• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Kualitas Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) selama penyimpanan

Penyimpanan merupakan salah satu cara untuk mengatasi jumlah panen yang melimpah pada saat panen raya bawang merah. Penyimpanan yang baik dibutuhkan untuk menjaga mutu bawang merah setelah dipanen dari lahan pertanian. Kondisi penyimpanan bawang merah secara tradisional dinilai memiliki dampak penurunan mutu yang cukup besar, maka diperlukan cara untuk menjaga mutu bawang merah tetap baik. Perubahan kualitas bawang merah dipengaruhi oleh suhu pada saat penyimpanan, terutama suhu yang sangat tinggi. Selain itu perubahan mutu bawang merah juga dipengaruhi oleh varietas yang disimpan pada saat panen. Pada penelitian ini faktor suhu dan varietas dianggap dapat memberikan pengaruh terhadap perubahan kualitas bawang merah yang terdiri dari kadar air, susut bobot, kekerasan, kerusakan, dan kandungan sulfur.

Kadar Air

Interaksi antara perlakuan suhu dan varietas tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air bawang selama penyimpanan. Bawang merah yang disimpan pada suhu 0 oC mengalami perubahan penurunan kadar air pada minggu ke-2 dan minggu ke-6. Sedangkan perubahan kadar air pada suhu 5 oC terjadi pada akhir penyimpanan pada minggu ke-12. Perubahan kadar air pada suhu ruang terjadi pada minggu ke-2, 6 dan minggu ke-12 (Tabel 4).

Tabel 4 Kadar air bawang merah selama penyimpanan Suhu Kadar Air (%) Minggu simpan 0 2 4 6 8 10 12 0 82.92a 82.75b 83.11a 82.85ab 82.89a 82.62a 83.10a 5 83.01a 83.31a 83.20a 83.20a 82.56a 81.56a 82.01b Ruang 83.23a 82.44c 82.42a 82.44b 82.51a 81.84a 81.42c Varietas Kadar Air (%) Minggu simpan 0 2 4 6 8 10 12 Bima Brebes 82.87 b 82.50a 82.63a 82.10b 83.12a 82.30a 82.09a Tajuk 82.98b 82.98a 82.84a 83.19a 81.99b 81.93a 81.93a Bali Karet 83.31a 83.01a 83.27a 83.20a 82.85a 81.80a 82.51a Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata

berdasarkan uji DMRT taraf 5%

Perubahan kadar air bawang merah pada suhu 0 dan 5 oC yang berfluktuatif (Tabel 4) baik penurunan maupun peningkatan kadar air dipengaruhi kondisi penyimpanan. Penurunan kadar air dipicu oleh aktivitas metabolisme, yaitu proses respirasi bawang merah serta penurunan kelembaban (RH). Sementara itu peningkatan kadar air disebabkan karena kelembaban (RH) yang meningkat dan

17 terserap oleh bawang merah selama penyimpanan. Perubahan kadar air yang sangat kecil hingga akhir penyimpanan pada suhu 0 dan 5 oC terjadi karena suhu dan RH yang terkontrol selama penyimpanan. Suhu dan kelembaban (RH) berpengaruh terhadap kadar air bawang merah yang disimpan. Kelembaban (RH) dalam ruang penyimpanan berhubungan langsung dengan daya tahan kualitas bahan yang disimpan. Kelembaban yang rendah mengakibatkan pelayuan atau pengeriputan (shriveling) pada bahan, selain itu kelembaban yang tinggi dapat merangsang proses pembusukan jika terjadi perubahan atau variasi temperatur dalam ruangan. Temperatur penyimpanan yang stabil perlu dijaga untuk mendapatkan hasil yang baik setelah komoditas disimpan beberapa waktu (Komar 2001).

Bawang yang disimpan pada suhu ruang (25-32 oC) mengalami perubahan kadar air selama penyimpanan. Penurunan kadar air ini dipengaruhi oleh tingginya transpirasi yang terjadi pada saat penyimpanan sehingga menurunkan kandungan air dalam bawang. Berdasarkan analisis ragam faktor suhu memberikan pengaruh nyata pada taraf (p<0.05) terhadap perubahan kadar air setiap minggu selama penyimpanan (Gambar 5). Hal ini disebabkan karena suhu rendah mampu menekan proses respirasi umbi bawang merah bila di bandingkan dengan suhu ruang yang tidak mampu menekan proses respirasi selama penyimpanan (Mutia et al. 2015).

Gambar 5 Grafik perubahan kadar air bawang merah pada berbagai perlakuan suhu dan varietas selama penyimpanan

Susut Bobot

Susut bobot merupakan salah satu parameter yang mengindikasikan mutu bawang merah. Bawang merah mengalami proses metabolisme selama penyimpanan sehingga mengalami penyusutan bobot akibat penguapan kandungan air, kerusakan, dan perubahan tingkat kesegaran yang menurun. Penyimpanan suhu ruang menunjukan susut yang tinggi sejak awal pengamatan pada semua perlakuan varietas (Gambar 6). Penyusutan umbi bawang merah pada suhu ruang disebabkan oleh aktifitas metabolisme bawang merah selama penyimpanan, dimana pada saat melakukan proses metabolisme bawang merah juga bertranspirasi yang menyebabkan banyak kehilangan air.

80.5 81 81.5 82 82.5 83 83.5 84 84.5 0 2 4 6 8 10 12 Ka da r air ( % )

Lama Penyimpanan (Minggu)

B. Brebes (0 C) Tajuk (0 C) B. Karet (0 C) B. Brebes (5C) Tajuk (5C) B. Karet (5C) B. Brebes (Ruang) Tajuk (Ruang) B. Karet (Ruang)

18

Kehilangan air yang tinggi menyebabkan susut bobot dan tingkat kesegaran bawang merah semakin menurun, hal ini sejalan dengan pendapat Hutabarat (2008) yang menyatakan bahwa meningkatnya susut bobot sebagian besar disebabkan oleh kehilangan air akibat transpirasi dan terurainya glukosa menjadi CO2 dan H2O selama proses respirasi walaupun dalam jumlah kecil. Gas yang dihasilkan akan menguap dan menyebabkan susut bobot. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rubatzky dan Yamaguchi (1998) respirasi akan berjalan lebih cepat dengan meningkatnya suhu, sehingga lapisan sekulen terluar dari bawang merah akan mengering dan akan mengurangi kandungan air dari lapisan sekulen bagian, yang mengakibatkan menurunnya lapisan sekulen.

Penyimpanan bawang merah pada suhu 5 oC juga mengalami susut bobot. Susut bobot pada suhu 5 oC diakibatkan oleh metabolisme bawang merah serta terjadinya pertumbuhan tunas dan perakaran (Gambar 6). Varietas Bima Brebes menghasilkan susut bobot tertinggi (22.3%) pada suhu 5 oC hingga akhir penyimpanan, sedangkan varietas Tajuk dan Bali Karet masing-masing sebesar 21.99% dan 17.29%. Akibat banyaknya umbi bawang merah yang bertunas dan berakar ini menjadikan nilai mutu bawang merah menurun, dimana pertunasan dan perakaran dianggap sebagai nilai kerusakan. Maemunah (2010) yang menyatakan bahwa umbi bawang merah yang bertunas memiliki bobot umbi yang terus mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena cadangan makanan yang terdapat di dalam umbi digunakan untuk metabolisme dan membentuk tunas/akar. Penyimpanan bawang merah dengan perlakuan suhu 0 oC dan varietas memiliki nilai susut bobot hingga akhir penyimpanan yang lebih baik dari seluruh perlakuan (Gambar 6). Hal ini disebabkan karena suhu 0 oC mampu menekan proses metabolisme termasuk respirasi sehingga umbi bawang merah memiliki susut bobot yang lebih rendah. Varietas Bima Brebes, Tajuk, dan Bali Karet mengalami susut bobot masing-masing sebesar 9.77%, 11.61% dan 10.16%. Hal ini Sesuai dengan pendapat Ahmad (2013), bahwa suhu rendah dapat memperlambat proses metabolisme yang merupakan akibat dari beberapa reaksi enzimatis.

Gambar 6 Grafik perubahan susut bobot bawang merah pada berbagai perlakuan suhu dan varietas selama penyimpanan

Hasil uji DMRT menunjukkan pengaruh faktor tunggal yaitu suhu terhadap susut bobot varietas bawang merah. Penyimpanan minggu ke-2 suhu 0 oC dan 5

0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 2 4 6 8 10 12 S usut B obot (% )

Lama penyimpanan (Minggu) VB. Brebes S0 VB. Brebes S5

VB. Brebes SR V Tajuk S0

V Tajuk S5 V Tajuk SR

VB. Karet S0 VB. Karet S5 VB. Karet SR

19 o

C tidak berbeda nyata tetapi kedua suhu tersebut berbeda nyata dengan suhu ruang. Sedangkan pada minggu ke-10 susut bobot terlihat berbeda nyata antar perlakuan suhu, suhu 0 oC berbeda dengan 5 oC dan berbeda nyata dengan suhu ruang. Bawang merah yang disimpan pada suhu ruang (25-32 oC) dengan varietas yang berbeda memiliki presentasi susut bobot tertinggi diantara perlakuan yang lain (Tabel 5). Hal ini disebabkan oleh proses transpirasi yang disebabkan oleh tingginya suhu dan rendahnya kelembaban (RH) pada tempat penyimpanan. Menurut Larasati (2003) penyimpanan pada suhu tinggi mengakibatkan terjadinya penguapan kandungan air yang tinggi dari dalam umbi. Peningkatan susut bobot tersebut disebabkan karena penggunaan suhu yang tinggi dengan kisaran 25 oC hingga 32 oC menyebabkan meningkatnya proses transpirasi serta terurainya glukosa menjadi CO2 dan H2O yang terjadi selama proses respirasi.

Tabel 5 Presentasi susut bobot (%) bawang merah selama penyimpanan pada masing-masing perlakuan minggu ke 0, 2 dan 10

Suhu Susut Bobot (%) Minggu Simpan 0 2 10 0 0 1.82b 1.43c 5 0 1.88b 2.19b Ruang 0 2.87a 2.89a

Varietas Minggu simpan

0 2 10

Bima Brebes 0 2.16a 2.26a

Tajuk 0 2.22a 2.15a

Bali Karet 0 2.19a 2.11a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 5%

Hasil uji lanjut DMRT menunjukan interaksi suhu dan varietas yang memberikan pengaruh signifikan terhadap nilai susut bobot. Secara umum seluruh perlakuan suhu dan varietas terlihat berbeda nyata. Berdasarkan anlisis ragam, faktor suhu memberikan pengaruh yang signifikan pada perubahan susut bobot (Tabel 6). Hal ini disebabkan karena suhu pengaruh secara langsung terhadap proses kimiawi seperti laju respirasi yang menyebabkan penguapan berlebihan sehingga terjadi susut bobot pada bawang merah serta timbulnya kerusakan (busuk dan hampa) yang terjadi selama penyimpanan.

Selama penyimpanan bawang merah mengalami susut bobot terus menerus seiring dengan lamanya penyimpanan. Hal ini disebabkan karena bawang merah masih melakukan proses metabolisme termasuk respirasi. Selama proses respirasi, terjadi proses enzimatis yang menyebabkan terjadinya perombakan senyawa kompleks membentuk energi dengan hasil akhir berupa air dan karbondioksida yang lepas ke udara sehingga terjadi penurunan bobot bawang merah yang disimpan (Mutia et al. 2015).

Semakin meningkatnya susut bobot pada perlakuan suhu ruang juga disebabkan oleh tingginya kerusakan berupa busuk, hampa dan bertunas. Hal ini sesuai dengan pendapat Nugraha et al. (2012), bahwa disamping terjadinya penguapan, penurunan berat umbi juga diakibatkan oleh adanya kerusakan karena umbi bawang merah yang mengalami kebusukan, hampa atau kering dan bertunas.

20

Tabel 6 Presentasi susut bobot (%) bawang merah selama penyimpanan pada interaksi suhu dan varietas minggu 0, 4, 6, 8 dan 12

Minggu Suhu

Susut bobot (%) Varietas

Bima Brebes Tajuk Bali Karet

0 0 0 0 0 5 0 0 0 Ruang 0 0 0 4 0 1.34c 2.61bc 2.11bc 5 3.27bc 4.06b 2.87bc Ruang 7.30a 4.08b 6.59a 6 0 1.34e 1.87de 1.53e 5 4.18bc 3.25c 2.93cd Ruang 4.65b 3.36c 10.06a 8 0 1.31d 1.50d 1.34d 5 4.93a 3.18bc 2.52cd Ruang 4.21ab 5.49a 1.71d 12 0 1.71d 1.54d 1.53d 5 3.70cd 6.29bc 3.57cd Ruang 12.51a 8.95b 6.83b

Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 5%

Kekerasan

Kekerasan bawang merah merupakan indikator yang menunjukkan perubahan fisik selama penyimpanan. Kekerasan adalah salah satu parameter mutu untuk menentukan tingkat kesegaran dari bawang merah. Pengukuran tingkat kekerasan ini dilakukan untuk mengetahui perubahan mutu fisik yang terjadi selama penyimpanan. Kekerasan umbi merupakan karakteristik fisik umbi bawang merah yang menentukan penerimaan konsumen (Ameriana et al. 1995). Suhu penyimpanan berpengaruh pada penurunan tingkat kekerasan. Pada proses pelunakan terjadi degradasi pektin dengan bantuan enzim. Enzim membutuhkan kondisi tertentu untuk melakukan aktivitasnya (Hawa 2006).

Perlakuan suhu 0 dan 5 oC memiliki nilai kekerasan yang lebih baik jika dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu ruang (25-32 oC), hingga akhir penyimpanan suhu 0 dan 5 oC memiliki nilai kekerasan yang tetap seperti mutu awal bawang merah sebelum disimpan. Perlakuan varietas juga berpengaruh terhadap nilai mutu (kekerasan) bawang merah selama penyimpanan, varietas Bima Brebes dan Tajuk memiliki nilai kekerasan yang lebih baik bila dibandingkan varietas Bali Karet (Gambar 7).

Perubahan nilai kekerasan pada penyimpanan ini dipengaruhi oleh suhu yang terpapar langsung pada produk, dimana produk mengalami perubahan fisiologis oleh suhu yang diterimanya. Perlakuan suhu ruang mengalami perubahan kekerasan jika dibandingkan dengan perlakuan suhu 0 dan 5 oC. Perubahan nilai kekerasan pada suhu ruang disebabkan oleh penurunan fungsi pektin dalam bawang merah serta proses respirasi yang terus berlangsung selama

21 penyimpanan. Hawa (2006) menjelaskan bahwa penurunan tekstur (kekerasan) berkaitan dengan senyawa pektin, dimana pektin berfungsi sebagai bahan perekat di dalam dinding sel dan lamella tengah. Selain itu dengan adanya perubahan pektin maka ketegaran buah akan berkurang. Pada suhu ruang terjadi penurunan nilai kekerasan yang disebabkan oleh tingginya proses transpirasi. Pada suhu 20 °C, laju respirasi dan aktivitas enzim berlangsung lebih cepat, sehingga menyebabkan jumlah pektin yang tidak larut lebih cepat berkurang. Hal ini sesuai dengan pendapat Surhaini dan Indriyani (2009), yang menyatakan bahwa perubahan tekstur pada bahan pangan disebabkan oleh aktifitas enzim pektin metilesterasi dan poligalakturasi yang merombak senyawa pektin yang tidak larut dalam air (protopektin) menjadi senyawa pektin yang larut dalam air sehingga tekstur menjadi menurun. Selama penyimpanan, kekerasan juga dipengaruhi oleh melemahnya dinding sel yang ditandai dengan menurunnya tingkat kekerasan untuk semua perlakuan hingga akhir penyimpanan.

Gambar 7 Perubahan tingkat kekerasan bawang merah selama penyimpanan pada berbagai perlakuan suhu dan varietas

Berdasarkan hasil uji DMRT, suhu 0 oCmemberikan nilai kekerasan yang lebih tinggi hingga akhir penyimpanan dibandingkan dengan suhu penyimpanan 5 oC dan suhu ruang (25-32 oC). Pada perlakuan varietas terlihat bahwa Bima Brebes memiliki nilai kekerasan tertinggi dibandingkan dengan varietas Tajuk dan Bali Karet (Tabel 7). Hasil uji lanjut DMRT juga menunjukkan suhu 0 dan 5 oC mengalami peningkatan nilai kekerasan (Tabel 7). Peningkatan nilai kekerasan ini disebabkan oleh semakin kuat atau liat jaringan sel setelah terpapar suhu rendah yang mengurangi proses respirasi dan menekan transpirasi pada dinding sel umbi bawang merah. Mutia et al. (2015) menyatakan bahwa peningkatan kekerasan ini karena terjadinya penguapan antar ruang-ruang sel sehingga sel menjadi mengkerut dan menyatu dan zat pektin menjadi berikatan.

Selain suhu kelembaban (RH) juga berperan dalam perubahan kekerasan bawang merah selama penyimpanan, dimana pada kondisi kelembaban (RH) yang tinggi atau RH sesuai bawang mampu mempertahankan kekerasanya, sedangkan pada kondisi RH yang rendah bawang merah mengalami kekeringan pada kulit terluarnya. Hal ini sejalan dengan laporan Currah et al. (2012) yang mengatakan bahwa kelembaban (RH) udara yang rendah (di bawah sekitar 65% RH) memungkinkan kulit luar umbi untuk menjadi rapuh dan pecah.

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 0 2 4 6 8 10 12 K ek er as an (k g f)

Lama Penyimpanan (Minggu)

Bima brebes (S0) Tajuk (S0) B. Karet (S0) Bima brebes (S5) Tajuk (S5) B. Karet (S5) Bima brebes (Ruang) Tajuk (Ruang) B. Karet (Ruang)

22

Tabel 7 Nilai kekerasan bawang merah selama penyimpanan pada masing-masing perlakuan minggu ke 8, 10 dan 12

Suhu Minggu simpan (kgf)

8 10 12

0 4.68a 4.50a 4.45a

5 4.34a 4.00a 4.32a

Ruang 3.13b 3.31b 3.46b

Varietas Minggu simpan

8 10 12

Bima Brebes 4.93a 4.56a 4.74a

Tajuk 3.99b 3.87b 4.18a

Bali Karet 3.24b 3.38c 3.31b

Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 5%

Tabel 8 Nilai kekerasan bawang merah selama penyimpanan pada interaksi suhu dan varietas minggu ke 2, 4 dan 6

Minggu Suhu Varietas (kgf)

Bima Brebes Tajuk Bali Karet 2 0 5.66a 3.79b 3.53bc 5 4.43b 4.47b 3.35bc Ruang 3.75b 3.52bc 2.61c 4 0 6.52a 4.29b 3.58b 5 6.62a 4.26b 3.17b Ruang 4.24b 3.88b 3.65b 6 0 5.26b 4.46c 3.78ef 5 6.19a 4.34cd 3.81ef Ruang 3.94de 3.33f 3.57ef

Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 5%

Kerusakan

Kerusakan bawang merah selama penyimpanan dapat disebabkan oleh mikroorganisme lapang yang terbawa pada saat proses pemanenan atau mikroorganisme yang berada pada wadah atau tempat penyimpanan. Kerusakan yang banyak terjadi selama penyimpanan disebabkan oleh jamur, kerusakan lain dapat disebabkan oleh hama atau penyakit serta perubahan fisologis yang timbul pada saat penyimpanan.

Varietas Bali Karet menunjukan kerusakan tertinggi yang disebabkan oleh busuk atau jamur sebesar 16.53%, Bima Brebes 5.67% dan varietas Tajuk 5.47% (Gambar 8). Sedangkan kerusakan hampa tertinggi ditunjukan oleh varietas Bima Brebes sebesar 7.48%, Tajuk 5.37% dan Bali Karet 2.53% (Gambar 9). Kerusakan pada suhu ruang yang disebabkan oleh pertumbuhan tunas tertinggi ditunjukan oleh varietas Bima Brebes sebesar 12.39%, sedangkan Tajuk dan Bali Karet masing-masing 3.30% dan 3.31% (Gambar 10).

Kerusakan pada suhu ruang dan varietas disebabkan oleh meningkatnya aktivitas mikroorganisme (jamur) yang memperoleh suhu dan kelembaban (RH)

23 yang sesuai untuk berkembangbiak (kerusakan seperti pada Lampiran 5a, 5b, 5c). Sesuai dengan pendapat Nugraha et al. (2012) yang mengatakan bahwa kerusakan busuk dan jamur pada bawang merah disebabkan oleh Penicillium spp.,

Aspergillus spp., Botrytis spp., Fusarium spp., Pseudomonas spp., dan Erwinia spp. yang berkembang dengan cepat karena terlalu tingginya suhu dan kelembaban selama penyimpanan. Kerusakan yang disebabkan oleh hampa disebabkan oleh tingginya proses penguapan bawang merah pada saat penyimpanan sehingga banyak kehilangan air (H2O) dan menjadi hampa.

Kerusakan penyimpanan pada suhu 5 oCdisebabkan oleh busuk atau jamur tertinggi ditunjukan oleh varietas Bali Karet sebesar 4.04%, Bima Brebes 1.13% dan varietas Tajuk 0.43% (Gambar 8). Sedangkan kerusakan tertinggi yang disebabkan oleh tunas dan akar ditunjukan varietas Bima Brebes sebesar 35.19%, sedangkan varietas Tajuk dan Bali Karet masing-masing sebesar 15.84% dan 10.81%. Kerusakan yang disebabkan pertumbuhan tunas dan akar varietas Bima Brebes ini terjadi pada minggu ke 8 hingga akhir penyimpanan sedangkan varietas Tajuk dan Bali Karet terjadi pada minggu ke 10 hingga akhir penyimpanan (Gambar 10). Kerusakan tertinggi pada suhu 5 oC ini disebabkan oleh pertunasan atau perakaran yang terjadi pada umbi bawang merah.

Bawang merah diketahui merupakan tanaman yang memiliki fase dormansi, tingginya kerusakan pada penyimpanan suhu 5 oC karena pada suhu tersebut terjadi peningkatan aktifitas enzim yang menyebabkan pematahan dormansi pada bawang merah. Menurut Mutia et al. (2015) tingginya pertunasan pada suhu 10 oC disebabkan karena pada suhu tersebut terjadi peningkatan aktifitas enzim dan giberelin dalam sel, kondisi tersebut menyebabkan peningkatan proses pembelahan sel serta patahnya dormansi sehingga terjadi perubahan penampilan yang memicu pembentukan tunas.

Penyimpanan pada suhu 0 oC menunjukan bahwa tidak terdapat kerusakan varietas selama penyimpanan. Hingga akhir penyimpanan jumlah kerusakan pada masing-masing perlakuan varietas adalah 0% (Gambar 8, Gambar 9, Gambar 10). Hal ini disebabkan karena suhu 0 oC dan kelembaban (RH) yang sesuai mampu menghambat aktifitas mikroorganisme yang menyebabkan busuk, aktifiitas metabolisme termasuk transpirasi yang menyebabkan kehilangan air dan aktifitas enzim pada masing-masing varietas bawang merah yang menyebabkan pertumbuhan tunas dan akar, sehingga bawang merah tidak mengalami kerusakan baik busuk, hampa dan pertumbuhan tunas maupun perakaran yang menyebabkan penurunan mutu bawang merah selama penyimpanan. Sitorus (2000) menyatakan bahwa reaksi enzimatis dan pertumbuhan laju mikroorganisme dapat dihambat dengan penggunaan suhu rendah. Faktor yang mempengaruhi perkembangan mikroba adalah tingginya suhu dan kelembaban selama penyimpanan.

Kerusakan total selama penyimpanan pada berbagai perlakuan (suhu dan varietas) ditunjukan oleh Gambar 11. Kerusakan tertinggi hingga akhir penyimpanan ditunjukan oleh penyimpanan dengan suhu ruang 5 oC pada minggu ke-8 hingga akhir penyimpanan pada seluruh varietas. Kerusakan terendah diperlihatkan oleh penyimpanan dengan suhu 0 oC dengan jumlah kerusakan 0% atau tanpa kerusakan pada semua varietas selama penyimpanan.

24

Gambar 8 Presentase kerusakan busuk atau jamur bawang merah pada berbagai perlakuan suhu dan varietas selama penyimpanan

Gambar 9 Presentase kerusakan hampa atau keropos bawang merah pada berbagai perlakuan suhu dan varietas selama penyimpanan

Gambar 10 Presentase kerusakan bertunas dan berakar bawang merah pada berbagai perlakuan suhu dan varietas selama penyimpanan

0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 0 2 4 6 8 10 12 Ker u sak an b u su k /j am u r (%)

Lama penyimpanan (Minggu)

V B. Brebes (0) V B. Brebes (5) V B. Brebes (Ruang)

V Tajuk (0) V Tajuk (5) V Tajuk (Ruang)

V B. Karet (0) V B. Karet (5) V B. Karet (Ruang)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 2 4 6 8 10 12 Ke ru sa k an Ha m p a (% )

Lama Penyimpanan (Minggu)

V B. Brebes (0) V B. Brebes (5) V B. Brebes (Ruang)

V Tajuk (0) V Tajuk (5) V Tajuk (Ruang)

V B. Karet (0) V B. Karet (5) V B. Karet (Ruang)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 2 4 6 8 10 12 K er usa k an ber tunas /be ra k ar ( % )

Lama Penyimpanan (Minggu)

V B. Brebes (0) V B. Brebes (5) V B. Brebes (Ruang)

V Tajuk (0) V Tajuk (5) V Tajuk (Ruang)

25

Gambar 11 Presentasi total kerusakan bawang merah pada berbagai perlakuan suhu dan varietas selama penyimpanan

Suhu berpengaruh terhadap kerusakan pada berbagai varietas bawang merah, kerusakan tertinggi terjadi pada penyimpanan suhu ruang (25-32 oC) dan varietas Bali Karet minggu ke 6 dan 8 (Tabel 9). Hal ini menunjukan bahwa suhu ruang tidak dapat menghambat kerusakan terutama yang disebabkan oleh busuk (jamur) dan pengeringan (hampa) dan kerusakan tertinggi terjadi pada varietas Bali Karet. Tabel 9 Presentase kerusakan bawang merah selama penyimpanan pada minggu

ke-8 dan 12 Suhu Kerusakan (%) Minggu Simpan 8 12 0 0.00b 0.00b 5 0.19b 15.97a Ruang 2.91a 3.10b

Varietas Minggu Simpan

8 12

Bima Brebes 1.40a 9.26a

Tajuk 0.86a 5.73b

Bali Karet 0.84a 4.08b

Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 5%

Suhu dan varietas menghasilkan interaksi yang nyata terhadap kerusakan bawang selama penyimpanan. Kerusakan tertinggi terjadi pada suhu 5 oC yang disebabkan oleh pertunasan (Lampiran 5c) dan tumbuhnya akar (Lampiran 5d) pada umbi bawang merah. Kerusakan pada suhu ini terjadi pada semua varietas (Bima Brebes, Tajuk, dan Bali Karet) masing-masing 34.37%, 15.28% dan 11.23% (Tabel 10). Tingginya pertunasasan yang terjadi akibat adanya aktifitas enzim ZPT (zat pengatur tumbuh) alami terutama dari golongan giberelin dan auksin (IAA, NAA dan IBA) yang berperan dalam dalam pertumbuhan. Perlakuan suhu rendah (vernalisasi) pada organ tanaman dapat meningkatkan aktivitas pembelahan sel dan giberelin endogen serta peningkatan aktivitas auksin (Dinarti

et al. 2011). 0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 2 4 6 8 10 12 Ker u sak an ( %)

Lama penyimpanan (Minggu) VB. Brebes S0 VB. Brebes S5 VB. Brebes SR V Tajuk S0 V Tajuk S5 V Tajuk SR VB. Karet S0 VB. Karet S5 VB. Karet SR

26

Tabel 10 Pengaruh interaksi suhu dan varietas terhadap presentasi kerusakan bawang merah selama penyimpanan minggu ke-2, 4, 6, dan 10

Minggu Suhu

Kerusakan (%) Varietas

Bima Brebes Tajuk Bali Karet

2 0 0.00b 0.00b 0.00b 5 0.00b 0.00b 0.00b Ruang 1.29b 1.01b 4.19a 4 0 0.00c 0.00c 0.00c 5 0.00c 0.03c 0.48c Ruang 5.18b 0.48c 9.93a 6 0 0.00c 0.00c 0.00c 5 0.00c 0.00c 0.00c Ruang 1.64b 0.71bc 3.39a 10 0 0.00b 0.00b 0.00b 5 14.10a 0.80b 1.73b Ruang 3.68b 0.53b 0.42b

Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 5%

Kerusakan yang terjadi karena pertunasan dan perakaran tidak hanya disebabkan oleh enzim-enzim dalam bawang merah tetapi juga disebabkan oleh kandungan sulfur dalam bawang merah. Sulfur diserap oleh tanaman dalam bentuk sulfat (SO4-2) dan hanya sebagian kecil sulfur dalam bentuk gas SO2 yang diserap langsung oleh tanaman dari tanah dan atmosfer. Sulfur dikaitkan pula dengan pembentukan klorofil yang erat hubungannya dengan proses fotosintesis dan ikut serta dalam beberapa reaksi metabolisme seperti karbohidrat, lemak dan protein. Sulfur juga dapat merangsang pembentukan akar dan buah serta dapat mengurangi serangan penyakit (Tisdale et al. 1985).

Kadar Sulfur

Sulfur merupakan salah satu senyawa yang berperan dalam pembentukkan aroma pada bawang merah. Tanaman dari genus Allium sp. mempunyai karakter bau bersulfur yang khas. Sejumlah komponen sulfur yang menarik perhatian merupakan dasar dari bau khas bawang-bawangan. Bawang merah mempunyai komponen flavor utama berupa metil, propil dan (1 propenil) disulfid dan trisulfid. Cis dan trans-(1-propenil) propil disulfid mencirikan aroma bawang merah dan membedakannya dari aroma lain terutama bawang bombay. Senyawa kimia yang termasuk ke dalam golongan monosulfida yang terdapat pada kultivar bawang merah adalah heksil sulfida („Bima‟), metil propil sulfida („Bima‟), trimetil sulfida („εenteng‟) (Wahyu et al. 2005).

Varietas Bima Brebes memiliki kandungan sulfur yang paling tinggi dari dari semua suhu simpan hingga akhir penyimpanan. Kandungan sulfur terendah di tunjukkan oleh varietas Bali Karet dari seluruh suhu penyimpanan (Gambar 12). Tingginya kadar air pada masing-masing varietas berpengaruh terhadap kandungan sulfurnya. Hal ini terlihat jumlah kadar air Bima Brebes varietas yang

27 cukup stabil pada saat penyimpanan. Menurut White (2006) ketersediaan air pada umbi menjadi faktor kepekatan komponen rasa dan aroma dari bawang.

Gambar 12 Grafik kadar sulfur bawang merah selama penyimpanan pada berbagai perlakuan

Kadar sulfur bawang merah yang berubah-ubah pada setiap pengamatan di pengaruhi oleh respon setiap varietas bawang merah terhadap suhu dalam

Dokumen terkait