• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Sosial Masyarakat Desa Paropo

Desa Paropo I merupakan satu dari lima desa yang ada di Kecamatan Silahisabungan. Kecamatan Silahisabunganmerupakan salah satu daerah otonom di Kabupaten Dairi, kecamatan ini dimekarkan padatanggal 14 Juni 2004 oleh Bupati Dairi DR MP Tumanggor(BPS/Pemkab Dairi/2009/05).Pemekaran daerah kecamatan dapat dilakukan jika paling tidak terdiri dari 5 desa danterdiri dari beberapa kelurahan dan dusun. Wilayah Kecamatan Silahisabungan sendiri terdiridari 5 desa yaitu Desa Silalahi I, Desa Silalahi II, Desa Silalahi III, Desa Paropo dan DesaParopo I, dan itu sudah memenuhi syarat untuk dapat memekarkan daerah kecamatan selaintentunya faktor-faktor lainnya seperti sumber daya alam dan sumber daya manusia yangmemadai.Desa Paropo I memiliki potensi yang cukup besar terutama dari hasil bumi yang dimilikinya. Hasiltanaman pertanian tumbuh subur di desa ini, ditambah lagi hasil tangkapan ikan yangmelimpah ruah. Kondisi sosial ekonomi di desa Paropo sejak adanya pemekaran kecamatanSilahisabungan berkembang cukup baik di berbagai sektor, antara lain dari sektor pertaniandan perikanan khususnya banyak mengalami kemajuan.

Luas Desa Paropo I adalah 1.062 Ha dengan luas kawasan hutan + 589 Ha, areal persawahan + 177 Ha dan areal tegalan + 90Ha. Desa Paropo I terdiri dari 3 dusun dan memiliki jumlah penduduk sebanyak 1273 orang yang terdiri dari 682 laki-laki dan 591 perempuan. Dusun 1 memiliki jumlah penduduk 337 orang (84 KK), dusun 2 dengan jumlah penduduk 449 orang (107 KK), dan dusun 3 sebanyak 487 orang (115 KK). (Kantor Kepala Desa Paropo, 2016). Secara umum

masyarakat yang tinggal di Desa Paropo adalah masyarakat lokal (bukan pendatang) yang sudah ada pada berbagai generasi. Suku yang mendiami desa Paropo I didominasi oleh suku batak toba.

Karakteristik Masyarakat

Karakteristik yang dimiliki oleh masyarakat di desa Paropo I berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Karakterisik sosial masyarakat merupakan sikap yang melekat pada masing-masing individu masyarakat. Karakteristik tersebut menjadi salah satu unsur yang dapat mempengaruhi pola pikir dan aktivitas masyarakat sebagai responden terhadap suatu objek. Oleh karena itu, dilakukan wawancara (Gambar 2), observasi, serta pengisian lembar kuisioner terhadap responden di Desa Paropo I.

Gambar 2 . PengumpulanData Melalui Wawancara dan Kuisioner

Karakteristik sosial yang diteliti dari masyarakat (responden) diantaranya umur, pendidikan terakhir, jenis pekerjaan, serta lama bermukim masyarakat. (Tabel 2). Karakteristik sosial tersebut dimaksudkan untuk mendukung tanggapan-tanggapan yang diungkapkan oleh para responden terhadap pertanyaan

yang ditujukan. Berikut ini disajikan data karakteristik sosial responden yang diperoleh dari kegiatan wawancara dan kertas kuisioner.

Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Umur, Tingkat Pendidikan, Pekerjaan dan Lama Menetap di Desa Paropo I

No Karakteristik Responden Jumlah Responden Persentasi (%) I Tingkat Umur (Tahun)

1 21-30 32 18,61 2 31-40 39 22,67 3 41-50 40 23,26 4 51-60 52 30,23 5 61-70 9 5,23 Total 172 100 II Tingkat Pendidikan 1 Tidak sekolah 10 5,81 2 SD 77 44,77 3 SMP 54 31,40 4 SMA 22 12,79 5 Perguruan Tinggi 9 5,23 Total 172 100

III Jenis Pekerjaan

1 Petani 153 88,96

2 Pedagang 10 5,81

3 PNS 7 4,07

4 Tenaga kesehatan 2 1,16

Total 172 100

IV Lama Menetap (tahun)

1 10-20 24 13,95 2 21-30 41 23,85 3 31-40 43 25 4 41-50 30 17,44 5 51-60 30 17,44 6 61-70 4 2,32 Total 172 100

Karakteristik sosial responden yang terdapat di Desa Paropo untuk tingkat umur paling banyak pada umur 51-60 tahun (30,23%) dan yang paling sedikit adalah umur 61-70. Responden dengan kategori umur muda lebih sedikit dijumpai karena mereka pada umumnya memilih untuk merantau daripada menetap di desa. Tradisi masyarakat Batak Toba yang secara turun temurun memperoleh warisan dari orangtuanya berupa lahan (tanah warisan), yang pada generasi berikutnya

jumlah luasan tanah warisan semakin berkurang, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya harus memilih alternatif lain sehingga kebanyakan masyarakat yang masih usia produktif memilih untuk merantau. Masyarakaat batak toba pada umumnya merupakan simbol yang vital bagi kebudayaan Batak secara keseluruhan. Hingga kini kebudayaan Batak Toba masih cukup terjaga meskipun terseok-seok di tengah gemparan budaya modern. Masyarakat Batak Toba banyak mendiami daerah sekitar Danau Toba Pulau Samosir, diharapkan tetap setia dengan kebudayaan tradisional mereka (Vergouwen, 2004).

Tingkat pendidikan lebih banyak adalah sampai tingkat sekolah dasar (SD) yaitu (44,77%), dan jenis pekerjaan yang menjadi sumber pendapatan utama adalah bertani (88,96%). Jenis tanaman yang dikelola oleh masyarakat Desa Paropo I adalah Bawang Merah (Allium cepa). Persentasi tertinggi untuk lama menetap responden di desa paropo adalah 21-30 tahun yaitu (23,85%) lamanya mendiami desa tersebut. Dari data karakteristik masyarakat yang diperoleh, pendidikan masyarakat di Desa Paropo I tergolong masih rendah. Salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi adalah pendidikan, pendidikan yang baik dan lebih tinggi yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi seseorang dalam mempersepsikan suatu objek lebih baik dibandingkan yang pendidikannya rendah.

Hubungan Eksistensi Masyarakat dengan Hutan

Sebagai satu kesatuan antara masyarakat dan lingkungan tempat tinggal beserta ekosistem yang berada di sekitar desa, Desa Paropo I memiliki kawasan hutan seluas 1.062 Ha yang berada tidak jauh dari tempat pemukiman warga. Masyarakat baik secara sadar maupun tidak melakukan interaksi dengan kawasan hutan yang ada di desa mereka. Adanya interaksi serta pengalaman-pengalaman

yang sudah dialami oleh masyarakat akan memunculkan tanggapan ataupun respon dengan lingkungannya. Pengenalan masyarakat dengan lingkungannya terutama terhadap hutan akan disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Pengenalan Masyarakat dengan Hutan

No Pertanyaan Bobot

nilai

Nilai Persentase (%)

1. Masyarakat mengenal hutan 5 860 6,40

2. Memahami manfaat ekologi hutan 20 2940 21,90 3. Hutan berpengaruh terhadap

perekonomian masyarakat

20 2200 16,38

4. Hutan berpengaruh terhadap sosial kehidupan

20 2940 21,90

5. pekerjaannya merusak terhadap hutan 20 2002,2 14,91 6. Hutan penting bagi kehidupan 15 2485 18,51

Total 100 13427,2 100

Rata-rata 78,06

Berdasarkan Tabel 3, masyarakat sebagai responden secara keseluruhan mengenal hutan yang ada di Desa Paropo. Masyarakat mengenal hutan dengan sebutan daerah “Tobbak” dan “Harangan”. Pengenalan masyarakat terhadap hutantergolong baik hal ini dibuktikan dari hasil kuisioner yang mencapai rata-rata skor 78,06 (Tingkat pengenalan baik). Pemahaman dan pengenalan yang berbeda yang dirasakan masyarakat dengan lingkungannya akan memunculkan persepsi yang berbeda pula dan akan memunculkan tindakan selanjutnya dengan lingkungan (objek) tersebut.Menurut teori terbentuknya persepsi yang dikemukakan oleh Walgito (1999), yang mengataan bahwa persepsi dipengaruhi oleh pengalaman individu di masa lalu, dimana dalam konteks penelitian ini pengalaman masa lalu responden yang mempengaruhi persepsi mereka tentang fungsi hutan adalah pengalaman hidup masyarakat Desa Paropo I yang tinggal di sekitar Hutan. Mereka secara otomatis menyaksikan apa yang terjadi di

lingkungannya dan secara sadar atau tidak apa yang mereka saksikan dan alami tersebut akan membentuk persepsi mereka tentang fungsi hutan.

Hasil wawancara masyarakat yang memiliki pekerjaan sehari-harinya bertani (88,96%) pada Tabel 2 mempersepsikan hutanitu lebih baik dibandingkan dengan responden yang pekerjaanya selain petani (pedagang, dan tenaga kesehatan).Salah satu peranan hutan yang langsung dirasakan oleh masyarkat Desa Paropo adalah dengan memperoleh air bersihyang berasal dari hutan. Sedangkan masyarakat yang bertani masih memperoleh peran hutan untuk ketersediaan air persawahan, hal ini sesuai dengan teori ini dikemukakan oleh Barker (Helmi,1999). Kekhususannya adalah teori ini mempelajari hubungan timbal balik antaralingkungan dan tingkah laku, sedangkan teori-teori sebelumnya pada umumnya hanya memberikan perhatian pada pengaruh lingkungan terhadap tingkah laku saja. Suatu hal yang unik pada teori ini adalah adanya set tingkah laku (behavioral setting) yang dipandang sebagai faktor tersendiri. Set tingkah laku adalah pola tingkah laku kelompok (bukan tingkah laku individu) yang terjadi sebagai akibat kondisi lingkungan tertentu.

Masyarakat lebih banyak menilai kondisi hutan yang ada di desa tersebut tidak baik dan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir semakin buruk (85.71%) dan hanya sedikit yang menyatakan kondisi hutannya masih baik (13,95%). Masyarakat (responden) yang mengatakan bahwa kondisi hutan masih baik, tidak selalu bermakna fungsinya masih baik, melainkan dapat bermakna bahwa masyarakat setempat masih dapat menggantungkan kehidupan sosial ekonominya akibat keberadaan hutan, khususnya mereka yang melakukan aktivitas sebagai

petani dimana lokasi sawahnya berada di sekitar lingkungan permukiman ataupun yang berada di kawasan perbukitan dekat hutan.

Keberadaan masyarakat yang telah lama menetap di Desa Paropo (10 tahun-70 tahun) seperti yang disajikan dalam Tabel 2 memberikan penilaian tersendiri terhadap kondisi hutan yang berada di desa tersebut. Responden dengan kategori umur tua, yang sudah lama menetap lebih mengetahui perubahan kondisi hutan yang ada di desanya. Kondisi hutan dan daerah perbukitan yang gundul dengan kelerengan yang tinggi yang berada dekat dengan rumah masyarakat (Gambar 3) menjadi hal yang ditakuti warga, karena sewaktu-waktu bencana longsor bisa saja terjadi.

Gambar 3. Perumahan Masyarakat di Kaki Perbukitan

Kegiatan penanaman pada areal perbukitan yang pada tahun-tahun sebelumnya telah dilaksanakan belum menunjukkan hasil dan perubahan yang baik terhadap lahan perbukitan yang kosong di daerah Paropo I dikarenakan kegiatan penanaman yang pernah dilakukantidak dibarengi dengan tindakan pemeliharaan. Jenis tanah yang didominasi bebatuan dengan kelerengan yang tinggi mengakibatkan tanaman sulit tumbuh sehingga diperlukan adanya tindakan pemeliharaan terhadap tanaman yang ditanam di daerah perbukitan terutama kebutuhan terhadap air untuk menopang pertumbuhan tanaman.

Persepsi Masyarakat Terhadap Kegiatan Penanaman Pada Lahan Kosong Sebagai masyarakat yang sudah tinggal dan menetap di Desa Paropo 1 dan telah berinteraksi dengan ekosistem baik secara langsung maupun tidak langsung memiliki persepsi yang berbeda dengan kondisi lingkungan mereka. Terdapat masyarakat yang sudah nyaman (menerima) dengan kondisi tersebut dan banyak juga dari antara responden yang mengharapkan perubahan terhadap kondisi lingkungan mereka. Pada Tabel 4 disajikan bagaimana persepsi masyarakat terhadap kegiatan penanaman pada lahan kosong sebagai respon dari masyarakat terhadap kondisi lingkungan (perbukitan) di daerah ini.

Tabel 4. Persepsi Masyarakat Terhadap Kegiatan Penanaman pada Lahan Kosong

No Pertanyaan Bobot

nilai

Nilai Persentase (%) 1. Kondisi hutan di Desa Paropo I

baik

10 1197 8,31

2. Kondisi hutan 5 tahun terakhir semakin baik

10 1028,7 7,14

3. Prihatin dengan kondisi hutan yang rusak

5 860 5,97

4. Mengetahui cara penanaman dan pemeliharaan

15 1070 7,43

5. Perlu dilakukan restorasi pada lahan yang rusak

20 2505 17,38

6. Kegiatan restorasi melibatkan pemerintah, instansi dan masyarakat

20 2925 20,30

7. Mendukung mahasiswa ataupun instansi yang melakukan penelitian di Desa paropo I

10 3340 23,18

8. Masyarakat berpartisipasi dan terlibat dalam kegiatan restorasi

10 1485 10,30

Total 100 14410,7 100

Rata-rata 83,78

Persepsi masyarakat terhadap kondisi lahan kosong dan perlunya dilakukan restorasi pada lahan kosong di Desa paropo I termasuk ke dalam kategori sangat baik, hal ini dibuktikan dari kuisioner dimana rata-rata skor yang

diperoleh adalah 83,7 (termasuk dalam tingkat persepsi yang sangat baik).Seperti yang dinyatakan Hafizianor (2009) bahwa persepsi penting untuk melihat pandangan masyarakat terhadap kondisi dan keberadaan kawasan. Dari persepsi ini akan diperoleh masukan bagi instansi terkait berdasarkan sudut pandang masyarakat, sehingga dapat dijadikan dasar atau bahan pertimbangan dalam merencanakan strategi pengelolaan dan kebijakan lebih lanjut.Hal ini juga didukung oleh Sawitri dan Subiadndono (2009), adalah keadaan yang terjadi dimasyarakat perlu diketahui agar pengelolaan potensi kawasan dapat diarahkan pada sistem kolaborasi yang akan dilaksanakan oleh pihak terkait seperti masyarakat, pemerintah daerah, dan pengelola kawasan.

Pengelolaan dan peningkatan kualitas kawasan harus melibatkan peran serta dan tanggungjawab dari masyarakat sekitar Desa Paropo I. Masyarakat menginginkan adanya perubahan yang lebih baik terhadap kondisi lingkungan yang saat ini tidak baik, hal ini didukung dari hasil penelitian Hakim (2009)yang menyatakan Pembangunan HTR merupakan upaya pemerintah dalam rangka meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan dengan didasari oleh prinsip-prinsip pengelolaan hutan produksi. Masyarakat diharapkan dapat lebih memahami fungsi ganda hutan/kawasan hutan sebagai penyangga kehidupan.

Respon manusia terhadap lingkungannya tergantung pada bagaimana individu tersebut mempersepsikan lingkungannya. Persepsi terhadap lingkungan mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungannya. Menurut Walgito (1999), sikap individu terhadap lingkungannya dapat berupa: (1) Individu menolak lingkungannya, yaitu bila individu tidak sesuai dengan keadaan

lingkungannya (2) Individu menerima lingkungan, yaitu bila keadaan lingkungan cocok dengan keadaan individu (3) Individu bersikap netral atau status quo, apabila individu tidak mendapat kecocokan dengan keadaan lingkungan, tetapi dalam hal ini individu tidak mengambil langkah-langkah yang lebih lanjut yaitu bagaimana sebaiknya bersikap.

Respon masyarakat yang tinggi terhadap kondisi lingkungan yang rawan bencana berbanding terbalik dengan pengetahuan masyarakat tentang pelestarian lingkungannya. Keprihatinan masyarakat yang sangat tinggi terhadap kondisi lingkungan yang rawan bencana di sekitar mereka tanpa adanya aksi bukan sebuah solusi untuk mengatasi masalah lingkungan yang terjadi saat ini. Kondisi lingkungan Desa Paropo I yang rawan bencana tersebut haruslah lebih baik dan dijaga kelestariannya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan kegiatan penanaman pada lahan kosong dengan memperhatikan kesesuaian jenis tanaman yang akan ditanam dengan kondisi tapak, serta melakukan pemeliharaan terhadap bibit terutama pada awal pertumbuhan. Pelibatan masyarakat dalam kegiatan penanaman dan perbaikan lingkungan menjadi salah pertimbangan dalam kemberhasilan kegiatan restoirasi lahan kosong seperti hasil penelitian Gumilar (2012) yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat Indramayu dalam upaya pelestarian hutan mangrove berada pada tahap penyampaian informasi dan konsultasi atau tingkat “tokenisme” yaitu suatu tingkat partisipasi dimana masyarakat didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang

keputusan. Gambar 4 berikut ini menjelaskan kondisi perbukitan yang ada di Desa Paropo I.

Gambar 4. Kondisi Perbukitan yang Rawan Longsor

Berdasarkan pernyataan responden, masyarakat biasanya diikutkan dalam kegiatan penanaman saja apabila ada proyek-proyek penanaman di daerah tersebut. Melibatkan warga tersebut diberikan upah yang dihitung perbibit yang akan ditanam. Setelah selesai penanaman masyarakat dan pihak yang mengadakan kegiatan penanaman memberikan tanggung jawab penuh kepada masyarakat yang menanam bibit masing-masing untuk pemeliharaan selanjutnya, menyebabkan beberapa masyarakat kurang memperhatikan tentang pemeliharaan bibit sehingga pertumbuhan tanaman tidak optimal. Masyarakat belum mengetahui cara melakukan pemeliharaan yang baik bagi tanaman tersebut karena kurangnya kerjasama antara pemerintah atau instansi untuk menambah pengetahuan masyarakat seperti yang dinyatakan oleh Wakhidah dkk (2012) bahwa adanya keterpaduan dan koordinasi antar stakkeholders dalam menyusun rancangan pengelolaan, memanfaatkan kelembagaan yang ada untuk merumuskan atau

megusulkan kepada instansi terkait (Kehutanan) untuk menyusun alternatif kegiatan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat.

Responden memiliki tanggapan yang sangat mendukung (93.71%) terhadap mahasiswa/lembaga instansi yang melakukan kegiatan penanaman dan penghijauan di wilayah mereka. Hanya sedikit saja (6.29%) yang tidak mendukung dengan alasan tidak perlu dilakukan penanaman hal ini diduga karena kurangnya kepedulian terhadap lingkungan. Terlihat dari tanggapan masyarakat yang mendukung kegiatan penanaman yang telah dilakukan, masyarakat menginginkan adanya perubahan yang lebih baik kedepanya terhadap kondisi lingkungan dan ekosistem yang ada di desa tersebut guna meningkatnya kualitas hidup, sosial dan ekonomi masyarakat.

Persepsi Masyarakat terhadap Tanaman Sukun

Persepsi masyarakat terhadap pemanfaatan hasil hutan dianggap sangat penting guna mengetahui sikap dan perilaku masyarakat sekitar hutan dalam memanfaatkan hasil hutan dengan baik. Menurut Wibowo (1988) dalamRahmawaty dkk (2006) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan persepsi seseorang terhadap suatu objek adalah faktor pengalaman. Masyarakat Desa Paropo I merupakan kawasan yang berada di dekat kaki bukit. Oleh karena itu, setiap hari mereka berinteraksi dengan tanah atau lahan yang memiliki kemiringan cukup tinggi. Berdasarkan adanya interaksi ini maka masyarakat memiliki pengalaman-pengalaman tentang tanah miring dan berbukit yang dijadikan sebagai lahan pertanian, hal tersebut menjadi peluang besar bagi masyarakat untuk memanfaatkan tanaman sukun (A.communis) sebagai tanaman penghijauan, sehingga memberikan persepsi terhadap pengenalan dan

pemanfaatan tanaman sukun. Berikut disajikan persepsi masyarakat terhadap tanaman sukun (A. communis) pada Tabel 5.

Tabel 5. Persepsi Masyarakat Terhadap Tanaman Sukun (Artocarpus communis) No Pertanyaan Bobot nilai Nilai Persentase (%)

1. Mengenal tanaman sukun 20 2200 22,11

2. Memahami manfaat Sukun terhadap lingkungan 20 1910 19,20 3. Sukun berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat 20 1810 18,19 4. Sukun berpengaruh terhadap kehidupan sosial

20 1910 19,20

5. Mengetahui hubungan antara hutan dan tanaman sukun

10 1020 10,25

6. Mengetahui produk dari sukun

10 1100 11,05

Total 100 9950 100

Rata-rata 57,84

Berdasarkan Tabel 5 dijelaskan bahwa persepsi masyarakat terhadap tanaman Sukun (A. communis) tergolong tingkat persepsi sedang, hal ini dibuktikan dari hasil kuisioner yang memiliki rata-rata skoring 57,84 (termasuk dalam kategori tingkat persepsi yang sedang). Pengetahuan masyarakata terhadap manfaat tanaman sukun yang rendah dikarenakan belum adanya sosialisasi terkait tanaman sukun di desa ini, masyarakat yang mengenal tanaman sukun adalah mereka yang pernah pergi keluar dari desanya dan mengenal tanaman tersebut dari luar Desa Paropo I. Masyarakat yang mengenal tanaman tersebut mempersepsikan sukun adalah salah satu tanaman yang memiliki banyak manfaat (MPTS), karena selain sebagai tanaman peneduh Sukun juga menghasilkan buah yang dapat diolah sebagai makanan.

Pengetahuan dalam pemilihan jenis tanaman terhadap kondisi lingkungannya memiliki keterkaitan yang erat. Fungsi dan pemanfaatan tanaman

akan mempengaruhi persepsi masyarakat yang memberikan berbagai macam nilai fungsi. Introduksi tanaman MPTS ke desa harus memiliki potensi ekonomi yang mampu meningkatkan pendapatan masyatrakat. Beberapa jenis tanaman MPTS yang diinginkan masyarakat antara lain: Kemiri, Mangga, dan tanaman buah lainnya. Salah satu tanaman MPTS yang memiliki nilai ekonomi dan mampu tumbuh dengan kondisi lahan Desa Paropo I adalah tanaman Sukun, karena Sukun memiliki fungsi ekologi seperti mengurangi tingkat erosi, memperbaiki struktur tanah dan sebagai tanaman perindang. Buah dari tanaman Sukun bernilai ekonomi dan dapat dijadikan sebagai sumber pangan.Tanaman Sukun yang tidak memiliki persyaratan tumbuh khusus dapat dijadikan sebagai tanaman penghijauan di Desa Paropo I seperti yang dijelaskan dalam Adinugraha, dkk (2014) yang menyatakan bahwa tanaman sukun memiliki tajuk yang lebar dan lebat sehingga cocok sebagai tanaman perindang baik di pekarangan atau lahan terbukalainnya seperti tepi ladang, lapangan atau tempat lainnya. Sukun memilikiperakaran yang luas sehingga cocok untuk tanaman penghijauan dalamrangka konservasi lahan. Di beberapa daerah kering seperti NTT,masyarakat menyakini bahwa tanaman sukun dapat mendatangkan airsehingga di tempat yang banyak ditumbuhi tanaman sukun biasanyaterdapat mata air di bawahnya, antara lain di daerah Camplong danMata Air Nona.

Perbanyakan Tanaman Sukun pada umumnya adalah perbanyakan vegetatif dengan stek akar. Sehingga untuk pengembangan budidaya selanjutnya bibit tanaman dapat diperoleh dari pohon induk yang sudah ada. Produktivitas tanaman Sukun sangat menjanjikan dikembangkan di desa Paropo I guna peningkatan ekonomi masyarakat. Dibandingkan dengan jenis MPTS lain seperti

Mangga udang. Berikut disajikan perbandingan nilai ekonomi Sukun dan Mangga Udang.

Tabel 6. Perbandingan Nilai Ekonomi Tanaman Sukun(A. communis) dan Mangga Udang(Mangifera indica) No. Jenis tanaman Jarak tanam (meter) Umur panen Periode panen/ tahun Produktivitas (kg)/ pohon Harga jual (Rp)/ kg Nilai ekonomi (Rp)/pohon/ tahun 1. Sukun 12 3 2 kali 100-150 2.500,00 500.000,00 2. Mangga 10 5 1 kali 50-52 5.000,00 250.000,00

Perbandingan nilai ekonomi dari kedua jenis tanaman cukup tinggi dimana nilai ekonomi Sukun dua kali lipat dibandingkan dengan Mangga. Perbedaan tersebut dapat menjadi suatu pertimbangan kuat untuk membudidayakan Sukun di Desa Paropo I. Keunggulan lain dari buah Sukun adalah daging buah dapat diolah menjadi tepung biasa disebut dengan tepung sukun yang memiliki nilai kalori. Tepung Sukun dapat diolah menjadi berbagai makanan olahan seperti Brownis Sukun, Perkedel, Risol Sukun, dan lain sebagainya yang mampu menambah diversifikasi pangan dan sekaligus menambah nilai ekonomi bagi masyarakat.

Pemanfaatan lahan pertanian masyarakat untuk ditanam sukun berpotensi dalam pemenuhan kebutuhan pangan dari buah sukun. Olahan buah sukun dapat dijadikan sebagai substitusi beras karena memiliki sumber karbohidrat. Seperti hasil penelitian Dwiprabowo (2011), yang menyatakan kawasan hutan belum memberikan sumbangan yang cukup signifikan terhadap ketahanan pangan daerah karena kegiatan tumpangsari bersifat terbatas pada saat penanaman tanaman kayu (pohon), di samping itu aturan jarak tanam membatasi areal yang tersedia bagi kegiatan tumpang sari.Kebijakan pengelolaan ketahanan

pangan perlu ditangani oleh lembaga tersendiri sehingga pelaksanaannya lebih terfokus dan efektif. Stabilitas jangka panjang diperlukan untuk melindungi produksi lokal baik di Kabupaten Sukabumi maupun Bandung Barat, dengan memperluas jaringan pemasaran, pemanfaatan produk lokal, dan pengembangan teknologi pasca panen.

Menurut Pitojo (1999) menyatakan bahwa tanaman sukundapat ditanam hampir di segala jenis tanah, sehingga memiliki penyebaran yang luas, relatif kuat terhadap keadaan iklim, di daerah yang memiliki curah hujan tinggi. Hal ini sangat mendukung untuk ditanam di areal lahan kosong perbukitan sekitar Desa Paropo 1 sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau umum dan dapat menjaga kelestarian keindahan kawasan bukit dimasa yang akan datang. Tanggapan masyarakat terhadap pemanfaatan sukun (A.communis) sebagai tanaman penghijauan beraneka ragam, beberapa diantaranya kurang setuju jika tanaman tersebut ditanam di luar areal lahan masyarakat karena ketidakjelasan status kepemilikan tanaman di kemudian hari. Sikap tersebut dapat ditemui dari hasil wawancara dan hasil observasi bahwa hingga saat ini hanya beberapa yang menanam sukun dan mereka lebih memilih menanam di areal lahan pertaniannya.

Masyarakat di Desa Paropo I yang pada umumnya berinteraksi dengan lingkungan di lahan pertanian belum seluruhnya memanfaatkan tanaman sukun di lahan pertanian yang dikelola dan di lahan perbukitan yang ada di desa tersebut, hal tersebut dikarenakan masyarakat yang kurang mengetahui manfaat Sukun dan juga tidak memahami bagaimana cara menanam dan memelihara tanaman sukun. Oleh karena itu, masyarakat lokal disana kurang memberi perhatian terhadap tanaman ini, maka diperlukan adanya kegiatan sosialisasi, penyuluhan, dan

pembelajaran langsung kepada masyarakat secara bertahap agar mereka mengetahui fungsi, pemeliharaan dan pemanfaatan hasil secara langsung atau tidak langsung maupun hasil dari tanaman itu sendiri yaitu kayu dan non kayu. Sejalan dengan penelitian Riyanto (2008), yang menyatakan dalam proses

Dokumen terkait