• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persebaran dan kemudahan konversi lahan sawah pada berbagai bentuklahan di Kabupaten Karawang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Persebaran dan kemudahan konversi lahan sawah pada berbagai bentuklahan di Kabupaten Karawang"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEBARAN DAN KEMUDAHAN KONVERSI

LAHAN SAWAH PADA BERBAGAI BENTUKLAHAN

DI KABUPATEN KARAWANG

RHOMA PURNANTO

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Persebaran dan Kemudahan Konversi Lahan Sawah pada Berbagai Bentuklahan di Kabupaten Karawang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014

Rhoma Purnanto

(4)

ABSTRAK

RHOMA PURNANTO. Persebaran dan Kemudahan Konversi Lahan Sawah pada Berbagai Bentuklahan di Kabupaten Karawang. Dibimbing oleh KHURSATUL MUNIBAH dan BOEDI TJAHJONO.

Kabupaten Karawang merupakan salah satu kabupaten dengan luasan lahan sawah serta produksi padi terbesar di Indonesia. Dengan adanya UU No. 41 Tahun 2009 tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan, maka diperlukan upaya pencegahan terhadap penurunan luasan lahan sawah (konversi lahan) di kabupaten tersebut. Persebaran penggunaan lahan sawah dianalisis dengan citra Quickbird, sedangkan klasifikasi bentuklahan ditetapkan berdasarkan kondisi morfologi, morfogenesis, morfokronologi, dan litologi. Penetapan kemudahan konversi lahan sawah menjadi “lahan terbangun” dan “lahan pertanian non sawah” dianalisis berdasarkan tiga variabel utama, yaitu kawasan hutan, rencana pola ruang, serta jarak terhadap jalan utama. Hasil analisis menunjukkan bahwa Kabupaten Karawang memiliki lahan sawah seluas 54,2% dari luas total wilayah kabupaten. Lahan sawah ini menyebar di 8 jenis bentuklahan. Bentuklahan dataran fluvial merupakan bentuklahan yang mempunyai sebaran lahan sawah terbesar, yaitu seluas 73,5%. Bentuklahan ini dicirikan oleh relief yang relatif datar serta memiliki banyak sebaran sungai sebagai sumber air irigasi sawah. Hasil analisis ini menunjukkan pula bahwa lahan sawah di Kabupaten Karawang secara dominan berada pada bentuklahan yang sesuai (dataran fluvial), terdapat pada jarak 100 meter, serta berada pada radius lebih dari 500 meter dari jalan utama, atau berada secara dominan pada kawasan areal penggunaan lain (budidaya). Selain itu, keberadaan lahan sawah secara dominan (78,4%) telah sesuai dengan peruntukkan tata ruang. Untuk hasil analisis kemudahan lahan sawah terkonversi, yaitu menjadi “lahan terbangun” menunjukkan bahwa 27,8% lahan sawah berada pada kategori mudah terkonversi (MK) dan 72,3% berada pada kategori sulit terkonversi (SK). Dalam hal ini terdapat 19% bentuklahan dataran fluvial yang memiliki lahan sawah kategori mudah terkonversi (MK), serta 55% sulit terkonversi (SK). Adapun hasil analisis untuk kemudahan terkonversi menjadi “lahan pertanian non sawah” menunjukkan bahwa sebesar 71,7% lahan sawah tergolong mudah terkonversi (MK), 7,2% masuk ke dalam kategori agak mudah terkonversi (AMK), dan sisanya 21,1% masuk ke dalam kategori sulit terkoversi (SK). Pada tipe konversi ini, luasan paling dominan pada setiap bentuklahan adalah kategori lahan sawah yang mudah terkonversi (MK).

(5)

ABSTRACT

RHOMA PURNANTO. Distribution and Conversion Susceptibility of Paddy Field on Various Landforms in Karawang Regency. Under Direction of KHURSATUL MUNIBAH and BOEDI TJAHJONO.

Karawang is one of Regency possessing the most large expanses of paddy fields and rice production in Indonesia. Since the presence of the Law 41 - 2009 concerning sustainable food agricultural land, accordingly the local government has to prevent the paddy field area from conversion phenomena. The distribution of paddy field were analyzed by Quickbird imagery, while the landform classified based on morphology, morphogenesis, morphocronology, and lithology. Determination of paddy field conversion susceptibility into a "build-up area" and "non-paddy farmland" has been analyzed using three main variables, namely forests area, land use planning of Regency, and distance to the main road. The result showed that the Regency has about 54.2% of paddy field in compare to total area of Regency. The paddy fields spread in 8 types of landforms, where the fluvial plain landforms are those possessing the largest distribution of paddy fields (73.5%). The landforms are characterized by a relatively flat relief and having many rivers contributing to paddy fields water irrigation. The analysis also shows that the pattern of paddy fields in Karawang Regency are predominantly located in the appropriate landforms (i.e. fluvial plains), exist at a distance of 100 meters, and are distributed at a radius of more than 500 meters from the main road. In other words, they are predominantly well situated (78,4%) in the cultivation zone of Regency’s land use planning. According to the susceptibility analysis of paddy field into "build-up area" indicates that 27.8% of them categorized as easily converted (MK) and 72.3% were in the category of hard converted (SK). The distribution of MK category is dominantly in the fluvial plain landforms, where 19 % of the landforms possessed MK categories and 55% for SK categories. The results of susceptibility analysis of paddy field into "non-paddy farmland" indicates that 71.7% of them classified as MK categories, 7.2% as rather easily converted (AMK), and the remaining or 21.1% as SK categories. In this type of conversion, the extensive area of each landforms are of MK categories.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

PERSEBARAN DAN KEMUDAHAN KONVERSI

LAHAN SAWAH PADA BERBAGAI BENTUKLAHAN

DI KABUPATEN KARAWANG

RHOMA PURNANTO

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Persebaran dan kemudahan konversi lahan sawah pada berbagai bentuklahan di Kabupaten Karawang

Nama : Rhoma Purnanto NIM : A14070100

Disetujui oleh

Dr. Khursatul Munibah, M.Sc Pembimbing I

Dr. Boedi Tjahjono, DEA Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Baba Barus, M.Sc Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat karunia dan izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, kepada sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya.

Skripsi yang berjudul “Persebaran dan kemudahan terkonversi lahan sawah pada berbagai bentuklahan di Kabupaten Karawang” merupakan bagian dari tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana di Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dr. Khursatul Munibah, M.Sc sebagai dosen pembimbing skripsi I sekaligus sebagai pembimbing akademik yang senantiasa membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan kegiatan penelitian.

2. Dr. Boedi Tjahjono, DEA sebagai dosen pembimbing skripsi II yang senantiasa memberikan saran, kritik, arahan dan motivasi kepada penulis dalam kegiatan penelitian ini.

3. Dr. Komarsa Gandasasmita, M.Sc (almarhum) sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan dan arahan kepada penulis dalam memberikan dukungan, motivasi, bantuan pemikiran serta kritik yang tiada henti.

6. Keluarga Besar Soilscaper 44, Keluarga Pondok Letus, Keluarga Pondok Koplak, Keluarga Besar Asrama Tanjung Tinggi IKPB Bogor serta adek-adek kelas Soil 45, 46, 47, 48 dan 49 atas kebersamaan dan dukungannya terhadap penulis.

7. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bogor, November 2014

(11)

DAFTAR ISI

Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang

Kehutanan 4

Sistem Informasi Geografis dan Citra Quickbird 6

Peranan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG)

dalam Kajian Pertanian Lahan Sawah 7

Rencana Pola Ruang 9

Kondisi Topografi, Geologi dan Hidrologi 16

Kondisi Kependudukan 16

Kondisi Ekonomi 17

HASIL DAN PEMBAHASAN 17

Interpretasi Bentuklahan (Landform) 17

Interpretasi Lahan Sawah (Paddy Field) 19

Persebaran Lahan Sawah terhadap Bentuklahan, Jarak terhadap Jalan,

Kawasan Hutan dan Rencana Pola Ruang 20

Kemudahan Konversi Lahan Sawah menjadi Lahan Terbangun 23 Kemudahan Konversi Lahan Sawah menjadi Lahan Pertanian Non Sawah 25

(12)

DAFTAR TABEL

1. Karakteristik Citra Quickbird 6

2. Data Sekunder Penelitian 10

3. Kemudahan Konversi lahan sawah menjadi lahan terbangun 13 4. Kemudahan Konversi lahan sawah menjadi lahan pertanian non sawah 14

5. Bentuklahan Kabupaten Karawang 17

6. Luas sawah setiap kecamatan 20

7. Persebaran lahan sawah pada berbagai bentuklahan 21 8. Persebaran lahan sawah pada berbagai pola ruang 22 9. Persebaran tingkat kemudahan konversi lahan sawah menjadi lahan

terbangun pada berbagai bentuklahan 24

10.Persebaran tingkat kemudahan konversi lahan sawah menjadi lahan

pertanian non sawah pada berbagai bentuklahan 26

DAFTAR GAMBAR

1. Kenampakan Satelit Quickbird diluar angkasa 7

2. Diagram Alir Penelitian 11

3. Peta Administrasi Kabupaten Karawang 15

4. Peta Bentuklahan Kabupaten Karawang 18

5. Peta Persebaran lahan sawah Kabupaten Karawang 19 6. Persebaran luasan lahan sawah terhadap jalan utama 21

7. Peta Kawasan Hutan Kabupaten Karawang 22

8. Peta kemudahan konversi lahan sawah menjadi lahan terbangun 23 9. Peta kemudahan konversi lahan sawah menjadi pertanian non sawah 25

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kenampakan sawah pada berbagai bentuklahan di citra Quickbird dan di

lapang 30

2. Peta Jalan Kabupaten Karawang 31

3. Peta Buffer Jalan 31

4. Peta Rencana Pola Ruang Kabupaten Karawang 2010-2030 32

5. Peta Kemiringan Lereng Kabupaten Karawang 32

6. Peta Geologi Kabupaten Karawang 33

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sawah merupakan faktor terpenting dalam pemenuhan kebutuhan pangan bagi bangsa Indonesia. Kebutuhan akan pangan semakin meningkat seiring dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi. Hal ini menyebabkan kebutuhan terhadap lahan pertanian sawah juga meningkat, namun pertumbuhan penduduk yang tinggi juga menyebabkan peningkatan permukiman, industri, dan sektor-sektor penunjangnya. Keadaan ini menyebabkan terjadinya persaingan penggunaan lahan antara lahan pertanian sawah dengan lahan non sawah. Perubahan penggunaan lahan sawah menjadi penggunaan lahan non sawah menyebabkan penyusutan areal pertanian. Menurut Rustiadi (2001) lahan-lahan sawah yang dikonversikan ke berbagai aktivitas urban sangat kecil kemungkinannya untuk dikembalikan lagi menjadi sawah (irreversible). Hal tersebut secara langsung akan menurunkan produksi pangan yang pada akhirnya akan mempengaruhi ketahanan pangan.

Kabupaten Karawang merupakan lumbung padi Provinsi Jawa Barat dan daerah lainnya yang memberikan kontribusi kebutuhan beras nasional rata-rata setiap tahunnya mencapai 784.000 ton. Berdasarkan data tahun 2011, total luas lahan sawah Kabupaten Karawang mencapai 97.529 hektar dan 86.588 hektar diantaranya merupakan sawah irigasi teknis. Produksi padi pertahun mencapai 1.470.870 ton Gabah Kering Pungut (GKP) yang merupakan salah satu kabupaten dengan produksi beras terbesar di Indonesia (Karawang Dalam Angka, 2011). Dengan besarnya peranan Kabupaten Karawang dalam pemenuhan kebutuhan pangan nasional, maka konsistensi luasan lahan sawah di Kabupaten Karawang menjadi sangat penting untuk menjaga stabilitas produksi beras daerah tersebut.

Karakteristik fisik suatu wilayah akan mempengaruhi kesesuaian penggunaan lahan pada daerah tersebut. Analisis geomorfologi sering digunakan untuk membantu menentukan perencanaan, pemeliharaan, pencegahan, serta solusi terhadap resiko geomorfologi yang mungkin terjadi pada jenis penggunaan lahan pada wilayah tersebut. Karakteristik fisik suatu lahan sawah akan dipengaruhi oleh jenis dan karakteristik bentuklahannya, semakin sesuai karakteristik bentuklahan tersebut terhadap suatu penggunaan lahan sawah maka akan semakin efektif dan efisien perlakuan yang diberikan kepada lahan sawah tersebut untuk mencapai produktivitas maksimum. Bentuklahan juga akan mempengaruhi keberlangsungan atau kemudahan terkonversinya lahan sawah tersebut menjadi lahan pertanian non sawah ataupun menjadi lahan terbangun.

(14)

2 2

Tujuan Penelitian

(1) Melakukan interpretasi bentuklahan dan penggunaan lahan sawah.

(2) Menganalisis persebaran lahan sawah pada berbagai bentuklahan, jarak terhadap jalan, kawasan hutan, dan rencana pola ruang.

(3) Menganalisis persebaran kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi lahan terbangun pada berbagai bentuklahan.

(4) Menganalisis persebaran kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi lahan pertanian non sawah pada berbagai bentuklahan.

TINJAUAN PUSTAKA

Lahan Sawah

Lahan sawah merupakan lahan yang digunakan untuk menanam padi, baik secara terus menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija (Hardjowigeno dan Luthfi, 2005). Lahan sawah adalah suatu tipe penggunaan lahan, yang untuk pengolahannya memerlukan genangan air. Sawah selalu mempunyai permukaan yang datar atau didatarkan (dibuat teras), dan dibatasi oleh pematang untuk menahan air genangan. Berdasarkan sumber air yang digunakan dan keadaan genangannya, sawah dapat dibedakan menjadi sawah irigasi, sawah tadah hujan, sawah lebak, dan sawah pasang surut. Sawah irigasi adalah sawah yang sumber airnya berasal dari tempat lain melalui saluran-saluran yang sengaja dibuat. Sawah irigasi dibedakan atas sawah irigasi teknis, sawah irigasi semi teknis dan sawah irigasi sederhana (Puslitbangtanak, 2003).

Sawah irigasi teknis pengairannya berasal dari waduk, dan atau danau dan dialirkan melalui saluran induk (primer) yang selanjutnya dibagi-bagi ke dalam saluran skunder dan tersier melalui bangunan pintu pembagi air. Sawah irigasi sebagian besar dapat ditanami padi dua kali atau lebih dalam setahun, tetapi sebagian ada yang hanya ditanami padi sekali setahun. Sawah tadah hujan adalah sawah yang sumber airnya tergantung atau berasal dari curah hujan tanpa adanya bangunan-bangunan irigasi permanen. Sawah tadah hujan umunya terdapat pada wilayah yang posisinya lebih tinggi dari sawah irigasi atau sawah lainnya sehingga tidak memungkinkan terjangkau oleh pengairan.Waktu tanam padi sangat tergantung pada datangnya musim hujan (Puslitbangtanak, 2003).

(15)

3

Bentuklahan

Geomorfologi adalah studi yang mendeskripsikan bentuklahan (landform) dan proses-proses geomorfik yang menghasilkan bentuklahan, serta menyelidiki hubungan timbal-balik antara bentuklahan dan proses-proses tersebut dalam susunan keruangannya. Bentuk lahan atau landform adalah permukaan lahan yang mempunyai relief khas karena pengaruh kuat dari struktur kulit bumi dan akibat proses alam yang bekerja pada batuan di dalam ruang tertentu. Setiap bentuk lahan berbeda dalam struktur, proses geomorfologi, relief/topografi dan materi penyusunnya. Bentuklahan dapat terjadi karena proses vulkanik, proses struktural, proses marin, proses angin, proses denudasional, proses fluvial, proses solusional, dan proses organik (Rika Harini, 2005). Perbedaan intensitas, kecepatan jenis, dan lamanya proses yang bekerja pada suatu daerah menyebabkan kenampakan bentuk lahan di suatu daerah dengan daerah lain umumnya berbeda.

Menurut Wiradisastra et al. (1999) bentuklahan merupakan konfigurasi permukaan lahan (land surface) yang mempunyai bentuk-bentuk khusus. Suatu bentuklahan akan dicirikan oleh struktur atau batuannya, proses pembentukannya, dan mempunyai kesan topografi spesifik. Bentuklahan merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan masing-masing dari setiap satu kenampakan dari kenampakan secara menyeluruh dan sinambung (multitudineous features) yang secara bersama-sama membentuk permukaan bumi. Hal ini mencakup semua kenampakan yang luas, seperti dataran, plato, gunung dan kenampakan-kenampakan kecil seperti bukit, lembah, ngarai, arroyo, lereng, dan kipas aluvial (Desaunettes 1977).

Verstappen (1983) mengklasifikasikan bentuklahan berdasarkan genesisnya (proses terjadinya) menjadi 10 macam bentuklahan, yaiut:

1. Bentuklahan asal proses vulkanik (V), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat aktivitas gunung api. Contoh bentuklahan ini antara lain: kerucut gunung api, medan lava, kawah, dan kaldera.

2. Bentuklahan asal proses struktural (S), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat pengaruh kuat struktur geologi. Pegunungan lipatan, pegunungan patahan, perbukitan, dan kubah, merupakan contoh-contoh untuk bentuklahan asal struktural.

3. Bentuklahan asal fluvial (F), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat aktivitas sungai. Dataran banjir, rawa belakang, teras sungai, dan tanggul alam merupakan contoh-contoh satuan bentuklahan ini. 4. Bentuklahan asal proses solusional (S), merupakan kelompok besar satuan

bentuklahan yang terjadi akibat proses pelarutan pada batuan yang mudah larut, seperti batu gamping dan dolomite, karst menara, karst kerucut, doline, uvala, polye, goa karst, dan logva.

5. Bentuklahan asal proses denudasional (D), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses degradasi seperti longsor dan erosi. Contoh satuan bentuklahan ini adalah bukit sisa, lembah sungai, peneplain, dan lahan rusak.

(16)

4 4

7. Bentuklahan asal proses marin (M), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses laut oleh tenaga gelombang, arus, dan pasang-surut. Contoh satuan bentuklahan ini adalah gisik pantai (beach), bura (spit), tombolo, laguna, dan beting gisik (beach ridge). Karena kebanyakan sungai bermuara ke laut, maka seringkali terjadi bentuklahan yang terjadi akibat kombinasi proses fluvial dan proses marin. Kombinasi ini disebut proses fluvio-marin. Contoh satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses fluvio-marin ini antara lain delta dan estuari.

8. Bentuklahan asal glasial (G), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses gerakan es (gletser). Contoh satuan bentuklahan ini antara lain lembah menggantung dan morine.

9. Bentuklahan asal organik (O), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat pengaruh kuat aktivitas organisme (flora dan fauna). Contoh satuan bentuklahan ini adalah mangrove dan terumbu karang.

10.Bentuklahan asal antropogenik (A), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat aktivitas manusia. Waduk, kota, dan pelabuhan merupakan contoh-contoh satuan bentuklahan hasil proses antropogenik.

Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan undang-undang nomor 41 tahun 1999

tentang Kehutanan

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (PLPPB) merupakan sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan. Undang-undang ini digunakan sebagai acuan bagi Pemerintah dan Pemerintahan Daerah untuk melindungi lahan pertanian pangan dalam rangka ketahanan dan kedaulatan pangan nasional (Rustiadi et al, 2010). PLPPB merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam mengendalikan laju alih fungsi lahan pertanian pangan yaitu sawah di Indonesia yang saat ini semakin berkurang luasannya. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang diterapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.

Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan berdasarkan perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan yaitu meliputi: (1) Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B), (2) Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), (3) Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B). Lahan pertanian dan lahan cadangan yang berada di dalam dan atau diluar KP2B ditentukan dengan menggunakan beberapa kriteria, yaitu:

 Kesesuaian Lahan

(17)

5  Ketersediaan Infrastruktur

KP2B ditetapkan dengan memperhatikan ketersediaan infrastruktur pendukung pertanian pangan antara lainsistem irigasi, jalan usaha tani dan jembatan.

 Penggunaan Lahan Aktual (Kondisi existing)

Kriteria lain yang digunakan dalam menetapkan KP2B adalah dengan bentuk penutupan permukaan lahan atau pemanfaatan lahan baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia.

 Potensi Teknis Lahan

Lahan yang secara biofisik, terutama dari aspek topografi, lereng, iklim, sifat fisik, kimia dan biologi tanah sesuai atau cocok dikembangkan untuk pertanian.

 Luasan Satuan Hamparan Lahan

Perencanaan LP2B dan LCP2B yang dilakukan dengan mempertimbangkan sebaran dan luasan hamparan lahan yang menjadi satu kesatuan sistem produksi pertanian yang terkait sehingga tercapai skala ekonomi dan sosial budaya yang mendukung produktivitas dan efisiensi produk.

Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Penentapan kawasan kehutanan dilakukan sebagai upaya pengaturan dan pencegahan terjadinya ekploitasi sumberdaya hutan yang memiliki peranan dalam perlindungan sistem kehidupan. Hutan dikuasai oleh negara dan selanjutnya diberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, menetapkan wilayah tertentu sebagai kawasan hutan dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan. Kewenangan mengurus hutan diwujudkan dalam bentuk perencanaan, pengelolaan dan pengawasan kehutanan. Sedangkan kewenangan dalam penetapan kawasan hutan dilaksanakan melalui proses perencanaan kehutanan. Penetapan kawasan hutan akan menghasilkan kepastian hukum kawasan hutan. Setelah adanya kepastian hukum atas kawasan hutan baru bisa tercipta kewenangan selanjutnya yaitu menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan.

Setelah adanya kepastian hukum terhadap kawasan hutan dan terciptanya hubungan hukum antara orang dengan hutan barulah pengelolaan hutan bisa dilaksanakan.dengan memberikan izin pemanfaatan hutan serta pemberian sanksi terhadap pelanggaran ketentuan kehutanan. Untuk menciptakan hubungan hukum antara orang dengan hutan haruslah terlebih dahulu melalui kepastian hukum kawasan hutan yang dilaksanakan pada perencanaan kehutanan dalam pengurusan hutan. Kepastian hukum merupakan kata kunci dalam penegakan hukum terhadap undang undang kehutanan.

(18)

6 6

memelihara kesuburan tanah. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan, hutan ini dibagi menjadi hutan produksi dan hutan produksi terbatas.

Sistem Informasi Geografis dan Citra Quickbird

Satelit Quickbird merupakan satelit ketiga yang diluncurkan oleh DigitalGlobe dengan tujuan untuk menghasilkan citra satelit resolusi tinggi untuk kepentingan komersial. Citra Quickbird adalah salah satu citra beresolusi spasial yang tinggi dan dapat diakses oleh publik. Kita dapat membeli/memesan citra ini untuk lokasi dimanapun di muka bumi, tetapi tidak termasuk lokasi yang telah dikecualikan oleh perjanjian antara pemerintah suatu negara dengan provider data utama Quickbird. Biasanya lokasi-lokasi yang dikecualikan adalah lokasi-lokasi rahasia/sangat penting seperti lokasi militer tertentu atau instalasi nuclear plant. Satelit Quickbird diluncurkan pada 18 Oktober 2001 dari Vandenburg Air Force Base di California dan dapat merekam 75 juta km persegi permukaan bumi per tahun. Keunggulan citra Quickbird adalah mampu menyajikan data dengan resolusi hingga 61 cm. Dengan resolusi setinggi ini, sebuah lokasi permukiman dapat diidentifikasi per individu bangunan, sebuah jaringan jalan dapat didentifikasi sebagai poligon dua sisi, dan yang tidak kalah pentingnya adalah pemesanan data sangat mudah dilakukan, tidak serumit pembuatan foto udara yang mengharuskan adanya security clearance (izin dari pihak keamanan), izin jalur terbang, sewa hanggar, sewa pesawat dan lain sebagainya.

Citra Quickbird saat ini sudah banyak dimanfaatkan dalam bidang perencanaan wilayah ataupun pertanian. Resolusi 61 cm sangat ideal untuk melakukan observasi pada lahan yang luas, petak tanaman hingga per individu tanaman. Melakukan identifikasi jenis tanaman dan kondisi tanah, potensi panen, efektifitas pengairan, kesuburan tanaman, kandungan air. Secara time series, citra Quickbird dapat digunakan untuk memantau pertumbuhan tanaman, banyaknya tanah yang hilang, laju penanaman, pemilihan tananaman yang siap panen, tingkat kerusakan tanaman akibat hama dan penyakit dan lain sebagainya.

Tabel 1. Karakteristik Citra Quickbird

Karakterisik Citra Quickbird

Resolusi Spasial 0,6 meter (citra pankromatik)

2,4 meter (citra multispectral)

Band 4 band(merah, hijau, biru, infra merah dekat)

Luas Area 16,5 km x 16,5 km (single area)

Altitude/Ketinggian 450 km (980 sun synchronous)

Kecepatan pada Orbit 7,1 km/detik (25.560 km/jam)

(19)

7

Gambar 1. Kenampakan satelit Quicbird di luar angkasa

Peranan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam Kajian Pertanian Lahan Sawah

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Karakteristik dari objek dapat ditentukan berdasarkan radiasi elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh obyek tersebut dan terekam oleh sensor. Hal ini berarti, masing-masing obyek mempunyai karakteristik pantulan atau pancaran elektromagnetik yang unik dan berbeda pada lingkungan yang berbeda (Murai, 1999).

Proses interpretasi citra didefinisikan sebagai proses ekstraksi informasi kualitatif maupun kuantitatif dalam bentuk sebuah peta, baik mengenai bentuk, lokasi, struktur, fungsi, kualitas, kondisi, hubungan antar obyek, dan lain-lain (Murai, 1999). Lebih lanjut Murai (1999) menguraikan langkah interpretasi citra sebagai berikut :

1. Proses pembacaan citra, merupakan bentuk dasar dari interpretasi citra, berhubungan dengan identifikasi elemen-elemen seperti bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona/warna, tekstur, dan situs/asosiasi. Proses ini diimplementasikan bersama kunci interpretasi untuk masing-masing obyek. 2. Proses pengukuran citra, merupakan proses ekstraksi kuantitas fisik seperti

panjang, ketinggian, densitas, temperatur, dan lain-lain dengan menggunakan data referensi atau data kalibrasi baik secara deduktif maupun induktif.

3. Proses analisis citra, merupakan proses memahami relasi antara informasi hasil interpretasi dan keadaan aktual di lapangan, untuk mengevaluasi situasi. Dalam proses analisis citra, pengecekan lapang diperlukan karena umumnya keakurasian hasil interpretasi tidak memadai tanpa adanya data hasil pengecekan lapangan.

Lillesand dan Kiefer (1990) memberikan karakteristik dasar kenampakkan pada citra sebagai kunci dalam proses interpretasi citra, yaitu:

a. Bentuk, merupakan konfigurasi atau kerangka suatu obyek.

(20)

8 8

c. Pola, menyatakan hubungan spasial obyek. Pengulangan bentuk umum tertentu atau hubungan obyek alami atau buatan, akan memberikan suatu pola yang dapat membantu penafsiran.

d. Bayangan, dapat membantu memberikan gambaran profil suatu obyek, atau bahkan menghalangi proses interpretasi akibat kurangnya cahaya sehingga sukar diamati pada citra.

e. Rona, menunjukkan adanya tingkataan keabuan atau kecerahan relatif obyek pada citra.

f. Warna, dapat dipresentasikan dengan hue, value, dan chroma.

g. Tekstur, adalah frekuensi perubahan rona pada citra. Merupakan gabungan dari bentuk, ukuran, pola, bayangan, dan ronanya.

h. Situs, menunjukkan hubungan antara posisi suatu terhadap obyek lainnya, sehingga suatu obyek dapat dikenali dari hubungan tersebut.

i. Asosiasi, menunjukkan keterkaitan suatu obyek terhadap lokasi dimana obyek tersebut ditemukan.

Sementara itu, sistem informasi geografis (SIG ) menurut Burrough (1986) adalah seperangkat sistem yang digunakan untuk mengoreksi, menyimpan, memanggil kembali, mentransformasi dan menyajikan data spasial dari dunia nyata untuk tujuan tertentu. Dalam konteks basisdata (database based), Aronoff (1989) menyatakan bahwa SIG merupakan suatu sistem berbasis komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi, yaitu pemasukan data, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan kembali), manipulasi dan analisis serta keluaran (output). Sedangkan dalam konteks organisasi (organization based), Ozemoy et al dalam Burrough (1986) mendefinisikan SIG sebagai seperangkat fungsi-fungsi otomatis yang profesional dengan kemampuan lebih baik dalam hal penyimpanan, pemanggilan kembali, manipulasi, dan tampilan lokasi data secara geografis.

Aplikasi SIG telah banyak digunakan untuk perencanaan pertanian, industri, dan penggunaan lahan. Analisis terpadu terhadap penggunaan lahan, debit air, data kependudukan dan pengaruh dari masing-masing data dapat dilakukan dengan pemanfaatan teknologi ini. Dalam perencanaan bidang pertanian, pengaplikasian SIG antara lain adalah :

1. Perencanaan pengelolaan produksi tanaman, SIG dapat digunakan untuk membantu perencanaan pengelolaan sumberdaya pertanian dan perkebunan seperti luas kawasan untuk tanaman, pepohonan, atau saluran air. Selain itu SIG digunakan untuk menetapkan masa panen, mengembangkan sistem rotasi tanam, dan melakukan perhitungan secara tahunan terhadap kerusakan tanah yang terjadi karena perbedaan pembibitan, penanaman, atau teknik yang digunakan dalam masa panen. Proses pengolahan tanah, proses pembibitan, proses penanaman, proses perlindungan dari hama dan penyakit tanaman dapat dikelola dan dikontrol secara langsung dengan menggunakan teknologi ini.

(21)

9

Rencana Pola Ruang

Berdasarkan Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, ruang merupakan kesatuan wilayah tempat makhluk hidup beraktivitas. Keberadaan ruang yang terbatas ini memerlukan perencanaan yang matang agar pemanfaatannya sesuai dengan potensi yang ada. Hal ini berkaitan erat dengan keberadaan sumberdaya lahan. Menurut Luthfi (2007), sumberdaya lahan merupakan sumberdaya yang terbatas sehingga perlu dimanfaatkan dengan optimal serta diperlukannya perencanaan tata ruang yang mampu mengoptimalkan potensi lahan yang ada tersebut. Rencana Pola ruang adalah rencana distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Bentuk kawasan yang memiliki peruntukan ruang fungsi lindung adalah kawasan lindung yang merupakan wilayah dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Sedangkan bentuk kawasan yang memiliki peruntukan ruang untuk fungsi budidaya adalah kawasan budidaya. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.

Menurut Rustiadi, dkk (2010), pengaturan pola pemanfaatan ruang dalam perencanaan menggunakan informasi jenis penggunaan lahan aktual sebagai dasarnya dikarenakan informasi penggunaan lahan mampu menggambarkan bagaimana kondisi fisik wilayah yang sebenarnya. Penyusunan rencana Pola ruang wilayah kabupaten harus jelas, realistis, dan dapat diimplementasikan dalam jangka waktu perencanaan pada wilayah kabupaten bersangkutan. Rencana pola ruang untuk ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi wilayah kabupaten diatur dengan pedoman tersendiri, dan harus mengikuti peraturan perundang-undangan terkait.

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari sampai bulan September 2013. Lokasi penelitian meliputi seluruh wilayah administrasi Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 193.120,56 km2. Secara astronomis, Kabupaten Karawang terletak pada koordinat 107002’ - 107040’ Bujur Timur dan 50562’ – 6034’ Lintang Selatan. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

(22)

10 10

mengetahui keadaan sebenarnya (existing) di lapangan dan untuk verifikasi hasil interpretasi yang telah dilakukan di studi. Metode survei lapang yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan cara pengamatan pada beberapa titik sampel. Alat yang digunakan adalah GPS (Global Positioning System) dan kamera digital. Tabel 2. Data sekunder penelitian

No Nama Bahan Spesifikasi

Skala

1. Citra Quickbird resolusi 61 cm tahun 2011 wilayah Kabupaten

Karawang

2. Citra DEM-SRTM resolusi 30 meter dari NASA yang diunduh dari

http://srtm.csi.cgiar.org

3. Peta Administrasi Kabupaten Karawang dari Badan Perencanaan dan

Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Karawang 1 : 50.000

4. Peta Rencana Pola Ruang Kabupaten Karawang dari Badan

Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Karawang

1 : 50.000

5. Peta Kawasan Kehutanan Kabupaten Karawang dari Kementerian

Kehutanan Republik Indonesia 1 : 50.000

6. Peta Jalan Kabupaten Karawang dari Badan Perencanaan dan

Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Karawang 1 : 50.000

7. Peta Geologi Kabupaten Karawang dan sekitarnya 1 : 100.000

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari seperangkat komputer dengan perangkat lunak (software) data spasial ArcGIS 9.3, ArcView GIS 3.3, Microsoft Office Excel dan Microsoft Office Word.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap yaitu tahap persiapan, tahap pengumpulan data, serta tahap analisis data. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 3.

1. Tahap Persiapan

Pada tahap ini dilakukan pemilihan dan penentuan tema penelitian, pembuatan proposal, studi literatur serta pemilihan metode yang digunakan dalam analisis data. Data yang disiapkan untuk penelitian ini tercantum pada Tabel 2.

2. Tahap Analisis Data

(23)
(24)

12 12

a. Tahap Interpretasi Bentuklahan (landform) dan Lahan Sawah

Interpretasi bentuklahan diawali dengan menganalisis peta geologi untuk mengetahui gambaran proses geomorfik yang terjadi pada daerah penelitian. Proses selanjutnya adalah mengklasifikasikan bentuklahan yang dilakukan berdasarkan kondisi morfologi, morfogenesis, morfokronologi dan litologi yaitu dengan interpretasi melalui peta geologi, citra DEM-SRTM 30 meter serta citra Quickbird.

Pemetaan sebaran lahan sawah dilakukan berdasarkan interpretasi ulang pada peta lahan sawah Kementerian Pertanian Republik Indonesia (Kementan-RI) menggunakan citra Quickbird beresolusi tinggi yang mencapai ketelitian 0,6 meter. Sebaran lahan sawah dianalisis dengan melakukan interpretasi serta digitasi layar (on-screen digitizing) pada penggunaan lahan sawah melalui citra Quickbird yang dilakukan secara visual dengan pendekatan unsur-unsur interpretasi citra, yaitu rona, warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan, situs, dan asosiasi.

b. Tahap Analisis Persebaran Lahan Sawah terhadap Bentuklahan, Jarak terhadap Jalan, Kawasan Hutan, dan Rencana Pola Ruang

Tahap analisis ini diawali dengan melakukan proses overlay (tumpang tindih) antara peta persebaran lahan sawah terhadap peta-peta lainnya yaitu peta bentuklahan, peta jarak terhadap jalan, peta kawasan hutan, dan peta rencana pola ruang. Dengan melakukan pengolahan dan analisis data atribut dari masing-masing hasil overlay tersebut, maka akan diperoleh nilai luasan serta pola sebaran lahan sawah pada masing-masing peta yang dipasangkan.

c. Tahap Analisis Kemudahan Konversi Lahan Sawah menjadi Lahan Terbangun dan Lahan Pertanian Non Sawah

Penetapan kemudahan konversi lahan sawah dilakukan dengan pembangunan kriteria, yaitu menganalisis hubungan antara sebaran lahan sawah dengan tiga variabel utama penentu terkonversi yaitu kawasan hutan, rencana pola ruang, dan jarak terhadap jalan. Pembangunan kriteria ini diawali dengan membagi lahan sawah menjadi 15 kelas sebaran lahan sawah yang masing-masing karakteristik kelas tersaji pada Tabel 3 dan 4. Penentuan tingkat kemudahan terkonversi dianalisis berdasarkan tingkat kesesuaian dan kemungkinan terjadinya suatu konversi lahan sawah berdasarkan ketiga variabel utama tersebut.

(25)
(26)

13 Tabel 3. Kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi lahan terbangun

Jenis

Kawasan Pertanian (R) SPL1R Mudah Terkonversi

(MK) Semua selaras

Kawasan Pertanian (R) SPL2R Sulit Terkonversi

(SK) Tidak selaras dengan rencana pola ruang

>500 (3) Kawasan Terbangun (T) SPL3T Mudah Terkonversi

(MK) Semua selaras

Kawasan Pemukiman

Pedesaan (P) SPL3P

Mudah Terkonversi

(MK) Semua selaras

Kawasan Pertanian (R) SPL3R Sulit Terkonversi

(SK) Tidak selaras dengan rencana pola ruang

Kawasan Hutan (H) SPL3H Sulit Terkonversi

(SK) Tidak selaras dengan rencana pola ruang

Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas

(HP)

>500 (3) Kawasan Terbangun (T) SHP3T Mudah Terkonversi

(MK) Semua selaras

Kawasan Pertanian (R) SHP3R Sulit Terkonversi

(SK) Tidak selaras dengan rencana pola ruang

Kawasan Hutan (H) SHP3H Sulit Terkonversi

(SK) Tidak selaras dengan rencana pola ruang

Hutan Lindung

(HL) >500 (3) Kawasan Pertanian (R) SHL3R

Sulit Terkonversi (SK)

Tidak selaras dengan rencana pola ruang dan kawasan

Kawasan Hutan (H) SHL3H Sulit Terkonversi

(SK)

(27)

Tabel 4. Kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi lahan pertanian non sawah

Kawasan Pertanian (R) SPL1R Agak Mudah

Terkonversi (AMK) Semua selaras

>200-≤500 (2) Kawasan Terbangun (T) SPL2T Sulit Terkonversi (SK) Semua selaras

Kawasan Pemukiman

Pedesaan (P) SPL2P

Sulit Terkonversi

(SK) Semua selaras

Kawasan Pertanian (R) SPL2R Mudah Terkonversi

(MK) Tidak selaras dengan rencana pola ruang

>500 (3) Kawasan Terbangun (T) SPL3T Sulit Terkonversi

(SK) Semua selaras

Kawasan Pemukiman

Pedesaan (P) SPL3P

Sulit Terkonversi

(SK) Semua selaras

Kawasan Pertanian (R) SPL3R Mudah Terkonversi

(MK) Tidak selaras dengan rencana pola ruang

Kawasan Hutan (H) SPL3H Agak Mudah

Terkonversi (AMK) Tidak selaras dengan rencana pola ruang

Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas

(HP)

>500 (3) Kawasan Terbangun (T) SHP3T Agak Mudah

Terkonversi (AMK) Semua selaras

Kawasan Pertanian (R) SHP3R Mudah Terkonversi

(MK) Tidak selaras dengan rencana pola ruang

Kawasan Hutan (H) SHP3H Agak Mudah

Terkonversi (AMK) Tidak selaras dengan rencana pola ruang

Hutan Lindung

(HL) >500 (3) Kawasan Pertanian (R) SHL3R

Sulit Terkonversi (SK)

Tidak selaras dengan rencana pola ruang dan kawasan

Kawasan Hutan (H) SHL3H Sulit Terkonversi

(SK)

Tidak selaras dengan rencana pola ruang dan kawasan

(28)
(29)

15

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Kondisi Geografis dan Administratif

Kabupaten Karawang berada di bagian utara Provinsi Jawa Barat yang secara geografis terletak antara 107°02 - 107°40 Bujur Timur dan 5°562 - 6°34 Lintang Selatan. Kabupaten Karawang termasuk daerah daratan yang relatif rendah, mempunyai variasi kemiringan wilayah 0 – 2%, 2 – 15% dan diatas 40%. Secara administratif, Kabupaten Karawang dibagi mejadi 30 kecamatan (Gambar 3) dan mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut :

 Sebelah Utara : berbatasan dengan Laut Jawa

 Sebelah Timur : berbatasan dengan Kabupaten Subang  Sebelah Tenggara : berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta  Sebelah Barat : berbatasan dengan Kabupaten Bekasi  Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan

Kabupaten Cianjur

Gambar 3. Peta Administrasi Kabupaten Karawang

Kondisi Iklim

(30)

16 16

tenggara, kecepatan angin antara 30 – 35 km/jam, lamanya tiupan rata-rata 5 – 7 jam. Curah hujan dipengaruhi oleh iklim, keadaan geografi dan perputaran/pertemuan arus udara. Oleh karena itu jumlah curah hujan sangat beragam menurut bulan, catatan rata-rata curah hujan di Kabupaten Karawang mencapai 2.899 mm dengan rata-rata curah hujan perbulan sebesar 121 mm.

Kondisi Topografi, Geologi dan Hidrologi

Kondisi Topografi Kabupaten Karawang sebagian besar merupakan dataran yang relatif rata dengan variasi ketinggian antara 0 – 5 m diatas permukaan laut. Hanya sebagian kecil wilayah yang bergelombang dan berbukit-bukit dengan ketinggian antara 0 – 1.200 m. Wilayah Kabupaten karawang sebagian besar tertutup dataran pantai yang luas, yang terhampar di bagian pantai utara dan merupakan batuan sedimen yang dibentuk oleh bahan-bahan lepas terutama endapan laut dan aluvium vulkanik. Bagian tengah ditempati oleh perbukitan terutama dibentuk oleh batuan sedimen, sedang dibagian selatan terletak Gunung Sanggabuana dengan ketinggian ± 1.291 meter diatas permukaan laut.

Kabupaten Karawang dilalui oleh aliran sungai yang melandai ke utara. Sungai Citarum merupakan pemisah antara Kabupaten Karawang dengan Kabupaten Bekasi, sedangkan sungai Cilamaya merupakan batas wilayah dengan Kabupaten Subang. Selain sungai, terdapat 3 buah saluran irigasi yang besar yaitu Saluran Induk Tarum Utara, Saluran Induk Tarum tengah dan Saluran Induk Tarum Barat yang dimanfaatkan untuk pengairan sawah, tambak dan pembangkit tenaga listrik. Kabupaten Karawang terletak pada Satuan Wilayah Sungai (SWS) 02-06 Citarum (Peraturan Menteri PU No.39/PRINT/1989, tanggal 1 April 1989). Sistem sungai yang ada adalah Sungai Citarum dengan 3 waduk utama yaitu Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Aliran dibawah bendungan Jatiluhur terdapat intake di Curug yang memberikan pasok air ke saluran Tarum Barat dan saluran Tarum Timur.

Kondisi Kependudukan

(31)

17

Kondisi Ekonomi

Laju pertumbuhan ekonomi Karawang relatif berfluktuasi, menyesuaikan kondisi perekonomian nasional serta kebijakan fiskal dan moneter Pemerintah. Selama periode 2006 – 2008, LPE berada di atas 5 % atau berada di atas syarat terjadinya pertumbuhan secara minimal. Namun demikian, pada tahun 2009, terjadi perlambatan yang disebabkan turunnya pertumbuhan sektor industri yang terindikasi merupakan dampak dari penurunan kinerja perekonomian global pada tahun tersebut. Perkembangan PDRB ADHB periode 2006 - 2009 secara absolutterus mengalami peningkatan. Berdasarkan harga berlaku (current marketprice) pada tahun 2006 sebesar Rp 31.348,37 milyar meningkat hingga mencapai Rp 47.225,24 milyar di tahun 2009. Demikian pula atas dasar harga konstan (constant market price) dimana pada tahun 2006 dengan nilai Rp 15.568,18 milyar meningkat menjadi Rp 19.195,45 milyar di tahun 2009.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Interpretasi Bentuklahan (landform)

Berdasarkan hasil interpretasi, bentuklahan di daerah penelitian dapat diklasifikasikan menjadi 8 kelas (Gambar 4). Secara spasial wilayah bagian tengah ke utara merupakan daerah datar yang didominasi oleh bentuklahan dataran fluvial dan dataran marin, hal ini merupakan pengaruh air laut yang sangat besar serta aktifitas aliran air permukaan dari banyak sungai di wilayah tersebut. Kabupaten Karawang bagian selatan terdiri dari bentuklahan yang lebih beragam dengan tingkat kemiringan lereng yang lebih bervariasi. Bentuklahan daerah bagian selatan ini lebih didominasi oleh dataran berombak, bergelombang, perbukitan hingga pegunungan struktural sebagai akibat dari pengaruh keberadaan Gunung Sanggabuana di daerah tersebut. Kelas, proses, litologi dan luasan masing-masing bentuklahan tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5. Bentuklahan Kabupaten Karawang dan luasannya

Bentuklahan Proses Litologi Luas Area

Hektar %

Dataran Fluvial Fluvial Pasir, lempung,

gamping, napal 103.357,6 53,5

Dataran Fluvio Vulkanik Ekstrusif

Dataran Marin Marin Pasir, lempung, lanau,

cangkang molusca 37.612,5 19,5

Dataran Struktural Bergelombang Struktural Lempung, napal,

(32)

18 18

Bentuklahan Proses Litologi Luas Area

Hektar %

Pegunungan Struktural Lipatan Struktural

Lempung, pasir,

gamping 6.046,9 3,1

Perbukitan Struktural Struktural Pasir, tuf, kerakal,

bongkah 14.563,2 7,5

Luas Area Total 193.120,5 100,0

Gambar 4. Peta Bentuklahan Kabupaten Karawang

Bentuklahan Dataran fluvial merupakan bentuk lahan terluas (53.5%), dan bentuklahan Dataran marin (19.5%) sebagai terluas kedua (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Karawang merupakan hasil kegiatan deposisi adtau sedimentasi sungai. Sungai Citarum di wilayah barat dan sungai Cilamaya di bagian timur merupakan sumber utama terbentuknya bentuklahan ini. Bentuklahan fluvial mempunyai karakteristik berlereng datar, daerah di sisi kiri dan kanan sungai merupakan areal dataran banjir yang terbentuk akibat proses transportasi atau pengangkutan dan deposisi material yang terjadi di dalam sungai. Dataran marin yang mendominasi daerah pantai di bagian utara sebagai akibat pengaruh aktifitas air laut yang sangat besar di daerah tersebut.

(33)

19 adanya proses endogen yang bekerja adalah proses tektonik. Proses ini mengakibatkan pengangkatan, pengkekaran, patahan, dan lipatan yang tercermin dalam bentuk topografi dan relief yang khas. Bentuk relief ini akan berubah akibat proses eksternal yang berlangsung kemudian. Macam-macam proses eksternal yang terjadi adalah proses-proses pelapukan (dekomposisi dan disintergrasi), erosi (air atau angin) serta gerakan massa (longsoran, rayapan, aliran, rebahan atau jatuhan).

Bentuklahan Pegunungan plutonik denudasional (3,9%) dan Dataran fluvio vulkanik (5,1%) adalah bentuklahan yang terbentuk sebagai akibat pengaruh dari aktifitas magmatik di masa lalu. Kedua bentuklahan ini merupakan hasil dari proses aliran material-material magmatik di wilayah selatan dari Kabupaten Karawang. Perbedaan dari dua bentuklahan ini hanyalah proses yang terjadi pada pembentukan batuan di wilayah masing-masing bentuklahan tersebut, yang pertama secara intrusif sedangkan yang kedua secara ekstrusif.

Interpretasi Lahan Sawah (Paddy Field)

Hasil interpretasi penggunaan lahan (Gambar 5) menunjukkan bahwa lahan sawah menyebar diseluruh bagian kabupaten dengan luasan 54,2%. Lahan sawah secara umum terletak pada wilayah bagian tengah ke utara, dibagian tengah ke utara ini sawah cenderung mengelompok dalam suatu hamparan sedangkan di bagian selatan cenderung menyebar tidak dalam satu hamparan. Daerah dengan pola mengelompok merupakan daerah yang relatif datar sedangkan daerah yang dicirikan dengan pola lahan sawah menyebar merupakan daerah perbukitan dan pegunungan.

(34)

20 20

Tabel 6. Luas lahan sawah setiap kecamatan

Kecamatan Luas (Ha) % Kecamatan Luas (Ha) %

Tempuran 8.072,3 7.7 Tirtamulya 3.320,3 3.2

Cilamaya Kulon 5.926,5 5.7 Jayakerta 3.127,9 3.0

Cilamaya Wetan 5.845,2 5.6 Telukjambe barat 3.330,9 3.2

Pedes 5.430,6 5.2 Pakisjaya 2.685,4 2.6

Tirtajaya 5.417,3 5.2 Klari 2.530,4 2.4

Cilebar 5.074,9 4.8 Majalaya 2.461,5 2.4

Batujaya 4.831,9 4.6 Rengasdengklok 2.364,5 2.3

Cibuaya 4.770,3 4.6 Karawang barat 2.176,5 2.1

Talagasari 4.073,1 3.9 Telukjambe timur 1.126,6 1.1

Jatisari 4.006,9 3.8 Cikampek 594,3 0.6

Luas total 104.721,4

Kecamatan yang memiliki lahan sawah yang luas (Tabel 6) seperti Kecamatan Tempuran, Kecamatan Cilamaya Kulon, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kecamatan Pedes dan Kecamatan Tirtajaya merupakan kecamatan yang memang memiliki wilayah yang lebih luas serta terletak di daerah bagian utara Kabupaten Karawang. Kecamatan Cikampek merupakan kecamatan dengan luasan lahan sawah paling rendah, hal ini karena kecamatan ini merupakan daerah padat pemukiman yag lebih didominasi oleh lahan terbangun serta memiliki luasan wilayah yang tidak terlalu besar. Tabel 6 menunjukkan luas lahan sawah yang menyebar hampir merata di seluruh kecamatan dengan rata-rata luas lahan sawah per kecamatan sebesar 3.490,7 hektar.

Persebaran Lahan Sawah terhadap Bentuklahan, Jarak terhadap Jalan, Kawasan Hutan dan Rencana Pola Ruang

(35)

21 Tabel 7. Persebaran lahan sawah pada berbagai bentuklahan

Bentuklahan Luas Sawah

Hektar %

Dataran Fluvial 76.963,79 73,5

Dataran Marin 16.582,49 15,8

Pegunungan Plutonik Denudasional 763,56 0,7

Dataran Struktural Bergelombang 1.903,13 1,8

Dataran Fluvio Vulkanik 4.576,29 4,4

Dataran Struktural Berombak 1.949,98 1,9

Pegunungan Struktural Lipatan 222,21 0,2

Perbukitan Struktural 1.759,93 1,7

Luas Area Total 104.721,38 100,00

Hubungan sebaran lahan sawah dengan jarak jalan utama dalam penelitian ini dianalisis dengan pembuatan buffer jalan dengan jarak 100 meter, 200 meter, 300 meter, 400 meter dan 500 meter. Jalan yang dipilih hanyalah jalan-jalan utama yang memiliki aktifitas besar yaitu jalan-jalan lokal dan jalan-jalan kolektor. Kedua jalan ini merupakan jalan yang memberikan pengaruh cukup signifikan terhadap perkembangan wilayah tersebut. Gambar 6 smenunjukkan bahwa sebaran lahan sawah pada jarak 100 meter dari jalan adalah yang terbesar dalam radius 500 meter. Luas lahan sawah dalam radius 100 meter mencapai 14.747,9 hektar, sedangkan lahan sawah yang berada dalam di luar radius 500 meter mencapai 28.110,9 hektar.

Gambar 6. Persebaran luasan lahan sawah terhadap jarak jalan utama

(36)

22 22

Gambar 7. Peta Kawasan Hutan Kabupaten Karawang

Dalam peta pola ruang rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Karawang 2010 – 2030, wilayah Kabupaten Karawang dibagi ke dalam 16 kawasan peruntukkan. Berdasarkan tingkat kesamaan penggunaan lahannya, kawasan-kawasan tersebut dikelompokkan menjadi 4 kategori kawasan utama seperti tersaji pada tabel 8. Dalam tabel ini diperlihatkan luasan lahan sawah yang tedapat pada masing-masing kawasan, dan kawasan pertanian merupakan kawasan dengan sebaran sawah terbesar yaitu seluas 78,3% dari total luas seluruh lahan sawah. Hal ini berarti 21,7% luasan lahan sawah menempati kawasan yang tidak sesuai dengan perencanaan pola ruangnya.

Tabel 8. Persebaran lahan sawah pada berbagai pola ruang

Rencana Pola Ruang Luas Sawah

Hektar %

Kawasan Pemukiman

Pedesaan 9.241,5 8,8%

Kawasan Pertanian 82.051,2 78,3%

Kawasan Lahan Terbangun 12.936,8 12,4%

(37)

23

Kemudahan Konversi Lahan Sawah menjadi Lahan Terbangun

Gambar 8 dan tabel 9 menunjukkan sebaran lahan sawah berdasarkan tingkat kemudahan terkonversi menjadi lahan tebangun. Pada analisis ini terdapat 27,8% lahan sawah yang termasuk dalam kategori mudah terkonversi (MK) dan 72,2% dalam kategori sulit terkonversi (SK). Kelas SPL1T, SPL1P dan SPL1R merupakan kelas dengan faktor berpengaruh paling dominannya adalah variabel kawasan hutan yang berupa areal penggunaan lain, sedangkan kelas SPL2T, SPL2P, SPL3T, SPL3P dan SHP3T merupakan kelas dengan faktor berpengaruh dominan dari variabel rencana pola ruang. Kelas-kelas ini merupakan kelas lahan sawah yang mudah terkonversi (MK), sedangkan kelas-kelas lainnya berada pada kategori sulit terkonversi (SK).

(38)

24 24

menyebabkan daerah bagian tengah yang menjadi pusat pembangunan sebagai penyebab terkonversi lahan sawah menjadi lahan.

Tabel 9. Persebaran tingkat kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi lahan terbangun pada berbagai bentuklahan

Bentuklahan

Lahan Terbangun (Ha)

MK % SK %

Dataran fluvial 19.929,3 19 56.911,2 55

Dataran fluvio-vulkanik 2.555,3 26 1.912,3 20

Dataran marin 2.542 7 13.792,2 37

Dataran struktural bergelombang 786,2 11 1.115,9 15

Dataran struktural berombak 1.277,9 18 490,9 7

Pegunungan plutonik denudasional 22,3 0,3 740,8 10

Pegunungan struktural lipatan 81,8 1 121,7 2

Perbukitan structural 1.705,2 12 53,4 0,4

Nilai luasan kategori mudah terkonversi (MK) yang besar di daerah penelitian menunjukkan bahwa suatu upaya pencegahan sangat diperlukan agar luas lahan sawah tidak berkurang secara cepat. Pemerintah daerah diharapkan dapat membuat kebijakan yang mampu melindungi keberadaan lahan sawah tersebut. Kebijakan memberikan sanksi, teguran, insentif hingga kebijakan yang ketat terhadap perijinan pendirian bangunan di daerah tersebut akan mampu memperlambat potensi terjadinya konversi lahan sawah menjadi lahan terbangun. Peraturan penetapan kawasan lahan sawah abadi yang terintegrasi dengan rencana pola ruang daerah dan kawasan hutan menjadi hal yang perlu dilakukan agar lahan sawah tersebut masih tetap ada.

(39)

25

Kemudahan Konversi Lahan Sawah menjadi Lahan Pertanian Non Sawah

Gambar 9 dan tabel 10 menunjukkan sebaran lahan sawah berdasarkan kemudahan terkonversi menjadi lahan pertanian non sawah. Berdasarkan gambar ini terdapat 71,7% lahan sawah yang termasuk dalam kategori mudah terkonversi (MK), 7,2% masuk dalam kategori agak mudah terkonversi (AMK), dan 21,1% masuk dalam kategori sulit terkonversi (SK). Kelas SPL3R merupakan kelas dengan luasan sawah terbesar dan masuk dalam kategori mudah terkonversi (MK) dikarenakan kesesuaian antara peruntukkan pada variabel kawasan hutan dengan variabel rencana pola ruang.

(40)

26 26

Tabel 10. Persebaran tingkat kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi lahan pertanian non sawah pada berbagai bentuklahan

Bentuklahan Lahan Pertanian Non Sawah (Ha)

Dataran fluvial juga merupakan bentuklahan yang paling luas yang masuk dalam kategori mudah terkonversi (MK) menjadi lahan pertanian non sawah. Tabel 10 menunjukkan bahwa sebesar 55% bentuklahan dataran fluvial merupakan lahan sawah yang termasuk dalam kategori mudah terkonversi (MK), hal ini karena bentuklahan ini memang memiliki kesesuaian yang baik untuk banyak jenis tanaman pertanian. Tabel 10 juga menunjukkan bahwa luasan masing-masing bentuklahan pada setiap kategori kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi lahan pertanian non sawah cenderung menyebar dan bervariasi. Kategori mudah terkonversi (MK) secara dominan merupakan kategori dengan luasan yang lebih besar dari kategori lainnya pada setiap bentuklahan. Hal ini dikarenakan lahan sawah pada setiap bentuklahan memiliki kesesuaian peruntukkan terhadap kawasan hutan dan rencana pola ruang yang besar sehingga memungkinkan untuk terkonversi menjadi lahan pertanian non sawah di masa yang akan datang.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Kabupaten Karawang didominasi oleh bentuklahan fluvial (53,5%) dan lahan sawah seluas 54,2% dari total luas wilayah.

2. Lahan sawah di Kabupaten Karawang secara dominan berada pada bentuklahan yang sesuai yaitu bentuklahan dataran fluvial, pada jarak 100 meter serta pada radius lebih dari 500 meter dari jalan utama, atau berada secara dominan pada kawasan areal penggunaan lain (budidaya) dan 78,4% telah sesuai dengan peruntukkannya.

(41)

27 kategori mudah terkonversi (MK), serta 55% dari bentuklahan ini yang masuk dalam lahan sawah kategori sulit terkonversi (SK).

4. Kemudahan konversi lahan sawah menjadi lahan pertanian non sawah adalah sebesar 71,7% masuk kategori mudah terkonversi (MK), 7,2% kategori agak mudah terkonversi (AMK) dan 21,1% kategori sulit terkonversi (SK). Kategori mudah terkonversi (MK) secara dominan merupakan kategori dengan luasan yang lebih besar dari kategori lainnya pada setiap bentuklahan.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap laju konversi lahan sawah di Kabupaten Karawang dengan data dua kurun waktu yang berbeda, serta uji akurasi perhitungan luas lahan sawah secara langsung di lapangan sehingga mampu menghitung secara lebih detail akurasi luasan lahan sawah per poligon.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. 2004. Konversi dan Hilangnya Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor.

Aronoff S. 1989. Geographic Information System; A Management Perspective, 2nd ed. WRI Publication, Ottawa, Canada.

Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID) : IPB Press.

Badan Standarisasi Nasional. 2002. Penyusunan Rencana Sumberdaya. Bagian 3 Sumberdaya Lahan Spasial.

Bappeda Kabupaten Karawang. 2012. Data Perkembangan Industri di Kabupaten Karawang. Karawang.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Kabupaten Karawang Dalam Angka 2011. Karawang (ID) : BPS Kabupaten Karawang.

Burrough, P. A. 1986. Principles of Geographical Information System Land Resources Assesment. Oxford: Clarendon Press.

Desaunettes, J. R. 1977. Cataloque of Landforms for Indonesia. Example of Physiographic Approach to Land Evaluation for Agricultural Development. Prepared for The Land Capability Apraisol Project at The Soil Research Inst., Bogor-Indonesia.

Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Karawang. 2012. Perkembangan Luas Baku Sawah dan Potensi Sumberdaya Hutan di Kabupaten Karawang.

Karawang.

Furi, D. R. 2007. Implikasi Konversi Lahan Terhadap Aksesibilitas Lahan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa (Kasus Pembangunan Perumahan Dramaga Pratama di Desa Cibadak, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Skripsi pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor

(42)

28 28

Harini, Rika. 2005. Hand-out Penggunaan Lahan Dan Vegetasi. Program Diploma. Fakultas Geografi, Gadjah Mada University. Yogyakarta.

Iqbal, M dan Sumaryanto. 2007. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Volume 5 No. 2, Juni 2007 : 167-182. Bogor.

Lillesand TM dan Kiefer RW. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra

(terjemahan). Yogyakarta (ID) : Gajah Mada University Pr.

Luthfi, Rayes. 2007. Metode Inventarisasi Sumberdaya Lahan. Yogyakarta : Andi. Murai S. 1999. GIS Work Book (Fundamental Course). Tokyo (JP): University of

Tokyo. National Space Development Agency Of Japan.

[Puslitbangtanak]. 2003. Pengembangan Lahan Sawah Mendukung Pengembangan Agribisnis Berbasis Tanaman Pangan. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.

Rustiadi E, Barus B, dan Selari M. 2010. Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Penataan Ruang. Makalah Seminar pada Semiloka Koordinasi Kebijakan dan Pengelolaan dan Penyediaan Lahan untuk Pertanian: Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada tanggal 14 April 2010. Dilaksanakan oleh Menko Perekonomian dan P4W-IPB. Bogor.

Rustiadi, E. dan R Wafda. 2005. Masalah Ketersediaan Lahan Dan Konversi Lahan Pertanian. Makalah Disampaikan Pada Seminar Penanganan Konversi Lahan Dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi, 13 Desember.

Septiana, A. 2011. Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan Sawah Kabupaten Karawang dan Keterkaitannya Dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Sumaryanto, N. 1994. Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dan Proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian Pertanian Nasional. Bogor. Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta (ID) :

Pemerintahan Republik Indonesia.

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta (ID) : Pemerintahan Republik Indonesia.

Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan. Jakarta (ID) : Pemerintahan Republik Indonesia.

Verstappen, M. 1983. Applied Geomorphology (Geomorphological Surveys for Environmental Development). Amsterdam: Elsevier Science Publishing Company Inc.

(43)

29

(44)

30 30

Lampiran 1. Kenampakan sawah pada berbagai bentuklahan di citra Quickbird dan di lapang

Bentuklahan Kenampakan di citra

Quickbird Kenampakan di lapang

Dataran Fluvial dengan penggunaan lahan sawah

Dataran Fluvio-Vulkanik dengan penggunaan lahan sawah

Dataran Marin dengan penggunaan lahan sawah

Dataran Struktural Bergelombang dengan penggunaan lahan sawah

Dataran Struktural Berombak dengan penggunaan lahan sawah

Pegunungan Plutonik Denudasional dengan penggunaan lahan sawah

Pegunungan Struktural Lipatan dengan

penggunaan lahan sawah

(45)

31 Lampiran 2. Peta Jalan Kabupaten Karawang

(46)

32 32

Lampiran 4. Peta Rencana Pola Ruang Kabupaten Karawang 2010-2030

(47)

33 Lampiran 6. Peta Geologi Kabupaten Karawang

(48)

30 34

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Belitung Timur pada tanggal 21 April 1989 dari pasangan Hamzah dan Lidya. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan dasar penulis dilakukan di Sekolah Dasar Negeri 1 Simpang Tiga, setelah itu melanjutkan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Kelapa Kampit dan kemudian melanjutkan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kelapa Kampit. Pada tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, sebagai mahasiswa program Studi Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah) Kabupaten Belitung Timur.

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Citra Quickbird
Gambar 1. Kenampakan satelit Quicbird di luar angkasa
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
Tabel 3. Kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi lahan terbangun
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis ini maka dapat dikatakan bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional Kabupaten Samosir yang lebih tinggi di masa yang akan

Pengembangan perikanan menyebabkan makin meningkatnya jumlah rumah tangga tani yang menguasai lahan sawah (semua katagori), produksi pertanian (tanaman pangan) dan

mempengaruhi permintaan dan penawaran komoditi padi serta konversi lahan sawah. ke penggunaan non pertanian dan juga dampak konversi lahan

Usahatani sayuran dilokasi penelitian yang merupakan titik impas tertinggi dibanding usaha tani sayuran lainnya yakni pada usaha tani bawang merah, titik impas

Dilokasi Kembang Kerang, VUB yang banyak dipilih oleh petani (95%) adalah Bima- 2, dan Bima-3, dengan alasan tanaman relatif seragam dan tegap, tongkol besar dan relatif seragam,

ditarik kesimpulan, sebagai berikut: 1) Laju konversi lahan sawah di Kecamatan Kaliwates Kabupaten Jember mengalami penyusutan. Selama kurun waktu 2006-2015 laju

Tanah sawah dari tanah kering umumnya terdapat di daerah dataran rendah, dataran tinggi volkan atau nonvolkan yang pada awalnya merupakan tanah kering yang tidak pernah jenuh

Kawasan dengan ketinggian tidak lebih dari 100 m dpl ini merupakan tipe hutan hujan dataran rendah yang masih menampakan keasriannya dengan berbagai jenis pohon berdiameter besar