• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus di Perairan Selatan Sulawesi

Pemodelan pola arus perairan Selatan Sulawesi dilakukan dalam simulasi tahunan dan musiman pada beberapa kedalaman, yaitu 10 m, 50 m dan 100 m. Kecepatan ARLINDO di Selat Makassar semakin kuat pada monsun tenggara berlangsung (bulan Juni-Agustus pada Gambar 6) dan terlihat adanya resirkulasi yang kuat di perairan Selatan Sulawesi. Arus yang kuat berasal dari Laut Jawa menuju Laut Banda pada Musim Barat, sedangkan pada Musim Timur arus yang kuat berasal dari lintasan ARLINDO yang masuk melalui Selat Makassar. Arus di perairan Selatan Sulawesi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain angin monsun dan ARLINDO di wilayah Selat Makassar. Selama monsun tenggara berlangsung, kecepatan angin meningkat pada bulan Mei hingga Agustus dan angin bergerak secara paralel ke arah garis pantai.

Angin monsun tenggara mulai intensif pada bulan Juni hingga awal Juli, kemudian kecepatan angin menurun, memperlihatkan relaksasi dari angin monsun. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Habibi et al. 2010 bahwa angin yang sangat kuat muncul pada bulan Juli dengan kecepatan sekitar 7 m/s, yang merupakan puncak dari angin monsun tenggara. Angin monsun tenggara menggeser massa air dari Selat Makassar, sehingga transpor di Selat Makassar meningkat dan mengurangi arus Laut Cina Selatan yang melintas di Selat Karimata (Fang et al. 2010). Kecepatan arus maksimum terjadi pada bulan Juli-September, sekitar 1 bulan setelah monsun tenggara berlangsung, dengan kecepatan sebesar 0.8 m/s (Susanto et al. 2012). Selama monsun barat laut (bulan Februari-April pada Gambar 6), arus yang kuat mengalir dari Laut Jawa yang menuju ke Laut Banda, arus ini membawa massa air bersalinitas rendah ke perairan Selatan Sulawesi.

Resirkulasi menyebabkan arus di perairan Selatan Sulawesi terbawa ke dalam lintasan ARLINDO dan membuat adanya divergensi arus di sepanjang pantai yang mengikuti arah lintasan ARLINDO yang terlihat pada bulan Juni-Agustus pada Gambar 6. Arus di perairan Selatan Sulawesi juga berkaitan erat dengan ARLINDO yang melintasi Selat Makassar. Kecepatan arus di sekitar Selat Makassar adalah sekitar -0.6 m/s pada bulan Oktober-Desember. ARLINDO dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara laut dan gaya-gaya atmosferik baik dari Samudera Pasifik maupun Samudera Hindia, seperti pasang surut, Madden-Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin dan Rossby, monsun Asia-Australia,

El-Niño Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) (England

et al. 2005). Transpor ARLINDO pada Selat Makassar yang melewati perairan Selatan Sulawesi bervariasi secara musiman dan tahunan. Transpor maksimum terjadi di lapisan permukaan dan termoklin (0-230 m) selama monsun tengara (Juni-Agustus). Sebaliknya, pada lapisan termoklin bawah dan lapisan yang lebih dalam, transpor maksimum terjadi pada monsun barat laut (Januari-Maret). Transpor minimum untuk keseluruhan kolom air terjadi pada monsun transisi di bulan Oktober-Desember. Rataan transpor musiman berkisar antara 15.5 Sv (monsun barat laut), 13.7 Sv (monsun transisi I), 14.2 Sv (monsun tenggara) dan 9.6 Sv (monsun transisi II).

13 Kecepatan ARLINDO lebih tinggi pada kedalaman 50 m (Gambar 7) namun terdapat pelemahan kekuatan arus pada Musim Barat (bulan Oktober Gambar 7). Kecepatan arus semakin tinggi pada kedalaman 100 m (Gambar 8) di sepanjang Selat Makassar menuju Laut Flores. Gordon et al. (2008) menyatakan bahwa kecepatan ARLINDO mencapai maksimum pada kedalaman 110-140 m. Kecepatan arus menunjukkan intensifikasi termoklin dengan kecepatan maksimum pada kedalaman sekitar 120 m pada puncak monsun tenggara (Juli-September). Kecepatan maksimum bervariasi terhadap kedalaman dengan penambahan kecepatan. Kecepatan lebih kuat selama monsun barat laut di kedalaman kurang dari 200 m dibandingkan dengan monsun tenggara. Kecepatan minimum pada kedalaman di atas 800 m terjadi pada bulan Oktober-Desember, menunjukkan transisi fase dari monsun tenggara ke monsun barat laut.

Gambar 6 Pola arus di kedalaman 10 m. Nilai arus merupakan arus bulanan yang dirata-ratakan selama satu tahun. Rataan arus diperoleh melalui hasil resultan dari penjumlahan rata-rata komponen zonal dan meridional. Kontur warna menunjukkan kecepatan dan panah hitam menunjukkan arah arus. Arah arus dominan ditunjukkan oleh panah putih.

Berbeda dengan kecepatan, arah arus tidak menunjukkan adanya perbedaan di ketiga level kedalaman. Arus di perairan Selatan Sulawesi pada Musim Barat berasal dari Laut Jawa menuju Laut Banda dan kembali ke Laut Jawa pada Musim Timur. Namun arus di kedalaman 100 m pada Musim Timur cenderung mengarah melewati celah Selat Selayar menuju Laut Flores, sedangkan pada kedalaman di atasnya (10 m dan 50 m) arus terdefleksi sebagian keluar Selat Selayar dan

14

sebagian besar cenderung mengarah kembali ke lintasan ARLINDO dan menimbulkan adanya resirkulasi. Kartadikaria et al. (2011) menyatakan bahwa kompleksitas topografi dan garis pantai di Selat Makassar membangkitkan lintasan tipe eddy. Adanya basin yang curam dan dalam (kedalaman >500 m) antara Laut Jawa dan Flores menunjukkan area munculnya eddy di sebelah utara Pulau Lombok. Resirkulasi semakin berkurang dengan penambahan kedalaman, hal ini dikarenakan arus yang semakin kuat yang keluar melalui Selat Selayar.

Gambar 7 Pola arus di kedalaman 50 m. Nilai arus merupakan arus bulanan yang dirata-ratakan selama satu tahun. Rataan arus diperoleh melalui hasil resultan dari penjumlahan rata-rata komponen zonal dan meridional. Kontur warna menunjukkan kecepatan dan panah hitam menunjukkan arah arus. Arah arus dominan ditunjukkan oleh panah putih.

Kecepatan dan arah arus menunjukkan adanya variasi musiman di perairan Selatan Sulawesi, kecepatan semakin besar selama monsun tenggara (JAS pada Gambar 9). Kedalaman maksimum bagi kecepatan ARLINDO bertambah dalam saat monsun barat laut dan semakin dangkal pada monsun tenggara. Semakin kuatnya ARLINDO pada perairan yang lebih dalam menyebabkan massa air di perairan dalam mampu terdorong ke arah Laut Flores dan tidak mengalami resirkulasi ke arah lintasan ARLINDO. Sedangkan massa air di permukaan memiliki kecepatan arus yang lebih lemah, menyebabkan arus cenderung mengalami resirkulasi karena adanya Pulau Selayar dan mengikuti arah lintasan ARLINDO yang memiliki kecepatan yang lebih besar (Gambar 9).

15 Resirkulasi di lintasan ARLINDO berasosiasi dengan angin monsun tenggara yang melewati perairan Selatan Sulawesi pada Musim Timur. Resirkulasi cenderung membentuk eddy di sebelah utara Pulau Lombok dengan arah anti-siklonik (AMJ dan JAS pada Gambar 9). Divergensi yang tinggi dan transpor Ekman positif (Kartadikaria et al. 2012) membuat adanya akumulasi massa air di basin Lombok yang ditunjukkan oleh panah putih (Gambar 9) pada bulan Juli-September (JAS) di sebelah barat Pulau Selayar. Proses ini mengakibatkan kekosongan di permukaan pada wilayah pantai perairan Selatan Sulawesi, sehingga air pada lapisan yang lebih dalam akan ditranspor ke permukaan. Wilayah upwelling di sebelah timur eddy menunjukkan asal muasal dari transpor massa air dari konvergensi Ekman yang membangkitkan upwelling

pada wilayah Lombok Eddy (JAS pada gambar 9). Akumulasi massa air ini menunjukkan pola anti-siklonik yang menenggelamkan lapisan tercampur dan termoklin (Kartadikaria et al.2012).

Gambar 8 Pola arus di kedalaman 100 m. Nilai arus merupakan arus bulanan yang dirata-ratakan selama satu tahun. Rataan arus diperoleh melalui hasil resultan dari penjumlahan rata-rata komponen zonal dan meridional. Kontur warna menunjukkan kecepatan dan panah hitam menunjukkan arah arus. Arah arus dominan ditunjukkan oleh panah putih.

16

Gambar 9 Pola arah dan kecepatan arus musiman. Arah dan kecepatan arus merupakan rata-rata setiap tiga bulan selama satu tahun di kedalaman 10 m untuk periode Januari-Maret (JFM), April-Juni (AMJ), Juli-September (JAS), Oktober-Desember (OND)

Interaksi Topografi terhadap Suhu dan Arus Permukaan Laut

Pemodelan suhu permukaan laut dilakukan dengan merata-ratakan suhu harian menjadi rataan bulanan selama satu tahun. Tiga skenario diterapkan pada model untuk mengetahui faktor utama penyebab upwelling di perairan Selatan Sulawesi, skenario tersebut dimaksudkan untuk melihat peran Selat Selayar terhadap sirkulasi arus di perairan Selat Selayar. Kondisi normal (Skenario 1) menunjukkan bahwa perairan Selatan Sulawesi memiliki suhu yang lebih rendah dibandingkan daerah di sekitarnya sepanjang tahun, namun intensitas terbesar terjadi pada Musim Timur. Suhu permukaan laut mencapai minimum pada bulan Agustus, yaitu <28.5oC (Gambar 10).

Penurunan suhu mulai terjadi pada bulan Mei dan meningkat kembali pada bulan September. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Setiawan et al.

17 (2010) bahwa daerah perairan selatan Sulawesi memiliki suhu permukaan laut yang rendah pada bulan Juni dan terus mengalami peningkatan penurunan hingga bulan Agustus, suhu kembali meningkat (hangat) pada bulan September. Suhu yang rendah dapat disebabkan oleh adanya resirkulasi sebagian dari ARLINDO dan peran dari angin monsun tenggara. ARLINDO yang kuat pada Musim Timur menyebabkan adanya dorongan massa air yang besar menuju perairan Selatan Sulawesi dan mengalir menuju ke Laut Flores. Gordon et al. (2008) menyatakan bahwa ARLINDO di Selat Makassar menunjukkan adanya variasi musiman. Transpor ARLINDO mencapai maksimum pada akhir monsun tenggara dan minimum pada monsun transisi.

Gambar 10 Evolusi suhu permukaan laut dan arus pada Skenario 1. Suhu permukaan laut dirata-ratakan selama satu tahun pada kedalaman 10 m. Puncak penurunan suhu perairan terlihat pada bulan Agustus Penurunan suhu permukaan laut selama monsun tenggara berlangsung memperlihatkan adanya fenomena upwelling di perairan Selatan Sulawesi (bulan Agustus pada Gambar 11). Upwelling mulai muncul pada akhir monsun transisi I (bulan Mei) dan berkurang saat memasuki monsun transisi II (awal September). Kejadian ini menunjukkan adanya peran angin monsun sebagai pembangkit

upwelling di wilayah perairan Selatan Sulawesi. Angin monsun tenggara yang melewati perairan Selatan Sulawesi bertiup dengan kecepatan tinggi secara paralel menuju ke arah pantai yang berpotensi untuk mengembangkan wind-driven upwelling. Pergerakkan arus permukaan laut dibangkitkan oleh angin, efek Coriolis dan spiral Ekman. Angin monsun yang bertiup dari arah tenggara

18

melewati perairan Selatan Sulawesi bergerak ke arah barat laut. Keseimbangan antara gesekan angin dan gaya Coriolis mengakibatkan arus bergerak 45o menjauhi pantai dan transpor massa air sebesar 90o menjauhi pantai.

Hasil model menunjukkan adanya peningkatan luasan daerah upwelling

akibat penutupan Selat Selayar. Adanya Pulau Selayar pada Selatan Sulawesi menjadi penghalang arus yang mengarah ke Laut Flores, sehingga arus akan berputar ke arah timur dan ter-resirkulasi sebagian mengikuti ARLINDO. Penutupan Selat Selayar (Gambar 11,12) menunjukkan bahwa eksistensi daratan menjadi feed up bagi upwelling di perairan Selatan Sulawesi sehingga terjadi peningkatan intensitas upwelling. Hal ini dikarenakan tidak ada celah (Selat Selayar) yang menjadi pintu keluar arus menuju Laut Flores. Resirkulasi yang terjadi menimbulkan adanya konvergensi arus menuju kembali ke lintasan ARLINDO, sehingga terjadi divergensi arus di sepanjang pantai. Divergensi arus di permukaan pantai menuju laut lepas menimbulkan kekosongan di permukaan laut, sehingga kekosongan tersebut diisi oleh massa air dibawahnya yang lebih dingin dengan salinitas tinggi.

Gambar 11 Evolusi suhu permukaan laut dan arus pada Skenario 2. Suhu permukaan laut dirata-ratakan selama satu tahun pada kedalaman 10 m. Penutupan Selat Selayar dilakukan dengan mendigitasi selat dan mendefinisikan sebagai daratan

19

Gambar 12 Evolusi suhu permukaan laut dan arus pada Skenario 3. Suhu permukaan laut dirata-ratakan selama satu tahun pada kedalaman 10 m. Kondisi no slip mengakibatkan suhu perairan lebih tinggi dibandingkan kondisi free slip

Keterkaitan Variabel Atmosferik dan Oseanik terhadap intensitas Upwelling

Data masukan model berupa nilai beberapa variabel atmosferik divisualisasikan dalam bentuk diagram hovmüller serta penampang vertikal. Komponen fluks bahang dan wind stress dapat langsung dibaca melalui dokumen

forcing. Komponen fluks bahang merupakan komputasi dari total fluks bahang laten, sensibel, solar dan gelombang panjang. Penurunan suhu permukaan laut terjadi pada awal bulan Mei? dengan puncak terendah terjadi pada bulan Agustus dan terjadi peningkatan suhu kembali pada akhir bulan Oktober dengan puncak suhu tertinggi pada bulan April. Variabel atmosferik (Gambar 13) menunjukkan variasi khusus yang terjadi pada Musim Timur. Variasi yang sama dengan suhu permukaan laut ditunjukkan oleh variabel wind stress (meridional) yang memiliki puncak intensitas maksimum pada bulan Agustus, sedangkan zonal wind stress

memiliki puncak intensitas minimum pada bulan Agustus. Wilayah yang memiliki suhu minimum terletak pada wilayah sekitar pantai (sekitar titik A) dan terjadi peningkatan suhu ke arah lepas pantai (sekitar titik B), pola ini juga ditunjukkan oleh variabel wind stress (zonal dan meridional), serta radiasi gelombang pendek.

Pola pada waktu upwelling menunjukkan bahwa wind stress (meridional) memiliki peran utama dalam perubahan suhu permukaan laut dibandingkan fluks

20

bahang permukaan dan radiasi short wave. Wind stress yang kuat dipicu oleh adanya angin monsun tenggara yang bertiup ke wilayah Indonesia pada Musim Timur. Angin membangkitkan tegangan angin di permukaan laut. Besar tegangan tergantung kepada besarnya kecepatan angin, kekasaran permukaan laut dan densitas air laut. Selama angin monsun barat laut berlangsung (Januari-Maret), massa air bersalinitas rendah yang berasal dari Laut Jawa bergerak ke perairan Selatan Sulawesi oleh angin zonal barat. Sedangkan selama angin monsun tenggara (Juli-September) angin bergerak ke arah barat, membuat lapisan permukaan pada perairan Selatan Sulawesi memiliki salinitas yang lebih tinggi yang dikarenakan massa air bersalinitas rendah tergantikan dan terjadi transpor massa air bersalinitas tinggi dari laut dalam yang berasal dari Laut Flores dan Laut Banda (Gordon et al. 2003).

Komponen fluks bahang menunjukkan bahwa Qrlw dan Qsen memiliki peran dalam melepas bahang lebih besar dibandingkan komponen lainnya. Transfer bahang antara permukaan laut dengan atmosfer terjadi akibat konduksi dan konveksi, efek evaporasi dan tegangan permukaan. Transfer bahang sensibel terjadi melalui proses konduksi. Konduksi merupakan peristiwa hilangnya panas dari permukaan laut ke udara, karena suhu permukaan laut lebih hangat dari permukaan di atasnya. Kondisi ini menyebabkan penurunan suhu permukaan laut, sehingga terjadi peningkatan densitas dan penenggelaman massa air.

Peningkatan fluks bahang dapat dipengaruhi oleh peningkatan intensitas

wind stress (Sterl et al. 2003). Renault et al. (2012) menyatakan bahwa intensifikasi angin dapat meningkatkan pelepasan bahang melalui fluks bahang. Penurunan suhu oleh fluks bahang permukaan meningkatkan densitas permukaan air, kemudian upwelling dan angkutan massa air dingin baru yang berasal dari lepas pantai muncul ke permukaan menimbulkan kondisi konveksi yang tidak stabil dan bergabung dengan pengadukan oleh angin menghasilkan pencampuran secara vertikal yang kuat. Proses pencampuran vertikal ini merupakan proses estafet yang membawa massa air ke permukaan yang telah terangkat melalui proses upwelling. Stratifikasi densitas air laut akibat penambahan kedalaman yang berintegrasi dengan angin monsun tenggara pada Musim Timur mengakibatkan suhu perairan menurun dan peningkatan densitas, sehingga terdapat energi untuk menggerakkan massa air dari laut dalam ke permukaan secara vertikal.

Variabel oseanik pada transek A-B (Gambar 14) menunjukkan bahwa suhu permukaan laut memiliki variasi yang sama dengan suhu potensial, salinitas, elevasi permukaan laut dan koefisien difusivitas vertikal pada Musim Timur (Juni-Oktober). Suhu yang rendah pada Musim Timur diikuti dengan peningkatan difusivitas vertikal. Peningkatan difusi vertikal akibat peningkatan intensitas angin menyebabkan pencampuran vertikal yang kuat dan menimbulkan upwelling.

Upwelling yang terjadi mengakibatkan peningkatan salinitas dan penurunan elevasi muka laut di sekitar perairan Selatan Sulawesi. Penurunan elevasi muka laut pada waktu upwelling disebabkan oleh transpor Ekman di lepas pantai (Pickart et al. 2013). Upwelling cenderung meningkatkan penyesuaian kondisi dengan membuat lapisan permukaan menjadi lebih dangkal dan cenderung untuk menurunkan suhu permukaan laut dengan membawa massa air yang lebih dingin dengan salinitas tinggi ke permukaan, karena pencampuran di lapisan permukaan dapat terjadi lebih mudah dibandingkan di lapisan dalam.

21

Gambar 13 Diagram hovmüller variabel atmosferik pada transek A-B. Garis putus-putus menunjukkan batas Musim Timur dan Musim Barat

Gambar 14 Diagram hovmüller variabel oseanik pada transek A-B. Garis putus-putus menunjukkan batas Musim Timur dan Musim Barat

22

Gambar 15 Penampang vertikal variabel oseanik transek A-B pada bulan Februari (kiri) dan bulan Agustus (kanan)

Penampang vertikal variabel oseanik (Gambar 15) juga dikomputasi pada bulan yang mewakili Musim Barat (bulan Februari) dan Musim Timur (bulan Agustus). Pola penurunan suhu dan peningkatan salinitas serta densitas potensial pada Musim Timur menunjukkan adanya fenomena upwelling yang mengikuti pola arus zonal dan meridional, energi kinetik dan kecepatan arus. Kecepatan arus zonal dan meridional menurun, memiliki pola arah ke barat di sekitar semenanjung Selatan Sulawesi dan menjauhi wilayah pantai dengan dominansi

23 dari arus zonal. Energi kinetik dan kecepatan arus meningkat sangat tinggi di permukaan laut pada Musim Timur. Energi kinetik permukaan yang intens memiliki kontribusi terhadap aktivitas mesoscale yang kuat (jets dan eddies) yang merupakan karakter dari fenomena upwelling (Lathuiliére et al. 2010).

Analisis Diagnostik

Analisis diagnostik dilakukan untuk mengetahui nilai dari setiap suku komponen gaya-gaya pada permukaan. Nilai rataan untuk setiap komponen persamaan momentum dapat dihitung dengan mendefinisikan variabel diagnostik. Gaya adveksi secara garis besar pada Musim Timur memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan pada Musim Barat (Gambar 16). Adveksi merupakan proses transpor properti air laut (bahang, salinitas dan properti lainnya) melalui gelombang air laut (Kӓmpf 2009). Nilai pada komponen meridional dan komponen zonal pada Musim Timur menunjukkan arus yang bergerak ke arah selatan di sepanjang lintasan ARLINDO. Hal ini dikarenakan intensitas ARLINDO yang masuk melalui Selat Selayar pada Musim Timur. Adveksi vertikal yang tinggi pada bulan Agustus mengakibatkan perubahan bahang dan lapisan kedalaman tercampur. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh angin monsun tenggara yang bergerak melewati perairan Sulawesi bagian Selatan di Musim Timur. Adveksi vertikal mengakibatkan penurunan suhu dan penenggelaman lapisan tercampur yang dapat meningkatkan aktivitas pencampuran vertikal.

Sama halnya dengan gaya adveksi, komponen gradien tekanan dan pencampuran vertikal memiliki nilai lebih tinggi pada Musim Timur dibandingkan pada Musim Barat. Gradien tekanan yang tinggi di Musim Timur menunjukkan perbedaan densitas yang tinggi di Perairan Selatan Sulawesi. Hal ini terlihat pada Musim Timur di ujung selatan Pulau Sulawesi yang memiliki gradien tekanan yang tinggi, menunjukkan bahwa terdapat peningkatan densitas yang dapat memicu aktivitas upwelling. Variabel percampuran vertikal meridional memiliki intensitas tinggi pada Musim Timur, hal ini dikarenakan monsun tenggara yang berlangsung selama Musim Timur.

Proses pencampuran vertikal di perairan menyebabkan difusi vertikal dan adveksi vertikal air. Seretan angin membangkitkan adveksi horizontal dan pencampuran vertikal, kedua mekanisme ini dapat merubah densitas permukaan air. Foltz et al. (2006) menyatakan bahwa adveksi horizontal memiliki efek yang paling signifikan dengan variabilitas yang paling kuat. Adanya tekanan yang tinggi pada musim Timur di bulan Agustus mengakibatkan arus bergerak ke arah tekanan rendah, terjadi perbedaan deensitas baik secara vertikal maupun secara horizontal. Oleh gaya Coriolis, arus dibelokkan ke kiri 90o dengan tekanan yang konstan sehingga terjadi divergensi arus yang menimbulkan upwelling.

24

Gambar 16 Komponen forcing pada Musim Barat dan Musim Timur di perairan Selatan Sulawesi

Mekanisme Upwelling

Dugaan mekanisme upwelling yang terjadi di perairan Selatan Sulawesi yaitu dibangkitkan oleh angin monsun tenggara yang melewati perairan Selatan Sulawesi pada Musim Timur (Gambar 17). Komponen zonal dan meridional wind stress menunjukkan bahwa terdapat angin yang kuat yang bertiup ke arah barat laut pada Musim Timur. Angin tersebut berpotensi membuat wind-driven upwelling di perairan Selatan Sulawesi yang berasosiasi dengan Ekman pumping. Hal ini sesuai dengan Gordon et al. (2005) yang menyatakan bahwa Ekman

pumping di wilayah Selat Makassar terkuat terjadi pada Juli hingga September dengan pengaruh kuat dari seretan angin (wind stress) yang membangkitkan Ekman upwelling, dan efek dari transpor Ekman tersebut mengakibatkan penurunan suhu permukaan laut serta produktivitas primer yang tinggi di wilayah Selat Makassar.

Peningkatan intensitas angin mengakibatkan peningkatan difusi vertikal dan mempengaruhi fluks bahang menuju ke arah positif (melepas panas). Pelepasan panas oleh fluks bahang menyebabkan densitas air laut meningkat sehingga massa

25 air tenggelam dan meningkatkan aktivitas pencampuran vertikal, yang dipengaruhi juga oleh gabungan peningkatan komponen difusi vertikal dan kecepatan vertikal. Kondisi ini menyebabkan terjadinya upwelling di perairan Selatan Sulawesi. Angin monsun tenggara juga menyebabkan perubahan pada komponen penggerak arus yaitu adveksi (horizontal dan vertikal), gradien tekanan dan pencampuran vertikal yang berpengaruh terhadap densitas perairan.

Resirkulasi sebagian oleh ARLINDO dan eksistensi Pulau Selayar menjadi

feed up bagi upwelling di Musim Timur. Adanya Pulau Selayar sebagai penghalang arus ke arah Laut Flores dan topografi yang kompleks di wilayah ini menyebabkan arus kembali ke lintasan ARLINDO dan membentuk Lombok Eddy

yang berasosiasi dengan angin monsun tenggara. Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan intensitas upwelling yang dibangkitkan oleh angin monsun tenggara.

Upwelling menyebabkan penurunan suhu permukaan laut, penurunan elevasi permukaan dan peningkatan salinitas.

Gambar 17 Mekanisme upwelling di perairan Selatan Sulawesi

Dokumen terkait