• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengamatan Visual

Kontaminasi

Kegiatan pengamatan visual meliputi pengamatan secara keseluruhan kondisi umum eksplan yang ada, pengamatan dilakukan setiap hari. Berdasarkan hasil pengamatan, telah terjadi kontaminasi. Namun kontaminasi yang telah terjadi cukup rendah sekitar 17% (Gambar 2). Kontaminasi terdapat pada beberapa perlakuan diantaranya A1 (BAP 0 : Kinetin 0), A3 (BAP 1 : Kinetin 0), A5 (BAP 2 : Kinetin 0), A6 (BAP 0 : Kinetin 0.2), A7 (BAP 0.5 : Kinetin 0.2) dan A8 (BAP 1 : Kinetin 0.2).

Gambar 2 Kontaminasi pada botol kultur

Kontaminasi adalah gangguan yang sangat umum terjadi dalam kegiatan kultur jaringan. Munculnya gangguan ini bila dipahami merupakan hal yang wajar sebagai konsekwensi penggunaan media yang diperkaya (Santoso dan Nursandi, 2003). Lebih lanjut disebutkan bahwa fenomena kontaminasi, menunjukkan semakin diperkaya suatu media maka tingkat kontaminasinya juga semakin besar, demikian pula sebaliknya. Kontaminasi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi dalam keberhasilan dalam kegiatan kultur jaringan.

Rendahnya nilai presentase kontaminasi disebabkan eksplan yang digunakan yaitu pucuk Cendana merupakan hasil dari kegiatan subkultur biakan sebelumnya, sehingga steril. Kontaminasi yang terjadi diakibatkan oleh faktor luar yaitu cendawan yang diduga berasal dari beberapa sebab diantaranya, botol kultur yang

digunakan kurang steril akibat pencucian yang kurang bersih, terbawa oleh sirkulasi udara dalam laminar air flow pada proses penanaman dan peralatan tanam yang digunakan pada saat kegiatan penanaman kurang steril serta penutupan botol yang kurang rapat.

Gejala Pencoklatan

Eksplan berupa pucuk yang digunakan menunjukan gejala pencoklatan terutama pada bagian yang dipotong (Gambar 3). Gejala pencoklatan ini diduga adanya senyawa fenolik yang dihasilkan dari pucuk Cendana yang tergolong tanaman berkayu. Wattimena (1992) menyatakan bahwa jika tanaman dilukai sering terjadi penimbunan senyawa-senyawa fenolik disekitar luka, seakan-akan menutup daerah luka tersebut.

Santoso dan Nursandi (2003) menyebutkan pencoklatan adalah suatu karakter yang munculnya warna coklat atau hitam yang sering membuat tidak terjadinya pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Peristiwa pencoklatan sesungguhnya merupakan peristiwa alamiah biasa yang terjadi pada sistem biologi, suatu perubahan adaptif bagian tanaman akibat pengaruh fisik atau biokimia (memar, pengupasan, pemotongan, serangan penyakit atau kondisi lain yang tidak normal).

Gambar 3 Pencoklatan pada eksplan

Kalus

Dalam percobaan yang telah dilakukan, terdapat pertumbuhan kalus (Gambar 4). Kalus merupakan massa sel yang tidak terspesialisasi dan tidak beraturan. Namun kalus yang terbentuk tidak terlihat mendominasi pada setiap

perlakuan, hanya terdapat pada beberapa eksplan pada perlakuan A9 (BAP 1.5 mg/l dan Kinetin 0.2 mg/l). Kondisi sedikit terbentuknya kalus dapat memperkecil kemungkinan terjadinya penyimpangan genetik.

Gambar 4 Pertumbuhan kalus

Pertumbuhan Vegetatif

Pertumbuhan vegetatif meliputi kegiatan pengambilan data berupa jumlah tunas, jumlah buku dan tinggi serta jumlah daun. Pada setiap perlakuan pengambilan data dan pengukuran setiap 1 minggu sekali selama 12 minggu.

Data hasil analisa sidik ragam peubah yang diukur pada perbanyakan Cendana dengan pengaruh pemberian zat pengatur tumbuh Sitokinin yaitu BAP, Kinetin dan kombinasinya terhadap jumlah tunas, jumlah buku, tinggi dan jumlah daun (Tabel 1).

Tabel 1 Rekapitulasi analisa sidik ragam terhadap berbagai peubah pertambahan dalam perbanyakan Cendana pada 12 MST.

Perlakuan Peubah Pertambahan Jumlah Tunas Jumlah Buku Tinggi (cm) Jumlah Daun tahap ke-1 Jumlah Daun tahap ke-2 BAP 0.000** 0.000** 0.002** 0.000** 0.073tn Kinetin 0.086tn 0.515tn 0.771tn 0.000** 0.000** BAP+Kinetin 0.551tn 0.125tn 0.029* 0.001** 0.510tn

Keterangan ** = berbeda sangat nyata pada selang kepercayaan 95%

* = berbeda nyata selang kepercayaan 95%

tn = tidak berbeda nyata kalus

Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa peubah jumlah tunas, jumlah buku, tinggi dan jumlah daun tahap ke-1 serta jumlah daun tahap ke-2 memberikan pengaruh berbeda sangat nyata, berbeda nyata dan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%. Uji lanjut Duncan selanjutnya dilakukan untuk mendapatkan nilai beda nyata (Tabel 2).

Tabel 2 Rekapitulasi uji lanjut Duncan pengaruh pemberian ZPT Sitokinin (BAP, Kinetin dan kombinasinya) terhadap berbagai peubah pada 12 MST.

Perlakuan Peubah

(BAP: Kinetin) Jumlah Tunas Jumlah Buku Jumlah Tinggi Jumlah Daun tahap ke-1 Jumlah Daun tahap ke-2 A1 (0 : 0) 0.0000c 2.2000cd 0.9500abcd 4.6000cd 1.7000bcd A2 (0.5 : 0) 0.6000bc 3.8000ab 0.9500abcd 11.9000a 3.8000ab A3 (1 : 0) 0.0000c 3.4000abc 1.0600ab 13.2000a 2.9000abc A4 (1.5 : 0) 0.8000ab 3.9000ab 1.2400ab 11.6000ab 4.3000a A5 (2 : 0) 0.2000bc 1.7000d 0.5500cd 4. 1000cd 1.8000bcd A6 (0 : 0.2) 0.4000bc 1.5000d 0.4800d 2.8000d 0.5000d A7 (0.5 : 0.2) 0.7000bc 2.5000bcd 0.8800bcd 5.1000cd 1.6000bcd A8 (1 : 0.2) 0.2000bc 2.9000abcd 0.7800bcd 5.8000cd 1.3000cd A9 (1.5 : 0.2) 1.4000a 4.4000a 1.4000a 9.8000ab 1.1000cd A10 (2 : 0.2) 0.1000bc 2.7000bcd 1.0300abc 7.9000bc 0.9000cd

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%.

Jumlah Tunas

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Tabel 1), menunjukkan bahwa pemberian zat pengatur tumbuh Sitokinin yaitu BAP memberikan pengaruh berbeda sangat nyata, sedangkan Kinetin dan kombinasinya memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap jumlah tunas pada selang kepercayaan 95%.

Uji lanjut Duncan menunjukkan perlakuan A9 (BAP1.5 mg/l : Kinetin 0.2 mg/l) memberikan pengaruh terbaik terhadap pertambahan jumlah tunas apabila dibandingkan dengan perlakuan A1 (BAP 0 mg/l : Kinetin 0 mg/l) dan A3 (BAP 1 mg/l : Kinetin 0 mg/l). Pada perlakuan A1 (BAP 0 mg/l : Kinetin 0 mg/l) dan A3 (BAP 1.5 mg/l : Kinetin 0 mg/l) serta selebihnya tidak memberikan pengaruh terhadap pertambahan jumlah tunas pada Cendana.

Gambar 5 Rata-rata pertambahan jumlah tunas pada perlakuan pemberian zat pengatur tumbuh Sitokinin (BAP, Kinetin dan kombinasinya) pada 12 MST

Nilai rata-rata pertambahan jumlah tunas terbesar terdapat pada perlakuan A9 yaitu media MS dengan penambahan BAP1.5 mg/l dan Kinetin 0.2 mg/l dengan nilai sebesar 1.40, sedangkan nilai rata-rata terendah terdapat pada perlakuan A1 (BAP 0 mg/l : Kinetin 0 mg/l) dan A3 (BAP 1 mg/l : Kinetin 0 mg/l) dengan angka sebesar 0.00 (Gambar 5).

Perlakuan A9 yaitu Media MS dengan kombinasi BAP1.5 mg/l dan Kinetin 0.2 mg/l memberikan pengaruh nilai rata-rata jumlah tunas terbesar, kondisi tersebut diduga disebabkan konsentrasi zat pengatur tumbuh Sitokinin kombinasi yang telah ditambahkan tepat. Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa peran zat pengatur tumbuh Sitokinin dalam kegiatan kultur jaringan dapat menstimulir terjadinya pembelahan sel, proliferasi kalus, pembentukan tunas, mendorong proliferasi meristem ujung, menghambat pembentukan akar, mendorong pembentukan klorofil pada kalus (Santoso dan Nursandi, 2003).

Perlakuan A1 (BAP 0 mg/l : Kinetin 0 mg/l) memberikan pengaruh nilai rata-rata jumlah tunas rendah, hal ini menunjukkan bahwa pembentukan tunas pada Cendana diduga pada perlakuan tersebut tidak memerlukan penambahan zat pengatur tumbuh Sitokinin yaitu BAP dan Kinetin.

Perlakuan A3 (BAP 1 mg/l : Kinetin 0 mg/l) memberi pengaruh nilai rata-rata jumlah tunas yang rendah pula, keadaan ini tidak sesuai dengan peran fisiologis Sitokinin mendorong pertunasan. Hal ini diduga pada perlakuan ini,

0.00 0.60 0.00 0.80 0.20 0.40 0.70 0.20 1.40 0.10 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 Perlakuan R at a-rat a P er ta m ba han Tuna s A1 = BAP 0 : Kinetin 0 A2 = BAP 0.5 : Kinetin 0 A3 = BAP 1 : Kinetin 0 A4 = BAP 1.5 : Kinetin 0 A5 = BAP 2 : Kinetin 0 A6 = BAP 0 : Kinetin 0.2 A7 = BAP 0.5 = Kinetin 0.2 A8 = BAP 1 : Kinetin 0.2 A9 = BAP 1.5 : Kinetin 0.2 A10 = BAP 2 : Kinetin 0.2

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7 M8 M9 M10 M11 M12 Minggu Ke-R at a-ra ta P er tum buh an T u n

a A1= BAP 0 : Kinetin 0

A2 = BAP 0.5 : Kinetin 0 A3 = BAP 1 : Kinetin 0 A4 = BAP 1.5 : Kinetin 0 A5 = BAP 2 : Kinetin 0 A6 = BAP 0 : Kinetin 0.2 A7 = BAP 0.5 : Kinetin 0.2 A8 = BAP 1 : Kinetin 0.2 A9 = BAP 1.5 : Kinetin 0.2 A10 = BAP 2 : Kinetin 0.2

eksplan memberikan respon kurang aktif terhadap Sitokinin berupa BAP yang telah ditambahkan.

Pertumbuhan dari minggu pertama sampai minggu terakhir pengamatan yaitu 12 minggu setelah tanam (MST), pada semua perlakuan mengalami pertumbuhan jumlah tunas kecuali pada perlakuan A1 (BAP 0 mg/l : Kinetin 0 mg/l) dan A3 (BAP 1.5 mg/l : Kinetin 0 mg/l) mengalami pertumbuhan stagnan (Gambar 6). Secara keseluruhan pada semua perlakuan pertumbuhan tiap minggu sempat mengalami stagnan, pada 4 MST grafik menunjukkan kenaikan, kemudian stagnan lagi pada 5 MST sampai dengan 9 MST. Kondisi pertumbuhan stagnan tersebut diduga disebabkan adanya kejenuhan. Pertumbuhan mulai terlihat pada saat grafik mengalami kenaikan kembali pada 10 MST, kondisi seperti ini dimungkinkan akibat pengaruh kegiatan subkultur dengan penambahan Glutamin sebanyak 100 mg/l. Telah diketahui bahwa unsur N dipergunakan terutama untuk pertumbuhan vegetatif tanaman.

Gambar 6 Rata-rata pertumbuhan jumlah tunas pada perlakuan pemberian zat pengatur tumbuh Sitokinin (BAP, Kinetin dan kombinasinya).

Jumlah Buku

Bagian batang tempat duduknya atau melekatnya daun dinamakan buku-buku (nodus) batang (Tjitrosoepomo, 1985). Buku pada batang dapat dibedakan dari ruas (internodus), yakni bagian batang diantara dua buku yang berurutan. Batang bisa memperlihatkan sumbu yang memanjang dengan buku dan ruas yang jelas (Hidayat, 1995.).

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Tabel 1), menunjukkan bahwa pemberian zat pengatur tumbuh Sitokinin BAP memberikan pengaruh berbeda sangat nyata, sedangkan Kinetin dan kombinasinya memberikan pengaruh tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% terhadap pertambahan jumlah buku.

Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa zat pengatur tumbuh Sitokinin pada perlakuan A9 (BAP1.5 mg/l : Kinetin 0.2 mg/l) memberikan pengaruh terbaik terhadap pertambahan jumlah buku, sedangkan perlakuan A6 (BAP 0 mg/l : Kinetin 0.2 mg/l) dan A5 (BAP 2 mg/l : Kinetin 0 mg/l) terlihat tidak memberikan pengaruh terhadap pertambahan jumlah buku. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata pertambahan jumlah buku terbesar terdapat pada perlakuan A9 (BAP 1.5 mg/l : Kinetin 0.2 mg/l) yaitu 4.40, sedangkan pada perlakuan A6 (BAP 0 mg/l : Kinetin 0.2 mg/l) memberikan pengaruh terhadap rata-rata pertambahan jumlah buku terendah sebesar 1.50.

Gambar 7 Rata-rata pertambahan jumlah buku pada perlakuan pemberian zat pengatur tumbuh Sitokinin (BAP, Kinetin dan kombinasinya) pada 12 MST.

Perlakuan A9 yaitu Media MS dengan penambahan kombinasi BAP 1.5 mg/l dan Kinetin 0.2 mg/l memberikan pengaruh rata-rata jumlah buku terbesar, hal tersebut diduga ada hubungannya dengan kondisi tinggi dan jumlah daun yang dimiliki eksplan. Berdasarkan pertambahan jumlah daun, pada perlakuan A9 menunjukkan nilai pertambahan cukup besar pada peubah tersebut. Sehingga diduga berpengaruh pula terhadap pertambahan jumlah buku.

2.20 3.80 3.40 3.90 1.70 1.50 2.50 2.90 4.40 2.70 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 Perlakuan R at a-ra ta P er ta m ba ha n B u k u A1 = BAP 0 : Kinetin 0 A2 = BAP 0.5 : Kinetin 0 A3 = BAP 1 : Kinetin 0 A4 = BAP1.5 : Kinetin 0 A5 = BAP 2 : Kinetin 0 A6= BAP 0: Kinetin 0.2 A7 = BAP 0.5 : Kinetin 0.2 A8 = BAP 1 : Kinetin 0.2 A9 = BAP 1.5 : Kinetin 0.2 A10 = BAP 2 : Kinetin 0.2

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7 M8 M9 M10 M11 M12 Minggu ke-R at a-ra ta P er tum buha n B uk u A1 = BAP 0 : Kinetin 0 A2 = BAP 0.5 : Kinetin 0 A3 = BAP 1 : Kinetin 0 A4 = BAP 1.5 : Kinetin 0 A5 = BAP 2 : Kinetin 0 A6 = BAP 0 : kinetin 0.2 A7 = Bap 0.5 : Kinetin 0.2 A8 = BAP 1 : Kinetin 0.2 A9 = BAP 1.5 : Kinetin 0.2 A10 = BAP 2 : Kinetin 0.2 Perlakuan A6 (BAP 0 mg/l : Kinetin 0.2 mg/l) memberikan pengaruh rata-rata jumlah buku terendah, kondisi seperti ini diduga ada hubungannya dengan nilai rata-rata pertambahan jumlah daun pada perlakuan ini menunjukkan nilai yang rendah pula.

Grafik pertumbuhan jumlah buku (Gambar 8) dari minggu pertama sampai dengan minggu terakhir pengukuran dan pengamatan pada semua perlakuan menunjukkan adanya kenaikan dari 2 MST sampai dengan 6 MST, kemudian pada 6 MST sampai dengan 8 MST grafik terlihat stagnan. Namun kondisi ini berubah, pada 9 MST grafik terlihat mengalami kenaikan kembali walaupun sangat kecil. Hal ini terjadi diduga adanya penambahan N-organik yaitu Glutamin berpengaruh pula terhadap pertambahan jumlah buku.

Gambar 8 Rata-rata pertumbuhan jumlah buku pada perlakuan pemberian zat pengatur tumbuh Sitokinin (BAP, Kinetin dan kombinasinya).

Tinggi

Tinggi tanaman merupakan indikator pertumbuhan yang paling mudah diukur. Tinggi tanaman sebagai indikator pertumbuhan dapat dianjurkan pada tanaman berbatang tunggal dengan percabangan lateral yang terbatas dengan kondisi intensitas cahaya yang optimal (Lakitan, 1996).

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Tabel 1), menunjukkan bahwa pemberian zat pengatur tumbuh Sitokinin BAP memberikan pengaruh berbeda sangat nyata, Kinetin memberikan pengaruh tidak berbeda nyata dan

kombinasinya memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap tinggi eksplan pada selang kepercayaan 95%.

Uji lanjut Duncan menunjukkan pada perlakuan A6 (BAP 0 mg/l : Kinetin 0.2 mg/l) tidak memberikan pengaruh terhadap pertambahan tinggi, sedangkan perlakuan A9 (BAP1.5 mg/l : Kinetin 0.2 mg/l) memberikan pengaruh terbaik terhadap pertambahan tinggi Cendana. Dapat dilihat nilai rata-rata pertambahan tinggi terbesar terdapat pada perlakuan A9 yaitu media MS dengan penambahan kombinasi BAP 1.5 mg/l : Kinetin 0.2 mg/l menunjukkan angka pertambahan tinggi sebesar 1.40 cm, sedangkan nilai rata-rata pertambahan tinggi terendah terdapat pada perlakuan A6 dengan pemberian Kinetin 0.2 mg/l menunjukkan angka pertambahan 0.48 cm.

Gambar 9 Rata-rata pertambahan tinggi pada perlakuan pemberian zat pengatur tumbuh Sitokinin (BAP, Kinetin dan kombinasinya) pada 12 MST.

Nilai terbesar untuk peubah pertambahan tinggi terdapat pada perlakuan A9 yaitu kombinasi BAP1.5 mg/l dan Kinetin 0.2 mg/l (Gambar 9). Kondisi seperti ini diduga merupakan pengaruh dari nilai rata-rata pertambahan jumlah buku yang sangat tinggi pada perlakuan ini. Salisbury and Ross (1995) menyebutkan bahwa pertumbuhan normal batang dan akar diduga membutuhkan Sitokinin, namun Sitokinin endogen jarang ditemukan sebagai faktor pembatas pertumbuhan. Akibatnya pemberian Sitokinin eksogen tidak berhasil meningkatkan pertumbuhan organ tersebut. Kesimpulan umum tidak berlaku karena baru diujikan pada beberapa spesies saja (hanya tumbuhan dikotil).

0.95 0.95 1.06 1.24 0.55 0.48 0.88 0.78 1.40 1.03 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 Perlakuan R at a-ra ta Pe rt am ba ha n Ti n g g A1 = BAP 0 : Kinetin 0 A2 = BAP 0.5 : Kinetin 0 A3 = BAP 1 : Kinetin 0 A4 = BAP 1.5 : Kinetin 0 A5 = BAP 2 : Kinetin 0 A6 = BAP 0 : Kinetin 0.2 A7 = BAP 0.5 : Kinetin 0.2 A8 = BAP 1 : Kinetin 0.2 A9 = BAP 1.5 : Kinetin 0.2 A10 = BAP 2 : Kinetin 0.2

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7 M8 M9 M10 M11 M12 Minggu ke-R at a-ra ta Per tum buhan T ing g A1 = BAP 0 : Kinetin 0 A2 = BAP 0.5 : Kinetin 0 A3 = BAP 1 : Kinetin 0 A4 = BAP 1.5 : Kinetin 0 A5 = BAP 2 : Kinetin 0 A6 = BAP 0 : Kinetin 0.2 A7 = BAP 0.5 : Kinetin 0.2 A8 = BAP 1 : Kinetin 0.2 A9 = BAP 1.5 : Kinetin 0.2 A10 = BAP 2 : Kinetin 0.2

Perlakuan A6 (BAP 0 mg/l : Kinetin 0.2 mg/l) memberikan pengaruh rata-rata pertambahan tinggi dengan nilai terendah. Keadaan seperti ini didukung pula dengan nilai rata-rata pertambahan jumlah buku yang menunjukkan nilai rendah juga, data dapat dilihat pada histogram rata-rata pertambahan jumlah buku (Gambar 7).

Rata-rata pertumbuhan tinggi pada semua perlakuan terus mengalami kenaikan setiap minggunya sampai dengan akhir pengamatan. Namun pada perlakuan A6 (BAP 0 mg/l : Kinetin 0.2 mg/l) pertumbuhannya terlihat sangat lambat (Gambar 10). Keadaan ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa penambahan Sitokinin eksogen tidak berhasil meningkatkan organ tersebut, diduga eksplan pada perlakuan A6 tidak memberikan respon terhadap penambahan zat pengatur tumbuh Kinetin dengan konsentrasi 0.2 mg/l dan membutuhkan penambahan BAP yang aktifitasnya lebih kuat .

Gambar 10 Rata-rata pertumbuhan tinggi pada perlakuan pemberian zat pengatur tumbuh Sitokinin (BAP, Kinetin dan kombinasinya).

Jumlah Daun

Jumlah dan ukuran daun dipengaruhi oleh genotipe dan lingkungan. Posisi daun pada tanaman (jumlah plastokron), yang terutama dikendalikan oleh genotipe, juga mempunyai pengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan daun, dimensi akhir (Gardner, Pearce, Mitchell, 1991).

Setiap minggunya jumlah daun mengalami perubahan, hal ini disebabkan karena terjadi kerontokan dan ini berlaku untuk semua media. Beberapa organ

tanaman mempunyai pola pertumbuhan determinate sedangkan organ-organ yang lain bersifat in-determinate. Pola pertumbuhan determinate dicirikan oleh pertumbuhan organ tersebut sampai mencapai ukuran maksimal, kemudian pertumbuhan terhenti, organ menjadi tua (senescence) dan akhirnya rontok. Organ tanaman yang mempunyai pola pertumbuhan determinate salah satunya adalah daun (Lakitan, 1996).

Luruhnya daun dari batang atau proses absisi didahului oleh perubahan struktur dan susunan kimia pada daerah di sekitar pangkal petiola. Tempat ini disebut daerah absisi. Pada dikotil berkayu di daerah absisi terdapat dua lapisan yang berbeda yaitu lapisan pemisah dan lapisan pelindung (Tjondronegoro Natasaputra, Kusumaningrat, Gunawan, Djaelani, Suwanto, 1989). Lapisan pemisah menyebabkan pemisahan dan lapisan pelindung yang melindungi permukaan yang terdedah dari kekeringan dan serangan parasit (Hidayat, 1995).

Tjitrosomo (1984) menyebutkan bahwa gugurnya daun adalah sifat tumbuhan berkayu. Jatuhnya daun dipercepat oleh faktor-faktor lingkungan, seperti mengerutnya petiol pada hari terang dan panas, pukulan air hujan pada daun, atau pembentukan kristal es pada lapisan. Sebelum daun gugur atau segera setelah itu, suatu lapisan pelindung dari gabus terbentuk tepat dibawah lapisan pemisah dan melindungi jaringan batang yang terbuka.

Gambar 11 Kerontokan daun

Kerontokan daun terjadi mulai pada 3 MST pada beberapa perlakuan. Sampai dengan 6 MST kerontokan masih tetap terjadi dan menunjukkan angka persentase sebesar 15.61 % (Gambar 11), persentase kerontokan pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3. Kondisi seperti ini dimungkinkan karena di

dalam media terjadi kekurangan unsur hara Nitrogen (N) dan perubahan pH serta terjadi akumulasi zat pengatur tumbuh lainnya yaitu Asam Abisat (ABA) yang terdapat pada eksplan Cendana.

Unsur hara yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan daun adalah Nitrogen. Konsentrasi Nitrogen tinggi umumnya menghasilkan daun yang besar (Lakitan, 1996). Gardner et al (1991) menyebutkan bahwa mineral yang lain rupanya kurang berpengaruh jika di bandingkan dengan Nitrogen terhadap pertumbuhan dan penuaan daun.

Sel-sel tanaman yang ditumbuhkan secara in-vitro mempunyai toleransi pH yang relatif sempit dengan titik optimum 5.0 dan 6.0, bila pertumbuhan dimulai pH lingkungan kultur umumnya akan bergeser naik apabila nutrien habis dipakai (Wetherell, 1982).

Baberapa pakar meyakini bahwa ABA berperan penting dalam menyebabkan penguguran daun, bunga atau buah. Jenis lain juga diduga berperan dalam proses perontokan organ–organ tanaman tersebut adalah etilen (Lakitan, 1996). Salisbury and Ross (1995) menyebutkan bahwa ABA berperan tidak langsung dengan menyebabkan penuaan pada sel prematur pada sel organ yang akan gugur, dan itu yang mendorong naiknya produksi etilen.

Tabel 3 Rekapitulasi rata-rata persentase kerontokan daun

Perlakuan % kerontokan daun

Tahap ke-1 Tahap ke-2

A1 (BAP 0 : kinetin 0) 37.28 0 A2 (BAP 0.5 : kinetin 0) 10.52 13.10 A3 (BAP 1 : kinetin 0) 6.83 7.18 A4 (BAP 1.5 : kinetin 0) 9.29 11.78 A5 (BAP 2 : kinetin 0) 27.76 4.67 A6 (BAP 0 : kinetin 0.2) 10.59 1.67 A7 (BAP 0.5 : kinetin 0.2) 12.14 4.61 A8 (BAP 1 : kinetin 0.2) 11.40 14.38 A9 (BAP 1.5 : kinetin 0.2) 19.01 6.22

A10 (BAP 2 : kinetin 0.2) 11.26 3.42

Rata-rata 15.61 6.70

Persentase kerontokan daun tahap ke-2 mengalami penurunan pada perlakuan A1 (BAP 0 : kinetin 0), A5 (BAP 2 : kinetin 0), A6 (BAP 0 : kinetin 0.2), A7 (BAP 0.5 : kinetin 0.2), A9 (BAP 1.5 : kinetin 0.2) dan A10 (BAP 2 : kinetin 0.2), hal ini diduga selain pengaruh dari pemberian Glutamin juga karena

pemberian konsentasi BAP dan Kinetin yang terdapat dalam media cukup efektif. Sedangkan pada perlakuan A2 (BAP 0.5 : kinetin 0), A3 (BAP 1 : kinetin 0), A4 (BAP 1.5 : kinetin 0) dan A8 (BAP 1 : kinetin 0.2) memgalami kenaikan. Kondisi ini diduga adanya konsentrasi BAP kecil serta tidak terdapatnya Kinetin dalam perlakuan tersebut Khusus untuk perlakuan A8 walaupun terdapat Kinetin 0.2 dan konsentrasi BAP cukup tinggi sebesar 1 mg/l, akan tetapi tetap saja persentase kerontokan mengalami kenaikan. Hal ini diduga eksplan telah mengalami kejenuhan. Namun secara keseluruhan nilai rata-rata persentase kerontokan mengalami penurunan hingga mencapai angka 6.70%.

Melihat kondisi kerontokan yang terjadi, maka segera dilakukan tindakan subkultur, yaitu dengan dilakukan penambahan Glutamin sebanyak 100 mg/l pada media. Penambahan ini dimaksudkan agar dapat mengurangi tingkat kerontokan yang terjadi, penambahan Glutamin dilakukan pada 7 MST. Khusus untuk parameter jumlah daun dilakukan pengukuran dan pengamatan selama 12 minggu, namun data dipisah menjadi dua tahap yaitu jumlah daun tahap ke-1 pengukuran dimulai dari 1 MST sampai 6 MST dan jumlah daun tahap ke-2 dimulai dari 7 MST sampai dengan 12 MST.

Jumlah Daun tahap ke-1. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam yang tersaji pada Tabel 1, menunjukkan bahwa pemberian zat pengaruh tumbuh BAP, Kinetin dan kombinasinya memberikan pengaruh berbeda sangat nyata pada tingkat kepercayaan 95% terhadap pertambahan jumlah daun tahap ke-1 yaitu pada pengukuran dan pengamatan selama 6 minggu pertama.

Uji lanjut Duncan menunjukkan pada perlakuan A6 (BAP 0 mg/l : Kinetin 0.2 mg/l), memberikan pengaruh perbedaan nyata terhadap perlakuan A2 (BAP 0.5 mg/l : Kinetin 0 mg/l), A3 (BAP 1.5 mg/l : Kinetin 0 mg/l), A4 (BAP 1.5 mg/l : Kinetin 0 mg/l) dan A9 (BAP1.5 mg/l : Kinetin 0.2 mg/l) dan A10 (BAP 2 mg/l : Kinetin 0.2 mg/l) terhadap pertambahan jumlah daun, sedangkan pada perlakuan selebihnya tidak memberikan perbedaan nyata pada pertambahan jumlah daun Cendana.

Gambar 12 Rata-rata pertambahan jumlah daun tahap ke-1 pada perlakuan pemberian zat pengatur tumbuh Sitokinin (BAP, Kinetin dan kombinasinya) pada 12 MST.

Rata-rata pertambahan jumlah daun terbesar terdapat pada perlakuan A3 yaitu Media MS dengan penambahan BAP 1 mg/l dengan angka pertambahan sebesar 13.20 helai, sedangkan nilai rata-rata terendah terdapat pada perlakuan A6 (BAP 0 mg/l : Kinetin 0.2 mg/l) dengan angka sebesar 2.80 helai (Gambar 12).

Perlakuan A3 yaitu media MS dengan penambahan BAP 1 mg/l memberikan pengaruh terhadap rata-rata jumlah daun terbesar, hal ini diduga pada pemberian Sitokinin yaitu BAP pada tingkat konsentrasi tersebut cukup efektif. Lakitan (1996) menyatakan bahwa Sitokinin meningkatkan sitokinesis dan pembesaran sel, tetapi pengaruhnya lebih nyata pada pembesaran sel. Pertumbuhan yang dipacu oleh Sitokinin mencakup pembesaran sel yang lebih cepat dan pembentukan sel-sel yang lebih besar. Lebih lanjut (Salisbury and Ross, 1995) menyebutkan bahwa efek rangsangan terhadap perluasan daun tumbuhan dikotil terjadi setelah pemberian Sitokinin berulang-ulang. Sitokinin eksogen memacu pembesaran sel pada daun muda, kotiledon, koleoptil gandum dan hipokotil semangka.

Perlakuan A6 (BAP 0 mg/l : Kinetin 0.2 mg/l) memberikan pengaruh rata-rata pertambahan jumlah daun terendah, karena pada perlakuan tersebut pertambahan daun sedikit, sedangkan tingkat kerontokan pada perlakuan ini tinggi sebesar 10.59 %. Hal ini diduga pula terdapat kandungan zat pengatur tumbuh ABA dan etilen yang berperan dalam proses pengguguran. Wattimena (1992) menyebutkan penelitian-penelitian terakhir menunjukkan bahwa ABA

4.60 11.90 13.20 11.60 4.10 2.80 5.10 5.80 9.80 7.90 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 Perlakuan Ra ta -r at a Per tam b ahan Da u n A1 = BAP 0 : Kinetin 0 A2 = BAP 0.5 : Kinetin 0 A3 = BAP 1 : Kinetin 0 A4 = BAP 1.5 : Kinetin 0 A5 = BAP 2 : Kinetin 0 A6 = BAP 0 : kinetin 0.2 A7 = BAP 0.5 : Kinetin 0.2 A8 = BAP 1: Kinetin 0.2 A9 = BAP 1.5 : Kinetin 0.2 A10 = BAP 2 : Kinetin 0.2

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 M0 M1 M2 M3 M4 M5 M6 Minggu ke-R at a-rat a j u m lah dau n A1 = BAP0 : Kinetin 0 A2 = BAP 0.5 : Kinetin 0 A3 = BAP 1 : Kinetin 0 A4 = BAP 1.5 : Kinetin 0 A5 = BAP 2 : Kinetin 0 A6 = BAP 0 : Kinetin 0.2 A7 = BAP 0.5 : Kinetin 0.2 A8 = BAP 1 : Kinetin 02. A9 = BAP 1.5 : Kinetin 0.2 A10 = BAP 2 : Kinetin 0.2

berinteraksi dengan zat pengatur tumbuh lainnya, biasanya sebagai inhibitor (penghambat).

Pertumbuhan jumlah daun tahap ke-1 pengamatan, yaitu pada 1 MST sampai dengan minggu 6 MST mengalami peningkatan pada sebagian besar perlakun (Gambar 13). Terlihat pada grafik bahwa kenaikkan paling signifikan terjadi pada 4 MST, namun kondisi ini terlihat berbeda pada perlakuan A5 (BAP 2 mg/l : Kinetin 0 mg/l) dan A6 (BAP 0 mg/l : Kinetin 0.2 mg/l) menunjukkan penurunan. Kondisi ini terjadi akibat adanya rata-rata pertambahan jumlah daun yang rendah, sedangkan kerontokan daun pada kedua perlakuan ini cukup tinggi yaitu dengan presentase sebesar 27.76 % dan 10.59 %, sehingga berpengaruh pada jumlah daun menjadi berkurang.

Gambar 13 Rata-rata pertumbuhan jumlah daun tahap ke-1 pada perlakuan pemberian zat pengatur tumbuh Sitokinin (BAP, Kinetin dan kombinasinya).

Jumlah Daun tahap ke-2. Pengukuran dan pengamatan jumlah daun pada tahap ke-2 setelah dilakukan kegiatan subkultur, yaitu dengan penambahan sebanyak 100 mg/l Glutamin pada media MS. Persentase rata-rata kerontokan daun yang terjadi mengalami penurunan hingga menunjukkan angka sebesar 6.70%. Kondisi ini diduga pemberian Glutamin berpengaruh dan mendapat respon dari eksplan pada semua perlakuan.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Tabel 1) pemberian zat pengatur tumbuh Kinetin memberikan pengaruh berbeda sangat nyata, sedangkan BAP dan kombinasinya memberikan pengaruh tidak berbeda nyata pada tingkat

kepercayaan 95% terhadap pertambahan jumlah daun pada tahap ke-2 pengamatan.

Gambar 14 Rata-rata pertambahan jumlah daun tahap ke-2 pada perlakuan pemberian zat pengatur tumbuh Sitokinin (BAP, Kinetin dan kombinsinya) pada 12 MST.

Rata-rata pertambahan jumlah daun terbesar terdapat pada perlakuan A4 yaitu media MS dengan penambahan BAP 1.5 mg/l dengan nilai sebesar 4.30 helai, sedangkan pertambahan jumlah daun terendah terdapat pada perlakuan A6

Dokumen terkait