• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRA PERADILAN DALAM MEMUTUSKAN PENETAPAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PRA PERADILAN DALAM MEMUTUSKAN PENETAPAN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

KEWENANGAN LEMBAGA PRA PERADILAN DALAM MEMUTUSKAN PENETAPAN TERSANGKA

A. pendahuluan

Perubahan Undang-undang Dasar 1945 membawa perubahan yang sangat mendasar ke

dalam kehidupan negara hukum (rechstaat) Indonesia, di antaranya adanya pengakuan hak asasi manusia yang lebih diperjelas dan dibedakan dengan hak warga negara. Hak warga negara sangat

luas yaitu yang berkaitan dengan hak-hak yang mendasar yang dimiliki setiap individu dalam

kaitannya bernegara. Di antaranya yaitu hak setiap warga negara yang mempunyai kedudukan

yang sama dihadapan hukum. Hal ini tentunya membawa dampak kepada sistem pemidanaan di

Indonesia yang secara formil diatur dalam KUHAP .

Sebelum adanya KUHAP yang diatur dalam UU No. 8 tahun 1981, Indonesia dalam

sistem hukum acara pidananya mengunakan Het Herziene inlandsch Reglement atau H.I.R (Staatsblad tahun 1941 nomor 44) yang berasal dari peniggalan kolonial Belanda. Beberapa sifat pengaturan dari HIR ini masih belum mengedepankan hak-hak asasi manusia. Contohnya saja

dalam proses pemeriksaan, apabila tersangka tidak mau secara sukarela untuk mengakui

perbuatannya atau kesalahannya itu, maka petugas pemeriksa memperpanjang penderitaan

tersangka melalui cara penyiksaan sampai diperoleh pengakuan1.

KUHAP ini secara tegas mengatur bagaimana cara penegak hukum dalam menjalankan

hukum materiilnya dengan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang pada

dasarnya setiap manusia memiliki kedudukan sama dihadapan hukum. Sehingga

tindakan-tindakan seperti halnya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyidikan,

penuntutan, penghentian penyidikan, dan penuntutan dan sebagainya tidak bisa dilakukan dengan

semena-mena. Kesemuanya ini untuk mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia

agar jangan sampai “diperkosa”2. Maka dari itu, dalam ketentuan KUHAP ada ketentuan yang mengatur praperadilan. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengimbangi kekuasaan yang begitu

besar yang dimiliki oleh negara (penegak hukum) dalam melakukan penegakan hukum materiil

dimana acapkali melanggar hak-hak warga sipil dalam proseduralnya.

1

https://hariswandi.wordpress.com/2011/10/20/sejarah-hukum-acara-pidana-indonesia/, diakses pada tanggal 14 Mei 20115

2

(2)

B. Lembaga Pra Peradilan Menurut UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Apabila kita teliti istilah ”praperadilan”, secara harfiah “pra” artinya sebelum, atau

mendahului, berarti ”praperadilan” sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang Pengadilan

(sebelum memeriksa pokok dakwaan oleh Penuntut Umum). Sedangkan menurut Hartono yang

disebut lembaga Praperadilan adalah proses persidangan sebelum sidang masalah pokok

perkaranya disidangkan. Pengertian perkara pokok ialah perkara materinya, sedangkan dalam

praperadilan proses persidangan hanya menguji proses tata cara penyidikan dan penuntutan,

bukan kepada materi pokok saja (penegakan hukum formil).

Praperadilan adalah lembaga baru yang lahir bersamaan dengan lahirnya Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau disingkat KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981). Praperadilan

bukan lembaga peradilan yang mandiri atau berdiri sendiri terlepas dari Pengadilan Negeri,

karena dari perumusan Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 KUHAP dapat diketahui bahwa Praperadilan hanyalah wewenang tambahan yang diberikan kepada Pengadilan Negeri (hanya pengadilan

negeri)3.

Ada pun ciri dan eksistensinya sebagai berikut : berada dan merupakan kesatuan yang

melekat pada Pengadilan Negeri, dan sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat

Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri. Dengan

demikian, Praperadilan bukan berada di luar atau disamping maupun sejajar dengan Pengadilan

Negeri, tetapi hanya merupakan divisi dari Pengadilan Negeri, administratif yustisial, personil,

peralatan dan finansial bersatu dengan Pengadilan Negeri dan berada di bawah pimpinan serta

pengawasan dan pembinaan Ketua Pengadilan Negeri, tata laksana fungsi yustisialnya

merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri4.

Pra peradilan ini dipimpin oleh satu orang hakim dan satu orang panitera. Berbeda denga

lembaga peradilan umum yang terdiri dari satu orang panitera dan dipimpin tiga orang hakim

terdiri dari hakim ketua dan dua hakim anggota.

Tujuan diadakan lembaga Praperadilan dalam dunia penegakan hukum di negara kita

adalah untuk memantapkan pengawasan terhadap pemeriksaan pendahuluan perkara pidana,

khususnya pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan penuntutan. Dengan adanya Praperadilan

3

HMA KUFFAL, 2010, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang:UMM, hlm.251.

4

(3)

ini diharapkan pemeriksaan perkara pidana akan berjalan dengan sebaik-baiknya (tidak

menyimpang dari kaidah hukum formil), sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.

penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyidikan, penuntutan, penghentian

penyidikan dan penuntutan dan sebagainya tidak bisa dilakukan dengan semena-mena.

Kesemuanya ini untuk mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia agar jangan

sampai “diperkosa”5.

Secara limitative, pra peradilan diatur dalam Pasal 77 sampai Pasal 88 KUHAP. Selain

dari pada itu, ada pasal lain yang masih berhubungan dengan pra peradilan tetapi diatur dalam

pasal tersendiri yaitu mengenai tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur

dalam pasal 95 dan 97 KUHAP. Menurut pasal 77 KUHAP lembaga pra peradilan memiliki

kewenagan sebagai berikut:

a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan

tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas

permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau

pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan ( Pasal 1

butir 10 KUHAP ).

Apabila kita bandingkan denga negara lain seperti negara Perancis, kewenangan lembaga

pra peradilan (judge d’ Instruction) disana sangatlah luas dan berbeda dengan di Indonesia.

Disana lembaga pra peradilan dapat memeriksa terdakwa, saksi-saksi dan alat-alat bukti yang

lain. Selain itu dapat membuat berita acara, penggeledahan rumah, dan tempat - tempat tertentu,

melakukan penahanan, penyitaan, dan menutup tempat-tempat tertentu. Namun demikian

menurut Lintong Oloan Siahaan, tidak semua perkara harus melalui Judge d’ Instruction, hanya

perkara-perkara besar dan yang sulit pembuktiannya yang ditangani olehnya. Selebihnya yang

tidak begitu sulit pembuktiannya pemeriksaan pendahuluannya dilakukan sendiri oleh Polisi di

bawah perintah dan petunjuk-petunjuk jaksa6.

5

Riduan Syahrani, Beberapa hal Tentang Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, 1983, hal. 74

6

(4)

C. Penetapan Tersangka dalam Proses Peradilan

Menurt pendapat J.C.T. Simorangkir, dkk dalam bukunya Kamus Hukum

mengemukakan bahwa : tersangka adalah seorang yang disangka telah melakukansuatu tindak

pidana dan ia masih dalam taraf pemeriksaan pendahuluan untuk dipertimbangkan, apakah

tersangka inimempunyai cukup dasar untuk diperiksa dipersidangan. Sedangkan menurut pasal

1 butir 4 KUHAP yang berbunyi tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau

keadaannya, berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Bukti

permulaan yang cukup yang dimaksutkan dalam pasal 1 butir 4 KUHAP dijelaskan dalam

Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan

Tindak Pidana di mana diatur bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan alat bukti untuk

menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan minimal satu laporan polisi

ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP7. Alat

bukti yang dimaksut pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat,

petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Salah satu asas terpenting dalam hukum acara pidana ialah asas praduga tak bersalah.

Asas tersebut telah dimuat dalam pasal 8 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang

ketentuan–ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Asas praduga tak bersalah berarti bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan didepan pengadilan

wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya keputusan pengadilan yang menyatakan

kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Bersumber pada asas praduga tak bersalah maka jelas dan sewajarnya bahwa khususnya

tersangka dalam proses peradilan pidana wajib mendapatkan hak-haknya. Sebagai seseorang

yang belum dinyatakan bersalah maka ia mendapatkan hak-hak seperti hak untuk segera

mendapatkan pemeriksaan dalam fase penyidikan8. Hak-hak tersangka atau terdakwa lebih

jelasnya telah diatur dalam KUHAP antara lain meliputi :

1. Hak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik, diajukan ke penuntut umum, segera

dimajukan ke pengadilan dan segera diadili oleh pengadilan (Pasal 50 ayat (1), ayat (2),

dan ayat(3)

7Lihat

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5073b4c6c99ba/bukti-permulaan-yang-cukup-sebagai-dasar-penangkapan, diakses tangal 14 Mei 2015.

8

(5)

2. Hak untuk diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa

yang disangkakan seta yang didakwakan. (Pasal 51)

3. Hak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim dalam

pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan.(Pasal 52)

4. Hak untuk mendapatkan bantuan juru bahasa atau penterjemah bagi terdakwa atau saksi

yang bisu atau tuli. (Pasal 177 dan Pasal 178)

5. Hak dapat bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat Hukum selama dalam waktu

dan pada setiap tingkat pemeriksaan. (Pasal 54)

6. Hak memilih sendiri penasihat hukumnya. (Pasal 55)

7. Hak mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi yang tidak mampu, yang

diancam dengan pidana lima tahun atau lebih.

D. Metode penfsiran dan Konstruksi Hukum Sebagai Bentuk penemuan hukum oleh hakim

Semakin dinamisnya kehidupan masyarakat yang menyebabkan kaidah hukum selalu

tertinggal, sehingga hakim dituntut untuk menghidupkannya seiring dengan perubahan dan rasa

keadilan masyarkat. Penemuan hukum merupakan salah satu wadah yang dapat digunakan oleh

hakim untuk mengisi kekosongan hukum sebagi implikasi dinamika hukum yang berkembang

dalam masyarakat. Gambaran secara sempit yang dimaksut penemuan hukum menurut Sudikno

Mertokusumo adalah suatu penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa

dan memutuskan suatu perkara. Sedangakan menurut Paul Scholten penemuan hukum dalam

artian luas demaknai sebagai sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan

peristiwa. Kadang-kadang, dan bahkan sangat sering peraturan harus ditemukan, baik dengan

jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechtsevervijning9.

Dasar hakim dalam menemukan hukum telah diatur dalam pasal 10 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009, yang redaksi lengkapnya berbunyi : Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Asas Coria Novita yang menganggap hakim telah mengetahui hukum juga merupakan asas yang

9

(6)

perlu diperhatikan oleh hakim sebagai dasar penguat bahwa hakim berkewajiban untuk

menafsirkan peraturan.

Cara hakim dalam menemukan hukum dapat dilakukan dengan metode penafsiran dan

metode konstruksi hukum. Metode penafsiran hukum adalah penafsiran perkataan dalam

undang-undang, tetapi tetap berpegangan pada kata-kata/bunyi peraturannya. Sedangkan

konstruksi hukum adalah penalaran logis untuk mengembangkan suatu ketentuan dalam

undang-undang yang tidak lagi berpegangan pada kata-katanya, tetapi harus memperhatikan hukum

sebagai suatu sistem. Adapaun jenis-jenis metode penemuan hukum melalui interpretasi hukum

adalah sebagai beriku10.

a. Interpretasi subsumptif yaitu hakim menerapkan teks atau kata-kata suatu ketentuan

undang-undang terhadap kasus tanpa menggunakan penalaran sama sekali dan hanya

sekedar menerapkan silogisme dari ketentuan tersebut.

b. Interpretasi Gramatikal yaitu menafsiran kata-kata yang berada dalam undag-undang sesuai dengan kaidah tata bahasa.

c. Interpretasi ekstentif yaitu penafsiran yang lebih luas dari pada penafsiran gramatikal, karena memperluas makna dari ketentuan khusus menjadi ketentuan umum sesuai dengan

kaidah tata bahasanya.

d. Interpretasi sistematis yaitumenafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan.

e. Interpretasi sosiologi atau teologi yaitu menafsirkan makna atau subtansi undang-undang untuk diselaraskan dengan kebutuhan atau kepentingan warga masyarakat.

f. Interpretasi historis yaitu penafsiran berdasarkan sejarah undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum.

g. Interpretasi komparatif yaitu membandingkan antara berbagai sistem hukum yang ada di dunia, sehingga hakim dapat menggambil putusan yang sesuai dengan perkara yang

ditanganinya.

h. Interpretasi restriktif yaitu penafsiran yang sifatnya membatasi sesuatu ketentuan uandag-undang terhadap peristiwa konkrit.

i. Interpretasi futuristis yaitu menjelaskan suatu undang-undang yang berlaku sekarang dengan berpedomn dengan kepada uondang-undang ;yang akan diberlakukan.

10

(7)

Selanjutnya jenis-jenis metode penemuan hukum oleh hakim dengan cara konstruksi hukum

adalah sebagai berikut11.

a. Analogi atau argumentum peranalogian yaitu penemuan hukum yang mencari esensi dari peristiwa yang khusus menjadi peristiwa yang umum.

b. Argumen a’contrario yaitu penalaran terhadap suatu ketentuan undang-undang pada

peristiwa hukum tertentu, sehingga secara a’contrario ketentuan tersebut tidak boleh diberlakukan pada hal-hal lain atau kebalikannya.

c. Fiksi hukum yaitu penemuan hukum dengan menggambarkan suatu peristiwa kemudian mengagapnya ada, sehingga peristiwa tersebut menjadi suatu fakta baru.

E. Penetapan tersangka sebagai bentuk penafsiran hukum dalam kewenagan lemabaga pra peradilan

Secara eksplisit kewenangan pra peradilan diatur dalam KUHAP pasal 77 KUHAP

adalah sebagai berikut : “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :

a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan ;

b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada

tingkat penyidikan atau penuntutan” .

Selanjutnya dalam pasal 1 angka 10 KUHAP juga merumuskan pengertian “Praperadilan” adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini, tentang :

a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka ;

b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan

demi tegaknya hukum dan keadilan ;

c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak

lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan ;

Apabila kita melihat pasal 77 jo pasal 1 angka 10 KUHAP tidak ada satupun kalimat yang

menyebutkan kewenagan pra peradilan dalam memeriksa sah atau tidak sahnya penetapan status

11

(8)

penetapan tersangka. Namun apabila kita merujuk pada berbagai putusan lembaga pra peradilan

yang memutuskan penetapan tersangka sebagai kewenagannya, merupakan bentuk dari

penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim.

Pada asasnya hakim memang tidak boleh menolak suatu perkara dikarenakan peraturanya

kurang jelas maupun peraturnaya tidak ada12. Sehingga berdasarkan pasal 5 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009, Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Hakim dalam rangka penemuan hukum dapat dilakukan dengan cara interpretasi hukum

maupun konstruksi hukum. Apabila kita hubungkan dengan penetapan tersangka sebagai bentuk

penemuan hukum dari pada kewenagan lembaga pra peradilan denga mengacu pada putusan pra

peradilan jakarta selatan P U T U S A N Nomor 04/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel., maka penemuan

hukum oleh hakim ini dilakukan dengan cara interpretasi historis hukum. Pengertian dari pada

interpretasi historis hukum adalah metode interpretasi yang hendak memahami undang-undang

dalam kontek sejarah hukum13.

Sejarah praperadilan yang berasal dari Habeas Corpus, yaitu sebuah mekanisme yang ada pada sistem hukum Anglo Saxon untuk menguji keabsahan upaya paksa yang dilakukan oleh Penyidik dan Penuntut Umum dan sebagai bentuk pengawasan dari Pengadilan agar tindakan

yang dilakukan dalam tahap penyidikan dan penuntutan tidak dilakukan secara

sewenang-wenang14. Sehingga, ia berpendapat bahwa penetapan tersangka merupakan upaya paksa,

kareana menurut pasal 1 ayat 2 penetapan tersangka meruapan proses dari pada peyidikan.

Sehingga keabsahan dari upaya paksa dalam tingkat penyidikan dan penuntutan dapat diuji

dengan mekanisme pra peradilan.

MK dalam putusannya bernomor 21/PPU-XII/2014 juga memperkuat dengan adanya

putusan pengadilan jakarta selatan dengan masuknya pengujian sah atau tidak sahnya penetapan

tersangka sbagai kewengan pra peradilan. Bahkan MK memberilakn kewenagan lebih luas untuk

menguji pengeledahan dan penyitaan disampin penetapan tersangka.

12 pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009, 13

Prof.Dr.Sudikno Mertokusumo, Loc.cit, hal. 173

14

(9)

F. Penetapan Tersangka Bukanlah Obyek yang Tepat Daripada Kewenagan Lembag Pra Peradilan

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHP) memuat prinsip-prinsip/ asas hukum. Diantaranya prinsip legalitas, prinsip

keseimbangan, asas praduga tidak bersalah, prinsip pembatasan penahan, asas ganti rugi dan

rehabilitasi, penggabungan pidana dan tuntutan ganti rugi, asas unifikasi, prinsip diferensiasi

fungsional, prinsip saling koordinasi, asas keadilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, prinsip

peradilan terbuka untuk umum (Harahap, 2002: 35 - 56). Sehingga lahirlah suatu lembaga pra

peradilan yang dalam KUHAP diatu kewenagannya dalam pasal 77 jo pasal 1 angka 10

KUHAP.

Menurut pendapat I Dewa Gede Palguna secara implisit dari kedua pasal tersebut ada dua

kepentingan yang hendak dilindungi secara seimbang oleh lembaga pra peradilan, yaitu

kepentingan privat maupun kepentinga publik. Yang dimaksutkan dengan kepentingan privat ini

adalah kepentingan tersangka dalam upaya paksa penagkapan atau penahanan yang dilakukan

oleh pnyidik. Sedangkan kepentingan publik merupakan kepentingan masyarakat untuk menilai

apakah tindakan penghentian penuntutan dan penghentian penyidikan terhadap tersangka telah h

sesuai ataukah bahkan malah menyimpang dari ketentuan undang-undang dalam hal ini UU No.

8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Sehingga menurut pendapat I Dewa Gede Palguna memasukkan penetapan tersangka kedalam

ruang lingkup pra peradilan berarti membenarkan ketidak seimbangan perlindungan kepentingan

individu dan kepentingan publik. Sebab apabila tersangka mempersoalkan penetapannya sebagai

tersangka, pihak keluarga atau tersangka itu sendiri yang dapat diwakili oleh kuasa hukum dapat

memohon penghentian penyidikan (dalam hal ini penyidik tidak mengambil insiatif sendiri untuk

menghentikan penyidikan itu) dan memohon pra peradilan. Semenara itu, jika masyarakat

hendak mempersoalkan tindak penyidik yang menghentikan penyidikan terhadap seorang

tersangka, satu-satunya jalan yang tersedia hanyalah pra peradilan15.

Pendapat I Dewa Gede Palguna ini telah dirasakan impliksinya oleh masyarakat

indonesai setelah putusan pra peradilan jakarta selatan mengabulkan permohonan budi gunawan

yang mempersoalkna penetapanya sebagai tersangka. Sehingga putusan tersebut menjadi sebuah

yurisprudensi yang dapat dijadikan dasar hukum oleh para pemohon untuk mengugurkan

15

(10)

setatusnya sebagai tersangka. Beberapa contoh kasus diantaranya adalah kasus Surya Darma Ali

Mantan Mentri Agama dalam dugaan korupsi dana haji, kasus Mantan Ketua Komisi VII DPR

RI Sutan Bhatoegana yang terjerat kasus penerimaan gratifikasi dalam penetapan APBN

Perubahan Kementerian ESDM di Komisi VII DPR RI, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Bangkalan Fuad Amin, tersangka suap pengelolaan Migas.

Selain itu, ada juga Bupati Sabu Raijua, Marthen Dira Tome, tersangka korupsi dana

pendidikan. Bahkan, seorang pedagang sapi di Banyumas juga mengajukan praperadilan ke

Pengadilan Negeri Purwokerto untuk membatalkan penetapan tersangka dirinya oleh Kepolisian

Resor Banyumas dan tentunya akan masih banyak lagi16. Namun kebanyakan dari beberapa

gugatan tersebut gagal dibuktikan di pra peradilan. Ini menandakan bahwa tidak perlunya

lembaga pra peradilan memberikan kesempatan kepada tersangka untuk menguji keabsahanya

sebagai tersangka. Karena semata-mata para pemohon hanya mengikuti “nafsu birahi” yang pada akhirnya menambah beban lebih berat lagi para penegak hukum khusunya penyidik. Sehingga

tujuan dari pada hukum yang digadang-gadangkan oleh masyarakat sulit untuk dicapai.

16

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya, Pasal 6 memberikan pengecualian berkenaan dengan wewenang Pengadilan HAM, sebagai berikut: “Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara

Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang : perkawinan, waris,

Dalam hal memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian

Pengertian Pra peradilan menurut Pasal 1 Angka 10 KUHP adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang: Sah atau tidaknya suatu penangkapan

a. Peradilan Umum berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana dan perdata. Peradilan agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara

Salah satu perluasan kewenangannya adalah Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara

a) Pasal 1 ayat (10 c) : Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang permintaan

Selanjutnya, Pasal 6 memberikan pengecualian berkenaan dengan wewenang Pengadilan HAM, sebagai berikut: “Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara