• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isolasi DNA dari Daun, Bunga, dan Buah Kelapa Sawit

Isolasi DNA dalam penelitian ini dilakukan menggunakan metode Orozco-Castillo yang sudah dimodifikasi. Metode ini banyak digunakan untuk isolasi DNA

tanaman karena mudah dan kemungkinan adanya enzim pendegradasi DNA lebih kecil dibanding dengan metode yang lain (Rogers & Bendich 1994). Isolasi dari organisme eukariot biasanya dilakukan melalui proses penghancuran sel (lysis), pemusnahan protein dan RNA, serta pemurnian DNA.

Metode isolasi diawali dengan penggerusan untuk membantu memecahkan dinding sel secara mekanik. Penambahan PVPP saat penggerusan dan merkaptoetanol dalam bufer ekstraksi bertujuan menghambat enzim polifenol oksidase yang dapat mendegradasi rantai DNA dan menyebabkan teroksidasinya senyawa fenol. Terjadinya oksidasi ditandai dengan terbentuknya warna coklat pada jaringan tanaman yang akan diisolasi. Penambahan nitrogen cair saat penggerusan juga dapat mencegah terjadinya oksidasi dan kerusakan DNA.

Campuran dalam bufer ekstraksi Castillo memiliki fungsi berbeda-beda. Suatu detergen kationik yang terdapat dalam bufer ekstraksi yaitu CTAB berfungsi membantu proses pemecahan membran sel. Bufer ekstraksi perlu dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 65°C , karena CTAB yang berkemampuan melisis membran sel akan aktif pada kondisi panas (65°C). Larutan deterjen berfungsi menurunkan tegangan permukaan cairan dan melarutkan lipid sehingga membran sel mengalami degradasi, dan organel-organel di dalamnya dapat keluar dari sel. Isolasi DNA dari tanaman sering menghasilkan ekstrak yang banyak mengandung polisakarida. Penambahan CTAB yang bermuatan positif pada bufer ekstrak juga berfungsi untuk memisahkan polisakarida dari DNA dengan cara mengikat DNA yang bermuatan negatif. Penghancuran sel secara kimiawi dapat dilakukan dengan memanfaatkan senyawa kimia EDTA (etilendiamin tetraasetat). Fungsi EDTA adalah sebagai perusak sel dengan cara mengikat ion magnesium sebagai prekursor enzim sehingga enzim menjadi tidak aktif. Larutan NaCl sebagai larutan isotonik yang menjaga tekanan osmotik sel agar DNA tidak rusak. Larutan tris-HCl untuk memberikan kondisi pH yang optimum.

DNA yang tercampur dengan polisakarida, protein, dan pengotor lainnya perlu dibersihkan. Pembersihan DNA dilakukan dengan ekstraksi menggunakan larutan CI dan sentrifugasi. Larutan kloroform dapat menghilangkan kontaminasi akibat polisakarida sedangkan sentrifugasi akan memisahkan molekul-molekul berdasarkan bobot molekulnya. Larutan CI sebagai pelarut

9

organik dapat menghancurkan dan mengendapkan protein. Ekstraksi yang dilakukan berulang-ulang bertujuan agar DNA benar-benar terbebas dari pengotor. Ekstraksi dengan cara bertahap juga merupakan cara ekstraksi yang terbaik karena akan menghasilkan jumlah ekstrak yang lebih banyak dibandingkan ekstraksi secara langsung. Perbedaan kelarutan akan mengakibatkan organel-organel kecil dan pengotor terekstrak, sedangkan inti sel atau

nucleus diasumsikan tidak ikut terekstrak

sebab memiliki ukuran yang besar sehingga di dalam larutan hanya terdapat inti sel yang mengandung DNA.

Hasil larutan yang disentrifugasi akan menghasilkan campuran larutan yang terpisah menjadi tiga fase. Larutan CI memiliki densitas yang tinggi sehingga terletak di bagian bawah (fase organik) tabung sentrifus. Bagian tengah larutan terdapat protein yang dilarutkan oleh larutan CI. Larutan DNA yang terletak di bagian atas (fase air) dipipet dengan hati-hati agar bagian proteinnya tidak ikut terambil. Larutan DNA yang diambil dimasukkan dalam tabung sentrifus baru dan diekstraksi kembali dengan larutan CI.

Pemurnian DNA dilakukan dengan etanol dan isopropanol. Larutan-larutan tersebut dapat mengendapkan DNA sedangkan kontaminan yang lain tetap larut (Sambrook 1989). Penambahan Na-asetat berfungsi untuk membantu memekatkan dan mengendapkan DNA. Pencucian endapan DNA dengan etanol 70% bertujuan memisahkan senyawa-senyawa yang masih menempel pada DNA. DNA akan lebih stabil dalam bentuk larutan oleh karena itu DNA yang diperoleh dilarutkan dalam MW. Pemurnian DNA dari kontaminan RNA dilakukan menggunakan enzim RNAse yang berfungsi mendegradasi RNA sehingga dihasilkan DNA murni yang terbebas dari RNA dan siap digunakan sebagai cetakan DNA saat PCR.

Konsentrasi DNA diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm. Ikatan rangkap terkonjugasi pada basa heterosiklik purin dan pirimidin menjadikan nukleosida, nukleotida, serta polinukleotida menyerap sinar UV (Murray 2003). Tabel 1 menunjukkan konsentrasi DNA hasil isolasi dan tingkat kemurniannya dari kontaminasi. Hasil elektroforesis DNA yang diisolasi (Gambar 5) menunjukkan bahwa konsentrasi DNA yang berhasil diisolasi tinggi, ditunjukkan oleh tebalnya pita DNA yang dihasilkan. Pita DNA hasil elektroforesis yang semakin tebal belum tentu

berbanding lurus dengan tingginya konsentrasi DNA. Kontaminasi senyawa polisakarida dan protein dapat mempengaruhi ketebalan pita, sehingga perlu dilakukan pengukuran kemurnian DNA terhadap senyawa kontaminan tersebut dengan spektrofotometer.Tingkat kemurnian DNA dapat dilihat dari perbandingan absorbansi panjang gelombang 260/280 nm (rasio F1) dan 260/230 nm (rasio F2). Rasio F1 menunjukkan tingkat kemurnian terhadap kontaminan protein dan rasio F2 menunjukkan tingkat kemurnian akibat kontaminan polisakarida. Nilai rasio yang baik berkisar pada 1.8-2.0 (Sambrook 1989).

Tabel 1 Data hasil spektrofotometer larutan DNA sampel Sampel* A260 [DNA] (µg/ml) 260/280 (rasio F1) 260/230 (rasio F2) DN 0.164 820 1.843 1.908 Dab 0.173 865 1.687 1.347 BN 0.236 1180 1.867 1.870 BAb 0.259 1295 1.847 1.828 FN 0.160 800 1.855 1.889 FAb 0.179 895 1.845 1.513 *Keterangan sampel; DN: daun normal, Dab: daun abnormal, BN: buah normal, BAb: buah abnormal, FN: buah normal, FAb: buah abnormal.

1 2 3 4 M 5 6

Gambar 5 Hasil elektroforesis larutan DNA sampel.

Amplifikasi DNA Hasil Isolasi dengan Primer Acak

Konsentrasi cetakan DNA yang akan diamplifikasi disamakan konsentrasinya menjadi 100 ng/μl. Tingginya konsentrasi cetakan DNA yang digunakan dalam PCR akan menghasilkan amplifikasi DNA yang kurang baik. Cetakan DNA yang terlalu banyak kemungkinan menyulitkan primer yang digunakan untuk menempel. Sebaliknya

Keterangan gambar: (1) DN (2) Dab (3) BN (4) BAb (5) FN (6) FAb (M) Marker 1 kb +

10

jika konsentrasi cetakan DNA terlalu rendah maka akan terjadi kompetisi tempat penempelan primer pada templat sehingga menyebabkan salah satu fragmen akan diamplifikasi dalam jumlah banyak sedangkan fragmen yang lain sedikit.

Amplifikasi cetakan DNA membutuhkan primer spesifik (sekuen oligonukelotida khusus) yang mengenali dan menempel pada situs tertentu pada cetakan DNA dengan sekuen nukleotida terkait. Primer biasanya terdiri dari 10-20 nukleotida dan dirancang berdasarkan daerah konservatif dalam genom tersebut. Semakin panjang ukuran primer, semakin spesifik daerah yang diamplifikasi. Jika suatu kelompok organisme memang berkerabat dekat, maka primer dapat digunakan untuk mengamplifikasi daerah tertentu yang sama dalam genom kelompok tersebut. Beberapa faktor yang berpengaruh seperti konsentrasi DNA contoh, ukuran panjang primer, komposisi basa primer, konsentrasi ion Mg, dan suhu hibridisasi primer harus dikontrol dengan hati-hati agar dapat diperoleh pita-pita DNA yang utuh dan baik (Suryanto 2003). Primer yang digunakan pada penelitian ini adalah primer acak OPA dan OPB yang memiliki panjang 10 basa yang urutannya berbeda-beda.

Hasil Amplifikasi DNA dengan Primer OPA

Pola pita amplifikasi DNA yang terbentuk antara sampel dengan primer OPA 6 dan OPA 7 hampir sama . Gambar 6 menunjukkan pola pita DNA yang teramplifikasi dengan primer OPA 8 dan OPA 9. Terdapat pola pita yang berbeda antara fragmen DNA bunga normal dan abnormal yang teramplifikasi dengan primer OPA 8. Terdapat pola pita pada bunga abnormal yang tidak terdapat pada bunga normal. Fragmen yang berbeda ini kemudian diisolasi dengan metode elusi menggunakan kit AxyPrep DNA Gel Extraction merek AXYGEN. Sequencing hasil elusi selanjutnya dilakukan untuk mengetahui perbedaan dengan yang normal. Fragmen cetakan DNA tidak menghasilkan pola pita amplifikasi DNA dengan primer OPA 9. Hal ini mungkin dapat disebabkan oleh primer yang belum larut sempurna, serta akibat adanya kontaminasi senyawa protein dan polisakarida dalam larutan DNA yang dapat mengganggu proses amplifikasi DNA. Pita amplifikasi yang dihasilkan cetakan DNA (daun, bunga, dan buah) normal dan abnormal dengan primer OPA 10 memiliki pola yang sama. Hal yang sama juga terjadi pada DNA sampel

(daun, bunga, dan buah) yang teramplifikasi dengan primer OPA 14, OPA 15, dan OPA 17. Hasil amplifikasi DNA cetakan buah abnormal dengan primer OPA 18 dan OPA 20 terdapat perbedaan, yaitu terdapat pola pita pada buah abnormal yang tidak terdapat pada buah normal (Gambar 7 dan Gambar 8).

Sequencing dilakukan pada fragmen yang

berbeda hasil elusi.

1 2 3 4 5 6 M 1 2 3 4 5 6

OPA 8 OPA 9

Gambar 6 Pola pita amplifikasi DNA daun, bunga, dan buah normal dan abnormal dengan primer OPA 8 dan OPA 9.

1 2 3 4 5 6 M

Gambar 7 Pola pita amplifikasi DNA daun, bunga, dan buah normal dan abnormal dengan primer OPA 18. 1 2 3 4 5 6 M 1 2 3 4 5 6

OPA 19 OPA 20 Gambar 8 Pola pita amplifikasi DNA daun,

bunga, dan buah normal dan abnormal dengan primer OPA 19 dan OPA 20.

11

Hasil Amplifikasi DNA dengan Primer OPB

Hasil amplifikasi cetakan DNA dengan primer OPB 1 hampir tidak terbentuk pita amplifikasi kecuali pada sampel DNA buah abnormal. Gambar 9 menunjukkan adanya pola pita yang diduga berbeda antara fragmen DNA buah normal dan abnormal yang diamplifikasi dengan primer OPB 2. Fragmen cetakan DNA normal dan abnormal dengan primer OPB 3 menghasilkan pola pita amplifikasi yang hampir sama, sama halnya dengan hasil amplifikasi menggunakan primer OPB 7, OPB 10, dan OPB 17. Gambar 10 menunjukkan terdapat pola pita yang diduga berbeda dihasilkan dari amplifikasi fragmen cetakan DNA buah normal dan abnormal dengan primer OPB 9.

Jumlah pita polimorfik hasil amplifikasi berbeda-beda. Semakin banyak pita polimorfik yang dihasilkan akan semakin mudah untuk mengamati adanya variasi. Adanya perbedaan pola pita yaitu berdasarkan jumlah dan ukuran pita menggambarkan adanya genom tanaman yang sangat kompleks (Grattapaglia dkk 1992). Hasil amplifikasi yang memperoleh jumlah pita yang tinggi serta banyaknya pita yang polimorfik dapat dijadikan sebagai kandidat penanda yang baik untuk sifat tertentu dan dapat diseleksi dengan uji selanjutnya.

Terdapat sampel yang tidak teramplfikasi dengan primer yang digunakan. Hasil amplifikasi yang kurang baik dapat disebabkan oleh ketidaksesuaian primer, efisiensi, dan optimasi proses PCR. Primer yang tidak spesifik atau sesuai dapat menyebabkan teramplifikasinya daerah lain dalam genom yang tidak dijadikan sasaran atau sebaliknya tidak ada daerah genom yang teramplifikasi. Optimasi PCR juga diperlukan untuk menghasilkan karakter yang diinginkan. Optimasi ini menyangkut suhu denaturasi dan annealing DNA dalam mesin PCR. Suhu denaturasi yang rendah dapat menyebabkan belum terbukanya DNA utas ganda sehingga tidak dimungkinkan terjadinya penempelan primer. Proses penempelan primer pada utas DNA yang sudah terbuka memerlukan suhu optimum, sebab suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan amplifikasi tidak terjadi karena primer tidak menempel atau sebaliknya suhu yang terlalu rendah menyebabkan primer menempel pada sisi lain genom yang bukan sisi homolognya. Hal ini menyebabkan teramplifikasi banyak daerah tidak spesifik dalam genom tersebut. Suhu penempelan (annealing) ini ditentukan berdasarkan primer

yang digunakan yang dipengaruhi oleh panjang dan komposisi primer. Suhu penempelan ini sebaiknya sekitar 5°C di bawah suhu leleh. Suhu penempelan yang digunakan untuk primer OPA dan OPB adalah 36ºC (Toruan-Mathius N, Bangun SI, Maria-Bintang 2001). Secara umum suhu leleh (Tm) dihitung dengan rumus Tm = 4(G+C) + 2(A+T)°C (Rybicky 1996).

Pita-pita DNA (yang berbeda) yang muncul hanya pada tanaman normal atau abnormal dapat diisolasi dari gel agarosa. Sebelumnya perlu dilakukan PCR ulang dengan volume reaksi yang lebih besar (100 µl) dan dielektroforesis pada gel agarosa. Produk PCR kemudian dimurnikan dari gel agarosa menggunakan kit AxyPrep DNA Gel

Extraction merek AXYGEN. Hasil pemurnian

pita DNA dari gel di cek ulang pada gel agarosa 1% dan urutan basanya diketahui dengan sequencing. Urutan basa tersebut kemudian dianalisis dengan program BLAST untuk mengetahui tingkat kemiripannya dengan urutan basa dari beberapa gen yang sudah ada di bank data gen.

1 2 3 4 5 6 M

Gambar 9 Pola pita amplifikasi DNA daun, bunga, dan buah normal dan abnormal dengan primer OPB 2. 1 2 3 4 5 6 M

Gambar 10 Pola pita amplifikasi DNA daun, bunga, dan buah normal dan abnormal dengan primer OPB 9.

12

Analisis Hasil Urutan Basa Fragmen DNA Sequencing dilakukan satu arah pada 6

sampel DNA yang menghasilkan pola pita amplifikasi yang diduga berbeda, yaitu BAb (primer OPA 8), FN (primer OPB 2), dan FAb (primer OPA 18, OPA 20, OPB 9). Hasil

sequencing yang diperoleh tidak begitu bagus,

karena dari 6 sampel yang disekuen hanya sampel FAb dengan primer OPB 9 yang terbaca urutan basanya. Hal ini diduga disebabkan oleh pemurnian yang kurang baik, digunakannya produk PCR murni untuk

sequencing tanpa diklon terlebih dahulu, atau

proses sequencing yang kurang sempurna. Urutan basa yang diperoleh dari hasil

sequencing (Gambar 12) selanjutnya

dianalisis dengan program BLAST dan hasilnya dapat dilihat pada grafik Gambar 11. Tampilan grafik menunjukkan fragmen DNA yang dianalisis memiliki tingkat homologi yang rendah dengan gen yang terdapat dalam bank gen ditunjukkan garis dalam grafik yang hampir semuanya berwarna biru. Hasil analisis juga tidak mendapatkan kesesuaian antara fragmen DNA dengan salah satu gen yang terdapat pada tanaman kelapa sawit yang sudah ada dalam bank gen. Garis

berwarna merah menunjukkan tingkat homologi yang sangat tinggi (≥ 200

nukleotida), garis merah muda menunjukkan tingkat homologi yang tinggi (80-200 nukleotida), garis hijau menunjukkan tingkat homologi sedang (50-80 nukleotida), garis biru menunjukkan tingkat homologi rendah (40-50 nukleoida), dan garis warna hitam menunjukkan tingkat homologi yang sangat rendah (< 40 nukleotida).

Hasil dari analisis yang kurang baik juga ditunjukkan dari nilai bit score yang rendah (kurang dari 150) dan e-value lebih dari 10-4 .

Bit score merupakan ukuran yang sangat

penting untuk penjajaran. Semakin tinggi bit

score maka tingkat homologi kedua sekuen

juga semakin tinggi. Sedangkan nilai e-value merupakan nilai dugaan yang memberikan ukuran statistik yang signifikan terhadap kedua sekuen. Nilai e-value yang semakin tinggi menunjukkan tingkat homologi antara kedua sekuen semakin rendah, dan jika nilai

e-value semakin rendah maka maka tingkat

homologi kedua sekuen semakin tinggi. Apabila nilai e-value 0 (nol) hal ini menunjukkan bahwa kedua sekuen tersebut identik (Claverie dan Notredame 2003).

Gambar 11 Analisis BLAST hasil sequencing fragmen DNA buah abnormal dengan primer OPB 9.

13

Dokumen terkait