• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Mutu Bawang Merah (Allium Ascalonicum L.) Varietas Bima Brebes, Tajuk Dan Bali Karet Yang Disimpan Pada Suhu Rendah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perubahan Mutu Bawang Merah (Allium Ascalonicum L.) Varietas Bima Brebes, Tajuk Dan Bali Karet Yang Disimpan Pada Suhu Rendah"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN MUTU BAWANG MERAH (

Allium ascalonicum

L.)

VARIETAS BIMA BREBES, TAJUK DAN BALI KARET YANG

DISIMPAN PADA SUHU RENDAH

EKO PRIYANTONO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perubahan Mutu Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Varietas Bima Brebes, Tajuk dan Bali Karet yang Disimpan pada Suhu Rendah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

Eko Priyantono

(4)

RINGKASAN

EKO PRIYANTONO. Perubahan Mutu Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Varietas Bima Brebes, Tajuk dan Bali Karet yang Disimpan pada Suhu Rendah. Dibimbing oleh Y. ARIS PURWANTO dan SOBIR.

Bawang merah sebagai komoditas hortikultura yang memiliki permintaan yang cukup tinggi diketahui sebagai bahan segar yang cepat mengalami penurunan mutu secara fisik maupun kimia. Teknik penanganan pascapanen yang tepat dibutuhkan agar mutu bawang merah tetap terjaga hingga ke tangan konsumen. Teknik pendinginan merupakan teknik yang sesuai untuk diaplikasikan dalam penyimpanan bawang merah. Salah satu cara penyimpanan yang dapat mempertahankan mutu bawang merah adalah dengan penyimpanan suhu rendah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa suhu penyimpanan yang optimum terhadap perubahan mutu bawang merah serta mengetahui respon varietas bawang merah pada suhu rendah selama penyimpanan.

Penelitian ini menggunakan rancangan petak terbagi (split plot) yang terdiri dari: Suhu Penyimpanan (S) sebagai petak utama yang terdiri (suhu 0 °C, 5 oC ) dengan RH 65-70% dan suhu ruang (25-32°C) RH ruang (52-88%). Varietas sebagai anak petak yang terdiri dari bawang merah varietas: (V1) Bima Brebes, (V2) Tajuk, dan (V3) Bali Karet. Parameter yang diamati adalah kadar air, susut bobot, kekerasan, kerusakan dan kandungan sulfur/volatile reducing substance

(VRS).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian perlakuan suhu dan varietas memberikan pengaruh terhadap kadar air, susut bobot, kekerasan, kerusakkan dan nilai sulfur/volatile reducing substance (VRS). Perlakuan atau kondisi penyimpanan dengan suhu 0 oC merupakan suhu terbaik yang dapat mempertahankan kualitas/mutu bawang merah hingga akhir penyimpanan dengan susut bobot 9.77%, 11.61% dan 10.16%, kekerasan 4.45 kgf, kerusakan 0% pada semua varietas dan nilai sulfur 0.43%. Varietas Bima Brebes menghasilkan nilai mutu terendah dengan kerusakan sebesar 35.81%. Susut bobot tertinggi pada suhu 5 oC sebesar 22.3% dan suhu ruang sebesar 37.22%.

(5)

SUMMARY

EKO PRIYANTONO. Quality Changes Shallot (Allium ascalonicum L.) varieties Bima Brebes, Tajuk and Bali Karet stored under low temperature. Supervised by Y. ARIS PURWANTO and SOBIR.

Shallot is classified as perishable product. Good postharvest handling is needed for keeping its freshness until to the consumer‟s hand. δow temperature storage is a commond method to maintain quality of perishable horticultural products. The objectives of this study were to analyze the optimum storage temperature and to analyze the effect of differents temperature storage on the changes in quality for shallot variety of Bima Brebes, Tajuk and Bali Karet.

This study used split plot randomized block design with storage temperatures (S)as main plot (0 and 5 oC; RH 65-70% and room temperature (25-32 oC; RH 52-88%)) for period storage of 3 months and shallot varieties as sub-plot (Bima Brebes (V1), Tajuk (V2), and Bali Karet (V3)), replications. The changes in quality parameters namely water content, weight loss, hardness, disorder, and sulphur/volatile reducing substance (VRS) were measured during storage period.

The result showed that temperatures and varieties in three replications have effect on the changes in water content, weight loss, hardness, disorder, and sulphur/volatile reducing substance (VRS) of shallot during storage. Temperature of 0 oC could maintain the quality of shallot up to 3 months with no disorder shallot bulb found for all varieties. The total weight loss after 3 monhts of storage were 9.77% (Bima Brebes), 11.61% (Tajuk), and 10.16% (Bali Karet), firmness and sulphur of shallot were 4.54 kgf and 0.43% for Bima Brebes. Bima Brebes showed the lowest quality with bulb disorder of 35.81%. The highest weight loss those were 5 oC (22.3%) and room temperature (37.22%).

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Pascapanen

PERUBAHAN MUTU BAWANG MERAH (

Allium ascalonicum

L.)

VARIETAS BIMA BREBES, TAJUK DAN BALI KARET YANG

DISIMPAN PADA SUHU RENDAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari hingga April 2016 ini ialah teknologi penyimpanan bawang merah (Allium ascalonicum L.) pada suhu rendah. Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Dr Ir Y. Aris Purwanto, MSc dan Prof Dr Ir Sobir, MS sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahannya kepada penulis.

2. Dr Ir Lilik Pujantoro, M.Agr selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan perbaikan kepada penulis.

3. Bapak Sulyaden dan Baskara E. Nugraha, STP selaku teknisi di Laboratorium TPPHP atas bantuan dan masukannya selama penelitian.

4. Ayahanda Pujianto dan Ibunda Ngasriani serta saudara penulis Hariyono dan Muh. Arief Irfani atas doa dan kasih sayangnya selama dalam proses studi. 5. Yusran, SP., MSc sekeluarga yang telah memberi semangat, motivasi dan

dukunganya kepada penulis selama menempuh studi baik secara moril maupun materil.

6. Teman-teman Teknologi Pascapanen angkatan 2014 yang telah memberikan kritikan, bantuan, saran dan semangat kepada penulis.

Akhir kata, penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan ilmu serta penerapan pembelajaran, khususnya bagi Program Studi Teknologi Pascapanen, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Hipotesis Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 4

Bawang Merah (Alliumascalonicum L.) 4

Mutu Bawang Merah 4

Komposisi Kimia Bawang Merah 5

Varietas Bawang Merah 5

Bima Brebes 5

Tajuk 5

Bali Karet 6

Pemanenan Bawang Merah 6

Pelayuan dan Pengeringan (Curring) 7

Sortasi 7

Penyimpanan Suhu Rendah 7

Perubahan Mutu Bawang Merah selama Penyimpanan 8

Kadar Air 8

Susut Bobot 8

Kekerasan 8

Kerusakan (Daya Berkecambah dan Munculnya Akar) 9

Kadar Sulfur 9

METODE 10

Waktu dan Tempat Penelitian 10

Bahan dan Alat 10

Prosedur Penelitian 10

Penyiapan Umbi Bawang Merah 10

Penyimpanan Umbi Bawang Merah 10

Rancangan Percobaan 12

(12)

Kadar Air 14

Kadar Air Metode Oven (AOAC 2005) 14

Susut Bobot 14

Kekerasan Bahan 14

Kadar Nilai Sulfur 15

Persentase Kerusakan 15

HASIL DAN PEMBAHASAN 16

Perubahan Kualitas Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) selama

penyimpanan 16

Kadar Air 16

Susut Bobot 17

Kekerasan 20

Kerusakan 22

Kadar Sulfur 26

Aklimatisasi 27

SIMPULAN DAN SARAN 29

Simpulan 29

Saran 29

DAFTAR PUSTAKA 30

LAMPIRAN 33

RIWAYAT HIDUP 51

DAFTAR TABEL

1 Syarat mutu bawang merah sesuai dengan SNI 013159-1992a 4 2 Persyaratan mutu bawang merah sesuai dengan permintaan pasara 4

3 Senyawa volatil bawang merah 5

4 Kadar air bawang merah selama penyimpanan 16

5 Presentasi susut bobot (%) bawang merah selama penyimpanan

pada masing-masing perlakuan minggu ke 0, 2 dan 10 19 6 Presentasi susut bobot (%) bawang merah selama penyimpanan

pada interaksi suhu dan varietas minggu 0, 4, 6, 8 dan 12 20 7 Nilai kekerasan (kgf) bawang merah selama penyimpanan pada

masing-masing perlakuan minggu ke 8,10 dan 12 22 8 Nilai kekerasan (kgf) bawang merah selama penyimpanan pada

interaksi suhu dan varietas minggu ke 2,4 dan 6 22 9 Presentasi kerusakan (%) bawang merah selama penyimpanan pada

minggu ke 8 dan 12 25

10 Pengaruh interaksi suhu dan varietas terhadap presentasi kerusakan bawang merah selama penyimpanan minggu ke-2, 4, 6, dan 10 26 11 Hasil aklimatisasi suhu 0 dan 5 oC pada suhu 13 oC dan suhu ruang

(13)

12 Hasil aklimatisasi bawang merah perlakuan varietas pada suhu 13 oC

3 Varietas bawang merah yang digunakan dalam penelitian (a) Varietas Bali Karet (b) Varietas Bima Brebes dan (c) Varietas Tajuk 11

4 Diagram alir penelitian 13

5 Grafik perubahan kadar air bawang merah pada berbagai perlakuan

suhu dan varietas selama penyimpanan 17

6 Grafik perubahan susut bobot bawang merah pada berbagai perlakuan

suhu dan varietas selama penyimpanan 18

7 Perubahan tingkat kekerasan bawang merah selama penyimpanan pada

berbagai perlakuan suhu dan varietas 21

8 Presentasi kerusakan busuk atau jamur bawang merah pada berbagai perlakuan suhu dan varietas selama penyimpanan 24 9 Presentasi kerusakan hampa atau keropos bawang merah pada berbagai

perlakuan suhu dan varietas selama penyimpanan 24 10 Presentasi kerusakan bertunas dan berakar bawang merah pada

berbagai perlakuan suhu dan varietas selama penyimpanan 24 11 Presentasi total kerusakan bawang merah pada berbagai perlakuan suhu

dan varietas selama penyimpanan 25

12 Grafik kadar sulfur bawang merah selama penyimpanan pada berbagai

perlakuan 27

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tabel fluktuasi suhu dan RH selama penyimpanan 34 2 Capaian suhu dalam umbi bawang merah selama penyimpanan 34

3 Grafik fluktuatif suhu selama penyimpanan 34

4 Grafik fluktuatif kelembaban (RH) selama penyimpanan 35 5 Gambar kerusakan yang terjadi pada bawang merah selama

penyimpanan (a) busuk (b) hampa (c) bertunas (d) berakar 35 6 Tabel pengukuran dan perhitungan kadar air umbi bawang merah

selama penyimpanan setiap perlakuan 36

7 Hasil analisis sidik ragam kadar air selama penyimpanan

37 8 Tabel pengukuran dan perhitungan susut bobot umbi bawang merah

selama penyimpanan setiap perlakuan 38

9 Hasil analisis sidik ragam susut bobot selama penyimpanan 40 10 Tabel pengukuran dan perhitungan kekerasan umbi bawang merah

(14)

11 Hasil analisis sidik ragam kekerasan selama penyimpanan 42 12 Tabel perhitungan kerusakan bawang merah selama penyimpanan 43 13 Hasil analisis sidik ragam kerusakan selama penyimpanan 44 14 Tabel hasil perhitungan kadar air aklimatisasi suhu 13 oCselama 10

hari 45

15 Tabel hasil perhitungan kadar air aklimatisasi suhu ruang selama 10

hari 45

16 Hasil analisis sidik ragam kadar air aklimatisasi suhu 13 oCselama 10

hari 46

17 Hasil analisis sidik ragam kadar air aklimatisasi suhu ruangselama 10

hari 46

18 Tabel hasil perhitungan susut bobot aklimatisasi suhu 13 oCselama 10

hari 46

19 Tabel hasil perhitungan susut bobot aklimatisasi suhu ruangselama 10

hari 47

20 Hasil analisis sidik ragam susut bobot aklimatisasi suhu 13 oCselama

10 hari 47

21 Hasil analisis sidik ragam susut bobot aklimatisasi suhu ruangselama

10 hari 47

22 Tabel hasil perhitungan kekerasan aklimatisasi suhu 13 oC selama 10

hari 48

23 Tabel hasil perhitungan kekerasan aklimatisasi suhu 13 oC selama 10

hari 48

24 Hasil analisis sidik ragam kekerasan aklimatisasi suhu 13 oC selama 10

hari 48

25 Hasil analisis sidik ragam kekerasan aklimatisasi suhu 13 oC selama 10

hari 48

26 Tabel hasil perhitungan kerusakan aklimatisasi selama 13 oC 10 hari 49 27 Tabel hasil perhitungan kerusakan aklimatisasi selama ruang 10 hari 49 28 Hasil analisis sidik ragam kerusakan aklimatisasi suhu 13 o C selama 10

hari 50

29 Hasil analisis sidik ragam kerusakan aklimatisasi suhu ruang selama 10

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas hortikultura yang biasa digunakan sebagai penyedap masakan, bahan baku industri makanan, obat-obatan dan disukai karena aroma dan rasanya yang khas. Selain itu bawang merah merupakan sumber vitamin B, C, kalium, fosfor, dan mineral. Konsumsi bawang merah penduduk Indonesia sejak tahun 1993-2012 menunjukkan perkembangan yang fluktuatif namun relatif meningkat. Konsumsi rata-rata bawang merah untuk tahun 1993 adalah 1.33 kg/kapita/tahun dan pada tahun 2012 konsumsi bawang merah telah mencapai 2.76 kg/kapita/tahun (Dirjen Holtikultura 2013).Tingkat konsumsi bawang merah tertinggi terjadi pada 2007 yang mencapai 3.01 kg/kapita/tahun dengan volume total permintaan bawang merah mencapai 901.102 ton, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2013 sebesar 2.06 kg/kapita/tahun (Badan Pusat Statistik 2013). Peningkatan konsumsi bawang merah diprediksikan masih akan terjadi pada tahun 2016 sehingga menjadi sebesar 2.30 kg/kapita/tahun atau naik 0.04% dibandingkan tahun 2015. Tahun 2015 besarnya konsumsi bawang merah sekitar 0.44 kg/kapita/minggu atau 2.30 kg/kapita/tahun atau naik 0.04% dari tahun 2014 (Kementan 2014).

Bawang merah merupakan tanaman musiman dengan produksi yang sangat melimpah pada bulan April–Oktober (on season). Namun pada bulan Januari– Maret diluar musim tanam (off season) produksi bawang merah menurun, sedangkan kebutuhan bawang merah di kota-kota besar semakin meningkat. Kondisi ini menyebabkan ketersediaan bawang merah menjadi tidak merata sehingga harga bawang merah berfluktuasi. Produksi bawang merah cenderung melimpah pada waktu-waktu tertentu (pada saat panen raya) sehingga menyebabkan bawang merah relatif murah dan sebaliknya pada waktu diluar musim penen harganya cukup tinggi (Darmawidah et al. 2010). Bawang merah dikategorikan ke dalam umbi lapis yang mengalami kekeringan pada lapisan terluarnya, yang kemudian mengelupas. Lapisan ini mudah sekali mengalami susut bobot sekitar 25 % selama penyimpanan terutama di daerah tropis. Bawang merah yang disimpan pada suhu rendah di daerah sub-tropis mengalami susut bobot sebesar 17 % (Komar et al. 2001).

Penanganan pascapanen yang tepat perlu dipahami untuk mengurangi tingginya persentase kerusakan sehingga tetap segar sampai ke tangan konsumen. Pascapanen bawang merah memerlukan penanganan khusus, karena bawang merah mudah rusak dan sulit dipertahankan dalam bentuk segar. Hasil panenan bawang merah dalam bentuk segar memicu proses perubahan yang diakibatkan oleh proses fisiologi, biologi dan mikrobiologi (Maskar et al. 1999).

(16)

2

Metode penyimpanan yang diterapkan pada bawang merah juga berpengaruh terhadap mutu bawang merah. Penyimpanan bawang merah yang umum dilakukan di Indonesia adalah secara tradisional pada suhu 25-30 oC dengan RH 70%. Penelitian Mutia et al. (2015) penyimpanan bawang merah pada suhu 5 oC, 10 oC dan suhu ruang (25-32 oC) dengan kadar air yang berbeda (76 %, 80% dan 85 %), hasil terbaik ditunjukkan oleh kondisi penyimpanan dengan kadar air awal 80% pada suhu 5 oC, pada kondisi tersebut menghasilkan mutu akhir yaitu susut bobot sebesar 12.49% dengan perubahan kadar air dari 80.73% menjadi 78.32%, tingkat kerusakan sebesar 1.71%, perubahan kekerasan dari 4.02 N menjadi 3.49 N dan perubahan VRS dari 26.26 μEq g-1 menjadi 23.35 μEq g-1

. Bawang merah juga disimpan dengan cara non-tradisional, yaitu dengan teknologi pendinginan. Kondisi yang ideal untuk cara ini adalah udara dengan suhu 0 °C dan RH antara 60-70 % (Hall 1980). Penyimpanan bawang Bombay komersil dengan dalam skala besar pada umumnya dilakukan dengan lemari pendingin (refrigerator). Penyimpanan yang direkomendasikan adalah pada suhu 0 o

C dengan RH 70-75%. Selama penyimpanan dilakukan monitoring suhu dan RH sehingga dapat mengetahui fluktuasi yang signifikan pada suhu lingkungan (FAO 2003).

Varietas merupakan salah satu faktor yang menentukan daya simpan bawang merah. Varietas memiliki ciri dan sifat yang berbeda antara varietas yang satu dengan yang lain. Varietas adalah sekumpulan individu tanaman yang dapat dibedakan oleh setiap sifat (morfologi, fisiologi, sitologi, kimia) yang nyata untuk usaha pertanian dan bila diproduksi kembali akan menunjukkan sifat-sifat yang dapat dibedakan dari lainnya (Jasmi et al. 2013).

Namun, belum ada penelitian yang melaporkan mengenai penyimpanan bawang merah pada beberapa varietas. Kondisi penyimpanan bawang merah dengan suhu rendah saat ini masih terus dilakukan untuk mendapatkan suhu optimum yang mampu menjaga mutunya. Oleh karena itu diperlukan upaya/usaha penanganan pascapanen yang baik untuk memperpanjang masa simpan dan meningkatkan nilai ekonomis bawang merah tersebut setelah dipanen maka metode penyimpanan dengan suhu rendah yang optimal menjadi alternatif sehingga dapat mempertahankan mutu bawang merah selama penyimpanan.

Perumusan Masalah

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah komoditas pertanian yang memiliki permintaan yang cukup tinggi. Hal ini ditunjukan dengan tingginya konsumsi bawang merah di Indonesia yang semakin meningkat, hal ini menjadikan komoditas ini sebagai kebutuhan sehari-hari baik dalam skala rumah tangga maupun usaha. Bawang merah merupakan komoditas hortikultura yang mudah mengalami kerusakan dan bersifat musiman sehingga sering menyebabkan fluktuasi harga dipasar.

(17)

3 memenuhi kebutuhan bawang merah secara kontinyu dengan mutu yang baik dan masih diterima oleh konsumen dipasar.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk menganalisa suhu penyimpanan yang terbaik terhadap perubahan mutu bawang merah (Allium ascolanicum L.) selama penyimpanan. Menganalisa pengaruh suhu pada beberapa varietas bawang merah terhadap perubahan mutu selama penyimpanan.

Hipotesis Penelitian

1. Terdapat pengaruh perlakuan suhu rendah terhadap mutu varietas bawang merah selama penyimpanan.

2. Terdapat pengaruh perlakuan suhu rendah yang berguna mengurangi penurunan mutu umbi selama penyimpanan.

3. Terdapat interaksi antara varietas dan suhu rendah yang mempengaruhi penurunan mutu selama penyimpanan.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu:

1. Memperoleh suhu penyimpanan yang terbaik untuk bawang merah sehingga dapat mengurangi penurunan mutu dari bawang merah yaitu susut bobot, kekerasan, kerusakan serta kadar nilai sulfur/VRS (Volatile Reducing Subtance).

(18)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Bawang Merah (Alliumascalonicum L.)

Bawang merah merupakan tanaman semusim yang berbentuk rumput, berbatang pendek dan berakar serabut, tinggi dapat mencapai 15-20 cm dan membentuk rumpun. Akarnya berbentuk akar serabut yang tidak panjang. Jumlah perakaran tanaman bawang merah dapat mencapai 20-200 akar, dengan diameter bervariasi antara 0.5-2 mm. Bentuk daun tanaman bawang merah seperti pipa, yakni bulat kecil memanjang antara 50-70 cm, berlubang, bagian ujungnya meruncing, berwarna hijau muda sampai hijau tua dan letak daun melekat pada tangkai yang ukurannya relatif pendek. Pangkal daunnya dapat berubah fungsi seperti menjadi umbi lapis (Hapsoh dan Hasanah 2011).

Mutu Bawang Merah

Bawang merah yang bermutu baik terlihat dari kualitas visual setelah dipanen dan sesuai dengan standar nasional maupun standar pasar tradisional. Berdasarkan SNI bawang merah ( SNI 01–3159-1992), persyaratan mutu bawang merah digolongkan ke dalam dua jenis mutu yaitu mutu I dan mutu II (Tabel 1). Selain syarat mutu menurut SNI, segmen pasar juga menetapkan standar mutu untuk bawang merah menjadi beberapa kelas (Tabel 2).

Tabel 1 Syarat mutu bawang merah sesuai dengan SNI 013159-1992a

Karakteristik Syarat

Mutu I Mutu II

Varietas Seragam Seragam

Ketuaan Tua Cukup tua

Kekerasan Keras Cukup keras

Diameter Min. 1.7 cm Min. 1.3 cm

Tabel 2 Persyaratan mutu bawang merah sesuai dengan permintaan pasara

Kriteria Kelas Mutu

Mutu I Mutu II

Ukuran diameter umbi besar, diameter >2.5 cm kecil, diameter 1.5-2.5 Warna umbi merah ungu sampai putih merah ungu sampai

(19)

5

Komposisi Kimia Bawang Merah

Bawang merah mengandung minyak atsiri yang terdiri atas dialilsulfida, propantiol-S-oksida, S-Alil-L-Sistein-sulfoksida atau Aliin, prostaglandin A-1, difenilamina dan sikloaliin, metilaliin, dihidroaliin, kaemferol dan foroglusinol (Paris dan Moyse 1981). Beberapa famili Allium telah digunakan secara luas sebagai makanan pokok atau bahan masakan. Bawang iris segar (Allium cepa L.) menyebabkan mata perih selama proses pemotongan dan muncul aroma khas. Mata perih dan aroma khas ini disebabkan oleh senyawa volatile dan bahan sulfur reaktif yang dilepaskan setelah struktur sel bawang pecah. Proses pengirisan menyebabkan jaringan bawang rusak, sehingga meningkatkan karakteristik aroma sulfur (Lokke et al. 2012). Kandungan senyawa volatil bawang merah tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Senyawa volatil bawang merah

Senyawa Jumlah

Varietas ini berasal dari daerah lokal Brebes. Umur tanaman 60 hari setelah tanam. Tanaman berbunga pada umur 50 hari. Tinggi tanaman 25-44 cm. Tanaman agak sukar berbunga. Banyaknya anakan 7-12 umbi per rumpun. Bentuk daun berbentuk silinder berlubang. Warna daun hijau, jumlah daun berkisar 14-50 helai. Bentuk bunga seperti payung. Warna bunga berwarna putih. Banyak buah per tangkai 60-100 (83). Banyaknya bunga per tangkai 120-160 (143). Banyaknya tangkai bunga per rumpun 2-4. Bentuk biji bulat, gepeng dan berkeriput. Warna biji hitam. Bentuk umbi lonjong bercincin kecil pada leher cakram. Warna umbi merah muda. Produksi umbi 9.9 ton ha-1. Susut bobot umbi (basah-kering) 21.5%. Cukup tahan terhadap penyakit busuk umbi (Botrytis alli). Peka terhadap penyakit busuk ujung daun (Phytophthora porri). Baik untuk dataran rendah (Putrasamedja dan Suwandi 1996).

Tajuk

(20)

6

per umbi: 5–12 gram, daya simpan (suhu) 27-30 oC: 3–4 bulan setelah panen, susut bobot umbi: 22–25%, penciri utama: warna daun hijau muda (Light Green

41 RHS 141 D), bentuk umbi bulat dengan diameter terluas mendekati ujung akar, warna umbi merah muda (Pink RHS 64 D).

Keunggulan varietas: beradaptasi dengan baik pada musim kemarau dan tahan terhadap hujan, memiliki aroma yang sangat tajam, sehingga cocok digunakan sebagai bahan baku bawang goreng. Wilayah adaptasi: sesuai di dataran rendah di Kabupaten Nganjuk. Varietas ini sedang diusulkan untuk pendaftaran varietas hortikultura nasional (PKHT IPB 2015).

Bali Karet

Bali Karet merupakan salah satu varietas yang banyak di budidayakan didaerah jawa tengah. Varietas ini memiliki ukuran yang relatif besar bila dibandingkan dengan bawang merah varietas lainya. Berdasarkan Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat hasil produksi bawang merah varietas Bali Karet mencapai 11–12 ton ha-1 (Purbati 2012). Varietas ini banyak dibudidayakan didaerah Bantul, Yogyakarta.

Pemanenan Bawang Merah

Bawang merah dapat dipanen setelah umurnya cukup tua, biasanya pada umur 60-70 hari. Tanaman bawang merah dipanen setelah terlihat tanda-tanda 60% leher batang lunak, tanaman rebah dan daun menguning. Pemanenan sebaiknya dilaksanakan pada keadaan tanah kering dan cuaca yang cerah untuk mencegah serangan penyakit busuk umbi di gudang. Pemanenan memegang peranan penting untuk memperoleh mutu dan kuantitas bawang merah bawang merah yang baik. Nugraheni (2004) menyatakan bahwa bawang merah memiliki umur panen yang berbeda-beda tergantung varietasnya dan tujuan dari penggunaan umbi bawang merah tersebut, umumnya tanaman bawang merah akan dipanen setelah berumur 60-90 hari setelah tanam.

Bawang merah yang sudah dipenen kemudian diikat pada batangnya untuk mempermudah penanganan. Selanjutnya umbi dijemur hingga cukup kering (1-2 minggu) di bawah sinar matahari langsung kemudian dilakukan dengan pengelompokan (grading) sesuai dengan ukuran umbi. Pada penjemuran tahap kedua dilakukan pembersihan umbi bawang dari tanah dan kotoran. Bila sudah cukup kering (kadar air kurang lebih 80 %), umbi bawang merah siap dipasarkan atau disimpan di gudang kemasan bawang. Pengeringan juga dapat dilakukan dengan alat pengering khusus sampai mencapai kadar air 80% (Nugraheni 2004).

(21)

7

Pelayuan dan Pengeringan (Curring)

Bawang merah yang telah dipanen kemudian dilakukan proses pelayuan dan pengeringan untuk mengurangi kadar air yang terkadung pada umbi bawang merah. Proses pelayuan yang dilakukan sebelum pengeringan bertujuan untuk menghasilkan warna kulit yang lebih cerah serta membentuk lapisan epidermis untuk menutupi luka pada kulit umbi yang disebabkan oleh goresan selama proses pemanenan. Hal ini juga untuk mencegah kerusakan umbi akibat busuk atau serangan penyakit. Cara yang dapat ditempuh untuk mengeringkan bawang merah yaitu dengan penjemuran dan menggunakan teknologi sistem pengeringan dan penyimpanan (instore drying) (Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi 2010).

Proses pengeringan mekanik dapat dilakukan menggunakan alat pengering seperti cabinet dryer, kipas, ruang pengering berventilasi tanpa sumber panas buatan dan ruang berpembangkit Vorteks. Pengeringan berpengaruh terhadap mutu dan daya simpan umbi bawang merah. Dengan pengeringan buatan, bahan yang dikeringkan akan lebih seragam mutunya, prosesnya cepat serta terhindar dari bahan asing yang tidak diinginkan (Histifarina et al. 1998).

Sortasi

Sortasi merupakan proses pemisahan dan penggolongan tingkat kebagusan dan keseregaman hasil. Sortasi dapat dilakukan dengan prinsip-prinsip pemisahan, seperti beda ukuran berat, beda ukuran bentuk, beda sifat permukanan, beda bobot jenis, beda warna, dan beda tingkat kematangan/kemasakan. Pembersihan bawang merah merupakan kegiatan menghilangkan kotoran yang menempel pada umbi seperti tanah dan akar serta memperoleh umbi yang berkualitas baik. Sedangkan kegiatan sortasi dilakukan untuk memisahkan antara umbi yang baik (bernas, tidak cacat fisik atau busuk, berukuran seragam) dengan umbi yang jelek, rusak atau busuk (Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi 2010).

Penyimpanan Suhu Rendah

Permasalahan yang sering dihadapi saat ini adalah cara penyimpanan setelah proses pascapanen dilakukan, dengan menunggu hingga bawang dipasarkan pada saat yang tepat. Penyimpanan ini pada hakekatnya memerlukan kondisi yang tepat untuk penyimpanan umbi bawang merah sehingga tidak mengalami penurunan mutu dan kuantitas dari umbi bawang merah yang disimpan.

(22)

8

Perubahan Mutu Bawang Merah selama Penyimpanan

Kadar Air

Kadar air adalah banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang dinyatakan dalam persen. Kadar air merupakan salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan citarasa pada bahan pangan. Dalam penelitian ini pengukuran kadar air dilakukan dengan metode oven (Nugraha 2007). Kadar air dalam bahan pangan sangat menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut. Kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Winarno 1997).

Susut Bobot

Selama proses penyimpanan dilakukan bawang merah masih tetap melakukan proses metabolisme. Proses yang masih akif dilakukan adalah respirasi, saat proses ini berlangsung terjadi reaksi kimia enzimatis yang merombak pati, gula, protein, lemak, asam-asam organik dan senyawa kompleks lainya menjadi energi yang lebih sederhana (H2O dan CO2). Air dan karbondioksida ini kemudian dilepas ke udara dalam bentuk uap dan gas, dengan pelepasan ini maka terjadi penurunan susut bobot pada umbi bawang merah yang disimpan (Rustini dan Prayudi 2011).

Terjadinya susut bobot selama penyimpanan adalah parameter mutu yang mencerminkan tingkat kesegaran. Semakin tinggi susut bobot, maka produk tersebut semakin berkurang tingkat kesegarannya. Peningkatan susut bobot bawang merah menjadi meningkat pada suhu yang lebih tinggi karena respirasi yang terjadi lebih tinggi. Rachmawati et al. (2009) menyatakan bahwa peningkatan suhu penyimpanan menyebabkan proses transpirasi semakin meningkat sehingga penguapan yang terjadi cukup besar yang mengakibatkan laju kehilangan air meningkat.

Penyusutan juga akibat adanya respirasi dari umbi bawang itu sendiri. Hilangnya bobot umbi bibit tersebut juga seiring dengan peningkatan temperatur dalam penyimpanan. Kenaikan susut bobot tidak bisa lepas dari kelembaban (RH) lingkungan dan lama umbi bawang disimpan (Rustini dan Prayudi 2011). Susut bobot merupakan pengurangan bobot atau berat bawang merah selama proses penyimpanan. Persentase susut bobot selama penyimpanan digunakan untuk memprediksi nilai tambah yang diperoleh selama penyimpanan (Musaddad 1998).

Kekerasan

Kekerasan didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan deformasi tertentu. Pada beberapa komoditas pertanian kekerasan menjadi salah satu penentu tingkat kesegaran bahan. Tekstur (kekerasan) sayuran seperti halnya tekstur buah-buahan atau tanaman lainnya dipengaruhi oleh turgor dari sel-selnya yang masih hidup karena turgor berpengaruh terhadap keteguhan sel-sel parenkhim (Muchtadi 1992).

(23)

9 disimpan menyebabkan ketegaran berkurang. Berkurangnya ketegaran disebabkan oleh berubahnya pektin yang tidak larut (protopektin) menjadi pektin yang larut. Sanny (2008) menjelaskan bahwa protopektin merupakan bentuk dari zat pektan yang tidak larut dalam air. Protopektin dirombak menjadi zat dengan berat molekul yang lebih rendah sehingga menyebabkan dinding sel lunak serta menurunkan daya kohesi antar sel.

Kerusakan (Daya Berkecambah dan Munculnya Akar)

Maemunah (2010) menyatakan bahwa secara fisiologi pengertian perkecambahan adalah perkembangan struktur-struktur penting embrio benih hingga munculnya akar yang menembus kulit benih. Proses metabolisme perkecambahan benih ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik yang berpengaruh terhadap perkecambahan benih adalah sifat dormansi dan komposisi kimia benih. Menurut Soedomo (2006), faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkecambahan benih adalah air, gas, suhu dan cahaya. Penyimpanan bawang pada suhu rendah (0–7.5 0C) dan suhu tinggi (25–30 0C) dengan kelembaban (RH) lingkungan 65–75 % dapat menunda pertunasan bawang merah.

Kelembaban merupakan salah satu penyebab munculnya akar pada bawang merah. Kelembaban udara yang tinggi mendorong perkembangan mikroorganisme serta memicu pertunasan. Selain itu, proses pertumbuhan tunas mengurangi nutrisi didalam bawang merah. Pada kelembaban yang terlalu rendah penguapan air dari umbi melambat sehingga terjadi penurunan bobot (Denelia 1995). Justice (2002) menyatakan bahwa pada suhu (32 0C), RH (90%) dan kadar air yang tinggi, benih

ascalonicum menghasilkan viabilitas 0% dalam waktu kurang dari tiga bulan. Menurut Anshar et al. (2011) bawang merah yang baru dipanen mengandung kadar air yang cukup tinggi, oleh karena itu perlu disimpan sebelum dikecambahkan agar kadar airnya dapat menurun. Umbi bawang merah yang belum matang atau belum terbentuk sempurna akan kempes, sehingga semakin lama bawang merah disimpan, maka bobotnya semakin menurun. Benih bawang merah yang disimpan selama 60 hari kadar airnya menurun hingga 74% dengan nilai susut 60%, namun daya berkecambah makin baik sekitar 99%, diikuti dengan peningkatan volume akar dan bobot kering benih.

Kadar Sulfur

Sulfur atau yang lebih dikenal dengan Volatile Reducing Substance (VRS) merupakan zat-zat yang mudah menguap dalam suatu bahan atau produk dan mudah direduksi. Contoh sulfur diantaranya adalah profilsulfur, profenilsulfur, dan aldehid (asetaldehid dan propanoldehid). Senyawa sulfur pada tanaman dari genus Allium menghasilkan rasa dan aroma yang sangat kuat (Fennema 1996), berperan dalam menentukan aroma khas dan rasa dari tanaman bawang merah serta sebagian dari sifat biologis tanaman tersebut (Godevac et al. 2008).

(24)

10

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Laboratorium Pengujian Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor, pada bulan Januari-April 2016.

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan pada penelitian adalah bawang merah varietas Bima Brebes, Tajuk, dan Bali Karet dengan umur 60 HST (hari setelah tanam), kemasan rajut plastik dan kemasan plastik klip. Bahan kimia yang digunakan adalah HNO3, HClO4, BaCL2, kapur (CaCO3) dan silika gel.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah refrigerator (Mitsubishi) untuk penyimpanan bawang pada suhu 0 oC dan 5 oC, jangka sorong, termometer, hygrometer (Opus 10) untuk pengukuran RH, oven (Izuzu), timbangan analitik (Adam PW 184 dan mettle PM 4800), rheometer (CR-300) untuk pengujian kekerasan bawang dan alat analisa Atomic Absorbtion Spectrophotometer (AAS).

Prosedur Penelitian

Penyiapan Umbi Bawang Merah

Bawang merah yang sudah dipanen diberikan perlakuan curing dan pengeringan selama 14 hari. Kemudian dilakukan pengangkutan transportasi darat dari Brebes menuju ke tempat penelitian (Bogor, Dramaga) dengan lama perjalanan ±18-48 jam. Saat bawang merah sampai di tempat penelitian bawang kemudian diukur kadar airnya, jika kadar airnya masih tinggi maka dilakukan penurunan kadar air bawang merah hingga kadar air 78-82 %.

Penyimpanan Umbi Bawang Merah

(25)

11

(a) (b)

Gambar 1 Sortasi (a) dan pengemasan (b) umbi bawang merah berdasarkan ukurannya (diameter)

(a) (b)

Gambar 2 Penyimpanan umbi bawang merah pada suhu rendah (a) dan suhu ruang (b)

Gambar 3 Varietas bawang merah yang digunakan dalam penelitian (a) Varietas Bali Karet (b) Varietas Bima Brebes dan (c) Varietas Tajuk

(26)

12

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan petak terbagi (split plot) yang terdiri dari:

1. Suhu Penyimpanan (S) sebagai petak utama yang terdiri atas: S0 = penyimpanan pada suhu 0oC RH 65-70%

S5 = penyimpanan pada suhu 5oC RH 65-70%

SR = penyimpanan pada suhu ruang (25-32 oC) RH ruang (52-88%) 2. Varietas bawang merah (V) sebagai anak petak yang terdiri atas:

V1 = Bawang Merah Varietas Bima Brebes V2 = Bawang Merah Varietas Tajuk V3 = Bawang Merah Varietas Bali Karet

Dari perlakuan tersebut maka diperoleh 3x3 = 9 kombinasi, dengan menggunakan 3 ulangan sehingga terdapat 3x9 = 27 unit percobaan. Setiap unit percobaan menggunakan bawang (umbi) seberat 2 kg, sehingga bawang (umbi) yang dibutuhkan sebanyak 27x2 kg = 54 kg.

Model Rancangan yang digunakan adalah:

Yijk= μ + Kk+ αi+ βj + ik + (αβ)ij+ ijk (1) Keterangan

Yijk : nilai pengamatan pada suhu penyimpanan ke-i, varietas bawang merah ke-j dan ulangan ke-k

μ : nilai rataan umum Kk : pengaruh kelompok ke-k

αi : pengaruh utama suhu penyimpanan ke-i

ik : pengaruh pengacakan varietas bawang merah pada perlakuan suhu penyimpanan

βj : pengaruh perlakuan varietas bawang merah ke-j

(αβ)ij : pengaruh interaksi perlakuan suhu penyimpanan ke-i dan varietas bawang merah ke-j

ijk : pengaruh pengacakan pada anak petak

Data dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA) menggunakan

(27)

13

Gambar 4 Diagram alir penelitian Bawang merah umur 60 HST

Varietas Bima Brebes Varietas Tajuk Varietas Bali Karet

Curring dan pengeringan selama 14 hari dengan kadar air ± 82%

Penyortiran dan pembersihan

Ukuran (Besar, Sedang, Kecil)

Bawang merah dikemas 2 kg dalam rajut plastik

Penyimpanan pada suhu 0 oC RH 65-70 %

Penyimpanan pada suhu 5 oC RH 65-70 %

Penyimpanan pada SR (25-30 oC) RH 50-70%)

Penyimpanan selama 3 bulan

Pengamatan: Kadar air Susut bobot Tingkat kekerasan

Kadar sulfur Tingkat kerusakan

(28)

14

Parameter Pengamatan

Kadar Air

Proses pengukuran dan pengamatan terhadap kadar air diawali dengan penimbangan massa awal bahan dan ditata di atas wadah yang telah diketahui beratnya. Wadah sampel yang akan ditentukan kadar airnya ditempatkan pada masing-masing rak. Posisi wadah sampel berada di tengah-tengah rak. Perubahan kadar air setiap jam didapatkan hanya dengan menimbang wadah sampel pada selang waktu tertentu. Setelah penimbangan, wadah sampel ditempatkan kembali ke dalam rak pada kedudukan semula.

Untuk mengukur perubahan kadar air bahan, kadar air awal bahan telah ditentukan dengan metode oven. Pengukuran kadar air selama proses pengeringan berlangsung dihitung berdasarkan komponen massa berikut:

Kadar air =

(2)

Keterangan:

Wa = masa bahan (g)

Wd = massa padatan bahan (g)

Kadar Air Metode Oven (AOAC 2005)

Sampel bawang ditimbang sebanyak 5 g kemudian ditaruh dalam cawan aluminium yang telah diketahui bobot keringnya. Selanjutnya cawan yang telah berisikan sampel, dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C hingga berat mencapai konstan. Sebelum ditimbang, cawan didinginkan dalam desikator selama 15 menit. Perhitungan kadar air ditentukan dengan rumus:

Kadar air (%bb)

(3)

Keterangan:

Ba = berat cawan dan sampel akhir (g) Bb = berat cawan (g)

Bc = berat sampel awal (g)

Susut Bobot

Susut bobot pada penelitian ini dinyatakan dalam persen dan diperoleh dengan cara menimbang bobot awal dan bobot akhir, kemudian dimasukkan dalam persamaan berikut:

Susut bobot =

(4)

Kekerasan Bahan

(29)

15 dengan kecepatan jarum sebesar 60 mm/menit. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali ulangan pada masing-masing sampel dan kemudian dirata-ratakan nilainya. Nilai dari rheometer akan berupa massa (N).

Kadar Nilai Sulfur

Umbi bawang ditimbang sebanyak 0.5 g kemudian dimasukkan ke dalam tabung digest, ditambah 5 ml asam nitrat p.a dan 0.5 ml asam perklorat p.a kemudian didiamkan selama 24 jam. Selanjutnya dipanaskan pada suhu 100 oC selama 1.5 jam, dan suhu ditingkat menjadi 150 oC selama 2.5 jam hingga uap berwarna kuning dan hilang. Setelah uap kuning habis, suhu ditingkatkan menjadi 170 oC selama 1 jam hingga terbentuk uap putih. Proses destruktif selesai apabila terbentuk endapan putih atau sisa larutan jernih sebanyak 0.5 ml. Ekstrak ini kemudian didinginkan dan diencerkan dengan air bebas ion menjadi 50 ml, kemudian dikocok hingga homogen dan dibiarkan selama 24 jam.

Ekstrak jernih digunakan untuk pengukuran unsur makro: P, K, Ca, Mg, Na, dan S, kemudian unsur-unsur mikro: Fe, Al, Mn, Cu, Zn, dan B. Pengukuran S dilakukan dengan mempipet masing-masing 1 ml ekstrak dan deret standar S ke dalam tabung kimia ditambahkan 7 ml asam campur dan 2.5 ml larutan BaCl2 kemudian dihomogenkan di dalam tabung pengocok. Diamkan selama 30 menit kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 4.94 nm dihitung menggunakan rumus:

Kadar S (%) =

(5)

Keterangan:

S = Kadar sulfur (%) Dk = Deret standar S (ppm) Bs = Bobot sampel (mg)

fk = Faktor koreksi kadar air (%) fp = Faktor pengencer

Persentase Kerusakan

Kerusakan umbi bawang merah pada penelitian ini adalah umbi busuk/jamur, umbi hampa dan umbi tunas. Persentase kerusakan pada penelitian ini dinyatakan dalam persen yang diperoleh dengan menghitung banyaknya bawang yang mengalami kerusakan dan banyak bawang yang disimpan, kemudian dimasukkan dalam persamaan:

Kerusakan =

(30)

16

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan Kualitas Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) selama penyimpanan

Penyimpanan merupakan salah satu cara untuk mengatasi jumlah panen yang melimpah pada saat panen raya bawang merah. Penyimpanan yang baik dibutuhkan untuk menjaga mutu bawang merah setelah dipanen dari lahan pertanian. Kondisi penyimpanan bawang merah secara tradisional dinilai memiliki dampak penurunan mutu yang cukup besar, maka diperlukan cara untuk menjaga mutu bawang merah tetap baik. Perubahan kualitas bawang merah dipengaruhi oleh suhu pada saat penyimpanan, terutama suhu yang sangat tinggi. Selain itu perubahan mutu bawang merah juga dipengaruhi oleh varietas yang disimpan pada saat panen. Pada penelitian ini faktor suhu dan varietas dianggap dapat memberikan pengaruh terhadap perubahan kualitas bawang merah yang terdiri dari kadar air, susut bobot, kekerasan, kerusakan, dan kandungan sulfur.

Kadar Air

Interaksi antara perlakuan suhu dan varietas tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air bawang selama penyimpanan. Bawang merah yang disimpan pada suhu 0 oC mengalami perubahan penurunan kadar air pada minggu ke-2 dan minggu ke-6. Sedangkan perubahan kadar air pada suhu 5 oC terjadi pada akhir penyimpanan pada minggu ke-12. Perubahan kadar air pada suhu ruang terjadi pada minggu ke-2, 6 dan minggu ke-12 (Tabel 4).

Tabel 4 Kadar air bawang merah selama penyimpanan Suhu

(31)

17 terserap oleh bawang merah selama penyimpanan. Perubahan kadar air yang sangat kecil hingga akhir penyimpanan pada suhu 0 dan 5 oC terjadi karena suhu dan RH yang terkontrol selama penyimpanan. Suhu dan kelembaban (RH) berpengaruh terhadap kadar air bawang merah yang disimpan. Kelembaban (RH) dalam ruang penyimpanan berhubungan langsung dengan daya tahan kualitas bahan yang disimpan. Kelembaban yang rendah mengakibatkan pelayuan atau pengeriputan (shriveling) pada bahan, selain itu kelembaban yang tinggi dapat merangsang proses pembusukan jika terjadi perubahan atau variasi temperatur dalam ruangan. Temperatur penyimpanan yang stabil perlu dijaga untuk mendapatkan hasil yang baik setelah komoditas disimpan beberapa waktu (Komar 2001).

Bawang yang disimpan pada suhu ruang (25-32 oC) mengalami perubahan kadar air selama penyimpanan. Penurunan kadar air ini dipengaruhi oleh tingginya transpirasi yang terjadi pada saat penyimpanan sehingga menurunkan kandungan air dalam bawang. Berdasarkan analisis ragam faktor suhu memberikan pengaruh nyata pada taraf (p<0.05) terhadap perubahan kadar air setiap minggu selama penyimpanan (Gambar 5). Hal ini disebabkan karena suhu rendah mampu menekan proses respirasi umbi bawang merah bila di bandingkan dengan suhu ruang yang tidak mampu menekan proses respirasi selama penyimpanan (Mutia et al. 2015).

Gambar 5 Grafik perubahan kadar air bawang merah pada berbagai perlakuan suhu dan varietas selama penyimpanan

Susut Bobot

Susut bobot merupakan salah satu parameter yang mengindikasikan mutu bawang merah. Bawang merah mengalami proses metabolisme selama penyimpanan sehingga mengalami penyusutan bobot akibat penguapan kandungan air, kerusakan, dan perubahan tingkat kesegaran yang menurun. Penyimpanan suhu ruang menunjukan susut yang tinggi sejak awal pengamatan pada semua perlakuan varietas (Gambar 6). Penyusutan umbi bawang merah pada suhu ruang disebabkan oleh aktifitas metabolisme bawang merah selama penyimpanan, dimana pada saat melakukan proses metabolisme bawang merah juga bertranspirasi yang menyebabkan banyak kehilangan air.

(32)

18

Kehilangan air yang tinggi menyebabkan susut bobot dan tingkat kesegaran bawang merah semakin menurun, hal ini sejalan dengan pendapat Hutabarat (2008) yang menyatakan bahwa meningkatnya susut bobot sebagian besar disebabkan oleh kehilangan air akibat transpirasi dan terurainya glukosa menjadi CO2 dan H2O selama proses respirasi walaupun dalam jumlah kecil. Gas yang dihasilkan akan menguap dan menyebabkan susut bobot. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rubatzky dan Yamaguchi (1998) respirasi akan berjalan lebih cepat dengan meningkatnya suhu, sehingga lapisan sekulen terluar dari bawang merah akan mengering dan akan mengurangi kandungan air dari lapisan sekulen bagian, yang mengakibatkan menurunnya lapisan sekulen.

Penyimpanan bawang merah pada suhu 5 oC juga mengalami susut bobot. Susut bobot pada suhu 5 oC diakibatkan oleh metabolisme bawang merah serta terjadinya pertumbuhan tunas dan perakaran (Gambar 6). Varietas Bima Brebes menghasilkan susut bobot tertinggi (22.3%) pada suhu 5 oC hingga akhir penyimpanan, sedangkan varietas Tajuk dan Bali Karet masing-masing sebesar 21.99% dan 17.29%. Akibat banyaknya umbi bawang merah yang bertunas dan berakar ini menjadikan nilai mutu bawang merah menurun, dimana pertunasan dan perakaran dianggap sebagai nilai kerusakan. Maemunah (2010) yang menyatakan bahwa umbi bawang merah yang bertunas memiliki bobot umbi yang terus mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena cadangan makanan yang terdapat di dalam umbi digunakan untuk metabolisme dan membentuk tunas/akar. Penyimpanan bawang merah dengan perlakuan suhu 0 oC dan varietas memiliki nilai susut bobot hingga akhir penyimpanan yang lebih baik dari seluruh perlakuan (Gambar 6). Hal ini disebabkan karena suhu 0 oC mampu menekan proses metabolisme termasuk respirasi sehingga umbi bawang merah memiliki susut bobot yang lebih rendah. Varietas Bima Brebes, Tajuk, dan Bali Karet mengalami susut bobot masing-masing sebesar 9.77%, 11.61% dan 10.16%. Hal ini Sesuai dengan pendapat Ahmad (2013), bahwa suhu rendah dapat memperlambat proses metabolisme yang merupakan akibat dari beberapa reaksi enzimatis.

Gambar 6 Grafik perubahan susut bobot bawang merah pada berbagai perlakuan suhu dan varietas selama penyimpanan

(33)

19 o

C tidak berbeda nyata tetapi kedua suhu tersebut berbeda nyata dengan suhu ruang. Sedangkan pada minggu ke-10 susut bobot terlihat berbeda nyata antar perlakuan suhu, suhu 0 oC berbeda dengan 5 oC dan berbeda nyata dengan suhu ruang. Bawang merah yang disimpan pada suhu ruang (25-32 oC) dengan varietas yang berbeda memiliki presentasi susut bobot tertinggi diantara perlakuan yang lain (Tabel 5). Hal ini disebabkan oleh proses transpirasi yang disebabkan oleh tingginya suhu dan rendahnya kelembaban (RH) pada tempat penyimpanan. Menurut Larasati (2003) penyimpanan pada suhu tinggi mengakibatkan terjadinya penguapan kandungan air yang tinggi dari dalam umbi. Peningkatan susut bobot tersebut disebabkan karena penggunaan suhu yang tinggi dengan kisaran 25 oC hingga 32 oC menyebabkan meningkatnya proses transpirasi serta terurainya glukosa menjadi CO2 dan H2O yang terjadi selama proses respirasi.

Tabel 5 Presentasi susut bobot (%) bawang merah selama penyimpanan pada masing-masing perlakuan minggu ke 0, 2 dan 10

Suhu memberikan pengaruh signifikan terhadap nilai susut bobot. Secara umum seluruh perlakuan suhu dan varietas terlihat berbeda nyata. Berdasarkan anlisis ragam, faktor suhu memberikan pengaruh yang signifikan pada perubahan susut bobot (Tabel 6). Hal ini disebabkan karena suhu pengaruh secara langsung terhadap proses kimiawi seperti laju respirasi yang menyebabkan penguapan berlebihan sehingga terjadi susut bobot pada bawang merah serta timbulnya kerusakan (busuk dan hampa) yang terjadi selama penyimpanan.

Selama penyimpanan bawang merah mengalami susut bobot terus menerus seiring dengan lamanya penyimpanan. Hal ini disebabkan karena bawang merah masih melakukan proses metabolisme termasuk respirasi. Selama proses respirasi, terjadi proses enzimatis yang menyebabkan terjadinya perombakan senyawa kompleks membentuk energi dengan hasil akhir berupa air dan karbondioksida yang lepas ke udara sehingga terjadi penurunan bobot bawang merah yang disimpan (Mutia et al. 2015).

(34)

20

Tabel 6 Presentasi susut bobot (%) bawang merah selama penyimpanan pada interaksi suhu dan varietas minggu 0, 4, 6, 8 dan 12

Minggu Suhu

Susut bobot (%) Varietas

Bima Brebes Tajuk Bali Karet

0

Kekerasan bawang merah merupakan indikator yang menunjukkan perubahan fisik selama penyimpanan. Kekerasan adalah salah satu parameter mutu untuk menentukan tingkat kesegaran dari bawang merah. Pengukuran tingkat kekerasan ini dilakukan untuk mengetahui perubahan mutu fisik yang terjadi selama penyimpanan. Kekerasan umbi merupakan karakteristik fisik umbi bawang merah yang menentukan penerimaan konsumen (Ameriana et al. 1995). Suhu penyimpanan berpengaruh pada penurunan tingkat kekerasan. Pada proses pelunakan terjadi degradasi pektin dengan bantuan enzim. Enzim membutuhkan kondisi tertentu untuk melakukan aktivitasnya (Hawa 2006).

Perlakuan suhu 0 dan 5 oC memiliki nilai kekerasan yang lebih baik jika dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu ruang (25-32 oC), hingga akhir penyimpanan suhu 0 dan 5 oC memiliki nilai kekerasan yang tetap seperti mutu awal bawang merah sebelum disimpan. Perlakuan varietas juga berpengaruh terhadap nilai mutu (kekerasan) bawang merah selama penyimpanan, varietas Bima Brebes dan Tajuk memiliki nilai kekerasan yang lebih baik bila dibandingkan varietas Bali Karet (Gambar 7).

(35)

21 penyimpanan. Hawa (2006) menjelaskan bahwa penurunan tekstur (kekerasan) berkaitan dengan senyawa pektin, dimana pektin berfungsi sebagai bahan perekat di dalam dinding sel dan lamella tengah. Selain itu dengan adanya perubahan pektin maka ketegaran buah akan berkurang. Pada suhu ruang terjadi penurunan nilai kekerasan yang disebabkan oleh tingginya proses transpirasi. Pada suhu 20 °C, laju respirasi dan aktivitas enzim berlangsung lebih cepat, sehingga menyebabkan jumlah pektin yang tidak larut lebih cepat berkurang. Hal ini sesuai dengan pendapat Surhaini dan Indriyani (2009), yang menyatakan bahwa perubahan tekstur pada bahan pangan disebabkan oleh aktifitas enzim pektin metilesterasi dan poligalakturasi yang merombak senyawa pektin yang tidak larut dalam air (protopektin) menjadi senyawa pektin yang larut dalam air sehingga tekstur menjadi menurun. Selama penyimpanan, kekerasan juga dipengaruhi oleh melemahnya dinding sel yang ditandai dengan menurunnya tingkat kekerasan untuk semua perlakuan hingga akhir penyimpanan.

Gambar 7 Perubahan tingkat kekerasan bawang merah selama penyimpanan pada berbagai perlakuan suhu dan varietas

Berdasarkan hasil uji DMRT, suhu 0 oCmemberikan nilai kekerasan yang lebih tinggi hingga akhir penyimpanan dibandingkan dengan suhu penyimpanan 5 oC dan suhu ruang (25-32 oC). Pada perlakuan varietas terlihat bahwa Bima Brebes memiliki nilai kekerasan tertinggi dibandingkan dengan varietas Tajuk dan Bali Karet (Tabel 7). Hasil uji lanjut DMRT juga menunjukkan suhu 0 dan 5 oC mengalami peningkatan nilai kekerasan (Tabel 7). Peningkatan nilai kekerasan ini disebabkan oleh semakin kuat atau liat jaringan sel setelah terpapar suhu rendah yang mengurangi proses respirasi dan menekan transpirasi pada dinding sel umbi bawang merah. Mutia et al. (2015) menyatakan bahwa peningkatan kekerasan ini karena terjadinya penguapan antar ruang-ruang sel sehingga sel menjadi mengkerut dan menyatu dan zat pektin menjadi berikatan.

Selain suhu kelembaban (RH) juga berperan dalam perubahan kekerasan bawang merah selama penyimpanan, dimana pada kondisi kelembaban (RH) yang tinggi atau RH sesuai bawang mampu mempertahankan kekerasanya, sedangkan pada kondisi RH yang rendah bawang merah mengalami kekeringan pada kulit terluarnya. Hal ini sejalan dengan laporan Currah et al. (2012) yang mengatakan bahwa kelembaban (RH) udara yang rendah (di bawah sekitar 65% RH) memungkinkan kulit luar umbi untuk menjadi rapuh dan pecah.

(36)

22

Tabel 7 Nilai kekerasan bawang merah selama penyimpanan pada masing-masing perlakuan minggu ke 8, 10 dan 12

Suhu Minggu simpan (kgf)

Tabel 8 Nilai kekerasan bawang merah selama penyimpanan pada interaksi suhu dan varietas minggu ke 2, 4 dan 6

Minggu Suhu Varietas (kgf)

Bima Brebes Tajuk Bali Karet 2

Kerusakan bawang merah selama penyimpanan dapat disebabkan oleh mikroorganisme lapang yang terbawa pada saat proses pemanenan atau mikroorganisme yang berada pada wadah atau tempat penyimpanan. Kerusakan yang banyak terjadi selama penyimpanan disebabkan oleh jamur, kerusakan lain dapat disebabkan oleh hama atau penyakit serta perubahan fisologis yang timbul pada saat penyimpanan.

Varietas Bali Karet menunjukan kerusakan tertinggi yang disebabkan oleh busuk atau jamur sebesar 16.53%, Bima Brebes 5.67% dan varietas Tajuk 5.47% (Gambar 8). Sedangkan kerusakan hampa tertinggi ditunjukan oleh varietas Bima Brebes sebesar 7.48%, Tajuk 5.37% dan Bali Karet 2.53% (Gambar 9). Kerusakan pada suhu ruang yang disebabkan oleh pertumbuhan tunas tertinggi ditunjukan oleh varietas Bima Brebes sebesar 12.39%, sedangkan Tajuk dan Bali Karet masing-masing 3.30% dan 3.31% (Gambar 10).

(37)

23 yang sesuai untuk berkembangbiak (kerusakan seperti pada Lampiran 5a, 5b, 5c). Sesuai dengan pendapat Nugraha et al. (2012) yang mengatakan bahwa kerusakan busuk dan jamur pada bawang merah disebabkan oleh Penicillium spp.,

Aspergillus spp., Botrytis spp., Fusarium spp., Pseudomonas spp., dan Erwinia spp. yang berkembang dengan cepat karena terlalu tingginya suhu dan kelembaban selama penyimpanan. Kerusakan yang disebabkan oleh hampa disebabkan oleh tingginya proses penguapan bawang merah pada saat penyimpanan sehingga banyak kehilangan air (H2O) dan menjadi hampa.

Kerusakan penyimpanan pada suhu 5 oCdisebabkan oleh busuk atau jamur tertinggi ditunjukan oleh varietas Bali Karet sebesar 4.04%, Bima Brebes 1.13% dan varietas Tajuk 0.43% (Gambar 8). Sedangkan kerusakan tertinggi yang disebabkan oleh tunas dan akar ditunjukan varietas Bima Brebes sebesar 35.19%, sedangkan varietas Tajuk dan Bali Karet masing-masing sebesar 15.84% dan 10.81%. Kerusakan yang disebabkan pertumbuhan tunas dan akar varietas Bima Brebes ini terjadi pada minggu ke 8 hingga akhir penyimpanan sedangkan varietas Tajuk dan Bali Karet terjadi pada minggu ke 10 hingga akhir penyimpanan (Gambar 10). Kerusakan tertinggi pada suhu 5 oC ini disebabkan oleh pertunasan atau perakaran yang terjadi pada umbi bawang merah.

Bawang merah diketahui merupakan tanaman yang memiliki fase dormansi, tingginya kerusakan pada penyimpanan suhu 5 oC karena pada suhu tersebut terjadi peningkatan aktifitas enzim yang menyebabkan pematahan dormansi pada bawang merah. Menurut Mutia et al. (2015) tingginya pertunasan pada suhu 10 oC disebabkan karena pada suhu tersebut terjadi peningkatan aktifitas enzim dan giberelin dalam sel, kondisi tersebut menyebabkan peningkatan proses pembelahan sel serta patahnya dormansi sehingga terjadi perubahan penampilan yang memicu pembentukan tunas.

Penyimpanan pada suhu 0 oC menunjukan bahwa tidak terdapat kerusakan varietas selama penyimpanan. Hingga akhir penyimpanan jumlah kerusakan pada masing-masing perlakuan varietas adalah 0% (Gambar 8, Gambar 9, Gambar 10). Hal ini disebabkan karena suhu 0 oC dan kelembaban (RH) yang sesuai mampu menghambat aktifitas mikroorganisme yang menyebabkan busuk, aktifiitas metabolisme termasuk transpirasi yang menyebabkan kehilangan air dan aktifitas enzim pada masing-masing varietas bawang merah yang menyebabkan pertumbuhan tunas dan akar, sehingga bawang merah tidak mengalami kerusakan baik busuk, hampa dan pertumbuhan tunas maupun perakaran yang menyebabkan penurunan mutu bawang merah selama penyimpanan. Sitorus (2000) menyatakan bahwa reaksi enzimatis dan pertumbuhan laju mikroorganisme dapat dihambat dengan penggunaan suhu rendah. Faktor yang mempengaruhi perkembangan mikroba adalah tingginya suhu dan kelembaban selama penyimpanan.

(38)

24

Gambar 8 Presentase kerusakan busuk atau jamur bawang merah pada berbagai perlakuan suhu dan varietas selama penyimpanan

Gambar 9 Presentase kerusakan hampa atau keropos bawang merah pada berbagai perlakuan suhu dan varietas selama penyimpanan

Gambar 10 Presentase kerusakan bertunas dan berakar bawang merah pada berbagai perlakuan suhu dan varietas selama penyimpanan

(39)

25

Gambar 11 Presentasi total kerusakan bawang merah pada berbagai perlakuan suhu dan varietas selama penyimpanan

Suhu berpengaruh terhadap kerusakan pada berbagai varietas bawang merah, kerusakan tertinggi terjadi pada penyimpanan suhu ruang (25-32 oC) dan varietas Bali Karet minggu ke 6 dan 8 (Tabel 9). Hal ini menunjukan bahwa suhu ruang tidak dapat menghambat kerusakan terutama yang disebabkan oleh busuk (jamur) dan pengeringan (hampa) dan kerusakan tertinggi terjadi pada varietas Bali Karet. Tabel 9 Presentase kerusakan bawang merah selama penyimpanan pada minggu

ke-8 dan 12

Suhu dan varietas menghasilkan interaksi yang nyata terhadap kerusakan bawang selama penyimpanan. Kerusakan tertinggi terjadi pada suhu 5 oC yang disebabkan oleh pertunasan (Lampiran 5c) dan tumbuhnya akar (Lampiran 5d) pada umbi bawang merah. Kerusakan pada suhu ini terjadi pada semua varietas (Bima Brebes, Tajuk, dan Bali Karet) masing-masing 34.37%, 15.28% dan 11.23% (Tabel 10). Tingginya pertunasasan yang terjadi akibat adanya aktifitas enzim ZPT (zat pengatur tumbuh) alami terutama dari golongan giberelin dan auksin (IAA, NAA dan IBA) yang berperan dalam dalam pertumbuhan. Perlakuan suhu rendah (vernalisasi) pada organ tanaman dapat meningkatkan aktivitas pembelahan sel dan giberelin endogen serta peningkatan aktivitas auksin (Dinarti

(40)

26

Tabel 10 Pengaruh interaksi suhu dan varietas terhadap presentasi kerusakan bawang merah selama penyimpanan minggu ke-2, 4, 6, dan 10

Minggu Suhu

Kerusakan (%) Varietas

Bima Brebes Tajuk Bali Karet

2

Kerusakan yang terjadi karena pertunasan dan perakaran tidak hanya disebabkan oleh enzim-enzim dalam bawang merah tetapi juga disebabkan oleh kandungan sulfur dalam bawang merah. Sulfur diserap oleh tanaman dalam bentuk sulfat (SO4-2) dan hanya sebagian kecil sulfur dalam bentuk gas SO2 yang diserap langsung oleh tanaman dari tanah dan atmosfer. Sulfur dikaitkan pula dengan pembentukan klorofil yang erat hubungannya dengan proses fotosintesis dan ikut serta dalam beberapa reaksi metabolisme seperti karbohidrat, lemak dan protein. Sulfur juga dapat merangsang pembentukan akar dan buah serta dapat mengurangi serangan penyakit (Tisdale et al. 1985).

Kadar Sulfur

Sulfur merupakan salah satu senyawa yang berperan dalam pembentukkan aroma pada bawang merah. Tanaman dari genus Allium sp. mempunyai karakter bau bersulfur yang khas. Sejumlah komponen sulfur yang menarik perhatian merupakan dasar dari bau khas bawang-bawangan. Bawang merah mempunyai komponen flavor utama berupa metil, propil dan (1 propenil) disulfid dan trisulfid. Cis dan trans-(1-propenil) propil disulfid mencirikan aroma bawang merah dan membedakannya dari aroma lain terutama bawang bombay. Senyawa kimia yang termasuk ke dalam golongan monosulfida yang terdapat pada kultivar bawang merah adalah heksil sulfida („Bima‟), metil propil sulfida („Bima‟), trimetil sulfida („εenteng‟) (Wahyu et al. 2005).

(41)

27 cukup stabil pada saat penyimpanan. Menurut White (2006) ketersediaan air pada umbi menjadi faktor kepekatan komponen rasa dan aroma dari bawang.

Gambar 12 Grafik kadar sulfur bawang merah selama penyimpanan pada berbagai perlakuan

Kadar sulfur bawang merah yang berubah-ubah pada setiap pengamatan di pengaruhi oleh respon setiap varietas bawang merah terhadap suhu dalam penyimpanan. Selain itu kadar sulfur yang terkandung dalam bawang merah juga di pengaruhi oleh varietas dan kultivarnya. Setiap kultivar memiliki ciri-ciri spesifik baik secara morfologi maupun kandungan kimianya (Irawan 2004).

Aklimatisasi

Aklimatisasi adalah proses penyesuaian diri dari individu terhadap perubahan kondisi lingkungan, proses penyesuaian disini lebih ditekankan pada perubahan fenotif penyesuaian bertujuan untuk bertahan pada kondisi lingkungan yang berbeda dari tempat asalnya. Bawang merah yang telah disimpan pada suhu 0 dan 5 oC di tempatkan pada suhu 13 oC dan lingkungan atau ruang (25-32 oC).

Hasil aklimatisasi selama 10 hari bawang merah pada suhu 13 oC dan ruang menunjukkan hasil berbeda nyata pada beberapa parameter perlakuan. Hasil uji DMRT aklimatisasi menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dengan suhu awal 0 dan 5 oC, sementara itu perlakuan suhu dan varietas tidak menghasilkan interaksi yang nyata (Tabel 11).

Bawang merah dengan perlakuan awal suhu 0 oC menunjukan perbedaan signifikan, perbedaan signifikan ini ditunjukkan oleh nilai susut bobot, nilai susut bobot pada aklimatisasi suhu 13 oC yaitu 5.02% dan pada perlakuan suhu ruang bawang merah mengalami susut 10.15%. aklimatisasi suhu awal 0 oC tidak memiliki nilai kerusakan baik pada perlakuan suhu 13 oC maupun ruang, dengan nilai kekerasan 4.05% pada suhu 13 oC dan 3.82% (Tabel 11).

(42)

28

perlakuan awal 0 oC. Bawang merah yang diaklimatisasi pada suhu ruang secara langsung akan mengalami perubahan fisiologis dan memicu reakasi enzimatis, sehingga terjadi pematahan dormansi yang ditandai dengan tumbuhnya tunas dan akar. Proses aklimatisasi ini menyebabkan proses metabolisme umbi bawang merah berubah sehingga mengalami susut bobot yang cukup tinggi, hal ini disebabkan oleh proses respirasi dan transpirasi yang menyebabkan umbi bawang merah kehilangan air selama aklimatisasi. Berbeda dengan susut bobot pada suhu 13 oC yang lebih kecil (Tabel 12), hal ini disebabkan oleh suhu penyimpanan tersebut dapat menekan proses metabolisme umbi bawang merah. Perlakuan suhu menunjukkan bahwa proses aklimatisasi baik suhu 13 oC dan suhu ruang memiliki nilai kerusakan yang cukup kecil.

Tabel 11 Hasil aklimatisasi bawang merah perlakuan suhu 0 dan 5 oC pada suhu 13 oC dan suhu ruang (25-32 oC) selama 10 hari

Parameter Suhu Aklimatisasi

Suhu awal 13 oC Ruang

Tingkat kekerasan (kgf) 4.05a 3.82a

Kadar air (%)

5

81.29a 80.67a

Susut bobot (%) 6.52a 11.1b

Tingkat kerusakan (%) 10.81a 8.1a

Tingkat kekerasan (kgf) 4.79a 3.89a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 5%

Hasil uji DMRT menunjukkan bahwa perlakuan aklimatisasi suhu 13 oC dengan perlakuan varietas menunjukkan perbedaan signifikan pada nilai susut bobot berturut-turut sebesar 6.73%, 5.60% dan 4.99% pada masing-masing varietas Bima Brebes, Tajuk dan Bali Karet. Hasil uji DMRT aklimatisasi suhu ruang (25-32 oC) pada perlakuan varietas menunjukkan perbedaan yang signifikan pada beberapa parameter pengamatan yaitu susut bobot, kerusakan dan kekerasan. Susut bobot tertinggi di perlihatkan oleh varietas Bima Brebes bila dibandingkan dengan varietas taju dan Bali Karet, masing-masing nilai susut bobot adalah sebesar 13.16% Bima Brebes, 8.93% Tajuk dan 9.87% Bali Karet. Hasil uji DMRT juga menunjukkan bahwa pada aklimatisasi pada suhu ruang memiliki nilai yang berbeda nyata pada nilai kerusakan, kerusakan tertinggi dan ditunjukkan oleh varitas Bima Brebes 10.14% sedangkan varietas Tajuk dan Bali Karet masing-masing 2.01% dan 0.00% (Tabel 12).

(43)

29 Tabel 12 Hasil aklimatisasi bawang merah perlakuan varietas pada suhu 13 oC dan

suhu ruang (25-32 oC) selama 10 hari

Parameter Perlakuan Suhu Bima Brebes Tajuk Bali Karet Kadar air (%)

13 oC

81.63a 81.58a 81.85a

Susut bobot (%) 6.73a 5.60ab 4.99b

Tingkat kerusakan (%) 6.39a 4.55a 5.27a

Tingkat kekerasan (kgf) 5.13a 3.76a 4.37a

Kadar air (%)

Ruang

81.24a 81.30a 81.54a

Susut bobot (%) 13.16a 8.93b 9.78b

Tingkat kerusakan (%) 10.14a 2.01b 0.00b

Tingkat kekerasan (kgf) 4.87a 3.37b 3.32b

Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 5%.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pada penyimpanan sampai 3 bulan suhu 0 oC lebih mampu mempertahankan kadar air, susut bobot, kekerasan, dan menekan kerusakan. Suhu penyimpanan 0 o

C merupakan suhu terbaik yang dapat mempertahankan kualitas mutu bawang merah hingga akhir penyimpanan dengan susut bobot varietas 9.77%, 11.61% dan 10.16%, kekerasan 4.45 kgf, kerusakan 0 % pada semua varietas dan nilai sulfur 0.43%. Varietas Bima Brebes menghasilkan nilai mutu terendah dengan kerusakan sebesar 35.81%, susut bobot tertinggi pada suhu 5 oC dan suhu ruang yaitu masing-masing sebesar 22.3% dan 37.22% namun pada suhu 0 oC memiliki nilia susut bobot terendah 9.77%.

Terdapat interaksi antara suhu dengan varietas, penyimpanan suhu 5 oC dan varietas Bima Brebes memiliki nilai kerusakan yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan varietas Tajuk dan Bali karet yang lebih rendah. Penyimpanan dengan suhu rendah 0 oC dapat diaklimatisasikan secara langsung pada suhu ruang, hasil aklimatisasi selama 10 hari menunjukan bawang merah dengan perlakuan awal 0 oC lebih baik dari perlakuan awal suhu 5 oC.

Saran

Gambar

Grafik perubahan kadar air bawang merah pada berbagai perlakuan
Tabel 2 Persyaratan mutu bawang merah sesuai dengan permintaan pasara
Gambar 1 Sortasi (a) dan pengemasan (b) umbi bawang merah berdasarkan
Gambar 4 Diagram alir penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Keharusan orang dengan diabetes mellitus mengubah pola hidupnya agar gula darah dalam tubuh tetap seimbang dapat mengakibatkan mereka rentan terhadap stres, karena stres akan

Pencemaran sungai tersebut akan ditandai dengan tingginya mikroba berbahaya yang terkandung dalam air sungai (baca : Jenis Jenis Air). Bertambahnya jumlah penduduk di

Baru disana kita akan mendapatkan ide-ide atau setidaknya pikiran kita akan terbuka mengenai kedepannya akan bagaimana , dan bagaimana cara mengatasi pesaing-pesaing yang bergerak

Maka penulis akan fokus pada pembahasan tentang pemahaman suami di Desa Bandungharjo Kecamatan Donorojo Kabupaten Jepara terhadap sighat taklik talak dan keterkaitan

Melalui observasi terhadap fakta-fakta empiris, penulis menemui bahwa rakyat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan adalah sekelompok manusia Indonesia yang tidak

Dalam rangka memberikan pedoman bagi Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah dan melaksanakan ketentuan Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

Sebagai rumusan, didapati unsur-unsur yang terdapat dalam syarat-syarat tersebut seperti sanad yang mutawatir, bilangan perawi, dan ciri-ciri perawi boleh digunakan dalam