• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEPUTAR HUKUM PRAPERADILAN. Oleh : Massadi, S.Ag.,M.H. (Hakim PA Bungku)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEPUTAR HUKUM PRAPERADILAN. Oleh : Massadi, S.Ag.,M.H. (Hakim PA Bungku)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

SEPUTAR HUKUM PRAPERADILAN Oleh : Massadi, S.Ag.,M.H.

(Hakim PA Bungku)

Praperadilan merupakan hal baru dalam dunia peradilan Indonesia. Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan oleh KUHAP di tengah-tengah kehidupan penegakan hukum. Praperadilan dalam KUHAP ditempatkan dalam Bab X, bagian kesatu, sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi Pengadilan Negeri.

Setiap orang harus dianggap tidak bersalah atau praduga tak bersalah (presumption of innocent) sebagai hak asasi yang melekat pada setiap orang yang menjadi tersangka atau terdakwa, sampai kesalahannya dibuktikan dalam sidang pengadilan yang bebas dan jujur (fair trial) dan tidak memihak (impartiality) di depan umum.

Melakukan penangkapan dan penahanan harus di dasarkan pada bukti permulaan yang cukup dan dilakukan dengan kehati-hatian. Selanjutnya terhadap penghentian penyidikan atau penuntutan dan yang berkenaan dengan hal tersebut bila ada ditemukan dalam pelaksanaannya melanggar hukum dan undang-undang maka disitulah berawal munculnya Praperadilan.

Sekilas cerita bahwa diawal tahun 2015, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengajukan dan mengirimkan calon Kapolri tunggal ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dilakukan fit and proper test. Namun sebelum Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon Kapolri “Budi Gunawan” yang diajukan presiden, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan calon Kapolri tersebut sebagai tersangka. Status tersangka yang disandang oleh calon Kapolri tidak membuat DPR-RI menghentikan untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan.

Dari hasil uji kepatutan dan kelayakan yang dilakukan oleh DPR RI terhadap calon kapolri telah disampaikan ke presiden. DPR RI menyetujui calon kapolri yang di

(2)

ajukan oleh presiden “ Komjen Budi Gunawan” untuk dilantik menjadi kapolri menggantikan Komjen Sutarman yang telah memasuki masa purna bhakti. Dari sinilah awal konfliknya KPKvs Polri, yang mengakibatkan sampai saat ini presiden Joko Widodo belum mengambil sikap untuk melantik atau tidak calon kapolri tersebut.

Public harus bisa memandang pelemik antara KPK vs Polri secara seimbang, sejumlah oknum didua lembaga tersebut sama-sama membuat kesalahan dalam proses hukum. Oleh karenanya seharusnya tidak saling menyalahkan. Satunya melakukan politisasi dan sebaliknya satunya melakukan susuatu tidak transparan dalam bertindak.

Lembaga yang melakukan politisasi adalah KPK, pasalnya KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka kasus gratifikasi sehari sebelum mengikuti fit and proper test di DPR RI. KPK lakukan politisasi bukan kriminalisasi karena mengedepankan kepentingan politik namun membingkai kepentingan politik itu melalui proses hukum.

Sementara itu, polri juga salah dalam menangani kasus wakil ketua KPK Bambang Wijayanto, pasalnya polri tidak transparan, tiba-tiba melakukan penangkapan terhadap wakil ketua KPK tersebut tanpa diberitahu sebelumya soal penetapannya sebagai tersangka. Dalam hal ini mungkinakan menjadi sorotan karena terjadi diluar kebiasaan. Hal ini menjadi catatan polri untuk melakukan perbaikan kedepan.

Dari rentetan itu, gambaran peristiwa calon Kapolri Budi Gunawan melakukan upaya hukum Praperadilan kepada pengadilan negeri mengenai statusnya yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Presiden pun menyatakan keputusannya tentang melantik atau mengganti calon kapolri akan menunggu hasil Praperadilan.

Ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri. Bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberikan putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana. Praperadilan melekat dan berada kesatuan pada Pengadilan Negeri, dan sebagai

(3)

lembaga Peradilan hanya dapat dijumpai pada tingkat Penagdilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisahkan dari Pengadilan Negeri. Praperadilan bukan berada diluar,disamping maupun sejajar dengan peradilan Negeri tetapi hanya merupakan divisi dari pengadialn negeri.

Administrasi yustisial, personil, peralatan dan finansial bersatu dengan pengadilan Negeri dan berada dibawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan ketua pengadilan negeri. Tatalaksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri.

Selama ini wewenang dan fungsi pengadilan negeri mengadili dan memutus perkara pidana dan perdata sebagai tugas pokok, maka terhadap tugas pokok tadi diberi tugas tambahan untuk menilai sah tidaknya penahanan, penyitaan,penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum yang wewenang pemeriksaannya diberikan kepada praperadilan seperti yang dirumuskan dalam KUHAP pasal 1 butir 10.

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a.sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b.sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c.permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

A. Tujuan Praperadilan

Praperadilan yang merupakan barang baru dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia dan setiap yang baru mempunyai misi dan motivasi tertentu. Pasti aka nada yang akan dituju dan yang hendak dicapai. Tidak ada sesuatu yang diciptakan tanpa didorong oleh maksud dan tujuan. Demikian pula halnya dengan pelembagaan praperadilan ada maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi, yakni tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangkadalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan.

(4)

Demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, undang-undang meberikan wewenang kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan,penyitaan dan sebagainya. Setiap upaya paksa yang dilakukan pejabat penyidik dan penuntut umum terhadap tersangka pada hakekatnya merupakan perlakukan bersifat:

 Tindakan paksa yang dibenarkan undang-undang demi kepentingan pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka.

 Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan undang-undang, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi tersangka.

Karena tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, tindakan itu harus dialkukan secara bertanggungjawab menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku (due process of law). Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan undang-undang merupakan perkosaan terhadap hak asasi tersangka.

Setiap tindakan perkosaan yang ditimpakan kepada tersangka adalah tindakan yang tidak sah, karena bertentangan dengan hukum dan undang-undang (ilegal). Akan tetapi bagaimana mengawasi dan menguji tindakan paksa yang dianggap bertentangan dengan hukum?. Untuk itu perlu diadakan suatu lembaga yang diberi wewenang untuk menguji dan menentukan sah tidaknya tindakan paksa yang dikenakan kepada tersangka. Menguji dan menilai sah tidaknya tindakan paksa yang dilakukan penyidik dan penuntut umum yang dilimpahkan kewenangannya kepada Praperadilan.

Memang sangat beralasan untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar-benar proposional dengan ketentuan hukum serta tidak merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Pengawasan dan penilaian upaya paksa inilah yang tidak dijumpai dalam tindakan penegakan hukum di masa HIR. Bagaimanapun perlakuan dan cara pelaksanaan tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik pada

(5)

waktu itu, semuanya lenyap ditelan kewenangan yang tidak terawasi dan tidak terkendali oleh koreksi lembaga mana pun. HIR tidak memberi hak dan upaya untuk memintakan perlindungan dan koreksi.

Berpijak dari pengalaman suram dimasa HIR, pembuat undang-undang menanggapi betapa pentingnya menciptakan suatu lembaga yang diberi wewenang melakukan koreksi,penilaian,pengawasan terhadap setiap tindakan upaya paksa yang dikenakan oleh pejabat penyidik atau penuntut umum kepada tersangka, selama pemeriksaan berlangsung dalam tahap tingkat proses penyidikan dan penuntutan. Pelembagaan yang memberi wewenang pengawasan terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan pejabat dalam taraf proses pemeriksaan penyidikan atau penuntut umum inilah yang dilimpahkan KUHAP kepada Praperadilan.

Pada prinsipnya tujuan utama pelembagaan Praperadilan dalam KUHAP, untuk melakukan “pengawasan horizontal” atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang.

B. Wewenang Praperadilan

Sejauh manakah wewenang yang diberikan undang-undang kepada Praperadilan. Kasus apa sajakah yang dapat diperiksa dan diputus oleh Praperadilan sehubungan tindakan upaya paksa yang dilakukan pejabat penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka. Tentang hal ini, sepintas lalu sudah dikemukan bahwa dalam KUHAP, ketentuan dalam;

Pasal 1 butir 10.

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

(6)

c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Pasal 77.

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Pasal 95.

1. Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

2. Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalarn ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.

3. Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kapada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.

4. Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan.

5. Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara praperadilan.

Pasal 97.

1. Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

2. Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

3. Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.

Boleh dikatakan, bersumber dari pasal-pasal dimaksudlah kekewenangan Praperadilan. Untuk lebih jelasnya akan dirinci wewenang yang diberikan undang-undang kepada Praperadilan.

(7)

1. Memeriksa dan Memutus Sah atau Tidaknya Upaya Paksa.

Inilah wewenang pertama yang diberikan undang-undang kepada Praperadilan, memeriksa dan memutus sah atau tidaknya;

 Penangkapan,  Penahanan.

Berarti, seorang tersangka yang dikenakan tindakan penagkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaan, dapat meminta kepada Praperadilan untuk memeriksa sah tidaknya tindakan yang dilakukan penyidik kepadanya. Tersangka dapat mengajukanpemeriksaan kepada Praperadilan, bahwa tindakan penahanan yang dikenakan pejabat penyidik bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 KUHAP atau penahanan yang dikenakan sudah melampaui batas waktu yang ditentukan Pasal 24 KUHAP.

Pasal 21.

1. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

2. Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.

3. Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya.

4. Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pembenian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:

a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal

296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47,

(8)

dan Pasal 48 Undangundang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086).

2. Memeriksa Sah atau Tidaknya Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan.

Kasus lain yang termasuk ke dalam ruang lingkup kewenangan Praperadilan ialah memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang dilakukan oleh pejabat penyidik maupun tentang sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan penuntut umum.

Hasil pemeriksaan penyidikan atau penuntutan tidak cukup bukti atau apa yang disangkakan kepada tersangka bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran tindak pidana. Sebab itu tidak mungkin meneruskan perkaranya kesidang pengadilan. Mungkin juga penghentian penyidikan atau penuntutan dilakukan penyidik atau penuntut umum atas alasan nebis in idem atau terdapat unsur kedaluwarsa untuk menuntut.

Pasal 140 ayat (2).

a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.

b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan.

c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim.

d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka

Hal ini dalam arti, hasil pemeriksaan penyidik tindak pidana yang disampaikan penyidik, tidak dilimpahkan penuntut umum ke sidang pengadilan. Akan tetapi hal ini bukan dimaksudkan menyampingkan atau mendeponir perkara tersebut. Oleh karena itu harus dibedakan antara tindakan hukum penghentian penuntut umum dengan penyampingan (diponering) perkara yang dimaksud pasal 8 Undang-undang Nomor 15/1961 (sekarang Pasal 32 huruf e

(9)

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 dan penjelasan Pasal 77 KUHAP. Yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung.

Namun, apakah selamanya alasan penghentian penyidikan atau penuntutan sudah tepat dan benar menurut ketentuan undang-undang. Mungkin saja penghentian tafsir secara tidak tepat atau juga penghentiansama sekali tidak beralasan atau penghentian itu dilakukan untuk kepentingsn pribadi pejabat yang bersangkutan. Oleh karenanya,bagaimanapun mesti ada lembaga yang berwenang memeriksa dan menilai sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, agar tindakan tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum dan kepentingan umum maupun untuk mengawasi tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse of authority).

Untuk itu terhadap penghentian penyidikan, undang-undang memberi hak kepada penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan pemeriksaan kepada Praperadilan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan tersebut. Demikian juga sebaliknya, penyidik dan pihak ketiga yan berkepetingan dapat mengajukan pemeriksaan sah tidaknya penghentian penuntutan kepada Praperadilan.

3. Berwenang Memeriksa Tuntutan Ganti Rugi

Pada pasal 95 KUHAP, mengatur tentang tuntutan ganti kerugian yang diajukan tersangka, keluarganya atau penasehat hukumnya kepada Praperadilan. Tuntutan ganti kerugian diajukan berdasarkan;

 Penangkapan atau penahanan yang tidak sah,

 Penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang,

 Kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap, ditahan atau diperiksa.

Sekedar contoh, misalnya pelaku tindak pidana yang sebenarnya adalah A. tetapi yang ditangkap, ditahan, dan diperiksa B. atas kekeliruan mengenai

(10)

orang yang ditahan, ditangkap, atau diperiksa memberi hak kepada yang bersangkutan untuk menuntut ganti kerugian kepada Praperadilan.

4. Memeriksa Permintaan Rehabilitasi

Praperadilan berwenang memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi yang diajukan oleh tersangka, keluarganya atau penasehat hukumnya atas penagkapan atau penahanan tanpa dasar hukum yang ditentukan undang-undang.

Bisa juga permintaan rehabilitasi atas kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang diperkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan.

5. Tindakan Penyitaan

Dalam tinjauan standar universal maupun dalam KUHAP, tindakan upaya paksa merupakan perampasan HAM atau hak privasi perseorangan (personel privacy right) yang dilakukan penguasa (aparat penegak hukum) dalam melaksankan fungsi feradilan dalam system peradilan pidana (criminal justice system) yang dapat dikalsifikasi meliputi:

 Penangkapan (arrest)  Penahanan (detention)

 Penggeledahan (searching), dan

 Penyitaan, perampasan, pembeslahan (seizure).

Perbedaan system pelaksanaan upaya paksa telah menimbulkan permasalahan hukum dan perbedaan pendapat dalam penerapan;

a. Ada yang berpendirian, tindakan upaya paksa yang masuk yurisdiksi Praperadilan untuk menguji keabsahannya, hanya terbatas pada tindakan penangkapan dan penahanan atas alasan undue process atau orang yang ditahan atau ditangkap tidak tepat (eror in person). b. Sedang tidakan upaya paksa penggeledahan atau penyitaan

dianggap berada di luar yurisdiksi Praperadilan atas alasan, dalam penggeledahan atau penyitaan terkandung intervensi pengadilan berupa:

(11)

 Dalam proses biasa, harus lebih dahulu medapat surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri seperti disebutkan dalam KUHAP. Pasal 33 ayat (1).

Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan.

Pasal 38 ayat (1).

Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat.

 Dalam keadan mendesak, boleh lebih dahulu bertindak, tetapi harus meminta persetujuan KPN.

Pasal 34 ayat (1).

Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan:

a. pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dari yang ada di atasnya;

b. pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada;

c. di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya; di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.

Pasal 38 ayat (2)

Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Bertitik tolak dari asumsi kemungkinan terjadinya penyimpangan di luar batas surat izin yang diberikan KPN, terhadap penggeledahan dan penyitaan pun dapat diajukan ke Praperadilan. Baik yang berkenaan dengan tuntutan ganti kerugian maupun yang berkenaan dengan sah atau tidaknya penyitaan dengan acuan penerapan:

(12)

a. Dalam hal penggeledahan atau penyitaan tanpa izin atau persetujuan KPN, mutlak menjadi yurisdiksi Praperadilan untuk memeriksa keabsahannya.

b. Dalam hal penggeledahan atau penyitaan telah mendapat izin atau surat persetujuan dari KPN, tetap dapat diajukan ke Praperadilan, dengan lingkup kewenangan yang lebih sempit yakni;

 Praperadilan tidak dibenarkan menilai surat izin atau surat persetujuan yang dikeluarkan KPN tentang hal itu.

 Yang dapat dinilai oleh Praperadilan, terbatas pada masalah pelaksanaannya surat izin atau surat persetujuan tersebut, dalam arti apakah pelaksanaannya sesuai atau melampaui surat izin atau tidak.

Sehubungan dengan itu, meskipun pasal 77 ayat (1) huruf a KUHAP tidak meyebutkan secara tegas tentang penyitaan dan penggeledahan, tetapi hanya menyebut penangkapan , penahanan, dan penghentian penyidikan atau penuntutan, rincian ini tidak bersifat “limitatif”. Ternyata pasal 82 ayat (3) huruf d KUHAP memasukkan upaya penyitaan ke dalam yurisdiksi substantif Praperadilan.

Pasal 82 ayat (3)

3. Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga memuat hal sebagai berikut

a. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah; maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka;

b. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;

c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;

d. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa

(13)

benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita.

Alasan lain yang mendukung tindakan penyitaan termasukyurisdiksi Praperadilan berkenaan dengan penyitaan yang dilakukan terhadap orang pihak ketiga dan barang itu tidak termasuk sebagai alat atau barang bukti. Dalam kasus seperti ini pemilik barang harus diberi hak untuk mengajukan ketidakabsahan penyitaan kepada Praperadilan. Menutup atau meniadakan hak orang yang dirugikan dalam penyitaan dimaksud, berarti membiarkan dan membenarkan perkosaan oleh aparat penegak hukum (penyidik) terhadap hak miliki orang yang tidak berdosa.

C. Proses Pemeriksaan Praperadilan

1. Yang Berhak Mengajukan Permohonan a. Tersangka, Keluarganya, atau Kuasanya

Tersangka, Keluarganya atau Kuasanya berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya:

 Penaangkapan  Penahanan  Penyitaan  Penggeledahan

Pasal 79.

Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

b. Penuntut Umum dan Pihak Ketiga yang Berkepentingan

Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah tidaknya penghentian penyidikan. Apabila penyidik menghentikan pemeriksaan penyidikan maka kepada penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan mengajukan pemeriksaan kepada

(14)

Praperadilan mengenai hal sah atau tidaknya penghentian penyidikan.

Pasal 80

Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

Yang dimaksud pihak ketiga yang berkepentingan dalam pemeriksaan perkara pidana ialah saksi yang langsung menjadi korban yang paling berkepentingan dalam peristiwa pidana yang bersangkutan. Sehingga ia berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan kepada Praperadilan. Pemberian hak yang sedemikian kepada saksi dapat dianggap memenuhi tuntutan kesadaran masyarakat.

c. Penyidik atau Pihak Ketiga Yang Berkepentingan.

Kalau dalam penghentian penyidikan penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan yang tampil mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan, dalam penghentian penuntutan penyidik atau pihak ketiga yang berkentingan yang diberi hak untuk mengajukannya.

Disini terjadi timbal balik, dengan demikian sekiranya penyidik tidak menanggapi penghentian penuntutan atau penyidik dapat menyetujuinya, saksi dapat berperan melakukan pengawasan dengan jalan mengajukan permintaan pemeriksaan kepada Praperadilan tentang sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan penuntut umum.

d. Tersangka, Ahli Warisnya, atau Kuasanya.

Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP, menurut ketentuan tersebut dijelaskan bahwa tersangka, ahli warisnya, atau

(15)

penasehat hukumnya dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada Praperadilan atas alasan

 Penangkapan atau penahanan yang tidak sah.

 Penggeledahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah, atau  Karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan,

yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan.

Pasal 95 ayat (2)

Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalarn ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.

e. Tersangka atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan menuntut Ganti Rugi.

Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada Praperadilan atas alasan sahnya penghentian penyidikan atau sahnya penghentian penyidikan penuntutan.

Kalau Praperadilan memutuskan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan sah, putusan yang mengesahkan penghentian itu memberi alasan kepada tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan permintaan ganti kerugian kepada Praperadilan.

Sebaliknya, kalau Praperadilan meyatakan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak sah, sehingga penyidikan atau penuntutan dilanjutkan, dengan sendirinya menutup pintu bagi tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan menuntut ganti kerugian.

(16)

Pasal 81.

Permintaan ganti kerugian dan atau rehabiitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.

2. Pengajuan dan Tata Cara Pemeriksaan Praperadilan.

a. Permohonan Ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.

Semua permohonan yang hendak diajukan untuk diperiksa oleh Praperadilan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negerim meliputi daerah hukum tempat di mana penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan itu dilakukan. Atau diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri tempat di mana penyidik atau penuntut umum yang menghentikan penyidikan atau penuntutan berkedudukan.

b. Permohonan Diregister dalam Perkara Praperadilan

Setelah panitera menerima permohonan, deregister dalam perkara Praperadilan. Segala permohonan yang ditujukan ke Praperadilan, dipisahkan rigisternya dari perkara pidana biasa. Adminitarsi yustisial Praperadilan dibuat tersendiri terpisah dari administrasi perkara biasa.

c. Ketua Pengadilan Negeri Segera Menunjuk Hakim dan Panitera. Penunjukan segera mungkin hakim dan panitera yang akan memeriksa permohonan. Bahwa dalam waktu 3 (tiga) hari setelah diterima permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang. Agar yang dituntut dalam pasal tersebut dapat dilaksanakan secara tepat setelah pencatatan dalam register, panitera memintakan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk segera menunjuk dan menetapkan hakim dan panitera yang akan bertindak memeriksa permohonan. Atau kalau Ketua Pengadilan Negeri telah menetapkan satuan tugas yang khusus secara permanen, segera melimpahkan permintaan itu kepada pejabat satuan tugas tersebut.

(17)

Pasal 82 ayat (1) huruf a.

(1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut: a. dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang

ditunjuk menetapkan hari sidang;

d. Pemeriksaan Dilakukan dengan Hakim Tunggal

Hakim yang duduk dalam pemeriksaan sidang Praperadilan adalah hakim tunggal. Semua permohonan yang diajukan kepada Praperadilan, diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal dan dibantu oleh seorang panitera.

Pasal 78 ayat (2)

Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.

e. Tata Cara Pemeriksaan Praperadilan.

1. Penetapan hari sidang 3 (tiga) hari sesudah register. Demikian ini yang telah disebutkan dalam pasal 82 ayat (1) huruf a, yakni 3 (tiga) hari sesudah permohonan. Hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang. Penghitungan penetapan hari sidang, bukan dari tanggal penunjukan hakim oleh Ketua Pengadilan Negeri, namun dihitung 3 (tiga) hari dari tanggal penerimaan atau 3 (tiga) hari dari tanggal register di kepaniteraan.

2. Pada hari penerimaan sidang sekaligus hakim menyampaikan panggilan. Tata cara inilah yang sebaiknya ditempuh, agar dapat terpenuhi proses pemeriksaan yang cepat.

Pasal 82 ayat (1) huruf c.

(1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut: c. permeriksaan tersebut dilakukan cara cepat dan

selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya;

Yang dipanggil dan diperiksa dalam sidang Praperadilan, bukan hanya Pemohon namun juga pejabat yang menimbulkan terjadinya alasan permintaan pengajuan pemeriksaan Praperadilan.

(18)

Kedudukan dan kehadiran pejabat yang bersangkutan dalam pemeriksaan sidang Praperadilan, bukan sebagai pihak dalam arti pemeriksaan perkara perdata yakni sebagai Termohon/Tergugat. Secara formal kedudukan dan kehadiran pejabat, hanya untuk “memberi keterangan”. Keterangan pejabat didengar hakim dalam sidang sebagai bahan pertimbangan dalam menjatuhkan putusan.

D. Bentuk Putusan Praperadilan

Bertitik tolak dari prinsip acara pemeriksaan cepat, bentuk putusan Paraperadilan pun sudah selayaknya menyesuaikan diri dengan sifat proses tersebut tanpa mengurangi isi pertimbangan yang jelas berdasar hukum dan undang-undang. Ada beberapa hal yang berkenaan dengan masalah putusan Praperadilan:

1. Putusan disatukan dengan berita acara

Bentuk putusan Praperadilan tidak diatur secara tegas dalam undang-undang. Bahwa pembuatan putusan Praperadilan dirangkaikan menjadi satu dengan berita acara pemeriksaan sidang menarik kesimpulan dari 2 (dua) sumber:

a. Pasal 82 ayat (1) huruf c.

(1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut:

c. permeriksaan tersebut dilakukan cara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya;

b. Pasal 96 ayat (1)

(1) Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan. 2. Isi Putusan Praperadilan.

Isi putusan Praperadilan pada garis besarnya diatur sebagaimana berikut: Pasal 82 ayat (2)

(2) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya.

Pasal 82 ayat (3)

(3) Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga memuat hal sebagai berikut:

(19)

a. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah; maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka;

b. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;

c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;

d. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita.

Selain memuat putusan penetapan Praperadilan yang memuat alasan dasar pertimbangan hukum, juga membuat amar penetapan Praperadilan bisa berupa:

1. Sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan.

2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan. 3. Diterima atau ditolak permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi. 4. Perintah pembebasan dari tahanan.

5. Perintah melanjutkan penyidikan atau penuntutan. 6. Besarnya ganti kerugian.

7. Berisi pernyataan segera mengembalikan sitaan.

E. Gugur Pemeriksaan Praperadilan

Pemeriksaan Praperadilan bisa gugur, artinya pemeriksaan Praperadilan dihentikan sebelum putusan dijatuhkan atau pemeriksaan dihentikan tanpa putusan.

Pasal 82 ayat (1) huruf d.

(d) dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;

Memperhatikan ketentuan tersebut maka gugurnya pemeriksaan Praperadilan terjadi:

 Apabila perkaranya telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri.

 Pada saat perkaranya diperiksa Pengadilan Negeri, pemeriksaan Praperadilan belum selesai.

(20)

F. Upaya Hukum Putusan Praperadilan

1. Putusan Praperadilan yang tidak dapat banding.

Tidak semua putusan Praperadilan dapat dimintakan upaya banding. Dalam hal ini sebagaimana yang telah ditetapkan sebagaimana berikut di dalam KUHAP:

a. Penetapan sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan b. Putusan ganti kerugian dan rehabilitasi.

pasal 83 ayat (1)

(1)Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidal dapat dimintakan banding.

2. Putusan Praperadilan yang dapat dibanding.

Mengenai putusan Praperadilan yang dapat diminta banding ke Pengadilan Tinggi sebagai mana disebutkan sebagai berikut:

a. Putusan yang menetapkan “sahnya” penghentian penyidikan atau penuntutan “ tidak dapat” diajukan permintaan banding.

b. Putusan yang menetapkan tentang “tidak sahnya” penghentian penyidikan atau penuntutan, “dapat” diajukan permintaan banding.

c. Pengadilan Tinggi yang memeriksa dan memutus permintaan banding tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, bertindak sebagai pengadilan yang memeriksa dan memutus :dalam tingkat” akhir. Pasal 83 ayat (2).

(2) Dikecualikan dan ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.

3. Kasasi terhadap Putusan Praperadilan.

Telah disinggung bahwa putusan Praperadilan yang dapat diminta banding, dimana Pengadilan tinggi bertindak sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat akhir. Bagaimana dengan permintaan upaya kasasi terhadap putusan Praperadilan. Dalam hal ini masih terjadi perbedaan pendapat. Ada yang berpendirian bahwa atas putusan Praperadilan tidak dapat dimintakan upaya kasasi da ada yang berpendapat untuk memperkenankan permintaan kasasi atas putusan Praperadilan.

Barang kali perselisihan pendapat ini bertitik tolak dari tentang “materi” yang diperiksa dan diputus lembaga Praperadilan. Ada yang berpendirian, apa yang diperiksa dan diputus Praperadilan, bukan “materi perkara pidana”, akan tetapi hanya

(21)

tentang sah atau tidaknya tindakan pejabat yang terlibat dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan.

Bagaimana sikap Mahkamah Agung mengenai masalah tersebut?. Sampai sekarang pengadilan tertinggi tersebut cendrung pada pendirian tidak memperkenankan permintaan kasasi atas putusan Praperadilan. Jalan pikiran Mahkamah Agung tersebut dapat dilihat dari pertimbangan putusan tanggal 29 Maret 1983.No.22K/KR/1982, sebagai berikut;

 Mahkamah Agung berpendapat, terhadap putusan-putusan Praperadilan tidak dapat dimungkinkan permintaan kasasi, karena keharusan cepat perkara Praperadilan tidak akan terpenuhi kalau masih dimungkinkan pemeriksaan kasasi.  Wewenang Pengadilan Negeri yang dilakukan oleh Praperadilan, dimaksudkan

haya sebagai wewenang pengawasan secara horizontal terhadap tindakan pejabat penegak hukum lainnya.

 Juga pasal 244 KUHAP, tidak membuka kemungkinan melakukan pemeriksaan kasasi terhadap putusan Praperadilan, karena pemeriksaan kasasi yang diatur pasal 244 hanya mengenai putusan perkara pidana yang benar-benar diperiksa dan diputus Pengadilan Negeri atau pengadilan selain Mahkamah Agung.

 Selain dari pada itu, menurut hukum acara pidana, baik pihak-pihak maupun pemeriksaannya berbeda sifat dan kedudukannnya jika dibandingkan dalam pemeriksaan Praperadilan.

Itulah saduran pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut. Pendirian yang seperti ini dapat juga dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Mei 1984, Reg. No. 680 K/Pid?1983. salah satu bunyi pertimbangannya bahwa menurut yurisprudensi tetap terhadap putusan-putusan Praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi, sehingga permohonan kasasi dari pemohon kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima. Dari pendirian dan putusan yang telah menjadi yurisprudensi Mahkamah Agung, sehingga praktek peradilan harus menyesuaikan diri dengan pendirian tersebut.

G. Kesimpulan

1. Praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri namun merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri yang administrasi yustisialnya berada dibawah pengawasan dan pembinaan Ketua Pengadilan Negeri.

(22)

2. Praperadilan mempunyai kewenangan memeriksa dan memutus sah atau tidaknya yang dimintakan permohonan Praperadilan terhadap perkara upaya paksa, penghentian penyidikan dan atau penuntutan, ganti kerugian, rehabilitasi, dan tindakan penyitaan.

3. Pihak-pihak yang berhak memintakan untuk sidang Praperadilan adalah tersangka, keluarganya, atau kuasanya, penyidik, penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan.

4. Pemeriksaan perkara yang dimintakan untuk diperiksa pada sidang Praperadilan menggunakan prinsip beracara cepat dan biaya ringan.

5. Pemeriksaan persidangan Praperadilan menjadi gugur bila perkaranya telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri dan pada saat perkaranya diperiksa Pengadilan Negeri, pemeriksaan Praperadilan belum selesai.

6. Upaya hukum terhadap putusan Praperadilan adalah yang tidak dapat dimintakan banding adalah tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan dan ganti kerugian serta rehabilitasi. Namun terhadap putusan tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat dimintakan upaya hukum banding.

7. Atas putusan Praperadilan tidak bisa dimintakan untuk melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.

(23)

BAHAN BACAAN

Achmad Ali, Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence), Kharisma Putra Utama, Kencana 2010.

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. Moelyatno, Asas- Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.

Pranoto Iskandar dan Yudi Junaidi, Memahami Hukum Di Indonesia, IMR Press, Cianjur, 2011.

Radar Sulteng, terbit 3 Pebruari 2015.

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

---, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil kemampuan siswa dalam menulis puisi secara klasikal sudah meningkat berdasarkan nilai rata-rata yang diperoleh siswa yaitu 68.59 % (siklus I) meningkat menjadi 80.77

Sedangkan sistem pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah suatu set peristiwa yang terdiri dari komponen-komponen yang mana komponen tersebut saling berinteraksi dan

Model kurikulum berbasis multikultur di STAI Al-Khairat menerapkan Model Salad Bowl, yang memandang setiap individu atau kelompok dalam suatu masyarakat harus

Penggunaan lahan saat ini pada kawasan permukiman nelayan di Kelurahan Lappa Kecamatan Sinjai Utara Kabupaten Sinjai berdasarkan tingkat kemampuan lahan untuk permukiman

[r]

pembelajaran bahasa isyarat untuk anak berkebutuhan khusus. 2) Dengan dibuatnya aplikasi ini semoga dapat mempercepat tanggapnya. anak-anak berkebutuhan khusus terhadap

Selain itu, ijazah kepada santri yang lulus tersebut tidak ditandai dengan selembar kertas seperti yang terjadi dalam pesantren modern, tetapi dicukupkan dengan

Pihak lain yang bukan direktur utama/pimpinan perusahan/pengurus koperasi yang namanya tidak tercantum dalam akta pendirian/anggaran dasar, sepanjang pihak lain