• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan/Tutupan Lahan Wilayah Jabodetabek

Pengamatan citra dalam analisis memiliki tujuan yaitu untuk mengidentifikasi objek yang ada pada citra, serta mengelompokan jenis penggunaan lahan yang sama dalam satu kelas. Berdasarkan citra Landsat tahun 1990, 1995, dan 2005 dapat diamati ciri-ciri kenampakan penggunaan lahan yaitu sebagai berikut:

 Hutan dalam citra Landsat memiliki ciri pola visual yang menyebar. Penggunaan lahan ini berwarna hujau muda hingga hijau tua, bertekstur kasar

dan memiliki kawasan yang cukup luas. Semakin gelap rona hutan menandakan semakin lebat pula hutan tersebut.

 Pertanian non sawah ini meliputi penggunaan lahan berupa kebun campuran, tegalan, semak, kebun, dan lahan terbuka. Pertanian non sawah ini memiliki warna kuning dan hijau, bertekstur kasar dengan pola yang tidak teratur. Klasifikasi ini menyebar di seluruh kawasan Jabodetabek.

 Sawah memiliki ciri umum yaitu adanya pola petak-petak dan dibatasi dengan pematang serta adanya aliran air untuk pengairan sawah. Penggunaan lahan ini memiliki tekstur halus, berwarna hijau muda, merah muda, kuning, sampai biru. Sawah yang berwarna biru menandakan bahwa sawah tersebut berada pada fase sedang tergenang. Sawah memiliki pola visual menyebar.

 Badan air dapat diamati dari warna dan teksturnya pada citra yaitu berwarna biru muda sampai tua dan bertekstur halus. Semakin gelap warna biru pada badan air menunjukkan semakin dalamnya badan air tersebut. Pola visual menyebar juga menjadi ciri dari klasifikasi badan air ini.

 Lahan terbangun memiliki warna ungu, bertekstur kasar, dan memiliki ukuran bervariasi. Pemukiman memiliki sifat pola visual yang mengelompok.

Tabel 2 Hasil pengamatan citra Landsat Jenis

Penggunaan Pada Citra Karakteristik Penggunaan Lahan

1990 1995 2000 2005

Sawah

Memiliki warna hijau, biru, merah muda. Hijau = masa tanam pada fase reproduksi; Biru= masa tergenang; merah muda= masa tanam pada fase pematangan. Berpetak-petak dibatasi oleh pematang serta adanya aliran tubuh air. Bertekstur halus.

Lahan Terbangun

Memiliki warna ungu. Bertekstur kasar, dan ukuran bervariasi. Hutan

Memiliki warna hijau muda sampai tua, bertekstur kasar, rona terang sampai gelap, sangat luas. Pertanian Non

Sawah

Memiliki warna kuning dan hijau, bertekstur kasar, tidak teratur

Badan Air

Memiliki warna biru muda hingga tua, bertekstur halus, rona terang sampai gelap

Menurut Purwadhi (2001) pengelompokan atau melakukan segmentasi terhadap kenampakan-kenampakan yang homogen dengan teknik kuantitatif merupakan tujuan dilakukannya klasifikasi pada citra. Pengklasifikasian penggunaan lahan Kawasan Jabodetabek ini menggunakan teknik klasifikasi terbimbing dengan metode maximum likelihood. Ide dasar dari maximum likelihood ini yaitu mencari nilai parameter yang memberi kemungkinan yang paling besar untuk mendapatkan data yang terobservasi sebagai estimator penggunaan lahan. Hasil klasifikasi penggunaan lahan menghasilkan data luasan dan komposisi penggunaan lahan seperti pada Tabel 3.

Tabel 3 Luas penggunaan Lahan Jabodetabek

Penggunaan Lahan 1990 (Ha) 1995 (Ha) 2005 (Ha)

Hutan 166.423 129.218 74.085

Pertanian non sawah 168.343 173.453 175.511

Sawah 256.757 258.638 254.670

Badan air 32.033 29.629 26.686

Lahan terbangun 57.548 90.165 150.152

Berdasarkan Tabel 3, tahun 1990 dan 1995 didominasi oleh penggunaan lahan berupa sawah dengan luas masing-masing 256.757 Ha (37,7%) dan 258.638 Ha (37,9%). Pada tahun 2005 penggunaan/tutupan yang mendominasi di wilayah Jabodetabek masih berupa lahan sawah dengan luas 254.670 Ha (37,4%). Dalam kurun waktu 1990-2005 penggunaan/tutupan lahan berupa hutan, sawah dan badan air cenderung selalu menurun, sedangkan penggunaan lahan yang selalu meningkat yaitu penggunaan lahan terbangun dan pertanian non sawah. Penggunaan lahan sawah mengalami peningkatan dalam kurun 1990-1995 dan mengalami penurunan dalam kurun 1995-2005. Tingkat akurasi yang didapat dari proses klasifikasi yaitu pada tahun 1990 sebesar 91/;. Q1`‟%, pada tahun 1995 sebesar 77,7%, dan pada tahun 2005 sebesar 91%. Nilai akurasi ini merupakan nilai akurasi dari data sample yang diambil. Berikut gambar grafik dinamika perubahan lahan Jabodetabek tahun 1990-2005 serta peta penggunaan lahan Jabodetabek tahun 1990,1995, dan 2005.

Gambar 4 Grafik Dinamika Perubahan Lahan Jabodetabek Tahun 1990-2005

Gambar 5 Peta Penggunaan/Tutupan Lahan Jabodetabek Tahun 1990,1995, dan 2005

Pola Perubahan Penggunaan/Tutupan Lahan Jabodetabek

Perubahan Penggunaan/Tutupan Lahan Jabodetabek tahun 1990-1995 Kebutuhan lahan yang semakin meningkat diiringi dengan ketersediaan lahan yang terbatas akan memicu meningkatnya perubahan penggunaan/tutupan lahan. Pusat, wilayah pengaruh, dan jaringan transportasi merupakan 3 unsur dasar dalam pengembangan wilayah atau pengembangan kawasan (Adisasmita 2010). Wilayah Jakarta merupakan pusat segala aktivitas di Jabodetabek. Hal ini memicu meningkatnya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan akan lahan. Ketersedian ruang yang terbatas dapat menimbulkan ekspansi kegiatan perkotaan di wilayah pinggiran. Perluasan kawasan perkotaan yang tidak sesuai dengan pola kebijaksanaan kota telah menyebabkan timbulnya pola penggunaan/tutupan lahan yang tidak teratur (urban sprawl).

Penggunaan/tutupan lahan wilayah Jabodetabek dalam kurun waktu lima tahun mengalami perubahan penggunaan lahan yang cukup tinggi. Perubahan pada penggunaan/tutupan lahan hutan yang beralih ke jenis penggunaan lahan pertanian non sawah, sawah, badan air, dan lahan terbangun yaitu seluas 37.205 Ha. Penggunaan/tutupan lahan hutan memiliki tingkat perubahan tertinggi ke penggunaan/tutupan lahan pertanian non sawah yaitu seluas 25.504 Ha, diikuti oleh perubahan penggunaan/tutupan lahan hutan menjadi sawah seluas 10.502 Ha. Lahan terbangun merupakan kawasan yang mengalami peningkatan luas lahan yang cukup signifikan yaitu seluas 32.616 Ha. Hal ini didukung oleh data Bappenas (2005) yang menyebutkan bahwa penduduk Indonesia tumbuh dengan kecepatan 1,49 % per tahun dimana persebaran penduduk antar pulau dan provinsinya tidak merata. Sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa, sedangkan luas wilayah Pulau Jawa tidak mencapai 7% dari luas total Indonesia. Perubahan penggunaan/tutupan lahan menjadi lahan terbangun didominasi oleh berubahnya lahan sawah yaitu seluas 20.902 Ha. Lahan pertanian non sawah merupakan penyumbang terbesar kedua yang berubah menjadi lahan terbangun, yaitu 9.371 Ha. Hal tersebut terangkum pada Tabel 4. Berdasarkan total perubahan, penggunaan/tutupan lahan sawah mengalami perubahan yang terluas yaitu seluas 68.360 Ha. Selain itu pertanian non sawah dan hutan juga mengalami perubahan yang cukup luas yaitu seluas 67.974 Ha dan 37.205 Ha. Perbandingan penggunaan/tutupan lahan antar dua tahun ini memiliki nilai kappa sebesar 0,77 yang memiliki arti kesesuaian yang baik antara peta penggunaan lahan tahun 1990 dan 1995.

Berdasarkan data yang tersaji pada tabel 4 dapat digambarkan sebuah peta perubahan panggunaan lahan Jabodetabek dalam rentang waktu 5 tahun tersebut. Pada Gambar 7 terlihat perubahan penggunaan lahan di wilayah Jabodetabek sangat tinggi. Pembangunan DKI Jakarta terlihat lebih ke arah koridor timur, barat, utara, dan sedikit membatasi pengembangan ke arah selatan guna mencapai keseimbangan ekosistem. Terjadi pergeseran fungsi di kawasan pusat kota secara besar-besaran, dari pusat industri manufaktur menjadi pusat kegiatan bisnis, keuangan dan jasa, sedangkan industri manufaktur bergeser ke arah tepi kota. Hal ini disebabkan oleh tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di Jabodetabek yang tidak seiring dengan ketersediaan lahan yang ada di kota DKI Jakarta. Proses

suburbanisasi ini juga telah mempercepat proses konversi lahan di Jakarta dan sekitarnya. Konversi penggunaan lahan di dalam proses suburbanisasi umumnya merupakan proses konversi dari lahan-lahan yang memiliki nilai land rent yang lebih rendah. Namun disisi lain masih terjadi penyimpangan dalam perubahan penggunaan/tutupan lahan di kawasan selatan Jabodetabek. Bagian selatan Jabodetabek dalam perencanaan banyak diperuntukkan sebagai kawasan lindung, namun terlihat pada gambar banyak terjadi perubahan penggunaan/tutupan lahan hutan yang dikonversi menjadi penggunaan/tutupan lahan lainnya. Daerah Kabupaten Bogor menjadi daerah terluas yang mengalami konversi hutan. Selain itu pengaruh akses jalan juga menjadi peran penting dalam terjadinya perubahan lahan. Terlihat pada Gambar 6 lahan sawah yang dilalui atau dekat dengan jalan utama cenderung dikonversi dan diubah fungsinya menjadi lahan terbangun. Hal tersebut terjadi pada sawah yang berlokasi di daerah Kabupaten Bekasi, Tangerang dan daerah pinggiran kota Jakarta.

Tabel 4 Penggunaan/Tutupan lahan Jabodetabek tahun 1990-1995 Luas Penggunaan lahan (Ha) 1995 Total Perubah an Hutan Pertanian

non sawah Sawah

Badan air Lahan terbangun 1990 Hutan (166.423) 129.218 (77,6%) 25.504 (15,3%) 10.502 (6,3%) 0 (0%) 1.199 (0,7%) 37.205 Pertanian non sawah (168.343) 0 (0%) 100.368 (59,6%) 58.603 (34,8%) 0 (0%) 9.371 (5,6%) 67.974 Sawah (256.757) 0 (0%) 47.457 (18,5%) 188.397 (73,4%) 0 (0%) 20.902 (8,1%) 68.360 Badan Air (32.033) 0 (0%) 124 (0,4%) 1.136 (3,5%) 29.629 (92,5%) 1.144 (3,6%) 2.404 Lahan terbangun (57.548) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 57.548 (100%) 0

Ga mbar 6 P eta Pe ruba ha n P engguna an La h an Jab ode tabe k Ta hun 1990 -19 95

Perubahan Penggunaan/Tutupan Lahan Jabodetabek tahun 1995-2005 Keadaan populasi penduduk Jabodetabek selama kurun waktu 10 tahun yaitu 1995-2005 mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2008) wilayah Jabodetabek mengalami peningkatan jumlah penduduk sebesar 3.419.671 jiwa. Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya kaum urbanisasi yang pindah dari daerah menuju ibukota. Krisis ekonomi yang terjadi menyebabkan ibukota menjadi tujuan utama untuk mencari pekerjaan. Semakin meningkatnya populasi penduduk di ibukota mengakibatkan krisis lahan yang berimbas pada perubahan penggunaan lahan di daerah sekitar ibukota. Dapat dilihat pada Tabel 5, penggunaan/tutupan lahan hutan menurun 8% dari tahun 1995 sampai 2005, yaitu sebesar 55.133Ha. Lahan yang mengalami peningkatan terbesar yaitu penggunaan/tutupan lahan untuk lahan terbangun dengan proporsi 8,8% atau seluas 59.987 Ha. Begitu pula dengan pertanian non sawah yang mengalami peningkatan luas lahan. Namun disisi lain sawah dan badan air mengalami penurunan selama kurun waktu sepuluh tahun yaitu masing-masing sebesar 0,6% dan 0,4%.

Tabel 5 Penggunaan lahan Jabodetabek tahun 1995-2005

Penggunaan Lahan

1995 2005 1995-2005

Luas (Ha) Proporsi

(%) Luas (Ha) Proporsi (%) (Ha) (%) Hutan 129.218 18,97 74.085 10,88 -55.133 -8,09 Pertanian non sawah 173.453 25,47 175.511 25,77 2.057 0,30 Sawah 258.638 37,97 254.670 37,39 -3.968 -0,58 Badan air 29.629 4,35 26.686 3,92 -2.943 -0,43 Lahan terbangun 90.165 13,24 150.152 22,05 59.987 8,81 Total 681.104 100 681.104 100 0,00 0,00

Tingginya populasi penduduk menuntut lahan terbangun agar memiliki proporsi yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, lahan sawah menjadi pilihan utama untuk perubahan penggunaan/tutupan lahan menjadi lahan terbangun. Alasan lain perubahan terjadi karena nilai land rent dari sawah lebih rendah daripada lahan terbangun. Perubahan alih fungsi sawah menjadi penggunaan/tutupan lahan lain seperti lahan terbangun tidak membutuhkan pengelolaan dan biaya yang cukup tinggi. Jika dilihat dari data pada Tabel 6, luas hutan yang berubah fungsi menjadi kawasaan pertanian non sawah sebesar 41.075 Ha. Selain perubahaan fungsi lahan dari hutan ke pertanian non sawah, di wilayah Jabodetabek perubahan lahan dari pertanian non sawah kearah sawah juga memiliki pola perubahan yang besar dalam kurun waktu sepuluh tahun sejak tahun 1995 hingga 2005 yaitu sebesar 40.435 Ha. Menurut UU 41 tahun 2009 penggunaan lahan subur seperti sawah harus menjadi kawasan pertanian pangan berkelanjutan dan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) dan dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencanan Tahunan baik nasional maupun Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Seperti yang disebutkan pada UU 41 tahun 2009 Pasal 7 ayat 2 “Wilayah kegiatan selain kegiatan pertanian pangan berkelanjutan di dalam kawasan

pertanian pangan ditetapkan dengan memperhitungkan luas kawasan dan jumlah penduduk”. Namun, penyimpangan konversi lahan banyak terjadi, lahan sawah yang dikonversi menjadi kawasan terbangun seringkali tidak memperhitungkan luas kawasan pertanian pangan. Terjadinya lonjakan penduduk yang begitu besar mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan sawah menjadi lahan terbangun yang tidak mementingkan kawasan pertanian pangan berkelanjutan.

Seperti data pada Tabel 6, lahan sawah yang beralih fungsi menjadi lahan terbangun memiliki angka cukup tinggi dengan luasan 39.057 Ha atau sebesar 15%. Berdasarkan total perubahan, penggunaan/tutupan lahan pertanian non sawah dan sawah mengalami perubahan yang terluas yaitu masing-masing seluas 58.969 Ha dan 58.827 Ha. Perbandingan penggunaan/tutupan lahan tahun 1995 dengan penggunaan/tutupan lahan tahun 2005 menghasilkan nilai kappa sebesar 0,77 yang menunjukkan bahwa nilai kesesuaian antara peta penggunaan lahan tahun 1995 dan 2005 mencapai 77%.

Tabel 6 Luas perubahan penggunaan lahan tahun 1995-2005

Luas Penggunaan lahan (Ha) 2005 Total Peruba han Hutan Pertanian

non sawah Sawah Badan air

Lahan terbangun 1995 Hutan (123.218) 74.085 (57,3%) 41.075 (31,8%) 12.102 (9,4) 0 (0%) 1.956 (1,5%) 55.133 Pertanian non sawah (173.453) 0 (0%) 114.485 (66%) 40.436 ( 23,3%) 0 (0%) 18.533 (10,7%) 58.969 Sawah (256.757) 0 (0%) 19.770 (7,64%) 199.811 (77,26%) 0 (0%) 39.057 (15,1%) 58.827 Badan Air (29.629) 0 (0%) 181 (0,61%) 2.321 (7,8%) 26.686 (90,1%) 440 (1,5%) 2.942,6 Lahan terbangun (90.164) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 90.165 (100%) 0

Pada gambar 7 dapat dijelaskan bahwa telah terjadi perluasan perubahan lahan yang terjadi di kawasan Jabodetabek. Perubahan lahan yang terlihat terjadi di sekitaran daerah pusat yaitu DKI Jakarta. Namun pada periode ini sedikit berbeda dengan periode 1990-1995 hal ini dapat terlihat dari perubahan lahan yang berkembang ke arah selatan. Daerah selatan yang telah direncanakan sebagai kawasan lindung cenderung mengalami perubahan. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang rencana tata ruang dan rendahnya pengawasan dari pemerintah menjadi pemicu terjadinya penyimpangan penggunaan lahan ini. Perkembangan ke arah barat dan timur DKI Jakarta juga masih terlihat besar pada periode 1995-2005. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Panuju (2004) yang menyatakan konversi lahan dilihat dari data penutupan lahan Bodetabek 1972-2001 secara spasial lebih banyak terjadi di sekitar wilayah Tangerang dan Bekasi. Konversi tertinggi terjadi di Kecamatan Cikarang untuk yang ke arah Timur (Bekasi) dan Kecamatan Teluk Naga untuk yang ke arah Barat (antara Jakarta dan Tangerang). Pembangunan kawasan industri merupakan proses konversi lahan pertanian paling intensif di seluruh wilayah Jabodetabek. Faktor kepadatan penduduk dan perkembangan jalan yang menghubungkan antar kota dapat mempercepat serta memperluas perubahan lahan di sekitarnya.

21

Perubahan Penggunaan/Tutupan Lahan Jabodetabek tahun 1990-2005 Seperti yang terlihat pada Gambar 8, disajikan pola perubahan setiap jenis penggunaan lahan pada periode 1990-2005. Perubahan penggunaan lahan yang selalu meningkat di setiap tahunnya adalah lahan terbangun. Pertanian non sawah juga mengalami kenaikan yang cukup tinggi disetiap tahunnya. Perubahan lahan menjadi pertanian non sawah banyak disumbang dari konversi hutan dan sawah. Perubahan ini sesuai dengan teori land rent yang menyebutkan bahwa perubahan lahan cenderung untuk mendapatkan nilai keuntungan yang lebih tinggi. Nilai

landrent suatu lahan akan tinggi apabila suatu lahan tersebut memiliki akses jalan dan memiliki jarak yang dekat dengan pusat aktivitas. Pertanian non sawah ini mencakup penggunaan lahan berupa kebun. Kebun dianggap memiliki suatu nilai keutungan yang lebih tinggi dibandingakan hutan. Salah satu komoditi yang paling diminati yaitu kelapa sawit. Produksi kelapa sawit rata-rata di Indonesia mampu mencapai 7 juta ton pada tahun 2000 dan meningkat hingga 22,51 juta ton pada tahun 2011 (Deptan 2013). Kelapa sawit yang dihasilkan akan semakin banyak seiring dengan menigkatnya jumlah kelapa sawit yang ditanam, sehingga lahan yang dibutuhkan untuk menanam kelapa sawit semakin bertambah. Hal ini mengakibatkan masyarakat lebih memilih untuk mengelola kebun yang lebih menguntungkan. Pemerintah memiliki hasil kesepakatan dengan masyarakat atau pihak swasta dalam mengonversi hutan menjadi lahan pertanian non sawah khususnya kebun. Kesepakatan tersebut berupa ijin lokasi yang membatasi tindakan pengelolaan lahan oleh swasta untuk perkebunan dan tidak untuk pemukiman, sehingga peluang lahan tersebut berubah penggunaan ke pemukiman menjadi rendah. Namun disisi lain banyak terjadi pelanggaran oleh pihak pengelola maupun warga sekitar yaitu dengan maraknya tingkat konversi hutan yang digunakan untuk pemukiman atau lahan industri, sehingga lahan hutan semakin terancam dari tahun ke tahun akibat adanya tindakan konversi ke penggunaan/tutupan lahan lain. Hutan berfungsi sebagai penahaan erosi, penyerap air, sumber oksigen, menjaga keseimbangan ekosistem, dan kelangsungan hidup makhluk hidup di dalamnya. Jika luasan hutan semakin berkurang tiap tahunnya, akan terjadi ketidakseimbangan lingkungan dan sekitarnya.

Penggunaan lahan sawah mengalami kenaikan dari tahun 1990 hingga 1995, namun setelah itu mengalami penurunan pada tahun-tahun berikutnya. Hal ini disebabkan oleh adanya pertumbuhan dan transformasi struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan yang dimaksud yaitu adanya pertumbuhan atau meningkatnya kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak peningkatan jumlah penduduk dan adanya pergeseran dari sektor primer khususnya pertanian ke arah sektor sekunder (manufaktur) dan tersier berupa jasa (Arsyad dan Rustiadi 2008). Namun selama periode 1990-2005 secara keseluruhan lahan sawah mengalami tingkat konversi paling besar dalam periode 1990-1995 dan 1995-2005 Banyak lahan sawah yang terkonversi menjadi lahan terbangun seperti daerah industri maupun pemukiman rakyat. Gambar 9 dan 10 akan menggambarkan grafik total penambahan dan pengurangan tutupan lahan wilayah Jabodetabek.

Gambar 8 Grafik Dinamika Perubahan Lahan Jabodetabek Tahun 1990, 1995, dan 2005

Bahasan sebelumnya menyatakan bahwa peningkatan lahan yang senantiasa meningkat yaitu lahan terbangun. Pernyataan ini didukung oleh deskripsi pada Gambar 9 dan 10 yang menyebutkan terjadi peningkatan pada lahan terbangun pada periode 1990-1995 dan 1995-2005. Hal ini sesuai dengan hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS (2008) bahwa terjadi peningkatan penduduk di setiap tahunnya sejak tahun 1990 hingga tahun 2005 (Tabel 7). Semakin dekat pemukiman terhadap pusat aktivitas maka semakin intensif interaksi yang terjadi antar masyarakat dalam berbagai kegiatan. Dukungan aksesibilitas dan jaringan jalan akan membuat interaksi menjadi lebih baik.

Gambar 9 Grafik total penambahan dan pengurangan tutupan lahan wilayah Jabodetabek tahun 1990-1995

Gambar 10 Grafik total penambahan dan pengurangan tutupan lahan wilayah Jabodetabek tahun 1995-2005

Kepadatan penduduk sangat mempengaruhi penggunaan/tutupan lahan yang ada di Jabodetabek. Wilayah Jabodetabek terdiri dari 13 bagian administrasi. Setiap bagian memiliki kepadatan yang berbeda-beda. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2008, jumlah penduduk yang terhitung akan dirangkum pada Tabel 7.

Tabel 7 Jumlah Penduduk Jabodetabek

1990 1995 2005

KEPULAUAN SERIBU 20.878

KOTA JAKARTA SELATAN 1.905.000 2.027.356 2.007.172

KOTA JAKARTA TIMUR 2.031.000 2.368.819 2.404.127

KOTA JAKARTA PUSAT 1.075.000 981.798 890.237

KOTA JAKARTA BARAT 1.628.000 2.130.040 2.093.185

KOTA JAKARTA UTARA* 1.289.000 1.553.488 1.447.805

BOGOR 3.690.082 4.369.292 3.835.564 BEKASI 2.064.315 2.708.920 1.985.145 KOTA BOGOR 269.412 414.469 782.406 KOTA BEKASI 1.997.524 KOTA DEPOK 1.378.937 TANGERANG 2.611.280 2.360.705 3.206.112 KOTA TANGERANG 1.169.352 1.475.697 Sumber : BPS 2008

Berdasarkan data dari BPS tersebut dapat terlihat adanya hubungan antara pengaruh sosial terhadap penggunaan/tutupan lahan di kawasan Jabodetabek. Penggunaan/tutupan lahan terbangun dan pertanian non sawah di Jabodetabek berbanding lurus dengan peningkatan jumlah penduduk pada tahun 1990 hingga 2005. Peningkatan lahan terbangun sejak tahun 1990-2005 tercatat seluas 92.603,75 Ha dan lahan pertanian non sawah 7.168 Ha. Sedangkan penggunaan lahan hutan semakin menurun seiring pertumbuhan penduduk yang terjadi. Pola pemanfaatan ruang Jabodetabek mengalami dinamika yang cukup pesat seiring dengan dinamika penduduk dan aktivitas masyarakat di wilayah tersebut. Berdasarkan kajian tentang pola penggunaan lahan di Jabodetabek data tahun 1990-2005 dapat dilihat kebutuhan ruang untuk pemenuhan sarana permukiman dan fasilitas meningkat cukup pesat. Namun di sisi lain lahan pertanian selalu menjadi jenis lahan yang paling banyak mengalami konversi.

Pola Umum Perubahan Penggunaan/Tutupan Lahan

Suatu fenomena perubahan lahan yang terjadi di Jabodetabek dari tahun ke tahun membentuk suatu pola tersendiri. Pola perubahan lahan tersebut dibuat untuk menggambarkan peluang terjadinya konversi penggunaan/tutupan lahan dari satu jenis penggunaan/tutupan lahan ke penggunaan/tutupan lainnya. Hasil analisis menunjukan adanya pola-pola yang terbentuk dari arah perubahaan lahan tahun 1990 hingga 1995. Hutan dalam periode ini mengalami konversi yang cukup besar, karena hutan memiliki land rent ekonomi yang paling rendah sehingga paling rentan terkonversi oleh penggunaan lahan lain. Pertanian non sawah dan sawah memiliki total luasan yang sebagian besar berasal dari hasil konversi hutan dengan masing-masing sebesar 25.504 Ha dan 10.502 Ha. Sawah mengalami konversi menjadi pertanian non sawah begitu pula sebaliknya. Terhitung sebesar 58.603Ha lahan pertanian non sawah dikonversi menjadi lahan sawah dan sebaliknya lahan sawah yang terkonversi menjadi pertanian non sawah

sebesar 47.457 Ha. Di sisi lain badan air memiliki arah pola perubahan berhubungan dengan sawah yaitu sebesar 1.136 Ha. Pertanian non sawah dan sawah memberikan nilai terbesar pada perubahaan lahan menjadi lahan terbangun. Penggunaan/tutupan lahan tersebut memiliki nilai proporsi perubahan masing-masing sebesar 9.371 Ha dan 20.902 Ha atau sebesar 5,6% dan 8,1% dari luas total masing-masing penggunaan/tutupan lahan tersebut. Kesimpulan dari hasil pemapaaran pola perubahan dapat digambarkan sebagaimana disajikan pada Gambar 11

Gambar 11 Bagan alir pola perubahan Jabodetabek tahun 1990-1995 berdasarkan dua perubahan terbesar

Desakan ekonomi dan tingginya populasi, berdasarkan teori land rent

mendorong masyarakat lebih memilih untuk mengelola lahan yang memiliki nilai keuntungan yang lebih tinggi. Nilai land rent daerah terbangun dianggap lebih menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi dari penggunaan/tutupan lahan lainnya. Pola yang terbentuk pada periode 1995 hingga 2005 masih sama dengan periode 1990-1995. Namun terlihat adanya peningkatan konversi yang terjadi disetiap jenis penggunaan. Lahan hutan mengalami peningkatan tingkat konversi ke arah penggunaan/tutupan lahan lain. Terhitung sebesar 41.075 Ha dan 12.1012 Ha dari total luas hutan di Jabodetabek mengalami perubahan ke arah pertanian non sawah dan sawah. Salah satu lokasi lahan sawah yang mengalami konversi menjadi pertanian non sawah yaitu di Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor. Sedangkan contoh lokasi yang mengalami konversi dari pertanian non sawah menjadi sawah yaitu Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang. Luas lahan terbangun pada periode 1995 hingga 2005 juga mengalami peningkatan. Terlihat pada Gambar 12, lahan terbangun banyak berasal dari konversi lahan sawah dan pertanian non sawah yaitu seluas 39.057 Ha dan 18.533 Ha. Hal ini dibuktikan dengan data lapang, salah satu perubahan tersebut terjadi di Kecamatan Teluk

20.902 Ha Hutan (129.218 Ha) 25.504 Ha 10.502 Ha Lahan terbangun (57.548 Ha)

Pertanian non sawah (100.368 Ha) 58.603Ha 47.457 Ha 9.371 Ha Badan air (1.136 Ha) Sawah (188.397 Ha) 1.136 Ha

Naga, Kabupaten Tangerang terdapat konversi dari lahan sawah ke lahan terbangun. Konversi lahan pertanian non sawah menjadi lahan terbangun terjadi di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor. Hal ini terjadi akibat adanya kiris ekonomi yang dialami oleh Indonesia pada rentang tahun tersebut, sehingga gelombang migrasi penduduk yang mencari pekerjaan di kawasan Jabodetabek meningkat pada masa itu. Akibatnya kebutuhan akan lahan akan semakin tinggi

Dokumen terkait