• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interpretasi Bentuklahan (landform)

Berdasarkan hasil interpretasi, bentuklahan di daerah penelitian dapat diklasifikasikan menjadi 8 kelas (Gambar 4). Secara spasial wilayah bagian tengah ke utara merupakan daerah datar yang didominasi oleh bentuklahan dataran fluvial dan dataran marin, hal ini merupakan pengaruh air laut yang sangat besar serta aktifitas aliran air permukaan dari banyak sungai di wilayah tersebut. Kabupaten Karawang bagian selatan terdiri dari bentuklahan yang lebih beragam dengan tingkat kemiringan lereng yang lebih bervariasi. Bentuklahan daerah bagian selatan ini lebih didominasi oleh dataran berombak, bergelombang, perbukitan hingga pegunungan struktural sebagai akibat dari pengaruh keberadaan Gunung Sanggabuana di daerah tersebut. Kelas, proses, litologi dan luasan masing-masing bentuklahan tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5. Bentuklahan Kabupaten Karawang dan luasannya

Bentuklahan Proses Litologi Luas Area

Hektar %

Dataran Fluvial Fluvial Pasir, lempung,

gamping, napal 103.357,6 53,5

Dataran Fluvio Vulkanik Ekstrusif

Vulkanik

Batu pasir tufan, konglomerat, tuf,

breksi

9.754,9 5,1

Dataran Marin Marin Pasir, lempung, lanau,

cangkang molusca 37.612,5 19,5

Dataran Struktural Bergelombang Struktural Lempung, napal,

kerakal 7.207,8 3,7

Dataran Struktural Berombak Struktural

Batu pasir, gamping, kerakal, konglomerat,

bongkah

7.075,3 3,7

Pegunungan Plutonik Denudasional Intrusif

Denudasional

Napal, lempung,

18 18

Bentuklahan Proses Litologi Luas Area

Hektar %

Pegunungan Struktural Lipatan Struktural

Lempung, pasir,

gamping 6.046,9 3,1

Perbukitan Struktural Struktural Pasir, tuf, kerakal,

bongkah 14.563,2 7,5

Luas Area Total 193.120,5 100,0

Gambar 4. Peta Bentuklahan Kabupaten Karawang

Bentuklahan Dataran fluvial merupakan bentuk lahan terluas (53.5%), dan bentuklahan Dataran marin (19.5%) sebagai terluas kedua (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Karawang merupakan hasil kegiatan deposisi adtau sedimentasi sungai. Sungai Citarum di wilayah barat dan sungai Cilamaya di bagian timur merupakan sumber utama terbentuknya bentuklahan ini. Bentuklahan fluvial mempunyai karakteristik berlereng datar, daerah di sisi kiri dan kanan sungai merupakan areal dataran banjir yang terbentuk akibat proses transportasi atau pengangkutan dan deposisi material yang terjadi di dalam sungai. Dataran marin yang mendominasi daerah pantai di bagian utara sebagai akibat pengaruh aktifitas air laut yang sangat besar di daerah tersebut.

Bentuklahan struktural seperti Dataran struktural berombak, Dataran struktural bergelombang, Perbukitan struktural dan Pegunungan struktural lipatan merupakan bentuklahan yang pembentukannya disebabkan oleh proses tektonik di daerah yang bersangkutan. Struktur geologi yang paling berpengaruh terhadap pembentukan morfologi adalah struktur geologi sekunder, yaitu struktur yang terbentuk setelah batuan itu ada. Struktur sekunder biasanya terbentuk oleh

19 adanya proses endogen yang bekerja adalah proses tektonik. Proses ini mengakibatkan pengangkatan, pengkekaran, patahan, dan lipatan yang tercermin dalam bentuk topografi dan relief yang khas. Bentuk relief ini akan berubah akibat proses eksternal yang berlangsung kemudian. Macam-macam proses eksternal yang terjadi adalah proses-proses pelapukan (dekomposisi dan disintergrasi), erosi (air atau angin) serta gerakan massa (longsoran, rayapan, aliran, rebahan atau jatuhan).

Bentuklahan Pegunungan plutonik denudasional (3,9%) dan Dataran fluvio vulkanik (5,1%) adalah bentuklahan yang terbentuk sebagai akibat pengaruh dari aktifitas magmatik di masa lalu. Kedua bentuklahan ini merupakan hasil dari proses aliran material-material magmatik di wilayah selatan dari Kabupaten Karawang. Perbedaan dari dua bentuklahan ini hanyalah proses yang terjadi pada pembentukan batuan di wilayah masing-masing bentuklahan tersebut, yang pertama secara intrusif sedangkan yang kedua secara ekstrusif.

Interpretasi Lahan Sawah (Paddy Field)

Hasil interpretasi penggunaan lahan (Gambar 5) menunjukkan bahwa lahan sawah menyebar diseluruh bagian kabupaten dengan luasan 54,2%. Lahan sawah secara umum terletak pada wilayah bagian tengah ke utara, dibagian tengah ke utara ini sawah cenderung mengelompok dalam suatu hamparan sedangkan di bagian selatan cenderung menyebar tidak dalam satu hamparan. Daerah dengan pola mengelompok merupakan daerah yang relatif datar sedangkan daerah yang dicirikan dengan pola lahan sawah menyebar merupakan daerah perbukitan dan pegunungan.

20 20

Tabel 6. Luas lahan sawah setiap kecamatan

Kecamatan Luas (Ha) % Kecamatan Luas (Ha) %

Tempuran 8.072,3 7.7 Tirtamulya 3.320,3 3.2

Cilamaya Kulon 5.926,5 5.7 Jayakerta 3.127,9 3.0

Cilamaya Wetan 5.845,2 5.6 Telukjambe barat 3.330,9 3.2

Pedes 5.430,6 5.2 Pakisjaya 2.685,4 2.6

Tirtajaya 5.417,3 5.2 Klari 2.530,4 2.4

Cilebar 5.074,9 4.8 Majalaya 2.461,5 2.4

Batujaya 4.831,9 4.6 Rengasdengklok 2.364,5 2.3

Cibuaya 4.770,3 4.6 Karawang barat 2.176,5 2.1

Kutawaluya 4.519,3 4.3 Karawang timur 2.078,6 2.0

Lemahabang 4.496,4 4.3 Tegalwaru 1.860,9 1.8

Banyusari 4.368,6 4.2 Purwasari 1.779,1 1.7

Pangkalan 4.296,7 4.1 Ciampel 1.380,3 1.3

Rawamerta 4.256,1 4.1 Kotabaru 1.333,1 1.3

Talagasari 4.073,1 3.9 Telukjambe timur 1.126,6 1.1

Jatisari 4.006,9 3.8 Cikampek 594,3 0.6

Luas total 104.721,4

Kecamatan yang memiliki lahan sawah yang luas (Tabel 6) seperti Kecamatan Tempuran, Kecamatan Cilamaya Kulon, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kecamatan Pedes dan Kecamatan Tirtajaya merupakan kecamatan yang memang memiliki wilayah yang lebih luas serta terletak di daerah bagian utara Kabupaten Karawang. Kecamatan Cikampek merupakan kecamatan dengan luasan lahan sawah paling rendah, hal ini karena kecamatan ini merupakan daerah padat pemukiman yag lebih didominasi oleh lahan terbangun serta memiliki luasan wilayah yang tidak terlalu besar. Tabel 6 menunjukkan luas lahan sawah yang menyebar hampir merata di seluruh kecamatan dengan rata-rata luas lahan sawah per kecamatan sebesar 3.490,7 hektar.

Persebaran Lahan Sawah terhadap Bentuklahan, Jarak terhadap Jalan, Kawasan Hutan dan Rencana Pola Ruang

Persebaran lahan sawah pada berbagai bentuklahan dipengaruhi oleh kesesuaian karakteristik bentuklahan tersebut terhadap lahan sawah. Tabel 7 menunjukkan bahwa lahan sawah paling dominan terdapat pada dataran fluvial dan dataran marin yang merupakan daerah relatif datar dengan luasan berturut-turut 73,5% dan 15,8%. Pada bentuklahan dengan karakteristik berombak, bergelombang, perbukitan hingga bergunung yang terdapat di bagian selatan hanya menyumbang 1% sampai 4% dari seluruh luasan lahan sawah di Kabupaten Karawang. Pada tabel 7 dapat dilihat bahwa sawah akan semakin berkurang dengan berkurangnya tingkat kedataran bentuklahan tersebut.

21 Tabel 7. Persebaran lahan sawah pada berbagai bentuklahan

Bentuklahan Luas Sawah

Hektar %

Dataran Fluvial 76.963,79 73,5

Dataran Marin 16.582,49 15,8

Pegunungan Plutonik Denudasional 763,56 0,7

Dataran Struktural Bergelombang 1.903,13 1,8

Dataran Fluvio Vulkanik 4.576,29 4,4

Dataran Struktural Berombak 1.949,98 1,9

Pegunungan Struktural Lipatan 222,21 0,2

Perbukitan Struktural 1.759,93 1,7

Luas Area Total 104.721,38 100,00

Hubungan sebaran lahan sawah dengan jarak jalan utama dalam penelitian ini dianalisis dengan pembuatan buffer jalan dengan jarak 100 meter, 200 meter, 300 meter, 400 meter dan 500 meter. Jalan yang dipilih hanyalah jalan-jalan utama yang memiliki aktifitas besar yaitu jalan-jalan lokal dan jalan-jalan kolektor. Kedua jalan ini merupakan jalan yang memberikan pengaruh cukup signifikan terhadap perkembangan wilayah tersebut. Gambar 6 smenunjukkan bahwa sebaran lahan sawah pada jarak 100 meter dari jalan adalah yang terbesar dalam radius 500 meter. Luas lahan sawah dalam radius 100 meter mencapai 14.747,9 hektar, sedangkan lahan sawah yang berada dalam di luar radius 500 meter mencapai 28.110,9 hektar.

Gambar 6. Persebaran luasan lahan sawah terhadap jarak jalan utama

Berdasarkan Peta Kawasan Hutan (Gambar 7), terlihat bahwa sebesar 99% lahan sawah berada pada peruntukkan kawasan areal penggunaan lain. Lahan sawah lainnya 0,1% berada di hutan produksi terbatas, 0,6% berada di hutan produksi, dan 0,1% berada di hutan lindung. Lahan sawah secara dominan telah sesuai dengan kawasan peruntukkannnya (kawasan budidaya), namun masih terdapat keberadaan lahan sawah yang menempati kawasan kehutanan atau tidak sesuai dengan kawasan peruntukkannya. Lahan sawah seperti ini akan menimbulkan konflik secara hukum serta rentan terkonversi di masa depan.

22 22

Gambar 7. Peta Kawasan Hutan Kabupaten Karawang

Dalam peta pola ruang rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Karawang 2010 – 2030, wilayah Kabupaten Karawang dibagi ke dalam 16 kawasan peruntukkan. Berdasarkan tingkat kesamaan penggunaan lahannya, kawasan-kawasan tersebut dikelompokkan menjadi 4 kategori kawasan utama seperti tersaji pada tabel 8. Dalam tabel ini diperlihatkan luasan lahan sawah yang tedapat pada masing-masing kawasan, dan kawasan pertanian merupakan kawasan dengan sebaran sawah terbesar yaitu seluas 78,3% dari total luas seluruh lahan sawah. Hal ini berarti 21,7% luasan lahan sawah menempati kawasan yang tidak sesuai dengan perencanaan pola ruangnya.

Tabel 8. Persebaran lahan sawah pada berbagai pola ruang

Rencana Pola Ruang Luas Sawah

Hektar %

Kawasan Pemukiman

Pedesaan 9.241,5 8,8%

Kawasan Pertanian 82.051,2 78,3%

Kawasan Lahan Terbangun 12.936,8 12,4%

23

Kemudahan Konversi Lahan Sawah menjadi Lahan Terbangun

Gambar 8 dan tabel 9 menunjukkan sebaran lahan sawah berdasarkan tingkat kemudahan terkonversi menjadi lahan tebangun. Pada analisis ini terdapat 27,8% lahan sawah yang termasuk dalam kategori mudah terkonversi (MK) dan 72,2% dalam kategori sulit terkonversi (SK). Kelas SPL1T, SPL1P dan SPL1R merupakan kelas dengan faktor berpengaruh paling dominannya adalah variabel kawasan hutan yang berupa areal penggunaan lain, sedangkan kelas SPL2T, SPL2P, SPL3T, SPL3P dan SHP3T merupakan kelas dengan faktor berpengaruh dominan dari variabel rencana pola ruang. Kelas-kelas ini merupakan kelas lahan sawah yang mudah terkonversi (MK), sedangkan kelas-kelas lainnya berada pada kategori sulit terkonversi (SK).

Gambar 8. Peta kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi lahan terbangun Lahan sawah kategori sulit terkonversi (SK) menyebar dibagian tengah hingga utara wilayah penelitian, namun di sekitar daerah dengan kategori SK ini terdapat lahan sawah dengan kategori mudah terkonversi (MK). Hal ini disebabkan oleh semakin berkembangnya infrastruktur (jalan) di daerah tersebut yang mempercepat proses perkembangan daerah tersebut, sehingga potensi terkonversinya lahan sawah menjadi lahan terbangun meningkat. Kategori SK juga terdapat di wilayah tengah daerah penelitian dan bahkan tampak dominan di wilayah tersebut. Hal ini dikarenakan wilayah tengah merupakan wilayah perkotaan dengan infrastruktur yang lebih lengkap (pusat pemerintahan dan ekonomi) dan mempunyai jumlah penduduk yang lebih padat. Kondisi ini

24 24

menyebabkan daerah bagian tengah yang menjadi pusat pembangunan sebagai penyebab terkonversi lahan sawah menjadi lahan.

Tabel 9. Persebaran tingkat kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi lahan terbangun pada berbagai bentuklahan

Bentuklahan

Lahan Terbangun (Ha)

MK % SK %

Dataran fluvial 19.929,3 19 56.911,2 55

Dataran fluvio-vulkanik 2.555,3 26 1.912,3 20

Dataran marin 2.542 7 13.792,2 37

Dataran struktural bergelombang 786,2 11 1.115,9 15

Dataran struktural berombak 1.277,9 18 490,9 7

Pegunungan plutonik denudasional 22,3 0,3 740,8 10

Pegunungan struktural lipatan 81,8 1 121,7 2

Perbukitan structural 1.705,2 12 53,4 0,4

Nilai luasan kategori mudah terkonversi (MK) yang besar di daerah penelitian menunjukkan bahwa suatu upaya pencegahan sangat diperlukan agar luas lahan sawah tidak berkurang secara cepat. Pemerintah daerah diharapkan dapat membuat kebijakan yang mampu melindungi keberadaan lahan sawah tersebut. Kebijakan memberikan sanksi, teguran, insentif hingga kebijakan yang ketat terhadap perijinan pendirian bangunan di daerah tersebut akan mampu memperlambat potensi terjadinya konversi lahan sawah menjadi lahan terbangun. Peraturan penetapan kawasan lahan sawah abadi yang terintegrasi dengan rencana pola ruang daerah dan kawasan hutan menjadi hal yang perlu dilakukan agar lahan sawah tersebut masih tetap ada.

Kategori mudah terkonversi (MK) untuk kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi lahan terbangun paling dominan terdapat pada bentuklahan fluvial. Terdapat 19% bentuklahan dataran fluvial yang termasuk dalam lahan sawah kategori mudah terkonversi (MK), serta 55% dari bentuklahan ini yang masuk dalam lahan sawah kategori sulit terkonversi (SK). Hal ini disebabkan bentuklahan ini memiliki karakteristi k yang sesuai/cocok untuk peruntukkan wilayah permukiman. Daerah yang relatif datar dan struktur fisik tanah yang baik akan menjadi cukup baik sebagai pusat pemerintahan, pusat perkotaan hingga pusat industri yang nantinya akan mengakibatkan konversi lahan menjadi lahan terbangun. Tabel 9 menunjukkan bahwa persentase luasan bentuklahan yang masuk dalam kategori sulit terkonversi (SK) secara keseluruhan masih lebih besar dari kategori mudah terkonversi (MK) pada setiap bentuklahan. Dataran fluvio vulkanik, dataran struktural berombak dan perbukitan struktural merupakan bentuklahan dengan kategori mudah terkonversi (MK) yang lebih besar dari kategori sulit terkonversi (SK), hal ini karena ketiga bentuklahan ini memiliki lahan sawah yang secara dominan tidak sesuai keberadaannya dengan peruntukkan kawasan pada rencana pola ruang daerah.

25

Kemudahan Konversi Lahan Sawah menjadi Lahan Pertanian Non Sawah

Gambar 9 dan tabel 10 menunjukkan sebaran lahan sawah berdasarkan kemudahan terkonversi menjadi lahan pertanian non sawah. Berdasarkan gambar ini terdapat 71,7% lahan sawah yang termasuk dalam kategori mudah terkonversi (MK), 7,2% masuk dalam kategori agak mudah terkonversi (AMK), dan 21,1% masuk dalam kategori sulit terkonversi (SK). Kelas SPL3R merupakan kelas dengan luasan sawah terbesar dan masuk dalam kategori mudah terkonversi (MK) dikarenakan kesesuaian antara peruntukkan pada variabel kawasan hutan dengan variabel rencana pola ruang.

Gambar 9. Peta kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi pertanian non sawah Lahan sawah kategori mudah terkonversi (MK) menyebar dari tengah hingga ke utara wilayah penelitian, hal ini memang karena wilayah tersebut memiliki karakteristik lahan yang sesuai dengan banyak peruntukkan tanaman. Berdasarkan peta kawasan hutan dan peta rencana pola ruang lahan sawah di daerah ini tidak mengalami masalah apabila daerah tersebut menjadi lahan pertanian non sawah. Hal ini menunjukkan masih begitu lemahnya perlindungan pemerintah terhadap kawasan lahan sawah, sehingga diperlukan suatu peraturan yang mengikat lahan tersebut untuk tetap menjadi lahan sawah dimasa yang akan datang.

26 26

Tabel 10. Persebaran tingkat kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi lahan pertanian non sawah pada berbagai bentuklahan

Bentuklahan Lahan Pertanian Non Sawah (Ha)

MK % AMK % SK % Dataran fluvial 56.788,9 55 5.618,2 5 14.433,3 14 Dataran fluvio-vulkanik 1.912,3 20 115,2 0,1 2.544,8 26 Dataran marin 13.689,2 36 998,8 0,2 1.646,2 4 Dataran struktural bergelombang 992,5 14 315,1 4 594,4 8

Dataran struktural berombak 672,1 9 132,4 2 1.145,5 16

Pegunungan plutonik

denudasional 677,8 9 66,2 0,9 19,1 0,2

Pegunungan struktural lipatan 20,8 0,3 125,1 2 76,2 1

Perbukitan structural 15,7 0,1 174,8 1 1.568,1 11

Dataran fluvial juga merupakan bentuklahan yang paling luas yang masuk dalam kategori mudah terkonversi (MK) menjadi lahan pertanian non sawah. Tabel 10 menunjukkan bahwa sebesar 55% bentuklahan dataran fluvial merupakan lahan sawah yang termasuk dalam kategori mudah terkonversi (MK), hal ini karena bentuklahan ini memang memiliki kesesuaian yang baik untuk banyak jenis tanaman pertanian. Tabel 10 juga menunjukkan bahwa luasan masing-masing bentuklahan pada setiap kategori kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi lahan pertanian non sawah cenderung menyebar dan bervariasi. Kategori mudah terkonversi (MK) secara dominan merupakan kategori dengan luasan yang lebih besar dari kategori lainnya pada setiap bentuklahan. Hal ini dikarenakan lahan sawah pada setiap bentuklahan memiliki kesesuaian peruntukkan terhadap kawasan hutan dan rencana pola ruang yang besar sehingga memungkinkan untuk terkonversi menjadi lahan pertanian non sawah di masa yang akan datang.

Dokumen terkait