• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN POLA PITA AMPLIFIKASI DNA DAUN, BUNGA, DAN BUAH KELAPA SAWIT NORMAL DAN ABNORMAL ALFINIA AZIZAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBANDINGAN POLA PITA AMPLIFIKASI DNA DAUN, BUNGA, DAN BUAH KELAPA SAWIT NORMAL DAN ABNORMAL ALFINIA AZIZAH"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN POLA PITA AMPLIFIKASI DNA DAUN, BUNGA,

DAN BUAH KELAPA SAWIT NORMAL DAN ABNORMAL

ALFINIA AZIZAH

PROGRAM STUDI BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(2)

ABSTRAK

ALFINIA AZIZAH. Perbandingan Pola Pita Amplifikasi DNA Daun, Bunga, dan

Buah Kelapa Sawit Normal dan Abnormal. Dibimbing oleh EDY DJAUHARI P

dan DARMONO TANIWIRYONO.

Kelapa sawit dimanfaatkan sebagai bahan baku industri minyak goreng,

makanan, kosmetik, sabun, lilin, logam, serta biodiesel. Permintaan Crude Palm

Oil (CPO) yang semakin meningkat kurang bisa dipenuhi sehingga perbanyakan

bibit unggul kelapa sawit dilakukan dengan kultur jaringan. Namun teknik ini

menghasilkan tanaman kelapa sawit yang abnormal, sehingga diperlukan penanda

molekuler yang mampu mendeteksi abnormalitas secara dini. Penelitian bertujuan

mengetahui perbedaan genotip daun, bunga, dan buah dari tanaman kelapa sawit

normal dan abnormal, berdasarkan perbedaan pola pita amplifikasi DNA sampel

terhadap primer acak menggunakan teknik amplifikasi DNA. Hasil penelitian

menunjukkan perbedaan pita amplifikasi yang muncul pada sampel DNA bunga

abnormal dengan primer OPA 8, DNA buah normal dengan primer OPB 2, dan

DNA buah abnormal (primer OPA 18, OPA 20, OPB 2, dan OPB 9). Fragmen

DNA yang berbeda kemudian diisolasi dan disekuensing. Sekuen basa yang

berhasil dibaca hanya DNA buah abnormal dengan primer OPB 9. Analisis hasil

sekuen dilakukan dengan program Basic Local Alignment and Search Tool for

Nucleotida (BLAST) namun tidak menunjukkan homologi yang tinggi dengan

gen dalam bank gen. Hasil BLAST juga tidak menghasilkan urutan basa yang ada

pada suatu gen penyandi tertentu dalam tanaman kelapa sawit.

(3)

ABSTRACT

ALFINIA AZIZAH. Comparison of DNA Amplification Pattern from Leaves,

Flowers, and Fruits Normal and Abnormal Oil Palm. Under the direction of EDY

DJAUHARI P and DARMONO TANIWIRYONO.

Many of palm oil are used as industrial raw materials to produce oil, food,

cosmetics, soap, candles, metal industry, and biodiesel. Demand for Crude Palm

Oil (CPO) that has been increasing can not be fulfilled so tissue culture can use to

get oil palm prime seed. However, this technique can produce oil palm plants with

a high level of abnormalities, so it is necessary to use molecular marker that is

able to detect seed abnormalities earlier in tissue culture. The aim of this research

was to determine the genotype differences in leaf, flower, and fruit from both

normal and abnormal oil palm, based on differences in DNA amplification pattern

sample using DNA amplification methode. Results of this research indicate that

the DNA amplification pattern appears in the DNA abnormal flower sample with

the primary OPA 8, normal fruit DNA with the primary OPB 2, and fruit

abnormal DNA (with the primary OPA 18, OPA 20, OPB 2, and OPB 9).

Different DNA fragment from PCR results were isolated and sequenced. Base

sequence successfully be read is only abnormal fruit DNA with primer OPB 9.

Sequence analysis from the results were done by the Basic Local Alignment and

Search Tool for Nukleotida (BLAST) program but it does not indicate a high

homology with the genes in the bank gene. BLAST results also did not produce

base sequence from specific gene in the oil palm plant.

(4)

PERBANDINGAN POLA PITA AMPLIFIKASI DNA DAUN, BUNGA,

DAN BUAH KELAPA SAWIT NORMAL DAN ABNORMAL

ALFINIA AZIZAH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Program Studi Biokimia

PROGRAM STUDI BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(5)

Judul Skripsi : Perbandingan Pola Pita Amplifikasi DNA Daun, Bunga, dan

Buah Kelapa Sawit Normal dan Abnormal

Nama

: Alfinia Azizah

NIM

: G44104020

Disetujui

Drs. Edy Djauhari P, M.Si

Ketua

Anggota

Dr.Ir. H. Darmono Taniwiryono, M.Sc

Diketahui

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Dr. drh. Hasim, DEA

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat,

karunia, dan ridlo-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan

penulisan laporan akhir yang berjudul Perbedaan Pola Pita Amplifikasi DNA

Daun, Bunga, dan Buah Kelapa Sawit Normal dan Abnormal. Penelitian

dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler dan Rekayasa Genetika, Balai

Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia yang berlangsung dari bulan

Februari hingga Juli 2008. Penelitian ini dilakukan sebagai prasyarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Biokimia, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Drs. Edy Djauhari P, M.Si selaku

pembimbing utama dan Dr. Ir.H. Darmono Taniwiryono, M.Sc selaku

pembimbing anggota dan Kepala Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan

Indonesia atas segala saran dan kritiknya, serta kepada Dr. Asmini Budiani, M.Si

atas segala masukan dan nasehatnya. Penulis juga mengucapkan kepada seluruh

peneliti dan staf di Laboratorium Biologi Molekuler dan Rekayasa Genetika, Balai

Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Terakhir penulis ucapkan rasa

terima kasih yang tulus dan rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada Ayah dan

Ibu atas doa dan segala dukungan yang telah diberikan kepada penulis. Semoga

hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan memberikan ilmu

bagi yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2009

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal

27 Desember 1985 dari ayahanda Arifin dan ibunda Nanik Ngafiatun. Penulis

merupakan anak pertama dari empat bersaudara.

Penulis lulus dari SMU PPMI Assalaam Surakarta pada tahun 2004.

Selanjutnya lolos seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB

(USMI) dan diterima pada program studi Biokimia, Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam. Penulis melakukan Praktik Kerja Lapang di

Laboratorium Biologi Molekuler dan Rekayasa Genetika, Balai Penelitian

Bioteknologi Perkebunan Indonesia dari bulan Juli sampai Agustus 2007 dengan

judul Perbandingan Pola Pita DNA Kelapa Sawit Normal dan Abnormal dengan

Metode Amplifikasi DNA.

Selama mengikuti masa perkuliahan penulis mengikuti kegiatan dalam

kampus baik dalam lembaga kemahasiswaan dan berbagai kepanitiaan. Unit

kegiatan mahasiswa yang penulis ikuti adalah kegiatan seni sunda Gentra

Kaheman dan fotografer magang pada Koran Kampus. Lembaga kemahasiswaan

yang pernah diikuti adalah Community of Research and Education of

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Kelapa Sawit ... 1

Polymerase Chain Reaction (PCR) ... 2

Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) ... 3

Sekuensing ... 4

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan ... 6

Metode ... 6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi DNA dari Daun, Bunga, dan Buah Kelapa Sawit ... 8

Amplifikasi DNA Hasil Isolasi dengan Primer Acak ... 9

Analisis Hasil Urutan Basa Fragmen DNA ... 12

SIMPULAN DAN SARAN ... 13

DAFTAR PUSTAKA ... 13

(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Tanaman Kelapa Sawit ... 2

2 Skema proses PCR ... 3

3 Skema proses PCR-RAPD ... 4

4 Skema proses sekuensing dengan metode Sanger ... 5

5 Hasil elektroforesis larutan DNA sampel ... 9

6 Sampel DNA daun, bunga, dan buah normal dan abnormal dengan primer

OPA 8 dan OPA 9 ... 10

7 Sampel DNA daun, bunga, dan buah normal dan abnormal dengan primer

OPA 18 ... 10

8 Sampel DNA daun, bunga, dan buah normal dan abnormal dengan primer

OPA 19 dan OPA 20 ... 10

9 Sampel DNA daun, bunga, dan buah normal dan abnormal dengan primer

OPB 2 ... 11

10 Sampel DNA daun, bunga, dan buah normal dan abnormal dengan primer

OPB 9 ... 11

11 Analisis BLAST hasil sekuensing fragmen DNA buah abnormal dengan

primer OPB 9 ... 12

12 Urutan basa yang diperoleh dari hasil sekuensing fragmen DNA buah

abnormal dengan primer OPB 9 ... 13

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Alur penelitian ... 16

2 Pembuatan larutan sediaan ... 17

3 Proses isolasi DNA daun, bunga, dan buah kelapa sawit ... 18

4 Perhitungan pengenceran DNA dengan konsentrasi 100 ng/µl ... 20

5 Tabel urutan basa primer OPA dan OPB ... 21

6 Gambar pola pita hasil amplifikasi DNA ... 22

7 Hasil analisis BLAST dari urutan basa bunga abnormal dengan primer

OPB 9 ... 24

(10)
(11)

16

Lampiran 1 Alur penelitian

Sampel DNA kelapa sawit (normal dan abnormal)

Proses PCR-RAPD

Isolasi fragmen hasil PCR-RAPD

Sequencing

Analisis hasil sequencing

Isolasi DNA sampel

(12)

17

Lampiran 2 Pembuatan larutan sediaan

Pembuatan bufer ekstraksi DNA. (50 ml)

Bufer ekstraksi DNA dibuat dengan mencampurkan :

CTAB 10%

10 ml

EDTA 0.5 M pH 8.0

2 ml

tris-HCl 1M pH 8.0

5 ml

NaCl 5 M

12.6 ml

dH2O steril

20.4 ml

Pembuatan Bufer TE (100 ml)

Bufer TE dibuat dengan melarutkan :

Tris-HCl 1 M pH 8.0

1 ml

EDTA 0.5 M pH 8.0

0.2 ml

dH

2

O steril

98.8 ml

Pembuatan Bufer TBE 5× (500 ml)

Bufer TBE 5× dibuat dengan komposisi :

Tris-Base

27gram

Asam borat

13.75 gram

EDTA 0.5 M pH 8.0

10 ml

dan ditepatkan dengan ddH2O hingga 500 ml.

Saat pemakaian dalam pembuatan gel agarosa, bufer TBE 5× ini diencerkan

menjadi 0.5×.

(13)

18

Lampiran 3 Proses isolasi DNA daun, bunga, dan buah kelapa sawit

Sterilisasi alat dan bahan dengan otoklaf (121°C, 1 atm)

Masing-masing sampel ditimbang sebanyak 1 gram

Sampel digerus dengan mortar

Ditambah 0.1 g PVPP dan N

2

cair sampai halus

Tabung sentrifus berisi 5 ml bufer ekstraksi dan ß-merkaptoetanol yang sudah

dipanaskan (65°C)

Dipanaskan pada 65°C selama 30 menit (tiap 5 menit dikocok)

Larutan didinginkan pada suhu kamar

Diekstraksi dengan larutan CI sebanyak 1 volume

Homogenasi dengan vorteks

Disentrifugasi pada ±13500 g, 10 menit, 4 °C

Supernatan dipindahkan ke tabung baru Diulang 2×

Diekstraksi dengan larutan CI sebanyak 1 volume

Ditambah isopropanol dingin 1 volume

Disimpan dalam lemari es 4°C, 30 menit

Disentrifugasi pada ±13500 g, 10 menit, 4 °C

Pelet DNA dikeringkan

Ditambah 1 ml bufer TE

Kocok hingga pelet DNA semua larut

Ditambah Na-asetat 1/10 volume dan etanol absolut 2.5 ml

Dibekukan selama 30 menit atau semalam

(14)

19

Lanjutan Lampiran 3

Disentrifugasi pada ±16000 g, 10 menit, 4 °C

Pelet DNA dicuci dengan etanol 70%

Pelet dikeringkan dengan sentrifugasi pada ±16000 g, 5 menit, 4 °C

Pelet dilarutkan dalam MW

(15)

20

Lampiran 4 Perhitungan pengenceran DNA dengan konsentrasi 100 ng/µl

V

1

×M

1

= V

2

×M

2 → V1

=

1 2 2

M

M

×

V

Keterangan:

V

1

= volume larutan DNA yang diambil untuk diencerkan

M1= konsentrasi larutan DNA sebelum diencerkan

V2= volume akhir pengenceran (50 μl)

M2= konsentrasi larutan DNA yang diinginkan (100 ng/μl)

Volume DNA yang diencerkan (µl)

Penambahan MW (µl)

V

1

(DNA Daun N) =

6

.

09

820

100

50

=

×

43.91

V

1

(DNA Daun Ab) =

5

.

78

865

100

50

=

×

44.22

V

1

(DNA Bunga N) =

4

.

28

1180

100

50

=

×

45.72

V1 (DNA Bunga Ab) =

3

.

86

1295

100

50

×

=

46.14

V1 (DNA Buah N) =

6

.

25

800

100

50

×

=

43.75

V1 (DNA Buah Ab) =

5

.

58

895

100

50

×

=

(16)

21

Lampiran 5 Tabel urutan basa primer OPA dan OPB

No

Kode

5’ to 3’

1

OPA 6

GGT CCC TGAC

2

OPA 7

GAA ACG GGTG

3

OPA 8

GTG ACG TAGG

4

OPA 9

GGG TAA CGCC

5

OPA 10

GTG ATC GCAG

6

OPA 14

TCT GTG CTGG

7

OPA 15

TTC CGA ACCC

8

OPA 17

GAC CGC TTGT

9

OPA 18

AGG TGA CCGT

10

OPA 19

CAA ACG TCGG

11

OPA 20

GTT GCG ATCC

12

OPB 1

GTT TCG CTCC

13

OPB 2

TGA TCC CTGG

14

OPB 3

CAT CCC CCTG

15

OPB 7

GGT GAC GCAG

16

OPB 8

GTC ACA ACGG

17

OPB 9

TGG GGG ACTC

18

OPB 10

CTG CTG GGAC

19

OPB 17

AGG GAA CGAG

(17)

22

1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 M

OPA 6 OPA 7

1 2 3 4 5 6 M 1 2 3 4 5 6

1 2 3 4 M 5 6

1 2 3 4 5 6 M

Lanjutan Lampiran 6

Keterangan gambar: (1) DN (2) Dab (3) BN (4) BAb (5) FN (6) FAb (M) Marker 1 kb +

a. Sampel DNA daun, bunga, dan buah normal dan abnormal dengan primer

OPA 6 dan OPA 7.

c. Sampel DNA daun, bunga, dan buah

normal dan abnormal dengan primer

OPA 10.

d. Sampel DNA daun, bunga, dan buah

normal dan abnormal dengan primer

OPA 17.

b. Sampel DNA daun, bunga, dan buah normal dan abnormal dengan primer

OPA 14 dan OPA 15.

(18)

23

1 2 3 4 5 6 M 1 2 3 4 5 6 M

1 2 3 4 5 6 M M 1 2 3 4 5 6

1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 M

OPB 8

OPB 17

Lampiran 7 Hasil analisis BLAST dari urutan basa bunga abnormal dengan primer

OPB 9

Keterangan gambar: (1) DN (2) Dab (3) BN (4) BAb (5) FN (6) FAb (M) Marker 1 kb +

e. Sampel DNA daun, bunga, dan buah

normal dan abnormal dengan primer

OPB 1.

f. Sampel DNA daun, bunga, dan buah

normal dan abnormal dengan primer

OPB 3.

g. Sampel DNA daun, bunga, dan buah

normal dan abnormal dengan primer

OPB 7.

h. Sampel DNA daun, bunga, dan buah

normal dan abnormal dengan primer

OPB 10.

i. Sampel DNA daun, bunga, dan buah normal dan abnormal dengan primer

OPB 8 dan OPB 17.

(19)

24

Deskripsi Max score Total score E value Max ident

Mus musculus strain 129S6/SvEvTac clone rp21-580p20 map 10, complete sequence

51.8 51.8 0.003 80% Mus musculus strain C57BL/6J clone rp23-358m4,

complete sequence

51.8 51.8 0.003 80% Mus musculus strain 129S6/SvEvTac chromosome 10 clone

rp21-411d9, complete sequence

51.8 51.8 0.003 80% Canis lupus familiaris clone RP81-386E20, complete

sequence

50.0 50.0 0.011 78% Mus musculus chromosome 6, clone RP23-402P24,

complete sequence

50.0 50.0 0.011 76% Mus musculus chromosome 5, clone RP24-67M11,

complete sequence

50.0 50.0 0.011 79% Mus musculus chromosome 5, clone RP23-445H19,

complete sequence

50.0 50.0 0.011 79% Drosophila melanogaster chromosome 3R, complete

sequence

48.2 48.2 0.039 79% Mus musculus BAC clone RP23-119P9 from chromosome

13, complete sequence

48.2 48.2 0.039 80% Drosophila melanogaster clone BACR03J17, complete

sequence

48.2 48.2 0.039 79% Drosophila melanogaster clone BACR27G04, complete

sequence

48.2 48.2 0.039 79% Mus musculus BAC clone RP24-422I4 from chromosome

13, complete sequence

48.2 48.2 0.039 80% Mustela putorius furo clone CH237-388F7, complete

sequence

46.4 46.4 0.14 76% Felis catus clone RP86-181L4, complete sequence 46.4 90.9 0.14 76% Mus musculus BAC clone RP23-473K23 from chromosome

13, complete sequence

46.4 46.4 0.14 80% Canis familiaris, clone XX-397C16, complete sequence 44.6 44.6 0.47 77% Canis Familiaris chromosome 12, clone XX-93M5,

complete sequence

44.6 44.6 0.47 79% Canis Familiaris chromosome 3, clone XX-500D6, complete

sequence

44.6 44.6 0.47 77% Canis Familiaris chromosome 14, clone XX-483F1,

complete sequence

44.6 44.6 0.47 76% Canis Familiaris chromosome 6, clone XX-463G11,

complete sequence

44.6 44.6 0.47 76% Canis Familiaris chromosome 3, clone XX-393O18,

complete sequence

44.6 44.6 0.47 77% Canis lupus familiaris clone RP81-196D8, complete

sequence

44.6 44.6 0.47 76% Canis Familiaris, clone XX-10C7, complete sequence 44.6 44.6 0.47 76% Mus musculus chromosome 3, clone RP23-296I12,

complete sequence

44.6 44.6 0.47 78% Human DNA sequence from clone RP11-92B10 on

chromosome X Contains the 5' end of a variant of the CUL4B gene for cullin 4B and the 5' end of a variant of the gene for MCT-1 protein (MCT-1), complete sequence

44.6 44.6 0.47 85%

Mus musculus chromosome 11, clone RP23-179C3, complete sequence 44.6 44.6 0.47 75%

Lanjutan Lampiran 7

Deskripsi Max score Total score E value Max ident

(20)

25

Mus musculus BAC clone RP23-25I3 from chromosome 7, complete sequence

44.6 44.6 0.47 79% Mouse DNA sequence from clone RP23-285D3 on

chromosome 11 Contains part of a novel gene, a heat shock protein (Hsp) pseudogene and a CpG island, complete sequence

44.6 44.6 0.47 75%

Mouse DNA sequence from clone RP24-246F8 on chromosome 13, complete sequence

44.6 44.6 0.47 79% Mouse DNA sequence from clone RP24-120H1 on

chromosome 16, complete sequence

44.6 44.6 0.47 86% Mouse DNA sequence from clone RP23-406N5 on

chromosome 4 Contains a ribosomal protein S19 (Rps19) pseudogene, a novel gene, the gene for a DNA segment Chr 4 Wayne State University 114 expressed (D4Wsu114e), the Mfn2 gene for mitofusin 2, a ribosomal protein L35a (Rpl35a) pseudogene, the Plod1 gene for procollagen-lysine 2-oxoglutarate 5-dioxygenase 1, a novel gene

(2510039O18Rik) and two CpG islands, complete sequence

44.6 44.6 0.47 76%

Dictyostelium discoideum AX4 chromosome 3 DDB0232519.02, whole genome shotgun sequence

42.8 42.8 1.6 76% Canis familiaris chromosome 33, clone XX-221P23,

complete sequence

42.8 42.8 1.6 75% Monosiga brevicollis MX1 predicted protein

MONBRDRAFT_7962 mRNA, complete cds

42.8 42.8 1.6 90% Mouse DNA sequence from clone RP23-102L17 on

chromosome 16, complete sequence

42.8 42.8 1.6 82% Canis Familiaris chromosome 26, clone XX-195P12,

complete sequence

42.8 42.8 1.6 81% Canis Familiaris chromosome 25, clone XX-122B22,

complete sequence

42.8 42.8 1.6 77% Vitis vinifera, whole genome shotgun sequence, contig

VV78X193509.12, clone ENTAV 115

42.8 42.8 1.6 78% Canis Familiaris chromosome 26, clone XX-497F13,

complete sequence

42.8 42.8 1.6 83% Canis Familiaris chromosome 37, clone XX-341P11,

complete sequence

42.8 42.8 1.6 75% Canis Familiaris chromosome 20, clone XX-263M4,

complete sequence

42.8 42.8 1.6 80% Canis Familiaris chromosome 26, clone XX-320A4,

complete sequence

42.8 42.8 1.6 80% Canis Familiaris chromosome 33, clone XX-84F14,

complete sequence

42.8 42.8 1.6 75% Mus musculus chromosome 15, clone RP23-85P16,

complete sequence

42.8 42.8 1.6 85% Canis Familiaris, clone XX-25G10, complete sequence 42.8 42.8 1.6 76% Felis catus clone RP86-439N5, complete sequence 42.8 42.8 1.6 78% Mus musculus chromosome 15, clone RP23-338F23,

complete sequence

42.8 42.8 1.6 85% Mus musculus BAC clone RP24-241I3 from 15, complete

sequence

42.8 42.8 1.6 77% Zebrafish DNA sequence from clone DKEY-83M22 in

linkage group 9, complete sequence

42.8 42.8 1.6 87%

Lanjutan Lampiran 7

Deskripsi Max score Total score E value Max ident

(21)

26

T28A8

Mouse DNA sequence from clone DN-316O2 on chromosome 3 Contains two ribosomal protein, large, P0 (Rplp0) pseudogene, complete sequence

42.8 42.8 1.6 72%

Mus musculus genomic DNA, chromosome 16q clone:RP21-567F3, complete sequences

42.8 42.8 1.6 82% Dictyostelium discoideum AX4 chromosome 2

DDB0232469.02, whole genome shotgun sequence

41.0 41.0 5.7 93% Dictyostelium discoideum AX4 chromosome 1

DDB0232442.02, whole genome shotgun sequence

41.0 41.0 5.7 74% Canis familiaris chromosome 26, clone XX-397I18,

complete sequence

41.0 41.0 5.7 73% Populus trichocarpa clone POP037-N11, complete sequence 41.0 41.0 5.7 80% Canis familiaris chromosome 14, clone XX-54L5, complete

sequence

41.0 41.0 5.7 74% Canis familiaris chromosome 2, clone XX-83E16, complete

sequence

41.0 41.0 5.7 76% Canis familiaris chromosome 26, clone XX-93E11,

complete sequence

41.0 41.0 5.7 73% Zebrafish DNA sequence from clone CH211-51E8 in

linkage group 21, complete sequence

41.0 41.0 5.7 82% Lodderomyces elongisporus NRRL YB-4239 chromo

domain protein 1 (LELG_01549) partial mRNA

41.0 41.0 5.7 81% Canis familiaris chromosome 31, clone XX-361C3,

complete sequence

41.0 41.0 5.7 72% Tetrahymena thermophila SB210 hypothetical protein

(TTHERM_00188900) partial mRNA

41.0 41.0 5.7 100% Canis Familiaris chromosome 10, clone XX-480A12,

complete sequence

41.0 41.0 5.7 75% Canis Familiaris, clone XX-284L8, complete sequence 41.0 41.0 5.7 80% Canis Familiaris chromosome 11, clone XX-311M9,

complete sequence

41.0 41.0 5.7 80% Vitis vinifera contig VV78X194357.5, whole genome

shotgun sequence

41.0 41.0 5.7 87% Canis Familiaris chromosome 10, clone XX-181J11,

complete sequence

41.0 41.0 5.7 75% Canis Familiaris chromosome 14, clone XX-498K4,

complete sequence

41.0 41.0 5.7 74% Canis Familiaris chromosome 16, clone XX-195I11,

complete sequence

41.0 41.0 5.7 75% Canis Familiaris chromosome 8, clone XX-494F18,

complete sequence

41.0 41.0 5.7 83% Canis Familiaris chromosome 2, clone XX-361N13,

complete sequence

41.0 41.0 5.7 75% Canis Familiaris chromosome X, clone XX-242J14,

complete sequence

41.0 41.0 5.7 75% Canis Familiaris chromosome 6, clone XX-346D24,

complete sequence

41.0 41.0 5.7 74% Zebrafish DNA sequence from clone RP71-84K24 in

linkage group 3, complete sequence

41.0 41.0 5.7 76% Canis Familiaris chromosome 8, clone XX-368A9,

complete sequence 41.0 41.0 5.7 82%

Lanjutan Lampiran 7

Deskripsi Max score Total score E value Max ident

Canis Familiaris chromosome 6, clone XX-163J21, complete sequence

(22)

27

Canis Familiaris chromosome 32, clone XX-3D7, complete sequence

41.0 41.0 5.7 78% Canis Familiaris chromosome 32, clone XX-98B12,

complete sequence

41.0 41.0 5.7 78% Xenopus (Silurana) tropicalis chromosome CH216-62P2,

complete sequence

41.0 41.0 5.7 92% Dictyostelium discoideum AX4 component of 9-1-1

complex (rad9) partial mRNA

41.0 41.0 5.7 93% Canis lupus familiaris agouti signaling protein, nonagouti

homolog (mouse) (ASIP), mRNA >gb|AY714374.1| Canis familiaris agouti protein mRNA, complete cds

41.0 41.0 5.7 76%

Mus musculus BAC clone RP24-178A16 from chromosome 16, complete sequence

41.0 41.0 5.7 78% Mus musculus BAC clone RP23-227O11 from chromosome

12, complete sequence

41.0 41.0 5.7 79% Canis lupus familiaris clone RP81-55A4, complete

sequence

41.0 41.0 5.7 74% Homo sapiens chromosome 5 clone CTD-2170G1,

complete sequence

41.0 41.0 5.7 92% Homo sapiens BAC clone RP11-436F23 from 4, complete

sequence

41.0 41.0 5.7 75% Felis sp. NG192 DNA, INT1095 locus sequence 41.0 41.0 5.7 82% Homo sapiens chromosome 5 clone RP11-164A5, complete

sequence

41.0 41.0 5.7 92% Homo sapiens chromosome 5 clone RP11-54A24, complete

sequence

41.0 41.0 5.7 92% Mouse DNA sequence from clone RP23-137B16 on

chromosome 11 Contains a novel gene, the 5' end of the Meis1 gene for myeloid ecotropic viral integration site 1 and two Cpg islands, complete sequence

41.0 41.0 5.7 76%

Dictyostelium discoideum chromosome 2 map 1685067-2090751 strain AX4, complete sequence

41.0 41.0 5.7 93% Mus musculus strain C57BL/6J chromosome 2 clone

rp23-60i12, complete sequence

41.0 41.0 5.7 78% Mouse DNA sequence from clone RP23-259G10 on

chromosome 9, complete sequence

41.0 41.0 5.7 79% Mouse DNA sequence from clone RP23-300E5 on

chromosome 2 Contains the Lrp2 gene for low density lipoprotein receptor-related protein 2 and a CpG island, complete sequence

41.0 41.0 5.7 78%

Mus musculus BAC clone RP23-387C9 from 12, complete sequence

41.0 41.0 5.7 92% Mouse DNA sequence from clone RP23-393E22 on

chromosome 16, complete sequence

41.0 41.0 5.7 78% Mus musculus BAC clone RP23-299A14 from chromosome

6, complete sequence

(23)

PENDAHULUAN

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu dari beberapa tanaman palma penghasil minyak yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan termasuk industri padat karya. Pengusahaan tanaman ini untuk produksi minyak memiliki beberapa keunggulan, antara lain biaya produksi yang relatif murah, hasil per hektar tinggi, umur produktif yang panjang, serta pemanfaatannya beraneka ragam (Lubis 1992).

Industri yang memanfaatkan kelapa sawit sebagai bahan baku produknya antara lain industri minyak goreng, makanan, kosmetik, sabun, lilin, industri logam, serta biodiesel. Biodiesel sawit adalah minyak atau solar yang dibuat dengan menggunakan bahan baku minyak mentah kelapa sawit atau Crude Palm

Oil (CPO). Pencampuran biodiesel dengan

minyak solar biasanya diberikan sistem penamaan tersendiri seperti B2, B3 atau B5 yang berarti campuran biodiesel dan minyak solar yang masing-masing mengandung 2%, 3%, dan 5% biodiesel (Boedoyo 2006). Sumber energi alternatif ini bersifat ramah lingkungan karena tidak mencemari udara, mudah terbiodegradasi, dan berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui (BPPP 2006). Permintaan CPO yang semakin meningkat kurang bisa terpenuhi karena lahan yang terbatas sehingga diperlukan terobosan-terobosan baru yang menuntut dihasilkannya bahan tanaman kelapa sawit yang unggul baik dalam hal produktivitasnya maupun kualitas minyaknya. Perbanyakan masal bibit unggul kelapa sawit secara cepat dapat dilakukan dengan teknik kultur jaringan, namun teknik ini dapat menghasilkan tanaman kelapa sawit dengan tingkat abnormalitas yang tinggi.

Keunggulan teknik kultur jaringan adalah mampu menghasilkan bibit dalam jumlah banyak dengan waktu relatif singkat, seragam, sifatnya identik dengan induknya, masa non produktif lebih singkat dan produktivitasnya lebih tinggi. Abnormalitas pembuahan pada tanaman kelapa sawit asal kultur jaringan dikenal dengan istilah mantled, yaitu mesokarp tidak berkembang. Abnormalitas bisa menyebabkan terjadinya bunga jantan steril (Corley 1986). Abnormalitas terjadi pada rata-rata 5-10 % dari populasi bibit asal kultur jaringan (Jaligot 2000), dan bersifat epigenetik (Tregear et al 2002). Marmey (1991) menyatakan bahwa kalus remah yang disebut sebagai kalus sekunder menyebabkan terjadinya kalus embrioid yang abnormal. Menurut Jones (1991) abnormalitas yang

terjadi pada klon kelapa sawit hasil kultur jaringan disebabkan terhambatnya ekspresi gen yang mengatur pembungaan, sebagai akibat penambahan zat pengatur tumbuh tertentu ke dalam media. Terjadinya tingkat abnormalitas yang tinggi menyebabkan rendahnya minat konsumen terhadap bibit asal kultur jaringan.

Berdasarkan fenomena ini diperlukan penanda molekuler yang mampu mendeteksi abnormalitas secara dini sehingga bibit hasil kultur jaringan kelapa sawit yang dipasarkan pada masyarakat adalah bibit normal yang terjamin kualitasnya. Penggunaan penanda molekuler berbasis DNA untuk mendeteksi abnormalitas pada fase dini dianggap tepat untuk tujuan ini, karena memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan tidak terpengaruh oleh cuaca serta dapat melibatkan contoh dalam jumlah yang banyak.

Teknik RAPD (Random Amplified

Polymorphic DNA) merupakan salah satu dari

beberapa teknik pembuatan penanda berbasis DNA dengan melibatkan penggunaan mesin PCR (Polymerase Chain Reaction). Teknik PCR-RAPD dapat digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan genotip normal dan abnormal, berdasarkan perbedaan pada pita DNA yang dapat teramplifikasi dengan random primer. Pita DNA yang berbeda akan dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui perbedaan urutan basa DNA antara genotip normal dan abnormal.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan genotip daun, bunga, dan buah dari tanaman kelapa sawit normal dan abnormal berdasarkan perbedaan pola pita amplifikasi cetakan DNA terhadap primer acak menggunakan teknik PCR-RAPD. Hipotesis penelitian ini adalah diperoleh genotip daun, bunga, dan buah dari tanaman kelapa sawit normal dan abnormal, serta diperoleh pola pita amplifikasi DNA sampel menggunakan teknik PCR-RAPD. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan berupa data ilmiah yang membuktikan terdapat perbedaan genotip kelapa sawit normal dan abnormal.

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Kelapa Sawit

Kelapa sawit (Gambar 1) adalah tanaman perkebunan atau industri dari famili Palmae. Menurut penelitian, tanaman ini berasal dari Nigeria di Afrika Barat, kemudian menyebar ke Afrika, Amerika, Asia, dan Pasifik Selatan.

(24)

2

Benih kelapa sawit pertama kali ditanam di Indonesia tahun 1848 berasal dari Mauritius, Afrika. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia dipelopori oleh Adrien Hallet berkebangsaan Belgia di daerah Tanahitam, Hulu Sumatera Utara pada tahun 1911 (Setyamidjadja 2006).

Kelapa sawit dapat tumbuh pada tanah yang gembur, pengairan dan drainasenya baik, kaya akan humus, serta tidak memiliki lapisan padas. Nilai pH tanah sebaiknya berkisar antara 5.5-7.0. Curah hujan yang diterima minimal 1000-1500 mm/tahun yang terbagi rata sepanjang tahun, serta memiliki suhu tumbuh optimal 26°C dan kelembaban udara rata-rata 75% (Setyamidjadja 2006).

Kelapa sawit secara sistematika (taksonomi) termasuk dalam Divisi Spermatophyta, Sub divisi Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Famili Palmaceae, Subfamili Cocoideae, Genus Elaeis, Spesies: (1) Elaeis guineensis Jacq (kelapa sawit Afrika) dan (2) Elaeis melanococca atau

Corozo oleifera (kelapa sawit Amerika Latin).

Varietas atau tipenya dapat digolongkan berdasarkan tebal tipisnya cangkang dan warna buah. Terdapat tiga varietas berdasarkan tebal tipisnya cangkang (endocarp) yaitu, Dura, Pisifera, dan Tenera. Sedangkan berdasarkan warna buah dikenal tiga varietas yaitu, Nigrescens, Virescens, dan

Albescens (Setyamidjadja 2006).

Kelapa sawit yang tumbuh normal pada tahun kedua telah menunjukkan pembungaan. Buah yang terbentuk belum dapat diolah karena ukurannya masih terlalu kecil. Tandan buah telah masak atau siap panen sekitar 5.5 bulan setelah terjadi penyerbukan. Memasuki umur sekitar 30 bulan, tanaman kelapa sawit terutama varietas Tenera (Dura×Pisifera) siap dipanen bila tandan buahnya sudah mencapai berat ±3 kg. Pemanenan kelapa sawit perlu memperhatikan beberapa ketentuan agar tandan buah yang dipanen sudah matang, sehingga dihasilkan kelapa sawit dengan mutu yang baik (Setyamidjadja 2006).

Buah kelapa sawit terdiri atas perikarp dan kernel. Perikarp tersusun atas eksokarp (kulit), mesokarp (daging buah), dan endokarp (cangkang). Kernel memiliki kulit, endosperm, dan embrio. Umur dan warna mesokarp digunakan sebagai indikator kandungan minyak. Kelapa sawit yang berumur tiga bulan mesokarpnya berwarna putih kehijauan yang menunjukkan bahwa buah terdiri dari serat, klorofil, dan belum terbentuk minyak. Perubahan warna daging buah menjadi kuning kehijauan setelah berumur lebih dari tiga bulan dan

menunjukkan bahwa minyak sudah terbentuk dengan terbentuknya karotein (Lubis 1992).

Kelapa sawit yang dihasilkan dari kultur jaringan mengalami 10-40% perubahan ke arah abnormalitas pada organ bunga dan buah sehingga dihasilkan kelapa sawit yang abnormal (Corley 1986). Hal yang sangat ekstrim dari abnormalitas adalah tidak terbentuknya buah karena tandan buah dipenuhi oleh bunga jantan atau buah bermantel berat yang menyebabkan hilangnya produksi (Mathius 2001). Beberapa pendapat mengenai penyebab terjadinya abnormalitas pada tanaman kelapa sawit hasil kultur jaringan, perubahan tersebut dapat bersifat genetik (Rao & Danough 1990), gangguan ekspresi gen diakibatkan fitohormon (Jones 1991), struktur kalus, lamanya subkultur dan umur kalus, tekanan seleksi yang dipakai, jenis eksplan yang digunakan, level ploidi sumber eksplan dan kecepatan proliferasi kalus (Skirvin et al 1984 dan Karp 1995).

Gambar 1 Tanaman Kelapa Sawit.

Polymerase Chain Reaction (PCR)

Teknik ini dikembangkan oleh Kary Mullis tahun 1984 berdasarkan penemuannya tentang adanya aktivitas biologi dari DNA polimerase pada suhu tinggi dalam bakteri yang hidup pada sumber air panas (thermophiles). Reaksi rantai polimerase merupakan metode untuk memperbanyak potongan DNA yang diinginkan dengan sensitifitas, selektifitas yang tinggi, dan terjadi pada waktu yang sangat cepat. Spesifitas reaksi ditentukan pada penggunaan dua primer oligonukleotida yang berhibridisasi menjadi rangkaian komplementer pada untai DNA yang berlawan dan mengapit rangkaian sasaran (Murray 2003).

Lima bahan baku yang diperlukan untuk melakukan PCR adalah sampel target, primer, enzim taq polimerase, nukleotida (dNTP), dan bufer polimerase. Sampel target merupakan DNA yang ingin diamplifikasi. Primer merupakan untai DNA pendek yang

(25)

3

menempel pada fragmen DNA target, serta sebagai tempat awal terjadinya replikasi. Enzim taq polimerase berfungsi untuk replikasi DNA. Larutan dNTP (mengandung dATP, dGTP, dCTP, dan dTTP) perlu ditambahkan agar DNA polimerase dapat membentuk kompleks rantai baru yang komplementer. Reaksi PCR membutuhkan suatu bufer yang mengandung MgCl2 karena

aktivitas enzim polimerase dipengaruhi oleh konsentrasi ion Mg2+. Ion Mg2+ akan menstimulasi aktivitas enzim secara maksimal pada konsentrasi 2 mM. Jika konsentrasinya lebih tinggi, maka dapat bersifat sebagai inhibitor (Sambrook 1989).

Proses PCR melibatkan serangkaian siklus temperatur berulang dan setiap siklus terdiri dari tiga tahap (Gambar 2). Pertama proses denaturasi dengan pemanasan (± 94 °C) untuk memisahkan untai ganda DNA menjadi untai tunggal. Kedua adalah penurunan suhu menjadi 50-70 °C untuk memungkinkan terjadinya penempelan (annealing) primer (oligonukleotida) dengan untai tunggal DNA sebagai cetakan. Suhu penempelan primer bergantung pada titik leleh (Tm) primer yang digunakan. Ketiga adalah ekstensi primer menjadi untai DNA baru dengan enzim DNA polimerase pada suhu optimumnya. Setiap satu siklus PCR akan menggandakan jumlah molekul cetakan DNA, sebab setiap utas baru yang disintesis akan berperan sebagai cetakan pada siklus selanjutnya. Penggandaan yang dihasilkan bersifat eksponensial sehingga dihasilkan produk PCR yang setara dengan 2n (n adalah jumlah siklus) (Sambrook 1989).

Random Amplified Polymorphic DNA

(RAPD)

Teknik PCR-RAPD merupakan salah satu teknik molekuler untuk mempelajari keanekaragaman genetika. Dasar analisis RAPD adalah menggunakan mesin PCR yang mampu mengamplifikasi sekuen DNA secara acak. Teknik ini melibatkan penempelan primer yang dirancang secara khusus sepuluh oligonukleotida pada cetakan DNA yang komplementer, selanjutnya akan dibentuk menjadi utas DNA baru. Proses selanjutnya sama dengan proses dasar PCR (Gambar 3). Jumlah produk amplifikasi PCR berhubungan langsung dengan jumlah dan orientasi sekuen yang komplementer terhadap primer di dalam genom tanaman (Azrai 2005).

Teknik RAPD hanya digunakan pada satu primer arbitrasi yang dapat menempel pada kedua utas DNA setelah didenaturasi pada

situs tertentu yang homolog dengan spesifitas penempelan yang tinggi. Potongan DNA yang teramplifikasi berdasarkan pilihan penempelan yang bersifat acak dan tidak harus berkaitan dengan gen tertentu. Penggunaan penanda RAPD relatif sederhana dan mudah dalam hal preparasi. Teknik RAPD memberikan hasil yang lebih cepat dibandingkan dengan teknik molekuler lainnya. Teknik ini juga mampu menghasilkan jumlah karakter yang relatif tidak terbatas, sehingga sangat membantu untuk keperluan analisis keanekaragaman organisme yang tidak diketahui latar belakang genomnya, baik organisme tingkat tinggi (eukariot) maupun organisme tingkat rendah (prokariot) (Bardakci 2001).

Keunggulan teknik ini antara lain kuantitas DNA yang dibutuhkan sedikit, hemat biaya, mudah dipelajari, dan primer yang diperlukan sudah banyak dikomersialisasikan sehingga mudah diperoleh. Tanaman tahunan menggunakan RAPD untuk meningkatkan efisiensi seleksi awal. Teknik RAPD telah banyak diaplikasikan dalam kegiatan pemuliaan tanaman, antara lain analisis keragaman genetik plasma nutfah tanaman (padi, kapas, dan jeruk mandarin), dan analisis populasi genetik tanaman (kakao dan kelapa) (Azrai 2005).

Gambar 2 Skema proses PCR. Penambahan primer, suhu denaturasi dan suhu penempelan Sekuen target Primer 1 Primer 2 + enzim taq polimerase dan dNTP Siklus diulang 25- 75 kali

(26)

4

Sequencing

Sequencing adalah metode untuk

menentukan urutan basa-basa DNA dari sebuah potongan DNA. Tahun 1977, Frederick Sanger, Allan Maxam, dan Walter Gilbert merintis dikembangkannya metode

sequencing DNA yang kemudian dikenal

dengan metode sequencing Maxam dan Gilbert, yang melibatkan penggunaan suatu basa terdegradasi (Gilbert 2000). Metode

sequencing DNA yang umum digunakan saat

ini adalah metode Sanger yang bertumpu pada penggunaan analog dari rantai deoksinukleotida tripospat (dNTP) normal (Sanger 1980).

Analog-analog deoksinukleotida tripospat yang dimaksud adalah dideoksinukleotida tripospat (ddNTP). Analog-analog ini sama dengan deoksinukleotida tripospat normal, tapi tidak memiliki gugus hidroksil pada ujung 3’-nya. Ujung 5’ molekul-molekul ddNTP dapat bereaksi dengan ujung 3’ dNTP normal pada rantai DNA yang disintesis dengan bantuan enzim DNA polimerase yang juga bertindak sebagai pengendali reaksi, yaitu apabila sudah berikatan dengan satu

jenis ddNTP (ddATP, ddGTP, ddCTP, atau ddTTP) maka tidak ada nukleotida lain yang dapat ditambahkan karena ujung 3’nya tidak memiliki gugus hidroksil (Sanger 1980).

Komponen reaksi untuk tujuan sequencing terdiri dari potongan DNA yang akan disekuen, primer, campuran dNTP (dATP, dGTP, dCTP, dan dTTP, yang salah satunya diberi label radioaktif 32P) dengan konsentrasi normal, dan enzim polimerase. Campuran keempat bahan yang dilarutkan di dalam larutan penyangga tersebut kemudian dibagi rata ke dalam empat tabung. Masing-masing tabung ditambahkan ddNTP yang berbeda (ddATP, ddGTP, ddCTP, atau ddTTP) dengan konsentrasi rendah. Campuran diinkubasi pada suhu tinggi untuk memisahkan rantai ganda DNA, yang kemudian diikuti dengan perlakuan suhu rendah untuk memberikan peluang primer menempel pada DNA cetakan utas tunggal pada situs yang spesifik di ujung 5’. Enzim polimerase akan membantu sintesis rantai DNA melalui penambahan satu per satu basa yang jenisnya ditentukan oleh DNA cetakan, mulai dari ujung 3’ primer. Untuk memberikan ilustrasi kita ambil contoh pada tabung yang ditambah ddTTP. Adanya dTTP Gambar 3 Skema Proses PCR RAPD.

Suhu annealing Denaturasi DNA rantai ganda

Siklus pertama Siklus kedua

Penempelan primer Denaturasi Proses amplifikasi DNA Denaturasi DNA rantai ganda Penempelan primer Disintesis menjadi rantai DNA baru

(27)

5

pada konsentrasi normal reaksi akan terus berlanjut, tapi jika satu kali bereaksi dengan ddTTP maka reaksi akan berhenti. Setelah proses inkubasi berakhir terdapat hasil campuran reaksi dengan berbagai ukuran panjang rantai yang berakhir dengan molekul T pada ujung 3’ dan semuanya memiliki ujung 5’ yang sama (ujung 5’ dari primer), masing-masing dengan jumlah salinan yang banyak. Proses inkubasi yang sama juga dilakukan pada tiga dideoksinukleotida tripospat yang lain, masing-masing dengan memberi campuran reaksi ddCTP, ddATP, dan ddGTP yang dapat menghentikan reaksi pada posisi C, A, dan G secara berturut-turut (Sanger 1980).

Empat reaksi ini masing-masing kemudian dipisahkan menggunakan elektroforesis gel

akrilamid yang memiliki resolusi tinggi. Teknik ini memisahkan rantai berdasarkan ukuran, rantai yang berukuran lebih kecil akan bergerak lebih cepat sedangkan yang ukuran rantainya lebih besar akan bergerak lebih lambat. Metode ini dapat membandingkan secara akurat dan cepat, serta dapat membaca urutan basa sampai 300 nukleotida dari ujung 3’ primer. Empat lubang sisir pada gel akrilamid masing-masing akan diisi oleh hasil reaksi dengan dideoksinukleotida berbeda. Setiap sampel akan membentuk pola pita yang berbeda dan ukuran nukleotida yang lebih pendek ditunjukkan oleh pita yang terletak di bagian bawah gel. Urutan basa hasil sekuen kemudian dibaca dari dasar (ujung 5’) ke atas (ujung 3’) gel (Gilbert 2000). Skema proses

sequencing dapat dilihat pada Gambar 4.

(28)

6

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Alat-alat yang digunakan adalah sentrifus

Beckman Coulter AllegraTM 64R Centrifuge,

Eppendorf sentrifuge 5417R, otoklaf, perangkat elektroforesis Toylab, pH meter

CyberScan 510, mesin PCR Biometra,

spektrofotometer UV-VIS Beckman

Coulter-DU 530, transilluminator Biorad, penangas es

dan air, pipet mikro, pipet Mohr, tabung Eppendorf, DNA speed vacum 110 savant, tabung sentrifus, neraca analitik Scaltec, alat yang mendokumentasikan hasil pengamatan elektroforesis dengan UV (UV T2201 Sigma dan Power Shot A640 Canon), skalpel, inkubator, cawan petri, mortar, vorteks, dan peralatan kaca laboratorium.

Bahan-bahan yang digunakan adalah ± 1 gram sampel kelapa sawit bagian daun (D), bunga (B), buah (F) yang normal (N) dan abnormal (Ab). Bahan yang digunakan untuk isolasi DNA yaitu larutan CTAB (cethyl

trimethyl ammonium bromide) 10% , Tris-HCl

1M pH 8.0, larutan EDTA (etilendiamin tetraasetat) 0.5 M pH 8.0, larutan NaCl 5 M , etanol 70% dingin, isopropanol dingin, etanol absolut dingin, β-merkaptoetanol 1%, larutan CI (kloroform:isoamilalkohol = 24:1), nitrogen cair, larutan Na-asetat 3 M pH 5.2,

polyvinyl-polypirollidone (PVPP), bufer TE

(tris-HCl dan EDTA), molecular grade water (MW), dan RNAse. Proses PCR-RAPD menggunakan kit merek Bioron yang terdiri dari complete buffer (mengandung MgCl2),

dNTP, dan enzim taq polimerase. Primer untuk PCR-RAPD adalah OPA dan OPB dari

Operon. Bahan untuk elektroforesis yaitu loading buffer (bromfenolblue 2.5%:sukrosa

40%), agarosa, EtBr 1% (w/v), bufer TBE, dan marker 1 kb (+) (M). Elusi fragmen DNA menggunakan kit AxyPrep DNA Gel

Extraction merek AXYGEN yang berisi bufer

DE-A, bufer DE-B, isopropanol, bufer W1,

bufer W2, dan larutan eluen. Proses

sequencing menggunakan kit sequencing.

Metode Isolasi DNA

Isolasi molekul DNA dilakukan dengan metode Castillo. Sebanyak satu gram sampel ditimbang dengan aluminium foil, kemudian direndam dalam N2 cair. Sampel digerus

sampai halus dengan mortar yang sudah didinginkan dengan N2 cair. Nitrogen cair

selalu ditambahkan hingga sampel selesai

digerus. Sebanyak ± 0.1 gram PVPP ditambahkan saat sampel digerus.

Serbuk halus yang dihasilkan dimasukkan dalam tabung sentrifus yang berisi 5 ml bufer ekstraksi dan 1% merkaptoetanol (50 μl) yang sudah dipanaskan. Campuran tersebut dikocok kemudian dipanaskan selama 30 menit pada suhu 65 °C sambil sesekali dikocok agar tidak mengendap kemudian didinginkan pada suhu kamar. Larutan CI ditambahkan sebanyak 1 volume ke dalam masing-masing tabung dan bobotnya diseimbangkan sebelum sentrifugasi. Campuran divorteks sampai homogen lalu disentrifugasi (±13500 g, 10 menit, 4 °C). Sebanyak 4 ml supernatan yang diperoleh dipindahkan ke tabung sentrifus baru dan ditambah larutan CI 1 volume. Campuran ini kemudian divorteks sampai homogen dan disentrifugasi seperti yang dilakukan sebelumnya. Supernatan yang diperoleh dipindahkan ke tabung baru sebanyak 3 ml dan ditambah larutan CI 1 volume. Campuran kemudian dihomogenasi dengan vorteks dan disentrifugasi seperti sebelumnya. Supernatan yang diperoleh dipindahkan ke tabung sentrifus baru sebanyak 1 ml dan ditambah isopropanol dingin 1 volume. Larutan dikocok perlahan kemudian disimpan dalam lemari es selama 30 menit. Larutan kemudian disentrifugasi kembali seperti sebelumnya dan supernatan yang diperoleh dibuang. Pelet yang dihasilkan kemudian dikeringkan.

Pelet DNA dilarutkan dalam 1 ml bufer TE, setelah itu ditambah CH3COONa dingin 3

M pH 5.2 sebanyak 1/10 volume (100 μl) dan 2.5 ml etanol absolut dingin secara berurutan kemudian disimpan dalam pendingin (-20 °C) selama 30 menit atau semalam. Suspensi disentrifugasi (±16000 g, 10 menit, 4 °C). Supernatannya dibuang dan pelet DNA yang diperoleh dicuci dengan etanol dingin 70% sebanyak 400 μl kemudian diendapkan dengan sentrifugasi (±16000 g, 5 menit, 4 °C). Pelet yang diperoleh dikeringkan dengan membalikkan tabung di atas tisu dan diangin-anginkan sebentar hingga bau etanol hilang. Pelet DNA dilarutkan dengan MW 100 μl. Jika pelet yang dihasilkan cukup banyak maka MW bisa ditambahkan lebih banyak. Setelah semua pelet DNA larut kemudian dipindahkan dalam tabung Eppendorf kecil dan disimpan dalam pendingin sebagai DNA stok.

Pemurnian DNA

Stok DNA dapat dimurnikan dengan ditambah RNAse. Volume RNAse yang ditambahkan 1/10 dari volume DNA.

(29)

7

Percobaan ini menggunakan 50 μl DNA ditambah 5 μl RNAse dan ditempatkan pada tabung Eppendorf baru dalam penangas es. Campuran larutan DNA dan RNAse dimasukkan dalam penangas air 37 °C selama 1 jam kemudian disimpan dalam pendingin sampai digunakan.

Uji Kualitatif dan Kualitas DNA

Tahapan ini dilakukan untuk mengetahui DNA yang berhasil diisolasi serta dapat dilihat kualitas DNA yang diperoleh. Gel agarosa 1% yang digunakan untuk elektroforesis dibuat dengan 0.3 g agarosa ditambah 30 ml TBE 0.5× untuk cetakan yang kecil atau 0.6 g agarosa dengan 60 ml TBE 0.5× untuk yang besar, kemudian dipanaskan hingga larut dan didinginkan pada suhu kamar sampai hangat. Selanjutnya larutan dituang ke cetakan gel elektroforesis yang sudah dipasangi sisir (cetakan sumur) dan ditunggu sampai gel padat. Gel yang sudah padat dipindahkan dalam bak elektroforesis yang berisi TBE 0.5×. Sampel yang akan dielektroforesis dicampur loading buffer dan MW dengan komposisi 2 μl DNA, 1 μl

loading buffer, dan 3 μl MW. Semuanya

dicampur dengan pipet mikro kemudian diinjeksikan ke dalam sumur pada gel agarosa. Alat elektroforesis dihubungkan pada power

supply yang dialiri arus listrik 50 Volt selama

±1 jam, kemudian gel direndam dalam larutan EtBr dengan konsentrasi 1% dan hasilnya diamati dengan bantuan lampu UV.

Elektroforesis gel agarosa juga digunakan untuk mengamati hasil PCR DNA. Perbandingan komposisi yang digunakan antara loading buffer dan sampel adalah 1:5. Marker yang digunakan memiliki ukuran 1 kb sebanyak 1 μl.

Uji Kuantitatif DNA

Metode spektrofotometer UV digunakan untuk uji kuantitatif DNA berdasarkan prinsip bahwa radiasi sinar ultraviolet akan diserap oleh nukleotida. Suspensi DNA hasil isolasi sebanyak 3 μl diencerkan menjadi 300 μl dengan MW. Larutan kemudian dituang dalam kuvet dan dibaca absorbansinya pada panjang gelombang (λ) 260 nm, 280 nm, dan 230 nm. Absorbansi dibaca pada tiga panjang gelombang untuk mengetahui adanya kontaminasi protein (280 nm) dan kontaminasi polisakarida dan senyawa fenol (230 nm). Kemurnian DNA ditentukan dengan nilai perbandingan A260/A280.

Penyerapan maksimal radiasi UV oleh DNA pada panjang gelombang 260 nm. Jika

absorbansi yang diperoleh 1.000, maka konsentrasi DNA setara dengan 50 μg/ml (Brown 2003). Nilai ini adalah faktor konversi, sehingga diperoleh rumus untuk menghitung konsentrasi DNA adalah:

DNA (μg/ml) = A260 × faktor konversi ×

faktor pengenceran

Proses PCR-RAPD

Senyawa DNA diamplifikasi dengan mesin PCR. Konsentrasi DNA yang digunakan untuk PCR disamakan menjadi 100 ng/μl. Sebanyak 1 μl larutan DNA (100 ng/μl) ditambahkan ke dalam campuran mix untuk PCR yang berisi campuran larutan 2.5 μl bufer yang mengandung MgCl2, 0.5 μl dNTP,

0.3 μl enzim taq polimerase DNA, 1.0 μl primer acak (OPA dan OPB), kemudian ditambah MW hingga volumenya menjadi 25 μl. Campuran tersebut kemudian dimasukkan ke dalam alat PCR dengan program 94 °C selama 3 menit 1 siklus, suhu 94 °C selama 1 menit untuk denaturasi, 36 °C selama 1 menit untuk penempelan primer, dan 72 °C selama 2 menit untuk pemanjangan rantai DNA baru (45 siklus), serta diakhiri dengan suhu 72 °C selama 4 menit untuk memastikan DNA yang diamplifikasi mengalami renaturasi sempurna. Hasil amplifikasi DNA dengan primer yang sama pada satu individu memiliki intensitas yang berbeda-beda. Penyebaran tempat penempelan primer pada DNA, jumlah fragmen yang teramplifikasi serta kemurnian dan konsentrasi cetakan DNA dalam reaksi akan mempengaruhi intensitas pita yang dihasilkan. Semakin banyak fragmen DNA yang teramplifikasi dengan primer maka intensitas pita akan semakin jelas. Kontaminasi oleh senyawa-senyawa fenolik dan polisakarida akan menghasilkan pita amplifikasi yang kabur atau kurang baik.

Tahap Pemurnian DNA Hasil PCR (Elusi)

Bagian gel yang menunjukkan fragmen DNA yang diinginkan dipotong dengan skapel, ditimbang, dan disimpan dalam tabung mikro berukuran 2 ml. PCR diulangi lagi dengan volume yang lebih besar. Fragmen DNA dimurnikan dari gel menggunakan kit

AxyPrep DNA Gel Extraction. Bobot gel

sebesar 100 mg setara dengan 100 μl volume bufer DE-A yang ditambahkan. Volume bufer DE-A yang ditambahkan sebanyak tiga kali bobot gel. Campuran tersebut kemudian dipanaskan suhu 75 °C hingga larut selama 6-8 menit dan dikocok setiap 2-3 menit. Bufer DE-B ditambahkan sebanyak setengah volume bufer DE-A. Jika fragmen DNA

(30)

8

berukuran kurang dari 400 bp maka harus ditambah isopropanol satu volume.

Larutan ditransfer ke kolom Axyprep yang ditempatkan dalam tabung mikro 2 ml kemudian disentrifugasi ±13500 g selama 2 menit pada suhu 25 °C. Filtrat yang diperoleh dibuang karena DNA dianggap menempel pada kolom. Bufer W1 ditambahkan sebanyak

500 μl kemudian disentrifugasi (±13500 g, 2 menit, 25 °C). Filtrat yang diperoleh dibuang kemudian ditambah 700 μl bufer W2 dan

disentrifugasi lagi (±13500 g, 2 menit, 25 °C). Proses ini diulang dua kali. Sentrifugasi dilakukan sekali lagi untuk membersihkan kolom dari larutan bufer. Kolom dipindahkan ke tabung mikro 1.5 ml kemudian ditambah 20-30 μl eluet tepat di tengah membran filter kolom dan biarkan selama ± 1 menit pada suhu ruang. Tabung yang berisi kolom kemudian disentrifugasi pada ±18500 g selama 2 menit dan hasilnya dicek dengan elektroforesis gel agarosa.

Pengurutan Basa Fragmen DNA

(Sequencing)

Fragmen DNA yang diduga berbeda hasil PCR yang telah dimurnikan kemudian diurutkan. Proses pengurutan dilakukan di Lembaga Biologi Molekular Eijkman Jakarta dengan menggunakan prinsip sequencing metode Sanger. Urutan basa DNA hasil pengurutan berupa elektroforegraf.

Urutan basa DNA hasil pengurutan dianalisis dengan program BLASTn (Basic

Local Alignment and Search Tool for Nucleotida) (www.ncbi.nlm.nih.gov) untuk

mengetahui kesesuaian urutan basa atau asam amino yang didapatkan dari suatu gen atau protein dengan urutan lain yang ada dalam bank data gen. Fragmen DNA hasil PCR yang diurutkan dianalisis dengan program BLASTn. Analisis dengan program ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara urutan basa yang didapatkan dengan urutan yang terdapat dalam bank data gen. Urutan yang didapatkan diharapkan memiliki tingkat homologi yang tinggi (e-value <10-4) dengan gen yang sesuai (Claverie 2003).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi DNA dari Daun, Bunga, dan Buah Kelapa Sawit

Isolasi DNA dalam penelitian ini dilakukan menggunakan metode Orozco-Castillo yang sudah dimodifikasi. Metode ini banyak digunakan untuk isolasi DNA

tanaman karena mudah dan kemungkinan adanya enzim pendegradasi DNA lebih kecil dibanding dengan metode yang lain (Rogers & Bendich 1994). Isolasi dari organisme eukariot biasanya dilakukan melalui proses penghancuran sel (lysis), pemusnahan protein dan RNA, serta pemurnian DNA.

Metode isolasi diawali dengan penggerusan untuk membantu memecahkan dinding sel secara mekanik. Penambahan PVPP saat penggerusan dan merkaptoetanol dalam bufer ekstraksi bertujuan menghambat enzim polifenol oksidase yang dapat mendegradasi rantai DNA dan menyebabkan teroksidasinya senyawa fenol. Terjadinya oksidasi ditandai dengan terbentuknya warna coklat pada jaringan tanaman yang akan diisolasi. Penambahan nitrogen cair saat penggerusan juga dapat mencegah terjadinya oksidasi dan kerusakan DNA.

Campuran dalam bufer ekstraksi Castillo memiliki fungsi berbeda-beda. Suatu detergen kationik yang terdapat dalam bufer ekstraksi yaitu CTAB berfungsi membantu proses pemecahan membran sel. Bufer ekstraksi perlu dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 65°C , karena CTAB yang berkemampuan melisis membran sel akan aktif pada kondisi panas (65°C). Larutan deterjen berfungsi menurunkan tegangan permukaan cairan dan melarutkan lipid sehingga membran sel mengalami degradasi, dan organel-organel di dalamnya dapat keluar dari sel. Isolasi DNA dari tanaman sering menghasilkan ekstrak yang banyak mengandung polisakarida. Penambahan CTAB yang bermuatan positif pada bufer ekstrak juga berfungsi untuk memisahkan polisakarida dari DNA dengan cara mengikat DNA yang bermuatan negatif. Penghancuran sel secara kimiawi dapat dilakukan dengan memanfaatkan senyawa kimia EDTA (etilendiamin tetraasetat). Fungsi EDTA adalah sebagai perusak sel dengan cara mengikat ion magnesium sebagai prekursor enzim sehingga enzim menjadi tidak aktif. Larutan NaCl sebagai larutan isotonik yang menjaga tekanan osmotik sel agar DNA tidak rusak. Larutan tris-HCl untuk memberikan kondisi pH yang optimum.

DNA yang tercampur dengan polisakarida, protein, dan pengotor lainnya perlu dibersihkan. Pembersihan DNA dilakukan dengan ekstraksi menggunakan larutan CI dan sentrifugasi. Larutan kloroform dapat menghilangkan kontaminasi akibat polisakarida sedangkan sentrifugasi akan memisahkan molekul-molekul berdasarkan bobot molekulnya. Larutan CI sebagai pelarut

(31)

9

organik dapat menghancurkan dan mengendapkan protein. Ekstraksi yang dilakukan berulang-ulang bertujuan agar DNA benar-benar terbebas dari pengotor. Ekstraksi dengan cara bertahap juga merupakan cara ekstraksi yang terbaik karena akan menghasilkan jumlah ekstrak yang lebih banyak dibandingkan ekstraksi secara langsung. Perbedaan kelarutan akan mengakibatkan organel-organel kecil dan pengotor terekstrak, sedangkan inti sel atau

nucleus diasumsikan tidak ikut terekstrak

sebab memiliki ukuran yang besar sehingga di dalam larutan hanya terdapat inti sel yang mengandung DNA.

Hasil larutan yang disentrifugasi akan menghasilkan campuran larutan yang terpisah menjadi tiga fase. Larutan CI memiliki densitas yang tinggi sehingga terletak di bagian bawah (fase organik) tabung sentrifus. Bagian tengah larutan terdapat protein yang dilarutkan oleh larutan CI. Larutan DNA yang terletak di bagian atas (fase air) dipipet dengan hati-hati agar bagian proteinnya tidak ikut terambil. Larutan DNA yang diambil dimasukkan dalam tabung sentrifus baru dan diekstraksi kembali dengan larutan CI.

Pemurnian DNA dilakukan dengan etanol dan isopropanol. Larutan-larutan tersebut dapat mengendapkan DNA sedangkan kontaminan yang lain tetap larut (Sambrook 1989). Penambahan Na-asetat berfungsi untuk membantu memekatkan dan mengendapkan DNA. Pencucian endapan DNA dengan etanol 70% bertujuan memisahkan senyawa-senyawa yang masih menempel pada DNA. DNA akan lebih stabil dalam bentuk larutan oleh karena itu DNA yang diperoleh dilarutkan dalam MW. Pemurnian DNA dari kontaminan RNA dilakukan menggunakan enzim RNAse yang berfungsi mendegradasi RNA sehingga dihasilkan DNA murni yang terbebas dari RNA dan siap digunakan sebagai cetakan DNA saat PCR.

Konsentrasi DNA diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm. Ikatan rangkap terkonjugasi pada basa heterosiklik purin dan pirimidin menjadikan nukleosida, nukleotida, serta polinukleotida menyerap sinar UV (Murray 2003). Tabel 1 menunjukkan konsentrasi DNA hasil isolasi dan tingkat kemurniannya dari kontaminasi. Hasil elektroforesis DNA yang diisolasi (Gambar 5) menunjukkan bahwa konsentrasi DNA yang berhasil diisolasi tinggi, ditunjukkan oleh tebalnya pita DNA yang dihasilkan. Pita DNA hasil elektroforesis yang semakin tebal belum tentu

berbanding lurus dengan tingginya konsentrasi DNA. Kontaminasi senyawa polisakarida dan protein dapat mempengaruhi ketebalan pita, sehingga perlu dilakukan pengukuran kemurnian DNA terhadap senyawa kontaminan tersebut dengan spektrofotometer.Tingkat kemurnian DNA dapat dilihat dari perbandingan absorbansi panjang gelombang 260/280 nm (rasio F1) dan

260/230 nm (rasio F2). Rasio F1 menunjukkan

tingkat kemurnian terhadap kontaminan protein dan rasio F2 menunjukkan tingkat

kemurnian akibat kontaminan polisakarida. Nilai rasio yang baik berkisar pada 1.8-2.0 (Sambrook 1989).

Tabel 1 Data hasil spektrofotometer larutan DNA sampel Sampel* A260 [DNA] (µg/ml) 260/280 (rasio F1) 260/230 (rasio F2) DN 0.164 820 1.843 1.908 Dab 0.173 865 1.687 1.347 BN 0.236 1180 1.867 1.870 BAb 0.259 1295 1.847 1.828 FN 0.160 800 1.855 1.889 FAb 0.179 895 1.845 1.513 *Keterangan sampel; DN: daun normal, Dab: daun abnormal, BN: buah normal, BAb: buah abnormal, FN: buah normal, FAb: buah abnormal.

1 2 3 4 M 5 6

Gambar 5 Hasil elektroforesis larutan DNA sampel.

Amplifikasi DNA Hasil Isolasi dengan Primer Acak

Konsentrasi cetakan DNA yang akan diamplifikasi disamakan konsentrasinya menjadi 100 ng/μl. Tingginya konsentrasi cetakan DNA yang digunakan dalam PCR akan menghasilkan amplifikasi DNA yang kurang baik. Cetakan DNA yang terlalu banyak kemungkinan menyulitkan primer yang digunakan untuk menempel. Sebaliknya

Keterangan gambar: (1) DN (2) Dab (3) BN (4) BAb (5) FN (6) FAb (M) Marker 1 kb +

(32)

10

jika konsentrasi cetakan DNA terlalu rendah maka akan terjadi kompetisi tempat penempelan primer pada templat sehingga menyebabkan salah satu fragmen akan diamplifikasi dalam jumlah banyak sedangkan fragmen yang lain sedikit.

Amplifikasi cetakan DNA membutuhkan primer spesifik (sekuen oligonukelotida khusus) yang mengenali dan menempel pada situs tertentu pada cetakan DNA dengan sekuen nukleotida terkait. Primer biasanya terdiri dari 10-20 nukleotida dan dirancang berdasarkan daerah konservatif dalam genom tersebut. Semakin panjang ukuran primer, semakin spesifik daerah yang diamplifikasi. Jika suatu kelompok organisme memang berkerabat dekat, maka primer dapat digunakan untuk mengamplifikasi daerah tertentu yang sama dalam genom kelompok tersebut. Beberapa faktor yang berpengaruh seperti konsentrasi DNA contoh, ukuran panjang primer, komposisi basa primer, konsentrasi ion Mg, dan suhu hibridisasi primer harus dikontrol dengan hati-hati agar dapat diperoleh pita-pita DNA yang utuh dan baik (Suryanto 2003). Primer yang digunakan pada penelitian ini adalah primer acak OPA dan OPB yang memiliki panjang 10 basa yang urutannya berbeda-beda.

Hasil Amplifikasi DNA dengan Primer OPA

Pola pita amplifikasi DNA yang terbentuk antara sampel dengan primer OPA 6 dan OPA 7 hampir sama . Gambar 6 menunjukkan pola pita DNA yang teramplifikasi dengan primer OPA 8 dan OPA 9. Terdapat pola pita yang berbeda antara fragmen DNA bunga normal dan abnormal yang teramplifikasi dengan primer OPA 8. Terdapat pola pita pada bunga abnormal yang tidak terdapat pada bunga normal. Fragmen yang berbeda ini kemudian diisolasi dengan metode elusi menggunakan kit AxyPrep DNA Gel Extraction merek AXYGEN. Sequencing hasil elusi selanjutnya dilakukan untuk mengetahui perbedaan dengan yang normal. Fragmen cetakan DNA tidak menghasilkan pola pita amplifikasi DNA dengan primer OPA 9. Hal ini mungkin dapat disebabkan oleh primer yang belum larut sempurna, serta akibat adanya kontaminasi senyawa protein dan polisakarida dalam larutan DNA yang dapat mengganggu proses amplifikasi DNA. Pita amplifikasi yang dihasilkan cetakan DNA (daun, bunga, dan buah) normal dan abnormal dengan primer OPA 10 memiliki pola yang sama. Hal yang sama juga terjadi pada DNA sampel

(daun, bunga, dan buah) yang teramplifikasi dengan primer OPA 14, OPA 15, dan OPA 17. Hasil amplifikasi DNA cetakan buah abnormal dengan primer OPA 18 dan OPA 20 terdapat perbedaan, yaitu terdapat pola pita pada buah abnormal yang tidak terdapat pada buah normal (Gambar 7 dan Gambar 8).

Sequencing dilakukan pada fragmen yang

berbeda hasil elusi.

1 2 3 4 5 6 M 1 2 3 4 5 6

OPA 8 OPA 9

Gambar 6 Pola pita amplifikasi DNA daun, bunga, dan buah normal dan abnormal dengan primer OPA 8 dan OPA 9.

1 2 3 4 5 6 M

Gambar 7 Pola pita amplifikasi DNA daun, bunga, dan buah normal dan abnormal dengan primer OPA 18. 1 2 3 4 5 6 M 1 2 3 4 5 6

OPA 19 OPA 20 Gambar 8 Pola pita amplifikasi DNA daun,

bunga, dan buah normal dan abnormal dengan primer OPA 19 dan OPA 20.

(33)

11

Hasil Amplifikasi DNA dengan Primer OPB

Hasil amplifikasi cetakan DNA dengan primer OPB 1 hampir tidak terbentuk pita amplifikasi kecuali pada sampel DNA buah abnormal. Gambar 9 menunjukkan adanya pola pita yang diduga berbeda antara fragmen DNA buah normal dan abnormal yang diamplifikasi dengan primer OPB 2. Fragmen cetakan DNA normal dan abnormal dengan primer OPB 3 menghasilkan pola pita amplifikasi yang hampir sama, sama halnya dengan hasil amplifikasi menggunakan primer OPB 7, OPB 10, dan OPB 17. Gambar 10 menunjukkan terdapat pola pita yang diduga berbeda dihasilkan dari amplifikasi fragmen cetakan DNA buah normal dan abnormal dengan primer OPB 9.

Jumlah pita polimorfik hasil amplifikasi berbeda-beda. Semakin banyak pita polimorfik yang dihasilkan akan semakin mudah untuk mengamati adanya variasi. Adanya perbedaan pola pita yaitu berdasarkan jumlah dan ukuran pita menggambarkan adanya genom tanaman yang sangat kompleks (Grattapaglia dkk 1992). Hasil amplifikasi yang memperoleh jumlah pita yang tinggi serta banyaknya pita yang polimorfik dapat dijadikan sebagai kandidat penanda yang baik untuk sifat tertentu dan dapat diseleksi dengan uji selanjutnya.

Terdapat sampel yang tidak teramplfikasi dengan primer yang digunakan. Hasil amplifikasi yang kurang baik dapat disebabkan oleh ketidaksesuaian primer, efisiensi, dan optimasi proses PCR. Primer yang tidak spesifik atau sesuai dapat menyebabkan teramplifikasinya daerah lain dalam genom yang tidak dijadikan sasaran atau sebaliknya tidak ada daerah genom yang teramplifikasi. Optimasi PCR juga diperlukan untuk menghasilkan karakter yang diinginkan. Optimasi ini menyangkut suhu denaturasi dan annealing DNA dalam mesin PCR. Suhu denaturasi yang rendah dapat menyebabkan belum terbukanya DNA utas ganda sehingga tidak dimungkinkan terjadinya penempelan primer. Proses penempelan primer pada utas DNA yang sudah terbuka memerlukan suhu optimum, sebab suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan amplifikasi tidak terjadi karena primer tidak menempel atau sebaliknya suhu yang terlalu rendah menyebabkan primer menempel pada sisi lain genom yang bukan sisi homolognya. Hal ini menyebabkan teramplifikasi banyak daerah tidak spesifik dalam genom tersebut. Suhu penempelan (annealing) ini ditentukan berdasarkan primer

yang digunakan yang dipengaruhi oleh panjang dan komposisi primer. Suhu penempelan ini sebaiknya sekitar 5°C di bawah suhu leleh. Suhu penempelan yang digunakan untuk primer OPA dan OPB adalah 36ºC (Toruan-Mathius N, Bangun SI, Maria-Bintang 2001). Secara umum suhu leleh (Tm) dihitung dengan rumus Tm = 4(G+C) + 2(A+T)°C (Rybicky 1996).

Pita-pita DNA (yang berbeda) yang muncul hanya pada tanaman normal atau abnormal dapat diisolasi dari gel agarosa. Sebelumnya perlu dilakukan PCR ulang dengan volume reaksi yang lebih besar (100 µl) dan dielektroforesis pada gel agarosa. Produk PCR kemudian dimurnikan dari gel agarosa menggunakan kit AxyPrep DNA Gel

Extraction merek AXYGEN. Hasil pemurnian

pita DNA dari gel di cek ulang pada gel agarosa 1% dan urutan basanya diketahui dengan sequencing. Urutan basa tersebut kemudian dianalisis dengan program BLAST untuk mengetahui tingkat kemiripannya dengan urutan basa dari beberapa gen yang sudah ada di bank data gen.

1 2 3 4 5 6 M

Gambar 9 Pola pita amplifikasi DNA daun, bunga, dan buah normal dan abnormal dengan primer OPB 2. 1 2 3 4 5 6 M

Gambar 10 Pola pita amplifikasi DNA daun, bunga, dan buah normal dan abnormal dengan primer OPB 9.

(34)

12

Analisis Hasil Urutan Basa Fragmen DNA Sequencing dilakukan satu arah pada 6

sampel DNA yang menghasilkan pola pita amplifikasi yang diduga berbeda, yaitu BAb (primer OPA 8), FN (primer OPB 2), dan FAb (primer OPA 18, OPA 20, OPB 9). Hasil

sequencing yang diperoleh tidak begitu bagus,

karena dari 6 sampel yang disekuen hanya sampel FAb dengan primer OPB 9 yang terbaca urutan basanya. Hal ini diduga disebabkan oleh pemurnian yang kurang baik, digunakannya produk PCR murni untuk

sequencing tanpa diklon terlebih dahulu, atau

proses sequencing yang kurang sempurna. Urutan basa yang diperoleh dari hasil

sequencing (Gambar 12) selanjutnya

dianalisis dengan program BLAST dan hasilnya dapat dilihat pada grafik Gambar 11. Tampilan grafik menunjukkan fragmen DNA yang dianalisis memiliki tingkat homologi yang rendah dengan gen yang terdapat dalam bank gen ditunjukkan garis dalam grafik yang hampir semuanya berwarna biru. Hasil analisis juga tidak mendapatkan kesesuaian antara fragmen DNA dengan salah satu gen yang terdapat pada tanaman kelapa sawit yang sudah ada dalam bank gen. Garis

berwarna merah menunjukkan tingkat homologi yang sangat tinggi (≥ 200

nukleotida), garis merah muda menunjukkan tingkat homologi yang tinggi (80-200 nukleotida), garis hijau menunjukkan tingkat homologi sedang (50-80 nukleotida), garis biru menunjukkan tingkat homologi rendah (40-50 nukleoida), dan garis warna hitam menunjukkan tingkat homologi yang sangat rendah (< 40 nukleotida).

Hasil dari analisis yang kurang baik juga ditunjukkan dari nilai bit score yang rendah (kurang dari 150) dan e-value lebih dari 10-4 .

Bit score merupakan ukuran yang sangat

penting untuk penjajaran. Semakin tinggi bit

score maka tingkat homologi kedua sekuen

juga semakin tinggi. Sedangkan nilai e-value merupakan nilai dugaan yang memberikan ukuran statistik yang signifikan terhadap kedua sekuen. Nilai e-value yang semakin tinggi menunjukkan tingkat homologi antara kedua sekuen semakin rendah, dan jika nilai

e-value semakin rendah maka maka tingkat

homologi kedua sekuen semakin tinggi. Apabila nilai e-value 0 (nol) hal ini menunjukkan bahwa kedua sekuen tersebut identik (Claverie dan Notredame 2003).

Gambar 11 Analisis BLAST hasil sequencing fragmen DNA buah abnormal dengan primer OPB 9.

Gambar

Gambar 1 Tanaman Kelapa Sawit.
Gambar 2 Skema proses PCR.
Gambar 4 Skema proses sequencing dengan metode Sanger.
Tabel  1  Data  hasil  spektrofotometer  larutan                                              DNA sampel  Sampel*  A 260 [DNA]  (µg/ml)  260/280 (rasio F 1 )  260/230 (rasio F2 )  DN  0.164  820  1.843  1.908  Dab  0.173  865  1.687  1.347  BN  0.236  1180
+4

Referensi

Dokumen terkait

Untuk pihak universitas, terutama untuk Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam seharusnya memberikan informasi yang lebih banyak lagi kepada mahasiswanya terkait

Pendekatan dan metode yang digunakan peneliti dinilai tepat untuk digunakan kerena penelitian ini bermaksud untuk memperoleh data kuantitatif sekaligus data

Berdasarkan informasi dari guru kelas, adanya beberapa anak yang memutuskan untuk tidak bersekolah (putus sekolah) di SD Inpres Cambaya di Kabupaten Gowa,

Pelaksanaan PPL UNNES oleh mahasiswa praktikan pada tahun 2012 di SDN Tambakaji 01 berjalan dengan baik dan lancar. Hal ini dikarenakan adanya kerjasama yang baik dengan

dalam hal optimalisasi penerimaan negara bukan pajak dari penambangan tembaga, maka salah satu upaya yang harus dilakukan adalah analisis tekno-ekonomi penambangan dan pengolahan

1) Triangulasi metode: jika informasi atau data terhadap perilaku santri lama mempengaruhi perilaku santri baru yang berasal dari wawancara.. 2) Triangulasi sumber, jika informasi

Perubahan yang terjadi ini akan berpengaruh pada sikap seseorang dalam memandang dirinya, misalnya remaja sering mempersepsikan suatu objek yang dapat mengubah dan

Dalam tahap observasi siklus persiklus tindakan yang dilakukan peneliti dalam pembelajaran diamati oleh teman sejawat. Sebagai kolaburator dengan menggunakan