• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persebaran Dan Tingkat Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah Di Kabupaten Cianjur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Persebaran Dan Tingkat Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah Di Kabupaten Cianjur"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEBARAN DAN TINGKAT KEMUDAHAN

TERKONVERSI LAHAN SAWAH DI KABUPATEN CIANJUR

IRFAN MAULANA

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Persebaran dan Tingkat Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah di Kabupaten Cianjur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

IRFAN MAULANA. Persebaran dan Tingkat Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah di Kabupaten Cianjur. Dibimbing oleh KHURSATUL MUNIBAH dan BOEDI TJAHJONO.

Kabupaten Cianjur merupakan salah satu kabupaten yang mempunyai luasan sawah dan produksi padi terbesar di pulau Jawa. Besarnya luasan lahan sawah dan produksi padi di wilayah ini tidak lepas dari ancaman konversi lahan, mengingat kabupaten Cianjur merupakan wilayah yang masih berkembang. Dengan adanya UU No. 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, maka kabupaten Cianjur memiliki peluang yang sangat besar menerapkan UU tersebut untuk mencegah penurunan luasan lahan sawah di kabupaten Cianjur. Tujuan dari penelitian adalah (1) menganalisis sebaran lahan sawah pada berbagai karakteristik fisik lahan, jarak terhadap jalan, sungai, dan rencana pola ruang, (2) menganalisis kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi lahan terbangun dan pertanian non sawah, (3) serta menganalisis sebaran lahan sawah yang terkonversi dan hubungannya dengan karakteristik fisik lahan. Metode untuk mengetahui persebaran lahan sawah terhadap karakteristik fisik, jalan, sungai, dan rencana pola ruang dengan menggunakan metode overlay. Penetapan tingkat kemudahan terkonversi lahan sawah irigasi serta non irigasi menjadi lahan terbangun dan lahan pertanian non sawah dianalisis dengan proses overlay terhadap keterkaitannya dengan variabel rencana pola ruang, dan jarak terhadap jalan. Hasil penelitian menunjukan bahwa lahan sawah irigasi lebih banyak yang terkonversi menjadi lahan terbangun, sedangkan pada lahan sawah non irigasi lebih banyak yang terkonversi menjadi lahan pertanian non sawah. Tingkat kemudahan terkonversi menjadi lahan terbangun dominan terdapat pada sawah irigasi kategori SK dengan jenis tanah Latosol, lereng 0-3%, elevasi 300 dpl, curah hujan 2000-2500 mm, sedangkan tingkat kemudahan terkonversi menjadi lahan pertanian non sawah terdapat pada sawah non irigasi kategori MK dengan jenis tanah Latosol, lereng 8-15%, elevasi 100 dpl, curah hujan 2500-3000 mm.

(5)

ABSTRACT

IRFAN MAULANA. Distribution and Ease Level of Converted Rice Field Level in Cianjur. Supervised by KHURSATUL MUNIBAH and BOEDI TJAHJONO.

Cianjur district is the one of district that have an extent area of rice fields and the largest rice production in Java. The widespread of rice field area and rice production in this district due to the threat of land conversion. Considering, Cianjur district is an area that is still evolving. The existence of UU No. 41, 2009 about sustainable protection of agricultural land of food. Then, Cianjur district has a tremendous opportunity to apply those UU for preventing rice field area reduction in Cianjur. The aim of this research are (1) to analyzed the distribution of rice field on the various physical characteristics of the field, distance to the road, river, and spatial pattern plan, (2) to analyzed the ease of converted rice field into developed land and agricultural land non-paddy, (3) and to analyzed the distribution of converted rice field and its relationship to physical characteristics of land. Methods to determine the distribution of the rice fields towards physical characteristics, roads, rivers, and space pattern plan using the overlay method. Determination of the ease level of converting irrigated land and non-irrigated into constructed land and non-agricultural rice fields were analyzed by the overlay of the association with variable spatial pattern plan and the distance to the road. The results showed that irrigated land were more converted into constracted land than non-irrigated rice field, while the non-irrigated rice field were more converted into non-agricultural rice fields. The ease level of converted into constructed land was dominant on irrigated rice field SK category with Latosol soil, 0-3% slope, elevation 300 asl, 2000-2500 mm rainfall, while the ease level of converted into non-rice agricultural land was on the non-irrigated rice category MK with Latosol soil, 8-15% slope, elevation 100 asl, 2500-3000 mm rainfall.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

PERSEBARAN DAN TINGKAT KEMUDAHAN

TERKONVERSI LAHAN SAWAH DI KABUPATEN CIANJUR

IRFAN MAULANA

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhannahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini adalah lahan sawah, dengan judul Persebaran dan Tingkat Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah di Kabupaten Cianjur

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr Khursatul Munibah, MSc selaku pembimbing skripsi dan pembimbing skripsi atas teladan, bimbingan, ide, kritik, saran, motivasi, ilmu yang diajarkan, dan kesabaran.

2. Dr Boedi Tjahjono, MSc selaku pembimbing skripsi atas teladan, bimbingan, ide, kritik, saran, kesabaran, motivasi, dan ilmu yang diajarkan kepada penulis.

3. Dr Ir Baba Barus, MSc selaku dosen penguji, yang telah bersedia memberi masukan dan saran untuk perbaikan karya ilmiah ini.

4. Ibu dan Bapak yang selalu memberi motivasi senantiasa mencurahkan kasih sayangnya, perhatian, dan mendo’kan penulis. Adikku yang selalu ada dan mendoakan penulis.

5. Teman-teman di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial Rizal, Miftah, Sudi, Karjono, Farik, Lela, Ardiya, Ria, Ira, Masyitah, Safira, dan Ayu. Terima kasih atas motivasi dan bantuannya.

6. Rekan-rekan MSL’47 (Rifki, Aulia, Andang, Budi, Akbar, Yoga, Anam, Andi, Wira, Rizki, Dinda, Viona dan lainnya), Abang dan kakak MSL’45, MSL’46, adik-adik MSL’48 terima kasih untuk kebersamaan dan dukungannya.

7. Staff tata usaha yang senantiasa membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian.

8. Staff PU Binamarga Kabupaten Cianjur, terima kasih atas bantuannya selama di Cianjur.

9. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan karya ilmiah ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Akhir kata semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi para pembaca dan bagi ilmupengetahuan, khususnya bidang Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan.

Bogor, September 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Lahan Sawah 2

Konversi Lahan 3

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 dan Perda Provinsi Jawa Barat No 27

Tahun 2010 3

Rencana Pola Ruang 5

Penginderaan Jarak Jauh 5

Sistem Informasi Geografis 7

METODE 8

Tempat dan Waktu 8

Bahan dan Alat 8

Metode Penelitian 9

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 11

Lokasi dan Letak Administrasif 11

Kondisi Iklim 13

Topografi, Geologi dan Hidrologi 13

Kondisi Kependudukan 14

Kondisi Ekonomi 14

HASIL DAN PEMBAHASAN 15

Persebaran Lahan Sawah Berdasarkan Kecamatan 15

Persebaran Lahan Sawah Berdasarkan Jenis Tanah 16

Pesebaran Lahan Sawah Berdasarkan Elevasi 19

Persebaran Lahan Sawah Berdasarkan Curah Hujan 20

Persebaran Lahan Sawah terhadap Jalan 21

(12)

Persebaran Lahan Sawah terhadap Rencana Pola Ruang 24 Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah Irigasi dan Non Irigasi Menjadi Lahan

Terbangun 26

Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah Irigasi dan Non Irigasi Menjadi Lahan

Pertanian Non Sawah 30

Validasi Tingkat Konversi Lahan Sawah Irigasi dan Non Irigasi Menjadi Lahan

Terbangun 34

Validasi Tingkat Konversi Lahan Sawah Irigasi dan Non Irigasi Menjadi Lahan

Pertanian Non Sawah 36

SIMPULAN DAN SARAN 37

Simpulan 37

Saran 37

DAFTAR PUSTAKA 38

LAMPIRAN 1

(13)

DAFTAR TABEL

1. Karakteristik Dasar Satelit Ikonos 7

2. Hubungan antara tujuan, jenis data, teknis analisis, dan keluaran 10

3. Luas lahan sawah pada setiap kecamatan 16

4. Hasil Validasi Lahan Sawah Irigasi Menjadi Lahan Terbangun 35 5. Hasil Validasi Lahan Sawah Non Irigasi Menjadi Lahan Terbangun 35 6. Tabel Hasil Validasi Lahan Sawah Irigasi Menjadi Lahan Pertanian

Non Sawah 36

7. Hasil Validasi Lahan Sawah Non Irigasi Menjadi Lahan Pertanian Non

Sawah 36

DAFTAR GAMBAR

1. Bagan Diagram Alir Penelitian 9

2. Peta Lokasi Penelitian 12

3. Persebaran lahan sawah pada setiap kecamatan 15

4. Persebaran Lahan Sawah Terhadap Jenis Tanah 17

5. Persebaran Lahan Sawah Terhadap Kemiringan Lereng 18

6. Persebaran Lahan Sawah Terhadap Elevasi 19

7. Persebaran Lahan Sawah Terhadap Curah Hujan 20

8. Buffer jalan terhadap sawah irigasi 21

9. Buffer jalan terhadap sawah non irigasi 22

10. Persebaran lahan sawah irigasi terhadap sungai 23 11. Persebaran lahan sawah irigasi terhadap sungai 23 12. Peta lahan sawah irigasi yang terdapat pada RTRW 24 13. Peta lahan sawah non irigasi yang terdapat pada RTRW 26 14. Peta kemudahan terkonversi lahan sawah irigasi menjadi lahan

terbangun 27

15. Peta kemudahan terkonversi lahan sawah non irigasi menjadi lahan

terbangun 29

16. Peta kemudahan terkonversi lahan sawah irigasi menjadi lahan

pertanian non sawah 31

17. Peta kemudahan terkonversi lahan sawah non irigasi menjadi lahan

pertanian non sawah 33

DAFTAR LAMPIRAN

1. Penentuan Kategori Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah Irigasi

Menjadi Lahan Terbangun 40

2. Penentuan Kategori Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah Irigasi

Menjadi Lahan Pertanian Non Sawah 42

3. Penentuan Kategori Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah Non Irigasi

Menjadi Lahan terbangun 44

4. Penentuan Kategori Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah Non Irigasi

Menjadi Lahan Pertanian Non Sawah 46

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lahan sawah merupakan suatu tipe penggunaan lahan yang pengelolaannya memerlukan genangan air. Oleh kerena itu, sawah selalu mempunyai permukaan yang datar atau didatarkan, dan dibatasi oleh pematang untuk menahan air genangan (Puslitbangtanak, 2003). Seiring dengan perkembangan waktu, penggunaan lahan sawah di sebagian kota atau kabupaten mulai tergeser menjadi lahan terbangun seperti industri, perumahan, jalan, kawasan perdagangan, dan sarana publik lainnya. Konversi lahan dapat diakibatkan oleh meningkatnya pertumbuhan penduduk yang disertai dengan peningkatan kebutuhan ekonomi yang semakin tinggi. Konversi lahan pertanian dapat meningkatkan perekonomian suatu daerah dengan bertambahnya infrastruktur serta fasilitas yang bisa menyerap tenaga kerja. Disamping itu konversi lahan dapat menimbulkan terganggunya ketahanan pangan akibat berkurangnya lahan pertanian sementara kebutuhan akan pangan terus meningkat. Pulau Jawa sebagai pulau penghasil beras terbesar di Indonesia memiliki banyak wilayah yang produktif dalam menghasilkan beras. Salah satunya adalah Kabupaten Cianjur yang terletak di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten ini merupakan sentra produksi padi di Jawa Barat dan memiliki lahan pertanian seluas 237.650 Ha yang terdiri dari lahan sawah seluas 66.180 Ha 28% dari total luas wilayah. Kabupaten Cianjur menyumbang sebesar 11.271.861 ton terhadap produksi padi di Jawa Barat (BPS Kabupaten Cianjur, 2013). Sektor pertanian menjadi salah satu penyumbang terbesar terhadap PDRB Kabupaten Cianjur, yaitu sekitar 42,80%. Keberadaan lahan sawah yang produktif dan luas di Kabupaten Cianjur perlu dipertahankan demi menjaga ketahanan pangan nasional dan pembangunan pertanian. Hal ini sesuai dengan UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Perda Provinsi Jawa Barat No. 27 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

(16)

Tujuan Penelitian

(1) Menganalisis sebaran lahan sawah pada berbagai karakteristik fisik lahan, jarak terhadap jalan, sungai, dan rencana pola ruang

(2) Menganalisis kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi lahan pertanian non sawah dan lahan terbangun

(3) Menganalisis sebaran tingkat kemudahan terkonversi lahan sawah dan hubungannya dengan karakteristik fisik lahan

TINJAUAN PUSTAKA

Lahan Sawah

Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang atau galengan, saluran untuk menahan atau menyalurkan air, yang biasanya ditanami padi (BPS: Luas Lahan Menurut Penggunaannya, 2008). Berdasarkan sumber airnya yang digunakan dan keadaan genangannya, sawah dapat dibedakan menjadi sawah irigasi, sawah tadah hujan, sawah lebak, dan sawah pasang surut. Sawah irigasi adalah sawah yang sumber airnya berasal dari tempat lain melalui saluran-saluran yang sengaja dibuat untuk itu. Sawah irigasi dibedakan atas sawah irigasi teknik, sawah irigasi semi teknis dan sawah irigasi sederhana.

Sawah irigasi teknis air pengairannya berasal dari waduk, dam atau danau dan dialirkan melalui saluran induk primer yang selanjutnya dibagi-bagi ke dalam saluran sekunder dan tersier melalui bangunan pintu pembagi air. Sawah irigasi sebagian besar dapat ditanami padi dua kali atau lebih dalam setahun, tetapi sebagian ada yang hanya ditanami padi sekali setahun bila ketersediaan air tidak mencukupi terutama yang terletak di ujung-ujung primer dan jauh dari sumber airnya (Puslitbangtanak, 2003).

Sawah tadah hujan adalah sawah yang sumber airnya tergantung atau berasal dari curah hujan tanpa adanya bangunan-bangunan irigasi permanen.Sawah tadah hujan umumnya terdapat pada wilayah yang posisinya lebih tinggi dari sawah irigasi atau sawah lainnya sehingga tidak memungkinkan terjangkau oleh pengairan.Waktu tanam padi sangat tergantung pada datangnya musim hujan (Puslitbangtanak, 2003).

Sawah pasang surut adalah sawah yang irigasinya tergantung pada gerakan pasang surut serta letaknya di wilayah datar tidak jauh dari laut.Karena adanya pengaruh pasang dan surut, air laut dimanfaatkan untuk mengairi melalui saluran irigasi dan drainasi.Sawah pasang surut umumnya terdapat disekitar jalur aliran sungai besar yang terkena pengaruh pasang surut (Puslitbangtanak, 2003).

(17)

Konversi Lahan

Konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula yang telah direncanakan menjadi fungsi lain yang akan berdampak terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan dalam arti perubahan peruntukan penggunaan lahan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan tuntutannya untuk kehidupan yang lebih baik (Lestari, 2009). Menurut Saefulhakim (1994), konversi lahan merupakan bentuk peralihan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan yang lain. Sifat dari luas lahan adalah tetap (fixed), sehingga adanya konversi lahan tertentu akan mengurangi atau menambah penggunaan lahan lainnya. Saefulhakim dan Nasution (1995) memaparkan salah satu faktor yang berperan penting yang dapat menyebabkan proses konversi lahan pertanian, yaitu aksesibilitas. Perubahan sarana dan prasarana transportasi yang berimplikasi terhadap meningkatnya aksesibilitas lokal, akan lebih mendorong perkembangan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian.

Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan. Intensitas alih fungsi lahan masih sulit dikendalikan, dan sebagian besar lahan sawah yang beralihfungsi tersebut justru yang produktivitasnya termasuk kategori tinggi – sangat tinggi. Lahan-lahan tersebut adalah lahan sawah beririgasi teknis atau semi teknis dan berlokasi di kawasan pertanian dimana tingkat aplikasi teknologi dan kelembagaan penunjang pengembangan produksi padi telah maju (Murniningtyas, 2007). Hal tersebut dapat berdampak terhadap produksi dan ketahanan pangan yang menjadi berkurang sedangkan kebutuhan akan pangan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi.

Ketersediaan lahan pertanian di Indonesia semakin sempit terutama lahan sawah sehingga upaya peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan pangan semakin bermasalah. Hasil sensus pertanian menunjukkan bahwa penyebab penyempitan lahan sawah di Jawa antara lain konversi lahan sawah menjadi lahan non pertanian terutama untuk pembangunan kawasan permukiman. Konversi lahan ini, terutama Jawa sebagai gudang pangan nasional, menyebabkan gangguan yang serius dalam pengadaan pangan nasional. Konversi lahan sawah yang tidak terkendali juga akan menyebabkan penurunan kapasitas penyerapan tenaga kerja pertanian dan perdesaan serta hilangnya aset pertanian bernilai tinggi Irawan et al (2001).

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 dan Perda Provinsi Jawa Barat No 27 Tahun 2010

(18)

pangan nasional. Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan berdasarkan perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan yaitu meliputi: (1) Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B), (2) Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), (3) Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B). Adapun lahan-lahan pertanian dan lahan cadangan yang berada di dalam dan atau diluar KP2B ditentukan dengan menggunakan beberapa kriteria, yaitu:

 Kesesuaian Lahan

KP2B ditetapkan pada lahan yang secara biofisik terutama dari aspek kelerengan, iklim, sifat fisik, kimia, dan biologi cocok dikembangkan untuk pertanian pangan dengan memperlihatkan daya dukung lingkungan.

 Ketersediaan Infrastruktur

KP2B ditetapkan dengan memperhatikan ketersediaan infrastruktur pendukung pertanian pangan antara lain sistem irigasi, jalan usaha tani, dan jembatan.

 Penggunaan Lahan Aktual (Kondisi existing)

Kriteria lain yang digunakan dalam menetapkan KP2B adalah dengan bentuk penutupan permukaan lahan atau pemanfaatan lahan baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia.

 Potensi Teknis Lahan

Lahan yang secara biofisik, terutama dari aspek topografi, lereng, iklim, sifat fisik, kimia dan biologi tanah sesuai atau cocok dikembangkan untuk pertanian.

 Luasan Satuan Hamparan Lahan

Perencanaan LP2B dan LCP2B yang dilakukan dengan mempertimbangkan sebaran dan luasan hamparan lahan yang menjadi satu kesatuan sistem produksi pertanian yang terkait sehingga tercapai skala ekonomi dan sosial budaya yang mendukung produktivitas dan efisiensi produk.

(19)

Rencana Pola Ruang

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai suatu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Menurut istilah geografi regional ruang sering diartikan sebagai suatu wilayah yang mempunyai batas geografi, yaitu batas keadaan fisik, sosial atau pemerintahan yang terjadi dari sebagian permukaan bumi dan lapisan tanah di bawahnya serta lapisan udara di atasnya (Jayadinata 1999). Rencana Pola ruang adalah rencana distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Bentuk kawasan yang memiliki peruntukan ruang fungsi lindung adalah kawasan lindung yang merupakan wilayah dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Bentuk kawasan yang memiliki peruntukan ruang untuk fungsi budidaya adalah kawasan budidaya. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.

Tata ruang adalah wujud struktural dan pola ruang, dalam perencanaan tata ruang yang modern, perencanaan ruang diartikan sebagai bentuk pengkajian yang sistematis dari aspek fisik, sosial, dan ekonomi untuk mendukung dan mengarahkan pemanfaatan ruang di dalam memilih cara yang terbaik untuk meningkatkan produktivitas agar memenuhi kebutuhan masyarakat secara berkelanjutan (Rustiadi et al. 2006). Penyusunan rencana pola ruang wilayah harus jelas, realistis, dan dapat diimplementasikan dalam jangka waktu perencanaan pada wilayah bersangkutan. Rencana pola ruang untuk ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi diatur dengan pedoman tersendiri, dan harus mengikuti peraturan perundang-undangan terkait.

Penginderaan Jarak Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1990). Karakteristik dari objek dapat ditentukan berdasarkan radiasi elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh obyek tersebut dan terekam oleh sensor. Hal ini berarti, masing-masing obyek mempunyai karakteristik pantulan atau pancaran elektromagnetik yang unik dan berbeda pada lingkungan yang berbeda (Murai 1999).

(20)

pantulan (reflektan) objek yang akan diterima oleh sensor ( Lillesand dan Kiefer 1997).

Proses interpretasi citra didefinisikan sebagai proses ekstraksi informasi kualitatif maupun dalam bentuk kuantitatif sebuah peta, baik mengenai bentuk, lokasi, struktur, fungsi, kualitas, kondisi, hubungan antar obyek, dan lain-lain (Murai 1999).

Lillesand dan Kiefer (1990) memberikan karakteristik dasar kenampakkan pada citra sebagai kunci dalam proses interpretasi citra, yaitu:

1. Bentuk, merupakan konfigurasi atau kerangka suatu obyek.

2. Ukuran, merupakan besar kecilnya obyek pada citra dengan mempertimbangkan skala citra.

3. Pola, menyatakan hubungan spasial obyek. Pengulangan bentuk umum tertentu atau hubungan obyek alami atau buatan, akan memberikan suatu pola yang dapat membantu penafsiran.

4. Bayangan, dapat membantu memberikan gambaran profil suatu obyek, atau bahkan menghalangi proses interpretasi akibat kurangnya cahaya sehingga sukar diamati pada citra.

5. Rona, menunjukkan adanya tingkataan keabuan atau kecerahan relatif obyek pada citra.

6. Warna, dapat dipresentasikan dengan hue, value, dan chroma.

7. Tekstur, adalah frekuensi perubahan rona pada citra. Merupakan gabungan dari bentuk, ukuran, pola, bayangan, dan ronanya.

8. Situs, menunjukkan hubungan antara posisi suatu terhadap obyek lainnya, sehingga suatu obyek dapat dikenali dari hubungan tersebut.

9. Asosiasi, menunjukkan keterkaitan suatu obyek terhadap lokasi dimana obyek tersebut ditemukan.

Sistem satelit Ikonos dibuat oleh Lockheed Martin Commercial Space Systems.Ikonos berasal dari bahasa Yunani “Eye-KOH-NOS” yang berarti citra atau image. Satelit Ikonos dioperasikan oleh Space Imaging Inc. Denver Colorado, Amerika Serikat dan diluncurkan pada tanggal 24 September 1999 dan menyediakan data untuk tujuan komersial pada awal 2000. Ikonos adalah satelit dengan resolusi spasial tinggi yang merekam data multispektral 4 kanal pada resolusi 4 m (citra berwarna) dan sebuah kanal pankromatik dengan resolusi 1 m (hitam-putih).Ikonos merupakan satelit komersial pertama yang dapat membuat citra beresolusi tinggi.

(21)

Tabel 1 Karakteristik Dasar Satelit Ikonos

Sistem Ikonos

Tanggal Peluncuran 24 September 1999 di Pangkalan Angkatan Udara

Vandenberg, California, USA

Masa operasional orbit Lebih dari 7 tahun

Kecepatan dalam orbit 7,5 kilometer per detik

Kecepatan di atas permukaan tanah 6.8 kilometer per detik

Revolusi mengelilingi bumi 14.7 setiap 24 jam

Altitud 681 kilometer

Resolusi pada titik Nadir 0.82 meter panchromatic; 3.2 metersmultispectral

Resolusi Spasial 1.0 meter panchromatic; 4.0 meters

Resolusi Spektral Panchromatic (0.45-0.90 micrometers)

Band 1 (0.45-0.53 micrometers) Band 2 (0.52-0.61 micrometers) Band 3 (0.64-0.72 micrometers) Band 4 (0.77-0.88 micrometers)

Resolusi Temporal 3 hari

Resolusi Radiometrik 8 bit

Luas sapuan (image Swath) 11.3 kilometer pada titik nadir

Waktu melintasi ekuator Nominal pada 10:30 AM waktu matahari/siang hari

Waktu pengulangan lintasan Setiap sekitar 3 hari pada latitud 40

Kisaran dinamis 11-bits per piksel

Band citra Panchromatic, blue, green, red, near IR

Sumber : Satellite Imaging Corporation (2008)

Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan suatu sistem berbasis komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi, yaitu pemasukan data, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan kembali), manipulasi dan analisis serta keluaran (Aronoff 1989). Tujuan pokok dari pemanfaatan sistem informasi geografis adalah untuk mempermudah mendapatkan informasi yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau obyek. Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data atribut dalam bentuk digital, dengan demikian analisis yang dapat digunakan adalah analisis spasial dan analisis atribut.

(22)

Menurut Prahasta (2002) terdapat beberapa alasan yang menyebabkan konsep-konsep SIG beserta aplikasinya-aplikasinya menjadi menarik untuk digunakan diberbagai disiplin ilmu, diantaranya :

a) SIG dapat digunakan sebagai alat bantu (baik sebagai tools maupun bahan tutorials) utama yang efektif, menarik, dan menantang di dalam usaha-usaha untuk meningkatkan pemahaman, pengertian, pembelajaran, dan pendidikan mengenai ide-ide atau konsep-konsep lokasi, ruang (spasial), kependudukan dan unsur-unsur geografis yang terdapat di permukaan bumi beserta data-data atribut yang menyertainya.

b) SIG menggunakan data, baik data spasial maupun data atribut secara terintegrasi sehingga sistemnya dapat menjawab pertanyaan baik pertanyaan spasial maupun non-spasial.

c) SIG memiliki kemampuan-kemampuan yang sangat baik dalam memvisualkan data spasial beserta atributnya. Modifikasi warna, bentuk, dan ukuran simbol yang diperlukan untum merepresentasikan unsur-unsur permukaan bumi dapat dilakukan dengan mudah.

METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian berlokasi di wilayah administasi Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat yang terdiri dari 32 kecamatan. Secara administrasi, Kabupaten Cianjur berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Purwakarta di sebelah Utara, dengan Kabupaten Sukabumi di sebelah Barat, dengan Kabupaten Bandung dan Garut sebelah Timur, dan Samudra Indonesia di sebelah Selatan. Penelitian berlangsung selama enam bulan, terhitung sejak bulan Februari hingga September 2014. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Labolatorium Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

(23)

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap yaitu tahap persiapan, tahap pengumpulan data, pengolahan dan analisis data, serta tahap penyusunan laporan akhir. Tahap penelitian secara lengkap disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Bagan Diagram Alir Penelitian 1. Tahap Persiapan

(24)

2. Tahap Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan di laboratorium Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial yang diperoleh peta lereng, peta elevasi, peta administrasi, peta lahan sawah, peta sungai, peta curah hujan, peta jenis tanah, peta jalan, peta landuse 2014, peta rencana pola ruang, citra SRTM, dan citra Ikonos 2010. Data yang diperoleh dari lapang yaitu hasil observasi lapang.

Tabel 2 Hubungan antara tujuan, jenis data, teknis analisis, dan keluaran

No Tujuan Jenis Data Teknik Analisis Keluaran

1. Persebaran Lahan Sawah

Berdasarkan Kondisi Fisik Lahan, Jarak terhadap Jalan dan Sungai, Pola Ruang

2. Kemudahan Terkonversi Lahan

Sawah Irigasi dan Non Irigasi Menjadi Lahan Terbangun dan Lahan Pertanian Non Sawah

Peta Lahan Sawah

3. Kemudahan Terkonversi Lahan

Sawah Irigasi dan Non Irigasi Menjadi Lahan Terbangun dan Lahan Pertanian Non Sawah Berdasarkan Karakteristik Fisik

4. Validasi Peta Kemudahan

(25)

3. Tahap Analisis Persebaran Lahan Sawah terhadap Karakteristik Fisik, Lahan, Jarak terhadap Jalan dan Sungai, dan Rencana Pola Ruang

Tahap analisis ini diawali dengan melakukan proses overlay (tumpang tindih) antara peta persebaran lahan sawah yang dibagi menjadi sawah irigasi dan sawah non irigasi. Pada zona utara, tengah, dan selatan terhadap peta karakteristik fisik lahan, peta jarak terhadap jalan serta sungai, peta kawasan hutan, dan peta rencana pola ruang. Kemudian dilakukan pengolahan serta analisis data atribut dari masing-masing peta hasil overlay sehingga diperoleh nilai luasan serta pola sebaran lahan sawah dan dapat informasi sebaran lahan sawah pada tiap-tiap peta. 4. Tahap Analisis Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah menjadi Lahan

Pertanian Non Sawah dan Lahan Terbangun

Analisis kemudahan terkonversi lahan sawah dilakukan dengan membangun kriteria untuk menganalisis hubungan antara sebaran lahan sawah dengan dua variabel yang berpengaruh terhadap konversi yaitu rencana pola ruang, dan jarak terhadap jalan. Penetapan kemudahan konversi lahan sawah dibagi menjadi dua bagian yaitu kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi non pertanian dan kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi lahan terbangun. Penentuan tingkat konversi lahan sawah berdasarkan tingkat kesesuaian dan kemungkinan terjadinya konversi lahan sawah berdasarkan kedua variabel. Kriteria tingkat kemudahan terkonversi lahan sawah tersebut dibagi dalam empat kelas yaitu mudah terkonversi (MK), agak mudah terkonversi (AMK), agak sulit terkonversi (ASK), dan sulit terkonversi (SK). Peta yang diperoleh dari hasil analisis merupakan peta kemudahan lahan sawah irigasi yang terkonversi menjadi lahan pertanian non sawah dan peta kemudahan lahan sawah irigasi yang terkonversi menjadi lahan terbangun. Selain itu terdapat pula peta kemudahan lahan sawah non irigasi yang terkonversi menjadi lahan pertanian non sawah dan peta kemudahan lahan sawah non irigasi yang terkonversi menjadi lahan terbangun.

5. Tahap Penyusunan Laporan Akhir

Tahapan ini merupakan kegiatan akhir dari penelitian. Hasil pengolahan dan analisis data serta data-data lain sebagai informasi pendukung digunakan dalam penulisan skripsi.

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Lokasi dan Letak Administrasif

(26)

mdpl. Wilayah Cianjur Tengah merupakan daerah yang berbukit-bukit kecil, tetapi terdapat juga dataran rendah. Wilayah Cianjur Selatan merupakan dataran rendah yang terdiri dari bukit – bukit dan pegunungan yang melebar sampai ke daerah Samudera Indonesia. Secara administrasi wilayah Kabupaten Cianjur terdiri dari 32 kecamatan dengan 354 desa dan 6 kelurahan. Secara administratif Kabupaten Cianjur berbatasan dengan :

 Sebelah Utara : Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta

 Sebelah Timur : Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut

 Sebelah Barat : Kabupaten Sukabumi

 Sebelah Selatan : Samudra Indonesia

(27)

Berdasarkan wilayah pembangunan Kabupaten Cianjur dibagi menjadi wilayah pengembangan utara (WPU), wilayah pengembangan tengah (WPT), dan wilayah pengembangan selatan (WPS). Wilayah pengembangan utara merupakan dataran tinggi yang terletak di kaki Gunung Gede yang sebagian besar merupakan daerah dataran tinggi pegunungan dan sebagaian lagi merupakan dataran yang dipergunakan untuk areal pemukiman dan pesawahan. Kecamatan yang termasuk wilayah ini adalah Kecamatan Cibeber, Warungkondang, Cilaku, Sukaluyu, Ciranjang, Mande, Karangtengah, Cianjur, Cugenang, Pacet, Sukaresmi, Cikalongkulon, Bojongpicung, Gekbrong, Cipanas, dan Haurwangi.

Wilayah pengembangan tengah merupakan daerah yang berbukit-bukit kecil keadaan topografi tersebut sering berdampak terjadinya tanah longsor pada wilayah ini. Dataran ini terdiri dari areal perkebunan, ladang, dan pesawahan. Kecamatan yang termasuk wilayah ini adalah Kecamatan Tanggeung, Kadupandak, Takokak, Sukanagara, Pagelaran, Campaka, Campaka Mulya, Cijati, dan Pasir Kuda. Wilayah pengembangan selatan merupakan dataran rendah, tetapi masih terdapat bukit-bukit serta pegunugan sampai ke daerah pantai Samudra Indonesia. Kondisi wilayah ini hampir serupa dengan wilayah tengah sehingga yang sering terjadi longsor. Dataran ini terdapat areal perkebunan, ladang, dan pesawahan. Kecamatan yang termasuk wilayah ini adalah Kecamatan Agrabinta, Sindangbarang, Cidaun, Naringgul, Cibinong, Cikadu, dan Leles.

Kondisi Iklim

Secara umum Kabupaten Cianjur beriklim tropis dengan suhu udara minimum 180C yang biasanya terjadi pada bulan Maret-April, sedangkan suhu maksimal mencapai 240C yang biasanya terjadi pada bulan Oktober-November dengan kelembaban nisbi berkisar 80-90%. Kondisi curah hujan di Kabupaten Cianjur sangat bervariasi. Curah hujan rata-rata di wilayah pesisir berkisar antara 1.120,4 mm/tahun sampai dengan 3.543 mm/tahun, namun demikian, beberapa wilayah seperti di sebelah barat Kecamatan Sindangbarang memiliki curah hujan lebih tinggi, yakni berkisar antara 3.000 mm/tahun sampai 4.000 mm/tahun.

Topografi, Geologi dan Hidrologi

(28)

Permukaan tanah di Kabupaten Cianjur sebagian besar tanahnya tertutup oleh batuan sedimen, terutama di wilayah Cianjur Selatan, sedangkan di wilayah Cianjur Utara banyak mengandung bahan vulkan. Pada wilayah selatan Cianjur terdapat jenis batuan alluvial yang tersebar di sepanjang pantai selatan.

Sungai Citarum merupakan sungai yang mengalir ke bagian utara dengan beberapa anak sungainya yang berada di Kabupaten Cianjur antara lain adalah Sungai Cibeet, Sungai Cikundul, Sungai Cibalagung, dan Sungai Cisokan. Sungai-sungai tersebut membentuk sub-DAS yang merupakan bagian dari DAS Citarum yang bermuara di Laut Jawa. Terdapat tiga buah waduk yang memanfaatkan aliran Sungai Citarum, yaitu Jatiluhur, Cirata, dan Saguling. Waduk Cirata mempunyai luas genangan 6.400 Ha dimana + 3.400 Ha menggenangi wilayah Kabupaten Cianjur. Selain itu terdapat juga 16 situ atau rawa yang mencakup luas + 33,50 Ha dan zona mata air berpotensi di bagian timur Gunung Gede yang dimanfaatkan untuk kepentingan domestik, pertanian, dan Waduk Ciratan.

Kondisi Kependudukan

Jumlah penduduk yang berada di Kabupaten Cianjur pada tahun 2013 mencapai 2.225.313 jiwa jumlah tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 2.213.889 jiwa pada tahun 2012 dan 2.168.514 jiwa pada tahun 2010. Perkembangan penduduk Kabupaten Cianjur dari tahun 1930, terlihat mempunyai pola berlipat dua setiap 40 tahunan. Laju pertumbuhan penduduk tercatat sebesar 0,52% serta kepadatan penduduk 615/km2. Adapaun untuk sex rasio mempunyai nilai sebesar 106,31 yang artinya penduduk laki-laki di Kabupaten Cianjur lebih banyak dibandingkan penduduk perempuan dengan jumlah laki-laki sebesar 1.146.669 jiwa sedangkan perempuan 1.078.644 jiwa. Berdasarkan jumlah penduduk di setiap kecamatan, maka Kecamatan Cianjur merupakan kecamatan berpenduduk terbesar dengan jumlah 162.474 jiwa, sebaliknya Kecamatan Campaka Mulya merupakan kecamatan dengan jumah penduduk terkecil yaitu sebesar 24.010 jiwa. Dengan demikian penyebaran penduduk masih belum merata karena terdapat kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi seperti Cianjur, Karangtengah, Cibeber, Cipanas, dan Cugenang. Adapun kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan yang rendah seperti Kecamatan Campak Mulya, Leles, Cijati, Agrabinta, dan Pasirkuda.

Kondisi Ekonomi

(29)

Untuk PDRB perkapita yang dapat menggambarkan kemakmuran masyrakat di suatu wilayah, menunjukan bahwa PDRB perkapita di Kabupaten Cianjur pada tahun 2013 sebesar Rp. 11,06 juta sebagai peningkatan dari Rp. 8,39 juta pada tahun 2010. Untuk laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013 adalah sebesar 4,67%, namun dari angka ini menunjukan perlambatan kenaikan dari pada tahun sebelumnya yang mencapai 5,08%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persebaran Lahan Sawah Berdasarkan Kecamatan

Persebaran lahan sawah yang berada di Kabupaten Cianjur menyebar di seluruh bagian kecamatan dengan total luasan sawah 66.314 ha. Persebaran lahan sawah ini disajikan pada Gambar 3 dan Tabel 3, lahan sawah mengelompok pada bagian zona utara, tengah. Lahan sawah mulai menyebar pada bagian zona selatan hingga daerah pesisir karena sebagian wilayah selatan merupakan daerah perbukitan dan pegunungan. Lahan sawah yang terbesar terdapat pada Kecamatan Cidaun sebesar 3.779 ha dengan luas pada sawah irigasi sebesar 1.001 ha dan sawah non irigasi sebesar 2.778 ha. Hal ini dikarenakan kecamatan tersebut jauh dari pusat kota dan berada di wilayah pesisir pantai selatan. Pada daerah tersebut masih belum banyak terdapat lahan terbangun sehingga lebih dominan penggunaan lahan pertanian. Kecamatan dengan total luasan lahan sawah terkecil adalah Kecamatan Sukanagara sebesar 397 ha dengan luas lahan sawah irigasi sebesar 74 ha dan luas sawah non irigasi sebesar 323 ha. Hal ini dikarenakan Kecamatan Sukanagara merupakan daerah peralihan antara Cianjur bagian utara dan selatan yang masih berkembang serta terdapat banyak lahan terbangun.

Gambar 3 Persebaran lahan sawah pada setiap kecamatan 0

(30)

Pada luasan sawah irigasi yang terbesar adalah Kecamatan Karangtengah yang terdapat di bagian zona utara sebesar 3.047 ha dan yang terkecil terdapat pada Kecamatan Pasirkuda yaitu 3 ha. Lengkapnya fasilitas serta infrastruktur yang medukung terhadap sawah irigasi dapat menjadi faktor luasnya lahan sawah irigasi yang terdapat di wilayah Karangtengah. Pada luasan sawah non irigasi yang terbesar terdapat pada Kecamatan Agrabinta sebesar 3.516 ha dan yang terkecil terdapat pada Kecamatan Haurwangi sebesar 12 ha. Letak Kecamatan Agrabinta terdapat pada zona selatan yang jauh dari pusat perkotaan sehingga mendukung luasnya sawah non irigasi.

Tabel 3 Luas lahan sawah pada setiap kecamatan

Kecamatan

Cikalongkulon 1311,03 1202,74 2513,77 3,79 Kadupandak 272,87 2807,23 3080,14 4,64

Cilaku 2320,45 - 2320,45 3,49 Pagelaran 680,24 2998,98 3679,22 5,54

Warungkondang 1892,06 - 1892,06 2,85 Sindangbarang 57,64 2757,03 2814,67 4,24

Total Luas 29625,15 36689,67 66314,82 100

Persebaran Lahan Sawah Berdasarkan Jenis Tanah

Karakteristik jenis tanah yang terdapat di wilayah penelitan memiliki keragaman jenis tanah yaitu Aluvial, Andosol, Grumosol, Latosol, Mediteran, Podsolik merah kuning, dan Regosol. Persebaran lahan sawah terhadap jenis tanah pada Gambar 4 diuraikan sesuai dengan wilayah pengembangan utara, tengah, dan selatan. Pada zona utara menunjukan bahwa luasan lahan sawah irigasi lebih dominan terdapat pada jenis tanah Latosol sebesar 15.813 ha dan terkecil pada jenis tanah Podsolik Merah Kuning yaitu seluas 42 ha. Fenomena yang serupa dijumpai pada sawah non irigasi, dimana lahan-lahan sawah dominan terdapat pada jenis tanah Latosol yaitu sebesar 2.933 ha, sedangkan luasan lahan terkecil terdapat pada jenis tanah Aluvial yaitu seluas 102 ha.

(31)

dapat dijumpai pada topografi berombak hingga bergunung, dengan vegetasi utama adalah hutan tropika lebat.

Gambar 4 Persebaran Lahan Sawah Terhadap Jenis Tanah

Pada zona tengah menunjukan bahwa luasan lahan sawah irigasi lebih dominan terdapat pada jenis tanah Latosol sebesar 1.450 ha dan terkecil pada jenis tanah Podsolik Merah Kuning yaitu seluas 89 ha. Fenomena serupa terdapat pada lahan sawah non irigasi yang memiliki luasan lahan sawah lebih dominan pada jenis tanah Latosol sebesar 7.412 ha sedangkan luasan lahan terkecil pada jenis tanah Andosol yaitu seluas 16 ha. Di zona selatan menunjukan bahwa luasan lahan sawah irigasi lebih dominan terdapat pada jenis tanah Latosol sebesar 1.201 ha dan terkecil pada jenis tanah Podsolik Merah Kuning yaitu seluas 51 ha. Pada sawah non irigasi luasan lahan sawah terbesar yaitu jenis tanah Podsolik Merah Kuning sebesar 7.489 ha dan terkecil pada jenis tanah Mediteran yaitu seluas 122 ha. Penyebaran jenis tanah secara keseluruhan dominan pada jenis tanah Latosol dan Podsolik Merah Kuning, sehingga banyak terdapat penggunaan lahan sawah pada jenis-jenis tanah tersebut.

Terdapatnya Gunung Gede berpengaruh terhadap penyebaran tanah Latosol di bagian zona utara dan tengah, namun pengaruhnya tidak terlalu banyak di zona selatan. Menurut Kyuma (2004), tanah sawah mencakup semua tanah yang terdapat dalam zona iklim dengan rezim temperatur yang sesuai untuk menanam padi dan paling tidak sebanyak satu kali tanam dalam satu tahun.

Persebaran Lahan Sawah Berdasarkan Kemiringan Lereng Karakteristik kemiringan lereng yang terdapat di wilayah penelitan memiliki kelas kemiringan lereng 0-3%, 3-8%, 8-15%, 15-25%, 25-45%, dan >45%. Persebaran lahan sawah terhadap kemiringan lereng pada Gambar 5 diuraikan sesuai dengan wilayah pengembangan utara, tengah, dan selatan. Pada zona utara menunjukan bahwa luasan lahan sawah irigasi lebih dominan pada kelas lereng 0-3% sebesar 11.933 ha dan yang terkecil pada kelas lereng >45% yaitu seluas 93

0

(32)

ha. Kecendrungan yang terlihat adalah bahwa semakin naik kelas lereng maka semakin menurun luas lahan sawah yang ada. Untuk sawah non irigasi lebih dominan berada di kelas lereng 15-25% yaitu sebesar 2.024 ha dan yang terkecil berada di kelas lereng 3-8% yaitu seluas 78 ha. Menurut Sarwono dan Widiatmaka (2007), lahan yang memiliki lereng kategori sesuai marginal untuk pertanian padi sawah yaitu 8-15%, lahan yang masuk kategori sangat sesuai untuk pertanian padi sawah memiliki kisaran lereng 0-3%, sedangkan yang cukup sesuai memiliki kisaran lereng 3-8%. Untuk persebaran lahan sawah non irigasi yang tampak dominan berada di kelas 15-25% menyebar berada disekitar daerah pegunungan.

Gambar 5 Persebaran Lahan Sawah Terhadap Kemiringan Lereng

Pada zona tengah menunjukan bahwa luasan lahan sawah lebih dominan berada di kelas lereng 15-25% sebesar 709 ha dan terkecil berada di kelas lereng 3-8% yaitu seluas 2 ha. Sawah non irigasi lebih dominan berada di kelas lereng 8-15% sebesar 5.817 ha dan terkecil berada di kelas lereng 3-8% yaitu seluas 191 ha. Dataran zona tengah merupakan areal perbukitan yang menyebar. Kondisi topografi tersebut digunakan oleh masyarakat sekitar sebagai lahan sawah non irigasi sehingga banyak penggunaan lahan sawah di zona tengah lebih dominan menggunakan sistem non irigasi. Di zona selatan terlihat bahwa luasan lahan sawah irigasi lebih dominan berada di kelas lereng 0-3% sebesar 580 ha dan terkecil berada di kelas lereng >45% yaitu seluas 1 ha. Pada sawah non irigasi lebih dominan berada di kelas lereng 8-15% sebesar 4.320 ha dan terkecil berada di kelas lereng 3-8% yaitu seluas 170 ha.

Wilayah di zona selatan merupakan dataran rendah yang terdiri dari bukit-bukit kecil dan terdapat pegunungan hingga ke daerah pesisir. Kondisi ini hampir serupa dengan penggunaan lahan sawah di zona tengah yang lebih dominan penggunaan lahan sawah non irigasi. Berbeda dengan zona utara lebih dominan pada lahan sawah irigasi yang banyak terdapat pada kelas kemiringan lereng yang datar.

0-3% 3-8% 8-15% 15-25%25-45% >45% 0-3% 3-8% 8-15% 15-25%25-45% >45% 0-3% 3-8% 8-15% 15-25%25-45% >45%

Irigasi

(33)

Pesebaran Lahan Sawah Berdasarkan Elevasi

Karakteristik elevasi yang terdapat di wilayah penelitan memiliki kelas ketinggian dari 100 dpl hingga 1800 dpl. Persebaran lahan sawah terhadap elevasi pada Gambar 6 diuraikan sesuai dengan wilayah pengembangan utara, tengah, dan selatan. Pada zona utara menunjukan bahwa luasan lahan sawah irigasi lebih dominan pada elevasi 400 dpl sebesar 9.068 ha dan terkecil pada elevasi 1200 dpl yaitu seluas 106 ha. Kecendrungan yang terlihat adalah bahwa semakin tinggi elevasi semakin menurun luasan lahan sawah irigasi, sedangkan pada sawah non irigasi lebih dominan terdapat pada elevasi 1200 dpl sebesar 818 ha dan terkecil pada elevasi 1100 dpl yaitu seluas 0,2 ha.Menurut Hadrjowigeno dan Widiatmaka (2007) kesesuaian lahan sawah yang termasuk pada kelas sangat sesuai berada pada daerah dengan ketinggian <500 dpl.

Gambar 6 Persebaran Lahan Sawah Terhadap Elevasi

Pada zona tengah menunjukan bahwa luasan lahan sawah irigasi lebih dominan pada elevasi 500 dpl sebesar 416 ha dan terkecil pada elevasi 900 dpl yaitu seluas 4 ha. Pada sawah non irigasi luasan lahan sawah lebih dominan pada elevasi 700 dpl sebesar 2.529 ha dan terkecil pada elevasi 1300 dpl yaitu seluas 19 ha. Persebaran lahan sawah terhadap elevasi di zona tengah dominan penggunaannya pada sawah non irigasi kerana dipengaruhi oleh kondisi topografi yang relatif berbukit. Di zona selatan menunjukan bahwa luasan lahan sawah irigasi dominan pada elevasi 100 dpl sebesar 1.203 ha dan terkecil pada elevasi 200 dpl yaitu seluas 49 ha. Pada sawah non irigasi lebih dominan pada elevasi 100 dpl sebesar 7.411 ha dan terkecil pada elevasi 1200 dpl yaitu seluas 16 ha.

Secara keseluruhan penggunaan lahan sawah berada pada elevasi 100-500 dpl, tanaman padi dapat berkembang dengan baik pada daerah tersebut. Menurut Nasir (2003), ketinggian tempat merupakan salah satu faktor pengendali iklim yang berpengaruh kuat terhadap suhu udara. Suhu udara berpengaruh terhadap kecepatan metabolisme terutama fotosintesis dan respirasi tanaman.

0

300 500 700 900 1100 1300 1500 1700 100 300 500 700 900 1100 1300 200 400 600 800 1000 1200 Irigasi

(34)

Persebaran Lahan Sawah Berdasarkan Curah Hujan

Karakteristik curah hujan yang terdapat di wilayah penelitan memiliki kelas curah hujan yaitu 2000-2500, 2500-3000, 3500-4000 mm. Persebaran lahan sawah terhadap curah hujan pada Gambar 7 diuraikan sesuai dengan wilayah pengembangan utara, tengah, dan selatan. Pada zona utara menunjukan bahwa luasan lahan sawah irigasi lebih dominan terdapat pada curah hujan 2000-2500 mm sebesar 10.702 ha dan terkecil pada curah hujan 3500-4000 mm yaitu seluas 4.804 ha. Pada sawah non irigasi luasan sawah lebih dominan pada curah hujan 2500-3000 mm sebesar 2.099 ha dan terkecil pada curah hujan 2000-2500 mm yaitu seluas 184 ha. Ketersediaan air merupakan faktor utama penanaman padi sawah. Karakteristik curah hujan yang tinggi dapat memberikan keuntungan bagi wilayah tropika sendiri terhadap kebutuhan tanamannya akan air. Terutama sawah non irigasi yang tidak memperoleh pengairan dari sistem irigasi namun tergantung pada alam seperti hujan, hal tersebut ditunjukan keberadaan sawah non irigasi terdapat pada curah hujan 2500-3000 mm.

Gambar 7 Persebaran Lahan Sawah Terhadap Curah Hujan

Pada zona tengah menunjukan bahwa luasan lahan sawah irigasi lebih dominan terdapat pada curah hujan 3000-3500 mm sebesar 537 ha dan terkecil pada curah hujan 2500-3000 mm yaitu seluas 330 ha. Pada sawah non irigasi luasan sawah lebih dominan di kelas curah hujan 3000-3500 mm sebesar 6.152 ha dan terkecil pada curah hujan 4000-4500 mm yaitu seluas 785 ha. Pada zona tengah terdapat luasan sawah yang berada di kelas curah hujan 4000-4500 mm. Kelas hujan tersebut merupakan kelas curah hujan yang tidak terdapat pada zona utara dan zona selatan. Hal tersebut menunjukan di zona tengah memiliki tingkat curah hujan yang paling tinggi di Kabupaten Cianjur. Di zona selatan menunjukan bahwa luasan lahan sawah irigasi lebih dominan terdapat pada curah hujan 2000-2500 mm sebesar 672 ha dan terkecil pada curah hujan 3000-3500 mm yaitu seluas 251 ha. Pada sawah non irigasi luasan lahan sawah lebih dominan terdapat pada curah hujan 2500-3000 mm sebesar 10.613 ha dan terkecil pada curah hujan 3500-4000 mm yaitu seluas 0.2 ha.

0

2000-2500 2500-3000 3000-3500 3500-4000 2500-3000 3000-3500 3500-4000 4000-4500 2000-2500 2500-3000 3000-3500 3500-4000

Irigasi

(35)

Menurut Hardjowigeno curah hujan yang sangat sesuai untuk tanaman padi sawah >1500 mm, secara keseluruhan persebaran lahan sawah di Kabupaten Cianjur sudah termasuk pada kategori sesuai. Kecendrungan yang terlihat yaitu dengan meningkatnya curah hujan maka semakin sedikit luasan sawahnya. Hal tersebut dapat terjadi karena menurut pernyataan Gandasasmita (2001), penurunan luas lahan sawah pada daerah dengan curah hujan yang tinggi bukan hanya disebabkan oleh kondisi hujannya, tetapi disebabkan juga oleh kondisi suhu udara yang tidak lagi menunjang untuk budidaya lahan sawah.

Persebaran Lahan Sawah terhadap Jalan A.Sawah Irigasi

Persebaran lahan sawah terhadap jarak jalan menggunakan buffer dengan interval 100 m dapat dilihat pada Gambar 8 untuk sawah irigasi, menunjukan bahwa luas lahan irigasi sawah lebih dominan terletak pada jarak 200-300 m sebesar 5.712 ha. Peningkatan jumlah luasan sawah terlihat cukup tinggi dari jara 100-200 m. Hal ini menunjukan lahan sawah irigasi yang berada di Kabupaten Cianjur banyak terdapat dekat dengan jalan. Kondisi tersebut membuat lahan sawah lebih rentan untuk terkonversi, karena menurut Ernan dan Barus (2012) bahwa lahan sawah yang berada di pinggiran jalan akan menjadi daerah konversi lahan sawah.

Gambar 8 Buffer jalan terhadap sawah irigasi

Penurunan luasan lahan sawah mulai terjadi pada jarak >500-<800 m karena penggunaan lahan sudah mulai bervariasi, penurunan luasan lahan sawah irigasi pada jarak >2700 sudah mulai terlihat konstan walaupun masih terdapat kenaikan luasan namun hanya terlihat sedikit kenaikan luasan lahan.

B. Sawah Non Irigasi

(36)

keberadaan lahan sawah non irigasi banyak yang terdapat dekat dengan jalan. Kondisi tersebut membuat keberadaan sawah non irigasi rentan terkonversi. Penurunan luasan pada sawah non irigasi mulai terjadi pada jarak >1300-<4100 m karena pada lahan sawah non irigasi lebih dominan terletak pada bagian tengah dan selatan.

Gambar 9 Buffer jalan terhadap sawah non irigasi

Wilayah bagian tengah dan selatan yang masih termasuk dalam wilayah pengembangan dan jauh dari pusat kota. Penurunan >4700-7200 terlihat fluktuatif walaupun terus mengalami penurunan hingga mencapai stabil pada jarak hampir mendekati akhir 20.000 m hal ini dikarenakan penggunaan lahan sawah non irigasi yang menyebar di bagian tengah dan selatan banyak terdapat di daerah yang berbukit dan pegunungan.

Persebaran Lahan Sawah terhadap Sungai A. Sawah Irigasi

Persebaran lahan sawah terhadap sungai menggunakan buffer dengan interval 100 m dapat dilihat pada Gambar 10 untuk sawah irigasi. Gambar tersebut menunjukan bahwa luasan lahan sawah irigasi akan semakin berkurang dengan semakin jauhnya jarak sungai terhadap sawah irigasi.

Lahan sawah irigasi lebih dominan terletak pada jarak <100 m sebesar 14.785 ha. Hal ini dikarenakan sungai sebagai salah satu sumber air yang menjadi pemasok air bagi wilayah pertanian atau irigasi. Sungai mempunyai peranan dalam bidang pertanian yang berfungsi sebagai sumber air untuk irigasi (Sosrodarsono dan Tominaga 1994). Faktor air merupakan kunci utama dalam penanaman padi sawah selalu tersedia (Seopraptohardjo dan Suhardjo 1978). Penurunan luasan lahan sawah irigasi terhadap sungai yang sangat besar terjadi pada jarak 100-200 m. Hal ini dapat terjadi karena aktivitas penduduk yang semakin berkembang pada jarak >200 m dengan terdapatnya lahan terbangun dan penggunaan lahan yang bervariasi. Keadaan tersebut dapat berdampak terhadap berkurangnya luasan lahan sawah irigasi terhadap sungai pada jarak tersebut.

(37)

Gambar 10 Persebaran lahan sawah irigasi terhadap sungai

B. Sawah Non Irigasi

Persebaran lahan sawah non irgasi terhadap sungai dapat dilihat pada Gambar 11. Luasan lahan sawah non irigasi terlihat akan semakin berkurang dengan semakin jauhnya jarak sungai terhadap sawah non irigasi hingga mencapai jarak 2500 m. Lahan sawah non irigasi banyak terdapat pada jarak <100 m sebesar 6.760 ha.

Gambar 11 Persebaran lahan sawah irigasi terhadap sungai

Jika dibandingkan dengan lahan sawah irigasi pada lahan sawah non irgasi pada jarak 600-1900 m luasan lahan sawahnya masih lebih besar. Hal ini dikarenakan masih minimnya pemukiman serta tingkat aktivitas penduduk di wilayah penggunaan sawah non irigasi sehingga luasan lahan sawah non irgasi terhadap sungai lebih besar daripada sawah irigasi.

0

100 200 300 400 500 600 700 800 900

(38)

Persebaran Lahan Sawah terhadap Rencana Pola Ruang

Pada peta pola ruang rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Cianjur 2010–2030 wilayah Kabupaten Cianjur menetapkan 18 kawasan peruntukkan. Berdasarkan tingkat kesamaan fungsi dan penggunaan lahannya, kawasan-kawasan tersebut dikelompokan menjadi 6 ketegori utama disajikan pada Gambar 12 untuk sawah irigasi dan Gambar 13 untuk sawah non irigasi.

Gambar 12 Peta lahan sawah irigasi yang terdapat pada RTRW

(39)

memiliki fungsi utama lindung atau budidaya. Peraturan mentri pekerjaan umum No. 41/PRT/M/2007 tentang pedoman kriteria teknis kawasan budidaya yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Pengelompokan ke 6 kategori utama diantaranya kawasan lindung, kawasan perlindungan setempat, kawasan rawan bencana alam, kawasan budidaya non sawah, kawasan terbangun, dan kawasan pertanian sawah.

Lahan sawah irigasi terlihat banyak terdapat pada kawasan pertanian sawah sebesar 18.508 ha (62%), sedangkan sisanya terdapat pada kawasan lindung sebesar 3 ha (0,01%), kawasan perlindungan setempat sebesar 1.040 ha (3,51%), kawasan rawan bencana alam sebesar 0,01 ha (0%), kawasan budidaya non sawah sebesar 4.785 ha (16%), dan kawasan terbangun sebesar 5.290 ha (18%). Hal ini menunjukan bahwa sebesar 62% sudah sesuai penempatannya sebagai kawasan pertanian sawah kerena kawasan tersebut diperuntukan bagi kegiatan pertanian yang meliputi pertanian lahan basah. Sisanya masih belum sesuai dengan perencanaan pola ruang yang berdampak pada kemudahan terkonversinya lahan sawah. Penempatan pada lahan sawah irigasi yang belum sesuai bisa dikarenakan masih kurangnya perhatian pemerintah terhadap penegasan kawasan budidaya, sehingga pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh masyarakat masih terdapat yang kurang sesuai.

(40)

Gambar 13 Peta lahan sawah non irigasi yang terdapat pada RTRW Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah Irigasi dan Non Irigasi Menjadi

Lahan Terbangun

(41)

Gambar 14 Peta kemudahan terkonversi lahan sawah irigasi menjadi lahan terbangun

(42)

kesesuaian peruntukan pada variabel rencana pola ruang yaitu kawasan pertanian sawah pada daerah tersebut. Berdasarkan karakteristik fisik kategori sulit terkonversi (SK) banyak terdapat pada lereng 0-3%, elevasi 300 mdpl, dengan curah hujan 2000-2500 mm, dan jenis tanah Latosol. Kondisi fisik tersebut dapat mendukung keberadaan penggunaan lahan sawah dengan kondisi lereng yang datar serta curah hujan yang cukup dapat memenuhi kebutuhan padi untuk tumbuh dan berproduksi dengan baik. Keberadaan lahan sawah irigasi banyak terdapat di zona utara yang memiliki keadaan topografi yang datar sehingga memudahkan untuk proses irigasi dan lebih terhindar dari bencana erosi.

(43)

Gambar 15 Peta kemudahan terkonversi lahan sawah non irigasi menjadi lahan terbangun

(44)

irigasi banyak menyebar pada zona tengah dan selatan. Wilayah pada bagian zona tengah dan selatan merupakan daerah yang masih minim aksesibilitasnya hal tersebut dipengaruhi juga oleh keadaan topografinya. Pengembangan pola ruang pada daerah tersebut banyak diperuntukan sebagai lahan pertanian kering seperti teh dan karet. Pada ketegori agak sulit terkonversi (ASK) di lahan sawah non irigasi terlihat lebih menyebar di zona tengah dan selatan jika dibandingkan dengan sawah irigasi. Berdasarkan karaktersitik fisik kategori agak sulit terkonversi (ASK) banyak terdapat pada lereng 8-15%, elevasi 100 mdpl, dengan curah hujan 2500-3000 mm, dan jenis tanah Latosol. Kondisi fisik tersebut sebenarnya sudah mendukung penggunaannya untuk tanaman padi walaupun pada kelas lereng menunjukan sesuai marginal yang menunjukan terdapat pembatas besar. Hal ini ditunjukan dengan kondisi yang berbukit-bukit pada penggunaan lahan sawah non irigasi.

Kategori mudah terkonversi (AMK) merupakan kategori yang paling kecil nilai luasannya, hal ini dikarenakan wilayah pemusatan pembangunan kota yang terdapat lahan terbangun banyak di lakukan pada zona utara menurut pola rencana ruang. Lahan sawah non irigasi terlihat lebih menyebar pada zona tengah dan selatan. Berdasarkan karakteristik fisik kategori mudah terkonversi (AMK) banyak terdapat pada lereng 0-3%, elevasi 100 mdpl, dengan curah hujan 3000-3500 mm, dan jenis tanah Podsolik merah kuning. Pada kondisi ini cukup mendukung penggunaannya untuk padi tumbuh, namun pada zona bagian tengah dan selatan menurut pola rencana ruang hanya terdapat sedikit lahan terbangun. Hal ini menunjukan bahwa pada zona tengah dan selatan merupakan wilayah yang masih dalam tahap proses berkembang sehingga kemudahan lahan sawah non irigasi yang terkonversi menjadi lahan terbangun akan lebih sedikit kemungkinannya.

Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah Irigasi dan Non Irigasi Menjadi Lahan Pertanian Non Sawah

(45)

Gambar 16 Peta kemudahan terkonversi lahan sawah irigasi menjadi lahan pertanian non sawah

(46)

lahan pertanian non sawah pada sawah irigasi dikarenakan pada sawah irigasi yang dominan terdapat di bagian zona utara pengembangannya menurut rencana pola ruang banyak ditujukan sebagai lahan terbangun seperti pemukiman, area industri, dan lahan pertanian basah. Hal tersebut didukung dengan kondisi fisik lahan yang mendukung untuk peruntukan kawasan tersebut.

(47)

Gambar 17 Peta kemudahan terkonversi lahan sawah non irigasi menjadi lahan pertanian non sawah

(48)

(6,5%). Lahan sawah non irigasi pada kategori mudah terkonversi (MK) merupakan yang paling dominan diantara kategori lainnya dan terlihat menyebar pada bagian zona tengah dan selatan sebagiannya pada zona utara. Tingkat kemudahan terkonversi, agak sulit terkonversi (ASK) merupakan yang paling terendah karena masih terdapat wilayah yang tidak sesuai peruntukannya. Berdasarkan karakteristik fisik kategori agak sulit terkonversi (ASK) banyak terdapat pada lereng 8-15%, elevasi 200 mdpl, dengan curah hujan 3000-3500 mm, dan jenis tanah Latosol. Kondisi tersebut juga cukup mendukung penggunaannya jika dijadikan sebagai lahan pertanian non sawah.

Besarnya tingkat kemudahan mudah terkonversi (MK) pada sawah non irigasi menjadi lahan pertanian non sawah dikarenakan pada wilayah tersebut berdasarkan rencana pola ruang diperuntukan sebagai kawasan budidaya seperti pertanian lahan kering dan perkebunan. Hal ini didukung dengan kondisi geografi yang terdapat di bagian zona tengah yang berbukit-bukit kecil dan pada zona selatan berbukit namun diselingi oleh pegunungan. Jika ditinjau secara langsung banyak penggunaan pada bagian zona tengah dan selatan sebagai kawasan perkebunan seperti teh, karet, palawija (jagung, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar), dan kelapa.

Berdasarkan karakteristik fisik kategori mudah terkonversi (MK) banyak terdapat pada 8-15%, elevasi 100 mdpl, curah hujan 2500-3000 mm, jenis tanah Latosol. Kondisi tersebut juga mendukung jika di jadikan penggunaan pertanian non sawah seperti tanaman tahunan dan tanaman lahan kering. Hal ini menunjukan masih kurangnya perhatian pemerintah terhadap keberadaan lahan sawah non irigasi yang berdampak pada berkurangnya produktivitas pangan. Perlunya suatu peraturan yang dapat melindungi keberadaan lahan sawah di masa yang akan datang seperti UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang mendukung dalam mempertahankan keberadaan lahan sawah dan menjaga ketahanan pangan.

Validasi Tingkat Konversi Lahan Sawah Irigasi dan Non Irigasi Menjadi Lahan Terbangun

(49)

Tabel 4 Hasil Validasi Lahan Sawah Irigasi Menjadi Lahan Terbangun

Telah Tervalidasi (Ha) Persentase (%)

MK 5.262 1.738 33

AMK 27 27 100

ASK 4.256 346 8

SK 20.079 727 4

Pada Tabel 4 menunjukan persentase dari hasil total luasan lahan sawah irigasi yang telah tervalidasi. Kategori tingkat (AMK) merupakan kategori yang paling dominan mencapai 100%. Hal ini tidak sesuai dengan nilai persentase tingkat terkonversi, yang seharusnya pada kategori (AMK) memiliki nilai persentase yang lebih rendah dari kategori (MK). Tingginya nilai persentase pada tingkat (AMK) disebabkan terdapat lahan-lahan sawah yang berdekatan dengan kawasan pemukiman, sehingga memudahkan lahan sawah untuk terkonversi.

Lahan sawah non irigasi berdasarkan hasil validasi pada kategori tingkat (MK) terdapat 1.451 ha yang telah terkonversi menjadi lahan terbangun. Pada kategori tingkat (AMK) sebesar 54 ha, (ASK) sebesar 397 ha, dan (SK) sebesar 80 ha yang telah terkonversi menjadi lahan terbangun. Tingginya lahan sawah non irigasi yang terkonversi pada tingkat (MK) dapat disebabkan oleh pengaruh dari dekatnya jarak jalan terhadap sawah non irigasi. Keadaan lahan yang sudah kurang mendukung pada sawah non irigasi juga dapat menyebabkan lahan sawah irigasi menjadi rentan terkonversi menjadi lahan terbangun.

Tabel 5 Hasil Validasi Lahan Sawah Non Irigasi Menjadi Lahan Terbangun Kategori Tingkat

Konversi

Luas Lahan Terkonversi (Ha)

Luas Lahan yang

Telah Tervalidasi (Ha) Persentase (%)

MK 1.496 1.451 97

AMK 54 54 100

ASK 23.474 397 2

SK 11.693 80 1

*keterangan MK= mudah terkonversi, AMK=agak mudah terkonversi, ASK=agak sulit terkonversi, SK=sulit terkonversi

(50)

Validasi Tingkat Konversi Lahan Sawah Irigasi dan Non Irigasi Menjadi Lahan Pertanian Non Sawah

Berdasarkan hasil dari validasi pada tingkat konversi lahan sawah irigasi menjadi lahan pertanian non sawah. Kategori tingkat (MK) terdapat 1.894 ha telah terkonversi menjadi lahan pertanian non sawah yang terdiri dari lahan pertanian kering seluas 1.622 ha dan perkebunan seluas 272 ha. Kategori lainnya yaitu tingkat (ASK) sebesar 739 ha yang terdiri dari 720 ha pertanian lahan kering dan 19 ha perkebunan. Pada kategori (SK) terdapat 2.767 ha yang terdiri dari 2.559 ha pertanian lahan kering dan 208 ha perkebunan. Besarnya jumlah lahan yang telah terkonversi pada kategori tingkat (SK) dapat dikarenakan penggunaan lahan sawah irigasi yang sedang beralih fungsi menjadi lahan pertanian lahan kering seperti palawija.

Tabel 6 Tabel Hasil Validasi Lahan Sawah Irigasi Menjadi Lahan Pertanian Non Sawah

Pada Tabel 6 menunjukan persentase dari hasil total luasan lahan yang telah tervalidasi. Nilai dari persentase pada Tabel 6 sudah sesuai dengan tingkat konversi, yaitu nilai persentase pada kategori (MK) merupakan nilai yang terbesar kemudian (ASK) dan yang paling terkecil adalah (SK).

Tabel 7 Hasil Validasi Lahan Sawah Non Irigasi Menjadi Lahan Pertanian Non Sawah

*keterangan MK= mudah terkonversi, ASK=agak sulit terkonversi, SK=sulit terkonversi

(51)

Pada Tabel 7 menunjukan persentase dari hasil total luasan lahan yang telah tervalidasi. Kategori tingkat (SK) merupakan kategori yang paling dominan mencapai 43%. Hal ini tidak sesuai dengan nilai persentase tingkat terkonversi, yang seharusnya pada kategori (SK) memiliki nilai persentase yang paling rendah diantara tingkat konversi lainnya. Tingginya nilai persentase pada tingkat (SK) disebabkan lahan-lahan sawah non irigasi yang sudah tidak lagi mendukung sebagai lahan sawah sehingga penggunaanya berubah menjadi pertanian lahan kering. Di lihat dari rencana pola ruang pada wilayah lahan sawah non irigasi tingkat (SK) terdapat pada penggunaan lahan kering.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Karakteristik fisik yang terdapat pada lahan sawah paling dominan terdapat pada jenis tanah Latosol, lereng 0-3%, elvasi 400 dpl, curah hujan 2000-2500 mm, terhadap jalan 300-400 m, sungai < 100 m, dan rencana pola ruang 62% sawah irigasi pada kawasan pertanian sawah, 86% sawah non irigasi pada kawasan budidaya non sawah.

2. Lahan sawah irigasi lebih banyak yang terkonversi menjadi lahan terbangun, sedangkan pada lahan sawah non irigasi lebih banyak yang terkonversi menjadi lahan pertanian non sawah.

3. Tingkat kemudahan terkonversi menjadi lahan terbangun dominan terdapat pada sawah irigasi kategori SK dengan jenis tanah Latosol, lereng 0-3%, elevasi 300 dpl, curah hujan 2000-2500 mm.

4. Tingkat kemudahan terkonversi menjadi lahan pertanian non sawah terdapat pada sawah non irigasi kategori MK dengan jenis tanah Latosol, lereng 8-15%, elevasi 100 dpl, curah hujan 2500-3000 mm.

Saran

Gambar

Gambar 1 Bagan Diagram Alir Penelitian
Tabel 2 Hubungan antara tujuan, jenis data, teknis analisis, dan keluaran
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian
Gambar 3 Persebaran lahan sawah pada setiap kecamatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menjelaskan isi kandungan hadits tentang menyayangi anak yatim secara sedarhana. Jumlah

(1) Dalam hal Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda dinilai melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat

Maka dari itu pada tahun 1990an pemerintah mengangkat kembali keberadaan Aksara Sunda dan membuat Aksara Sunda Baku, yaitu Aksara Sunda yang dimodernisasikan, seperti

Para siswa pada umumnya hanya tahu soal meminjam dan membaca buku perpustakaan saja dan itupun dilakukan dalam waktu yang teramat singkat, yaitu pada jam-jam

Saring Marsudi, S.H., M.Pd., Ketua Program Studi PGSD FKIP UMS, selaku Pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dengan begitu sabar yang penuh dengan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak etanolik temu kunci mempunyai aktivitas kemoprevensi pada karsinogenesis kulit mencit Balb/C yang diinduksi radiasi

Kendati sebagian ayat al-Quran menengarai bahwa sebelum penciptaan Adam As terdapat manusia-manusia yang hidup dimana para malaikat dengan ingatan

Perusahaan harus dapat merubah diri / image mereka dari ”product driven company” menjadi ”customer driven company”, dimana semua kegiatan transaksinya tidak hanya