• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola asuh makan, stimulasi psikososial, dan perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pola asuh makan, stimulasi psikososial, dan perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

POLA ASUH MAKAN, STIMULASI PSIKOSOSIAL, DAN

PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK USIA PRA-SEKOLAH

KIRANA FAJAR RAHMAH

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pola Asuh Makan, Stimulasi Psikososial, dan Perkembangan Kognitif Anak Usia Pra-Sekolah adalah benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014

Kirana Fajar Rahmah

(4)
(5)

ABSTRAK

KIRANA FAJAR RAHMAH. Pola asuh makan, stimulasi psikososial, dan perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN.

Kebutuhan zat gizi anak usia 2-5 tahun meningkat karena masih berada pada masa pertumbuhan cepat dan aktivitasnya tinggi. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan pola asuh makan, stimulasi psikososial, dan perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah di Subang, Jawa Barat. Asupan energi dan protein anak normal dan anak pendek memiliki perbedaan signifikan positif (p<0.05). Skor keragaman pangan dan pola asuh makan antara anak normal dan anak pendek tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Contoh yang mengalami kependekan, sebesar 34.6% yang memiliki KMS dan 34.0% non-KMS. Stimulasi psikososial antara anak normal dan anak pendek memiliki perbedaan signifikan positif (p<0.05). Terdapat perbedaan signifikan positif antara anak yang mengikuti PAUD dan non-PAUD untuk perkembangan kognitif. Faktor yang berhubungan dengan status gizi, yaitu skor keragaman pangan. Sedangkan, faktor yang berhubungan dengan perkembangan kognitif anak, meliputi keikutsertaan anak dalam PAUD dan stimulasi psikososial.

Kata kunci: perkembangan kognitif, pola asuh makan, skor keragaman pangan, status gizi, stimulasi psikososial

ABSTRACT

KIRANA FAJAR RAHMAH. Child Eating Patterns, Psychosocial Stimulation, and Cognitive Development of Preschool Children. Supervised by ALI KHOMSAN.

The needs of the nutrients children aged 2 to 5 years old is increasing because it would be in the rapid growth and their high activities. The objective of this study was to analyze relationship of child eating patterns, psychosocial stimulation, and cognitive development of preschool children at Subang, West Java. Energy and protein intake between normal and stunting child have a positive significant difference (p<0.05). Dietary diversity score and child eating patterns between normal and stunting child was no difference. The stunting child of having KMS is 34.6% and 34.0% child of non-KMS. Psychosocial stimulation between normal and stunting child have a positive significant difference (p<0.05). There are positive significant different between child of PAUD members and non-PAUD members for cognitive development. Factor that relation with nutritional status is dietary diversity score. Meanwhile, factors that relation with cognitive development, includes the participants of child in PAUD and pshycosocial stimulation.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

POLA ASUH MAKAN, STIMULASI PSIKOSOSIAL, DAN

PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK USIA PRA-SEKOLAH

KIRANA FAJAR RAHMAH

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Pola asuh makan, stimulasi psikososial, dan perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah.

Nama : Kirana Fajar Rahmah NIM : I14100112

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Rimbawan Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Skripsi dengan judul pola asuh makan, stimulasi psikososial, dan perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi Masyarakat pada Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Ekologi Manusia, Intitut Pertanian Bogor.

Alhamdulillah terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS selaku pembimbing akademik sekaligus pembimbing dalam penyusunan skripsi ini.

2. Mbak Wiwi dan Mbak Rian Diana yang telah sabar membantu/mengajarkan penulis dalam proses pengolahan data dan memberikan ide-ide dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS selaku dosen pemandu dan penguji yang telah memberikan arahan dalam seminar dan ujian skripsi.

4. Neys-van Hoogstraten Foundation, the Netherlands dan anggota tim peneliti (Neti Hernawati, Nani Sufiani Suhanda, dan Oktarina)

5. Sahabat- sahabat terbaik, Muhamad Rivqi Zaelani, Riana Pangestu Utami, Ramadhani, Putu Rossi Tya Lestari, Ramadhini Rizkiyah yang telah meluangkan waktunya untuk membantu penyelesaian skripsi ini dan selalu bersabar mendengarkan segala keluh kesah yang dirasakan.

6. Sahabat-sahabat yang tidak terlupakan, Nadina Adelia Indrawan, Heny Pramita Siwi, Desak Made Puspita A, Ezra Dessabela Isnannisa.

7. Keluarga Kasoskemah, Rici Pranata, Fuad Habibi S, Yunia Rahmawati, Nenggi Okta P, Milatul Ulfa, Astri Setiamurti, dan Salis Rizka.

8. Teman-teman sepembimbing, Desy Dwi A, Widia Nur F, Hernawan P, Ifdal salah satu yang selalu menjadi motivasi penulis.

9. Keluarga Kaskemah, Nina Evi Nur L, Anjas Pallawa, Khairun Nisa M, Fathimah Musthafa, Ade Mirza, Rahmahdini, Fathimah Azzahra, Yuana Zahra, Luki Setyawan, dan Thasin Abdullah.

10.Sahabat-sahabat GM47 dengan motivasi, semangat juang, kekeluargaan, kebersamaannya yang membuat penulis selalu bisa tersenyum.

11.Adik-adik kelas (Radha, Pite, Kinan, Atcoup, Cocom, Nini, Upi-l) dan Kakak kelas (Kak Ruroh, Kak Grevi, Kak Ais) yang selalu menguatkan. 12.Semua teman-teman, saudara yang selalu memberikan semangatnya. 13.Orang tua tercinta yang selalu mendukung, mengajarkan, memotivasi,

memberikan kasih sayang dan doa-doa terbaik.

14.InsyaAllah untuk suami dan anak-anakku kelak, skripsi ini menjadi salah satu ikhtiar untuk menjadi istri dan ibu yang baik.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2014

(12)
(13)

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

DAFTAR TABEL ii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 3

Hipotesis 3

Kegunaan 3

KERANGKA PEMIKIRAN 4

METODE 6

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian 6

Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh 6

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 6

Pengolahan dan Analisis Data 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Karakteristik Keluarga 10

Karakteristik Anak 12

Pola Asuh Makan 14

Konsumsi Pangan 18

Skor Keragaman Pangan 20

Status Gizi 21

Stimulasi Psikososial 22

Perkembangan Kognitif 26

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi dan Perkembangan

Kognitif Anak 29

SIMPULAN DAN SARAN 30

Simpulan 30

Saran 31

DAFTAR PUSTAKA 31

(14)

ii

DAFTAR TABEL

1 Variabel dan indikator yang digunakan 6

2 Kelompok pangan beserta jenis-jenis makanannya 7 3 Aspek perkembangan kognitif yang diukur dan contoh item 8 4 Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan zat gizi 9 5 Karakteristik keluarga berdasarkan status gizi TB/U 11 6 Sebaran jumlah anggota keluarga berdasarkan status gizi TB/U 11 7 Sebaran pekerjaan orang tua berdasarkan status gizi TB/U 12 8 Sebaran karakteristik anak berdasarkan status gizi TB/U 13 9 Sebaran praktek pemberian makan berdasarkan status gizi TB/U 14 10 Sebaran jadwal makan anak berdasarkan status gizi TB/U 16 11 Sebaran sikap ibu dalam pemberian makan berdasarkan status gizi

TB/U 17

12 Sebaran pola asuh makan berdasarkan jenis kelamin anak 18 13 Sebaran pola asuh makan berdasarkan status gizi TB/U 18 14 Konsumsi dan tingkat kecukupan gizi berdasarkan status gizi TB/U 19 15 Sebaran tingkat kecukupan gizi berdasarkan status gizi TB/U 20 16 Sebaran skor keragaman pangan berdasarkan status gizi TB/U 20 17 Sebaran status gizi TB/U berdasarkan kepemilikan KMS 21 18 Sebaran aspek stimulasi psikososial berdasarkan status gizi TB/U 22 19 Sebaran stimulasi psikososial berdasarkan status gizi TB/U 25 20 Sebaran stimulasi psikososial berdasarkan keikutsertaan anak dalam

PAUD 25

21 Sebaran stimulasi psikososial berdasarkan jenis kelamin 26 22 Sebaran stimulasi psikososial berdasarkan kepemilikan KMS 26 23 Sebaran perkembangan kognitif anak berdasarkan status gizi TB/U 27 24 Sebaran perkembangan kognitif anak berdasarkan kepemilikan KMS 27 25 Sebaran perkembangan kognitif anak berdasarkan keikutsertaan anak

dalam PAUD 28

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan zat gizi anak usia 2-5 tahun meningkat karena masih berada pada masa pertumbuhan cepat dan aktivitasnya tinggi. Demikian juga anak sudah mempunyai pilihan terhadap makanan yang disukai termasuk makanan jajanan.Oleh karena itu, jumlah dan variasi makanan harus mendapatkan perhatian secara khusus dari ibu atau pengasuh anak, terutama dalam ―memenangkan‖ pilihan anak agar memilih makanan yang bergizi seimbang (Kemenkes 2014).

Keragaman pangan adalah pengukuran jumlah makanan individu atau kelompok pangan yang dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu. Hal ini dapat mencerminkan akses rumah tangga terhadap berbagai makanan dan juga dapat bertindak sebagai acuan untuk kecukupan gizi individu. Skor keragaman pangan individu memberikan cerminan yang baik dari kualitas makanan ―kecukupan gizi

dari makanan individu― contohnya makanan yang beragam lebih mungkin untuk

memenuhi asupan zat gizi esensial (Sutherland et al. 2012; Ruel 2014; Vakili et al.

2013).

Banyaknya jumlah maupun jenis pangan yang dikonsumsi seseorang akan memberikan dampak pada banyaknya jumlah dan jenis asupan zat gizi yang diterima oleh tubuh orang tersebut. Konsumsi zat gizi dalam susunan makanan harus sesuai dengan angka kecukupan yang dianjurkan dari masing-masing zat gizi sehingga tercapai tingkat konsumsi zat gizi yang optimal (Amelia 2008).

Konsumsi pangan adalah jumlah makanan dan minuman yang dimakan atau diminum penduduk/seseorang dalam satuan gram per kapita per hari. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pangan dalam rumah tangga terutama pada ibu hamil dan anak balita akan berakibat pada kekurangan gizi yang berdampak pada lahirnya generasi muda yang tidak berkualitas. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental dan 2010 secara konsisten menunjukkan bahwa rata-rata asupan kalori dan protein anak balita masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG). Akibat dari keadaan tersebut, anak balita perempuan dan anak balita laki-laki Indonesia mempunyai tinggi badan masing-masing 6.7 cm dan 7.3 cm lebih pendek daripada standar rujukan WHO 2005 (Bappenas 2011). Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Misalnya: kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek (Riskesdas 2013).

(16)

2

Provinsi Jawa Barat, mencapai 35,4 persen pada tahun 2007 dan menurun menjadi 33,7 persen pada tahun 2010. Persentase itu masih di bawah angka balita stunting

nasional (35,7%), tetapi masih tergolong masalah kesehatan masyarakat yang tinggi menurut acuan WHO, karena masih di atas 30 persen.

Ada 3 faktor utama yang saling terkait memengaruhi besarnya masalah gizi dan kesehatan masyarakat. Pertama, ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga, yaitu kemampuan keluarga untuk menyediakan makanan yang berkaitan dengan daya beli keluarga. Kedua, pola asuhan gizi keluarga (pola asuh makan) yaitu kemampuan keluarga untuk memberikan makanan kepada bayi dan anak, khususnya menyusui secara eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI. Ketiga, akses terhadap pelayanan kesehatan berkualitas, yaitu pemanfaatan fasilitas kesehatan dan upaya kesehatan berbasis masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif seperti penimbangan balita di posyandu, pemeriksaan kehamilan, pemeriksaan kesehatan bayi dan balita, suplementasi vitamin A dan MP ASI, imunisasi, dan sebagainya (Depkes 2007).

Pola asuh makan menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi besarnya masalah gizi dan kesehatan masyarakat. Pola pemberian makanan (pola asuh makan) dan pakaian, sekolah, pola asuh dan pola didik di rumah juga banyak dipengaruhi nilai budaya keluarga (Supartini 2004). Menurut WHO et al. (2008) Pola asuh makan anak secara langsung memengaruhi status gizi anak di bawah dua tahun dan berdampak pada kelangsungan hidup anak. Pola asuh yang kurang baik di Indonesia ditunjukkan dengan masih rendahnya dukungan ibu dalam memonitor pertumbuhan dan perkembangan balitanya. Hal ini tergambar dari kunjungan balita ke Posyandu, yaitu hanya sekitar 70.2%, sedangkan Posyandu memiliki fungsi utama, yaitu memantau pertumbuhan balita melalui penimbangan rutin setiap bulannya. Sementara itu, diperoleh sekitar 59% keluarga yang belum menerapkan pola makan yang beraneka ragam pada balitanya (Riskesdas 2010).

Pola asuh makan anak berkaitan dengan pemberian makan yang dapat memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Faktor lain yang dapat mendukung perkembangan anak adalah stimulasi, stimulasi merupakan hal penting dalam tumbuh kembang anak (Yulia 2007). Soedjatmiko (2008) mendefinisikan stimulasi sebagai kegiatan bermain sejak bayi baru lahir yang dilakukan dengan penuh kasih sayang, setiap hari, bervariasi, dan berkelanjutan, untuk merangsang otak kiri dan kanan melalui sistem indera untuk merangsang kemampuan berpikir, berkomunikasi, emosi, menikmati musik dan ruang, serta berbagai kemampuan lainnya.

(17)

3 tidak mandiri, atau sebaliknya menjadi anak yang tidak memiliki rasa malu dan terlalu agresif (Rusdiana 2010). Perkembangan intelektual paling cepat lajunya pada usia empat sampai lima tahun pertama kehidupan (Padmonodewo 1993). Karena itu, masa usia pra-sekolah merupakan masa yang paling baik untuk memberikan program pengayaan lingkungan guna memaksimalkan perkembangan intelektualnya di masa yang akan datang. Dengan demikian, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola asuh makan, stimulasi psikososial dan perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah (3-5 tahun).

Tujuan

Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis hubungan pola asuh makan, stimulasi psikososial, dan perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah di Subang, Jawa Barat.

Tujuan khusus

Tujuan khusus penelitian ini, meliputi:

1. Menganalisis asupan energi dan protein, serta skor keragaman pangan. 2. Menganalisis pola asuh makan anak.

3. Menganalisis status gizi anak menurut TB/U.

4. Menganalisis stimulasi psikososial dan perkembangan kognitif anak. 5. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi dan

perkembangan kognitif anak.

Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini, yaitu:

1. Terdapat hubungan positif antara status gizi dengan pola asuh makan dan skor keragaman pangan.

2. Terdapat hubungan positif antara perkembangan kognitif anak dengan stimulasi psikososial.

3. Terdapat hubungan positif antara perkembangan kognitif anak dengan status gizi.

Kegunaan

(18)

4

KERANGKA PEMIKIRAN

Konsumsi pangan terdiri dari asupan zat gizi anak dan skor keragaman pangan. Konsumsi pangan dipengaruhi oleh karakteristik keluarga (besar keluarga, usia orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan pendapatan per kapita) dan karakteristik anak (umur, jenis kelamin). Karakteristik keluarga memengaruhi konsumsi pangan karena besar keluarga akan menjadi pertimbangan saat pemberian makan anak, pekerjaan orang tua yang akan memengaruhi pendapatan per kapita menjadi salah satu batasan dalam konsumsi pangan yang beragam, bergizi, berimbang, dan aman, pendidikan orang tua yang rendah akan berpengaruh terhadap praktek pemberian makan anak. Oleh karena itu, karakteristik keluarga meliputi pendidikan dan pekerjaan orang tua memengaruhi pola asuh makan yang ibu lakukan kepada anak. Karakteristik anak meliputi umur dan jenis kelamin memengaruhi konsumsi pangan. Umur anak memengaruhi konsumsi pangan karena disesuaikan berdasarkan kebutuhan anak. Jenis kelamin anak pun akan memengaruhi konsumsi karena perempuan dan laki-laki memiliki kebutuhan dan kecukupan gizi yang berbeda.

Konsumsi pangan dapat memengaruhi status gizi seseorang. Konsumsi zat gizi yang cukup sesuai dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk setiap individu akan diperoleh status gizi yang baik pada seseorang. Sebaliknya, jika konsumsi zat gizi berlebih atau kekurangan akan menimbulkan status gizi lebih atau kurang pada seseorang khususnya pada anak. Status gizi pun dipengaruhi oleh genetik.

Konsumsi pangan dipengaruhi oleh pola asuh makan yang diberikan oleh orang tua atau pengasuh. Pola asuh makan terdiri dari praktek pemberian makan pada anak, jadwal makan anak, dan sikap ibu/pengasuh dalam pemberian makan anak. Bila pola asuh makan ibu baik, konsumsi pangan anak pun akan baik.

(19)

5

Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan pola asuh makan, stimulasi psikososial dan perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah

(20)

6

METODE

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Data penelitian ini diambil berdasarkan sebagian data yang berasal dari penelitian yang berjudul

Growth, Cognitive Development and Psychosocial Stimulation of Preschool Children in Poor Farmer and Non-Farmer Households (Khomsan dkk. 2013). Lokasi penelitian dilaksanakan di Subang, Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan dua desa dari lima desa yang diteliti pada penelitian besar, yaitu Desa Tambakan dan Desa Jalan Cagak. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni hingga September 2014.

Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh

Jumlah sampel pada penelitian yang berjudul Growth, Cognitive Development and Psychosocial Stimulation of Preschool Children in Poor Farmer and Non-Farmer Households, yaitu sebanyak 399 orang anak. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak usia pra-sekolah (3-5 tahun) yang terdiri dari 175 orang anak, 88 orang berasal dari Desa Tambakan dan 87 orang berasal dari Desa Jalan Cagak, Subang, Jawa Barat. Sampel diambil secara acak berdasarkan kepemilikan KMS dan keikutsertaan anak dalam PAUD dengan mempertimbangkan selisih dari dua desa tersebut.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang meliputi karakteristik keluarga, karakteristik anak, pola asuh makan anak, konsumsi pangan, stimulasi psikososial, dan status gizi anak. Karakteristik keluarga, karakteristik anak, pola asuh makan anak, dan konsumsi pangan dikumpulkan dengan wawancara menggunakan kuesioner. Data status gizi anak TB/U dengan pengukuran data antropometri berupa tinggi badan anak pada saat itu.

Tabel 1 Variabel dan indikator yang digunakan

Variabel Indikator

Karakteristik keluarga  Besar keluarga  Usia orang tua  Pendidikan orang tua  Pekerjaan orang tua  Pendapatan per kapita

Karakteristik anak  Umur

 Jenis kelamin

(21)

7 Tabel 1 Variabel dan indikator yang digunakan (lanjutan)

Variabel Indikator

Pola asuh makan  Praktek pemberian makan anak

 Jadwal makan anak

 Sikap ibu dalam pemberian makan anak Konsumsi pangan  Asupan energi dan protein anak

 Tingkat kecukupan energi protein  Skor keragaman pangan

Status gizi  Indeks tinggi badan menurut umur

(TB/U)

Stimulasi psikososial (HOME)  Stimulasi belajar  Stimulasi bahasa

Stimulasi psikososial diukur menggunakan instrumen Home Observation for Measurement of the Environment (HOME) untuk usia 3-6 tahun, dikembangkan oleh Caldwel dan Bradley (1984). Instrumen ini terdiri dari 55 buah pernyataan yang berhubungan dengan 8 aspek. Setiap pernyataan terdiri dari pernyataan-pernyataan positif dan diberikan nilai 1 jika jawaban ―iya‖ dan 0 jika jawaban ―tidak‖.

Tabel 2 Kelompok pangan beserta jenis-jenis makanannya

No. Kelompok pangan Jenis makanan

1 Serealia, akar-akaran, dan umbi-umbian Beras, gandum, jagung, ubi kayu, ubi

2 Buah-buahan dan sayuran yang kaya vitamin A (vitamin A>130 RE/100 g)

3 Buah-buahan lain Apel, pisang, jeruk, pir

4 Sayuran lain Kol, brokoli, jamur, mentimun,

terong, kembang kol

5 Kacang-kacangan dan biji-bijian Kacang polong, kacang tanah, kacang kedelai

6 Minyak dan lemak Lemak nabati, lemak babi,

mentega

7 Daging, unggas, ikan Daging sapi, daging babi, ayam,

kalkun, ikan, kerang

8 Produk susu Susu, yoghurt, keju, es krim

9 Telur

(22)

8

Skor keragaman pangan diketahui dengan mengelompokkan jenis-jenis makanan ke dalam kelompok pangan. Pangan-pangan dilihat berdasarkan asupan makan setiap individu menggunakan food recall 1 x 24 jam. Pengukuran skor keragaman pangan untuk anak usia 2-6 tahun dibagi ke dalam 10 kelompok pangan, dapat dilihat pada Tabel 2. Skor ―1‖ diberikan jika dalam sehari contoh mengonsumsi salah satu atau lebih jenis pangan pada setiap kelompok pangan,

dan ―0‖ jika contoh tidak mengonsumsi jenis-jenis makanan pada setiap kelompok

pangan.

Perkembangan kognitif anak diukur menggunakan instrument perkembangan anak yang dikembangkan oleh Indonesia Departement of National Education. Pengukuran perkembangan kognitif pada penelitian ini dibagi ke dalam tiga kelompok umur, yaitu kelompok dengan umur 2.5 – 3.4 tahun, 3.5 – 4.4 tahun, dan 4.5 – 5.4 tahun. Aspek yang diukur pada perkembangan kognitif meliputi: aspek penggunaan simbol, pemahaman identitas, pemahaman sebab-akibat, kemampuan mengklasifikasi, pemahaman angka, dan pemahaman konsep (Tabel 3). Semua aspek diilustrasikan berdasarkan perkembangan tugas-tugas dalam periode preoperasional dari perkembangan kognitif Piaget.

Pengukuran perkembangan kognitif dikumpulkan menggunakan alat pembelajaran dalam bentuk permainan yang dibuat berdasarkan konsep yang diukur. Umumnya menggunakan alat yang meliputi balok kayu, kertas origami, berbagai bentuk geometris, kartu berwarna, gambar labirin, kertas, pensil, dan krayon. Sebelum pengumpulan data, enumerator diinformasikan dan dilatih terkait bagaimana melakukan permainan edukatif seperti ini.

Tabel 3 Aspek perkembangan kognitif yang diukur dan contoh item

Aspek yang diukur Contoh item

Penggunaan simbol Menggambar orang dengan bagian-bagian tubuhnya, menyebutkan variasi warna,

menyebutkan perbedaan ukuran antara sapi dan tikus, menyebutkan bentuk-bentuk geometris, meniru pola tertentu dengan menggabungkan titik. Pemahaman identitas Membedakan jenis kelamin dari orang lain,

mengenali nama, mengetahui namanya, mengenali umurnya.

Pemahaman sebab-akibat Menanyakan informasi menggunakan pertanyaan ―mengapa‖ dan ―bagaimana‖, contoh: ―mengapa kamu harus mandi setiap hari?‖ dan ―bagaimana melempar bola?‖

Kemampuan mengklasifikasi Mengkasifikasi bentuk-bentuk geometris dan warna Pemahaman angka Pemahaman penjumlahan dan pengurangan dengan

kombinasi angka 1-10

(23)

9 Pengolahan dan Analisis Data

Proses pengolahan data dimulai dari cleaning dan selanjutnya dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2007 dan Statistical Packages for the Social Sciences (SPSS) versi 16.0. Data yang dihasilkan dalam bentuk data nominal, ordinal, dan rasio. Data nominal berupa pekerjaan dan jenis kelamin orang tua. Data ordinal berupa pendidikan orang tua. Data dalam bentuk rasio meliputi usia anak dan orang tua, pendapatan orang tua, pola asuh makan, asupan zat gizi anak, status gizi anak, stimulasi psikososial, dan perkembangan kognitif pada anak.

Status gizi anak dianalisis menggunakan kategori tinggi badan menurut umur (TB/U). Standar yang digunakan untuk mengetahui status gizi anak di bawah lima tahun ialah National Center for Health Statistics (NCHS)/World Health Organization (WHO).

Pengolahan data stimulasi psikososial dengan menjumlahkan nilai pada setiap aspek/dimensi. Setiap butir dalam aspeknya merupakan pernyataan positif dan diberi nilai 1 jika jawaban ―iya‖ dan 0 jika jawaban ―tidak‖ dan selanjutnya total nilai yang diperoleh dikategorikan rendah (0-29), sedang (30-45), dan tinggi (46-55). Nilai tertinggi dari masing-masing dimensi dan total nilai yang diperoleh mengindikasikan pemberian stimulasi psikososial yang semakin baik dari responden.

Pengukuran pola asuh makan dinilai dari setiap pertanyaan. Setiap pertanyaan memiliki beberapa pilihan. Pilihan yang paling tepat memiliki nilai tertinggi. Nilai tertinggi berbeda untuk setiap pertanyaan, yaitu ―2‖ atau ―3‖ dan nilai terendah, yaitu ―1‖. Setiap nilai dari pertanyaan dari masing-masing variabel akan dijumlahkan dan dikonversi ke dalam persentase untuk dikategorikan, yaitu rendah (<60%), sedang (60-80%), dan tinggi (>80%) (Khomsan 2000). Data perkembangan kognitif diukur dengan menentukan jawaban yang tepat dan kemudian diberi nilai. Nilai tertinggi dari masing-masing tugas memperlihatkan perkembangan kognitif yang baik dari seorang anak.

Tabel 4 Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan zat gizi

Energi dan Zat Gizi Klasifikasi Tingkat Kecukupan

Energi dan protein

a. Kurang (<80% angka kebutuhan) b. Baik (80-110% angka kebutuhan) c. Lebih (≥110% angka kebutuhan) Sumber: Hardinsyah & Tambunan 2004

Tingkat kecukupan energi dan zat gizi terhadap kebutuhan energi dan zat gizi dihitung dengan membandingkan jumlah energi dan zat gizi yang dikonsumsi dengan kebutuhan energi dan zat gizi contoh yang dinyatakan dalam persen. Kemudian diklasifikasikan ke dalam kategori yang sesuai klasifikasi tingkat kecukupan energi dan zat gizi disajikan pada Tabel 4.

Skor keragaman pangan diolah dengan memberi nilai 1 untuk setiap kelompok pangan jika dalam satu hari ada satu atau lebih jenis pangan yang dikonsumsi dan bernilai 0 jika tidak ada jenis pangan yang dikonsumsi dalam satu hari.

(24)

10

means, standard deviation dari setiap variabel. Analisis statistik inferensia yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji beda Independent Sample T-test dan uji beda Mann Whitney serta uji korelasi Spearman dan uji Chi-square.

Definisi Operasional

Subjek adalah anak usia pra-sekolah (3-5 tahun)

Karakteristik subjek adalah usia, jenis kelamin, keikutsertaan subjek dalam PAUD, dan kepemilikan KMS.

Status gizi adalah keadaan gizi subjek sesuai dengan kategori tinggi badan menurut umur (TB/U).

Konsumsi energi dan zat gizi adalah jumlah energi dan protein dari makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh subjek.

Tingkat kecukupan energi dan zat gizi adalah perbandingan jumlah energi danzat gizi yang dikonsumsi subjek dengan kecukupan energi dan zat gizi subjek dandinyatakan dalam persen.

Stimulasi psikososial adalah stimulasi pendidikan dalam rangka mengembangkan kemampuan kognitif, fisik, dan motorik, serta sosial-emosional anak.

Pola asuh makan adalah pola asuh orang tua atau pengasuh dalam pemberian makan anak.

Skor keragaman pangan adalah skor yang ditunjukkan untuk mengetahui keberagaman konsumsi subjek melalui food recall 1 x 24 jam.

Kelompok pangan adalah kelompok-kelompok untuk setiap jenis makanan yang dikonsumsi subjek.

Perkembangan kognitif adalah perkembangan kemampuan dari subjek dalam memahami, menganalisis, dan mengklasifikasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Keluarga

Karakteristik keluarga yang diamati adalah besar keluarga, usia orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan pendapatan per kapita. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami, isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (PP 21 tahun 1994).

(25)

11 Tabel 5 Karakteristik keluarga berdasarkan status gizi TB/U

Karakteristik Keluarga Status gizi

Pendidikan pertama anak berasal dari keluarga. Berdasarkan lama pendidikan orang tua, ayah maupun ibu pada anak dengan status gizi normal lebih tinggi daripada anak dengan status gizi pendek. Tetapi lama pendidikan orang tua pada anak dengan status gizi normal maupun pendek tidak mencapai dari 12 tahun. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengumumkan perpanjangan program wajib belajar dari 9 ke 12 tahun (Cerdan 2013). Sebagian besar pendidikan ayah dan ibu masuk pada tingkat SD baik pada anak dengan status gizi normal maupun pendek. Hasil uji beda menggunakan uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan antara pendidikan ayah pada anak normal dengan anak pendek (p>0.05). Begitu pun untuk pendidikan ibu, tidak ada perbedaan antara anak normal dengan anak pendek (p>0.05). Orang tua yang berpendidikan rendah, cenderung mempunyai pemahaman yang terbatas tentang cara mengasuh anaknya agar dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal (Susilaningrum dkk 2013). Jika melihat dari pendapatan per kapita, anak dengan status gizi normal memiliki pendapatan per kapita dari keluarga lebih tinggi dibandingkan anak dengan status gizi pendek.

(26)

12

negatif antara jumlah anggota rumah tangga dengan kejadian lapar. Meningkatnya jumlah anggota rumah tangga memengaruhi pemilihan bahan pangan kepada yang lebih murah. Menurut Suhardjo (2010), meningkatnya jumlah anggota keluarga tanpa diimbangi dengan peningkatan pendapatan, maka pendistribusian konsumsi pangan akan semakin sedikit sehingga konsumsi pangan keluarga tersebut tidak cukup untuk mencegah kejadian kurang gizi.

Pekerjaan orang tua merupakan sesuatu yang dilakukan oleh setiap orang tua untuk mendapatkan nafkah (Nachiyah 2012). Pekerjaan akan memengaruhi pendapatan keluarga yang akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan anak. Pekerjaan ayah dan ibu tersebar di beberapa bidang, yaitu petani, pedagang, buruh tani, buruh non-tani, jasa, dan tidak bekerja.

Sebanyak 22.9% pada anak normal, ayah bekerja sebagai burun non-tani, sedangkan sebanyak 21.4% pada anak pendek ayah bekerja sebagai jasa (tukang ojek, tukang cukur, calo, dsb) dan lainnya (satpam, karyawan, wiraswasta, dsb). Sebagian besar ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga baik pada anak normal maupun pendek (78.6% dan 76.3%), dan sebagian yang lain tersebar sebagai petani, pedagang, buruh tani, buruh non-tani, jasa, dan lainnya (guru honorer). Tabel 7 Sebaran pekerjaan orang tua berdasarkan status gizi TB/U

Pekerjaan

Subjek dalam penelitian ini adalah anak usia pra-sekolah dengan rentang usia 3-5 tahun. Karakteristik subjek yang diamati, meliputi usia, jenis kelamin, keikutsertaan anak dalam PAUD dan kepemilikan KMS. Subjek yang diamati sebanyak 175 orang dari dua desa yang berbeda, Desa Tambakan dan Desa Jalan Cagak.

(27)

13 lebih banyak dibandingkan subjek berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 54.8% pada anak normal dan 51.7% pada anak pendek.

Tabel 8 Sebaran karakteristik anak berdasarkan status gizi TB/U Karakteristik ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 14). Dalam penelitian ini, anak-anak yang mengikuti PAUD masih tergolong kurang karena sebagian besar anak tidak mengikuti PAUD, yaitu 65.2% anak normal dan 78.3% anak pendek. Berdasarkan Apriana (2009) masih banyaknya jumlah responden yang tidak mengikuti PAUD menunjukkan bahwa motivasi orang tua untuk mengikutsertakan anaknya dalam program PAUD disebabkan adanya anggapan bahwa anak berusia 3 tahun atau kurang masih perlu memusatkan kegiatannya di rumah dengan orang tua dan keluarga lainnya.

Selain itu, anak di bawah usia 4 tahun belum dapat membedakan perilaku yang baik dan buruk. Anggapan seperti ini membuat orang tua takut membaurkan anaknya terlalu dalam dengan orang-orang yang baru dikenalnya, karena takut berpengaruh dengan hal-hal yang buruk (Apriana 2009). Menurut Mustika dan Arifah (2011), orang tua yang tidak mengikutsertakan anaknya ke PAUD mengeluhkan bahwa anaknya kurang mandiri, kurang aktif dan bersemangat dalam mengikuti berbagai kegiatan, sedangkan orang tua yang mengikutsertakan anaknya ke PAUD mengungkapkan bahwa anaknya senang berinteraksi dengan orang lain, aktif dan bersemangat.

(28)

14

Kepemilikan KMS anak balita yang dijumpai masih di bawah 50%, yaitu 46.1% pada anak normal dan 46.7% pada anak pendek. Padahal salah satu indikator kesehatan anak dalam Riskesdas 2013 untuk anak 0-59 bulan, ialah kepemilikan KMS. Menurut Riskesdas (2010), semakin tinggi umur anak semakin rendah kepemilikan KMS.

Pola Asuh Makan

Orang tua berpengaruh terhadap perilaku makan anak. Banyak penelitian menunjukkan bahwa orang tua secara sadar maupun tidak sadar telah menuntun kesukaan makan anak dan membentuk gaya yang berpengaruh terhadap dimana, bagaimana, dengan siapa, dan berapa banyak yang ia makan (Soetardjo 2011). Orang tua dan pengasuh merupakan model peran bagi anak pra-sekolah. Bila mereka makan bermacam-macam makanan, anak pun akan mengikuti (Soetardjo 2011).

Tingkat pengetahuan gizi yang dipraktikkan pada perencanaan makanan keluarga tampaknya berhubungan dengan sikap positif ibu terhadap diri sendiri, kemampuan ibu dalam memecahkan masalah, dan mengorganisasi keluarga. Urut-urutan anak pra-sekolah dalam keluarga tampaknya berpengaruh terhadap pilihan makanan yang diberikan (Soetardjo 2011).

Tabel 9 Sebaran praktek pemberian makan berdasarkan status gizi TB/U Praktek pemberian makan

Anak masih sering disuapi atau tidak

Kadang-kadang 77 67.0 47 78.3

Selalu 20 17.4 9 15.0

Tidak pernah 18 15.7 4 6.7

Cara ibu menyajikan porsi makan anak

Porsi makan sesuai kebutuhan anak 105 91.3 57 95.0 Porsi makan dihidangkan sekaligus

banyak 10 8.7 3 5.0

Situasi saat memberi makan anak

Diusahakan disiplin dan tidak boleh

bermain 73 63.5 41 68.3

Sambil bermain di sekitar rumah 42 36.5 19 31.7

(29)

15 anak, sikap dan metode ibu dalam memberi makan anak, mengatasi masalah makan anak.

Pola asuh makan anak dibagi menjadi tiga bagian, yaitu praktek pemberian makan anak, jadwal makan anak, dan sikap dan metode ibu dalam memberi makan anak. Praktek pemberian makan anak terdiri dari mengasuh anak, menyiapkan makan anak, anak masih sering disuapi atau tidak, cara ibu menyajikan porsi makan anak, dan situasi saat memberi makan anak. Terdapat dua pertanyaan mengenai jadwal makan anak, yaitu penentuan jadwal makan anak dan keteraturan jadwal makan anak. Sikap dan metode ibu dalam memberi makan anak, meliputi cara ibu memperkenalkan makanan pada anak, problema makan anak, sikap ibu jika anak menolak makanan tertentu, sikap ibu jika anak sulit makan, sikap ibu jika anak menghabiskan makanannya, dan penentuan jadwal minum susu anak.

Sebagian besar anak diasuh oleh ibunya, yaitu sebesar 92.2% pada anak normal dan 93.3% pada anak pendek. Selain itu, pengasuhan ada yang dilakukan oleh nenek, dan anggota keluarga lain. Ibu, adalah yang paling berhak menggenggam hak asuh anak dibandingkan pihak-pihak lainnya (Al-Fauzan 2009). Penyiapan makan anak pun mayoritas dilakukan oleh ibu, tetapi sebesar 5.2% anak normal dan 5.0% anak pendek, penyiapan makanan masih dilakukan oleh orang lain. Sebagian besar anak kadang-kadang masih disuapi oleh ibu atau pengasuhnya. Alasan ibu masih menyuapi anaknya karena jika ibu menyiapkan makanan, ibu takut anak tidak menghabiskan makanannya dan membuat ruangan saat makan menjadi kotor. Alasan lainnya karena ibu merasa anak umur tiga tahun masih terlalu kecil untuk dibiarkan makan sendiri sehingga masih perlu disuapi (Khomsan dkk. 2013).

Ibu telah menyajikan porsi makan sesuai kebutuhan anak. Hal ini sesuai dengan Elida dan Fridayati (2011) yang menyatakan bahwa sikap ibu dalam pengaturan makan keluarga tentang penyajian dan pemberian makan termasuk dalam kategori baik. Begitu pula hasil pada penelitian Werdiningsih dan Astarani (2012) menunjukkan bahwa peran ibu dalam pemenuhan kebutuhan dasar anak tergolong baik. Hal ini menunjukan pola asuh pada anak telah memenuhi kebutuhan anak sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak.

Lebih dari 50% ibu memperhatikan situasi saat memberi makan anak dengan mengusahakan anak tidak boleh bermain. Ada pula ibu yang memberi makan anak sambil anaknya bermain di sekitar rumah. Sejalan dengan hasil penelitian Khomsan dkk. (2013) yang menunjukkan bahwa sebesar 63.6% ibu dari keluarga petani dan 51.9% ibu dari keluarga non-petani memberi makan anak dengan mengusahakan anak tidak boleh bermain.

(30)

16

Tabel 10 Sebaran jadwal makan anak berdasarkan status gizi TB/U Jadwal makan anak memberikan makanannya tersendiri tidak bersamaan dengan makanan lain. Mayoritas anak tidak mempunyai problema saat makan, tetapi problema yang banyak terjadi, yaitu anak lama menghabiskan makanannya baik pada anak normal maupun pendek.

Sebesar 47.8% ibu tetap memberikan makanan yang telah ditolak oleh anak dalam waktu yang berbeda, tetapi sebanyak 29.6% ibu tidak mencoba untuk memberikannya lagi. Ibu yang membuat inovasi makanan baru dengan bahan makanan yang sama lebih tinggi pada anak normal dibandingkan anak pendek. Persentase yang lebih tinggi pada anak normal dapat menggambarkan bahwa ibu dengan anak yang normal lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan pola asuh makan sehingga akan menjadi lebih baik. Hal ini juga didukung dari pendidikan ibu pada anak normal memiliki rata-rata yang lebih tinggi (8.3 ± 2.5) dibandingkan pendidikan ibu pada anak pendek (7.5 ± 2.6).

Sikap yang ibu lakukan jika anak sulit makan, yaitu mayoritas ibu membujuk atau merayu anak agar anak mau makan (46.1%). Sejalan dengan penelitian Hapitria, Dasuki, dan Ismail (2011) bahwa upaya membujuk selalu ibu lakukan dengan penuh kasih sayang dan sabar bila anak nakal, nangis atau anak tidak mau makan.

Anak akan merasa senang jika apa yang ia lakukan dihargai atau diberi penghargaan oleh ibu atau pengasuhnya. Begitu pula dengan makan, jika anak menghabiskan makanannya, anak akan merasa senang saat ibu memujinya. Memberikan pujian yang benar, akan mendorong anak untuk belajar lebih lagi dan anak menikmati kerjasama yang terjalin antara dirinya dengan orang tua/pendidik. (Hastuti 2013). Reward (hadiah) dan punishment harus diberikan pada situasi yang tepat dengan tujuan mendidik (Aeni 2011). Sebanyak 78.3% ibu telah memberikan apresiasi terhadap anak dengan cara memujinya jika anak menghabiskan makanannya, walaupun masih ada ibu yang diam saja.

(31)

17 Tabel 11 Sebaran sikap ibu dalam pemberian makan berdasarkan status gizi TB/U

Sikap ibu dalam pemberian makan

Status gizi

Normal Pendek

n % n %

Cara ibu memperkenalkan makanan baru pada anak

Diberikan tersendiri 73 63.5 41 68.3

Diberikan bersama makanan yang sudah dikenal

Sikap ibu jika anak menolak makanan tertentu

Anak tidak pernah menolak makanan 3 2.6 2 3.3

Membuat inovasi makanan baru dengan bahan yang sama

Sikap ibu jika anak sulit makan

Anak tidak sulit makan 26 22.6 12 20.0

Membujuk atau merayu anak agar mau makan

53 46.1 27 45.0

Membiarkan anak makan sesuai keinginannya

18 15.7 11 18.3

Memaksa anak untuk makan 18 15.7 10 16.7

Sikap ibu jika anak menghabiskan makanannya

Memujinya 90 78.3 42 70.0

Diam saja 25 21.7 18 30.0

Yang menentukan jadwal minum susu anak

Ibu 17 14.8 6 10.0

Anak 95 82.6 51 85.0

Ibu dan orang lain 0 0 1 1.7

Orang lain 1 0.9 1 1.7

(32)

18

Tabel 12 Sebaran pola asuh makan berdasarkan jenis kelamin anak Kategori nilai pola

Permasalahan tumbuh kembang anak salah satu caranya melalui upaya pemberdayaan wanita dan keluarga dan pemanfaatan sumber daya masyarakat, upaya tersebut diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan wanita khususnya ibu rumah tangga dalam pola asuh anak (Mahlia 2008). Pola asuh makan yang dilakukan ibu pada anak normal lebih tinggi dibandingkan pada anak pendek. Terlihat bahwa lebih dari 50% anak normal telah diberikan pola makan dengan kategori rendah. Hal ini karena di daerah tersebut sering dilakukan riset sehingga ibu-ibu di kedua desa memiliki pengetahuan yang cukup baik. Salah satu yang dapat mengakibatkan anak menjadi pendek ialah pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan (Riskesdas 2013).

Tabel 13 Sebaran pola asuh makan berdasarkan status gizi TB/U Kategori nilai pola

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi, kedua informasi ini (jenis dan jumlah pangan) merupakan hal yang penting. Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang

dikonsumsi (Kusharto & Sa’adiyah 2006). Konsumsi pangan berhubungan dengan

(33)

19 tangga dengan status ekonomi yang baik akan dapat dan mempunyai kesempatan untuk mengonsumsi makanan dengan kualitas baik daripada kualitas dari mereka dengan status ekonomi yang rendah (Suhanda dkk. 2010).

Kelebihan atau kekuragan asupan energi dan zat gizi anak, atau kemungkinan pengaruh keturunan terhadap pertumbuhan, akan terefleksi pada pola pertumbuhannya. Anak yang kurang makan akan menunjukkan penurunan pada grafik berat badan menurut umur (BB/U). Perubahan pada alur grafik berat badan dapat juga menggambarkan pengaruh keturunan terhadap pertumbuhan. Bila kekurangan makan cukup berat dan berlangsung lama, kecepatan pertumbuhan akan berkurang atau pertumbuhan akan terhenti (Almatsier, Soetardjo, Soekatri 2011).

Tabel 14 Konsumsi dan tingkat kecukupan gizi berdasarkan status gizi TB/U

Energi dan protein Status gizi p-value

Normal Pendek

Tabel 14 menggambarkan konsumsi dan tingkat kecukupan gizi berdasarkan status gizi TB/U. Konsumsi energi dan protein pada anak normal dan anak pendek memiliki perbedaan (p<0.05). Terlihat bahwa rata-rata konsumsi energi dan protein pada anak normal lebih tinggi dibandingkan pada anak pendek. Hal ini sejalan dengan penelitian Hermina dan Prihatini (2011) yang menunjukkan terdapat perbedaan signifikan antara konsumsi energi dan protein anak normal dan anak pendek pada usia 24-59 bulan (p<0.05).

Berbeda pada tingkat kecukupan gizi, tidak terdapat perbedaan antara anak normal dengan anak pendek (p>0.05), walaupun persen kecukupan energi maupun protein pada anak normal lebih tinggi dibandingkan dengan anak pendek. Sesuai dengan penelitian Hanum, Khomsan, Heryatno (2014) yang menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara tingkat kecukupan zat gizi dengan status gizi balita. Hal ini diduga karena tingkat kecukapan zat gizi yang diperoleh hanya menggambarkan keadaan konsumsi anak sekarang, sementara status gizi anak sekarang merupakan akumulasi dari kebiasaan makan terdahulu, sehingga konsumsi pada hari tertentu tidak langsung memengaruhi status gizinya.

(34)

20

Tabel 15 Sebaran tingkat kecukupan gizi berdasarkan status gizi TB/U Kategori tingkat kecukupan gizi dibutuhkan oleh tubuh. Jumlah zat gizi tersebut disesuaikan dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Setiap zat gizi memiliki peranan penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tubuh seseorang. Jika kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi, pertumbuhan dan perkembangan tubuh akan terhambat. Anak usia di bawah lima tahun (balita) merupakan kelompok usia yang rawan terhadap pangan. Kelompok usia balita memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat sehingga dibutuhkan pangan-pangan dengan zat gizi yang mencukupi kebutuhan (Amelia 2008). Skor keragaman pangan dapat digunakan untuk mengetahui kualitas asupan makanan pada sub-kelompok sebuah populasi yang dikaitkan dengan pedoman gizi. Keragaman pangan berhubungan dengan kecukupan gizi (kebutuhan dasar zat gizi makro dan mikro) dan untuk keseimbangan/variasi makan.

(35)

21 keragaman pangan tidak dimasukkan untuk kelompok pangan lainnya, tetapi dimasukkan dalam perhitungan energi.

Skor keragaman pangan, baik anak normal (50.4%) maupun anak pendek (45.0%) memiliki konsumsi pangan yang cukup beragam. Terlihat bahwa skor keragaman pangan berada pada kategori sedang. Artinya dalam sehari anak dapat mengonsumsi 4 hingga 5 jenis kelompok pangan. Tetapi skor keragaman pangan yang rendah pada anak pendek (31.7%) lebih tinggi dibandingkan pada anak normal (25.2%). Tidak terdapat perbedaan antara skor keragaman pangan pada anak normal maupun pada anak pendek (p>0.05). Keragaman pangan yang dikonsumsi tidak berkaitan dengan status gizi TB/U, diduga karena skor keragaman pangan ini dihitung pada satu hari saja, sementara status gizi anak sekarang merupakan akumulasi dari kebiasaan makan terdahulu, sehingga keragaman pangan pada satu hari tidak langsung memengaruhi status gizinya.

Status Gizi

Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Berat badan anak balita ditimbang menggunakan timbangan digital yang memiliki presisi 0.1 kg, panjang atau tinggi badan diukur menggunakan alat ukur panjang/tinggi dengan presisi 0.1 cm. Variabel BB dan TB/PB anak balita disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri, yaitu BB/U, TB/U, dan BB/TB (Riskesdas 2013).

Pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks panjang badan menurut umur atau tinggi badan menurut umur. Pengukuran indeks TB/U untuk anak berumur 0-60 bulan (Kemenkes 2011). Untuk menilai status gizi anak balita, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap anak balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore) menggunakan baku antropometri anak balita WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Zscore dari masing-masing indikator tersebut ditentukan status gizi anak balita dengan batasan sebagai berikut (Riskesdas 2013): Klasifikasi status gizi berdasarkan indeks TB/U: Sangat pendek (Zscore< -3.0 SD), Pendek (Zscore ≥ -3.0 SD s.d Zscore< -2.0 SD), Normal (Zscore≥ -2.0 SD).

Tabel 17 Sebaran status gizi TB/U berdasarkan kepemilikan KMS Status Gizi TB/U

(36)

22

Stimulasi Psikososial

Stimulasi psikososial adalah stimulasi pendidikan dalam rangka mengembangkan kemampuan kognitif, fisik, dan motorik, serta sosial-emosional anak (Depdiknas 2002 dalam Oktarina 2010). Dalam perkembangan ada saat-saat ketika anak siap untuk menerima sesuatu dari luar. Kematangan dicapai untuk disempurnakan dengan rangsangan-rangsangan yang tepat. Keadaan ini sering

disebut ―masa kritis‖ yang harus dirangsang agar bisa berkembang selanjutnya

dengan baik (Gunarsa 2008).

Gunarsa (2008) menyatakan bahwa anak yang tidak mengalami dan memperoleh kasih sayang dan kepuasan dari kebutuhan akan mengalami kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan kepada orang lain dan oleh karena itu akan terganggulah hubungan sosial di kemudian hari. Lima tahun pertama dianggap sebagai tahun yang penting untuk menerima rangsangan, termasuk rangsangan-rangsangan untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi-potensi mental yang ada sebaik-baiknya. Salah satu dasar untuk menentukan apakah seorang anak telah mengalami perkembangan dengan baik atau tidak, ialah melalui tugas-tugas dalam perkembangan (developmental tasks) sesuai dengan pernyataan Havighurst. Tugas-tugas perkembangan ini bersumber pada tiga hal, yaitu kematangan fisik, rangsangan atau tuntutan dari masyarakat, dan norma pribadi mengenai aspirasi-aspirasinya.

Tugas-tugas perkembangan yang mencakup aspek stimulasi psikososial pada penelitian ini dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu stimulasi belajar, stimulasi bahasa, lingkungan fisik, kehangatan dan penerimaan, stimulasi akademik, modeling, variasi stimulasi pada anak, dan hukuman. Aspek-aspek stimulasi psikososial berdasarkan status gizi TB/U dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Sebaran aspek stimulasi psikososial berdasarkan status gizi TB/U

(37)

23

Tabel 18 Sebaran aspek stimulasi psikososial berdasarkan status gizi TB/U (lanjutan)

Aspek stimulasi belajar, persentase tertinggi (55.7%) pada anak normal termasuk ke dalam kategori sedang. Sedangkan, pada anak pendek presentase tertinggi (51.7%) termasuk ke dalam kategori rendah. Artinya, stimulasi belajar yang ibu berikan lebih baik pada anak normal daripada anak pendek. Namun, uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan untuk stimulasi belajar yang ibu berikan antara anak normal dan anak pendek (p>0.05).

(38)

24

Lingkungan fisik berkaitan dengan bagaimana ibu atau pengasuh menyediakan lingkungan fisik yang aman dan nyaman untuk anak mereka. Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa pada anak normal, presentase tertinggi ibu atau pengasuh menyediakan lingkungan fisik dalam kategori sedang (47.8%), sedangkan pada anak pendek, presentase tertinggi masuk dalam kategori kurang (55.0%). Uji beda Mann-Whitney menunjukkan terdapat perbedaan signifikan antara lingkungan fisik yang ibu atau pengasuh sediakan terhadap anak normal dan anak pendek (p<0.05).

Kehangatan dan penerimaan lebih kepada ibu atau pengasuh mengekspresikan kasih sayang kepada anak-anak mereka dalam bentuk pemberian pujian, pelukan dan belaian, mengarahkan mereka, serta memberikan tanggapan positif kepada perilaku anak (Khomsan dkk. 2013). Presentase tertinggi (48.7%) pada anak normal masuk dalam kategori tinggi, sedangkan pada anak pendek presentase tertinggi (46.7%) masuk dalam kategori sedang. Kehangatan dan penerimaan yang dilakukan oleh ibu atau pengasuh lebih baik pada anak normal daripada anak pendek. Namun, uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kehangatan dan penerimaan pada anak normal dan anak pendek (p>0.05).

Stimulasi akademik berhubungan dengan waktu yang diluangkan ibu untuk mengajarkan anak mereka apapun yang terkait dengan aspek kognitif, seperti warna, surat, angka, nyanyian, dan konsep spasial (Khomsan dkk. 2013). Stimulasi akademik yang diberikan ibu, baik pada anak normal, maupun anak pendek, memiliki presentase tertinggi pada kategori sedang, yaitu masing-masing 54.8% dan 40.0%. Uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara stimulasi akademik yang diberikan ibu pada anak normal dan anak pendek (p>0.05).

Modeling berhubungan dengan perilaku dari ibu dalam menerapkan praktek, contohnya mengatur jadwal nonton TV dan membeli jajanan, memperkenalkan perilaku yang dilakukan ketika menghadapi tamu, dan bagaimana cara untuk mengungkapkan kekecewaan dan kemarahan (Khomsan dkk. 2013). Hasil pada Tabel 18 menunjukkan bahwa presentase tertinggi pada anak normal (54.8%) dan anak pendek (53.3%) berada pada kategori sedang. Tetapi terlihat bahwa skor rata-rata anak normal lebih tinggi dibandingkan anak pendek, artinya praktek modeling pada anak normal lebih baik daripada anak pendek. Namun, uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan antara anak normal dan anak pendek (p>0.05) karena nilai rata-ratanya pun tidak terlalu berbeda jauh.

Variasi stimulasi pada anak berhubungan dengan perilaku ibu atau pengasuh dalam menyediakan berbagai pengenalan lingkungan sosial yang lebih luas untuk anak mereka (Khomsan dkk. 2013). Baik pada anak normal (52.2%), maupun anak pendek (55.0%) dapat dilihat bahwa presentase tertinggi keduanya masuk dalam kategori rendah. Terlihat bahwa skor rata-rata antara anak normal dan anak pendek tidak ada perbedaan signifikan, sesuai dengan uji beda Mann-Whitney yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan antara variasi stimulasi pada anak normal dan anak pendek.

(39)

25 menunjukkan, baik anak normal (60.0%), maupun anak pendek (68.3%) menerima hukuman dengan kategori tinggi. Terlihat bahwa skor rata-rata pada anak pendek lebih tinggi dibandingkan dengan anak normal. Artinya, hukuman lebih sering diberikan pada anak pendek dibandingkan pada anak normal. Namun, berdasarkan uji Mann-Whitney tidak terdapat perbedaan signifikan antara anak normal dan anak pendek (p>0.05).

Tabel 19 Sebaran stimulasi psikososial berdasarkan status gizi TB/U Kategori nilai stimulasi psikososial

Status gizi

Normal Pendek

n % n %

0-29 (rendah) 27 23.5 20 33.3

30-45 (sedang) 84 73.0 39 65.0

46-55 (tinggi) 4 3.5 1 1.7

Mean ± sd 33.8 ± 6.8 31.7 ± 6.4

p-value 0.039

Secara keseluruhan (Tabel 19), sebagian besar stimulasi psikososial yang diberikan/dilakukan oleh ibu berada pada kategori sedang, baik itu pada anak normal (73.0%) maupun pada anak pendek (65.0%). Rata-rata nilai stimulasi psikososial pada anak normal lebih tinggi dibandingkan dengan anak pendek. Nilai stimulasi psikososial dengan kategori tinggi pada anak normal lebih banyak (3.5%) dibandingkan dengan anak pendek (1.7%). Berdasarkan uji Mann-Whitney, terdapat perbedaan signifikan antara stimulasi psikososial yang ibu berikan pada anak normal dan anak pendek (p<0.05).

Tabel 20 Sebaran stimulasi psikososial berdasarkan keikutsertaan anak dalam PAUD

Kategori nilai stimulasi psikososial

Keikutsertaan anak dalam PAUD

PAUD Non-PAUD

n % n %

0-29 (rendah) 2 3.8 44 35.8

30-45 (sedang) 47 88.7 77 62.6

46-55 (tinggi) 4 7.5 2 1.6

Mean ± sd 36.4 ± 5.1 32.1 ± 6.5

p-value 0.000

(40)

26

Tabel 21 Sebaran stimulasi psikososial berdasarkan jenis kelamin Kategori nilai stimulasi psikososial

Berdasarkan jenis kelamin (Tabel 21), tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.05) antara stimulasi psikososial pada anak laki-laki dan anak perempuan. Hal ini diduga karena stimulasi psikososial yang ibu berikan/lakukan kepada anak baik anak laki-laki ataupun perempuan sama karena ibu memiliki tugas untuk mengarahkan/mengasuh anaknya dan tidak memandang apakah anaknya itu perempuan atau laki-laki. Hasil yang sama terlihat pada stimulasi psikososial berdasarkan kepemilikan KMS (p>0.05). Hasil ini diduga bahwa KMS hanya memperlihatkan pertumbuhan anak saja tidak melihat perkembangan anak melalui stimulasi psikososial yang ibu berikan/lakukan.

Tabel 22 Sebaran stimulasi psikososial berdasarkan kepemilikan KMS Kategori nilai stimulasi psikososial

(41)

27 Instrumen perkembangan kognitif anak dibagi menjadi tiga kategori usia, yaitu 2 tahun 6 bulan - 3 tahun 5 bulan, 3 tahun 6 bulan - 4 tahun 5 bulan, dan 4 tahun 6 bulan – 5 tahun 5 bulan. Setiap kategori memiliki indikator yang berbeda-beda. Aspek dalam perkembangan kognitif juga dibagi menjadi enam bagian, yaitu penggunaan simbol, pemahaman identitas, pemahaman sebab-akibat, kemampuan mengklasifikasi, pemahaman angka, dan pemahaman konsep.

Tabel 23 Sebaran perkembangan kognitif anak berdasarkan status gizi TB/U Kategori nilai

Berdasarkan status gizi TB/U (Tabel 23), sebagian besar perkembangan kognitif anak masuk ke dalam kategori rendah (<60%), baik anak normal maupun anak pendek. Namun, rata-rata perkembangan kognitif anak normal lebih tinggi dibandingkan dengan anak pendek, artinya perkembangan kognitif anak normal dapat dikatakan lebih baik dibandingkan dengan anak pendek. Hasil uji beda

Mann-Whitney, tidak terdapat perbedaan signifikan untuk perkembangan kognitif antara anak normal dengan anak pendek (p>0.05). Hasil ini bertentangan dengan penelitian Sokolovic et al. (2014) dan Warsito dkk. (2012) yang menunjukkan terdapat perbedaan signifikan antara perkembangan kognitif anak normal dengan anak pendek. Hal ini diduga karena untuk beberapa fungsi kognitif, efek malnutrisi (stunting khususnya) semakin menurun sejalannya dengan usia, tetapi tingkat perkembangan kognitif terutama pada proses eksekutif dan persepsi visuospasial dapat sangat berpengaruh selama masa kanak-kanak (Kar, Rao, & Chandramouli 2008).

Tabel 24 Sebaran perkembangan kognitif anak berdasarkan kepemilikan KMS Kategori nilai

(42)

28

anak yang memiliki KMS ataupun tidak memiliki KMS memiliki proses perkembangan kognitif yang sama sesuai usianya masing-masing karena partisipasi dalam Posyandu tidak hanya diikuti oleh ibu yang memiliki KMS tetapi ibu yang tidak memiliki KMS pun ikut serta sehingga kepemilikan KMS tidak sesuai dijadikan perbandingan untuk nilai perkembangan kognitif anak. Selain itu, KMS hanya melihat pertumbuhan anak dan tidak untuk perkembangan anak.

Tabel 25 Sebaran perkembangan kognitif anak berdasarkan keikutsertaan anak dalam PAUD

Studi menunjukkan bahwa kinerja pendidikan yang buruk, penurunan lama pendidikan dan penurunan pendapatan ketika dewasa semuanya dapat dikaitkan dengan anak-anak muda yang bertubuh pendek (stunting). Oleh karena itu, anak-anak memperoleh manfaat terbesar jika program-program PAUD bersifat holistik, yang mengintegrasikan intervensi psikososial dan kesiapan bersekolah dengan intervensi kesehatan dan gizi (UNICEF 2012). Rata-rata perkembangan kognitif anak yang mengikuti PAUD lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak mengikuti PAUD. Terlihat bahwa sebagian besar anak non-PAUD memiliki nilai perkembangan kognitif yang rendah, sedangkan pada anak PAUD nilai perkembangan kognitif lebih banyak pada kategori sedang. Terdapat perbedaan signifikan antara perkembangan kognitif anak PAUD dengan anak non-PAUD (p<0.05). Hasil ini menunjukkan adanya pengaruh sekolah terhadap perkembangan kognitif anak. Anak yang mengikuti pendidikan pra-sekolah umumnya sudah dikenalkan dengan alat permainan edukatif (APE) yang dapat merangsang perkembangan kognitifnya (Hastuti, Alfiasari, & Chandriyani 2010). Tabel 26 Sebaran perkembangan kognitif anak berdasarkan jenis kelamin

Kategori nilai

(43)

29 menunjukkan hasil perbedaan jenis kelamin pada kemampuan bahasa dan kemampuan kognitif lainnya tidak signifikan atau sangat kecil perbedaannya.

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi dan Perkembangan Kognitif Anak

Status gizi adalah status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrien. Nutrien (unsur gizi) merupakan istilah yang dipakai secara umum pada setiap zat yang dicerna, diserap, dan digunakan untuk mendorong kelangsungan faal tubuh. Nutrien dapat dipilah menjadi protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin, dan air. Nutrien esensial diperlukan untuk mempertahankan kehidupan dan tidak dapat disintesis sendiri oleh tubuh sehingga harus diperoleh dari makanan (Beck 2011). Status gizi dengan indikator TB/U (tinggi badan menurut umur) lebih menggambarkan status gizi masa lalu. Ukuran antropometri untuk tinggi badan menggambarkan pertumbuhan skeletal yang berlangsung lama, oleh karena itu pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi.

Analisa dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan secara signifikan terhadap status gizi. Berdasarkan uji korelasi spearman

diketahui bahwa skor keragaman pangan memiliki hubungan yang signifikan terhadap status gizi (r=0.164; p-value=0.030). Semakin tinggi skor keragaman pangan semakin baik status gizi TB/U pada anak-anak (India - F=10.759, p=0.000 and Iran- F=5.825, p=0.001). Pada kedua negara, anak pendek dan sangat pendek mendapatkan skor rata-rata total makanan yang rendah daripada anak yang memiliki status gizi normal dan tinggi (Hooshmand & Udipi 2013). Menurut FAO dan FMFH (2001), beragam zat gizi ditemukan dalam beragam pangan, kita membutuhkan jenis pangan yang beragam untuk memenuhi semua kebutuhan.

Perkembangan anak dapat dipahami sebagai perkembangan fisik, kognitif, sosial, dan pematangan emosional manusia dari anak dilahirkan hingga dewasa, sebuah proses yang dipengaruhi oleh interaksi antara proses biologis dan lingkungan. Dari pengaruh lingkungan, keluarga memiliki dampak yang besar terhadap perkembangan anak (Harden 2004).

Dilakukan analisa terhadap faktor-faktor yang berhubungan secara signifikan terhadap perkembangan kognitif anak. Berdasarkan uji korelasi

(44)

30

(r=0.159; p-value=0.036) dengan perkembangan kognitif anak. Semakin awal stimulasi psikososial diberikan, semakin baik capaian perkembangan anak.

Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Apriana 2009). Keikutsertaan anak dalam PAUD diuji hubungannya menggunakan uji Chi-square yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara keikutsertaan anak dalam PAUD dengan perkembangan kognitif anak (p-value=0.007). Hasil ini pun sejalan dengan penelitian Khomsan dkk. (2013) bahwa keikutsertaan anak dalam PAUD memiliki hubungan yang signifikan dengan perkembangan kognitif anak (r=0.228). Begitu pula pada penelitian Apriana (2009) yang menyatakan terdapat hubungan yang signifikan antara keikutsertaan anak dalam PAUD dengan perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah. Anak-anak yang mengikuti PAUD memiliki perkembangan kognitif lebih baik dibandingkan anak yang tidak mengikuti PAUD. Proses pendidikan yang dilaksanakan di PAUD secara optimal akan meningkatkan perkembangan kognitif pada anak.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Asupan energi dan protein anak normal lebih tinggi dibandingkan dengan anak pendek, terdapat perbedaan yang signifikan asupan energi dan protein anak normal dengan anak pendek. Tetapi tidak terdapat perbedaan signifikan untuk tingkat kecukupannya. Skor keragaman pangan baik pada anak normal maupun anak pendek, presentase tertinggi masuk dalam kategori sedang (4-5 kelompok pangan). Tidak terdapat perbedaan signifikan skor keragaman anak normal dengan anak pendek.

Pola asuh makan yang dilakukan ibu pada anak normal lebih tinggi dibandingkan pada anak pendek. Terlihat bahwa lebih dari 50% anak normal telah diberikan pola asuh makan yang baik/tinggi oleh ibunya (>80%), meskipun sebesar 50% anak pendek juga memiliki ibu dengan pola asuh makan yang tinggi. Tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.05) antara pola asuh makan yang diberikan ibu terhadap anak normal maupun anak pendek. Sebagian besar anak memiliki status gizi normal berdasarkan indeks TB/U. Berdasarkan kepemilikan KMS, rata-rata status gizi anak berada pada kategori normal. Tidak terdapat perbedaan signifikan status gizi anak yang memiliki KMS dan non-KMS.

(45)

31 anak normal lebih baik daripada anak pendek. Walaupun begitu tidak terdapat perbedaan signifikan antara perkembangan kognitif anak normal dengan anak pendek. Faktor yang berhubungan dengan status gizi, yaitu skor keragaman pangan. Sedangkan faktor yang berhubungan dengan perkembangan kognitif anak, meliputi keikutsertaan anak dalam PAUD dan stimulasi psikososial. Aspek stimulasi psikososial yang memiliki hubungan signifikan terhadap perkembangan kognitif anak, meliputi stimulasi belajar, stimulasi bahasa, stimulasi akademik, modeling, dan variasi stimulasi pada anak.

Saran

Perlunya orang tua memperhatikan tumbuh kembang anak sehingga anak terhindar dari stunting dan mempunyai perkembangan kognitif yang baik. Perlu penelitian pada anak usia sekolah mengenai dampak stunting terhadap prestasi belajar anak dan pengaruh status gizi (BB/U) terhadap tes hasil belajar anak.

DAFTAR PUSTAKA

Aeni AN. 2011. Menanamkan disiplin pada anak melalui dairy activity menurut ajaran Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam. 9(1).

Al-Fauzan SS. 2009. Hak pengasuhan anak dalam Islam, demi kebaikan anak [Internet]. [22 September 2014]. Tersedia pada: http://almanhaj.or.id/content/

Almatsier S, Soetardjo S, Soekatri M. 2011. Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama.

Amelia KR. 2008. Studi perencanaan konsumsi pangan anak batita bagi keluarga miskin [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Apriana R. 2009. Hubungan pendidikan anak usia dini (PAUD) dengan perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah di kelurahan Tinjomoyo kecamatan Banyumanik Semarang [artikel ilmiah]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.

[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2011. Rencana aksi nasional pangan dan gizi 2011-2015. Jakarta (ID): ISBN 978-979-3764-68-9.

Cerdan P. 2013. Membangkitkan generasi emas Indonesia: memperluas wajib belajar dari 9 menjadi 12 tahun [Internet]. [22 September 2014]. Tersedia pada: http://blogs.worldbank.org/eastasiapacific/.

Dariyo A. 2007. Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama. Bandung: PT Refika Aditama.

[Depdiknas] Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Acuan menu pembelajaran pada pendidikan anak usia dini: menu pembelajaran generik. Jakarta (ID): Depdiknas.

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan pola asuh makan, stimulasi psikososial dan perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah
Tabel 2 Kelompok pangan beserta jenis-jenis makanannya
Tabel 3 Aspek perkembangan kognitif yang diukur dan contoh item
Tabel 4 Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan zat gizi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Distributor Alat Penetas Telor Ayam Untuk Pemesanan Silakan SMS : 081 945

Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Rempah dan

Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa secara bersama-sama variabel struktur modal, likuiditas, profitabilitas, dan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap luas pengungkapan

Vaikka roskaluokkia voidaan tyypillisesti pitää virheellisenä valintana luokittamisen kannalta, Bowkerin ja Starin (1999, 149-161) mukaan roskaluokkien hyödyntäminen on kuitenkin sekä

This survey project covered the following people groups in the districts of Tawang, West Kameng and East Kameng: Tawang Monpa, Dirang Monpa, Kalaktang Monpa, Sartang, Lish,

Triangulasi waktu: untuk menguji kredibilitas data dengan cara melakukan pengecekan menggunakan teknik pengumpulan data tertentu dalam waktu atau situasi yang berbeda

Language is a symbol of existence of a nation. The distinction of a language could represent the vanished of specific nation or tribe. Government of every nation

Adanya standar, aturan dan undang-undang yang mewajibkan akuntan publik untuk patuh terhadap kode etik dan pemberian sanksi bagi yang melanggarnya juga telah mengarahkan akuntan