• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman Pertama

Berdasarkan pengamatan tinggi tanaman padi musim pertama pada umur 56 dan 90 HSS, terlihat bahwa pada Tabel 1 bahwa tinggi tanaman budidaya SRI pada umur 56 HSS lebih tinggi dibandingkan dengan sistem budidaya konvensional pada umur yang sama. Hal ini dikarenakan pada sistem budidaya konvensional, tanaman baru ditanam setelah 25 hari semai, sedangkan sistem budidaya SRI sudah ditanam lebih dahulu yaitu pada umur 10 hari semai sehingga memiliki waktu yang lebih lama untuk beradaptasi. Pada 90 hari setelah setelah semai (90 HSS) tinggi tanaman pada perlakuan konvensional tidak berbeda nyata dengan budidaya SRI. Tinggi tanaman pada konvensional dapat menyamai tinggi tanaman SRI karena fase pertumbuhan vegetatif telah berakhir dan mulai memasuki fase pertumbuhan generatif.

Tabel 1 Tinggi tanaman padi musim pertama pada umur 56 dan 90 HSS Perlakuan Tinggi Tanaman Jumlah Anakan Produktif

56 HSS 90 HSS

. . . cm . . . . . anakan rumpun -1 . .

Konvensional 53.10b 106.20 17.40b

SRI 59.96a 105.76 29.60a

a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

Anakan yang menghasilkan malai disebut anakan produktif. Jumlah anakan produktif dipengaruhi oleh jarak tanam, jumlah bibit, dan umur bibit tanaman. Jarak tanam yang relatif sempit pada budidaya konvensional seluas 20 cm x 20 cm, sebanyak 3 bibit per lubang tanam, dan umur persemaian yang mencapai usia 25 hari (tua) menyebabkan sistem perakaran bersaing dalam memperebutkan nutrisi dan sinar matahari dengan banyak sistem perakaran disekitarnya sehingga tanaman kesulitan dalam mencukupi kebutuhan haranya. Hal tersebut yang menyebabkan anakan produktif pada sistem konvensional lebih rendah dibanding dengan sistem SRI yang ditunjukkan pada Tabel 1. Budidaya SRI menggunakan bibit yang ditanam tunggal yang dapat menyebabkan tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran. Tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya, dan nutrisi dalam tanah sehingga sistem perakaran menjadi baik. Jarak tanam yang lebar memberi kemungkinan lebih besar kepada akar untuk tumbuh leluasa, tanaman juga akan menyerap lebih banyak menyerap sinar matahari, udara, dan nutrisi. Hasilnya akar dan batang akan tumbuh lebih baik serta jumlah anakan lebih banyak. Sumardi et al. (2007) menyatakan bahwa kondisi perakaran yang baik tidak hanya tampak pada morfologi saja tetapi juga terekspresi pada bagian atas tanaman, seperti jumlah anakan, tinggi tanaman, dan persentase anakan produktif,

17 ketiga parameter tersebut merupakan indikator yang paling kuat untuk melihat hasil gabah per rumpun.

Berdasarkan uji lanjut Duncan yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa tanaman musim pertama, sistem budidaya SRI menghasilkan bobot gabah kering panen dan bobot gabah kering giling lebih tinggi (kadar air 14%) 27.90% dibandingkan dengan sistem budidaya konvensional. Persentase gabah hampa antar kedua perlakuan tidak berbeda nyata walaupun rataan persentase gabah hampa pada metode konvensional sedikit lebih besar dibanding kan metode SRI.

Tabel 2 Bobot gabah kering panen, bobot gabah kering giling, dan persentase gabah hampa tanaman padi musim pertama

Perlakuan Bobot GKP Bobot GKG Persentase Gabah Hampa . . . ton ha-1 . . . . . . % . . .

Konvensional 6.08b 5.23b 23.80

SRI 7.78a 6.69a 23.04

a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

Peningkatan serapan hara N dan P metode konvensional jauh lebih kecil dibandingkan dengan metode SRI sebagai respon aplikasi pupuk NPK bisa disebabkan oleh kondisi rizosfer tanaman padi konvensional yang cenderung anaerob, sehingga menyebabkan serapan unsur-unsur hara kurang optimal. Tanaman padi sawah tidak menghendaki kondisi anaerob pada media pertumbuhannya, namun tanaman ini toleran terhadap kondisi anaerob tersebut. Pada kondisi jenuh air, tanaman sulit mendapatkan O2

sehingga tanaman menyiasatinya dengan membentuk jaringan aerenchym. Semakin lama tanaman padi tumbuh pada kondisi anaerob maka akan semakin banyak dan semakin besar aerenchym yang terbentuk. Apabila jaringan aerenchym yang terbentuk semakin banyak, maka akan mengganggu proses penyerapan hara dan air oleh akar tanaman (Sumardi 2007).

Tanah yang lembab pada metode SRI dapat memberi aerasi yang baik di sekitar perakaran. Kondisi pertumbuhan yang menguntungkan pada metode SRI ini memungkinkan banyak phyllochron dari tanaman padi berkembang membentuk anakan sebelum fase pembungaan, sehingga menghasilkan lebih banyak anakan dan sistem perakaran lebih luas daripada metode konvensional. Tanah jenuh adalah tanah yang semua pori-porinya terisi oleh air (Wraith dan Or 2001). Selain itu, kekuatan pendorong utama dari transpirasi adalah gradien potensial air antara ruang dalam stomata dan atmosfer udara (potensial air udara). Oleh karena itu, kondisi tanah yang tergenang terus menerus pada metode konvensional telah dianggap sebagai pemborosan air karena penggunaan air yang berlebihan melebihi kebutuhan tanaman padi. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan Ndiiri et al. (2012) bahwa metode SRI lebih efisien dalam menggunakan air dibandingkan dengan metode konvensional.

18

Tanah yang lembap dan jarak tanam yang lebar pada metode SRI membuat akar tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal karena akar teraerasi dengan baik. Akar padi pada metode SRI lebih panjang dibanding metode konvensional karena kelembaban tanah dan aerasi tanah yang baik pada metode SRI memiliki dampak besar pada pertumbuhan akar, viabilitas akar, dan akhirnya berpengaruh juga pada pertumbuhan tanaman (Huang 1999).

Nilai Eh tanah yang rendah mengindikasikan bahwa tanah tersebut bersifat reduktif (Mer dan Roger 2001). Semakin lama tanah tergenang maka nilai Eh tanah akan semakin turun. Nilai potensial redoks tanah (Eh) pada metode konvensional dan metode SRI pada saat umur tanaman padi 55 HSS berturut-turut -210.1 mV dan -149.4 mV, sedangkan pada saat umur tanaman padi 70 HSS nilai potensial redoks tanah (Eh) turun menjadi -327.8 mV dan -266.9 mV (Hutabarat 2011). Hal tersebut mengindikasikan bahwa jumlah O2 semakin sedikit sehingga akar akan melakukan respirasi secara anaerob. Selama respirasi anaerobik pada akar, terbentuk metabolit yang berpotensi beracun seperti etanol, asam laktat, asetaldehida dan senyawa sianogen yang dapat terakumulasi dalam sel tanaman yang akhirnya dapat terjadi asidosis sitosol dalam sel. Selain itu, akumulasi asam laktat dalam sitoplasma akan menyebabkan kematian sel. Pada kondisi tergenang air ada kemungkinan lebih banyak akar yang mati. Pembentukan aerenkim akar yang lebih tinggi pada metode konvensional sangat berdampak pada pertumbuhan tanaman karena jaringan aerenkim yang terbentuk menyebabkan terjadinya kerusakan struktur akar tanaman. Pembentukan aerenkim akar mengambil 30-40% kortek akar yang dapat berpotensi menghentikan penyaluran unsur hara secara horizontal dari tanah ke akar. Apabila jaringan aerenkim yang terbentuk semakin banyak, maka akan mengganggu proses penyerapan hara dan air oleh akar (Sumardi 2007). Selain itu, tanaman padi membutuhkan sejumlah besar energi untuk pembentukan dan aktivitas sel aerenkim untuk memasok O2, akibatnya energi berkurang untuk pertumbuhan tanaman terutama pembentukan anakan, sehingga jumlah anakan menjadi sedikit bila dibandingkan dengan kondisi air tidak tergenang (Bakrie et al. 2010).

Pada tanaman padi, pembentukan aerenkim tidak hanya di akar tetapi aerenkim juga bisa terbentuk di batang (Yamauchi et al. 2013). Penggenangan air yang terus-menerus pada metode konvensional juga dapat meningkatkan luas aerenkim batang pada metode konvensional dibandingkan dengan metode SRI. Perakaran padi yang lebih baik pada metode SRI dapat meningkatkan transportasi air dan hara dari tanah ke batang, sehingga akan mendukung pertumbuhan tajuk yang lebih baik. Pertumbuhan tajuk yang baik, akan menyebabkan fotosintat yang tersedia juga banyak sehingga fotosintat tersebut akan di distribusikan ke akar, sehingga akar tumbuh secara optimal. Yang et al. (2004) menyatakan bahwa laju fotosintesis yang tinggi akan memberikan fotosintat ke akar yang digunakan untuk perkembangan dan lamanya akar hidup, sehingga akar akan berfungsi lebih lama. Pada saat yang sama, aktivitas metabolime akar juga tinggi yang mendukung laju fotosintesis menjadi tinggi karena akar berperan mentransport jumlah hara yang cukup ke tajuk (daun). Hal ini

19 merupakan hubungan saling ketergantungan yang disebut sebagai interaksi akar dengan tajuk (Samejima et al. 2004).

Thakur et al. (2011) melaporkan bahwa peningkatan hasil gabah pada budidaya SRI terutama disebabkan oleh morfologi dan fisiologi tanaman padi yang lebih baik dibandingkan dengan metode konvensional. Fisiologi padi yang lebih baik pada metode SRI itu didukung oleh pertumbuhan akar yang lebih baik yaitu terutama meningkatnya jumlah rambut akar dan pembentukan aerenkim akar berkurang.

Produksi fitohormon oleh organisme tanah dapat merangsang pertumbuhan akar yang akan menguntungkan tanaman dan mikroba yang berasosiasi dalam rhizosfer. Turner & Haygarth (2001) mengemukakan bahwa ketertersediaan P merupakan hasil dari dinamika populasi pada bakteri pelarut fosfat (PSB) dan jamur, yang akan meningkat ketika tanah bersifat aerobik, dengan mengambil P dari bentuk yang tidak tersedia dari tanah . P ini terdapat dalam partikel tanah yang terikat atau dalam bentuk molekul fosfat kompleks yang sebagian besar tidak larut (Turner et al. 2006).

Ketika tanah digenangi dan menjadi anaerobik, sebagian kecil dari sel-sel mikroba tanah akan melisiskan dan melepaskannya hara ke dalam larutan tanah. Cara yang sama untuk melepaskan nitrogen pada mikroba tanah ketika terjadi penggenangan tanah.(Birch, 1958.) Ketika tanah dikeringkan, PSB hidup dan berkembang untuk melarutkan P yang tidak tersedia . SRI menganjurkan menjaga tanah tetap lembab tapi tidak tergenang, menambahkan sejumlah kecil air setiap hari, berhenti aplikasi untuk 3- 6 hari beberapa kali selama fase pertumbuhan vegetatif untuk membiarkan tanah lapisan atas mengering; atau pengelolaan air secara bergantian banjir dan pengeringan tanah. Hal ini akan memobilisasi P tidak tersedia melalui PSB, efek yang akan lebih besar jika ada bahan organik yang melimpah di tanah untuk mendukung pertumbuhan mikroba (Ayaga et al. 2006).

Saat sawah tidak terus menerus digenangi, maka pertumbuhan gulma akan lebih banyak, sehingga memerlukan langkah-langkah pengendalian. Strategi SRI untuk pengendalian gulma adalah dengan menggunakan penyiangan mekanik sederhana di antara baris tanaman. Ketika gulma tersebut terurai, maka akan memberikan nutrisi tambahan untuk tanah dan tanaman (Thiyagarajan et al. 2005).

Berbagai macam mikroba yang hidup di sekitar, dan di akar spesies Gramineae dapat memfiksasi nitrogen atmosfer menjadi bentuk yang tersedia untuk digunakan tanaman, dengan memproduksi enzim nitrogenase. Mikroba lain seperti bakteri pelarut fosfat yang dibahas di atas, akan menghasilkan enzim fosfatase yang memungkinkan mikroba mengubahnya menjadi bentuk yang tersedia dan dapat dimanfaatkan tanaman. Ketika tanah bersifat aerob, jamur mikoriza yang terdapat di daerah rizosfer daoat berkembang sehingga meningkatkan hasil sebesar 10% (Solaiman & Hirata, 1997).

20

Tanaman Ratun

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa perlakuan tinggi pemotongan tunggul 15 cm dari permukaan tanah pada usia 56 hari setelah panen (HSP) menghasilkan tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi pemotongan tunggul 3 cm. Hal ini dikarenakan pada tanaman yang dipangkas 15 cm, anakan tumbuh pada buku yang lebih tinggi dan terus berlangsung setelah masa pertumbuhan vegetatif selesai. Secara visual tunas ratun dari tinggi pemotongan 3 dan 15 cm mulai muncul pada 2-5 hari setelah pemangkasan dan hampir sama pada semua perlakuan tinggi pemotongan.

Tabel 3 Tinggi tanaman ratun umur 56 dan 90 Hari Setelah Panen (HSP) Perlakuan Tinggi Tanaman Jumlah Anakan Produktif

56 HSP 90 HSP . . . .cm. . . . . anakan rumpun -1 . . Konvensional 3 cm 50.20b 102.47ab 15.00c 15 cm 50.83b 97.40b 11.67d SRI

3 cm 57.83a 103.27a 20.93a

15 cm 60.33a 105.13a 17.80b

a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

Tabel 3 menunjukkan setelah uji lanjut Duncan bahwa perbedaan tinggi pemotongan tunggul sisa panen nyata berpengaruh terhadap jumlah anakan produktif. Kombinasi perlakuan sistem budidaya SRI dengan tinggi pemotongan 3 cm dari permukaan tanah memberikan jumlah anakan produktif paling tinggi diantara perlakuan yang lain. Nilai hasil pertumbuhan dan produksi yang lebih tinggi pada pemotongan 3 cm diduga karena pada bagian tersebut berjarak lebih dekat dengan akar yang merupakan sumber suplai nutrisi keseluruh tubuh tanaman. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan kembali setelah pemotongan. Diantara perangkat fotosintesis yang berkaitan langsung dengan pemotongan dan fungsi metabolisme yang diakibatkannya adalah daun. Fungsi daun setelah pemotongan untuk pertmbuhan kembali pada famili Graminae (rumput-rumputan) pernah dikemukakan oleh Gardner et al. (1991) bahwa pertumbuhan kembali rumput Orchard bergantung baik pada cadangan karbohidrat di dalam batang tanaman maupun pada luas daun yang tersisa setelah pemangkasan. Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa karbohidrat diperlukan untuk mempertahankan aktivitas metabolik selama tahap awal pertumbuhan kembali. Kebutuhan energi untuk pertumbuhan kembali sebagian atau seluruhnya dapat dipasok apabila tersisa batang atau daun yang cukup setelah pemangkasan, untuk memasok daun-daun atau anakan baru, yang segera menjadi autotropik (penghasil energi sendiri).

21 Pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa kombinasi sistem budidaya dan tinggi pemangkasan yang berbeda akan berpengaruh nyata terhadap parameter hasil produksi yaitu bobot gabah kering panen dan gabah kering giling. Pada tanaman ratun ini, variabel pertumbuhan dan hasil produksi menunjukkan bahwa perlakuan pemotongan 3cm lebih baik dibandingkan perlakuan pemotongan 15 cm baik pada sistem budidaya konvensional maupun SRI. Tinggi pemotongan 3cm yang menghasilkan gabah kering giling (kadar air 14%) tanaman ratun pada sistem budidaya konvensional dan SRI masing-masing sebesar 3.32 ton ha-1, dan 4.59 ton ha-1. Persentase gabah hampa tidak berbeda nyata pada semua perlakuan.

Tabel 4 Bobot gabah kering panen, bobot gabah kering giling, dan persentase gabah hampa tanaman ratun

Perlakuan Bobot GKP Bobot GKG Persentase Gabah Hampa . . . ton ha -1 . . . . . . % . . . Konvensional 3 cm 3.86c 3.32c 22.68 15 cm 3.26d 2.80d 23.73 SRI 3 cm 5.34a 4.59a 23.26 15 cm 4.43b 3.81b 23.16 a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

Pada Tabel 5 terlihat jika dibandingkan dengan musim tanam pertama, maka hasil produksi ratun dengan sistem budidaya SRI dengan pemotongan tunggul setinggi 3 cm adalah paling tinggi dibandingkan perlakuan lain.

Tabel 5 Persentase hasil produksi GKG ratun terhadap tanaman musim pertama

Perlakuan

Bobot GKG Persentase Hasil

Produksi GKG Ratun terhadap Tanaman

Musim Pertama Musim Pertama Ratun

. . . .ton ha-1. . . . . . .%. . . Konvensional 3 cm 5.23b 3.32c 63.48 15 cm 2.80d 53.53 SRI 3 cm 6.69a 4.59a 68.61 15 cm 3.81b 56.95 a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

22

Tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif ratun lebih rendah dibandingkan tanaman musim pertama. Kondisi ini diduga karena perbedaan jumlah asimilat yang tersisa pada tunggul setelah panen tanaman pertama. Jika cadangan asimilat tinggi dan tunggul bekas panen tetap vigor, maka tunas-tunas ratun akan muncul menjadi anakan ratun. Sebaliknya jika cadangan asimilat rendah atau kurang, pertumbuhan anakan akan terhambat dan perlu diberikan tambahan hara untuk memacu pertumbuhan tunas ratun.

Dosis pemupukan tanaman musim pertama dengan tanaman ratun adalah sama yaitu NPK 100%. Beberapa studi membuktikan bahwa pertumbuhan ratun sangat tergantung dengan komposisi dan tingkat dosis pupuk yang diberikan. Untuk menghasilkan ratun yang baik, maka pemupukan tidak hanya diberikan kepada tanaman musim pertama tetapi juga pada tanaman ratun (Wei et al. 2003). Pemberian N dapat meningkatkan rumpun dan meningkatkan jumlah bulir per rumpun serta hasil tanaman ratun (De Datta dan Bernasor 1988). Islam et al.(2008) menyebutkan pemupukan tanaman musim pertama dan ratun merupakan sumber suplai hara bagi tanaman yang memacu pertumbuhan tunas ratun. Ini sejalan dengan yang dilaporkan Dobermann dan Fairhurst (2000), nitrogen merupakan hara yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah besar untuk membentuk asam amino, asam nukleat, nukleotida dan klorofil. Konsentrasi nitrogen yang tinggi pada tanaman, mampu merangsang pembelahan sel, sehingga perkembangan anakan dan daun menjadi lebih banyak. Hal ini akan mendorong proses fotosintesis dan produksi biomassa tumbuhan. Pembentukan anakan, perkembangan akar, pembungaan, dan pemasakan tanaman padi ditentukan oleh kecukupan fosfat selama stadia pertumbuhannya. Lain halnya dengan kaliumyang memiliki fungsi utama dalam osmoregulasi, aktivasi enzim, pengaturan pH selular, keseimbangan ion-ion dalam sel, ketegaran tanaman, transpirasi melalui stomata, transportasi asimilat, dan mengatasi stres tanaman akibat kekurangan air pada tingkat tertentu.

Pada usaha tani padi dengan sistem ratun, kelangsungan proses fotosintesis sangat ditentukan oleh keadaan tunggul tanaman yang masih tersisa setelah panen pertama., demikian juga dengan daya vigor dari sistem perakaran. Tunggul yang vigor merupakan prasyarat untuk keberhasilan tanaman ratun. Hal ini dapat dipengaruhi oleh genotipe tanaman dan faktor lingkungan lainnya seperti kelembaban, suhu, dan cahaya. Tanaman ratun akan menghasilkan tunas jika keadaan tunggul setelah panen tetap hijau (Charoen 2003), dan diperlukan ketersediaan air untuk mempertahankan daya vigor pada tunggul setelah panen. (Dawn 2001).

Pengelolaan air sebelum dan sesudah panen tanaman pertama, mempengaruhi daya hasil ratun (Jason 2005). Dalam hubungannya dengan tinggi pemotongan, Jason (2005) dan Nakano et al. (2009) menjelaskan bahwa apabila penggenangan air dilakukan sebelum panen tanaman pertama, yang diberikan secara lembab maka tinggi pemotongan batang sisa panen umumnya rendah ( atau kurang dari 5 cm dari permukaan tanah). Keadaan ini cukup memacu pertumbuhan tunas ratun. Penggenangan berikutnya terhadap ratun dapat dilakukan ketika tunas ratun telah mencapai 10-15 cm,

23 sebab jika dilakukan segera setelah pemotongan batang sisa panen, dapat mengakibatkan tunggul busuk dan mengalami kematian. Ratun yang kekurangan air mengakibatkan tunggul kering dan tidak mampu menghasilkan tunas-tunas ratun.

Terdapat tenggang waktu antara perlakuan tinggi pemotongan dengan penggenangan air, yakni selama 2 minggu. Hal ini berdasarkan pernyataan Chauhan et al.(1985) bahwa ketika tanaman dipotong rendah, penundaan irigasi akan lebih baik daripada pemberian air satu hari setelah pemotongan dan pengurangan air dari lahan beberapa hari setelah panen akan mempercepat pertumbuhan ratun. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil uji coba padi Salibu yang dilakukan pada beberapa daerah di Sumatra Barat yang cukup bagus antara lain di Kabupaten Agam dengan hasil 7.2 ton ha-1 (meningkat 20% dibanding tanaman pertamanya), Kabupaten Tanah Datar dengan hasil 6.4 ton ha-1 (meningkat 10-15% dibanding tanaman pertamanya) (Erdiman 2013). Perbedaan hasil dari penelitian ini dimungkinkan karena perbedaan varietas, dan kesuburan tanah.

Pada penelitian lapang diketahui bahwa sistem budidaya SRI akan menghasilkan jumlah anakan yang lebih banyak, baik pada tanaman utama maupun ratun, dibanding dengan sistem budidaya konvensional, dikarenakan tinggi air pada SRI hanya macak-macak (0-2 cm). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Susilawati (2011) juga menyatakan bahwa penggenangan 0-2 cm akan menghasilkan produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi genangan 5 cm. Lingkungan yang oksidatif pada metode SRI menyebabkan mikroba tanah fungsional yang bersifat aerob seperti penambat N dan pelarut P lebih meningkat sehingga akan meningkatkan ketersediaan hara N dan P dalam tanah dan dengan sendirinya meningkat pula jumlah anakan produktif (Pan et al. 2009).

Pada penelitian ini hama merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan produksi padi. Adapun hama-hama yang menyerang petakan penelitian adalah keong mas dan burung. Keong mas menyerang padi saat berumur 0-3 MST. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Balitbang Pertanian (2007) bahwa keong mas memakan tanaman muda serta dapat menghancurkan tanaman saat pertumbuhan awal. Keong mas lebih banyak terlihat dan memakan tanaman padi di petakan konvensional yang mendapat perlakuan penggenangan air setinggi 5 cm. Menurut Syam et al. (2007), keong mas menyenangi tempat-tempat yang digenangi air. Pengendalian hama yang dilakukan di lapang adalah mengambil keong dan telurnya dari petakan dan sekitarnya secara manual. Pengambilan telur keong dilakukan untuk mengurangi perkembangbiakan keong yang terus meningkat. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengeringkan sawah. Burung menyerang tanaman padi pada fase matang susu sampai pemasakan biji atau sebelum panen. Cara pengendalian yang dilakukan adalah dengan memasang jaring pada sekeliling petakan penelitian.

Dokumen terkait