• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Keluarga

Karakteristik keluarga yang diamati adalah besar keluarga, usia orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan pendapatan per kapita. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami, isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (PP 21 tahun 1994).

Jumlah anggota keluarga untuk anak dengan status gizi normal dan pendek memiliki perbedaan, yaitu rata-rata besar keluarga pada anak dengan status gizi pendek lebih besar daripada anak dengan status gizi normal. Sebagian besar usia ayah maupun ibu baik pada anak dengan status gizi normal ataupun pendek berada pada rentang usia dewasa awal (20-39 tahun). Rata-rata usia ayah dan ibu tidak berbeda antara anak dengan status gizi normal maupun pendek.

11 Tabel 5 Karakteristik keluarga berdasarkan status gizi TB/U

Karakteristik Keluarga Status gizi

Normal Pendek

Jumlah anggota rumah tangga 4.5 ± 1.2 5.0 ± 1.5

Usia Ayah 36.0 ± 7.0 36.6 ± 7.9 Ibu 31.2 ± 5.9 31.1 ± 6.5 Pendidikan (tahun) Ayah 8.4 ± 2.6 7.9 ± 2.7 Ibu 8.3 ± 2.5 7.5 ± 2.6 Pendapatan 272 276 ± 126 264 259 441 ± 125 994

Pendidikan pertama anak berasal dari keluarga. Berdasarkan lama pendidikan orang tua, ayah maupun ibu pada anak dengan status gizi normal lebih tinggi daripada anak dengan status gizi pendek. Tetapi lama pendidikan orang tua pada anak dengan status gizi normal maupun pendek tidak mencapai dari 12 tahun. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengumumkan perpanjangan program wajib belajar dari 9 ke 12 tahun (Cerdan 2013). Sebagian besar pendidikan ayah dan ibu masuk pada tingkat SD baik pada anak dengan status gizi normal maupun pendek. Hasil uji beda menggunakan uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan antara pendidikan ayah pada anak normal dengan anak pendek (p>0.05). Begitu pun untuk pendidikan ibu, tidak ada perbedaan antara anak normal dengan anak pendek (p>0.05). Orang tua yang berpendidikan rendah, cenderung mempunyai pemahaman yang terbatas tentang cara mengasuh anaknya agar dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal (Susilaningrum dkk 2013). Jika melihat dari pendapatan per kapita, anak dengan status gizi normal memiliki pendapatan per kapita dari keluarga lebih tinggi dibandingkan anak dengan status gizi pendek.

Tabel 6 Sebaran jumlah anggota keluarga berdasarkan status gizi TB/U Jumlah Anggota Keluarga Status gizi Normal Pendek n % n % ≤ 4 (kecil) 67 58.3 29 48.3 5-8 (sedang) 44 38.3 27 45.0 ≥ 8 (besar) 4 3.5 4 6.7 Total 115 100 60 100 Mean ± sd 4.5 ± 1.2 5.0 ± 1.5

Sebagian besar jumlah anggota keluarga baik anak dengan status gizi normal ataupun pendek berada pada kategori keluarga kecil (≤ 4), yaitu sebesar 58.3% dan 48.3%. Jumlah anggota keluarga dengan kategori keluarga kecil (48.3%) dan sedang (45.0%) tidak berbeda jauh untuk anak dengan status gizi pendek. Besar keluarga dengan kategori keluarga besar (≥ 8), yaitu 6.7% anak dengan status gizi pendek lebih besar dibandingkan anak dengan status gizi normal. Hal ini dapat diduga menjadi salah satu penyebab mengapa anak mengalami kependekan karena semakin banyak jumlah anggota keluarga pendistribusian konsumsi pangan akan semakin sedikit. Hal ini sesuai dengan penelitian Tanziha dkk. (2007) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang

12

negatif antara jumlah anggota rumah tangga dengan kejadian lapar. Meningkatnya jumlah anggota rumah tangga memengaruhi pemilihan bahan pangan kepada yang lebih murah. Menurut Suhardjo (2010), meningkatnya jumlah anggota keluarga tanpa diimbangi dengan peningkatan pendapatan, maka pendistribusian konsumsi pangan akan semakin sedikit sehingga konsumsi pangan keluarga tersebut tidak cukup untuk mencegah kejadian kurang gizi.

Pekerjaan orang tua merupakan sesuatu yang dilakukan oleh setiap orang tua untuk mendapatkan nafkah (Nachiyah 2012). Pekerjaan akan memengaruhi pendapatan keluarga yang akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan anak. Pekerjaan ayah dan ibu tersebar di beberapa bidang, yaitu petani, pedagang, buruh tani, buruh non-tani, jasa, dan tidak bekerja.

Sebanyak 22.9% pada anak normal, ayah bekerja sebagai burun non-tani, sedangkan sebanyak 21.4% pada anak pendek ayah bekerja sebagai jasa (tukang ojek, tukang cukur, calo, dsb) dan lainnya (satpam, karyawan, wiraswasta, dsb). Sebagian besar ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga baik pada anak normal maupun pendek (78.6% dan 76.3%), dan sebagian yang lain tersebar sebagai petani, pedagang, buruh tani, buruh non-tani, jasa, dan lainnya (guru honorer). Tabel 7 Sebaran pekerjaan orang tua berdasarkan status gizi TB/U

Pekerjaan Status gizi Normal Pendek n % n % Pekerjaan ayah Petani 11 10.5 2 3.6 Pedagang 22 21.0 10 17.9 Buruh tani 15 14.3 9 16.1

Buruh non tani 24 22.9 11 19.6

Jasa 20 19.0 12 21.4 IRT 1 1.0 0 0 Lainnya 12 11.4 12 21.4 Pekerjaan ibu Petani 0 0 1 1.7 Pedagang 9 8.0 5 8.5 Buruh tani 1 0.9 2 3.4

Buruh non tani 3 2.7 3 5.1

Jasa 6 5.4 1 1.7

IRT 88 78.6 45 76.3

Lainnya 5 4.5 2 3.4

Karakteristik Anak

Subjek dalam penelitian ini adalah anak usia pra-sekolah dengan rentang usia 3-5 tahun. Karakteristik subjek yang diamati, meliputi usia, jenis kelamin, keikutsertaan anak dalam PAUD dan kepemilikan KMS. Subjek yang diamati sebanyak 175 orang dari dua desa yang berbeda, Desa Tambakan dan Desa Jalan Cagak.

Sebagian besar usia subjek pada anak normal berada pada rentang 4-4.9 tahun, yaitu sebanyak 59.1%, sedangkan pada anak pendek sebagian usia subjek berada pada rentang 3-3.9 tahun, yaitu 50.0%. Subjek berjenis kelamin laki-laki

13 lebih banyak dibandingkan subjek berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 54.8% pada anak normal dan 51.7% pada anak pendek.

Tabel 8 Sebaran karakteristik anak berdasarkan status gizi TB/U Karakteristik Status gizi Normal Pendek n % n % Usia 3-3.9 tahun 43 37.4 30 50.0 4-4.9 tahun 68 59.1 27 45.0 5 tahun 4 3.5 3 5.0 Total 115 100 60 100 Mean ± sd 4.12 ± 0.56 3.95 ± 0.67 Jenis kelamin Laki-laki 63 54.8 31 51.7 Perempuan 52 45.2 29 48.3 Total 115 100 60 100

Keikutsertaan dalam PAUD

PAUD 40 34.8 13 21.7 Non-PAUD 75 65.2 47 78.3 Total 115 100 60 100 Kepemilikan KMS KMS 53 46.1 28 46.7 Non-KMS 62 53.9 32 53.3 Total 115 100 60 100

Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 14). Dalam penelitian ini, anak-anak yang mengikuti PAUD masih tergolong kurang karena sebagian besar anak tidak mengikuti PAUD, yaitu 65.2% anak normal dan 78.3% anak pendek. Berdasarkan Apriana (2009) masih banyaknya jumlah responden yang tidak mengikuti PAUD menunjukkan bahwa motivasi orang tua untuk mengikutsertakan anaknya dalam program PAUD disebabkan adanya anggapan bahwa anak berusia 3 tahun atau kurang masih perlu memusatkan kegiatannya di rumah dengan orang tua dan keluarga lainnya.

Selain itu, anak di bawah usia 4 tahun belum dapat membedakan perilaku yang baik dan buruk. Anggapan seperti ini membuat orang tua takut membaurkan anaknya terlalu dalam dengan orang-orang yang baru dikenalnya, karena takut berpengaruh dengan hal-hal yang buruk (Apriana 2009). Menurut Mustika dan Arifah (2011), orang tua yang tidak mengikutsertakan anaknya ke PAUD mengeluhkan bahwa anaknya kurang mandiri, kurang aktif dan bersemangat dalam mengikuti berbagai kegiatan, sedangkan orang tua yang mengikutsertakan anaknya ke PAUD mengungkapkan bahwa anaknya senang berinteraksi dengan orang lain, aktif dan bersemangat.

Pertumbuhan anak hendaknya dipantau secara teratur. Pemantauan pertumbuhan anak di bawah lima tahun dapat dilakukan sendiri di rumah, Posyandu, atau Puskesmas dengan menggunakan Kartu Menuju Sehat (KMS).

14

Kepemilikan KMS anak balita yang dijumpai masih di bawah 50%, yaitu 46.1% pada anak normal dan 46.7% pada anak pendek. Padahal salah satu indikator kesehatan anak dalam Riskesdas 2013 untuk anak 0-59 bulan, ialah kepemilikan KMS. Menurut Riskesdas (2010), semakin tinggi umur anak semakin rendah kepemilikan KMS.

Pola Asuh Makan

Orang tua berpengaruh terhadap perilaku makan anak. Banyak penelitian menunjukkan bahwa orang tua secara sadar maupun tidak sadar telah menuntun kesukaan makan anak dan membentuk gaya yang berpengaruh terhadap dimana, bagaimana, dengan siapa, dan berapa banyak yang ia makan (Soetardjo 2011). Orang tua dan pengasuh merupakan model peran bagi anak pra-sekolah. Bila mereka makan bermacam-macam makanan, anak pun akan mengikuti (Soetardjo 2011).

Tingkat pengetahuan gizi yang dipraktikkan pada perencanaan makanan keluarga tampaknya berhubungan dengan sikap positif ibu terhadap diri sendiri, kemampuan ibu dalam memecahkan masalah, dan mengorganisasi keluarga. Urut-urutan anak pra-sekolah dalam keluarga tampaknya berpengaruh terhadap pilihan makanan yang diberikan (Soetardjo 2011).

Tabel 9 Sebaran praktek pemberian makan berdasarkan status gizi TB/U Praktek pemberian makan

Status gizi Normal Pendek n % n % Mengasuh anak Ibu 106 92.2 56 93.3 Nenek 4 3.5 1 1.7

Anggota keluarga lain 5 4.3 3 5.0

Menyiapkan makan anak

Ibu 104 90.4 51 85.0

Ibu dan orang lain 5 4.3 6 10.0

Orang lain 6 5.2 3 5.0

Anak masih sering disuapi atau tidak

Kadang-kadang 77 67.0 47 78.3

Selalu 20 17.4 9 15.0

Tidak pernah 18 15.7 4 6.7

Cara ibu menyajikan porsi makan anak

Porsi makan sesuai kebutuhan anak 105 91.3 57 95.0 Porsi makan dihidangkan sekaligus

banyak 10 8.7 3 5.0

Situasi saat memberi makan anak

Diusahakan disiplin dan tidak boleh

bermain 73 63.5 41 68.3

Sambil bermain di sekitar rumah 42 36.5 19 31.7

Pola asuh makan dalam penelitian ini, meliputi pengasuhan anak, menyiapkan makan anak, anak masih sering disuapi atau tidak, cara ibu menyajikan porsi makan anak, situasi saat memberi makan anak, jadwal makan

15 anak, sikap dan metode ibu dalam memberi makan anak, mengatasi masalah makan anak.

Pola asuh makan anak dibagi menjadi tiga bagian, yaitu praktek pemberian makan anak, jadwal makan anak, dan sikap dan metode ibu dalam memberi makan anak. Praktek pemberian makan anak terdiri dari mengasuh anak, menyiapkan makan anak, anak masih sering disuapi atau tidak, cara ibu menyajikan porsi makan anak, dan situasi saat memberi makan anak. Terdapat dua pertanyaan mengenai jadwal makan anak, yaitu penentuan jadwal makan anak dan keteraturan jadwal makan anak. Sikap dan metode ibu dalam memberi makan anak, meliputi cara ibu memperkenalkan makanan pada anak, problema makan anak, sikap ibu jika anak menolak makanan tertentu, sikap ibu jika anak sulit makan, sikap ibu jika anak menghabiskan makanannya, dan penentuan jadwal minum susu anak.

Sebagian besar anak diasuh oleh ibunya, yaitu sebesar 92.2% pada anak normal dan 93.3% pada anak pendek. Selain itu, pengasuhan ada yang dilakukan oleh nenek, dan anggota keluarga lain. Ibu, adalah yang paling berhak menggenggam hak asuh anak dibandingkan pihak-pihak lainnya (Al-Fauzan 2009). Penyiapan makan anak pun mayoritas dilakukan oleh ibu, tetapi sebesar 5.2% anak normal dan 5.0% anak pendek, penyiapan makanan masih dilakukan oleh orang lain. Sebagian besar anak kadang-kadang masih disuapi oleh ibu atau pengasuhnya. Alasan ibu masih menyuapi anaknya karena jika ibu menyiapkan makanan, ibu takut anak tidak menghabiskan makanannya dan membuat ruangan saat makan menjadi kotor. Alasan lainnya karena ibu merasa anak umur tiga tahun masih terlalu kecil untuk dibiarkan makan sendiri sehingga masih perlu disuapi (Khomsan dkk. 2013).

Ibu telah menyajikan porsi makan sesuai kebutuhan anak. Hal ini sesuai dengan Elida dan Fridayati (2011) yang menyatakan bahwa sikap ibu dalam pengaturan makan keluarga tentang penyajian dan pemberian makan termasuk dalam kategori baik. Begitu pula hasil pada penelitian Werdiningsih dan Astarani (2012) menunjukkan bahwa peran ibu dalam pemenuhan kebutuhan dasar anak tergolong baik. Hal ini menunjukan pola asuh pada anak telah memenuhi kebutuhan anak sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak.

Lebih dari 50% ibu memperhatikan situasi saat memberi makan anak dengan mengusahakan anak tidak boleh bermain. Ada pula ibu yang memberi makan anak sambil anaknya bermain di sekitar rumah. Sejalan dengan hasil penelitian Khomsan dkk. (2013) yang menunjukkan bahwa sebesar 63.6% ibu dari keluarga petani dan 51.9% ibu dari keluarga non-petani memberi makan anak dengan mengusahakan anak tidak boleh bermain.

Jadwal makan anak (Tabel 10) sangat penting untuk merepresentasikan kebutuhan zat gizi anak (Khomsan dkk. 2013). Lebih dari 50% penentuan jadwal makan anak ditentukan oleh anak sendiri. Jadwal makan anak yang ditentukan oleh ibu pun cukup banyak. Masing-masing anak normal dan pendek sebanyak 32.2% dan 28.3% memiliki jadwal makan yang teratur, tetapi lebih banyak anak yang memiliki jadwal makan yang tidak teratur. Padahal anak-anak menyukai rutinitas dan membutuhkan konsistensi dalam hidupnya sehingga perlu dibuat jadwal untuk keteraturan anak (Gracinia 2005).

16

Tabel 10 Sebaran jadwal makan anak berdasarkan status gizi TB/U Jadwal makan anak

Status gizi

Normal Pendek

n % n %

Penentuan jadwal makan anak

Ibu sendiri 35 30.4 15 25.0

Ibu dan orang lain 2 1.7 2 3.3

Semau anak sendiri 78 67.8 43 71.7

Keteraturan jadwal makan anak

Teratur 37 32.2 17 28.3

Tidak teratur 78 67.8 43 71.7

Tabel 11 menyajikan data sikap ibu dalam pemberian makan anak. Sebagian besar ibu memperkenalkan makanan baru pada anak dengan cara memberikan makanannya tersendiri tidak bersamaan dengan makanan lain. Mayoritas anak tidak mempunyai problema saat makan, tetapi problema yang banyak terjadi, yaitu anak lama menghabiskan makanannya baik pada anak normal maupun pendek.

Sebesar 47.8% ibu tetap memberikan makanan yang telah ditolak oleh anak dalam waktu yang berbeda, tetapi sebanyak 29.6% ibu tidak mencoba untuk memberikannya lagi. Ibu yang membuat inovasi makanan baru dengan bahan makanan yang sama lebih tinggi pada anak normal dibandingkan anak pendek. Persentase yang lebih tinggi pada anak normal dapat menggambarkan bahwa ibu dengan anak yang normal lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan pola asuh makan sehingga akan menjadi lebih baik. Hal ini juga didukung dari pendidikan ibu pada anak normal memiliki rata-rata yang lebih tinggi (8.3 ± 2.5) dibandingkan pendidikan ibu pada anak pendek (7.5 ± 2.6).

Sikap yang ibu lakukan jika anak sulit makan, yaitu mayoritas ibu membujuk atau merayu anak agar anak mau makan (46.1%). Sejalan dengan penelitian Hapitria, Dasuki, dan Ismail (2011) bahwa upaya membujuk selalu ibu lakukan dengan penuh kasih sayang dan sabar bila anak nakal, nangis atau anak tidak mau makan.

Anak akan merasa senang jika apa yang ia lakukan dihargai atau diberi penghargaan oleh ibu atau pengasuhnya. Begitu pula dengan makan, jika anak menghabiskan makanannya, anak akan merasa senang saat ibu memujinya. Memberikan pujian yang benar, akan mendorong anak untuk belajar lebih lagi dan anak menikmati kerjasama yang terjalin antara dirinya dengan orang tua/pendidik. (Hastuti 2013). Reward (hadiah) dan punishment harus diberikan pada situasi yang tepat dengan tujuan mendidik (Aeni 2011). Sebanyak 78.3% ibu telah memberikan apresiasi terhadap anak dengan cara memujinya jika anak menghabiskan makanannya, walaupun masih ada ibu yang diam saja.

Ibu diharapkan menghindari pemberian susu secara terjadwal, biarkan anak menentukan jadwal minum susunya sendiri karena anak dapat menentukannya (Prenagen 2013). Terlihat lebih dari 50%, anak yang menentukan jadwal minum susunya sendiri, hanya sebesar 14.8% ibu yang berperan dalam menentukan jadwal minum susu anaknya.

17 Tabel 11 Sebaran sikap ibu dalam pemberian makan berdasarkan status gizi TB/U

Sikap ibu dalam pemberian makan

Status gizi

Normal Pendek

n % n %

Cara ibu memperkenalkan makanan baru pada anak

Diberikan tersendiri 73 63.5 41 68.3

Diberikan bersama makanan yang sudah dikenal

42 36.5 19 31.7

Problema makan anak

Tidak ada masalah 75 65.2 34 56.7

Diemut 10 8.7 7 11.7

Lama makannya 16 13.9 10 16.7

Harus sambil main 10 8.7 7 11.7

Memilih-milih makanan 4 3.5 2 3.3

Sikap ibu jika anak menolak makanan tertentu

Anak tidak pernah menolak makanan 3 2.6 2 3.3

Membuat inovasi makanan baru dengan bahan yang sama

23 20.0 9 15.0

Tetap diberikan dalam waktu yang berbeda

55 47.8 31 51.7

Tidak diberikan lagi 34 29.6 18 30.0

Sikap ibu jika anak sulit makan

Anak tidak sulit makan 26 22.6 12 20.0

Membujuk atau merayu anak agar mau makan

53 46.1 27 45.0

Membiarkan anak makan sesuai keinginannya

18 15.7 11 18.3

Memaksa anak untuk makan 18 15.7 10 16.7

Sikap ibu jika anak menghabiskan makanannya

Memujinya 90 78.3 42 70.0

Diam saja 25 21.7 18 30.0

Yang menentukan jadwal minum susu anak

Ibu 17 14.8 6 10.0

Anak 95 82.6 51 85.0

Ibu dan orang lain 0 0 1 1.7

Orang lain 1 0.9 1 1.7

Berdasarkan jenis kelamin anak (Tabel 12), pola asuh makan yang dilakukan ibu terhadap anaknya tidak memiliki perbedaan signifikan (p>0.05). Sejalan dengan penelitian Khomsan dkk. (2013) yang menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara rata-rata skor pola asuh makan pada anak laki-laki dan perempuan. Pola asuh yang baik telah diberikan ibu pada anak perempuan, yaitu sebesar 60.5% sudah memiliki pola asuh di atas 80%. Sedangkan pada anak laki-laki pola asuh makan yang dilakukan oleh ibu terlihat lebih rendah, yaitu sebagian terdapat pada rentang pola asuh makan sedang (60-80%). Hal ini sesuai dengan penelitian Dewanggi, Hastuti, dan Hernawati (2012) yang memiliki hasil bahwa pola asuh makan yang dilakukan ibu untuk anak laki-laki (60%) lebih rendah dibandingkan anak perempuan (73.3%).

18

Tabel 12 Sebaran pola asuh makan berdasarkan jenis kelamin anak Kategori nilai pola

asuh makan Jenis kelamin Laki-Laki Perempuan n % n % Rendah (<60%) 0 0 0 0 Sedang (60-80%) 48 51.1 32 39.5 Tinggi (>80%) 46 48.1 49 60.5 Mean ± sd 80.6 ± 9.7 83.3 ± 9.8 p-value 0.105

Permasalahan tumbuh kembang anak salah satu caranya melalui upaya pemberdayaan wanita dan keluarga dan pemanfaatan sumber daya masyarakat, upaya tersebut diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan wanita khususnya ibu rumah tangga dalam pola asuh anak (Mahlia 2008). Pola asuh makan yang dilakukan ibu pada anak normal lebih tinggi dibandingkan pada anak pendek. Terlihat bahwa lebih dari 50% anak normal telah diberikan pola asuh makan yang baik/tinggi oleh ibunya (>80%), meskipun sebesar 50% anak pendek juga memiliki ibu dengan pola asuh makan yang tinggi. Tidak terdapat perbedaan (p>0.05) antara pola asuh makan yang diberikan ibu terhadap anak normal maupun anak pendek. Pola asuh makan anak dengan status gizi normal dan pendek dari kedua desa sudah cukup baik karena tidak terdapat pola asuh makan dengan kategori rendah. Hal ini karena di daerah tersebut sering dilakukan riset sehingga ibu-ibu di kedua desa memiliki pengetahuan yang cukup baik. Salah satu yang dapat mengakibatkan anak menjadi pendek ialah pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan (Riskesdas 2013).

Tabel 13 Sebaran pola asuh makan berdasarkan status gizi TB/U Kategori nilai pola

asuh makan Status gizi Normal Pendek n % n % Rendah (<60%) 0 0 0 0 Sedang (60-80%) 51 44.3 30 50.0 Tinggi (>80%) 64 55.7 30 50.0 Mean ± sd 81.6 ± 11.3 81.0 ± 9.6 p-value 0.503 Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi, kedua informasi ini (jenis dan jumlah pangan) merupakan hal yang penting. Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang

dikonsumsi (Kusharto & Sa’adiyah 2006). Konsumsi pangan berhubungan dengan

19 tangga dengan status ekonomi yang baik akan dapat dan mempunyai kesempatan untuk mengonsumsi makanan dengan kualitas baik daripada kualitas dari mereka dengan status ekonomi yang rendah (Suhanda dkk. 2010).

Kelebihan atau kekuragan asupan energi dan zat gizi anak, atau kemungkinan pengaruh keturunan terhadap pertumbuhan, akan terefleksi pada pola pertumbuhannya. Anak yang kurang makan akan menunjukkan penurunan pada grafik berat badan menurut umur (BB/U). Perubahan pada alur grafik berat badan dapat juga menggambarkan pengaruh keturunan terhadap pertumbuhan. Bila kekurangan makan cukup berat dan berlangsung lama, kecepatan pertumbuhan akan berkurang atau pertumbuhan akan terhenti (Almatsier, Soetardjo, Soekatri 2011).

Tabel 14 Konsumsi dan tingkat kecukupan gizi berdasarkan status gizi TB/U

Energi dan protein Status gizi p-value

Normal Pendek

Konsumsi

Energi (kkal) 1101 ± 468 884 ± 344 0.002

Protein (g) 32.7 ± 21.8 23.0 ± 11.9 0.002

Tingkat kecukupan gizi

Energi (%) 88.9 80.9 0.115

Protein (%) 118.5 94.3 0.106

Tabel 14 menggambarkan konsumsi dan tingkat kecukupan gizi berdasarkan status gizi TB/U. Konsumsi energi dan protein pada anak normal dan anak pendek memiliki perbedaan (p<0.05). Terlihat bahwa rata-rata konsumsi energi dan protein pada anak normal lebih tinggi dibandingkan pada anak pendek. Hal ini sejalan dengan penelitian Hermina dan Prihatini (2011) yang menunjukkan terdapat perbedaan signifikan antara konsumsi energi dan protein anak normal dan anak pendek pada usia 24-59 bulan (p<0.05).

Berbeda pada tingkat kecukupan gizi, tidak terdapat perbedaan antara anak normal dengan anak pendek (p>0.05), walaupun persen kecukupan energi maupun protein pada anak normal lebih tinggi dibandingkan dengan anak pendek. Sesuai dengan penelitian Hanum, Khomsan, Heryatno (2014) yang menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara tingkat kecukupan zat gizi dengan status gizi balita. Hal ini diduga karena tingkat kecukapan zat gizi yang diperoleh hanya menggambarkan keadaan konsumsi anak sekarang, sementara status gizi anak sekarang merupakan akumulasi dari kebiasaan makan terdahulu, sehingga konsumsi pada hari tertentu tidak langsung memengaruhi status gizinya.

Tingkat kecukupan gizi dapat dikategorikan ke dalam tiga bagian, yaitu kurang (<80%), baik (80-110%), dan lebih (≥110%) (Hardinsyah & Tambunan 2004). Masih terlihat bahwa tingkat kecukupan energi baik pada anak normal maupun pendek masuk dalam kategori kurang. Kategori lebih pada anak normal (24.3%) lebih tinggi dibandingkan pada anak pendek (16.7%). Sedangkan tingkat kecukupan protein, hampir sebagian anak masuk dalam kategori lebih pada anak normal (42.6%), sedangkan pada anak pendek hampir sebagian anak masuk dalam kategori kurang (43.3%). Terlihat bahwa rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein anak normal lebih tinggi dibandingkan anak pendek, sehingga tingkat kecukupan energi dan protein anak normal dapat dikatakan lebih baik dibandingkan anak pendek.

20

Tabel 15 Sebaran tingkat kecukupan gizi berdasarkan status gizi TB/U Kategori tingkat kecukupan gizi

Status gizi Normal Pendek n % n % Energi <80% 50 43.5 29 48.3 80-110% 37 32.2 21 35.0 ≥110% 28 24.3 10 16.7 Mean ± sd 1101 ± 468 884 ± 344 p-value 0.115 Protein <80% 42 36.5 26 43.3 80-110% 24 20.9 12 20.0 ≥110% 49 42.6 22 36.7 Mean ± sd 32.7 ± 21.8 23.0 ± 11.9 p-value 0.106

Skor Keragaman Pangan

Konsumsi pangan yang beragam memiliki berbagai sumber zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Jumlah zat gizi tersebut disesuaikan dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Setiap zat gizi memiliki peranan penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tubuh seseorang. Jika kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi, pertumbuhan dan perkembangan tubuh akan terhambat. Anak usia di bawah lima tahun (balita) merupakan kelompok usia yang rawan terhadap pangan. Kelompok usia balita memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat sehingga dibutuhkan pangan-pangan dengan zat gizi yang mencukupi

Dokumen terkait