KEWENANGAN LEMBAGA PRA PERADILAN DALAM MEMUTUSKAN PENETAPAN TERSANGKA
A. pendahuluan
Perubahan Undang-undang Dasar 1945 membawa perubahan yang sangat mendasar ke
dalam kehidupan negara hukum (rechstaat) Indonesia, di antaranya adanya pengakuan hak asasi manusia yang lebih diperjelas dan dibedakan dengan hak warga negara. Hak warga negara sangat
luas yaitu yang berkaitan dengan hak-hak yang mendasar yang dimiliki setiap individu dalam
kaitannya bernegara. Di antaranya yaitu hak setiap warga negara yang mempunyai kedudukan
yang sama dihadapan hukum. Hal ini tentunya membawa dampak kepada sistem pemidanaan di
Indonesia yang secara formil diatur dalam KUHAP .
Sebelum adanya KUHAP yang diatur dalam UU No. 8 tahun 1981, Indonesia dalam
sistem hukum acara pidananya mengunakan Het Herziene inlandsch Reglement atau H.I.R (Staatsblad tahun 1941 nomor 44) yang berasal dari peniggalan kolonial Belanda. Beberapa sifat pengaturan dari HIR ini masih belum mengedepankan hak-hak asasi manusia. Contohnya saja
dalam proses pemeriksaan, apabila tersangka tidak mau secara sukarela untuk mengakui
perbuatannya atau kesalahannya itu, maka petugas pemeriksa memperpanjang penderitaan
tersangka melalui cara penyiksaan sampai diperoleh pengakuan1.
KUHAP ini secara tegas mengatur bagaimana cara penegak hukum dalam menjalankan
hukum materiilnya dengan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang pada
dasarnya setiap manusia memiliki kedudukan sama dihadapan hukum. Sehingga
tindakan-tindakan seperti halnya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyidikan,
penuntutan, penghentian penyidikan, dan penuntutan dan sebagainya tidak bisa dilakukan dengan
semena-mena. Kesemuanya ini untuk mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
agar jangan sampai “diperkosa”2. Maka dari itu, dalam ketentuan KUHAP ada ketentuan yang mengatur praperadilan. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengimbangi kekuasaan yang begitu
besar yang dimiliki oleh negara (penegak hukum) dalam melakukan penegakan hukum materiil
dimana acapkali melanggar hak-hak warga sipil dalam proseduralnya.
1
https://hariswandi.wordpress.com/2011/10/20/sejarah-hukum-acara-pidana-indonesia/, diakses pada tanggal 14 Mei 20115
2
B. Lembaga Pra Peradilan Menurut UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Apabila kita teliti istilah ”praperadilan”, secara harfiah “pra” artinya sebelum, atau
mendahului, berarti ”praperadilan” sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang Pengadilan
(sebelum memeriksa pokok dakwaan oleh Penuntut Umum). Sedangkan menurut Hartono yang
disebut lembaga Praperadilan adalah proses persidangan sebelum sidang masalah pokok
perkaranya disidangkan. Pengertian perkara pokok ialah perkara materinya, sedangkan dalam
praperadilan proses persidangan hanya menguji proses tata cara penyidikan dan penuntutan,
bukan kepada materi pokok saja (penegakan hukum formil).
Praperadilan adalah lembaga baru yang lahir bersamaan dengan lahirnya Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau disingkat KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981). Praperadilan
bukan lembaga peradilan yang mandiri atau berdiri sendiri terlepas dari Pengadilan Negeri,
karena dari perumusan Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 KUHAP dapat diketahui bahwa Praperadilan hanyalah wewenang tambahan yang diberikan kepada Pengadilan Negeri (hanya pengadilan
negeri)3.
Ada pun ciri dan eksistensinya sebagai berikut : berada dan merupakan kesatuan yang
melekat pada Pengadilan Negeri, dan sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat
Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri. Dengan
demikian, Praperadilan bukan berada di luar atau disamping maupun sejajar dengan Pengadilan
Negeri, tetapi hanya merupakan divisi dari Pengadilan Negeri, administratif yustisial, personil,
peralatan dan finansial bersatu dengan Pengadilan Negeri dan berada di bawah pimpinan serta
pengawasan dan pembinaan Ketua Pengadilan Negeri, tata laksana fungsi yustisialnya
merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri4.
Pra peradilan ini dipimpin oleh satu orang hakim dan satu orang panitera. Berbeda denga
lembaga peradilan umum yang terdiri dari satu orang panitera dan dipimpin tiga orang hakim
terdiri dari hakim ketua dan dua hakim anggota.
Tujuan diadakan lembaga Praperadilan dalam dunia penegakan hukum di negara kita
adalah untuk memantapkan pengawasan terhadap pemeriksaan pendahuluan perkara pidana,
khususnya pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan penuntutan. Dengan adanya Praperadilan
3
HMA KUFFAL, 2010, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang:UMM, hlm.251.
4
ini diharapkan pemeriksaan perkara pidana akan berjalan dengan sebaik-baiknya (tidak
menyimpang dari kaidah hukum formil), sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.
penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyidikan, penuntutan, penghentian
penyidikan dan penuntutan dan sebagainya tidak bisa dilakukan dengan semena-mena.
Kesemuanya ini untuk mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia agar jangan
sampai “diperkosa”5.
Secara limitative, pra peradilan diatur dalam Pasal 77 sampai Pasal 88 KUHAP. Selain
dari pada itu, ada pasal lain yang masih berhubungan dengan pra peradilan tetapi diatur dalam
pasal tersendiri yaitu mengenai tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur
dalam pasal 95 dan 97 KUHAP. Menurut pasal 77 KUHAP lembaga pra peradilan memiliki
kewenagan sebagai berikut:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan ( Pasal 1
butir 10 KUHAP ).
Apabila kita bandingkan denga negara lain seperti negara Perancis, kewenangan lembaga
pra peradilan (judge d’ Instruction) disana sangatlah luas dan berbeda dengan di Indonesia.
Disana lembaga pra peradilan dapat memeriksa terdakwa, saksi-saksi dan alat-alat bukti yang
lain. Selain itu dapat membuat berita acara, penggeledahan rumah, dan tempat - tempat tertentu,
melakukan penahanan, penyitaan, dan menutup tempat-tempat tertentu. Namun demikian
menurut Lintong Oloan Siahaan, tidak semua perkara harus melalui Judge d’ Instruction, hanya
perkara-perkara besar dan yang sulit pembuktiannya yang ditangani olehnya. Selebihnya yang
tidak begitu sulit pembuktiannya pemeriksaan pendahuluannya dilakukan sendiri oleh Polisi di
bawah perintah dan petunjuk-petunjuk jaksa6.
5
Riduan Syahrani, Beberapa hal Tentang Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, 1983, hal. 74
6
C. Penetapan Tersangka dalam Proses Peradilan
Menurt pendapat J.C.T. Simorangkir, dkk dalam bukunya Kamus Hukum
mengemukakan bahwa : tersangka adalah seorang yang disangka telah melakukansuatu tindak
pidana dan ia masih dalam taraf pemeriksaan pendahuluan untuk dipertimbangkan, apakah
tersangka inimempunyai cukup dasar untuk diperiksa dipersidangan. Sedangkan menurut pasal
1 butir 4 KUHAP yang berbunyi tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya, berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Bukti
permulaan yang cukup yang dimaksutkan dalam pasal 1 butir 4 KUHAP dijelaskan dalam
Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan
Tindak Pidana di mana diatur bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan alat bukti untuk
menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan minimal satu laporan polisi
ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP7. Alat
bukti yang dimaksut pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Salah satu asas terpenting dalam hukum acara pidana ialah asas praduga tak bersalah.
Asas tersebut telah dimuat dalam pasal 8 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang
ketentuan–ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Asas praduga tak bersalah berarti bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan didepan pengadilan
wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya keputusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Bersumber pada asas praduga tak bersalah maka jelas dan sewajarnya bahwa khususnya
tersangka dalam proses peradilan pidana wajib mendapatkan hak-haknya. Sebagai seseorang
yang belum dinyatakan bersalah maka ia mendapatkan hak-hak seperti hak untuk segera
mendapatkan pemeriksaan dalam fase penyidikan8. Hak-hak tersangka atau terdakwa lebih
jelasnya telah diatur dalam KUHAP antara lain meliputi :
1. Hak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik, diajukan ke penuntut umum, segera
dimajukan ke pengadilan dan segera diadili oleh pengadilan (Pasal 50 ayat (1), ayat (2),
dan ayat(3)
7Lihat
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5073b4c6c99ba/bukti-permulaan-yang-cukup-sebagai-dasar-penangkapan, diakses tangal 14 Mei 2015.
8
2. Hak untuk diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa
yang disangkakan seta yang didakwakan. (Pasal 51)
3. Hak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim dalam
pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan.(Pasal 52)
4. Hak untuk mendapatkan bantuan juru bahasa atau penterjemah bagi terdakwa atau saksi
yang bisu atau tuli. (Pasal 177 dan Pasal 178)
5. Hak dapat bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat Hukum selama dalam waktu
dan pada setiap tingkat pemeriksaan. (Pasal 54)
6. Hak memilih sendiri penasihat hukumnya. (Pasal 55)
7. Hak mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi yang tidak mampu, yang
diancam dengan pidana lima tahun atau lebih.
D. Metode penfsiran dan Konstruksi Hukum Sebagai Bentuk penemuan hukum oleh hakim
Semakin dinamisnya kehidupan masyarakat yang menyebabkan kaidah hukum selalu
tertinggal, sehingga hakim dituntut untuk menghidupkannya seiring dengan perubahan dan rasa
keadilan masyarkat. Penemuan hukum merupakan salah satu wadah yang dapat digunakan oleh
hakim untuk mengisi kekosongan hukum sebagi implikasi dinamika hukum yang berkembang
dalam masyarakat. Gambaran secara sempit yang dimaksut penemuan hukum menurut Sudikno
Mertokusumo adalah suatu penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa
dan memutuskan suatu perkara. Sedangakan menurut Paul Scholten penemuan hukum dalam
artian luas demaknai sebagai sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan
peristiwa. Kadang-kadang, dan bahkan sangat sering peraturan harus ditemukan, baik dengan
jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechtsevervijning9.
Dasar hakim dalam menemukan hukum telah diatur dalam pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009, yang redaksi lengkapnya berbunyi : Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Asas Coria Novita yang menganggap hakim telah mengetahui hukum juga merupakan asas yang
9
perlu diperhatikan oleh hakim sebagai dasar penguat bahwa hakim berkewajiban untuk
menafsirkan peraturan.
Cara hakim dalam menemukan hukum dapat dilakukan dengan metode penafsiran dan
metode konstruksi hukum. Metode penafsiran hukum adalah penafsiran perkataan dalam
undang-undang, tetapi tetap berpegangan pada kata-kata/bunyi peraturannya. Sedangkan
konstruksi hukum adalah penalaran logis untuk mengembangkan suatu ketentuan dalam
undang-undang yang tidak lagi berpegangan pada kata-katanya, tetapi harus memperhatikan hukum
sebagai suatu sistem. Adapaun jenis-jenis metode penemuan hukum melalui interpretasi hukum
adalah sebagai beriku10.
a. Interpretasi subsumptif yaitu hakim menerapkan teks atau kata-kata suatu ketentuan
undang-undang terhadap kasus tanpa menggunakan penalaran sama sekali dan hanya
sekedar menerapkan silogisme dari ketentuan tersebut.
b. Interpretasi Gramatikal yaitu menafsiran kata-kata yang berada dalam undag-undang sesuai dengan kaidah tata bahasa.
c. Interpretasi ekstentif yaitu penafsiran yang lebih luas dari pada penafsiran gramatikal, karena memperluas makna dari ketentuan khusus menjadi ketentuan umum sesuai dengan
kaidah tata bahasanya.
d. Interpretasi sistematis yaitumenafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan.
e. Interpretasi sosiologi atau teologi yaitu menafsirkan makna atau subtansi undang-undang untuk diselaraskan dengan kebutuhan atau kepentingan warga masyarakat.
f. Interpretasi historis yaitu penafsiran berdasarkan sejarah undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum.
g. Interpretasi komparatif yaitu membandingkan antara berbagai sistem hukum yang ada di dunia, sehingga hakim dapat menggambil putusan yang sesuai dengan perkara yang
ditanganinya.
h. Interpretasi restriktif yaitu penafsiran yang sifatnya membatasi sesuatu ketentuan uandag-undang terhadap peristiwa konkrit.
i. Interpretasi futuristis yaitu menjelaskan suatu undang-undang yang berlaku sekarang dengan berpedomn dengan kepada uondang-undang ;yang akan diberlakukan.
10
Selanjutnya jenis-jenis metode penemuan hukum oleh hakim dengan cara konstruksi hukum
adalah sebagai berikut11.
a. Analogi atau argumentum peranalogian yaitu penemuan hukum yang mencari esensi dari peristiwa yang khusus menjadi peristiwa yang umum.
b. Argumen a’contrario yaitu penalaran terhadap suatu ketentuan undang-undang pada
peristiwa hukum tertentu, sehingga secara a’contrario ketentuan tersebut tidak boleh diberlakukan pada hal-hal lain atau kebalikannya.
c. Fiksi hukum yaitu penemuan hukum dengan menggambarkan suatu peristiwa kemudian mengagapnya ada, sehingga peristiwa tersebut menjadi suatu fakta baru.
E. Penetapan tersangka sebagai bentuk penafsiran hukum dalam kewenagan lemabaga pra peradilan
Secara eksplisit kewenangan pra peradilan diatur dalam KUHAP pasal 77 KUHAP
adalah sebagai berikut : “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan ;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada
tingkat penyidikan atau penuntutan” .
Selanjutnya dalam pasal 1 angka 10 KUHAP juga merumuskan pengertian “Praperadilan” adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini, tentang :
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka ;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan
demi tegaknya hukum dan keadilan ;
c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak
lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan ;
Apabila kita melihat pasal 77 jo pasal 1 angka 10 KUHAP tidak ada satupun kalimat yang
menyebutkan kewenagan pra peradilan dalam memeriksa sah atau tidak sahnya penetapan status
11
penetapan tersangka. Namun apabila kita merujuk pada berbagai putusan lembaga pra peradilan
yang memutuskan penetapan tersangka sebagai kewenagannya, merupakan bentuk dari
penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim.
Pada asasnya hakim memang tidak boleh menolak suatu perkara dikarenakan peraturanya
kurang jelas maupun peraturnaya tidak ada12. Sehingga berdasarkan pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009, Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Hakim dalam rangka penemuan hukum dapat dilakukan dengan cara interpretasi hukum
maupun konstruksi hukum. Apabila kita hubungkan dengan penetapan tersangka sebagai bentuk
penemuan hukum dari pada kewenagan lembaga pra peradilan denga mengacu pada putusan pra
peradilan jakarta selatan P U T U S A N Nomor 04/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel., maka penemuan
hukum oleh hakim ini dilakukan dengan cara interpretasi historis hukum. Pengertian dari pada
interpretasi historis hukum adalah metode interpretasi yang hendak memahami undang-undang
dalam kontek sejarah hukum13.
Sejarah praperadilan yang berasal dari Habeas Corpus, yaitu sebuah mekanisme yang ada pada sistem hukum Anglo Saxon untuk menguji keabsahan upaya paksa yang dilakukan oleh Penyidik dan Penuntut Umum dan sebagai bentuk pengawasan dari Pengadilan agar tindakan
yang dilakukan dalam tahap penyidikan dan penuntutan tidak dilakukan secara
sewenang-wenang14. Sehingga, ia berpendapat bahwa penetapan tersangka merupakan upaya paksa,
kareana menurut pasal 1 ayat 2 penetapan tersangka meruapan proses dari pada peyidikan.
Sehingga keabsahan dari upaya paksa dalam tingkat penyidikan dan penuntutan dapat diuji
dengan mekanisme pra peradilan.
MK dalam putusannya bernomor 21/PPU-XII/2014 juga memperkuat dengan adanya
putusan pengadilan jakarta selatan dengan masuknya pengujian sah atau tidak sahnya penetapan
tersangka sbagai kewengan pra peradilan. Bahkan MK memberilakn kewenagan lebih luas untuk
menguji pengeledahan dan penyitaan disampin penetapan tersangka.
12 pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009, 13
Prof.Dr.Sudikno Mertokusumo, Loc.cit, hal. 173
14
F. Penetapan Tersangka Bukanlah Obyek yang Tepat Daripada Kewenagan Lembag Pra Peradilan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHP) memuat prinsip-prinsip/ asas hukum. Diantaranya prinsip legalitas, prinsip
keseimbangan, asas praduga tidak bersalah, prinsip pembatasan penahan, asas ganti rugi dan
rehabilitasi, penggabungan pidana dan tuntutan ganti rugi, asas unifikasi, prinsip diferensiasi
fungsional, prinsip saling koordinasi, asas keadilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, prinsip
peradilan terbuka untuk umum (Harahap, 2002: 35 - 56). Sehingga lahirlah suatu lembaga pra
peradilan yang dalam KUHAP diatu kewenagannya dalam pasal 77 jo pasal 1 angka 10
KUHAP.
Menurut pendapat I Dewa Gede Palguna secara implisit dari kedua pasal tersebut ada dua
kepentingan yang hendak dilindungi secara seimbang oleh lembaga pra peradilan, yaitu
kepentingan privat maupun kepentinga publik. Yang dimaksutkan dengan kepentingan privat ini
adalah kepentingan tersangka dalam upaya paksa penagkapan atau penahanan yang dilakukan
oleh pnyidik. Sedangkan kepentingan publik merupakan kepentingan masyarakat untuk menilai
apakah tindakan penghentian penuntutan dan penghentian penyidikan terhadap tersangka telah h
sesuai ataukah bahkan malah menyimpang dari ketentuan undang-undang dalam hal ini UU No.
8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Sehingga menurut pendapat I Dewa Gede Palguna memasukkan penetapan tersangka kedalam
ruang lingkup pra peradilan berarti membenarkan ketidak seimbangan perlindungan kepentingan
individu dan kepentingan publik. Sebab apabila tersangka mempersoalkan penetapannya sebagai
tersangka, pihak keluarga atau tersangka itu sendiri yang dapat diwakili oleh kuasa hukum dapat
memohon penghentian penyidikan (dalam hal ini penyidik tidak mengambil insiatif sendiri untuk
menghentikan penyidikan itu) dan memohon pra peradilan. Semenara itu, jika masyarakat
hendak mempersoalkan tindak penyidik yang menghentikan penyidikan terhadap seorang
tersangka, satu-satunya jalan yang tersedia hanyalah pra peradilan15.
Pendapat I Dewa Gede Palguna ini telah dirasakan impliksinya oleh masyarakat
indonesai setelah putusan pra peradilan jakarta selatan mengabulkan permohonan budi gunawan
yang mempersoalkna penetapanya sebagai tersangka. Sehingga putusan tersebut menjadi sebuah
yurisprudensi yang dapat dijadikan dasar hukum oleh para pemohon untuk mengugurkan
15
setatusnya sebagai tersangka. Beberapa contoh kasus diantaranya adalah kasus Surya Darma Ali
Mantan Mentri Agama dalam dugaan korupsi dana haji, kasus Mantan Ketua Komisi VII DPR
RI Sutan Bhatoegana yang terjerat kasus penerimaan gratifikasi dalam penetapan APBN
Perubahan Kementerian ESDM di Komisi VII DPR RI, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Bangkalan Fuad Amin, tersangka suap pengelolaan Migas.
Selain itu, ada juga Bupati Sabu Raijua, Marthen Dira Tome, tersangka korupsi dana
pendidikan. Bahkan, seorang pedagang sapi di Banyumas juga mengajukan praperadilan ke
Pengadilan Negeri Purwokerto untuk membatalkan penetapan tersangka dirinya oleh Kepolisian
Resor Banyumas dan tentunya akan masih banyak lagi16. Namun kebanyakan dari beberapa
gugatan tersebut gagal dibuktikan di pra peradilan. Ini menandakan bahwa tidak perlunya
lembaga pra peradilan memberikan kesempatan kepada tersangka untuk menguji keabsahanya
sebagai tersangka. Karena semata-mata para pemohon hanya mengikuti “nafsu birahi” yang pada akhirnya menambah beban lebih berat lagi para penegak hukum khusunya penyidik. Sehingga
tujuan dari pada hukum yang digadang-gadangkan oleh masyarakat sulit untuk dicapai.
16