• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Mekanisme Upwelling Menggunakan Pemodelan Numerik di Perairan Selatan Sulawesi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Mekanisme Upwelling Menggunakan Pemodelan Numerik di Perairan Selatan Sulawesi"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI MEKANISME

UPWELLING

MENGGUNAKAN

PEMODELAN NUMERIK DI PERAIRAN SELATAN

SULAWESI

PRISKA WIDYASTUTI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Mekanisme

Upwelling Menggunakan Pemodelan Numerik di Perairan Selatan Sulawesi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Priska Widyastuti

(4)

ABSTRAK

PRISKA WIDYASTUTI. Studi Mekanisme Upwelling Menggunakan Pemodelan Numerik di Perairan Selatan Sulawesi. Dibimbing oleh AGUS SALEH ATMADIPOERA.

Perairan Sulawesi bagian Selatan merupakan perairan yang dikenal penting dalam bidang perikanan karena memiliki kesuburan dan kelimpahan sumber daya laut yang tinggi. Intensitas angin meningkat pada bulan Juni dan suhu permukaan laut menurun setelah angin monsun tenggara melewati semenanjung selatan Pulau Sulawesi yang mengindikasikan adanya upwelling. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan penyebab dan penggerak dari mekanisme upwelling yang terjadi berdasarkan hipotesis dan mendeskripsikan pengaruh interaksi topografi dan arus terhadap intensitas upwelling, sebaran upwelling serta siklus tahunan parameter atmosferik dan oseanik di perairan Sulawesi bagian Selatan. Konfigurasi model dibangun menggunakan versi ROMS AGRIF dalam tiga skenario dan divalidasi dengan suhu permukaan laut hasil pencitraan NOAA AVHRR. Terdapat angin monsun tenggara ke arah barat laut pada Musim Timur. Peningkatan intensitas angin mengakibatkan peningkatan difusi vertikal dan menambah aktivitas pencampuran vertikal yang membangkitkan upwelling. Resirkulasi ARLINDO meningkatkan intensitas upwelling dan adanya Selat Selayar berperan sebagai penghalang arus yang keluar dari perairan Selatan Sulawesi menuju ke Laut Banda.

Kata kunci: ARLINDO, monsun, ROMS, Sulawesi, upwelling.

ABSTRACT

PRISKA WIDYASTUTI. A Study of Upwelling Mechanism Using a Numerical Model at Southern Sulawesi Sea. Supervised by AGUS SALEH ATMADIPOERA.

Southern Sulawesi Sea is well-known for having high abundance of marine and fisheries source in the field of fisheries. The southeasterly winds begin to intensify in June and sea surface temperature decrease after southeast monsoon passing the corner of the Sulawesi peninsula, indicates the upwelling phenomenon. This research aims to describe the dynamics of upwelling mechanism based on hypothesis and to describe the effect of topographic interaction and sea currents on upwelling intensity, distribution of upwelling and annual cycle of atmospheric and oceanic parameter at Southern Sulawesi Sea. The configuration of model was built using ROMS AGRIF version in three scenarios and validated with NOAA AVHRR imagery of sea surface temperature. The winds directs northwestward begin to intensify during southeast monsoon, causes the increase of vertical diffusivity and vertical mixing that generates upwelling. ITF’s resirculation increase the intensity and Selayar Strait have a role as a barrier for Southern Sulawesi Sea outflow current to Banda Sea.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

STUDI MEKANISME

UPWELLING

MENGGUNAKAN

PEMODELAN NUMERIK DI PERAIRAN SELATAN

SULAWESI

PRISKA WIDYASTUTI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Studi Mekanisme Upwelling Menggunakan Pemodelan Numerik di Perairan Selatan Sulawesi

Nama : Priska Widyastuti NIM : C54100072

Disetujui oleh

Dr Ir Agus Saleh Atmadipoera, DESS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir I Wayan Nurjaya, MSc Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari hingga bulan April 2014 ini ialah pemodelan oseanografi, dengan judul Studi Mekanisme Upwelling

Menggunakan Pemodelan Numerik di Perairan Selatan Sulawesi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Agus Saleh Atmadipoera, DESS selaku pembimbing dan kepada Prof Dr Mulia Purba sebagai penguji tamu. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir I Wayan Nurjaya, MSc selaku ketua departemen, Bapak Dr Ir Henry M Manik, ST selaku ketua komisi pendidikan dan seluruh staf Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga usulan skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

METODE 3

Lokasi dan Waktu Penelitian 3

Prosedur Analisis Data 4

Model Numerik 4

Validasi Data 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Pola Arus di Perairan Selatan Sulawesi 12

Interaksi Topografi terhadap Suhu dan Arus Permukaan Laut 16 Keterkaitan Variabel Atmosferik dan Oseanik terhadap Intensitas Upwelling 19

Analisis Diagnostik 23

Mekanisme Upwelling 24

SIMPULAN DAN SARAN 25

Simpulan 25

Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 26

(10)

DAFTAR TABEL

1 Parameter umum konfigurasi model 7

DAFTAR GAMBAR

1 Simpangan baku suhu permukaan laut dan klorofil-A di Perairan

Selatan Sulawesi 1

2 Domain model dan batimetri perairan Selatan Sulawesi 4

3 Diagram alir proses pembuatan model 9

4 Hasil validasi suhu permukaan laut model ROMS dengan citra NOAA

AVHRR tahun 2007-2012 10

5 Hasil validasi arus meridional model ROMS 11

6 Pola arah dan kecepatan arus di kedalaman 10 m 13 7 Pola arah dan kecepatan arus di kedalaman 50 m 14 8 Pola arah dan kecepatan arus di kedalaman 100 m 15

9 Pola arah dan kecepatan arus musiman 16

10 Evolusi suhu permukaan laut dan arus pada Skenario 1 17 11 Evolusi suhu permukaan laut dan arus pada Skenario 2 18 12 Evolusi suhu permukaan laut dan arus pada Skenario 3 19 13 Diagram hovmüller variabel atmosferik pada transek A-B 21 14 Diagram hovmüller variabel oseanik pada transek A-B 21 15 Penampang vertikal variabel oseanik transek A-B pada bulan Februari

dan bulan Agustus 22

16 Komponen forcing pada Musim Barat dan Musim Timur di perairan

Selatan Sulawesi 24

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perairan Sulawesi bagian Selatan merupakan perairan yang dikenal penting dalam bidang perikanan karena memiliki kesuburan dan kelimpahan sumber daya laut yang tinggi. Perairan ini mencakup perairan Selat Makassar, Laut Jawa dan Laut Flores. Setiawan et al. (2010) menyatakan bahwa suhu permukaan laut di wilayah ini berkisar antara 29-30oC pada bulan Mei dengan konsentrasi klorofil yang rendah sekitar 0.3 mg/m3, sedangkan pada bulan Juni konsentrasi klorofil meningkat hingga mencapai maksimum (1.3 mg/m3) dengan suhu permukaan laut rendah dan memiliki puncak penurunan (~3oC) pada bulan Agustus. Suhu di perairan Selatan Sulawesi kembali meningkat pada bulan September. Suhu tertinggi dan salinitas terendah di perairan Selatan Sulawesi terjadi pada bulan Desember-Maret, sedangkan suhu terendah dan salinitas tertinggi terjadi pada bulan Juni-November (Susanto et al. 2012).

Kondisi arus perairan Selatan Sulawesi juga dipengaruhi oleh Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) yang melintasi Selat Makassar sebagai jalur utama ARLINDO di Indonesia. Nilai transpor massa air di wilayah ini pada bulan Januari 2004 hingga bulan November 2006 adalah sebesar 11.6±3.3 Sv (Sv = 106 m3/s) dengan nilai maksimum terjadi pada bulan April-Juni dan minimum pada bulan Oktober-Desember (Gordon et al. 2008). Selama monsun tenggara berlangsung, angin permukaan bergerak ke arah barat laut dengan kecepatan yang meningkat pada bulan Mei hingga Agustus dan bergerak secara pararel ke arah pantai. Intensitas angin meningkat pada bulan Juni dan suhu permukaan laut menurun setelah angin monsun tenggara melewati semenanjung selatan Pulau Sulawesi (Habibi et al. 2010). Kondisi di sekitar perairan ini mengindikasikan adanya fenomena upwelling yang diduga sebagai penyebab tingginya kelimpahan sumber daya perikanan dan kelautan di wilayah tersebut (Setiawan et al.2010, Habibi et al. 2010). Hal ini terlihat dari anomali suhu permukaan laut dan klorofil-a (Gklorofil-ambklorofil-ar 1).

Gambar 1 Simpangan baku suhu permukaan laut (kiri) dan klorofil-A (kanan) di Perairan Selatan Sulawesi (Syahdan et al. 2014)

(12)

2

juga dapat membangkitkan upwelling, seperti adanya arus yang melintasi paparan yang memiliki isobaths yang divergen dan adanya ngarai (tebing) bawah laut (Sarhan et al. 2000). Adanya indikasi upwelling dan kelimpahan sumber daya laut di wilayah perairan Selatan Sulawesi melalui analisis citra satelit telah banyak diteliti (e.g. Setiawan et al. 2010, Habibi et al. 2010), namun penelitian mengenai mekanisme upwelling dan penggeraknya masih sedikit dilakukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk menjelaskan mekanisme upwelling yang terjadi di wilayah ini.

Pendekatan pemodelan dapat dilakukan untuk membuktikan hipotesis mengenai mekanisme upwelling di perairan Selatan Sulawesi. Kemajuan pemodelan numerik pada bidang oseanografi dan teknologi komputasi dengan biaya terjangkau telah meningkatkan kemampuan prediksi untuk bidang kelautan pantai dan regional. Salah satu model yang telah dikembangkan adalah model ROMS (Regional Ocean Modeling System) dan kemampuan membuat nesting

pada versi ROMS AGRIF. ROMS merupakan model hidrodinamika yang menggunakan persamaan primitif (primitive equation) yang dapat dikonfigurasi untuk aplikasi dalam skala regional (Marta-Almeida et al. 2010). Salah satu hasil dari model ROMS AGRIF adalah simulasi sirkulasi arus laut. ROMS AGRIF telah banyak diaplikasikan untuk mempelajari fenomena-fenomena yang terjadi di bidang kelautan, seperti deteksi reduksi meso-scale eddy pada EBUS (Eastern Boundary Upwelling Systems) (Gruber et al. 2011), batasan upwelling oleh arus geostrofik di tepi pantai (Marchesiello et al. 2011), simulasi dinamika ekosistem fitoplankton pada sistem upwelling California (Gruber et al. 2006), kajian

blooming klorofil di wilayah Pasifik Barat pada peristiwa El-Nino tahun 1997-1998 (Messie et al. 2006) dan pemodelan erosi dan transpor partikel sedimen dengan resolusi tinggi di wilayah paparan Afrika (Karakas et al. 2006).

Perumusan Masalah

Fenomena upwelling yang terjadi di perairan Selatan Sulawesi berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya hanya dikaji melalui pendekatan analisis citra, sehingga diperlukan penelitian melalui pemodelan numerik untuk mengetahui secara jelas mekanisme pembentukan upwelling. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan, antara lain:

1. Bagaimana fluktuasi tahunan suhu permukaan laut dan arus di perairan Selatan Sulawesi?

2. Bagaimana sebaran upwelling terkait dengan interaksi topografi dan arus di perairan Selatan Sulawesi?

3. Apa penyebab upwelling di perairan Selatan Sulawesi berdasarkan parameter atmosferik dan oseanik?

4. Bagaimana hasil analisis diagnostik terkait dengan mekanisme upwelling di perairan Selatan Sulawesi?

(13)

3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan penyebab dan penggerak dari mekanisme upwelling yang terjadi berdasarkan hipotesis, antara lain divergensi arus di sekitar Makassar, resirkulasi dari ARLINDO sebagian pada permukaan yang dipengaruhi oleh angin musim dan adanya dorongan arus dari selat di antara Pulau Sulawesi bagian Selatan dan Pulau Selayar (Selat Selayar) atau kombinasi ketiga kondisi tersebut dapat dapat menjadi penyebab terjadinya upwelling. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan mendeskripsikan pengaruh interaksi topografi dan arus terhadap intensitas upwelling serta sebaran upwelling serta siklus tahunan parameter atmosferik dan oseanik di perairan Sulawesi bagian Selatan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan informasi prediksi sirkulasi laut dan sebaran upwelling di wilayah perairan Sulawesi Selatan, serta memberikan penjelasan mengenai mekanisme upwelling yang terjadi secara fisik. Hasil penelitian merupakan aplikasi model yang didapat secara cepat dan akurat menggunakan model numerik ROMS AGRIF. Model yang digunakan dapat diaplikasikan secara luas di perairan Indonesia sehingga mendapatkan data yang mencakup keseluruhan perairan Indonesia baik jangka pendek dan jangka panjang. Informasi prediksi dapat digunakan sebagai pengkajian pola siklus tahunan dari arus, suhu dan salinitas yang memberikan informasi mengenai fenomena yang terjadi di perairan laut.

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

(14)

4

Gambar 2 Domain model dan batimetri perairan Selatan Sulawesi

Prosedur Analisis Data

Model Numerik

Konfigurasi model dibangun menggunakan versi ROMS AGRIF yang memiliki kelebihan dalam kemampuan nesting menggunakan AGRIF (Adaptative Grid Refinement in Fortran). ROMS memiliki karakteristik khusus, antara lain penyelesaian persamaan primitif (persamaan Boussinesq dan keseimbangan momentum hidrostatik vertikal), free surface (time step singkat untuk dinamika barotropik dan time step besar untuk dinamika baroklinik), peningkatan perhitungan gradien tekanan horizontal, modul sedimen dan lain-lain. Simulasi ROMS membutuhkan data grid horizontal (posisi titik grid, ukuran sel grid), topografi dasar laut, land mask, gaya-gaya permukaan (wind stress, fluks bahang permukaan, fluks air tawar), kondisi inisial (suhu, salinitas, arus, tinggi muka laut) dan kondisi batas lateral (suhu, salinitas, arus, tinggi muka laut).

Persamaan konservasi momentum dalam koordinat kartesius ditunjukkan pada Pers.1 (koordinat-x) dan Pers.2 (koordinat-y):

(15)

5 percampuran horizontal dan � adalah koefisien percampuran vertikal. Persamaan primitif (konservasi momentum) diselesaikan dengan menggunakan skema split-explicit time-stepping yang membutuhkan kekhususan pada mode barotropik dan baroklinik. Persamaan primitif pada bagian vertikal didiskretisasi pada variabel topografi menggunakan koordinat regangan berbasis darat dan persamaan primitif pada bagian horizontal dievaluasi menggunakan koordinat batas kurvilinier ortogonal pada grid-C Arakawa.

Persamaan kesetimbangan ditunjukkan oleh:

� = � , , � (3)

dimana S adalah salinitas dan T adalah suhu. Variasi densitas pada persamaan Boussinesq diabaikan dalam persamaan momentum, kecuali terhadap gaya keseimbangan di dalam persamaan momentum vertikal. Persamaan hidrostatik selanjutnya mengasumsikan bahwa gradien tekanan vertikal adalah sama dengan gaya keseimbangan (buoyancy):

0 = −� − � (4)

0 = � + � + � (5)

sehingga persamaan akhir yang menunjukkan persamaan kontinuitas untuk fluida inkompresibel ditunjukkan oleh Pers.5.

Selanjutnya dilakukan analisis diagnostik online dengan menggunakan persamaan konservasi tracer suhu (Pers.6) dan salinitas (Pers.7):

� menunjukkan laju perubahan suhu dan salinitas terhadap waktu,

⃗ . ∇ dan ⃗ . ∇S merupakan komponen adveksi, � merupakan koefisien

pencampuran horizontal dan � merupakan koefisien pencampuran vertikal. Analisis pada kondisi batas terbagi menjadi dua, yaitu pada kondisi batas permukaan (z= ) dan kondisi batas dasar (z=-H). Persamaan yang digunakan pada kondisi batas permukaan antara lain persamaan kinematik (Pers.8), persamaan

(16)

6

dimana � dan � adalah regangan angin yang melewati pantai pada arah x dan y, , , adalah komponen kecepatan 3-D, � dan adalah densitas rata-rata dan kapasitas bahang pada air laut (� = 103 kg m-3 dan = 4.1855 x 103 PSI), T adalah suhu pada kedalaman lapisan tercampur dan � adalah koefisien difusi vertikal (diestimasi menggunakan skema ROMS KPP). Sedangkan pada kondisi batas dasar digunakan persamaan kinematik (Pers.13), persamaan gesekan dasar pada arah x (Pers.14) dan y (Pers.15) serta persamaan fluks dasar untuk suhu

Selanjutnya persamaan Navier-Stokes (Pers.18) digunakan dalam analisis diagnostik. Analisis diagnostik dilakukan untuk mengetahui nilai dari setiap suku komponen gaya-gaya pada permukaan.

Model dibuat dalam tiga skenario, antara lain Skenario 1 (Selat Selayar on, ARLINDO on), Skenario 2 (Selat Selayar off, ARLINDO on, slipperiness = +1) dan Skenario 3 (Selat Selayar off, ARLINDO on, slipperiness = -1).Kondisi Selat Selayar on menunjukkan kondisi normal pada wilayah perairan Selatan Sulawesi, yaitu adanya Selat Selayar yang memisahkan ujung selatan Pulau Sulawesi dengan Pulau Selayar, sedangkan kondisi Selat Selayar off merupakan kondisi ditutupnya Selat Selayar dengan mendefinisikan Selat Selayar sebagai daratan. Proses ini dilakukan dengan mendigitasi mask pada proses pembuatan grid. Nilai

slipperiness menunjukkan kondisi pada tepi batas laut dan darat. Nilai

slipperiness +1 menunjukkan kondisi free slip, yaitu tidak ada aliran tegak lurus bidang batas sehingga terdapat friksi (peredaman aliran) yang menimbulkan aliran seragam. Sedangkan nilai slipperiness -1 menunjukkan kondisi no slip, yaitu tidak ada aliran sejajar bidang batas sehingga terdapat adveksi (non-linier) yang menimbulkan aliran tidak stabil (turbulen).

Data masukan model diperoleh dari badan penelitian dan basis data dunia (Penven et al. 2007) antara lain fluks atmosfer (fluks bahang, parameter udara-laut, fluks air tawar) dari COADS05, batimetri perairan dari citra satelit Etopo-01, suhu permukaan laut global bulanan resolusi tinggi (9.28 km) dari AVHRR-Pathfinder

(17)

7 Penyusunan konfigurasi model terdiri dari beberapa langkah, antara lain: 1. Pra-pemrosesan data

Kegiatan ini merupakan tahap pemasukan data berupa data global dan membuat konfigurasi baru di dalam romstools pada sesi MATLAB, dan selanjutnya dilakukan penyesuaian beberapa parameter umum konfigurasi model (Tabel 1) yang dilakukan pada dokumen penyesuaian parameter romstools_param.m. Domain model dibatasi pada koordinat 2-8o LS dan 116-122o BT dengan resolusi tinggi 1/12o. Data batimetri yang digunakan berasal dari citra satelit Etopo-01 dan plot garis pantai yang digunakan dalam resolusi tinggi. Setelah menyesuaikan parameter yang digunakan, kemudian dilakukan pembuatan grid dengan menggunakan perintah make_grid. Nilai LLm (grid pada arah sumbu x) dan MMm (grid pada arah sumbu y) yang dihasilkan disimpan untuk menyesuaikan parameter masukan model.

Tabel 1 Parameter umum konfigurasi model

Simbol Keterangan Nilai

LLm Grid pada arah sumbu X 83

Mmm Grid pada arah sumbu Y 72

N Jumlah level vertikal 32

s Parameter peregangan vertikal permukaan 6 b Parameter peregangan vertikal dasar 0

Hc Kedalaman transisi 10

Hmin Kedalaman minimum 50

Hmax_coast Kedalaman maksimum pada batas pantai 200

Hmax Kedalaman maksimum 5000

DT Time step model (detik) 360

NTSavg Mulai time step untuk akumulasi data rataan waktu

1

Navg Rataan time step 240

Rho Densitas rata-rata persamaan Boussinesq (kg m-3)

1025 rdrg Koefisien drag linier dasar (m si-1) 3x10-4 Cdb_min Koefisien drag dasar minimum 1x10-4 Cdb_max Koefisien drag dasar maksimum 1x10-1

Langkah selanjutnya adalah memproses variabel-variabel gaya (forcing) sebagai masukan model dengan perintah make_forcing. Nilai suhu permukaan laut (SST) dengan resolusi yang lebih tinggi (9.28 km) dapat digunakan dengan menjalankan perintah pathfinder_sst. Rumus bulk

(18)

8

make_bry dijalankan pada sesi MATLAB untuk mendefinisikan gaya pada kondisi batas.

2. Persiapan dan kompilasimodel

Kegiatan ini merupakan tahap persiapan ROMS untuk dilakukan kompilasi. Setelah data masukan netCDF dipersiapkan (roms_grd.nc, roms_frc.nc, roms_ini.nc, roms_clm.nc), selanjutnya dilakukan penyesuaian konfigurasi pada script param.h. Parameter yang perlu disesuaikan adalah nama konfigurasi BONE_HR dan nilai LLm (83) MMm (72) yang didapatkan dari hasil make_grid. Nilai tersebut adalah nilai dari ukuran grid model, LLm merupakan titik pada arah X, dan MMm merupakan titik pada arah Y. Penyesuaian parameter selanjutnya dilakukan pada script cppdefs.h. Tahap ini bertujuan memilih bagian C-preprocessor yang akan digunakan pada saat kompilasi ROMS. Selanjutnya dilakukan penyesuaian compiler pada script jobcomp,

compiler yang digunakan adalah ifort. Kemudian script jobcomp dijalankan pada terminal.

3. Menjalankan model

Kegiatan ini merupakan tahap akhir dalam pemrosesan ROMS yaitu dengan menjalankan run_roms.csh dengan file masukan roms_inter.in untuk membuat simulasi jangka panjang. Simulasi jangka panjang digunakan untuk mencapai keseimbangan (kestabilan) statistik. Panjang simulasi model adalah 10 tahun dan data yang diambil merupakan data rataan harian dan berada pada tahun ke-10. File masukan telah disesuaikan dengan beberapa parameter, yaitu waktu simulasi yang digunakan antara lain NTimes = 1200, dt [sec] = 1200, NDTFAST = 60 dan NINFO = 240 serta menentukan nilai slipperiness yang digunakan (+1 untuk free slip dan -1 untuk no slip). Nilai slipperiness bertujuan mendefinisikan kondisi batas pada domain model. Kondisi no slip

menunjukkan bahwa pada batas yang solid, fluida memiliki kecepatan = 0 relatif terhadap batas. Sedangkan kondisi free slip menunjukkan bahwa tidak ada friksi antara batas dan fluida. Kemudian model dapat dijalankan pada terminal. Penelitian ini menjalankan model sebanyak tiga kali untuk tiga skenario. Eksperimen klimatologi juga dilakukan dengan menyesuaikan parameter input pada roms_inter.in dan kemudian dijalankan pada terminal.

Setelah model dijalankan maka dikeluarkan hasil (output) model berupa nilai rataan beberapa variabel, antara lain komponen arus zonal dan meridional, suhu perairan, salinitas, densitas, energi kinetik, kecepatan arus dan beberapa variabel diagnostik (adveksi vertikal, adveksi horizontal, pencampuran vertikal dan gradient tekanan). Apabila proses menjalankan model berhasil mengeluarkan data yang sesuai dengan data hasil validasi dan tidak terjadi blow-up (ditunjukkan dengan perintah Ya pada diagram alir), maka dilanjutkan dengan kegiatan visualisasi output. Jika terjadi kegagalan seperti blow-up atau hasil yang tidak sesuai dengan hasil validasi (ditunjukkan dengan perintah Tidak pada diagram alir), maka proses dikembalikan ke dalam pemrosesan dan kompilasi data input

model. Kegiatan visualisasi output model dilakukan menggunakan MATLAB

(19)

9 dan time series dari variabel-variabel output ROMS. Analisis simulasi jangka panjang dapat dilakukan dengan Diagnostic_tools pada direktori ROMS. Script

tersebut dijalankan pada sesi MATLAB dan dapat divisualisasi menggunakan roms_gui. GUI menampilkan variabel-variabel ROMS untuk setiap level horizontal dan melakukan komputasi terhadap variabel turunan dalam time series, profil vertikal dan diagram hovmüller. Time series dan statistik dikomputasi untuk simulasi jangka panjang.

Data keluaran (output) model yang dihasilkan merupakan data rataan harian hasil pemodelan pada tahun ke-10. Terdapat beberapa titik yang menjadi lokasi

sampling data, yaitu titik A dan B. Titik ini dipilih karena dianggap dapat mewakili wilayah yang memiliki sebaran upwelling yang intensif. Hasil analisis diagnostik dilakukan untuk menganalisis secara statistik komponen gaya seperti gaya Coriolis, gradien tekanan dan pencampuran vertikal. Hasil yang dipilih mewakili Musim Barat dan Musim Timur, yaitu bulan Februari dan bulan Agustus.

Gambar 3 Diagram alir proses pembuatan model S1=Skenario 1, S2=Skenario 2, S3=Skenario 3

(20)

10

Validasi Data

Model numerik divalidasi dengan membandingkan nilai suhu permukaan laut hasil keluaran ROMS dengan suhu permukaan laut NOAA AVHRR tahun 2007-2012 (Gambar 4). Kegiatan validasi data dilakukan dengan menggunakan

software Ferret dengan mode klimatologi. Nilai suhu permukaan laut dirata-ratakan pada wilayah yang mewakili fluktuasi suhu tinggi sepanjang tahun. Wilayah tersebut dibatasi pada koordinat 5-6oLS dan 118-119oBT. Nilai koefisien korelasi dihitung untuk mengetahui besarnya keterkaitan antara nilai suhu permukaan laut hasil keluaran model dengan suhu permukaan laut NOAA AVHRR.

Gambar 4 Hasil validasi suhu permukaan laut model ROMS dengan citra NOAA AVHRR. Suhu permukaan laut model ROMS dirata-ratakan selama satu tahun pada tahun ke-10. Sedangkan suhu permukaan laut hasil analisis citra NOAA AVHRR merupakan rata-rata bulanan pada periode tahun 2007-2012

Nilai suhu permukaan laut pada citra NOAA AVHRR menunjukkan adanya fluktuasi yang kontras pada Musim Barat dan Musim Timur. Hal yang sama ditunjukkan oleh nilai suhu permukaan laut hasil keluaran model, amplitudo pada grafik memperlihatkan bahwa suhu permukaan laut pada Musim Barat cenderung tinggi dan kemudian mengalami penurunan yang besar pada Musim Timur. Korelasi yang tinggi ditunjukkan oleh pola kedua grafik dan memiliki nilai koefisien korelasi sebesar 0.9, atau dengan kata lain model dugaan dapat mewakili sebesar 81% model observasi. Hal ini dapat diartikan bahwa model dapat merepresentasikan keadaan sebenarnya dan dapat diaplikasikan untuk pemodelan wilayah perairan Selatan Sulawesi. Suhu permukaan laut hasil keluaran model memperlihatkan plot yang lebih halus (smooth) dibandingkan suhu permukaan laut dari citra NOAA AVHRR. Hal ini dikarenakan suhu permukaan laut model merupakan data rataan harian, sedangkan suhu permukaan laut dari citra NOAA

S

uhu (

o C)

(21)

11 AVHRR merupakan data yang telah dirata-ratakan melalui mode klimatologi. Mode klimatologi yang digunakan merupakan rataan bulanan selama tahun 2007-2012.

Arus hasil pemodelan juga divalidasi dengan membandingkan arus meridional hasil model dengan arus meridional hasil pengukuran sebelumnya menggunakan ADCP (Susanto et al. 2012) (Gambar 5). Arus meridional hasil model merupakan nilai hasil rata-rata selama satu tahun pada tahun ke-10, sedangkan arus hasil pengukuran merupakan rataan 3 bulanan untuk periode Januari-Maret (JFM), April-Juni (AMJ), Juli-September (JAS), Oktober-Desember (OND). Penampang vertikal arus hasil pemodelan menunjukkan adanya intensifikasi yang sangat jelas di lapisan termoklin pada kedalaman di atas 200m, dengan maksimum kecepatan arus terjadi pada kedalaman sekitar 120 m, dan kecepatan minimum terjadi pada kedalaman di atas 800 m. Pola ini sesuai dengan hasil pengukuran terdahulu (Susanto et al. 2012, Gordon et al. 2008) dengan kecepatan maksimum yang terjadi pada puncak monsun tenggara (Juli-September) pada kedalaman sekitar 200 m dan kecepatan minimum yang terjadi pada monsun transisi (Oktober-Desember) pada kedalaman sekitar 800 m. Namun kecepatan arus pada lapisan permukaan menunjukkan pola yang berbeda, yaitu arus pada monsun barat laut (Januari-Maret) lebih kuat dibandingkan pada monsun tenggara (Juli-September).

Gambar 5 Hasil validasi arus meridional model ROMS. Penampang vertikal arus meridional model (kiri) divalidasi dengan membandingkan penampang vertikal arus meridional hasil pengukuran menggunakan ADCP oleh Susanto et al. (2012) (kanan) pada periode Januari 2004 hingga Mei 2009. Arus meridional model merupakan hasil perata-rataan selama satu tahun pada tahun ke-10, sedangkan arus meridional hasil pengukuran merupakan hasil perata-rataan 3 bulanan.

(22)

12

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Arus di Perairan Selatan Sulawesi

Pemodelan pola arus perairan Selatan Sulawesi dilakukan dalam simulasi tahunan dan musiman pada beberapa kedalaman, yaitu 10 m, 50 m dan 100 m. Kecepatan ARLINDO di Selat Makassar semakin kuat pada monsun tenggara berlangsung (bulan Juni-Agustus pada Gambar 6) dan terlihat adanya resirkulasi yang kuat di perairan Selatan Sulawesi. Arus yang kuat berasal dari Laut Jawa menuju Laut Banda pada Musim Barat, sedangkan pada Musim Timur arus yang kuat berasal dari lintasan ARLINDO yang masuk melalui Selat Makassar. Arus di perairan Selatan Sulawesi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain angin monsun dan ARLINDO di wilayah Selat Makassar. Selama monsun tenggara berlangsung, kecepatan angin meningkat pada bulan Mei hingga Agustus dan angin bergerak secara paralel ke arah garis pantai.

Angin monsun tenggara mulai intensif pada bulan Juni hingga awal Juli, kemudian kecepatan angin menurun, memperlihatkan relaksasi dari angin monsun. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Habibi et al. 2010 bahwa angin yang sangat kuat muncul pada bulan Juli dengan kecepatan sekitar 7 m/s, yang merupakan puncak dari angin monsun tenggara. Angin monsun tenggara menggeser massa air dari Selat Makassar, sehingga transpor di Selat Makassar meningkat dan mengurangi arus Laut Cina Selatan yang melintas di Selat Karimata (Fang et al. 2010). Kecepatan arus maksimum terjadi pada bulan Juli-September, sekitar 1 bulan setelah monsun tenggara berlangsung, dengan kecepatan sebesar 0.8 m/s (Susanto et al. 2012). Selama monsun barat laut (bulan Februari-April pada Gambar 6), arus yang kuat mengalir dari Laut Jawa yang menuju ke Laut Banda, arus ini membawa massa air bersalinitas rendah ke perairan Selatan Sulawesi.

Resirkulasi menyebabkan arus di perairan Selatan Sulawesi terbawa ke dalam lintasan ARLINDO dan membuat adanya divergensi arus di sepanjang pantai yang mengikuti arah lintasan ARLINDO yang terlihat pada bulan Juni-Agustus pada Gambar 6. Arus di perairan Selatan Sulawesi juga berkaitan erat dengan ARLINDO yang melintasi Selat Makassar. Kecepatan arus di sekitar Selat Makassar adalah sekitar -0.6 m/s pada bulan Oktober-Desember. ARLINDO dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara laut dan gaya-gaya atmosferik baik dari Samudera Pasifik maupun Samudera Hindia, seperti pasang surut, Madden-Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin dan Rossby, monsun Asia-Australia,

El-Niño Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) (England

(23)

13 Kecepatan ARLINDO lebih tinggi pada kedalaman 50 m (Gambar 7) namun terdapat pelemahan kekuatan arus pada Musim Barat (bulan Oktober Gambar 7). Kecepatan arus semakin tinggi pada kedalaman 100 m (Gambar 8) di sepanjang Selat Makassar menuju Laut Flores. Gordon et al. (2008) menyatakan bahwa kecepatan ARLINDO mencapai maksimum pada kedalaman 110-140 m. Kecepatan arus menunjukkan intensifikasi termoklin dengan kecepatan maksimum pada kedalaman sekitar 120 m pada puncak monsun tenggara (Juli-September). Kecepatan maksimum bervariasi terhadap kedalaman dengan penambahan kecepatan. Kecepatan lebih kuat selama monsun barat laut di kedalaman kurang dari 200 m dibandingkan dengan monsun tenggara. Kecepatan minimum pada kedalaman di atas 800 m terjadi pada bulan Oktober-Desember, menunjukkan transisi fase dari monsun tenggara ke monsun barat laut.

Gambar 6 Pola arus di kedalaman 10 m. Nilai arus merupakan arus bulanan yang dirata-ratakan selama satu tahun. Rataan arus diperoleh melalui hasil resultan dari penjumlahan rata-rata komponen zonal dan meridional. Kontur warna menunjukkan kecepatan dan panah hitam menunjukkan arah arus. Arah arus dominan ditunjukkan oleh panah putih.

(24)

14

sebagian besar cenderung mengarah kembali ke lintasan ARLINDO dan menimbulkan adanya resirkulasi. Kartadikaria et al. (2011) menyatakan bahwa kompleksitas topografi dan garis pantai di Selat Makassar membangkitkan lintasan tipe eddy. Adanya basin yang curam dan dalam (kedalaman >500 m) antara Laut Jawa dan Flores menunjukkan area munculnya eddy di sebelah utara Pulau Lombok. Resirkulasi semakin berkurang dengan penambahan kedalaman, hal ini dikarenakan arus yang semakin kuat yang keluar melalui Selat Selayar.

Gambar 7 Pola arus di kedalaman 50 m. Nilai arus merupakan arus bulanan yang dirata-ratakan selama satu tahun. Rataan arus diperoleh melalui hasil resultan dari penjumlahan rata-rata komponen zonal dan meridional. Kontur warna menunjukkan kecepatan dan panah hitam menunjukkan arah arus. Arah arus dominan ditunjukkan oleh panah putih.

(25)

15 Resirkulasi di lintasan ARLINDO berasosiasi dengan angin monsun tenggara yang melewati perairan Selatan Sulawesi pada Musim Timur. Resirkulasi cenderung membentuk eddy di sebelah utara Pulau Lombok dengan arah anti-siklonik (AMJ dan JAS pada Gambar 9). Divergensi yang tinggi dan transpor Ekman positif (Kartadikaria et al. 2012) membuat adanya akumulasi massa air di basin Lombok yang ditunjukkan oleh panah putih (Gambar 9) pada bulan Juli-September (JAS) di sebelah barat Pulau Selayar. Proses ini mengakibatkan kekosongan di permukaan pada wilayah pantai perairan Selatan Sulawesi, sehingga air pada lapisan yang lebih dalam akan ditranspor ke permukaan. Wilayah upwelling di sebelah timur eddy menunjukkan asal muasal dari transpor massa air dari konvergensi Ekman yang membangkitkan upwelling

pada wilayah Lombok Eddy (JAS pada gambar 9). Akumulasi massa air ini menunjukkan pola anti-siklonik yang menenggelamkan lapisan tercampur dan termoklin (Kartadikaria et al.2012).

(26)

16

Gambar 9 Pola arah dan kecepatan arus musiman. Arah dan kecepatan arus merupakan rata-rata setiap tiga bulan selama satu tahun di kedalaman 10 m untuk periode Januari-Maret (JFM), April-Juni (AMJ), Juli-September (JAS), Oktober-Desember (OND)

Interaksi Topografi terhadap Suhu dan Arus Permukaan Laut

Pemodelan suhu permukaan laut dilakukan dengan merata-ratakan suhu harian menjadi rataan bulanan selama satu tahun. Tiga skenario diterapkan pada model untuk mengetahui faktor utama penyebab upwelling di perairan Selatan Sulawesi, skenario tersebut dimaksudkan untuk melihat peran Selat Selayar terhadap sirkulasi arus di perairan Selat Selayar. Kondisi normal (Skenario 1) menunjukkan bahwa perairan Selatan Sulawesi memiliki suhu yang lebih rendah dibandingkan daerah di sekitarnya sepanjang tahun, namun intensitas terbesar terjadi pada Musim Timur. Suhu permukaan laut mencapai minimum pada bulan Agustus, yaitu <28.5oC (Gambar 10).

(27)

17 (2010) bahwa daerah perairan selatan Sulawesi memiliki suhu permukaan laut yang rendah pada bulan Juni dan terus mengalami peningkatan penurunan hingga bulan Agustus, suhu kembali meningkat (hangat) pada bulan September. Suhu yang rendah dapat disebabkan oleh adanya resirkulasi sebagian dari ARLINDO dan peran dari angin monsun tenggara. ARLINDO yang kuat pada Musim Timur menyebabkan adanya dorongan massa air yang besar menuju perairan Selatan Sulawesi dan mengalir menuju ke Laut Flores. Gordon et al. (2008) menyatakan bahwa ARLINDO di Selat Makassar menunjukkan adanya variasi musiman. Transpor ARLINDO mencapai maksimum pada akhir monsun tenggara dan minimum pada monsun transisi.

Gambar 10 Evolusi suhu permukaan laut dan arus pada Skenario 1. Suhu permukaan laut dirata-ratakan selama satu tahun pada kedalaman 10 m. Puncak penurunan suhu perairan terlihat pada bulan Agustus Penurunan suhu permukaan laut selama monsun tenggara berlangsung memperlihatkan adanya fenomena upwelling di perairan Selatan Sulawesi (bulan Agustus pada Gambar 11). Upwelling mulai muncul pada akhir monsun transisi I (bulan Mei) dan berkurang saat memasuki monsun transisi II (awal September). Kejadian ini menunjukkan adanya peran angin monsun sebagai pembangkit

(28)

18

melewati perairan Selatan Sulawesi bergerak ke arah barat laut. Keseimbangan antara gesekan angin dan gaya Coriolis mengakibatkan arus bergerak 45o menjauhi pantai dan transpor massa air sebesar 90o menjauhi pantai.

Hasil model menunjukkan adanya peningkatan luasan daerah upwelling

akibat penutupan Selat Selayar. Adanya Pulau Selayar pada Selatan Sulawesi menjadi penghalang arus yang mengarah ke Laut Flores, sehingga arus akan berputar ke arah timur dan ter-resirkulasi sebagian mengikuti ARLINDO. Penutupan Selat Selayar (Gambar 11,12) menunjukkan bahwa eksistensi daratan menjadi feed up bagi upwelling di perairan Selatan Sulawesi sehingga terjadi peningkatan intensitas upwelling. Hal ini dikarenakan tidak ada celah (Selat Selayar) yang menjadi pintu keluar arus menuju Laut Flores. Resirkulasi yang terjadi menimbulkan adanya konvergensi arus menuju kembali ke lintasan ARLINDO, sehingga terjadi divergensi arus di sepanjang pantai. Divergensi arus di permukaan pantai menuju laut lepas menimbulkan kekosongan di permukaan laut, sehingga kekosongan tersebut diisi oleh massa air dibawahnya yang lebih dingin dengan salinitas tinggi.

(29)

19

Gambar 12 Evolusi suhu permukaan laut dan arus pada Skenario 3. Suhu permukaan laut dirata-ratakan selama satu tahun pada kedalaman 10 m. Kondisi no slip mengakibatkan suhu perairan lebih tinggi dibandingkan kondisi free slip

Keterkaitan Variabel Atmosferik dan Oseanik terhadap intensitas Upwelling

Data masukan model berupa nilai beberapa variabel atmosferik divisualisasikan dalam bentuk diagram hovmüller serta penampang vertikal. Komponen fluks bahang dan wind stress dapat langsung dibaca melalui dokumen

forcing. Komponen fluks bahang merupakan komputasi dari total fluks bahang laten, sensibel, solar dan gelombang panjang. Penurunan suhu permukaan laut terjadi pada awal bulan Mei? dengan puncak terendah terjadi pada bulan Agustus dan terjadi peningkatan suhu kembali pada akhir bulan Oktober dengan puncak suhu tertinggi pada bulan April. Variabel atmosferik (Gambar 13) menunjukkan variasi khusus yang terjadi pada Musim Timur. Variasi yang sama dengan suhu permukaan laut ditunjukkan oleh variabel wind stress (meridional) yang memiliki puncak intensitas maksimum pada bulan Agustus, sedangkan zonal wind stress

memiliki puncak intensitas minimum pada bulan Agustus. Wilayah yang memiliki suhu minimum terletak pada wilayah sekitar pantai (sekitar titik A) dan terjadi peningkatan suhu ke arah lepas pantai (sekitar titik B), pola ini juga ditunjukkan oleh variabel wind stress (zonal dan meridional), serta radiasi gelombang pendek.

(30)

20

bahang permukaan dan radiasi short wave. Wind stress yang kuat dipicu oleh adanya angin monsun tenggara yang bertiup ke wilayah Indonesia pada Musim Timur. Angin membangkitkan tegangan angin di permukaan laut. Besar tegangan tergantung kepada besarnya kecepatan angin, kekasaran permukaan laut dan densitas air laut. Selama angin monsun barat laut berlangsung (Januari-Maret), massa air bersalinitas rendah yang berasal dari Laut Jawa bergerak ke perairan Selatan Sulawesi oleh angin zonal barat. Sedangkan selama angin monsun tenggara (Juli-September) angin bergerak ke arah barat, membuat lapisan permukaan pada perairan Selatan Sulawesi memiliki salinitas yang lebih tinggi yang dikarenakan massa air bersalinitas rendah tergantikan dan terjadi transpor massa air bersalinitas tinggi dari laut dalam yang berasal dari Laut Flores dan Laut Banda (Gordon et al. 2003).

Komponen fluks bahang menunjukkan bahwa Qrlw dan Qsen memiliki peran dalam melepas bahang lebih besar dibandingkan komponen lainnya. Transfer bahang antara permukaan laut dengan atmosfer terjadi akibat konduksi dan konveksi, efek evaporasi dan tegangan permukaan. Transfer bahang sensibel terjadi melalui proses konduksi. Konduksi merupakan peristiwa hilangnya panas dari permukaan laut ke udara, karena suhu permukaan laut lebih hangat dari permukaan di atasnya. Kondisi ini menyebabkan penurunan suhu permukaan laut, sehingga terjadi peningkatan densitas dan penenggelaman massa air.

Peningkatan fluks bahang dapat dipengaruhi oleh peningkatan intensitas

wind stress (Sterl et al. 2003). Renault et al. (2012) menyatakan bahwa intensifikasi angin dapat meningkatkan pelepasan bahang melalui fluks bahang. Penurunan suhu oleh fluks bahang permukaan meningkatkan densitas permukaan air, kemudian upwelling dan angkutan massa air dingin baru yang berasal dari lepas pantai muncul ke permukaan menimbulkan kondisi konveksi yang tidak stabil dan bergabung dengan pengadukan oleh angin menghasilkan pencampuran secara vertikal yang kuat. Proses pencampuran vertikal ini merupakan proses estafet yang membawa massa air ke permukaan yang telah terangkat melalui proses upwelling. Stratifikasi densitas air laut akibat penambahan kedalaman yang berintegrasi dengan angin monsun tenggara pada Musim Timur mengakibatkan suhu perairan menurun dan peningkatan densitas, sehingga terdapat energi untuk menggerakkan massa air dari laut dalam ke permukaan secara vertikal.

Variabel oseanik pada transek A-B (Gambar 14) menunjukkan bahwa suhu permukaan laut memiliki variasi yang sama dengan suhu potensial, salinitas, elevasi permukaan laut dan koefisien difusivitas vertikal pada Musim Timur (Juni-Oktober). Suhu yang rendah pada Musim Timur diikuti dengan peningkatan difusivitas vertikal. Peningkatan difusi vertikal akibat peningkatan intensitas angin menyebabkan pencampuran vertikal yang kuat dan menimbulkan upwelling.

(31)

21

Gambar 13 Diagram hovmüller variabel atmosferik pada transek A-B. Garis putus-putus menunjukkan batas Musim Timur dan Musim Barat

(32)

22

Gambar 15 Penampang vertikal variabel oseanik transek A-B pada bulan Februari (kiri) dan bulan Agustus (kanan)

(33)

23 dari arus zonal. Energi kinetik dan kecepatan arus meningkat sangat tinggi di permukaan laut pada Musim Timur. Energi kinetik permukaan yang intens memiliki kontribusi terhadap aktivitas mesoscale yang kuat (jets dan eddies) yang merupakan karakter dari fenomena upwelling (Lathuiliére et al. 2010).

Analisis Diagnostik

Analisis diagnostik dilakukan untuk mengetahui nilai dari setiap suku komponen gaya-gaya pada permukaan. Nilai rataan untuk setiap komponen persamaan momentum dapat dihitung dengan mendefinisikan variabel diagnostik. Gaya adveksi secara garis besar pada Musim Timur memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan pada Musim Barat (Gambar 16). Adveksi merupakan proses transpor properti air laut (bahang, salinitas dan properti lainnya) melalui gelombang air laut (Kӓmpf 2009). Nilai pada komponen meridional dan komponen zonal pada Musim Timur menunjukkan arus yang bergerak ke arah selatan di sepanjang lintasan ARLINDO. Hal ini dikarenakan intensitas ARLINDO yang masuk melalui Selat Selayar pada Musim Timur. Adveksi vertikal yang tinggi pada bulan Agustus mengakibatkan perubahan bahang dan lapisan kedalaman tercampur. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh angin monsun tenggara yang bergerak melewati perairan Sulawesi bagian Selatan di Musim Timur. Adveksi vertikal mengakibatkan penurunan suhu dan penenggelaman lapisan tercampur yang dapat meningkatkan aktivitas pencampuran vertikal.

Sama halnya dengan gaya adveksi, komponen gradien tekanan dan pencampuran vertikal memiliki nilai lebih tinggi pada Musim Timur dibandingkan pada Musim Barat. Gradien tekanan yang tinggi di Musim Timur menunjukkan perbedaan densitas yang tinggi di Perairan Selatan Sulawesi. Hal ini terlihat pada Musim Timur di ujung selatan Pulau Sulawesi yang memiliki gradien tekanan yang tinggi, menunjukkan bahwa terdapat peningkatan densitas yang dapat memicu aktivitas upwelling. Variabel percampuran vertikal meridional memiliki intensitas tinggi pada Musim Timur, hal ini dikarenakan monsun tenggara yang berlangsung selama Musim Timur.

(34)

24

Gambar 16 Komponen forcing pada Musim Barat dan Musim Timur di perairan Selatan Sulawesi

Mekanisme Upwelling

Dugaan mekanisme upwelling yang terjadi di perairan Selatan Sulawesi yaitu dibangkitkan oleh angin monsun tenggara yang melewati perairan Selatan Sulawesi pada Musim Timur (Gambar 17). Komponen zonal dan meridional wind stress menunjukkan bahwa terdapat angin yang kuat yang bertiup ke arah barat laut pada Musim Timur. Angin tersebut berpotensi membuat wind-driven upwelling di perairan Selatan Sulawesi yang berasosiasi dengan Ekman pumping. Hal ini sesuai dengan Gordon et al. (2005) yang menyatakan bahwa Ekman

pumping di wilayah Selat Makassar terkuat terjadi pada Juli hingga September dengan pengaruh kuat dari seretan angin (wind stress) yang membangkitkan Ekman upwelling, dan efek dari transpor Ekman tersebut mengakibatkan penurunan suhu permukaan laut serta produktivitas primer yang tinggi di wilayah Selat Makassar.

(35)

25 air tenggelam dan meningkatkan aktivitas pencampuran vertikal, yang dipengaruhi juga oleh gabungan peningkatan komponen difusi vertikal dan kecepatan vertikal. Kondisi ini menyebabkan terjadinya upwelling di perairan Selatan Sulawesi. Angin monsun tenggara juga menyebabkan perubahan pada komponen penggerak arus yaitu adveksi (horizontal dan vertikal), gradien tekanan dan pencampuran vertikal yang berpengaruh terhadap densitas perairan.

Resirkulasi sebagian oleh ARLINDO dan eksistensi Pulau Selayar menjadi

feed up bagi upwelling di Musim Timur. Adanya Pulau Selayar sebagai penghalang arus ke arah Laut Flores dan topografi yang kompleks di wilayah ini menyebabkan arus kembali ke lintasan ARLINDO dan membentuk Lombok Eddy

yang berasosiasi dengan angin monsun tenggara. Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan intensitas upwelling yang dibangkitkan oleh angin monsun tenggara.

Upwelling menyebabkan penurunan suhu permukaan laut, penurunan elevasi permukaan dan peningkatan salinitas.

Gambar 17 Mekanisme upwelling di perairan Selatan Sulawesi

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penyebab fenomena upwelling yang terjadi pada Musim Timur berdasarkan penurunan suhu permukaan laut di perairan Selatan Sulawesi melatarbelakangi beberapa hipotesis mengenai mekanisme upwelling di daerah ini. Hasil pemodelan numerik terhadap mekanisme ini menemukan bahwa proses upwelling berasosiasi dengan angin monsun tenggara yang melewati Selatan Sulawesi di Musim Timur. Selama monsun tenggara berlangsung, angin dengan intensitas tinggi melewati wilayah selatan Pulau Sulawesi dan memicu peningkatan difusivitas vertikal.

(36)

26

Intensitas angin yang tinggi juga menambah pelepasan bahang oleh fluks bahang. Kondisi ini mengakibatkan pencampuran vertikal yang kuat

ARLINDO yang melintasi Selat Makassar memiliki peran yang kuat dalam mempengaruhi mekanisme upwelling. ARLINDO menyebabkan resirkulasi yang kuat dengan pembentukan eddy yang menyebabkan konvergensi di lintasan ARLINDO dan terjadi divergensi di sepanjang pantai. Selat Selayar di selatan Pulau Sulawesi menjadi celah keluar arus dari resirkulasi ARLINDO dan terdefleksi sebagian ke arah Laut Flores. Hal ini menunjukkan bahwa Selat Selayar berperan dalam mengurangi intensitas upwelling dan eksistensi daratan (Pulau Selayar) serta kompleksitas topografi menjadi pemicu resirkulasi ARLINDO. Sehingga upwelling di wilayah perairan Selatan Sulawesi terjadi atas kombinasi ketiga hipotesis yang bervariasi terhadap angin monsun tenggara.

Saran

ARLINDO dapat menjadi faktor pemicu upwelling di perairan Selatan Sulawesi, untuk itu penelitian lanjutan dibutuhkan dengan menggunakan tahun yang nyata dengan memperhitungkan kondisi alam sebenarnya sebagai perbandingan penelitian ini. Selain itu, perlu dilakukan analisis diagnostik pada kedalaman lapisan batas dasar (bottom boundary layer) dan kedalaman lapisan tercampur (mixed layer depth) untuk mengetahui komponen forcing yang bekerja pada lapisan tersebut. Selanjutnya perlu dilakukan eksperimen dengan perlakuan terhadap komponen angin (wind stress) berdasarkan arah yang berbeda secara seragam. Eksperimen lanjut dengan mengubah batimetri perairan (kedalaman menjadi seragam/datar) diperlukan untuk mengetahui besarnya keterkaitan batimetri terhadap pola pembentukan eddy.

DAFTAR PUSTAKA

England M, Huang F. 2005. On the interannual variability of the Indonesian throughflow and its linkage with ENSO. J Clim. 18:1435–1444. doi:10.1175/J CLI3322.1.

Fang G, Susanto RD, Wirasantosa S, Qiao F, Supangat A, Fan B, Wei Z, Sulistiyo B, Li S. 2010. Volume, heat, and freshwater transports from the South China Sea to Indonesian seas in the boreal winter of 2007–2008. J Geophys Res. 115. C12020. doi:10.1029/2010JC006225.

Foltz GR, McPhaden MJ. 2006. The role of oceanic heat advection in the evolution of tropical North and South Atlantic SST anomalies. J Clim. 19:6122-6138.

Gordon AL, Susanto RD, Vranes K. 2003. Cool Indonesian throughflow as a

consequence of restricted surface layer flow. Nature. 425: 824-828.

Gordon AL. 2005. Oceanography of the Indonesian Seas and their throughflow.

(37)

27 Gordon AL, Susanto RD, Ffield A, Huber BA, Pranowo W, Wirasantosa S. 2008. Makassar Strait throughflow, 2004 to 2006. Geo Res Let. 35. L24605. doi:10.1029/2008GL036372.

Gruber N, Z Lachkar, H Frenzel, P Marchesiello, M Munnich, JC McWilliams, T Nagai, GK Plattner. 2011. Mesoscale eddy-induced reduction in eastern boundary upwelling systems. Nat Geo. 4: 787–792.

Gruber N, H Frenzel, SC Doney, P Marchesiello, JC McWilliams, JR Moisan, J Oram, GK Plattner, KD Stolzenbach. 2006. Simulation of phytoplankton ecosystem dynamics in the California Current System. Deep-Sea Res PT I. 53: 1483-1516.

Habibi A, Setiawan RY, Zuhdy AY. 2010. Wind-driven coastal upwelling along South of Sulawesi Island. Ilmu Kelautan. 15(2): 115-118.

Kӓmpf J. 2009. Ocean Modelling for Beginners. Springer: London.

Karakas G, N Nowald, M Blaas, P Marchesiello, S Frickenhaus, R Schlitzer. 2006. High-resolution modeling of sediment erosion and particle transport across the northwest African shelf. J Geophys Res. 111. C06025. doi:10.1029/2005JC 003296.

Kartadikaria AR, Miyazawa Y, Nadaoka K, Watanabe A. 2012. Existence of eddies at crossroad of the Indonesian seas. Oce Dyn. 62:31-44. doi: 10.1007/s10236-011-0489-1.

Lathuiliére C, Echevin V, Lévy M, Madec G. 2010. On the role of the mesoscale circulation on an idealized coastal upwelling ecosystem. J Geophys Res. 115. C09018. doi:10.1029/2009JC005827.

Marchesiello P, P Estrade. 2010. Upwelling limitation by geostrophic onshore flow. J Mar Res. 68: 37-62.

Marta-Almeida M, Ruiz-Villarreal M, Otero P, Cobas M, Peliz A, Nolasco R, Cirano M, Pereira J. 2010. OOFƐ: A Python engine for automating regional and coastal ocean forecasts. Environ Modell Softw. 26: 680-682. doi:10.1016/j.envsoft.2010.11.015.

Messie M, M Radenac, J Lefevre, P Marchesiello. 2006. Chlorophyll bloom in the western Pacific at the end of the 1997-98 El Nino: the role of Kiribati Islands.

Geo Res Let. 33(14): L14601. doi: 10.1029/2006GL026 033.

Penven P, Marchesiello P, Debreu L, Lefevre J. 2007. Software tools for pre- and post-processing of oceanic regional simulations. Environ Modell Softw. 20:1-3. doi:10.1016/j.envsoft.2007.07.004

Renault L, Dewite B, Marchesiello P, Illig S, Echevin V, Cambon G, RamosM, Astudillo O, Minnis P, Ayers JK. 2012. Upwelling response to atmospheric coastal jets off central Chile: A modeling study of the October 2000 event. J Geophys Res. 117. C02030. doi:10.1029/2011JC007446.

Sarhan T, Lafuente JG, Vargas M, Vargas JM, Plaza M. Upwelling mechanisms in the northwestern Alboran Sea. J Mar Sys. 23: 317-331.

Setiawan RY, Kawamura H. 2010. Summertime phytoplankton bloom in the South Sulawesi Sea. IEEE J Sel Topics Appl Earth Observ. 1939-1404. doi: 10.1109/JSTARS.2010. 2094604.

Syahdan M, Susilo SB, Gaol JL, Atmadipoera AS. 2014. Karakteristik dan variabilitas suhu permukaan laut Selat Makassar-Laut Jawa. JSTB.

(38)

28

Sterl A, Hazeleger W. 2003. Coupled variability and air-sea interaction in the South Atlantic Ocean. Clim Dyn. 21: 550-571.

(39)

29

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Pinang Kepulauan Riau pada tanggal 14 Juni 1992 sebagai putri kedua dari pasangan Pudjadi, SH dan Sri Erlinawati,S Ap. Penulis merupakan lulusan dari Sekolah Menengah Atas Negeri Bekasi pada tahun 2010. Pendidikan Sarjana ditempuh di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010-2014.

Gambar

Gambar 2  Domain model dan batimetri perairan Selatan Sulawesi
Tabel 1  Parameter umum konfigurasi model
Gambar 3  Diagram alir proses pembuatan model
Gambar 4  Hasil validasi suhu permukaan laut model ROMS dengan citra NOAA AVHRR. Suhu permukaan laut model ROMS dirata-ratakan selama satu tahun pada tahun ke-10
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengisi saldo awal piutang, klik Setting =&gt; pilih Saldo Awal =&gt; pilih. Saldo Awal

Dari hasil data yang telah diuji pada pernyataan 2 menunjukkan nilai r- hitung sebesar 0,705 &gt; 0,361 dari r-tabel, yang berarti desain tampilan isi buku tahunan DECO sudah

Setelah melalui penelitian mengenai pengelolaan pembelajaran pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan (penjasorkes) bagi anak berkebutuhan khusus di tiga Sekolah

Berdasarkan paparan data Bab IV, maka diperoleh kesimpulan dari motivasi orang tua menyekolahkan anaknya di Pendidikan Diniyah Takmiliyah Awaliyah (PDTA) Al Fikriyah

Dengan penggunaan teori Archetype dari Jung, terlacak bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para tokoh utama mencerminkan kepercayaan- kepercayaan Kristen. Secara

Menurut Soemitro dalam Tommy dan Maria (2013) menyatakan bahwa tax planning adalah suatu perencanaan pajak yang dilakukan oleh seorang tax planner untuk wajib pajak

Berdasarkan pemikiran di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hasil terjemahan dialog film Le Fabuleux Destin d'Amélie Poulain yang akan