• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi Anggota Kelompok Tani terhadap Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Persepsi anggota kelompok tani terhadap kegiatan GN-RHL / GERHAN di Desa Paluh Kurau cukup baik, diketahui bahwa seluruh responden memiliki persepsi yang tinggi terhadap kegiatan ini. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat tersebut merasakan langsung dampak dari kerusakan hutan dan juga menerima akibatnya, salah satunya terjadi abrasi di sekitar aliran sungai dan pantai, kurangnya hasil kayu untuk dijadikan bahan bakar rumah tangga, dan yang paling utama berkurangnya hasil tangkapan kepiting dan hasil tambak lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.

Hasil penelitian diketahui bahwa seluruh responden mengaku memiliki kepentingan terhadap sumberdaya hutan baik secara langsung maupun tidak langsung. Persepsi anggota kelompok tani hutan Serai Mangrove terhadap kegiatan GERHAN berada pada kategori tinggi dengan rata – rata skor mencapai 88,91% (lampiran 2), anggota kelompok tani Serai Mangrove Desa Paluh Kurau memiliki persepsi yang kuat dan jelas mengenai kepentingan hidup masyarakat yang tinggi terhadap lingkungan berupa pengaturan tata air, penghasil udara bersih, ketersediaan bahan makanan, yang paling utama untuk mencari nafkah dan lain sebagainya. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa masyarakat dan lingkungan tidak dapat dipisahkan sebagaimana yang ditampilkan pada diagram (Gambar 2). Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Effendi (2002), bahwa persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan

pada stimulasi indrawi (sensor stimuli) sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru. 29 12 7 0 1 47 0 1 47 1 3 44 0 3 45 0 0 48 0 0 48 0 0 48 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% 1. A pak ah kond isi h utan dis ini cuku p baik? 2. A pak ah hutan tidak d apat d ipisahka n dari m asy.? 3. Apak ah m asy. m em iliki ke pen tingan t erhadap S DH? 4. A pa m asy. m em iliki hak dalam p engelola an h utan? 5. T urunnya kua litas SD H berdampa k ne gatif pd m asy.? 6. S iapakah yang p aling d irugikan jika SD H r usak? 7. Pem erin tah m engikutk an masy. d lm m eng elola huta n? 8. Apak ah p erlu di laksanak an k egiatan RHL ?

Gambar 2. Persentase Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang Persepsi Masyarakat Terhadap Kegiatan GN-RHL / GERHAN

Persepsi masyarakat sekitar hutan terhadap pengelolaan hutan selalu dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Proctoos (1977), menyatakan bahwa yang dimaksud sebagai faktor internal yang dapat mempengaruhi persepsi masyarakat adalah nilai – nilai dalam diri setiap individu yang diperoleh dari penerimaan panca indera. Faktor-faktor internal ini meliputi umur, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, tempat tinggal, status ekonomi, waktu luang, fisik, dan intelektualitas.

Karakteristik responden merupakan salah satu unsur yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat pendapat para responden, rata-rata umur

= tidak = tidak tahu = ya

responden adalah 38 tahun. Umur responden tersebut tergolong pada usia produktif yaitu berada antara 15 – 64 tahun, sehingga dapat dikatakan bahwa tenaga kerja responden masih potensial untuk mengelola usahataninya. Menurut Mantra (2004), bahwa tenaga kerja adalah penduduk dalam usia kerja atau produktif yaitu yang berusia 15 – 64 tahun. Umur akan menunjukkan kemampuan fisik. Pada umur tertentu seorang pekerja mencapai titik optimal, kemudian dengan penurunan umur maka kemampuan fisik seseorang akan menurun.

Tingkat pendidikan responden cenderung mempengaruhi pengetahuan dan teknologi yang diterapkan dalam mengelola kawasan hutan, karena pendidikan sangat berhubungan dengan peningkatan pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan sikap dalam bertindak. Distribusi tingkat pendidikan responden yang melaksanakan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Dan Lahan (GN-RHL / GERHAN). Sebagian besar responden merupakan lulusan SD, Menurut Mantra (2004), pendidikan SD termasuk dalam tingkat pendidikan rendah. Rendahnya tingkat pendidikan responden disebabkan keterbatasan kemampuan ekonomi masyarakat, kurangnya kesadaran masyarakat akan pendidikan, kurangnya fasilitas pendidikan dan lain – lain. Tingkat pendidikan responden yang rendah berpengaruh terhadap pola pikir dan pandangan mereka terhadap masalah-masalah kehutanan terutama dalam mengelola kawasan hutan. Oleh karena itu perlu keterlibatan pihak – pihak terkait seperti dinas kehutanan yang harus berperan aktif dalam kegiatan peningkatan pola pikir yang positif terhadap pelestarian hutan. Kegiatan tersebut dapat berbentuk penyuluhan-penyuluhan yang intensif dan berkelanjutan, khususnya tentang masalah kehutanan.

Mata pencaharian responden pada penelitian ini umumnya adalah bertani dan petani tambak. Selain dibidang usaha tani, responden juga bekerja diluar usaha tani antara lain sebagai nelayan, wiraswasta dan pemungut kayu. Pendapatan masyarakat di desa ini juga bergantung kepada mata pencaharian sehari – hari. Apabila musim hujan kegiatan pertanian meningkat dan pada akhirnya menghasilkan pendapatan yang cukup tinggi untuk menghidupi keluarga. Di Desa Paluh Kurau rata-rata pendapatan penduduk dimulai dari Rp 700.000 sampai dengan Rp 1.000.000 per bulannya (Lampiran 1). Menurut Wibowo (2006), sistem mata pencaharian masyarakat desa hutan pada umumnya masih sangat homogen dengan menggantungkan pada ketersedian sumber daya hutan. Masyarakat desa hutan mempunyai kegiatan pokok bertani, berburu, meramu, dan menagkap ikan. Kegiatan bertani disesuaikan dengan spesifikasi daerah. Hasil pertanian oleh masyarakat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sebagian dijual atau ditukarkan untuk memenuhi kebutuhan yang tidak tersedia di masyarakat. Para responden memiliki beberapa suku yang terdiri dari Banjar, Melayu, Jawa, Mandailing, dan Batak. Suku mencerminkan kebudayaan atau kebiasaan yang dilakukan masyarakat secara turun temurun. Kebudayaan merupakan keseluruhan dari pengetahuan, sikap dan pola pikir perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota untuk masyarakat tertentu.

Mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi persepsi ini, Kayam (1994) dalam Basyuni (2001), menambahkan bahwa faktor-faktor dalam diri individu yang menentukan persepsi adalah kecerdasan, minat, emosi, pendidikan, pendapatan, dan kapasitas alat indera. Sedangkan faktor dari luar atau

eksternal yang dapat mempengaruhi persepsi meliputi pengaruh kelompok, pengalaman masa lalu, dan latar belakang sosial budaya.

Hasil wawancara dengan salah seorang responden yaitu Bapak M. Yusuf MS., mengatakan bahwa kerusakan hutan telah terjadi beberapa tahun terakhir sehingga menyebabkan berkurangnya pendapatan masyarakat khususnya petani tambak yang kehidupannya bergantung dari mata pencaharian ini, namun karena kerusakan hutan menyebabkan berkurangnya habitat bagi kepiting dan siput sehingga masyarakat hanya sedikit mendapatkan hasil tangkapan yang mungkin tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga untuk satu hari.

Dari penuturan tersebut kita ketahui bahwa masyarakat desa tersebut sangat membutuhkan adanya hutan dan hidupnya bergantung pada keberadaan sumber daya hutan. Menurut Djayahadikusuma dalam Sumardi dkk (1997) berawal dari persepsi seseorang terhadap hutan besar pengaruhnya pada wujud hubungan manusia dengan hutan. Seseorang menolak lingkungan, disebabkan seseorang mempunyai pandangan yang tidak sesuai dengan keadaan yang diinginkan, sehingga seseorang bersangkutan dapat memberikan bentuk tindakan terhadap hutan sesuai dengan apa yang dikehendaki. Sebaliknya bagi petani yang mempunyai sikap menerima lingkungan, seseorang dapat memanfaatkan hutan dan sekaligus menjaga dan menyelamatkan hutan dari kerusakan, sehingga hutan memberi manfaat yang terus menerus.

Sebagian responden juga mengetahui bahwa hutan mangrove yang tumbuh disekitar pantai dalam hal dapat memecah gelombang, apalagi akhir-akhir ini bencana alam yang terjadi di Indonesia salah satunya tsunami. Informasi tersebut diperoleh dari berbagai penyuluhan dari dinas-dinas terkait dan juga berita dari

televisi. Venkataramani dalam Onrizal (2005), menjelaskan bahwa hutan mangrove yang lebat berfungsi seperti tembok yang melindungi kehidupan masyarakat pesisir di belakang mangrove dari tsunami. Berkaitan dengan pengalaman terhadap fenomena alam yang terjadi membentuk suatu persepsi masyarakat terhadap perlindungan kawasan hutan. Rakhmat (1992), mengemukakan bahwa persepsi merupakan pengalaman seseorang tentang suatu obyek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan mengumpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

Mengenai hak pemanfaatan sebenarnya masyarakat juga telah mengetahui jelas bahwa pemanfaatan hasil harus diperhatikan. Pemanfaatan hasil hutan yang berlebihan dapat menimbulkan dampak yang serius bagi kelestarian hutan. Dalam kegiatan sehari – hari dalam memanfaatkan hasil hutan masyarakat memanfaatkan hutan seperlunya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Namun kerusakan hutan yang terjadi akhir – akhir ini banyak disebabkan karena ulah pihak – pihak yang tidak bertanggungjawab sehingga dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat. Kasus inipun tidak urung menjadikan masyarakat sebagai kambing hitam dalam persoalan ini.

Masyarakat Desa Paluh Kurau juga secara sadar tahu, bahwa menjaga kelestarian hutan mangrove sangatlah penting, apalagi letak Desa Paluh Kurau ini yang langsung berbatasan dengan laut belawan dan masih prioritas DAS Belawan, sebagaimana kita ketahui bahwasannya daerah Belawan merupakan daerah industrialisasi dimana kegiatan industri dan lalulintas darat dan laut cukup padat. Sehingga mengakibatkan secara langsung maupun tidak langsung dampak lingkungan yang kurang baik bagi lingkungan di daerah ini, misalnya polusi udara

dan air yang mengakibatkan pengaruh negatif bagi kehidupan penduduk. Namun dengan adanya hutan maka dapat menghasilkan udara yang baik, karena fungsi hutan juga sebagai paru-paru dunia.

Adanya pemahaman terhadap pentingnya kawasan hutan membuat masyarakat berusaha menjaga kelestarian, tidak merusak hutan dan tidak melakukan kegiatan yang dapat merusak kawasan hutan. Masyarakat sadar bahwa kehidupan mereka sangat bergantung dari keberadaan hutan, mencari nafkah untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Masyarakat beranggapan bahwa mereka boleh memanfaatkan hasil hutan selama hal tersebut tidak mengganggu kelestarian dari hutan.

Tingkat Partisipasi Anggota Kelompok Tani

Partisipasi dalam penelitian ini dinilai melalui keterlibatan anggota kelompok tani dalam berbagai program kegiatan, diantaranya partisipasi dalam perencanaan kegiatan, partisipasi dalam pelaksanaan, partisipasi dalam evaluasi kegiatan – kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Dan Lahan (GN-RHL / GERHAN). Menurut Wibowo (2006), strategi yang dilakukan untuk menyukseskan program rehabilitasi, yaitu kata “partisipatif”. Partisipatif dalam program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) memiliki arti bahwa kegiatan RHL harus direncanakan, dilaksanakan, diawasi, dan dievaluasi oleh semua pihak yang berkaitan dengan program RHL. Program RHL harus melibatkan semua pihak, baik masyarakat, pemerintah, swasta, maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Untuk menjamin keberhasilan program RHL, masyarakat desa hutan

sebagai pelaku utama program harus dilibatkan secara penuh, baik dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian.

Partisipasi Responden dalam Perencanaan Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Dan Lahan

Perencanaan merupakan proses yang penting didalam sebuah kegiatan, dimana tahap ini merupakan awal dari sebuah kegiatan. Perencanaan juga menjadi titik tolak dari semua kegiatan yang akan dilakukan nantinya sehingga mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Kegiatan penyusunan rancangan dilaksanakan bberdasarkan hasil orientasi lapangan, pengukuran dan pemetaan calon lokasi serta wawancara dengan masyarakat setempat.

Kegiatan perencanaan terdiri dari beberapa tahap antara lain:

1. Persiapan, meliputi pembentukan tim dengan menyamakan persepsi dari berbagai pihak, penyusunan rencana kegiatan secara umum, survey dan penetapan lokasi kegiatan, serta penyusunan rencana teknis dan penyediaan bahan dan alat untuk kegiatan di lapangan.

2. Pembentukan kelompok – kelompok kecil yang mengelola lahan yang akan dilakukan penanaman, dalam kegiatan ini juga dilaksanakan pelatihan – pelatihan dan diskusi mengenai pengenalan dan dasar budidaya tanaman mangrove, sehingga ketika turun ke lapangan anggota telah mengetahui bagaimana budidaya tanaman mangrove yang baik dan benar.

Tabel 1. Partisipasi Responden Dalam Perencanaan Kegiatan GN-RHL / GERHAN

No. Skor (%) Kategori Jumlah Sampel Presentase Partisipasi (%)

1 0 – 33,33 Rendah 0 0

2 33,34 – 66,67 Sedang 27 56,25

3 66,68 – 100 Tinggi 21 43,75

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa sebanyak 21 orang (43,75%) responden memiliki partisipasi yang tinggi pada perencanaan kegiatan kelompok dalam GN-RHL / GERHAN. Partisipasi anggota kelompok tani dalam perencanaan kegiatan kelompok dapat dinilai dari kehadiran responden dalam pertemuan kelompok dan adanya responden yang menyumbangkan ide atau materi dalam kegiatan perencanaan tersebut. Responden yang menjawab berpartisipasi dalam perencanaan kegiatan kelompok pada umumnya responden yang mempunyai usulan-usulan yang baik.

Umumnya kelompok tani mengadakan pertemuan berdasarkan kebutuhan saja, artinya pertemuan tidak dilakukan secara rutin. Adapun pertemuan yang sering dilakukan oleh kelompok tani adalah dalam bentuk penyuluhan. Kegiatan penyuluhan tersebut membahas mengenai kegiatan – kegiatan yang dilaksanakan oleh kelompok tani dalam kegiatan GN-RHL / GERHAN. Kehadiran anggota kelompok tani dalam pertemuan kelompok disebabkan oleh keinginan sendiri untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi tersebut, karena pada dasarnya mereka mengetahui manfaat dan pentingnya kegiatan tersebut.

Partisipasi responden dalam menyumbangkan ide atau materi sangat menunjang kegiatan kelompok, sumbangan ide atau materi diperlukan oleh kelompok guna berlangsungnya kegiatan kelompok. Responden yang menyumbangkan ide atau gagasan biasanya dilakukan pada saat pertemuan kelompok.

Responden termasuk dalam kategori sedang adalah sebanyak 27 orang (56,25%), kategori sedang yang dimaksud adalah partisipasi responden dalam kegiatan perencanaan GN-RHL / GERHAN tidak maksimal. Responden tidak

selalu mengikuti kegiatan pertemuan kelompok, karena mereka hanya mengandalkan atau berharap mendapatkan informasi dari anggota yang hadir dalam pertemuan kelompok tersebut. Oleh karena responden jarang mengikuti kegiatan perencanaan kelompok, maka responden tersebut pun jarang menyumbang ide atau materi.

Menurut Savitri dan Khazali (1999), agar dapat direalisasikan maka ide mengenai satu program kegiatan harus diterjemahkan dalam deretan aktivitas, implikasi dalam biaya dan satuan waktu. Dengan demikian akan dapat dihasilkan satu program kegiatan yang dilengkapi rencana kerja / aktivitas dalam skala waktu dan biaya yang terukur.

Berdasarkan presentase yang diperoleh, maka dapat diketahui bahwa sebagian besar sampel anggota kelompok tani ikut berpartisipasi dalam perencanaan kegiatan kelompok. Hal tersebut disebabkan karena sebagian anggota kelompok tani sudah mengerti dan memahami arti penting kegiatan perencanaan yang berfungsi untuk menjamin kelancaran setiap tahap-tahap kegiatan GN-RHL / GERHAN.

Partisipasi Responden Dalam Pelaksanaan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Bentuk kegiatan yang dilaksanakan meliputi beberapa tahap, pertama adalah persiapan (pembuatan pondok tanaman, pembuatan papan nama, dan pembuatan jalur); kedua adalah pelaksanaan penanaman (pembuatan lubang, pemasangan ajir dan penanaman); sedangkan tahap ketiga adalah pemeliharaan dan penyulaman. Pelaksanaan kegiatan ini juga tidak lepas dari pengawasan dan bimbingan petugas dari Dinas Kehutanan. Keberadaan petugas dari Dinas

Kehutanan ini sangat membantu karena masyarakat juga secara langsung dapat belajar bagaimana pelaksanaan silvikultur untuk tanaman mangrove serta pengetahuan umum tentang tanaman ini. Keterlibatan kelompok tani dalam pelaksanaan GN-RHL / GERHAN dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Partisipasi Responden Dalam Pelaksanaan Kegiatan GN-RHL / GERHAN

No. Skor (%) Kategori Jumlah Sampel Presentase Partisipasi (%)

1 0 – 33,33 Rendah 0 0

2 33,34 – 66,67 Sedang 8 16,66

3 66,68 – 100 Tinggi 40 83,33

Jumlah 48 100

Sumber : Data Primer, 2008

Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa 83,33% responden termasuk dalam kategori tinggi. Kategori tinggi yang dimaksud adalah responden selalu ikut berpartisipasi dalam kegiatan pelaksanaan GN-RHL / GERHAN. Anggota tani selalu mengadakan pertemuan dengan pendamping pada malam hari setelah solat magrib, karena pada saat tersebut mereka telah selesai melaksanakan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini juga menjadi salah satu cara untuk menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan ini. Menurut Savitri dan Khazali (1999), upaya untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dilakukan secara bertahap dan mengikuti kecepatan penyerapan masyarakat, dimulai dari pertemuan, diskusi – diskusi intensif, studi banding, mengikuti pertemuan, seminar atau lokakarya di luar wilayahnya sampai pada pembentukan kelompok. Kegiatan ini melibatkan banyak pihak, baik pemerintah maupun anggota kelompok itu sendiri.

Tingkat pendidikan anggota sendiri juga masih minim memerlukan perhatian pemerintah dan pihak penyelenggara kegiatan GN-RHL / GERHAN, antara lain perlu melaksanakan kegiatan – kegiatan yang menumbuhkembangkan

kesadaran dan melibatkan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan GN-RHL / GERHAN ini. Karena tingkat pendidikan responden cenderung mempengaruhi pengetahuan dan teknologi yang diterapkan dalam mengelola kawasan hutan, karena pendidikan sangat berhubungan dengan peningkatan pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan sikap dalam bertindak

Pertemuan dengan pendamping diadakan di rumah sekretaris kelompok tani sekaligus kantor sekretariat kelompok tani yang dihadiri oleh petugas penyuluh dari Dinas Kehutanan selaku penyelenggara kegiatan tersebut. Dalam pertemuan tersebut anggota kelompok tani diberikan penjelasan dan pelatihan oleh pendamping tentang teknik – teknik dalam melakukan berbagai bidang kegiatan pelaksanaan GN-RHL / GERHAN.

Hasil wawancara dengan pengurus kelompok tani juga menyatakan bahwa pemerintah memang cukup memberi perhatian kepada kelompok tani ini. Apalagi karena Kelompok Tani Serai Mangrove pernah menjadi kelompok tani terbaik Tingkat Nasional, namun sudah sewajarnya juga pemerintah dalam hal ini sebagai

stakeholder memberikan pengarahan secara umum dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan. Sebab tanpa arahan yang jelas nantinya akan terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaan dalam jangka panjang.

Di dalam kelompok tani tersebut, masing-masing anggota dibagi tugas – tugas tertentu, yaitu dimulai dari kegiatan perhitungan dan pembagian bibit, kegiatan pengangkutan dan pelaksanaan penanaman. Dengan demikian responden mendapatkan pengetahuan dan pelatihan-pelatihan mengenai manfaat dan teknik pengelolaan hutan yang baik, sehingga pelaksanaan GERHAN / GN-RHL di lapangan sesuai perencanaan. Setelah calon lokasi kegiatan ditetapkan sesuai

rancangan kegiatan pembuatan tanaman rehabilitasi hutan mangrove, kemudian pelaksanaan dimulai dengan tahapan sebagai berikut :

1. Pemancangan tanda batas dan pengukuran lapangan untuk menentukan luas serta letak yang direncanakan untuk memudahkan perhitungan kebutuhan bibit,

2. Pembuatan jalur tanaman dimulai dengan penentuan arah larikan,

3. Pembersihan jalur tanaman dari sampah, ranting pohon, dan potongan kayu serta tumbuhan liar.

4. Pembuatan gubuk kerja disesuaikan dengan rancangan kegiatan, dan

5. Pembuatan papan pengenal lapangan yang memuat keterangan letak, lokasi, tahun tanaman, jumlah bibit yang ditanam, jenis tanaman, dan sistem tanaman.

Bapak Abas (40 tahun) juga salah seorang yang aktif dalam kegiatan pelaksanaan di lapangan. Ia selalu hadir dalam pelaksanaan kegiatan GERHAN / GN-RHL dan ikut dalam kegiatan penanaman bibit di lapangan dengan menggunakan teknik – teknik rehabilitasi sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang telah diberikan oleh Dinas Kehutanan.

Berdasarkan wawancara dengan Ketua Kelompok Tani yaitu Bapak Rusli kegiatan GERHAN / GN-RHL di Desa Paluh Kurau telah dilaksanakan selama dua periode, yaitu tahun 2006 dan 2007 dengan penanaman seluas 150 Ha. Masing – masing anggota menanam di areal seluas 1 Ha dengan jumlah bibit sebanyak 3300 sudah termasuk untuk penyulaman. Jarak tanam dalam kegiatan penanaman ini adalah 1 cm x 3 cm dengan mengikuti arah larikan.

Berdasarkan observasi di lapangan diketahui bahwa jenis-jenis bibit yang ditanam pada kegiatan GERHAN / GN-RHL di Desa Paluh Kurau terdiri dari 3

jenis dari suku Avicenniaceae yaitu genus Avicennia marina dan suku

Rhizophoraceae yaitu genus Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata.

Pemilihan jenis ini didasarkan pada kesesuaian dengan zona yang akan direhabilitasi karena pada umumnya komunitas mangrove di Indonesia berupa asosiasi (tegakan campuran). Keadaan lokasi penanaman di Desa Paluh Kurau yang berada di pinggir pantai dan pinggiran sungai sesuai ditanami jenis vegetasi ini yang merupakan pioner dan toleran terhadap daerah terlindung maupun yang mendapat sinar matahari langsung juga mampu tumbuh di habitat pasang surut dengan salinitas yang tinggi sekalipun.

Menurut Kusmana dkk (2003), tujuan kegiatan penanaman harus didefenisikan dengan jelas dari awal, sebab tujuan ini nantinya akan mempengaruhi misalnya jenis yang akan ditanam, jarak tanam, pendekatan sosial ke masyarakat sekitar lokasi penanaman, dan sebagainya. Sebagai contoh, penanaman untuk tujuan rehabilitasi lahan, cenderung menggunakan jarak tanam yang lebih sempit dibandingkan dengan penanaman untuk permudaan hutan mangrove yang bertujuan menghasilkan hasil hutan tertentu. Selain itu, penanaman untuk rehabilitasi lahan yang rusak, cenderung menggunakan spesies yang bersifat pionir, seperti Avicennia marina dan Sonneratia alba, sedangkan untuk produksi kayu pertukangan atau kayu bakar, cenderung menggunakan spesies Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora mucronata, Rh. stylosa, dan Rh. apiculata.

Dengan memperhatikan teknik – teknik dan pertimbangan – pertimbangan lainnya dalam penanaman diharapkan nantinya memperoleh hasil yang maksimal sehingga pelaksanaan GN-RHL / GERHAN mampu mewujudkan suatu

implementasi kegiatan yang bersifat sinergis dalam upaya menyejahterakan masyarakat desa hutan.

Partisipsi Responden dalam Evaluasi Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Keberhasilan kegiatan GN-RHL / GERHAN tidak lepas dari evaluasi yang dilakukan terhadap kegiatan tersebut. Evaluasi tersebut berbentuk laporan hasil selama pelaksanaan kegiatan di lapangan. Tahap monitoring yang menjadi bagian dari kegiatan ini juga sangat berperan penting. Monitoring dilakukan sejak awal proses pelaksanaan kegiatan dilakukan, yaitu pada saat dimulainya diskusi-diskusi intensif dengan masyarakat, sampai dengan pelaksanaan kegiatan di lapangan.

Monitoring ini telah dilakukan beberapa kali oleh Dinas Kehutanan juga dari penyelenggara GERHAN. Monitoring yang telah dilakukan sampai saat ini adalah tentang kelengkapan administrasi dan juga perancangan awal untuk kegiatan GERHAN di Desa Paluh Kurau. Sampai sejauh ini untuk kelembagaan dan kegiatan – kegiatan khusus untuk kelompok tani sendiri berjalan dengan lancar, dan ini juga yang mengantarkan kelompok tani ini meraih penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia.

Namun dirasa perlu juga monitoring yang lebih mengarah kepada keberhasilan GERHAN yang mungkin pada saat masih belum terealisasi sehingga butuh perhatian khusus dari pemerintah terkait dan penyelenggaranya. Kegiatan monitoring atau pemantauan diperlukan untuk dapat dengan cepat mendeteksi adanya potensi permasalahan yang akan timbul sebagai konsekuensi berjalannya

Dokumen terkait