk pangan.

DAFTAR PUSTAKA

Adeleke RO, Odedeji JO. 2010. Functional properties of wheat and sweet potato flour blends. Pak J Nutr. 9(6): 535-538. doi: 10.3923/pjn.2010.535.538. Aminta M. 2014. Pengaruh jenis kedelai, natrium metabisulfit, dan asam askorbat

terhadap karakteristik fisikokimia, fungsional, dan organoleptik tepung tempe[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Anton AA, Luciano FB. 2007. Instrumental texture evaluation of extruded snack foods: A riview. J Cienc Technol Aliment. 5(4): 245-251.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 2002. Official Method of Analysis. Association of Official Analytical Chemistry 17th Edition. Gaithersburg (US): AOAC.

______ Association of Official Analytical Chemistry. 2007. Official Method of Analysis. Association of Official Analytical Chemistry 18th Edition. Gaithersburg (US): AOAC.

(36)

Astawan M. 2008. Khasiat Warna-Warni Makanan. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.

Astawan M. 2013. Soy story. Food Review. 8(10): 46-51.

Astawan M, Wresdiyati T, Widowati S, Bintari SH, Ichsani N. 2013. Karakteristik fisikokimia dan sifat fungsional tempe yang dihasilkan dari berbagai varietas kedelai. J Pangan. 22 (3): 241-252.

Bakar MFA, Mohamed M, Rahmat A, Fry J. 2009. Phytochemicals and antioxidant activity of different parts of bambangan (Mangifera pajang) and tarap (Artocarpus odoratissimus). Food Chem. 113: 479-483. doi:10.1016/j.foodchem.2008.07.081.

Budijanto S, Sitanggang AB, Murdiati W. 2011. Karakterisasi sifat fisiko-kimia

dan fungsional isolat protein biji kecipir (Psophocarpus tetragonolobus

L.). J Teknol dan Industri Pangan. 22 (2): 130-136.

Carpenter RP, Lyon DH, Hasdell TA. 2000. Guidelines for Sensory Analysis in Food Product Development and Quality Control. Gaithersburg (US): Aspen Publishers, Inc.

Cevallos-Casals B, Cisneros-Zevallos L. 2010. Impact of germination on phenolic content and antioxidant activity of 13 edible seed species. FoodChem. 119 (4): 1485–1490. doi: 10.1016/j.foodchem.2009.09.030.

Chinma CE, Adewuyi O, Abu JO. 2009. Effect of germination on the chemical, functional and pasting properties of flour from brown and yellow varieties of tigernut (Cyperus esculentus). Food Res Int. 42:1004-1009. doi: 10.1016/j.foodres.2009.04.024.

Collison MW. 2008. Determination of Total Soy Isoflavones in Dietary Supplements, Supplement Ingredients, and Soy Foods by High-Performance Liquid Chromatography with Ultraviolet Detection: Collaborative Study. J AOAC Int. 91(3): 489–500.

Elkhalifa AEO, Bernhardt R. 2010. Influence of grain germination on functional properties of sorghum flour. Food Chem. 121: 387–392. doi:10.1016/j.foodchem.2009.12.041.

Fayed SA. 2009. Antioxidant and Anticancer Activities of Citrus reticulate

(Petitgrain Mandarin) and Pelargonium graveolens (Geranium) Essential Oils. Res J Agric Biol Sci. 5(5): 740-747.

Franzen KL, Kinsella JE. 1976. Functional Properties of Succinylated and Acetylated Soy Protein. J Agric Food Chem. 24: 788-795. doi: 10.1021/jf60206a036.

Ghavidel RA, Prakash J. 2010. Effect of germination and dehulling on functional properties of legume flours. J Sci Food Agric. 86:1189–1195. doi: 10.1002/jsfa.2460.

Hartoyo A, Sunandar FH. 2006. Pemanfaatan tepung komposit ubi jalar putih (Ipomoea batatas L), kecambah kedelai (Glycine max Merr.) dan kecambah biji hijau (Virginia radiata L) sebagai substituen parsial terigu dalam produk pangan alternatif biskuit kaya energi protein. J Teknol dan Industri Pangan. 17(1): 50-57.

(37)

Huda N, Santana P, Abdullah R, Yang TA. 2012. Effect of different dryoprotectant on funtio-nal properties of thredfin bream surimi powder. J Fish Aquat Sci. 7(3): 215-223. doi: 10.3923/jfas.2012.215.223.

[Kementan] Kementerian Pertanian. 2014. Pusat data dan sistem informasi pertanian. Bul Konsumsi Pangan. 5(2): 13-14.

Kinsella JE. 1979. Functional properties of soy protein. J Am Oil Chem Soc. 56: 242-257. doi: 10.1007/BF02671468.

Kumar KS, Ganesan K, Selvaraj K, Subba Rao PV. 2014. Studies on the functional properties of protein concentrate of Kappaphycus alvarezii

(Doty) Doty – An edible seaweed. Food Chem. 153: 353-360. doi: 10.1016/j.foodchem.2013.12.058.

Liang J, Han BZ, Nout MJ, Robert HJ. 2008. Effect of soaking, germination and fermentation on phytic acid, total, and in vitro soluble zinc in brown rice.

Food Chem. 110: 821-823. doi:10.1016/j.foodchem.2008.02.064.

Makri E, Papalamprou E, Doxastakis G. 2005. Study of functional properties of seed storage proteins from indigenous European legume crops (lupin, pea, broad bean) in admixture with polysaccharides. Food Hydrocol.19(3): 583–594. doi:10.1016/j.foodhyd.2004.10.028.

Moongngarm A, Moontree TS, Deedpinrum P, Padtong K. 2014. Functional properties of brown rice flour as affected by germination. APCBEE Procedia. 8: 41 – 46. doi:10.1016/j.apcbee.2014.01.077.

Mugendi JB, Njagi EM, Kuria EN, Mwasaru MA, Mureithi JG, and Apostolides Z. 2010. Nutritional quality and physicochemical properties of mucuna bean (Mucuna pruriens L.) protein isolates. Int Food Res J.17(1): 357-366. Mwikya SM, Camp JV, Rodrignuez R, Huyghebaert. 2001. Effects of sprouting

on nutrient and antinutrient composition of kidney beans (Phaseolus vulgaris var. Rose coco). Eur Food Res Technol. 212 :188–191. doi: some physico-chemical properties and mineral contents of soybean seed

and oils. Food Chemi. 154: 337–342. doi:

10.1016/j.foodchem.2013.12.077.

Paucar-Menacho LM, Berhow MA, Mandarino J.M, Mejia EG, Chang YK. 2010. Optimisation of germination time and temperature on the concentration of bioactive compounds in Brazilian soybean cultivar BRS 133 using response surface methodology. Food Chem. 119: 636–642. doi:10.1016/j.foodchem.2009.07.011.

(38)

Res Technol. 216:138-144.

Priyanto G, Yudhia, Hamzah B. 2011. Perubahan sifat fisik dan aktivitas antioksidan tepung rempah selama pengeringan. Prosiding Seminar Nasional Perteta 2011. Jember, Indonesia. Jember (ID): Jember University Press-kerjasama dengan Perteta cabang Jember. hlm 233-242.

Quinhone A, Ida EI. 2015. Profile of the contents of different forms of soybean isoflavones and the effect of germination time on these compounds and the physical parameters in soybean sprouts. Food Chem. 166: 173-178. doi: 10.1016/j.foodchem.2014.06.012.

Reyes-Bastidas M, Reyes-Ferna’ndez, Lo´pez-Cervantes, Mila´n-Carrillo J, Loarca-Pin GF, Reyes-Moreno C. 2010. Physicochemical, nutritional and antioxidant properties of tempe flour from common bean (Phaseolus

vulgaris L.). Food Sci Tech Int. 16(5):427–428. doi:

10.1177/1082013210367559.

Saenab A, Laconi EB, Retnani Y, Mas’ud MS. β010. Evaluasi kualitas pelet

ransum komplit yang mengandung prouduk samping udang. JITV.

15(1):31-39.

Santoso J, Hendra E, Siregar TM. 2009. Pengaruh substitusi susu skim dengan konsentrat protein ikan nila hitam (Oreochromis niloticus) terhadap karekteristik fisiko-kimia makanan bayi. J Ilmu dan Teknologi Pangan.

7(1):87-107.

Shi H, Nam PK, Ma Y. 2010. Comprehensive Profiling of Isoflavones, Phytosterols, Tocopherols, Minerals, Crude Protein, Lipid, and Sugar during Soybean (Glycine max) Germination. J Agric Food Chem. 58 (8): 4970–4976. doi: 10.1021/jf100335j.

Tjokrodirjo HS. 1985. Teknis Bercocok Tanam Tebu. Yogyakarta (ID): Lembaga Pendidikan Perkebunan.

Troszyńska A, Wołejszo A, Narolewska O. 2006. Effect of germination time on the content of phenolic compounds and sensory quality of mung bean (Vigma radiata L.) sprouts. Pol J Food Nutr Sci. 15(4): 453-459.

Zielinski H, Kozlowska H. 2003. The content of tocopherols in cruciferae sprouts.

(39)

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil statistik rendemen tempe, rendemen tempe kering, dan tekstur kekerasan menggunakan independent-samples t test

Data pada tabel independent samples test menunjukkan bahwa rendemen tempe berbeda sangat nyata (p<0.01) sedangkan rendemen tempe kering tidak berbeda nyata (p>0.05).

(40)

Lampiran 2 Hasil statistik warna, densitas kamba, aktivitas air, dan derajat putih tepung tempe menggunakan independent-samples t test

Data pada tabel independent samples test menunjukkan bahwa indikator L (Lightness) dan b berbeda sangat nyata (p<0.01), sedangkan indikator a tidak berbeda nyata (p>0.05).

(41)

Lampiran 3 Hasil statistik repose angle, daya serap air, daya serap minyak, dan daya buih tepung tempe menggunakan tepung tempe menggunakan

independent-samples t test

Data pada tabel independent samples test menunjukkan bahwa sudut curah kedua sampel tepung tempe berbeda sangat nyata (p<0.01).

(42)

Lampiran 4 Hasil statistik kapasitas emulsi dan komposisi proksimat tepung tempe menggunakan independent-samples t test

Data pada tabel independent samples test menunjukkan bahwa kapasitas emulsi kedua sampel berbeda sangat nyata (p<0.01).

(43)

Lampiran 5 Hasil statistik kapasitas antioksidan dan analisis mineral tepung tempe menggunakan independent-samples t test

Data pada tabel independent samples test menunjukkan bahwa kapasitas antioksidan kedua sampel berbeda sangat nyata (p<0.01).

(44)

Lampiran 6 Hasil statistik uji rating hedonik tempe mentah dan tempe goreng menggunkan independent-samples t test

Data pada tabel independent samples test menunjukkan bahwa atribut tekstur kedua sampel tempe mentah berbeda nyata (p<0.05), sedangkan atribut warna dan aroma tidak berbeda nyata (p>0.05).

(45)

Lampiran 7 Standar askorbat dalam uji DPPH tempe

[Asamaskorbat]

(ppm) Absorbansi

0 0,778

50 0,708

100 0,643

150 0,585

200 0,531

y = -0,0012x + 0,7724 R² = 0,9971

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9

0 50 100 150 200 250

A

b

sor

b

an

si

Konasentrasi (ppm)

(46)

BIODATA PENULIS

Muhammad Ichsan lahir di Jakarta, 30 September 1994 dari pasangan Zaldi dan Krisna Sukarjati sebagai anak kedua dari dua bersaudara. Penulis menamatkan pedidikan jenjang SD di SDN Gunung 04 Petang, Jakarta (2005), jenjang SMP di SMPN 110 Jakarta (2008), jenjang SMA di SMAN 90 Jakarta (2011), dan jenjang S1 di Institut Pertanian Bogor (2015) pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.

Gambar

Gambar 1 Diagram alir penelitian
Gambar 2 Diagram alir produksi kecambah kedelai
Gambar 3 Diagram alir proses pembuatan tempe
Tabel 2 Analisis fisik tempe
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan isolat protein kedelai, isolat protein susu, pati jagung, pati kentang, guar gum, dan xanthan gum memiliki karakteristik fisikokimia

14 Perbandingan karakteristik dan efisiensi dari tanaman kedelai dan tanaman Bauhinia purpurea menunjukkan hasil yang mendukung hipotesa peneliti yaitu biji

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui pengaruh konsentrasi ragi dan lama fermentasi jagung terhadap sifat fisikokimia MP-ASI yang difortifikasi dengan tepung tempe

Dalam penelitian ini dilakukan analisa untuk menunjukkan sifat fisikokimia dari surimi meliputi kadar protein, water holding capacity, gelasi, kapasitas emulsi,

PENGARUH LAMA FERMENTASI Rhizopus oligosporus TERHADAP KADAR OLIGOSAKARIDA DAN SIFAT.. SENSORIK TEPUNG TEMPE KEDELAI

2 Desember 2022 ini menyajikan 5 (lima) karya tulis ilmiah yang merupakan hasil litbang, yaitu: (1) Pengaruh Formulasi Tepung Kimpul Pragelatinisasi dan Isolat Protein

Pemberian variasi tepung tempe dan tepung kedelai pada usar, menunjukkan nilai biomassa 14,5 gram dan nilai kadar air 65,25 gram, serta kenampakan tempe yang sama,

Biji kedelai varietas Malabar memiliki kandungan kadar protein paling tinggi dibanding ketiga varietas lainnya sehingga tempe yang dihasilkan dari varietas tersebut